Rabu, 26 September 2012

Problema Pendidikan Umat Islam Kontemporer


1. Pendahuluan

Masalah pendidikan tidak akan pernah selesai untuk dibicarakan, karena soal ini akan selalu terkait dengan kontekstualitas kehidupan umat manusia sepanjang zaman. Setiap perkembangan peradaban manusia sudah barang tentu selalu diikuti oleh berbagai dimensi kehidupan manusia itu sendiri, termasuk di dalamnya dimensi pendidikan. Berbagai pemikiran telah dikembangkan oleh para pakar tentang hakikat, makna, dan tujuan pendidikan.

2. Pendidikan sebagai Kegiatan dan Pendidikan sebagai Fenomena

Dalam perspektif lain, pendidikan juga dapat diartikan sebagai kegiatan dan sebagai fenomena. Sebagai kegiatan, pendidikan adalah setiap upaya yang secara sadar dirancang untuk membantu seseorang atau sekelompok orang mengembangkan suatu pandangan hidup, sikap hidup, atau keterampilan hidup. Sebagai fenomena, pendidikan adalah suatu perjumpaan antara dua orang atau lebih yang berdampak pada berkembangnya suatu pandangan hidup atau sikap hidup atas salah satu atau beberapa pihak. Jadi, pendidikan dapat diartikan sebagai suatu upaya yang dilakukan secara sadar, juga dapat berarti suatu peristiwa. Kalau berupa sebuah upaya, ia disebut pendidikan formal atau pendidikan nonformal, sedangkan kalau berupa peristiwa, ia disebut pendidikan informal

Dalam khazanah keilmuan, dikenal dua istilah yang cukup populer, yaitu pendidikan dan pengajaran. Umumnya, para pemerhati ilmu menyatakan bahwa pendidikan lebih menekankan aspek dalam  dari kedirian manusia. Adapun pengajaran lebih banyak bersentuhan dengan aspek luar. Dengan perkataan lain, bila pendidikan berkaitan erat dengan dimensi rohani, maka pengajaran lebih banyak berbicara tentang sarana dan prasarana dalam upaya memanusiakan manusia. 

Dalam kenyataannya, dunia pendidikan atau keilmuan kita lebih banyak memusatkan perhatiannya pada dimensi pengajaran, terutama yang menyangkut dengan administrasi dan kurikulum pengajaran. Adapun aspek mendasar dari sistem pendidikan itu sendiri, yakni upaya melahirkan manusia yang cerdas, terampil dan memiliki akhlak mulia, agak terabaikan. Oleh karena itu, kata Syafii Maarif, tidaklah heran apabila dunia pendidikan kita sekarang ini sedang diombang-ambingkan oleh tarikan gelombang materialisme dan ateisme yang kasar dan ganas (Maarif, 1999).

3. Pendidikan Barat versus Pendidikan Islam

Munculnya gejala mengabaikan dimensi pendidikan, dalam arti akhlak mulia, di negara kita disebabkan beberapa hal. Pertama, landasan pendidikan kita lebih mengacu pada filsafat materialisme dan positivisme sehingga hasil pendidikan lebih dilihat dan dinilai dari aspek materi dan lahiriah saja. Kedua, dasar filosofi pendidikan kita telah menyimpang dari jiwa kemanusiaan yang hakiki. Proses dan hasil pendidikan tidak banyak menampakkan wajah kemanusiaannya, tetapi justru sebaliknya, yang muncul adalah perilaku-perilaku yang menyerupai serigala, yaitu yang kuat memangsa yang lemah. Ketiga, kuatnya intervensi negara dalam dunia pendidikan sehingga banyak mereduksi ruang-ruang kreativitas dan imajinasi kemanusiaan. Akibatnya, produk pendidikan lebih banyak melahirkan manusia-manusia robot dan mekanis ketimbang manusia yang imajinatif, kreatif, dan berbudaya.

Umat Islam yang mengaku mengimani Al-Quran, tapi mayoritas mereka masih tertinggal di Dunia Ketiga dengan segala keterbelakangan, kemiskinan, dan kebodohan itu, tampaknya masih terlalu jauh untuk dapat ditampilkan sebagai pencipta dan pembawa obor peradaban baru yang segar, yang mungkin menjadi alternatif  bagi umat manusia. Kita mungkin sepakat bahwa peradaban yang akan datang itu haruslah sebuah peradaban yang ramah, yang menempatkan fitrah manusia pada posisi yang wajar, tidak pada posisi yang tanpa daya, dan tidak pula pada posisi yang congkak antroposentrik, yaitu tipe manusia yang dihasilkan oleh peradaban renaissance Eropa. Dalam peradaban Barat (renaissance Eropa), pola pikir dan nalar telah mendominasi dunia pendidikan, sementara pola zikir dan cinta (hubb) menjadi sangat telantar. Manusia fikir dan nalar memang telah berhasil menaklukan alam secara spektakuler, tetapi ia semakin kehilangan orientasi spritual. Pada abad modern, peradaban renaissance Eropa telah melahirkan orang-orang seperti Nietzsche, Bertrand Russell, Sartre, dan lain-lain.

4. Pendidikan Memanusiakan Manusia

Diskusi mengenai fenomena kemanusiaan dan pemanusiaan tidak dapat terhindar dari pembicaraan mengenai pendidikan, baik dalam makna persekolahan, pendidikan nonformal, maupun pendidikan sebagai jaringan-jaringan kemasyarakatan. Definisi umum mengatakan bahwa pendidikan merupakan proses pemanusiaan menuju lahirnya insan yang bernilai kemanusiaan. Agenda utama pendidikan adalah proses memanusiakan manusia menjadi manusia. Proses inilah yang disebut dengan pemanusiaan, yaitu proses membentuk manusia menjadi insan sejati. 

Memanusiakan manusia merupakan agenda utama pendidikan dan tujuan paling dasar dari perbuatan mendidik. Proses pendidikan mengandung makna adanya subjek dewasa yang menciptakan wacana bagi yang belum dewasa untuk keluar dari situasi ketidakdewasaan. Proses mengangkat subjek didik keluar dari situasi itu hanya akan berhasil, manakala para pendidik memiliki pengetahuan dasar mengenai citra dan pemuliaan manusia. Jika para pendidik memiliki citra dan citarasa mendalam mengenai manusia, maka mereka akan menjalankan proses pendidikan menuju pembentukan insan sejati.

5. Teori Taut dan Padan dalam Sistem Pendidikan Kita

Sebagai sebuah agenda proses kemanusiaan dan pemanusiaan, pendidikan dapat dipandang dari dua sisi, yaitu a) sebagai proses pendewasaan peserta didik untuk hidup pada alam demokrasi, dan b) sebagai wahana untuk memasuki sektor ekonomi produktif. Dikatakan oleh John Dewey bahwa agenda utama pendidikan  secara fungsional adalah membentuk komunitas-komunitas sosial yang ideal sebagai bagian dari proses transformasi pendewasaan peserta didik, apa pun bentuk dan seperti apa pun ragam pendidikan itu dikemas. Pemikiran John Dewey ini sangat bertolak belakang dengan sistem pendidikan yang dikembangkan di negara-negara Eropa Timur, yang menekankan pada konsep tata ekonomi berencana (planned economic order). Konsep ini mengatakan bahwa perencanaan pendidikan diupayakan taut dan padan (link and match) dengan perencanaan ekonomi, sehingga proses dan isi pendidikan dikendalikan oleh kebutuhan pasar kerja.

Memuncaknya angka pengangguran terdidik di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, bahkan juga di negara-negara maju, terutama sejak tahun 1980-an, membuat infrastruktur pendidikan harus ditata ulang dengan ancangan terpadu. Dalam hal ini, keterpaduan perencanaan pendidikan dengan perencanaan ketenagakerjaan nasional harus menjadi prioritas utama. Lembaga pendidikan juga harus menanamkan kepada peserta didik agar tidak terjebak pada tatanan pranata sosial dan ekonomi yang mapan, sehingga mereka secara kreatif dapat menciptakan lapangan kerja baru yang produktif. Dengan demikian, dapat terhindar dari peringatan Max Blaug (1970) bahwa pendidikan kekinian cukup potensial sebagai wahana meningkatkan angka pengangguran, mengingat makin banyaknya masyarakat terdidik yang tercabut dari akar kulturalnya (Danim, 2003). Dalam hal ini, struktur dan mekanisme praktik pendidikan di negara kita telah menghasilkan suatu sistem pendidikan yang tidak sensitif  terhadap ide-ide baru dan perkembangan masyarakat, khususnya perkembangan dunia kerja (Zamroni, 2000).

6. Empat Kelemahan Mendasar dalam Sistem Pendidikan Kita

Setidak-tidaknya ada empat kelemahan mendasar dunia pendidikan kita di Indonesia. Pertama, bidang manajemen dan ketatalaksanaan sekolah, termasuk perguruan tinggi. Kelemahan ini mencakup dimensi proses dan substansi. Pada tataran proses, seperti perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi belum dilakukan dengan prosedur kerja yang ketat. Pada tataran substansi, seperti personalia, keuangan, sarana dan prasarana, instrumen pembelajaran, layanan bantu, layanan perpustakaan, dan sebagainya, tidak hanya substansinya belum komprehensif, melainkan kriteria keberhasilan untuk masing-masing unsurnya juga belum ditetapkan secara taat asas. Kemampuan pendekatan proses operasional menuju capaian substantif sering mengalami hambatan, karena masalah perilaku birokrasi, apatisme, disiplin rendah, biaya yang kurang, instrumen pendukung yang tidak valid, sifat kompetitif yang belum tumbuh, dan dukungan masyarakat yang rendah. 

Kedua, komitmen pemerintah Indonesia yang lama dalam mengalokasikan dana pendidikan dinilai belum memadai. Mudah-mudahan pemerintahan baru sekarang ini, secara bertahap, akan menaikkan anggaran pendidikan dalam APBN menuju angka ideal 20 %. Ketiga, masalah kultural yang muncul pada dunia pendidikan kita adalah reformasi pendidikan akan sangat ditentukan oleh masyarakat pendidikan yang ada di lembaga pendidikan tersebut. Biasanya dalam lembaga pendidikan mana pun terdapat tiga kelompok yang berbeda : pertama adalah kelompok antusias, kedua adalah kelompok apatis, dan ketiga adalah kelompok status quo. Dalam reformasi pendidikan di tingkat mana pun, ketiga kelompok ini akan selalu ada. 

Keempat, faktor geografis yang menjadi kendala dalam mobilitas tenaga edukatif, kerjasama kelembagaan, kedekatan dengan sumber informasi, jaringan teknologi informasi, dan sebagainya. Faktor geografis inilah yang menyebabkan sulitnya menyusun kebijakan pendidikan yang bermutu, karena peserta didik menyebar mulai dari Jakarta hingga Lembah Baliem di Irian dan Suku Kubu di Jambi (Danim, 2003).

7. Basis Pendidikan Menuju Masa Depan
Dilihat dari aspek ekonomi, format dasar pemanusiawian pendidikan adalah terpenuhinya keunggulan akademik, keterampilan vokasional, dan keunggulan pribadi sebagai wirausaha yang fungsional bagi kehidupan lulusan. Dengan format dasar ini, kehadiran praksis pendidikan yang manusiawi akan menggeser paradigma kinerja sekolah dari back to basics ke forward to future basics. Paradigma ini menekankan pada lima titik tekan utama dalam memanusiawikan pendidikan, yaitu a) bagaimana berpikir (how to think), b) bagaimana belajar (how to learn), c) bagaimana menjadi manusia (how to be), d) bagaimana berkreasi (how to create), dan e) bagaimana menjalani kehidupan bersama (how to living together)

Jadi, praksis pendidikan yang manusiawi amat sarat dengan muatan demokrasi pendidikan, sehingga ia menjadi semacam pendidikan alternatif. Pendidikan model ini diorganisasikan dengan pola pendidikan yang kurikulumnya bersifat desentralistik, yaitu peserta didik dapat memilih materi pembelajaran sesuai dengan minatnya. Selain itu, materi yang disajikan harus sesuai dengan kebutuhan dan lingkungan, biayanya murah, sederhana, luwes birokrasinya, dan menempatkan peserta didik sebagai subjek. Inti demokrasi pendidikan adalah menempatkan manusia pada spektrum keberagaman, bukan keseragaman, baik potensi vokasional maupun bakatnya.
Sumber :

Tidak ada komentar:

Kisah Mata Air Keabadian

Kisah ini diriwayatkan oleh Ats-Tsa’labi dari Imam Ali ra. Pada zaman dahulu hiduplah seorang hamba Allah SWT yang melebihkan kepada d...