Jumat, 14 September 2012

Landasan Sosiologis Pengembangan Kurikulum I Masyarakat dan Kurikulum I Kebudayaan dan Kurikulum


   Landasan Sosiologis Pengembangan Kurikulum
Landasan sosiologis pengembangan kurikulum adalah asumsi-asumsi yang berasal dari sosiologi yang dijadikan titik tolak dalam pengembangan kurikulum. Dipandang dari sosiologi, pendidikan adalah proses mempersiapkan individu agar menjadi warga masyarakat yang diharapkan, pendidikan adalah proses sosialisasi, dan berdasarkan antropologi, pendidikan adalah “enkulturasi” atau kebudayaan. Untuk menjadikan peserta didik agar menjadi warga masyarakat yang diharapkan maka pendidikan memiliki peran penting, karena itu kurikulum harus mampu memfasilitasi peserta didik agar mereka mampu bekerja sama, berinteraksi, menyesuaikan diri dengan kehidupan di masyarakat dan mampu meningkatkan harta dan martabatnya sebagai makhluk yang berbudaya.
Pendidikan adalah proses sosialisasi melalui interaksi insani menuju manusia yang berbudaya. Dalam konteks inilah anak didik dihadapkan dengan budaya manusia, dibina dan dikembangkan sesuai dengan nilai budayanya, serta dipupuk kemampuan dirinya menjadi manusia.
a.      Masyarakat dan Kurikulum
Masyarakat adalah suatu kelompok individu yang diorganisasikan mereka sendiri ke dalam kelompok-kelompok berbeda, atau suatu kelompok individu yang terorganisasi yang berpikir tentang dirinya sebagai suatu yang berbeda dengan kelompok atau masyarakat lainnya. Tiap masyarakat mempunyai kebudayaan sendiri-sendiri. Dengan demikian, yang membedakan masyarakat satu dengan masyarakat lainnya adalah kebudayaan. Hal ini mempunyai implikasi bahwa apa yang menjadi keyakinan pemikiran seseorang, dan reaksi seseorang terhadap lingkungannya sangat tergantung kepada kebudayaan di mana ia hidup.
Pendidikan harus mengantisipasi tuntutan hidup ini sehingga dapt mempersiapkan anak didik untuk hidup wajar sesuai dengan kondisi sosial budaya masyarakat. Dalam konteks inilah kurikulum sebagai program pendidikan harus dapat menjawab tantangan dan tuntutan masyarakat. Untuk dapat menjawab tuntutan tersebut bukan hanya pemenuhan dari segi isi kurikulumnya saja, melainkan juga dari segi pendekatan dan strategi pelaksanaanya. Oleh karena itu, guru sebagai pembina dan pelaksana kurikulum dituntut lebih peka mengantisipasi perkembangan masyarakat, agar apa yang diberikan kepada siswa relevan dan berguna bagi kehidupan siswa di masyarakat.
Penerapan teori, prinsip, hukum, dan konsep-konsep yang terdapat dalam semua ilmu pengetahuan yang ada dalam kurikulum, harus disesuaikan dengan kondisi sosial budaya masyarakat setempat, sehingga hasil belajar yang dicapai oleh siswa lebih bermakna dalam hidupnya. Pengembangan kurikulum hendaknya memerhatikan kebutuhan masyarakat dan perkembangan masyarakat. Tyler (1946), Taba (1963), Tanner dan Tanner (1984) menyatakan bahwa tuntutan masyarakat adalah salah satu dasar dalam pengembangan kurikulum. Calhoun, Light, dan Keller (1997) memaparkan tujuh fungsi sosial pendidikan, yaitu :
1)      Mengajar keterampilan
2)      Mentransmisikan budaya
3)      Mendorong adaptasi lingkungan
4)      Membentuk kedisiplinan
5)      Mendorong bekerja berkelompok
6)      Meningkatkan perilaku etik
7)      Memilih bakat dan memberi penghargaan prestasi
Pengembangan kurikulum harus ditekankan pada pengembangan individu dan keterkaitannya dengan lingkungan sosial setempat. Sangatlah penting memperhatikan faktor karakteristik masyarakat dalam pengembangan kurikulum. Salah satu ciri masyarakat adalah selalu berkembang. Perkembangan masyarakat dipengaruhi oleh falsafah hidup, nilai-nilai, IPTEK, dan kebutuhan yang ada dalam masyarakat. Perkembangan masyarakat menuntut tersedianya proses pendidikan yang relevan. Untuk terciptanya proses pendidikan yang sesuai dengan perkembangan masyarakat diperlukan kurikulum yang landasan pengembangannya memperhatikan faktor perkembangan masyarakat.
b.      Kebudayaan dan Kurikulum
Kebudayaan dapat diartikan sebagai keseluruhan ide atau gagasan, cita-cita, pengetahuan, kepercayaan, cara berpikir, kesenian, dan nilai yang telah disepakati oleh masyarakat. Daoed Yusuf (1981) mendefinisikan kebudayaan sebagai segenap perwujudan dan keseluruhan hasil pikiran (logika), kamauan (etika) serta perasaan (estetika) manusia dalam rangka perkembangan kepribadian manusia, perkembangan hubungan dengan manusia, hubungan manusia dengan alam, dan hubungan manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa.
Secara lebih rinci, kebudayaan diwujudkan dalam tiga gejala, yaitu:
1)      Ide, konsep, gagasa, nilai, norma, peaturan dan lain-lain. Wujud kebudayaan ini bersifat abstrak yang berada dalam alam pikiran manusia dan warga masyarakat di tempat kebudayaan itu berada
2)      Kegiatan, yaitu tindakan berpola dari manusia dalam bermasyarakat. Tindakan ini disebut sistem sosial. Dalm sistem sosial, aktivitas manusia bersifat konkret, bisa dilihat, dan diobservasi. Tindakan berpola manusia tentu didasarkan oleh wujud kebudayaan yang pertama. Artinya, sistem sosial dalam bentuk aktivitas manusia merupakan refleksi dari ide, konsep, gagasan, nilai, dan norma yang telah dimilikinya
3)      Banda hasil karya manusia. Wujud kebudayaan ini ialah seluruh fisik perbuatan atau hasil karya manusia di masyarakat
Faktor kebudayaan merupakan bagian yang penting dalam pengembangan kurikulum dengan pertimbangan :
1)      Individu lahir tidak berbudaya, baik dalam hal kebiasaan, cita-cita, sikap, pengetahuan, keterampilan dan sebagainya. Semua itu dapat diperoleh individu melalui interaksi dengan lingkungan budaya, keluarga, masyarakat sekitar, dan sekolah/ lembaga pendidikan. Oleh karena itu, sekolah/ lembaga pendidikan mempunyai tugas khusus untuk memberikan pengalaman kepada para peserta didik dengan salah satu alat yang disebut kurikulum
2)      Kurikurum pada dasarnya harus mengakomodasi aspek-aspek sosial dan budaya.Aspek sosiologis adalah yang berkenaan dengan kondisi sosial masyarakat yang sangat beragam, seperti masyarakat industri , pertanian,nelayan, dan sebagainya.Pendidik di sekolah pada dasarnya bertujuan mendidik anggota masyarakat agar dapat hidup berintegrasi ,berinteraksi dan beradaptasi dengan anggota masyarakat lainnya serta meningkatkan kualitas hidupnya sebagai makhluk berbudaya. Hal ini membawa implikasi bahswa kurikulum sebagai salah satu alat untuk mencapai tujuan pendidikan harus bermuatan kebudayaan yang bersifat umum seperti: nilai-nilai, sikap-sikap, pengetahuan, dan kecakapan.
Gagasan pemerintah untuk merealisasikan pemengembangan kurikulum muatan lokal tersebut yang dimulai pada sekolah dasar, telah diwujudkan dalam keputusan menteri pendidikan dan Kebudayaan RI No. 0412/U/1987 Tanggal 11 Juli 1987 tentang Penerapan Muatan Lokal Sekolah Dasar kemudian disusul dengan penjabaran pelaksanaanya dalam Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah No. 173/C/Kep/M/1987 Tanggal 7 Oktober 1987. Dalam sambutannya Mendikbud menyatakan : “ dalam hal ini harus diingat bahwa adanya muatan lokal dalam kurikulum bukan bertujuan agar anak terjerat dalam lingkungannya semata-mata. Semua anak berhak mendapat kesempatan guna lebih terlibat dalam mobilitas yang melampaui batas lingkungannya sendiri” (Umar Tirtarahardja dan La Sula, 2000 : 274)
Adapun yang dimaksud dengan muatan lokal adalah program pendidikan yang isi dan media penyampaiannya dikaitkan dengan lingkungan alam, lingkungan sosial, dan lingkungan budaya serta kebutuhan daerah. Yang dimaksud dengan isi adalah materi pelajaran atau bahan ajar yang dipilih dari lingkungan dan dijadikan program untuk dipelajari siswa di bawah bimbingan guru. Sedangkan media penyampaian adalah metode dan berbagai alat bantu pembelajaran yang digunakan dalam menyajikan isi muatan lokal yang diambil dari dan menggunakan sumber lingkungan yang dekat dengan kehidupan peserta didik.
Jika dilihat dari sudut kepentingan peserta didik pengembangan kurikulum muatan lokal bertujuan :
1)      Meningkatkan pemahaman peserta didik terhadap lingkungannya (lingkungan alam, sosial, dan budaya)
2)      Mengakrabkan peserta didik dengan lingkungannya sehingga mereka tidak asing dengan lingkungannya
3)      Menerapkan pengetahuan dan keterampilan yang dipelajari untuk memecahkan masalah yang ditemukan di lingkungan sekitarnya. (Umar Tirtarahardja dan La Sula, 2000 : 276)   

DAFTAR PUSTAKA
Kurniasih dan Syaripudin, Tatang. (2007). Landasan Filosofis Pendidikan dan Landasan Pendidikan. Bandung: Sub Koordinator MKPD Landasan Pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia.
Mudyahardo, Redja. (2001). Landasan-landaan Filosofis Pendidikan. Bandung: Fakultas Ilmu Pendidikan UPI.
Nasution, S. (1993), Pengembangan Kurikulum. Bandung: Citra Aditya Bakti

Tidak ada komentar:

Kisah Mata Air Keabadian

Kisah ini diriwayatkan oleh Ats-Tsa’labi dari Imam Ali ra. Pada zaman dahulu hiduplah seorang hamba Allah SWT yang melebihkan kepada d...