Minggu, 16 September 2012

PENDIDIKAN KARAKTER BERBASIS AL-QUR’AN



BAGIAN I :MODAL-MODAL PENDIDIKAN KARAKTER

1.     Modal Kita
Mervin Barkowitz (1998) mengatakan bahwa kebanyakan pendidikan moral yang dilakukan di sekolah-sekolah, tidak pernah memperhatikan bagaimana pendidikan itu dapat berdampak terhadap perubahan prilaku. Salah satu masalahnya adalah cara pendidikan konvensional yang mengabaikan aspek internal individu, yang terlalu sibuk dengan mengisi aspek kognitif saja. Soal perilaku dan perasaan kerap diabaikan. Masalah yang lain adalah orientasi pendidikan negeri ini yang masih terjebak pada “kebiasaan” zaman colonial. Bersekolah, sejak zaman colonial, adalah upaya menaikkan harkat dan martabat sosial.

Bentuk baru dari orientasi menjadi “bangsawan baru” ini adalah meraih sukses. Pendidikan masa kini adalah jembatan yang akan mengantarkan pesertanya menjadi pegawai; mental yang mendasarinya adalah “santai dalam bekerja, mendapatkan gaji besar secara rutin, menikmati pensiun dan kehormatan di masa tua.

MENINJAU MAKNA SUKSES
Sukses menjadi tujuan dari banyak manusia. Arah pendidikan link and match bertujuan menciptakan SDM yang bisa tersambung dan cocok di dalam dunia usaha dan kehidupan sehari-hari. Secara umum kekayaan dikaitkan dengan modal atau “jumlah atau simpanan uang yang banyak”. Modal adalah apa pun yang bisa diakses yang dapat meningkatkan kualitas hidup. Jadi modal bukan sekedar uang. Danah Zohar dan Ian Marshall menegaskan bahwa modal dapat ditemukan dalam tiga aspek: materiil, sosial, dan spiritual.

Dunia pendidikan selama ini memfokuskan diri pada IQ (dan EQ).Ini barangkali karena ada anggapan bahwa untuk hidup dibutuhkan kecerdasan agar dapat meraih modal materiil dan modal sosial.Berbeda dengan aggapan ini, menurut Danah Zohar dan Ian Marshall, modal yang perlu dikembangkan pertama kali justru modal spiritual (SC) yang berarti pula bahwa kecerdasan yang pertama harus dikembangkan adalah kecerdasan spiritual (SQ).

APA ITU MODAL SPIRITUAL ?
Zohar dan Marshall lalu mengarahkan pemahaman modal dan kekayaan dalam makna spiritual:
“Modal spiritual adalah kekayaan yang membuat kita bisa hidup, kekayaan yang memperkaya aspek-aspek kehdiupan kita yang lebih dalam. Itulah kekayaan yang kita peroleh dari makna dan nilai terdalam, tujuan paling fundamental, dan motivasi tertinggi kita, dengan jalan menemukan cara untuk mengintegrasikan semua itu dalam hidup dan kerja kita.

… SC adalah modal yang dihimpun melalui pengabdian atau mencurahkan perhatian pada persoalan-persoalan yang lebih mendalam mengenai manusia dan planet ini.SC adalah modal yang merefleksikan berbagai nilai-bersama, visi-bersama, dan tujuan mendasar kita dalam kehidupan.”

AKANKAH KITA TERUS MENGABAIKAN MODAL SPIRITUAL?
Modal spiritual sangatlah penting, modal spiritual terkait dengan sikap emosi atau karakter.Maka, pendidikan sikap adalah pemberian motivasi agar kita mempertimbangkan kembali makna hidup manusia dan mengangkat pertanyaan mengenai bagaimana kita sendiri sanngup membangun kehidupan yang lebih luas dan lebih kaya bagi diri kita sendiri.Dengan demikian, tujuan pendidikan adalah mengarhkan peserta didik untuk memiliki kehidupan yang lebih kaya makna dan tujuan, kehidupan yang dapat memberi rasa keberhasilan.

James Gleick, menulis sebuah buku yang bagus judulnya Chaos Theory: Making a Newy Science. Memperkenalkan konsep yang berbunyi “Seekor kupu-kupu yang mengepakkan udara dengan sayapnya hari ini di Beijing, dapat menyebabkan tornado di New York tahu depan”.

Ide yang baik, perbuatan yang baik, pasti akan menghasilkan yang baik juga. Insya Allah

2.     Memahami Konteks Teoritis Pendidikan (Agama) Islam
Merujuk pada piramida terbalik Maslow, kini saatnya dunia pendidikan mengubah paradigma.Bukan lagi mengarahkan siswa untuk sekadar memiliki keterampilan mengerjakan soal-soal eksakta (IQ), melainkan mendorong siswa untuk dapat mengaktualisasikan dirinya dan memiliki kebiasan menemukan makna kehidupan. Untuk dapat mengembangkan pembalikan paradigma Maslow, atau menjadikan makna spiritualitas sebagai muatan dasar pendidikan agama Islam, berikut ini akan dikemukakan tinjauan atas teori-teori pendidikan (apa arti pendidikan dalam kerangka makna Islam).

Konfernsi Internasional Pendidikan Islam Pertama belum berhasil membuat rumusan yang jelas tentang definisi pendidikan menurut Islam.Dalam bagian “rekomendasi” konferensi tersebut, para peserta hanya membuat kesimpulan bahwa pengertian pendidikan menurut Islam adalah keseluruhan pengertian yang terkandung di dalam istilah takdim, tarbiah dan takdib.

Menurut Al-Attas istilah takdib adalah istilah yang paling tepat digunakan untuk menggambarkan pengertian pendidikan.Menurut abdul Fattah Jalal istilah lebih sempit pengertiannya dari taklim. Kata tarbiah disebut 2 kali di dalam al-Qur’an, yaitu pada surat Al-Isra ayat 24 dan surat Al Syu’ara ayat 18. Menurut Jalal, kedua ayat di atas menjelaskan bahwa al-tarbiyah ialah proses pengasuhan pada fase permulaan pertumbuhan manusia. Sedangkan istilah taklim tidak berhenti pada pengetahuan yang lahiriah, juga tidak hanya sampai pada pengetahuan taklid. Professor Ahmad Tafsir menyatakan bahwa pendidikan Islam ialah bimbingan terhadap seseorang agar ia menjadi muslim yang maksimal.

PENDIDIKAN DALAM KERANGKA TARBIAH
Kita dapat mulai dari pemaknaan kata tarbiah.Kata tarbiah memiliki makna “meningkatkan” atau “membuat sesuatu lebih tinggi”.Pengertian pendidikan menurut Al-Qur’an ini mengandung pra-anggapan bahwa dalam diri manusia terdapat bibit-bit kebaikan atau potensi yang siap dikembangkan.Bibit-bibit itu dapat juga terhambat, tersumbat dan mungkin saja mati jika tidak dikembangkan. Ini jelas berbeda dengan anggapan bahwa diri manusia seperti “kertas putih” yang menerima begitu saja “tulisan” dari pihak luar.

Fitrah bukanlah sesuatu yang bersih, kosong, seperti tabula rasa.Fitrah manusia tidak kosong, melainkan isi. Isinya adalah “perjanjian primordial yang suci.”“Bukanlah Aku ini Tuhanmu?”Mereka menjawab, “Benar (Engkau Tuhan Kami), Kami menjadi saksi”. (QS. Al-A’raf [7]:172). Nasr memberi komentar menarik atas ayat ini:

“Semua manusia, laki-laki dan perempuan, pada dasarnya tetap menyimpan gaung “pembenaran” ini di dalam lubuk hati mereka yang paling dalam, dan panggilan Islam tepatnya diarahkan pada sifat primordial ini, yang telah mengungkapkan “pembenaran” bahkan sebelum penciptaan langit dan bumi. Oleh karena itu panggilan Islam bertujuan, lebih dari segalanya, mengingatkan kembali pengetahuan yang telah ditanamkan di dalam diri manusia, pembenaran akan pengetahuan yang dapat menyelamatkan, dan karenanya, mengingatkan fungsi penyelamatan dari pengetahuan di dalam Islam”

Lebih lanjut lagi, Nasr memberi catatan bahwa dosa dalam agama Islam bukanlah berasal ketidakpatuhan, yang telah mencengkeram hawa nafsu.Dosa dalam Islam adalah kealpaan dan ketidakmampuan dalam mumusingkan akal sesuai dengan tujuan penciptaanya oleh Tuhan.

PENDIDIKAN DALAM KERANGKA TAKDIB
Selain tarbiah, pendidikan pun dapat mengacu pada kata lain yaitu takdib. Seyyed Naquib Al-Attas memiliki keyakinan bahwa pada saat ini, takdib lebih dibutuhkan daripada tarbiah.Bahkan Al-Attas menganggap bahwa dalam takdib telah tercakup tarbiah dan taklim.Untuk dapat mendudukkan klaim-klaim ini, ada baiknya kita memandang keyakinan Al-Attas ini berdasar konteksnya.Karena saat ini umat Islam mengalami kemunduran mental dan karakter, takdib lebih dibutuhkan, dank arena itu pula kerangka tarbiah dan taklim diletakkan di bawah kendali takdib.Hal ini, misalnya dapat dikuatkan oleh perujukan Al-Attas pada pernyataan Ibn Al-Mubarak bahwa “kita lebih memerlukan adab daripada ilmu yang banyak”.

Pendidikan menurut Al-Attas adalah “penyemaian dan penanaman adab dalam diri seseorang” atau takdib. Dari batasan ini, Al-Attas mengemukakan prinsip dasar pendidikannya:

“Orang baik adalah orang yang mendasari sepenuhnya tanggung jawab dirinya kepada Tuhan Yang Hak; yang memahami dan menunaikan keadilan terhadap dirinya sendiri dan orang lain dalam masyarakatnya; yang terus berupaya meningkatkan setiap aspek dalam dirinya menuju kesempurnaan sebagai manusia yang beradab”.

AL-QUR’AN ADALAH JAMUAN MAKAN BAGI PEMBELAJAR
Karena kata adab berarti juga “undangan ke sebuah jamuan makan”, Al-Attas memandang Al-Qur’an sebagai undangan Tuhan kepada manusia untuk menghadiri jamuan makan di atas muka bumi (mu’addabah Allah fil Ardl), tempat kita mengambil bagian di dalamnya dengan cara mengetahuinya (fa ta’llamu min ma’dabatihi). Lebih jauh Al-Attas menjelaskan:

“Kitab Al-Qur’an adalah undangan Tuhan kepada manusia untuk menghadiri jamuan kerohanian, dan cara memperoleh ilmu pengetahuan yang sebenarnya mengenai Al-Qur’an adalah dengan menikmati makanan-makanan lezat yang tersedia dalam jamuan kerohanian itu. Artinya, karena kenikmatan makanan yang lezat dalam jamuan istimewa itu ditambah kehadiran kawan yang Agung dan Pemurah, dank arena makanan tersebut dinikmati menurut cara-cara, sikap, dan etiket yang suci, hendaknya ilmu pengetahuan yang dimuliakan sekaligus dinikmati itu didekati dengan perilaku yang sesuai dengan sifatnya yang mulia”.

Al-Qur’an sebagai undangan bagi jamuan makan kerohanian memiliki dua konsekuensi.Pertama, untuk dapat menghadiri perjamuan itu dibutuhkan sejumlah metode.Kedua, pada saat menyantap makanan ada energi yang diserap, kenikmatan, dan aktivitas baru yang lebih bermanfaat.



BAGIAN II : PARADIGMA PENDIDIKAN KARAKTER

3.     Meninjau Kompetensi Pendidikan
Professor Ahmad Tafsir, dalam diskusi pendidikan kompetensi, pernah berkata, “Belajar itu melewati tiga maqam: knowing, doing, dan being. Selama ini kita terjebak pada melulu knowing, akhirnya kita tak tahu kapan bertindak untuk kemaslahatan dan kapan memasuki diri sendiri sebagai manusia yang pandai tersenyum!”Knowing, mengetahui sekadar mengetahui, atau pengetahuan saja, adalah cara kita selama ini mengakses informasi. Buku dibaca, lalu seluruh isinya ditumpahkan ke dalam kepala. Pada kesempatan tertentu, di hari baik bulan baik, kita meluberkan seluruh isi itu dalam bentuk kata-kata yang sama lain sejenisnya. Tetapi dalam kehidupan nyata, keseharian, kita terjebak pada iri dengki dan rasa putus asa yang sangat, lalu bunuh diri.Inilah risiko hanya terfokus knowing.

Knowing saja menjebak kita menjadi orang yang “hanya ingin tahu”.Dan menurut Heidegger –filsuf Eksistensi asal Jerman– ini membahayakan.Bagi filsuf ini, hidup manusia pertama kali terkait dengan dunia keseharian dan benda-benda.Dunia kesharian, bagi Husserf, lebenswelt, adalah dunia akal sehat atau kewajaran. Kesimpulan bahwa dunia keseharian berada dalam kewajaran ini berasal dari anggapan bahwa semua yang ada (manusia, hewan, tetumbuhan dan bebatuan) memiliki cara mengada yang sama. 

Mengetahui saja tanpa terkait dengan tindakan nyata, bukanlah cara belajar yang bik. Akibatnya pengetahuan dan tindakan akan terpisah jauh. Pengetahuan jadi tak berefek manfaat, bahkan sebaliknya menjadi mudharat.

TEORI TINDAKAN HANNAH ARENDT
Hannah Arendt adalah mahasiswa kesayangan Heidegger, bahkan sempat menjadi kekasihnya.Hannah Arendt mengembangkan teori vita active (kehidupan aktif) yang ada hubungannya dengan knowing-doing-being.Dengan teori vita active, Arendt membagi aktivitas manusia dalam kerja, karya, dan aksi politik.

Kerja merupakan tuntutan agar manusia bisa hidup.Seperti binatang, manusia harus memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasariah untuk hidup.Karya merupakan aktivitas manusia dalam menghasilkan objek, menguasai alam, dan membebaskan diri dari ketertundukan binatang.Tindakan, terkait dengan ruang publik.Ruang publik terdiri dari du dimensi, yaitu (1) ruang kebebasan politik dan kesamaan, dan (2) dunia bersama. Melalui tindakan kita dapat berhubungan secara baik dengan manusia lain di lingkungan masyarakat kita. 

Jadi, bila meminjam vita active Hannah Arendt, tujuan pendidikan berkompetensi adalah menciptakan manusia yang sanggup melakukan tindakan politik, perbaikan kehidupan bersama di ruang publik.

4.    Merumuskan Ulang Tujuan Pendidikan
Tujuan pendidikan seharusnya mempersiapkan individu untuk cakap dalam kehidupannya di tengah seluruh perubahan dan kemungkinan perkembangan zaman.

Dalam Undang-undang No. 20 tahun 2004, tentang Sistem Pendidikan Nasional, dikemukakan tujuan pendidikan nasional.Tujuan pendidikan nasional ini sangatlah menarik, karena telah mengarahkan dunia pendidikan pada wilayah karakter berbangsa dan bernegara.

INSAN KAMIL SEBAGAI TUJUAN PENDIDIKAN ISLAM
Konsep insan kamil, oleh beberapa teoritisi filsafat Pendidikan Islam, telah dirujuk menjadi tujuan pendidikan.Konsep insan kamil sebenarnya berkaitan dengan fungsi khalifah bagi manusia.Ibn ‘Arabi mengatakan bahwa jabatan khalifah hanya milik insan kamil, karena pada dirinya –dari aspek batin– terproyeksi pula nama-nama dan sifat-sifat Ilahi.Khilafah zhahiriyah dan khilafah ma’nawiyah inilah yang membentuk gagasan insan kamil.Keduanya saling mengisi dan menunjang, khilafah eksternal merupakan aspek tindakan yang dikendalikan dan bersumber pada khilafah internal.

Konsep insan kamil terkait dengan konsep khalifah.Suatu jabatan yang diberikan pada manusia, melalui kisah Adam.“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi”.Mereka berkata, “Apakah Engkau akan menjadikan di muka bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji dan menyucikan engkau?” (QS. Al-Baqarah. [2]: 30).

Karena insan kamil hanya dapat diperoleh “hanya satu orang dalam setiap zaman”, gagasan tujuan ideal insan kamil tak dapat dipenuhi.Maka tujuan pendidikan Islam secara realistis hanya dapat berkisar pada manusia saleh yang utuh, saleh pada dirinya dan sanggup mentransformasikan ke luar dirinya.

TUJUAN PENDIDIKAN ISLAM :
MENDORONG SISWA MENJADI ULUL ALBAB
Al-Qur’an sebenarnya memiliki istilah yang lebih konkret daripada insan kamil –yang secara verbal tak disebutkan Al-Qur’an.Istilah itu adalah ulul albab.Jalaluddin Rahmat dalam Islam Aktual (1992) telah melakukan penguraian ciri-ciri ulul albab yang cukup penting sumbangannya bagi perumusan tujuan pendidikan Islam.Melalui ciri-ciri ulul albab ini, orientasi pendidikan Islam dapat dilakukan secara realistis. Adapun ciri-ciri insan kamil adalah sebagai berikut:

      a.       Bersungguh-sungguh mencari ilmu termasuk juga bersungguh-sungguh menafakuri dan mensyukuri ciptaan Allah.
       b.      Mampu misahkan yang jelek dari yang baik.
       c.       Kritis dalam mendengarkan pembicaraan, pandai menimbang-nimbang ucapan, teori, proposisi atau dalil yang dikemukakan orang lain.
       d.      Bersedia menyampaikan ilmunya kepada orang lain untuk memperbaiki masyarakatnya.
       e.       Tidak takut kepada siapa pun kecuali kepada Allah.

KONSEKUENSI KONSEP ULUL ALBAB BAGI PENDIDIKAN
Bila ulul albab menjadi tujuan pendidikan, maka ciri-ciri ulul albab dapat menjadi capaian pendidikan. Pendidikan harus dapat mendorong peserta didik menjadi manusia pembelajar (yang bersungguh-sungguh mencari ilmu, bersungguh-sungguh menafakuri dan mensyukuri ciptaan Allah, mampu memisahkan yang jelek dari yang baik, mempertahankan kebaikan walaupun kejelekan itu dipertahankan oleh sekian banyak orang, kritis dalam mendengarkan pembicaraan, pandai menimbang-nimbang ucapan atau teori).

Pendidikan dapat membantu peserta didiknya menjadi manusia ihsan, yang berbuat baik dengan tindakan yang baik berdasarkan ketakwaan kepada Allah semata.Ada enam ciri khas pendidikan karakter.
      a.       Menjadikan manusia memiliki sikap “terpesona” dan “kagum” ketika melihat anugerah Allah.
      b.      Menghargai kebebasan dalam pembelajaran.
      c.       Menekankan sikap magis bagi setiap anak didik.
      d.      Setiap anak didik diharapkan mampu menemukan dan memilih apa yang menjadi kehendak Allah.
      e.       Pendidikan Karakter diharapkan mampu menjadikan manusia sebagai man or woman for others.
f.       Penegasan atas dasar cinta kasih sejati (discerta caritas) disertai dengan “perhatian personal” (cura personalis) adalah dasar dari semuanya.

5.    Prinsip-Prinsip Pendidikan Islam
PRINSIP KE-1: INTEGRASI ILMU
Prinsip ini menegaskan firman Allah “Kebenaran itu berasal dari Allah, maka janganlah engkau meragukan-Nya” Melalui ayat ini, ilmuwan muslim sepakat bahwa sumber ilmu adalah Allah sendiri, Sang Kebenaran. Inilah yang menjadi dasar dari prinsip integrasi ilmu, bahwa semuanya berasal dari Allah maka seluruh keberbedaan yang ada sebenarnya berada dalam satu kesatuan.
      a.      TAUHID DAN INTEGRASI
Prinsip dasar bagi seluruh aktivitas muslim adalah tauhid, yaitu prinsip pengakuan akan keesaan Tuhan. Kalimat “La ilaaha illa llah” menegaskan bahwa hanya Allah saja yang harus disembah, sekaligus juga dalam kajian filsafat berarti “tidak ada yang Ada kecuali Allah saja”.Keesaan Tuhan bagi para filsuf berarti bahwa Tuhan haruslah simple (basith), tidak boleh tersusun dari apapun kecuali zat-Nya sendiri.
     b.      INTEGRASI DAN ILMU
Dalam tradisi Islam, pengetahuan adalah terjemahan dari ‘ilm. Menurut Sardar, konsep Al-Qur’an tentang ‘ilm pada awal mulanya membentuk ciri-ciri utama peradaban muslim dan menuntunnya menuju puncak kejayaan. Waktu itu, sebagaimana seharusnya saat ini, ‘ilm membentuk bagaimana jalan yang terbaik bagi kaum muslim untuk memandang realitas dan membentuk serta mengembangkan suatu tatanan masyarakat yang tertib.‘Ilm adalah perekat yang mengikat masyarakat muslim dengan lingkungannya, dan dengan demikian memberi Islam suatu bentuk yang senantiasa bergeliat dinamis dan hidup.

PRINSIP KE-2: KEBERJENJANGAN REALITAS
Prinsip keberjenjangan realitas merupakan konsekuensi dari prinsip tauhid.Dari prinsip ini turun menjadi keberjenjangan (hierarki) realitas (dari materiil menuju immaterial), hierarki kesadaran, dan hierarki ilmu. Keberjenjangan ini tentu saja akan mempengaruhi proses pendidikan.

PRINSIP KE-3: TAZKIAH (TAKHLLI, TAHALLI, DAN TAJALLI)
Tazkiah adalah penyucian diri.Prinsip ini merupakan konsekuensi dari konsepsi bahwa ilmu itu dari Allah dan karenanya bersifat suci. Sesuatu yang suci hanya bisa diterima oleh yang suci pula, karena itulah maka penyucian jiwa merupakan satu-satunya cara untuk mendapatkan ilmu. Tujuan tazkiah, menurut Sardar, adalah memurnikan dan membentuk diri.

PRINSIP KE-4: KEBERGANTUNGAN PADA OTORITAS DAN PERANAN GURU
Al-Qur’an menyeru pada umat Islam untuk bertanya mengenai kebenaran kepada orang yang tepat dan otoritatif di bidangnya (ahl dzikr) jika tidak mengetahui sesuatu.Dari seruan Al-Qur’an ini turunlah prinsip bahwa pendidikan berporos pada guru, selain kepada ilmu.Penddikan Islam adalah pencarian dan pengakuan otoritas yang benar.

Guru menjadi pusat, dan murid sangat bergantung pada otoriats sang guru. Guru harus mencapai kualifikasi ahl-dzikr, sebagaimana juga murid haruslah memiliki iradah (kemauan) yang ikhlas. Seperti yang ditekankan Al-Ghazali bahwa seorang murid tidak boleh berlaku sombong, harus memperhatikan mereka yang mampu membantunya dalam mencapai kebijaksanaan, kesuksesan dan kebahagiaan.

PRINSIP KE-5: KEADILAN
Keadilan adalah salah satu nama Tuhan. Tuhan adalah al’Adil,dan juga al-Muqsit, serta Hakam, artinya Tuhan adalah Mahaadil dan sekaligus keadilan, Keseimbangan dan Pelaksanaan Keadilan itu sendiri. Menurut Ali bin Abi Thalib, keadilan adalah meletakkan sesuatu pada tempatny. Keadilan terkait dengan keseimbangan, memberikan pada setiap sesuatu di tempatnya sesuai dengan statusnya. Lalu karena Tuhan juga al-Haqq (Kebenaran dan Realitas Tertinggi) maka muncullah keputusan apa yang menjadi bagian dari setiap sesuatu dan keputusan tentang hokum dan hak-hak.

6.     Paradigma Pengembangan Pendidikan Islam
Merujuk pada pemikiran Caknur, maka arah Pendidikan Agam Islam (PAI) adalah membuat manusia menjadi lebih mulia.Atau bila kita merujuk pada makna, kata edukasi –dari kata e-ducare, yang berarti menggiring ke luar– dapat diartikan sebagai usaha pemuliaan manusia atau pembentukan manusia. Fungsi pendidikan adalah meningkatkan kadar kemanusiaan, atau menumbuhkan benih-benih kebaikan yang sedari awal sudah dimiliki oleh tiap manusia.

KERANGKA PENGEMBANGAN MATERI AL-QUR’AN – HADIS
Al-Qur’an, mengutip Ibn Taymiyah, adalah wahyu yang diturunkan (al-wahy al-Munazzalah) sebagai pelengkap bagi wahyu yang ditetapkan di dalam diri manusia. Al-Qur’an, dalam kerangka ini memiliki nilai yang sama seperti nilai yang dimiliki diri manusia. Nilai atau prinsip adalah hokum yang tetap yang berlaku pada semua manusia, sebagaimana hokum alam berlaku secara pasti dan tetap pada gejala alam raya.Hukum gravitasi misalnya berlaku pada semua benda-benda di bumi, Hadis adalah sejumlah kesaksian atas perkataan dan tindakan Rasul Muhammad yang berfungsi sebagai terjemahan praktis dari Al-Qur’an.Al-Qur’an juga berisi makna dan nilai terdalam, tujuan paling fundamental, dan motivasi tertinggi kehidupan manusia.

Tindakan efektif, menurut Stephen Covey, hanya bisa dicapai bila berpusat pada prinsip-prinsip tetap yang mulia.Merujuk pada buku Danah Zohar & Ian Marshall, manusia seharusnya meraih kekayaan yang membuatnya bisa hidup, kekayaan yang memperkaya aspek-aspek kehidupannya yang lebih dalam.Kekayaan seperti ini dapat diperoleh dari maknadan nilai terdalam, tujuan paling fundamental, dan motivasi tertinggi, dan integrasi kesemuanya dalam hidup dan kerja.Kesemuanya disebut Zohar sebagai modal spiritual.

KERANGKA PENGEMBANGAN MATERI AKIDAH AKHLAK
Akidah adalah pandangan hidup, yaitu cara melihat dan bertindak dalam dunia (weltanschauung, word view). Pandangan hidup berisikan makna, nilai, tujuan, dan motivasi dalam kehidupan kita. Pandangan hidup seseorang mengungkapkan persepsinya tentang duni dengan cara tertentu, sehingga kepercayaan dan praktik hidupnya jadi selaras. Akhlak adalah bagaimana cara berlaku di bawah bimbingan pandangan hidupnya. Bila pandangan hidupnya berpusat pada prinsip-prinsip dalam Al-Qur’an, akhlak yang muncul adalah akhlak Al-Qur’an.

Kaitannya dengan Al-Qur’an sebagai prinsip, Akidah adalah turunan nilai Al-Qur’an dalam bentuk pandangan hidup yang bisa dipraktikan. Jadi, bila dirunutkan, Al-Qur’an – Hadis adalah sumber nilai/prinsip, Akidah adalah cara pandang atau pernyataan misi, sejenis blue print (hendak jadi apa diri pribadi) kepribadian dan kehidupan siswa, kemudian akhlak adalah tindakan yang dibimbinga oleh blue print Qur’ani/hadis.

KERANGKA PENGEMBANGAN MATERI FIKIH
Fikih, pada awalnya berarti “pemahaman” atau upaya manusia memahami apa yang harus dilakukan sebagai orang beriman. Pada perkembangan selanjutnya fikih berubah menjadi sejumlah hukum bagi mukallaf (subjek hukum). Fikih merupakan pasangan dari akhlak, memberikan kelengkapan pada apa yang dicapai dan dibiasakan melalui akhlak. Bila akhlak mengarahkan pengembangan potensi diri dengan merujuk pada potensi diri demi pencapaian kebahagiaan/kebebasan rohani, fikih mengarahkan pengembangan poensi diri dengan mempertimbangkan adanya pihak lain yang terlibat dan berpengaruh dalam hidup.

Arah pengembangan pembelajaran fikih masih dalam kerangka pembangkitan kecerdasan spiritual.Ini berarti uraian mengenai hukum dan ibadah wajib/rukun Islam (dua materi utama fikih) lagi-lagi tidak sekadar hafalan.Fikih harus tetap diarahkan pada orientasi penemuan makna, nilai, tujuan, dan motivasi dalam kehidupan.Setiap perintah dan rukun Islam harus dapat ditemukan maknanya, nilainya, serta tujuannya bagi pengembangan diri manusia.

KERANGKA PENGEMBANGAN MATERI SEJARAH PERADABAN ISLAM
Sejarah dalam Al-Qur’an difungsikan sebagai ibrah.Melalui sejarah, siswa dapat menemukan model dan akibat dari tindakan yang telah terjadi dalam sejarah kehidupan manusia. Sejarah dapat menunjukkan bahwa bila seseorang atau suatu masyarakat menerapkan ajaran Al-Qur’an – Hadis, Akidah-Akhlak, dan Fikih maka akan menghasilkan kejayaan dan kebahagiaan dunia akhirat. Sejarah menjadi cermin dan motivasi bagi siswa untuk semakin mencintai seluruh ajaran Islam.

STRATEGI PERBAIKAN METODE PEMBELAJARAN
Seluruh pengembangan mata pelajaran PAI tersebut berimplikasi pada perubahan metode pembelajaran. Proses belajar mengajar tidak lagi satu arah, guru memberi, mengisi, dan mencetak siswa. Sperti kutipan pemikiran Peter L. Berger, pewartaan agama harus mulai menggunakan strategi abduksi.

Abduksi dalam metode pembelajaran mensyaratkan bahwa guru harus memahami dunia siswanya, gaya hidup, pola ungkapan, dan orientasi siswanya. Pemahaman akan dunia siswa ini menjadi modal dasar. Melalui pemahaman ini guru dapat memahami semua tingkah pola siswa, sekaligus memiliki kekuatan untuk mengarahkan siswa yang, pada satu sisi sesuai dengan materi pelajaran, dan pada sisi lain dapat diterima siswa karena tidak mencela atau menyalahkan dunia siswa. Pemahaman akan dunia-siswa kemudian menjadi kendaraan bagi pengajaran nilai-nilai. Maksudnya, seorang guru dapat saja mengajarkan Al-Qur’an dengan diawali oleh kutipan lagu popular, atau film popular. Melalui cara ini, siswa dapat menerima secara cepat sekaligus memiliki gambaran bagaimana menerapkan nilai dalam kehidupan dunia mereka.

BAGIAN III: EKSPERIMEN PENDIDIKAN KARAKTER

7.     PARADIGMA PENDIDIKAN KARAKTER
Pendidikan karakter adalah pendidikan untuk “membentuk” kepribadian seseorang melalui pendidikan budi pekerti, yang hasilnya terlihat dalam tindakan nyata seseorang, yaitu tingkah laku yang baik, jujur, bertanggung jawab, menghormati hak orang lain, kerja keras, dan sebagainya (Thomas Lickona, 1991). Hal ini dapat dikaitkan dengan tujuan takdib, yaitu pengenalan dan afirmasi atau aktualisasi hasil pengenalan.

PENDIDIKAN KARAKTER DALAM SEJARAH
Secara historis pendidikan karakter merupakan misi utama para nabi.Muhammad Rasulullah sedari awal tugasnya memiliki suatu pernyataan yang unik, bahwa dirinya diutus untuk menyempurnakan karakter (akhlak). Manifesto Muhammad Rasulullah ini mengindikasikan bahwa pembentukan karakter merupakan kebutuhan utama bagi tumbuhnya cara beragama yang dapat menciptakan peradaban. Pada sisi lain, juga menunjukkan bahwa masing-masing manusia telah memiliki karakter tertentu, namun perlu disempurnakan. 

Islam hadir sebagai jalan untuk menyempurnakan karakter.Al-Qur’an adalah buku ajar yang menghadapi peserta didik masyarakat Arab yang berkarakter belum sempurna.Sejarah mencatat, misalnya, bangsa Arab memiliki muru’ah (keutamaan demi kehormatan) tertentu yang terbatas pada kehormatan sukunya belaka.Melalui Al-Qur’an, secara perlahan dan bertahap, karakter itu dibentuk ke dalam prinsip “ketundukan, kepasrahan, serta kedamaian” (makna dasar Islam).

DUA PARADIGMA PENDIDIKAN KARAKTER
Ada dua paradigm dasar pendidikan karakter.Pertama, paradigm yang memandang pendidikan karakter dalam cakupan pemahaman moral yang sifatnya lebih sempit (narrow scope to moral educatioan).Pada paradigm ini disepakati telah adanya karakter tertentu yang tinggal diberikan kepada peserta didik.Kedua, melihat pendidikan dari sudut pandang pemahaman isu-isu moral yang lebih luas.Paradigma ini memandang pendidikan karakter sebagai sebuah pedagogi, menempatkan individu yang terlibat dalam dunia pendidikan sebagai pelaku utama dalam pengembangan karakter.Paradigma kedua memandang peserta didik sebagai agen tafsir, penghayat, sekaligus pelaksanaan nilai melalui kebebasan yang dimilikinya.

PRINSIP-PRINSIP PENDIDIKAN KARAKTER
Ada beberapa prinsip dasar pendidikan karakter, yaitu:
     a.       Manusia adalah makhluk yang dipengaruhi dua aspek, pada dirinya memiliki sumber kebenaran dan dari luar dirinya ada juga dorongan atau kondisi yang mempengaruhi kesadaran.
    b.      Karena menganggap bahwa perilaku yang dibimbing oleh nilai-nilai utama sebagai bukti dari karakter, pendidikan karakter tidak meyakini adanya pemisahan antara roh, jiwa, dan badan.
    c.       Pendidikan karakter mengutamakan munculnya kesadaran pribadi peserta didik untuk secara ikhlas mengutamakan karakter positif.
    d.      Pendidikan karakter mengarahkan peserta didik untuk menjadi ulul albab yang tidak hanya memiliki kesadaran diri.
e.       Karakter seseorang ditentukan oleh apa yang dilakukannya berdasarkan pilihan.

8.    Mengenali Metode Pendidikan Karakter
METODE-METODE PENDIDIKAN KARAKTER
Secara umum, Ratna Megawangi menengarai perlunya penerapan metode 4 M dalam pendidikan karakter, yaitu mengetahui, mencintai, menginginkan, dan mengerjakan (knowing the good, loving the good, desiring the good, and acting the good) kebaikan secara simultan dan berkesinambungan. Metode ini menunjukkan bahwa karakter adalah sesuatu yang dikerjakan berdasarkan kesadaran yang utuh.Sedangkan kesadaran utuh itu adalah sesuatu yang diketahui secara sadar, dicintainya, dan diinginkan.Dari kesadaran utuh ini, barulah tindakan dapat menghasilkan karakter yang utuh pula.

Doni A. Koesoema mengajukan lima metode pendidikan karakter (dalam penerapan di lembaga sekolah), yaitu mengajarkan keteladanan, menentukan prioritas, praksis prioritas, dan refleksi.

TUJUH KUALITAS PENDIDIKAN KARAKTER
Rusworth Kidder dalam How Good People Make Tough Choices (1995) memberikan tujuh kualitas yang diperlukan dalam pendidikan karakter, yaitu Seven E’s (Empowered, Effective, Extended into the community, Embedded, Engaged, Epistemological, Evaluative).

PENDIDIKAN KARAKTER:
PENDIDIKAN BERBASIS KOMUNITAS
Berdasarkan metode tersebut, jelas terlihat bahwa pendidikan karakter mensyaratkan dukungan dari semua pihak.Unsur pelaku pendidikan karakter tidak hanya peserta didik dan guru, melainkan juga melibatkan masyarakat (komunitas sekolah, dan komunitas di sekitar peserta didik).

Islam sejak mula menyadari bahwa pengembangan pribadi hanyalah salah satu ikhtiar yang diperlengkapi dengan pengembangan masyarkat yang menunjang pengembangan pribadi itu.Sayangnya, kehidupan modern memecah dua orientasi ini sehingga mengarhkan umat Islam hanya terfokus pada pengembangan diri dan menggunakan sistem sosial yang berbeda.Beberapa pemikiran fundamentalis menyadari hal ini dan mengusulkan pembentukan Negara berbasis syariat.Namun pembentukan Negara syariat ini masih memiliki kelemahan fundamental bila tidak dibangun oleh pribadi-pribadi qur’ani. Kelemahan lain adalah munculnya konflik dan klaim kebenaran yang didukung kekuasaan. Alih-alih dapat membangun peradaban Islam, penegakan syariat Islam justru akan menciptakan perpecahan dan citra buruk bagi dunia Islam.



9.     Rancangan Pendidikan Karakter Berbasis Al-Qur’an
BAGAIMANA MERANCANG PENDIDIKAN KARAKTER?
Batasan karakter berada dalam dua wilayah.Ia diyakini ada sebagai sifat fitri manusia, sementara pada sisi lain ia diyakini harus “dibentuk” melalui metode pendidikan tertentu. Aristoteles meyakini bahwa indvidu tidak lahir dengan kemampuan untuk mengerti dan menerapkan standar-standar moral, dibuthkan pelatihan yang berkesinambungan agar individu menampakkan kebaikan moral.Semantara Socrates meyakini bahwa ada bayi moral dalam diri manusia yang meminta untuk dilahirkan, tugas pendidikan adalah membantu melahirkannya.

Secara praktis dapat dirumuskan apa yang harus dikembangkan sebagai model pendidikan karakter. Pertama, menggunakan metode pembidanan Socrates untuk membangkitkan kesadaran akan pentingnya karakter tertentu. Formula 4 M Ratna Megawangi dapat digunakan. Mengetahui, mencintai, menginginkan dan mengerjakan (knowing the good, loving the good, desiring the good, and acting the good) adalah urutan proses pengajaran yang bermula dari memberikan pengetahuan peserta didik tentang kebaikan, menggiring atau mengondisikan agar peserta didik mencintai kebaikan tersebut, kemudian membangkitkan peserta didik agar menginginkan karakter yang diajarkan, dan terakhir mengondisikan peserta didik agar mengerjakan kebaikan secara sukarela, simultan dan berkesinambungan.

KARAKTER APA YANG HARUS DIAJARKAN?
Karakter yang harus diajarkan adalah karakter yang mempunyai nilai permanen dan tahan lama, yang diyakini berlaku bagi semua manusia.Covey, seperti dikemukakan di atas, mengemukakan sejumlah prinsip nilai yang dianggap berlaku bagi semua manusia.Covey bahkan meyakini bahwa prinsip-prinsip ini adalah hukum alam bagi kehidupan manusia, yaitu hukum yang bisa berlaku secara universal pada semua manusia di manapun dan kapanpun.Prinsip-prinsip itu adalah keadilan, integritas, kejujuran, martabat, pelayanan, kualitas, dan pertumbuhan.

BAGAIMANA MENJADIKAN AL-QUR’AN SEBAGAI BASIS PENDIDIKAN KARAKTER?
Secara teknis, urutan pendidikan karakter berbasis Al-Qur’an dapat berlangsung dengan urutan sebagai berikut:
      1.      PENGALAMAN PEMBELAJARAN ATAU PENGENALAN
Pengalaman adalah suatu kegiatan yang melibatkan dimensi kognitif dan afektif.Melalui pengalaman peserta didik mengalami suatu tantangan terhadap pengetahuan yang sudah dimilikinya dengan fakta, ide, dan masukan baru dari pendidik.
      2.      REFLEKSI
Refleksi adalah proses pencarian arti untuk pengalaman pembelajaran. Refleksi merupakan suatu proses (1) untuk mengedepankan perolehan makna dalam pengalaman manusia dengan pemahaman lebih baik mengenai kebenaran yang telah dipelajari; (2) untuk mengerti akan sumber perasaan reaksi yang dialami seseorang lewat apa yang dipelajari; (3) untuk memperdalam pemahaman tentang implikasinya baik bagi dirinya sendiri maupun bagi orang lain; (4) untuk mendapat pengertian personal akan kejadian-kejadian dan ide-ide yang ada.
      3.      AKSI ATAU AFIRMASI
Aksi adalah upaya untuk mengajari peserta didik dalam melakukan pilihan-pilihan dari berbagai sistem nilai yang ada. Akal disini berarti penentuan pilihan yang mengubah cara pandang lama ke cara pandang baru. Misalnya, peserta didik diminta untuk menyadari kebiasaan lamanya dan membandingkan dengan prinsip tindakan yang telah dihasilkan dalam refleksi; kemudian peserta didik didorong untuk “mengganti” atau “mengubah” tindakannya.
     4.      EVALUASI
Evaluasi berarti student centered evaluation. Evaluasi dilakukan dalam konteks dan pengalaman peserta didik yang melakukan tindakan atau aksi.Jadi yang digunakan bukan sudut pandang pendidik.Pendidik adalah subjek yang menemani peserta didik untuk berkembang, yang berarti juga teman bagi peserta didik untuk menilai perkembangan dirinya. Hasil yang ingin diraih dari evaluasi: peserta didik mampu mengerti dengan kesadarannya sendiri, terlebih tentang posisi dirinya terhadap tindakan yang dievaluasi.

APA YANG HARUS DILAKUKAN GURU DALAM PENDIDIKAN KARAKTER?
     1)      Pendidik harus mengenali dan memperhatikan pengertian-pengertian yang dibawa oleh seorang peserta didik ketika memulai proses belajar mengajar;
       2)      pendidik perlu tahu kemampuan, pendapat, dan pemahaman yang dimiliki oleh peserta didik;
   3)      pengenalan dan pemahaman konteks nyata para peserta didik akan membantu pendidik untuk merumuskan tujuan, sasaran, metode, dan sarana yang tepat bagi proses pembelajaran.

APA YANG HARUS DISIAPKAN LEMBAGA UNTUK MENERAPKAN PENDIDIKAN KARAKTER?
Lembaga bukanlah ruang hampa makna. Bagi pendidikan karakter keseluruhan  lembaga haruslah menjadi sumber teladan. Semua pihak yang terlibat di dalam lembaga pendidikan (bahkan pedagang) harus menampilkan diri sebagai teladan pelaksanaan nilai-nilai, juga harus memberikan dorongan bagi seluruh proyek riyadhah.

Karena itu, seluruh proyek riyadhahharus tercatat dan diinformasikan kepada seluruh pihak yang ada di sekolah. Bila peserta didik tidak menginap, maka orang tua dan pihak rumah harus diberi informasi, diajak untuk bekerja sama dengan sistem yang diterapkan bersama.


Tidak ada komentar:

Kisah Mata Air Keabadian

Kisah ini diriwayatkan oleh Ats-Tsa’labi dari Imam Ali ra. Pada zaman dahulu hiduplah seorang hamba Allah SWT yang melebihkan kepada d...