BAGIAN I :MODAL-MODAL
PENDIDIKAN KARAKTER
1.
Modal
Kita
Mervin Barkowitz (1998) mengatakan
bahwa kebanyakan pendidikan moral yang dilakukan di sekolah-sekolah, tidak
pernah memperhatikan bagaimana pendidikan itu dapat berdampak terhadap
perubahan prilaku. Salah satu masalahnya adalah cara pendidikan konvensional
yang mengabaikan aspek internal individu, yang terlalu sibuk dengan mengisi
aspek kognitif saja. Soal perilaku dan perasaan kerap diabaikan. Masalah yang
lain adalah orientasi pendidikan negeri ini yang masih terjebak pada
“kebiasaan” zaman colonial. Bersekolah, sejak zaman colonial, adalah upaya
menaikkan harkat dan martabat sosial.
Bentuk baru dari
orientasi menjadi “bangsawan baru” ini adalah meraih sukses. Pendidikan masa
kini adalah jembatan yang akan mengantarkan pesertanya menjadi pegawai; mental
yang mendasarinya adalah “santai dalam bekerja, mendapatkan gaji besar secara
rutin, menikmati pensiun dan kehormatan di masa tua.
MENINJAU
MAKNA SUKSES
Sukses menjadi
tujuan dari banyak manusia. Arah pendidikan link
and match bertujuan menciptakan SDM yang bisa tersambung dan cocok di dalam
dunia usaha dan kehidupan sehari-hari. Secara umum kekayaan dikaitkan dengan
modal atau “jumlah atau simpanan uang yang banyak”. Modal adalah apa pun yang
bisa diakses yang dapat meningkatkan kualitas hidup. Jadi modal bukan sekedar
uang. Danah Zohar dan Ian Marshall menegaskan bahwa modal dapat ditemukan dalam
tiga aspek: materiil, sosial, dan spiritual.
Dunia pendidikan
selama ini memfokuskan diri pada IQ (dan EQ).Ini barangkali karena ada anggapan
bahwa untuk hidup dibutuhkan kecerdasan agar dapat meraih modal materiil dan
modal sosial.Berbeda dengan aggapan ini, menurut Danah Zohar dan Ian Marshall,
modal yang perlu dikembangkan pertama kali justru modal spiritual (SC) yang
berarti pula bahwa kecerdasan yang pertama harus dikembangkan adalah kecerdasan
spiritual (SQ).
APA
ITU MODAL SPIRITUAL ?
Zohar dan Marshall lalu mengarahkan
pemahaman modal dan kekayaan dalam makna spiritual:
“Modal spiritual adalah kekayaan
yang membuat kita bisa hidup, kekayaan yang memperkaya aspek-aspek kehdiupan
kita yang lebih dalam. Itulah kekayaan yang kita peroleh dari makna dan nilai
terdalam, tujuan paling fundamental, dan motivasi tertinggi kita, dengan jalan
menemukan cara untuk mengintegrasikan semua itu dalam hidup dan kerja kita.
… SC adalah
modal yang dihimpun melalui pengabdian atau mencurahkan perhatian pada
persoalan-persoalan yang lebih mendalam mengenai manusia dan planet ini.SC
adalah modal yang merefleksikan berbagai nilai-bersama, visi-bersama, dan
tujuan mendasar kita dalam kehidupan.”
AKANKAH
KITA TERUS MENGABAIKAN MODAL SPIRITUAL?
Modal spiritual
sangatlah penting, modal spiritual terkait dengan sikap emosi atau
karakter.Maka, pendidikan sikap adalah pemberian motivasi agar kita
mempertimbangkan kembali makna hidup manusia dan mengangkat pertanyaan mengenai
bagaimana kita sendiri sanngup membangun kehidupan yang lebih luas dan lebih
kaya bagi diri kita sendiri.Dengan demikian, tujuan pendidikan adalah
mengarhkan peserta didik untuk memiliki kehidupan yang lebih kaya makna dan
tujuan, kehidupan yang dapat memberi rasa keberhasilan.
James Gleick,
menulis sebuah buku yang bagus judulnya Chaos Theory: Making a Newy Science. Memperkenalkan
konsep yang berbunyi “Seekor kupu-kupu yang mengepakkan udara dengan sayapnya
hari ini di Beijing, dapat menyebabkan tornado di New York tahu depan”.
Ide yang baik,
perbuatan yang baik, pasti akan menghasilkan yang baik juga. Insya Allah
2.
Memahami
Konteks Teoritis Pendidikan (Agama) Islam
Merujuk pada piramida terbalik
Maslow, kini saatnya dunia pendidikan mengubah paradigma.Bukan lagi mengarahkan
siswa untuk sekadar memiliki keterampilan mengerjakan soal-soal eksakta (IQ),
melainkan mendorong siswa untuk dapat mengaktualisasikan dirinya dan memiliki
kebiasan menemukan makna kehidupan. Untuk dapat mengembangkan pembalikan
paradigma Maslow, atau menjadikan makna spiritualitas sebagai muatan dasar
pendidikan agama Islam, berikut ini akan dikemukakan tinjauan atas teori-teori
pendidikan (apa arti pendidikan dalam kerangka makna Islam).
Konfernsi
Internasional Pendidikan Islam Pertama belum berhasil membuat rumusan yang
jelas tentang definisi pendidikan menurut Islam.Dalam bagian “rekomendasi”
konferensi tersebut, para peserta hanya membuat kesimpulan bahwa pengertian
pendidikan menurut Islam adalah keseluruhan pengertian yang terkandung di dalam
istilah takdim, tarbiah dan takdib.
Menurut Al-Attas
istilah takdib adalah istilah yang paling tepat digunakan untuk menggambarkan
pengertian pendidikan.Menurut abdul Fattah Jalal istilah lebih sempit
pengertiannya dari taklim. Kata tarbiah disebut 2 kali di dalam al-Qur’an,
yaitu pada surat Al-Isra ayat 24 dan surat Al Syu’ara ayat 18. Menurut Jalal,
kedua ayat di atas menjelaskan bahwa al-tarbiyah ialah proses pengasuhan pada
fase permulaan pertumbuhan manusia. Sedangkan istilah taklim tidak berhenti
pada pengetahuan yang lahiriah, juga tidak hanya sampai pada pengetahuan
taklid. Professor Ahmad Tafsir menyatakan bahwa pendidikan Islam ialah
bimbingan terhadap seseorang agar ia menjadi muslim yang maksimal.
PENDIDIKAN
DALAM KERANGKA TARBIAH
Kita dapat mulai dari pemaknaan
kata tarbiah.Kata tarbiah memiliki makna “meningkatkan” atau “membuat sesuatu
lebih tinggi”.Pengertian pendidikan menurut Al-Qur’an ini mengandung pra-anggapan
bahwa dalam diri manusia terdapat bibit-bit kebaikan atau potensi yang siap
dikembangkan.Bibit-bibit itu dapat juga terhambat, tersumbat dan mungkin saja
mati jika tidak dikembangkan. Ini jelas berbeda dengan anggapan bahwa diri
manusia seperti “kertas putih” yang menerima begitu saja “tulisan” dari pihak
luar.
Fitrah bukanlah
sesuatu yang bersih, kosong, seperti tabula rasa.Fitrah manusia tidak kosong,
melainkan isi. Isinya adalah “perjanjian primordial yang suci.”“Bukanlah Aku ini
Tuhanmu?”Mereka menjawab, “Benar (Engkau Tuhan Kami), Kami menjadi saksi”. (QS.
Al-A’raf [7]:172). Nasr memberi komentar menarik atas ayat ini:
“Semua manusia,
laki-laki dan perempuan, pada dasarnya tetap menyimpan gaung “pembenaran” ini
di dalam lubuk hati mereka yang paling dalam, dan panggilan Islam tepatnya
diarahkan pada sifat primordial ini, yang telah mengungkapkan “pembenaran”
bahkan sebelum penciptaan langit dan bumi. Oleh karena itu panggilan Islam bertujuan,
lebih dari segalanya, mengingatkan kembali pengetahuan yang telah ditanamkan di
dalam diri manusia, pembenaran akan pengetahuan yang dapat menyelamatkan, dan
karenanya, mengingatkan fungsi penyelamatan dari pengetahuan di dalam Islam”
Lebih lanjut lagi,
Nasr memberi catatan bahwa dosa dalam agama Islam bukanlah berasal
ketidakpatuhan, yang telah mencengkeram hawa nafsu.Dosa dalam Islam adalah
kealpaan dan ketidakmampuan dalam mumusingkan akal sesuai dengan tujuan
penciptaanya oleh Tuhan.
PENDIDIKAN
DALAM KERANGKA TAKDIB
Selain tarbiah, pendidikan pun
dapat mengacu pada kata lain yaitu takdib. Seyyed Naquib Al-Attas memiliki
keyakinan bahwa pada saat ini, takdib lebih dibutuhkan daripada tarbiah.Bahkan
Al-Attas menganggap bahwa dalam takdib telah tercakup tarbiah dan taklim.Untuk
dapat mendudukkan klaim-klaim ini, ada baiknya kita memandang keyakinan
Al-Attas ini berdasar konteksnya.Karena saat ini umat Islam mengalami
kemunduran mental dan karakter, takdib lebih dibutuhkan, dank arena itu pula
kerangka tarbiah dan taklim diletakkan di bawah kendali takdib.Hal ini,
misalnya dapat dikuatkan oleh perujukan Al-Attas pada pernyataan Ibn Al-Mubarak
bahwa “kita lebih memerlukan adab daripada ilmu yang banyak”.
Pendidikan
menurut Al-Attas adalah “penyemaian dan penanaman adab dalam diri seseorang”
atau takdib. Dari batasan ini, Al-Attas mengemukakan prinsip dasar
pendidikannya:
“Orang baik
adalah orang yang mendasari sepenuhnya tanggung jawab dirinya kepada Tuhan Yang
Hak; yang memahami dan menunaikan keadilan terhadap dirinya sendiri dan orang
lain dalam masyarakatnya; yang terus berupaya meningkatkan setiap aspek dalam
dirinya menuju kesempurnaan sebagai manusia yang beradab”.
AL-QUR’AN
ADALAH JAMUAN MAKAN BAGI PEMBELAJAR
Karena kata adab berarti juga
“undangan ke sebuah jamuan makan”, Al-Attas memandang Al-Qur’an sebagai
undangan Tuhan kepada manusia untuk menghadiri jamuan makan di atas muka bumi (mu’addabah Allah fil Ardl), tempat kita
mengambil bagian di dalamnya dengan cara mengetahuinya (fa ta’llamu min ma’dabatihi). Lebih jauh Al-Attas menjelaskan:
“Kitab Al-Qur’an
adalah undangan Tuhan kepada manusia untuk menghadiri jamuan kerohanian, dan
cara memperoleh ilmu pengetahuan yang sebenarnya mengenai Al-Qur’an adalah
dengan menikmati makanan-makanan lezat yang tersedia dalam jamuan kerohanian
itu. Artinya, karena kenikmatan makanan yang lezat dalam jamuan istimewa itu
ditambah kehadiran kawan yang Agung dan Pemurah, dank arena makanan tersebut
dinikmati menurut cara-cara, sikap, dan etiket yang suci, hendaknya ilmu
pengetahuan yang dimuliakan sekaligus dinikmati itu didekati dengan perilaku
yang sesuai dengan sifatnya yang mulia”.
Al-Qur’an
sebagai undangan bagi jamuan makan kerohanian memiliki dua konsekuensi.Pertama, untuk dapat menghadiri
perjamuan itu dibutuhkan sejumlah metode.Kedua,
pada saat menyantap makanan ada energi yang diserap, kenikmatan, dan
aktivitas baru yang lebih bermanfaat.
BAGIAN II :
PARADIGMA PENDIDIKAN KARAKTER
3.
Meninjau
Kompetensi Pendidikan
Professor Ahmad Tafsir, dalam
diskusi pendidikan kompetensi, pernah berkata, “Belajar itu melewati tiga
maqam: knowing, doing, dan being. Selama ini kita terjebak pada melulu knowing,
akhirnya kita tak tahu kapan bertindak untuk kemaslahatan dan kapan memasuki
diri sendiri sebagai manusia yang pandai tersenyum!”Knowing, mengetahui sekadar mengetahui, atau pengetahuan saja,
adalah cara kita selama ini mengakses informasi. Buku dibaca, lalu seluruh
isinya ditumpahkan ke dalam kepala. Pada kesempatan tertentu, di hari baik
bulan baik, kita meluberkan seluruh isi itu dalam bentuk kata-kata yang sama
lain sejenisnya. Tetapi dalam kehidupan nyata, keseharian, kita terjebak pada
iri dengki dan rasa putus asa yang sangat, lalu bunuh diri.Inilah risiko hanya
terfokus knowing.
Knowing saja
menjebak kita menjadi orang yang “hanya ingin tahu”.Dan menurut Heidegger
–filsuf Eksistensi asal Jerman– ini membahayakan.Bagi filsuf ini, hidup manusia
pertama kali terkait dengan dunia keseharian dan benda-benda.Dunia kesharian, bagi
Husserf, lebenswelt, adalah dunia akal sehat atau kewajaran. Kesimpulan bahwa
dunia keseharian berada dalam kewajaran ini berasal dari anggapan bahwa semua
yang ada (manusia, hewan, tetumbuhan dan bebatuan) memiliki cara mengada yang
sama.
Mengetahui saja
tanpa terkait dengan tindakan nyata, bukanlah cara belajar yang bik. Akibatnya
pengetahuan dan tindakan akan terpisah jauh. Pengetahuan jadi tak berefek
manfaat, bahkan sebaliknya menjadi mudharat.
TEORI
TINDAKAN HANNAH ARENDT
Hannah Arendt adalah mahasiswa
kesayangan Heidegger, bahkan sempat menjadi kekasihnya.Hannah Arendt
mengembangkan teori vita active (kehidupan aktif) yang ada hubungannya dengan
knowing-doing-being.Dengan teori vita active, Arendt membagi aktivitas manusia
dalam kerja, karya, dan aksi politik.
Kerja
merupakan tuntutan agar manusia bisa hidup.Seperti binatang, manusia harus
memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasariah untuk hidup.Karya merupakan aktivitas manusia dalam menghasilkan objek,
menguasai alam, dan membebaskan diri dari ketertundukan binatang.Tindakan, terkait dengan ruang
publik.Ruang publik terdiri dari du dimensi, yaitu (1) ruang kebebasan politik
dan kesamaan, dan (2) dunia bersama. Melalui tindakan kita dapat berhubungan
secara baik dengan manusia lain di lingkungan masyarakat kita.
Jadi, bila
meminjam vita active Hannah Arendt,
tujuan pendidikan berkompetensi adalah menciptakan manusia yang sanggup
melakukan tindakan politik, perbaikan kehidupan bersama di ruang publik.
4.
Merumuskan
Ulang Tujuan Pendidikan
Tujuan pendidikan seharusnya
mempersiapkan individu untuk cakap dalam kehidupannya di tengah seluruh
perubahan dan kemungkinan perkembangan zaman.
Dalam Undang-undang
No. 20 tahun 2004, tentang Sistem Pendidikan Nasional, dikemukakan tujuan
pendidikan nasional.Tujuan pendidikan nasional ini sangatlah menarik, karena
telah mengarahkan dunia pendidikan pada wilayah karakter berbangsa dan
bernegara.
INSAN
KAMIL SEBAGAI TUJUAN PENDIDIKAN ISLAM
Konsep insan kamil, oleh beberapa
teoritisi filsafat Pendidikan Islam, telah dirujuk menjadi tujuan
pendidikan.Konsep insan kamil sebenarnya berkaitan dengan fungsi khalifah bagi
manusia.Ibn ‘Arabi mengatakan bahwa jabatan khalifah hanya milik insan kamil,
karena pada dirinya –dari aspek batin– terproyeksi pula nama-nama dan
sifat-sifat Ilahi.Khilafah zhahiriyah dan khilafah ma’nawiyah inilah yang
membentuk gagasan insan kamil.Keduanya saling mengisi dan menunjang, khilafah
eksternal merupakan aspek tindakan yang dikendalikan dan bersumber pada
khilafah internal.
Konsep insan
kamil terkait dengan konsep khalifah.Suatu jabatan yang diberikan pada manusia,
melalui kisah Adam.“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat,
“Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi”.Mereka
berkata, “Apakah Engkau akan menjadikan di muka bumi itu orang yang akan
membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa
bertasbih dengan memuji dan menyucikan engkau?” (QS. Al-Baqarah. [2]: 30).
Karena insan
kamil hanya dapat diperoleh “hanya satu orang dalam setiap zaman”, gagasan
tujuan ideal insan kamil tak dapat dipenuhi.Maka tujuan pendidikan Islam secara
realistis hanya dapat berkisar pada manusia saleh yang utuh, saleh pada dirinya
dan sanggup mentransformasikan ke luar dirinya.
TUJUAN
PENDIDIKAN ISLAM :
MENDORONG SISWA
MENJADI ULUL ALBAB
Al-Qur’an sebenarnya memiliki
istilah yang lebih konkret daripada insan kamil –yang secara verbal tak
disebutkan Al-Qur’an.Istilah itu adalah ulul
albab.Jalaluddin Rahmat dalam Islam Aktual (1992) telah melakukan
penguraian ciri-ciri ulul albab yang cukup penting sumbangannya bagi perumusan
tujuan pendidikan Islam.Melalui ciri-ciri ulul
albab ini, orientasi pendidikan Islam dapat dilakukan secara realistis.
Adapun ciri-ciri insan kamil adalah sebagai berikut:
a.
Bersungguh-sungguh mencari ilmu termasuk
juga bersungguh-sungguh menafakuri dan mensyukuri ciptaan Allah.
b.
Mampu misahkan yang jelek dari yang
baik.
c.
Kritis dalam mendengarkan pembicaraan,
pandai menimbang-nimbang ucapan, teori, proposisi atau dalil yang dikemukakan
orang lain.
d.
Bersedia menyampaikan ilmunya kepada
orang lain untuk memperbaiki masyarakatnya.
e.
Tidak takut kepada siapa pun kecuali
kepada Allah.
KONSEKUENSI
KONSEP ULUL ALBAB BAGI PENDIDIKAN
Bila ulul albab menjadi tujuan
pendidikan, maka ciri-ciri ulul albab dapat menjadi capaian pendidikan.
Pendidikan harus dapat mendorong peserta didik menjadi manusia pembelajar (yang
bersungguh-sungguh mencari ilmu, bersungguh-sungguh menafakuri dan mensyukuri
ciptaan Allah, mampu memisahkan yang jelek dari yang baik, mempertahankan
kebaikan walaupun kejelekan itu dipertahankan oleh sekian banyak orang, kritis
dalam mendengarkan pembicaraan, pandai menimbang-nimbang ucapan atau teori).
Pendidikan dapat
membantu peserta didiknya menjadi manusia ihsan, yang berbuat baik dengan
tindakan yang baik berdasarkan ketakwaan kepada Allah semata.Ada enam ciri khas
pendidikan karakter.
a.
Menjadikan manusia memiliki sikap
“terpesona” dan “kagum” ketika melihat anugerah Allah.
b.
Menghargai kebebasan dalam pembelajaran.
c.
Menekankan sikap magis bagi setiap anak
didik.
d.
Setiap anak didik diharapkan mampu
menemukan dan memilih apa yang menjadi kehendak Allah.
e.
Pendidikan Karakter diharapkan mampu
menjadikan manusia sebagai man or woman
for others.
f.
Penegasan atas dasar cinta kasih sejati
(discerta caritas) disertai dengan
“perhatian personal” (cura personalis) adalah dasar dari semuanya.
5. Prinsip-Prinsip Pendidikan Islam
PRINSIP
KE-1: INTEGRASI ILMU
Prinsip ini menegaskan firman Allah
“Kebenaran itu berasal dari Allah, maka janganlah engkau meragukan-Nya” Melalui
ayat ini, ilmuwan muslim sepakat bahwa sumber ilmu adalah Allah sendiri, Sang
Kebenaran. Inilah yang menjadi dasar dari prinsip integrasi ilmu, bahwa
semuanya berasal dari Allah maka seluruh keberbedaan yang ada sebenarnya berada
dalam satu kesatuan.
a. TAUHID DAN INTEGRASI
Prinsip dasar
bagi seluruh aktivitas muslim adalah tauhid, yaitu prinsip pengakuan akan
keesaan Tuhan. Kalimat “La ilaaha illa llah” menegaskan bahwa hanya Allah saja
yang harus disembah, sekaligus juga dalam kajian filsafat berarti “tidak ada
yang Ada kecuali Allah saja”.Keesaan Tuhan bagi para filsuf berarti bahwa Tuhan
haruslah simple (basith), tidak boleh tersusun dari apapun kecuali zat-Nya
sendiri.
b. INTEGRASI DAN ILMU
Dalam tradisi
Islam, pengetahuan adalah terjemahan dari ‘ilm. Menurut Sardar, konsep
Al-Qur’an tentang ‘ilm pada awal mulanya membentuk ciri-ciri utama peradaban
muslim dan menuntunnya menuju puncak kejayaan. Waktu itu, sebagaimana
seharusnya saat ini, ‘ilm membentuk bagaimana jalan yang terbaik bagi kaum
muslim untuk memandang realitas dan membentuk serta mengembangkan suatu tatanan
masyarakat yang tertib.‘Ilm adalah perekat yang mengikat masyarakat muslim dengan
lingkungannya, dan dengan demikian memberi Islam suatu bentuk yang senantiasa
bergeliat dinamis dan hidup.
PRINSIP
KE-2: KEBERJENJANGAN REALITAS
Prinsip keberjenjangan realitas
merupakan konsekuensi dari prinsip tauhid.Dari prinsip ini turun menjadi keberjenjangan
(hierarki) realitas (dari materiil menuju immaterial), hierarki kesadaran, dan
hierarki ilmu. Keberjenjangan ini tentu saja akan mempengaruhi proses
pendidikan.
PRINSIP
KE-3: TAZKIAH (TAKHLLI, TAHALLI, DAN TAJALLI)
Tazkiah adalah penyucian diri.Prinsip
ini merupakan konsekuensi dari konsepsi bahwa ilmu itu dari Allah dan karenanya
bersifat suci. Sesuatu yang suci hanya bisa diterima oleh yang suci pula,
karena itulah maka penyucian jiwa merupakan satu-satunya cara untuk mendapatkan
ilmu. Tujuan tazkiah, menurut Sardar, adalah memurnikan dan membentuk diri.
PRINSIP
KE-4: KEBERGANTUNGAN PADA OTORITAS DAN PERANAN GURU
Al-Qur’an menyeru pada umat Islam
untuk bertanya mengenai kebenaran kepada orang yang tepat dan otoritatif di
bidangnya (ahl dzikr) jika tidak mengetahui sesuatu.Dari seruan Al-Qur’an ini
turunlah prinsip bahwa pendidikan berporos pada guru, selain kepada
ilmu.Penddikan Islam adalah pencarian dan pengakuan otoritas yang benar.
Guru menjadi
pusat, dan murid sangat bergantung pada otoriats sang guru. Guru harus mencapai
kualifikasi ahl-dzikr, sebagaimana
juga murid haruslah memiliki iradah (kemauan) yang ikhlas. Seperti yang
ditekankan Al-Ghazali bahwa seorang murid tidak boleh berlaku sombong, harus
memperhatikan mereka yang mampu membantunya dalam mencapai kebijaksanaan,
kesuksesan dan kebahagiaan.
PRINSIP
KE-5: KEADILAN
Keadilan adalah salah satu nama
Tuhan. Tuhan adalah al’Adil,dan juga al-Muqsit, serta Hakam, artinya Tuhan adalah Mahaadil dan sekaligus keadilan,
Keseimbangan dan Pelaksanaan Keadilan itu sendiri. Menurut Ali bin Abi Thalib,
keadilan adalah meletakkan sesuatu pada tempatny. Keadilan terkait dengan
keseimbangan, memberikan pada setiap sesuatu di tempatnya sesuai dengan
statusnya. Lalu karena Tuhan juga al-Haqq (Kebenaran dan Realitas Tertinggi)
maka muncullah keputusan apa yang menjadi bagian dari setiap sesuatu dan
keputusan tentang hokum dan hak-hak.
6.
Paradigma
Pengembangan Pendidikan Islam
Merujuk pada pemikiran Caknur, maka
arah Pendidikan Agam Islam (PAI) adalah membuat manusia menjadi lebih
mulia.Atau bila kita merujuk pada makna, kata edukasi –dari kata e-ducare, yang berarti menggiring ke
luar– dapat diartikan sebagai usaha pemuliaan manusia atau pembentukan manusia.
Fungsi pendidikan adalah meningkatkan kadar kemanusiaan, atau menumbuhkan
benih-benih kebaikan yang sedari awal sudah dimiliki oleh tiap manusia.
KERANGKA
PENGEMBANGAN MATERI AL-QUR’AN – HADIS
Al-Qur’an, mengutip Ibn Taymiyah,
adalah wahyu yang diturunkan (al-wahy al-Munazzalah) sebagai pelengkap bagi
wahyu yang ditetapkan di dalam diri manusia. Al-Qur’an, dalam kerangka ini
memiliki nilai yang sama seperti nilai yang dimiliki diri manusia. Nilai atau
prinsip adalah hokum yang tetap yang berlaku pada semua manusia, sebagaimana
hokum alam berlaku secara pasti dan tetap pada gejala alam raya.Hukum gravitasi
misalnya berlaku pada semua benda-benda di bumi, Hadis adalah sejumlah
kesaksian atas perkataan dan tindakan Rasul Muhammad yang berfungsi sebagai
terjemahan praktis dari Al-Qur’an.Al-Qur’an juga berisi makna dan nilai
terdalam, tujuan paling fundamental, dan motivasi tertinggi kehidupan manusia.
Tindakan
efektif, menurut Stephen Covey, hanya bisa dicapai bila berpusat pada
prinsip-prinsip tetap yang mulia.Merujuk pada buku Danah Zohar & Ian Marshall,
manusia seharusnya meraih kekayaan yang membuatnya bisa hidup, kekayaan yang
memperkaya aspek-aspek kehidupannya yang lebih dalam.Kekayaan seperti ini dapat
diperoleh dari maknadan nilai terdalam, tujuan paling fundamental, dan motivasi
tertinggi, dan integrasi kesemuanya dalam hidup dan kerja.Kesemuanya disebut
Zohar sebagai modal spiritual.
KERANGKA
PENGEMBANGAN MATERI AKIDAH AKHLAK
Akidah adalah pandangan hidup,
yaitu cara melihat dan bertindak dalam dunia (weltanschauung, word view). Pandangan hidup berisikan makna, nilai,
tujuan, dan motivasi dalam kehidupan kita. Pandangan hidup seseorang
mengungkapkan persepsinya tentang duni dengan cara tertentu, sehingga
kepercayaan dan praktik hidupnya jadi selaras. Akhlak adalah bagaimana cara berlaku di bawah bimbingan pandangan
hidupnya. Bila pandangan hidupnya berpusat pada prinsip-prinsip dalam
Al-Qur’an, akhlak yang muncul adalah akhlak Al-Qur’an.
Kaitannya dengan
Al-Qur’an sebagai prinsip, Akidah adalah turunan nilai Al-Qur’an dalam bentuk
pandangan hidup yang bisa dipraktikan. Jadi, bila dirunutkan, Al-Qur’an – Hadis
adalah sumber nilai/prinsip, Akidah adalah cara pandang atau pernyataan misi,
sejenis blue print (hendak jadi apa
diri pribadi) kepribadian dan kehidupan siswa, kemudian akhlak adalah tindakan
yang dibimbinga oleh blue print
Qur’ani/hadis.
KERANGKA
PENGEMBANGAN MATERI FIKIH
Fikih, pada awalnya berarti
“pemahaman” atau upaya manusia memahami apa yang harus dilakukan sebagai orang
beriman. Pada perkembangan selanjutnya fikih berubah menjadi sejumlah hukum
bagi mukallaf (subjek hukum). Fikih merupakan pasangan dari akhlak, memberikan
kelengkapan pada apa yang dicapai dan dibiasakan melalui akhlak. Bila akhlak
mengarahkan pengembangan potensi diri dengan merujuk pada potensi diri demi
pencapaian kebahagiaan/kebebasan rohani, fikih mengarahkan pengembangan poensi
diri dengan mempertimbangkan adanya pihak lain yang terlibat dan berpengaruh
dalam hidup.
Arah
pengembangan pembelajaran fikih masih dalam kerangka pembangkitan kecerdasan
spiritual.Ini berarti uraian mengenai hukum dan ibadah wajib/rukun Islam (dua
materi utama fikih) lagi-lagi tidak sekadar hafalan.Fikih harus tetap diarahkan
pada orientasi penemuan makna, nilai, tujuan, dan motivasi dalam
kehidupan.Setiap perintah dan rukun Islam harus dapat ditemukan maknanya,
nilainya, serta tujuannya bagi pengembangan diri manusia.
KERANGKA
PENGEMBANGAN MATERI SEJARAH PERADABAN ISLAM
Sejarah dalam Al-Qur’an difungsikan
sebagai ibrah.Melalui sejarah, siswa dapat menemukan model dan akibat dari
tindakan yang telah terjadi dalam sejarah kehidupan manusia. Sejarah dapat
menunjukkan bahwa bila seseorang atau suatu masyarakat menerapkan ajaran
Al-Qur’an – Hadis, Akidah-Akhlak, dan Fikih maka akan menghasilkan kejayaan dan
kebahagiaan dunia akhirat. Sejarah menjadi cermin dan motivasi bagi siswa untuk
semakin mencintai seluruh ajaran Islam.
STRATEGI
PERBAIKAN METODE PEMBELAJARAN
Seluruh pengembangan mata pelajaran
PAI tersebut berimplikasi pada perubahan metode pembelajaran. Proses belajar
mengajar tidak lagi satu arah, guru memberi, mengisi, dan mencetak siswa.
Sperti kutipan pemikiran Peter L. Berger, pewartaan agama harus mulai
menggunakan strategi abduksi.
Abduksi dalam
metode pembelajaran mensyaratkan bahwa guru harus memahami dunia siswanya, gaya
hidup, pola ungkapan, dan orientasi siswanya. Pemahaman akan dunia siswa ini
menjadi modal dasar. Melalui pemahaman ini guru dapat memahami semua tingkah
pola siswa, sekaligus memiliki kekuatan untuk mengarahkan siswa yang, pada satu
sisi sesuai dengan materi pelajaran, dan pada sisi lain dapat diterima siswa
karena tidak mencela atau menyalahkan dunia siswa. Pemahaman akan dunia-siswa
kemudian menjadi kendaraan bagi pengajaran nilai-nilai. Maksudnya, seorang guru
dapat saja mengajarkan Al-Qur’an dengan diawali oleh kutipan lagu popular, atau
film popular. Melalui cara ini, siswa dapat menerima secara cepat sekaligus
memiliki gambaran bagaimana menerapkan nilai dalam kehidupan dunia mereka.
BAGIAN III:
EKSPERIMEN PENDIDIKAN KARAKTER
7.
PARADIGMA
PENDIDIKAN KARAKTER
Pendidikan karakter adalah
pendidikan untuk “membentuk” kepribadian seseorang melalui pendidikan budi
pekerti, yang hasilnya terlihat dalam tindakan nyata seseorang, yaitu tingkah
laku yang baik, jujur, bertanggung jawab, menghormati hak orang lain, kerja keras,
dan sebagainya (Thomas Lickona, 1991). Hal ini dapat dikaitkan dengan tujuan takdib, yaitu pengenalan dan afirmasi
atau aktualisasi hasil pengenalan.
PENDIDIKAN
KARAKTER DALAM SEJARAH
Secara historis pendidikan karakter
merupakan misi utama para nabi.Muhammad Rasulullah sedari awal tugasnya
memiliki suatu pernyataan yang unik, bahwa dirinya diutus untuk menyempurnakan
karakter (akhlak). Manifesto Muhammad Rasulullah ini mengindikasikan bahwa
pembentukan karakter merupakan kebutuhan utama bagi tumbuhnya cara beragama
yang dapat menciptakan peradaban. Pada sisi lain, juga menunjukkan bahwa
masing-masing manusia telah memiliki karakter tertentu, namun perlu
disempurnakan.
Islam hadir
sebagai jalan untuk menyempurnakan karakter.Al-Qur’an adalah buku ajar yang
menghadapi peserta didik masyarakat Arab yang berkarakter belum
sempurna.Sejarah mencatat, misalnya, bangsa Arab memiliki muru’ah (keutamaan
demi kehormatan) tertentu yang terbatas pada kehormatan sukunya belaka.Melalui
Al-Qur’an, secara perlahan dan bertahap, karakter itu dibentuk ke dalam prinsip
“ketundukan, kepasrahan, serta kedamaian” (makna dasar Islam).
DUA
PARADIGMA PENDIDIKAN KARAKTER
Ada dua paradigm dasar pendidikan
karakter.Pertama, paradigm yang
memandang pendidikan karakter dalam cakupan pemahaman moral yang sifatnya lebih
sempit (narrow scope to moral educatioan).Pada
paradigm ini disepakati telah adanya karakter tertentu yang tinggal diberikan
kepada peserta didik.Kedua, melihat
pendidikan dari sudut pandang pemahaman isu-isu moral yang lebih luas.Paradigma
ini memandang pendidikan karakter sebagai sebuah pedagogi, menempatkan individu
yang terlibat dalam dunia pendidikan sebagai pelaku utama dalam pengembangan
karakter.Paradigma kedua memandang peserta didik sebagai agen tafsir, penghayat,
sekaligus pelaksanaan nilai melalui kebebasan yang dimilikinya.
PRINSIP-PRINSIP
PENDIDIKAN KARAKTER
Ada beberapa prinsip dasar
pendidikan karakter, yaitu:
a.
Manusia adalah makhluk yang dipengaruhi
dua aspek, pada dirinya memiliki sumber kebenaran dan dari luar dirinya ada
juga dorongan atau kondisi yang mempengaruhi kesadaran.
b.
Karena menganggap bahwa perilaku yang
dibimbing oleh nilai-nilai utama sebagai bukti dari karakter, pendidikan
karakter tidak meyakini adanya pemisahan antara roh, jiwa, dan badan.
c.
Pendidikan karakter mengutamakan
munculnya kesadaran pribadi peserta didik untuk secara ikhlas mengutamakan
karakter positif.
d.
Pendidikan karakter mengarahkan peserta
didik untuk menjadi ulul albab yang
tidak hanya memiliki kesadaran diri.
e.
Karakter seseorang ditentukan oleh apa
yang dilakukannya berdasarkan pilihan.
8. Mengenali Metode Pendidikan
Karakter
METODE-METODE
PENDIDIKAN KARAKTER
Secara umum, Ratna Megawangi
menengarai perlunya penerapan metode 4 M dalam pendidikan karakter, yaitu mengetahui,
mencintai, menginginkan, dan mengerjakan (knowing
the good, loving the good, desiring the good, and acting the good) kebaikan
secara simultan dan berkesinambungan. Metode ini menunjukkan bahwa karakter
adalah sesuatu yang dikerjakan berdasarkan kesadaran yang utuh.Sedangkan
kesadaran utuh itu adalah sesuatu yang diketahui secara sadar, dicintainya, dan
diinginkan.Dari kesadaran utuh ini, barulah tindakan dapat menghasilkan
karakter yang utuh pula.
Doni A. Koesoema
mengajukan lima metode pendidikan karakter (dalam penerapan di lembaga
sekolah), yaitu mengajarkan keteladanan,
menentukan prioritas, praksis prioritas, dan refleksi.
TUJUH
KUALITAS PENDIDIKAN KARAKTER
Rusworth Kidder dalam How Good
People Make Tough Choices (1995) memberikan tujuh kualitas yang diperlukan
dalam pendidikan karakter, yaitu Seven E’s (Empowered,
Effective, Extended into the community, Embedded, Engaged, Epistemological,
Evaluative).
PENDIDIKAN
KARAKTER:
PENDIDIKAN
BERBASIS KOMUNITAS
Berdasarkan metode tersebut, jelas
terlihat bahwa pendidikan karakter mensyaratkan dukungan dari semua pihak.Unsur
pelaku pendidikan karakter tidak hanya peserta didik dan guru, melainkan juga
melibatkan masyarakat (komunitas sekolah, dan komunitas di sekitar peserta
didik).
Islam sejak mula
menyadari bahwa pengembangan pribadi hanyalah salah satu ikhtiar yang
diperlengkapi dengan pengembangan masyarkat yang menunjang pengembangan pribadi
itu.Sayangnya, kehidupan modern memecah dua orientasi ini sehingga mengarhkan
umat Islam hanya terfokus pada pengembangan diri dan menggunakan sistem sosial
yang berbeda.Beberapa pemikiran fundamentalis menyadari hal ini dan mengusulkan
pembentukan Negara berbasis syariat.Namun pembentukan Negara syariat ini masih
memiliki kelemahan fundamental bila tidak dibangun oleh pribadi-pribadi
qur’ani. Kelemahan lain adalah munculnya konflik dan klaim kebenaran yang
didukung kekuasaan. Alih-alih dapat membangun peradaban Islam, penegakan
syariat Islam justru akan menciptakan perpecahan dan citra buruk bagi dunia
Islam.
9.
Rancangan
Pendidikan Karakter Berbasis Al-Qur’an
BAGAIMANA
MERANCANG PENDIDIKAN KARAKTER?
Batasan karakter berada dalam dua
wilayah.Ia diyakini ada sebagai sifat fitri manusia, sementara pada sisi lain
ia diyakini harus “dibentuk” melalui metode pendidikan tertentu. Aristoteles
meyakini bahwa indvidu tidak lahir dengan kemampuan untuk mengerti dan
menerapkan standar-standar moral, dibuthkan pelatihan yang berkesinambungan
agar individu menampakkan kebaikan moral.Semantara Socrates meyakini bahwa ada
bayi moral dalam diri manusia yang meminta untuk dilahirkan, tugas pendidikan
adalah membantu melahirkannya.
Secara praktis
dapat dirumuskan apa yang harus dikembangkan sebagai model pendidikan karakter.
Pertama, menggunakan metode pembidanan Socrates untuk membangkitkan kesadaran
akan pentingnya karakter tertentu. Formula 4 M Ratna Megawangi dapat digunakan.
Mengetahui, mencintai, menginginkan dan mengerjakan (knowing the good, loving the good, desiring the good, and acting the
good) adalah urutan proses pengajaran yang bermula dari memberikan pengetahuan peserta didik tentang
kebaikan, menggiring atau mengondisikan agar peserta didik mencintai kebaikan tersebut, kemudian membangkitkan peserta didik
agar menginginkan karakter yang
diajarkan, dan terakhir mengondisikan peserta didik agar mengerjakan kebaikan secara sukarela, simultan dan
berkesinambungan.
KARAKTER
APA YANG HARUS DIAJARKAN?
Karakter yang harus diajarkan
adalah karakter yang mempunyai nilai permanen dan tahan lama, yang diyakini
berlaku bagi semua manusia.Covey, seperti dikemukakan di atas, mengemukakan
sejumlah prinsip nilai yang dianggap berlaku bagi semua manusia.Covey bahkan
meyakini bahwa prinsip-prinsip ini adalah hukum alam bagi kehidupan manusia,
yaitu hukum yang bisa berlaku secara universal pada semua manusia di manapun
dan kapanpun.Prinsip-prinsip itu adalah keadilan, integritas, kejujuran,
martabat, pelayanan, kualitas, dan pertumbuhan.
BAGAIMANA
MENJADIKAN AL-QUR’AN SEBAGAI BASIS PENDIDIKAN KARAKTER?
Secara teknis, urutan pendidikan
karakter berbasis Al-Qur’an dapat berlangsung dengan urutan sebagai berikut:
1. PENGALAMAN PEMBELAJARAN ATAU
PENGENALAN
Pengalaman
adalah suatu kegiatan yang melibatkan dimensi kognitif dan afektif.Melalui
pengalaman peserta didik mengalami suatu tantangan terhadap pengetahuan yang
sudah dimilikinya dengan fakta, ide, dan masukan baru dari pendidik.
2. REFLEKSI
Refleksi adalah
proses pencarian arti untuk pengalaman pembelajaran. Refleksi merupakan suatu
proses (1) untuk mengedepankan perolehan makna dalam pengalaman manusia dengan
pemahaman lebih baik mengenai kebenaran yang telah dipelajari; (2) untuk
mengerti akan sumber perasaan reaksi yang dialami seseorang lewat apa yang
dipelajari; (3) untuk memperdalam pemahaman tentang implikasinya baik bagi
dirinya sendiri maupun bagi orang lain; (4) untuk mendapat pengertian personal
akan kejadian-kejadian dan ide-ide yang ada.
3. AKSI ATAU AFIRMASI
Aksi adalah
upaya untuk mengajari peserta didik dalam melakukan pilihan-pilihan dari
berbagai sistem nilai yang ada. Akal disini berarti penentuan pilihan yang
mengubah cara pandang lama ke cara pandang baru. Misalnya, peserta didik
diminta untuk menyadari kebiasaan lamanya dan membandingkan dengan prinsip
tindakan yang telah dihasilkan dalam refleksi; kemudian peserta didik didorong
untuk “mengganti” atau “mengubah” tindakannya.
4. EVALUASI
Evaluasi berarti
student centered evaluation. Evaluasi dilakukan dalam konteks dan pengalaman
peserta didik yang melakukan tindakan atau aksi.Jadi yang digunakan bukan sudut
pandang pendidik.Pendidik adalah subjek yang menemani peserta didik untuk
berkembang, yang berarti juga teman bagi peserta didik untuk menilai
perkembangan dirinya. Hasil yang ingin diraih dari evaluasi: peserta didik
mampu mengerti dengan kesadarannya sendiri, terlebih tentang posisi dirinya
terhadap tindakan yang dievaluasi.
APA
YANG HARUS DILAKUKAN GURU DALAM PENDIDIKAN KARAKTER?
1)
Pendidik harus mengenali dan
memperhatikan pengertian-pengertian yang dibawa oleh seorang peserta didik
ketika memulai proses belajar mengajar;
2)
pendidik perlu tahu kemampuan, pendapat,
dan pemahaman yang dimiliki oleh peserta didik;
3)
pengenalan dan pemahaman konteks nyata
para peserta didik akan membantu pendidik untuk merumuskan tujuan, sasaran,
metode, dan sarana yang tepat bagi proses pembelajaran.
APA
YANG HARUS DISIAPKAN LEMBAGA UNTUK MENERAPKAN PENDIDIKAN KARAKTER?
Lembaga bukanlah ruang hampa makna.
Bagi pendidikan karakter keseluruhan
lembaga haruslah menjadi sumber teladan. Semua pihak yang terlibat di
dalam lembaga pendidikan (bahkan pedagang) harus menampilkan diri sebagai
teladan pelaksanaan nilai-nilai, juga harus memberikan dorongan bagi seluruh
proyek riyadhah.
Karena itu,
seluruh proyek riyadhahharus tercatat
dan diinformasikan kepada seluruh pihak yang ada di sekolah. Bila peserta didik
tidak menginap, maka orang tua dan pihak rumah harus diberi informasi, diajak
untuk bekerja sama dengan sistem yang diterapkan bersama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar