Landasan
Sosiologis Pengembangan Kurikulum
Landasan sosiologis pengembangan kurikulum adalah asumsi-asumsi
yang berasal dari sosiologi yang dijadikan titik tolak dalam pengembangan
kurikulum. Dipandang dari sosiologi, pendidikan adalah proses mempersiapkan
individu agar menjadi warga masyarakat yang diharapkan, pendidikan adalah
proses sosialisasi, dan berdasarkan antropologi, pendidikan adalah
“enkulturasi” atau kebudayaan. Untuk menjadikan peserta didik agar menjadi
warga masyarakat yang diharapkan maka pendidikan memiliki peran penting, karena
itu kurikulum harus mampu memfasilitasi peserta didik agar mereka mampu bekerja
sama, berinteraksi, menyesuaikan diri dengan kehidupan di masyarakat dan mampu
meningkatkan harta dan martabatnya sebagai makhluk yang berbudaya.
Pendidikan adalah proses sosialisasi melalui interaksi insani
menuju manusia yang berbudaya. Dalam konteks inilah anak didik dihadapkan
dengan budaya manusia, dibina dan dikembangkan sesuai dengan nilai budayanya,
serta dipupuk kemampuan dirinya menjadi manusia.
a.
Masyarakat
dan Kurikulum
Masyarakat adalah suatu kelompok individu yang diorganisasikan
mereka sendiri ke dalam kelompok-kelompok berbeda, atau suatu kelompok individu
yang terorganisasi yang berpikir tentang dirinya sebagai suatu yang berbeda
dengan kelompok atau masyarakat lainnya. Tiap masyarakat mempunyai kebudayaan
sendiri-sendiri. Dengan demikian, yang membedakan masyarakat satu dengan
masyarakat lainnya adalah kebudayaan. Hal ini mempunyai implikasi bahwa apa
yang menjadi keyakinan pemikiran seseorang, dan reaksi seseorang terhadap
lingkungannya sangat tergantung kepada kebudayaan di mana ia hidup.
Pendidikan harus mengantisipasi tuntutan hidup ini sehingga dapt
mempersiapkan anak didik untuk hidup wajar sesuai dengan kondisi sosial budaya
masyarakat. Dalam konteks inilah kurikulum sebagai program pendidikan harus
dapat menjawab tantangan dan tuntutan masyarakat. Untuk dapat menjawab tuntutan
tersebut bukan hanya pemenuhan dari segi isi kurikulumnya saja, melainkan juga
dari segi pendekatan dan strategi pelaksanaanya. Oleh karena itu, guru sebagai
pembina dan pelaksana kurikulum dituntut lebih peka mengantisipasi perkembangan
masyarakat, agar apa yang diberikan kepada siswa relevan dan berguna bagi
kehidupan siswa di masyarakat.
Penerapan teori, prinsip, hukum, dan konsep-konsep yang terdapat
dalam semua ilmu pengetahuan yang ada dalam kurikulum, harus disesuaikan dengan
kondisi sosial budaya masyarakat setempat, sehingga hasil belajar yang dicapai
oleh siswa lebih bermakna dalam hidupnya. Pengembangan kurikulum hendaknya
memerhatikan kebutuhan masyarakat dan perkembangan masyarakat. Tyler (1946),
Taba (1963), Tanner dan Tanner (1984) menyatakan bahwa tuntutan masyarakat
adalah salah satu dasar dalam pengembangan kurikulum. Calhoun, Light, dan
Keller (1997) memaparkan tujuh fungsi sosial pendidikan, yaitu :
1)
Mengajar
keterampilan
2)
Mentransmisikan
budaya
3)
Mendorong
adaptasi lingkungan
4)
Membentuk
kedisiplinan
5)
Mendorong
bekerja berkelompok
6)
Meningkatkan
perilaku etik
7)
Memilih
bakat dan memberi penghargaan prestasi
Pengembangan kurikulum
harus ditekankan pada pengembangan individu dan keterkaitannya dengan
lingkungan sosial setempat. Sangatlah penting memperhatikan faktor
karakteristik masyarakat dalam pengembangan kurikulum. Salah satu ciri
masyarakat adalah selalu berkembang. Perkembangan masyarakat dipengaruhi oleh
falsafah hidup, nilai-nilai, IPTEK, dan kebutuhan yang ada dalam masyarakat.
Perkembangan masyarakat menuntut tersedianya proses pendidikan yang relevan.
Untuk terciptanya proses pendidikan yang sesuai dengan perkembangan masyarakat
diperlukan kurikulum yang landasan pengembangannya memperhatikan faktor
perkembangan masyarakat.
b.
Kebudayaan
dan Kurikulum
Kebudayaan dapat diartikan sebagai keseluruhan ide atau gagasan,
cita-cita, pengetahuan, kepercayaan, cara berpikir, kesenian, dan nilai yang
telah disepakati oleh masyarakat. Daoed Yusuf (1981) mendefinisikan kebudayaan
sebagai segenap perwujudan dan keseluruhan hasil pikiran (logika), kamauan
(etika) serta perasaan (estetika) manusia dalam rangka perkembangan kepribadian
manusia, perkembangan hubungan dengan manusia, hubungan manusia dengan alam,
dan hubungan manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa.
Secara
lebih rinci, kebudayaan diwujudkan dalam tiga gejala, yaitu:
1)
Ide,
konsep, gagasa, nilai, norma, peaturan dan lain-lain. Wujud kebudayaan ini
bersifat abstrak yang berada dalam alam pikiran manusia dan warga masyarakat di
tempat kebudayaan itu berada
2)
Kegiatan,
yaitu tindakan berpola dari manusia dalam bermasyarakat. Tindakan ini disebut
sistem sosial. Dalm sistem sosial, aktivitas manusia bersifat konkret, bisa
dilihat, dan diobservasi. Tindakan berpola manusia tentu didasarkan oleh wujud
kebudayaan yang pertama. Artinya, sistem sosial dalam bentuk aktivitas manusia
merupakan refleksi dari ide, konsep, gagasan, nilai, dan norma yang telah
dimilikinya
3)
Banda
hasil karya manusia. Wujud kebudayaan ini ialah seluruh fisik perbuatan atau
hasil karya manusia di masyarakat
Faktor
kebudayaan merupakan bagian yang penting dalam pengembangan kurikulum dengan
pertimbangan :
1)
Individu
lahir tidak berbudaya, baik dalam hal kebiasaan, cita-cita, sikap, pengetahuan,
keterampilan dan sebagainya. Semua itu dapat diperoleh individu melalui
interaksi dengan lingkungan budaya, keluarga, masyarakat sekitar, dan sekolah/
lembaga pendidikan. Oleh karena itu, sekolah/ lembaga pendidikan mempunyai
tugas khusus untuk memberikan pengalaman kepada para peserta didik dengan salah
satu alat yang disebut kurikulum
2)
Kurikurum
pada dasarnya harus mengakomodasi aspek-aspek sosial dan budaya.Aspek
sosiologis adalah yang berkenaan dengan kondisi sosial masyarakat yang sangat
beragam, seperti masyarakat industri , pertanian,nelayan, dan
sebagainya.Pendidik di sekolah pada dasarnya bertujuan mendidik anggota
masyarakat agar dapat hidup berintegrasi ,berinteraksi dan beradaptasi dengan
anggota masyarakat lainnya serta meningkatkan kualitas hidupnya sebagai makhluk
berbudaya. Hal ini membawa implikasi bahswa kurikulum sebagai salah satu alat
untuk mencapai tujuan pendidikan harus bermuatan kebudayaan yang bersifat umum
seperti: nilai-nilai, sikap-sikap, pengetahuan, dan kecakapan.
Gagasan
pemerintah untuk merealisasikan pemengembangan kurikulum muatan lokal tersebut yang
dimulai pada sekolah dasar, telah diwujudkan dalam keputusan menteri pendidikan
dan Kebudayaan RI No. 0412/U/1987 Tanggal 11 Juli 1987 tentang Penerapan Muatan
Lokal Sekolah Dasar kemudian disusul dengan penjabaran pelaksanaanya dalam
Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah No. 173/C/Kep/M/1987
Tanggal 7 Oktober 1987. Dalam sambutannya Mendikbud menyatakan : “ dalam hal
ini harus diingat bahwa adanya muatan lokal dalam kurikulum bukan bertujuan
agar anak terjerat dalam lingkungannya semata-mata. Semua anak berhak mendapat
kesempatan guna lebih terlibat dalam mobilitas yang melampaui batas
lingkungannya sendiri” (Umar Tirtarahardja dan La Sula, 2000 : 274)
Adapun yang
dimaksud dengan muatan lokal adalah program pendidikan yang isi dan media
penyampaiannya dikaitkan dengan lingkungan alam, lingkungan sosial, dan
lingkungan budaya serta kebutuhan daerah. Yang dimaksud dengan isi adalah
materi pelajaran atau bahan ajar yang dipilih dari lingkungan dan dijadikan
program untuk dipelajari siswa di bawah bimbingan guru. Sedangkan media
penyampaian adalah metode dan berbagai alat bantu pembelajaran yang digunakan
dalam menyajikan isi muatan lokal yang diambil dari dan menggunakan sumber
lingkungan yang dekat dengan kehidupan peserta didik.
Jika dilihat
dari sudut kepentingan peserta didik pengembangan kurikulum muatan lokal
bertujuan :
1)
Meningkatkan
pemahaman peserta didik terhadap lingkungannya (lingkungan alam, sosial, dan
budaya)
2)
Mengakrabkan
peserta didik dengan lingkungannya sehingga mereka tidak asing dengan
lingkungannya
3)
Menerapkan
pengetahuan dan keterampilan yang dipelajari untuk memecahkan masalah yang
ditemukan di lingkungan sekitarnya. (Umar Tirtarahardja dan La Sula, 2000 :
276)
DAFTAR
PUSTAKA
Kurniasih dan Syaripudin, Tatang. (2007). Landasan Filosofis
Pendidikan dan Landasan Pendidikan. Bandung: Sub Koordinator MKPD Landasan
Pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia.
Mudyahardo, Redja. (2001). Landasan-landaan Filosofis
Pendidikan. Bandung: Fakultas Ilmu Pendidikan UPI.
Nasution, S. (1993), Pengembangan Kurikulum. Bandung: Citra
Aditya Bakti
Tidak ada komentar:
Posting Komentar