MENGHUKUM
ANAK DENGAN CARA HALUS DAN LEMBUT
A.
Keutamaan
berlemah-lembut
Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda,
إِنَّ الرِّفْقَ لاَيَكُوْنُ فِيْ شَيْئٍ إِلَّا زَانَهُ وَمَا يُنْزَعُ
مِنْ شَيْئٍ إِلَّا شَانَهُ
“Tidaklah kelemahlembutan ada pada sesuatu
kecuali akan menghiasainya dan tidaklah dicabut darinya melainkan akan
memperjeleknya ” (HR. Bukhari 2594 dari ‘Aisyah radhiallahu’anha)
Sabda beliau shallallahu’aaihiw asallam,
مَنْ يُحْرَمُ الرِّفْقَ يُحْرَمُ الخَيْر
“Siapa
saja yang dihalangi dari kelemahlembutan maka dihalangi pula dari kebaikan” (HR. Muslim 2542 dari Jabir bin Abdullah radhiallahu’anhu)
Juga sabda beliau shallallahu’alaihi wasallam,
إِنَّهُ مَنْ أُعْطِيَ حَظُّهُ مِنَ الرِّفْقِ فَقَدْ أُعْطِيَ حَظُّهُ
مِنْ خَيْرِالدُّنْيَاوَالأَخِرَة
“Sungguh
orang yang telah diberi bagian kelembutan berarti ia telah diberi bagian
kebikan dunia dan akhirat” (HR. Ahmad 6/159 dari
‘Aisyah radhiallahu’anha)
Dan beliau bersabda,
إِذَا أَرَادَ اللهُ بِأَهْلِ بَيْتٍ خَيْرًا أَدْخَلَ عَلَيْهِمُ
الرِّفْقَ
“Jika
Allah menginginkan kebaikan bagi sebuah anggota keluarga maka Dia akan
memasukkan kelembutan kepada mereka” (HR. Ahmad 6/71,
6/104-105, hadits shahih)
Sabda beliau,
إِنَّ اللهَ رَفِيْقٌ يُحِبُّ الرِّفْقَ
“Sesungguhnya
Allah Maha Lembut dan mencintai kelembutan.” (HR.
Muslim 2593 dari ‘Aisyah secara marfu’)
a.
Prinsip-Prinsip
Pemberian Hukuman kepada anak yang harus menjadi perhatian orang tua, yaitu :
1.
Adanya
kepercayaan terlebih dahulu kemudian hukuman
Metode
terbaik yang tetap harus diprioritaskan adalah memberikan kepercayaan kepada
anak. Memberikan kepercayaan kepada anak berarti tidak menyudutkan mereka
dengan kesalahan-kesalahannya, tetapi sebaliknya kita memberikan pengakuan
bahwa kita yakin mereka tidak berniat melakukan kesalahan tersebut, mereka
hanya khilaf atau mendapat pengaruh dari luar. Memberikan komentar-komentar
yang mengandung kepercayaan, harus dilakukan terlebih dahulu ketika anak berbuat
kesalahan. Hukuman, baik berupa caci maki, kemarahan maupun hukuman fisik lain,
adalah urutan prioritas akhir setelah dilakukan berbagai cara halus dan lembut
lainnya untuk memberikan pengertian kepada anak.
2.
Hukuman distandarkan pada perilaku
Sebagaimana
halnya pemberian hadiah yang harus distandarkan pada perilaku, maka demikian
halnya hukuman, bahwa hukuman harus berawal dari penilaian terhadap perilaku
anak, bukan ’pelaku’ nya. Setiap anak bahkan orang dewasa sekalipun tidak akan
pernah mau dicap jelek, meski mereka melakukan suatu kesalahan.
3.
Menghukum tanpa emosi
Kesalahan
yang paling sering dilakukan orangtua dan pendidik adalah ketika mereka
menghukum anak disertai dengan emosi kemarahan. Bahkan emosi kemarahan itulah
yang menjadi penyebab timbulnya keinginan untuk menghukum. Dalam kondisi ini,
tujuan sebenarnya dari pemberian hukuman yang menginginkan adanya penyadaran
agar anak tak lagi melakukan kesalahan, menjadi tak efektif. Kesalahan lain
yang sering dilakukan seorang pendidik ketika menghukum anak didiknya dengan
emosi, adalah selalu disertai nasehat yang panjang lebar dan terus
mengungkit-ungkit kesalahan anak. Dalam kondisi seperti ini sangat tidak
efektif jika digunakan untuk memberikan nasehat panjang lebar, sebab anak dalam
kondisi emosi sedang labil, sehingga yang ia rasakan bukannya nasehat tetapi
kecerewetan dan omelan yang menyakitkan.
4.
Hukuman sudah disepakati
Sama seperti
metode pemberian hadiah yang harus dimusyawarahkan dan didiologkan terlebih
dahulu, maka begitu pula yang harus dilakukan sebelum memberikan hukuman.
Adalah suatu pantangan memberikan hukuman kepada anak, dalam keadaan anak tidak
menyangka ia akan menerima hukuman, dan ia dalam kondosi yang tidak siap.
Mendialogkan peraturan dan hukuman dengan anak, memiliki arti yang sangat besar
bagi si anak. Selain kesiapan menerima hukuman ketika melanggar juga suatu
pembelajaran untuk menghargai orang lain karena ia dihargai oleh orang tuanya.
5.
Adanya tahapan pemberian hukuman.
Dalam
memberikan hukuman tentu harus melalui beberapa tahapan, mulai dari yang
teringan hingga akhirnya jadi yang terberat. Untuk itu kita perlu merujuk
kepada al-Qur’an, seperti apa konsep tahapan hukuman yang dibicarakan disana.
b.
Tahapan dalam memberi hukuman
kepada anak, yaitu:
1.
Saat anak melakukan kesalahan kita
boleh berpura-pura tidak tahu. Setelah itu berilah ia sindiran atau isyarat
tentang kesalahan yang telah dikerjakannya. Hal ini dimaksudkan untuk member
anak kesempatan berintrospeksi diri sambil melihat adakah ia segera membenahi
kesalahannya. Dalam tahap ini kita tidak perlu membeberkan kesalahan itu dengan
sikap yang sangat keras.
2.
Bila langkah pertama tidak menyadarkan anak, tegurlah anak anda secara halus. Sampaikan
padanya penjelasan yang lembut tentang kesalahan dan mintalah berjanji untuk tidak
mengulanginya lagi. Ini terlihat mudah. Bagi kita yang tidak terbiasa berkata
lembut, mungkin karena berkarakter keras, cobalah untuk berlatih menahan diri.
Kata-kata yang keras tidak selalu efektif bisa menyadarkan anak. Bisa jadi anak
akan berontak dan pelan-pelan mencontoh sika keras kita. Sedangkan sikap keras
kita suatu saat mungkin tidak lagi ampuh untuk menaklukkan anak hingga
dibutuhkan sikap yang lebih keras lagi.
3.
Tegurlah anak dengan sikap yang
tegas. Mohon dibedakan antara sikap tegas dengan sikap keras meskipun batas
antara keduanya sangatlah tipis. Kita mungkin ingin berisikap tegas, tapi
terlanjur keras. Atau kita bersikap keras dengan maksud ingin memberi ketegasan kepada anak. Sikap tegas selalu menggunakan kalimat yang jelas
dan ringkas sehingga anak dapat dengan segera menangkap maksudnya. Intonasi
atau tekanan kalimat dalam sikap tegas ini sama sekali jauh dari getaran yang
menyudutkan anak. Intonasinya datar-datar saja tapi penuh wibawa dan tenaga.
Sedangkan sikap keras bisa jadi menggunakan struktur kalimat yang sama dengan
sikap tegas. Yang membedakannya adalah getaran suara yang didengar anak sungguh
terasa menyakitkan hati. Anak jelas merasa disalahkan,, disudutkan, dipojokkan,
atau apalah istilahnya, yang pasti ia merasa harga dirinya hancur oleh kalimat
yang didengarnya itu.
Tentu saja
yang harus kita lakukan adalah menegur anak dengan sikap tegas tanpa harus
meluruhkan harga dirinya. Orangtua atau pendidik perlu berlatih kapan dan
bagaimana ia bersikap tegas. Berikaplah sesuai waktunya, dan jangan berlebihan.
Untuk itu
kembali kualitas emosi orangtua atau pendidik diuji. Ia boleh marah tapi tidak
benar-benar marah. Marah yang ditampilkan dihadapan anak hanyalah bentuk
ekspresi luaran saja, sementara otak hari dan hati tetap dingin dan terjaga
kendalinya. Bila kita bisa mengendalikan diri, maka sikap tegas akan muncul
dengan sendirinya. Pilihan kata-kata kita akan terjaga. Intonasi dan getasran
suara akan dengan sendirinya menyesuaikan kondisi hati yang tetap dingin dan
jauh dari emosi yang sesunggunya.
4.
Ini langkah terakhir bila langkah
pertama sampai ketiga tetap saja tidak menyadarkan anak dari kesalahannya.
Ialah dengan memukul. Tetapi bukan memukul dengan kekerasan, tetapi memukul
dengan kasih sayang. Pukulan
ini merupakan pilihan terakhir serangkaian usaha kita mendidik anak. Pukulan
bukan satu-satunya cara yang paling utama. Pukulan tetaplah sikap pamungkas
dari usaha kita menyadarkan anak. Dengan demikian kita tidak diperkenankan main
pukul sembarangan sebelum melalui tahapan penyadaran. Sekali lagi hal ini
bukanlah legitimisi bahwa kita boleh memukul anak. Jika terpaksa harus
menggunakan pukulan, kita harus memukul dengan menggunakan perasaan hati. Dapat
kita pahami teryata yang penting bukan seberapa kuat kita memukul anak. Sebuah
pukulan itu sendiri baik yang lembut apalagi yang kuat, sudah sangat menusuk
hati anak.
Oleh karena itu, menjadi tidak
penting memerhatikan kuat lemahnya pukulan, toh anak sudah merasa dirugikan.
Akan sangat bijaksana apabila kita menggunakan efek dari pukulan ini tidak
untuk benar-benar menyakiti fisik anak. Jelasnya, jangan pernah memukul anak
dengan tujuan untuk memukul itu sendiri, apalagi dengan mengerahkan tenaga
orang dewasa. Pukullah dengan menyertakan perasaan hati yang dipenuhi oleh
kasih sayang.
JANGNA MEMANJAKAN
ANAK DAN MENURUTI SEMUA KEMAUANNYA
Khaulah binti Hakim berkata, Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya anak
itu bisa menjadi penyebab kikir, pengecut, bodoh, dan sedih.”Ibnu Abbas
meriwayatkan bahwa Rasulullah bersabda, “Gantungkanlah pecut di tempat yang
bisa dilihat oleh keluarga kalian.”
Jadi, di balik kecintaan dan kasih sayang orang tua kepada anaknya,
Rasulullah tidak menginginkan adanya sikap memanjakan secara berlebihan dan
memperturutkan semua keinginan anak. Sehingga sang anak nanti akan berbuat
sesukanya dan menuruti semua yang diinginkannya, tanpa ada yang melarangnya.
Orang tua yang bersikap seperti ini sama dengan melakukan tindak
kejahatan yang besar terhadap anaknya sendiri. Sikap memanjakan dan memberikan
kasih sayang yang berlebihan ini mengakibatkan anak merasa tidak pernah ada
yang melarang bila berbuat kesalahan serta sama sekali tidak pernah dibiasakan
untuk taat kepada Allah dan memelihara batasan-batasan hukum-Nya.
A. Efek Negatif Akibat
Memanjakan Anak
Ada sebuah
peribahasa The Child is Father of The Man atau anak adalah ayah dari lelaki.
Jika dimaknai, maksud dari peribahasa itu ialah anak yang dimanjakan oleh
orangtuanya. Peribahasa di atas sudah menjadi fenomena sejak zaman dahulu kala.
Para orangtua umumnya bersikap memanjakan anak-anak mereka. Bahkan ada pendapat
yang mengatakan bahwa anak berkedudukan seperti raja di dalam sebuah keluarga.
Tidak peduli keluarga itu keluarga kaya, keluarga menengah, keluarga sederhana,
bahkan keluarga miskin sekalipun.
Anak kerap
dinomorsatukan secara pelayanan, dipenuhi segala kebutuhannya, bagaimana pun
caranya. Nyaris setiap orangtua selalu berusaha menjawab (memenuhi) segala
keinginan anak-anak mereka. Anak memang segala-galanya bagi orangtua. Kehadiran
anak dijadikan mitos sebagai pembawa rezeki dan kebahagiaan dalam keluarga.
Kepada anak orangtua menaruh harapan-harapan, agar anak kelak memberikan
kebanggaan dan kebahagiaan. Harapan orangtua, anak dapat hidup lebih baik dari
diri mereka secara moril dan materil. Maka tak jarang orangtua yang menjadikan
anak mereka asset keluarga. Orangtua yang terlalu berharap berlebihan kepada
anaknya sesungguhnya telah membebani hidup anak, sebab anak akan merasa
terpasung dalam menentukan sikap sesuai dengan keinginannya (niat dan
bakatnya).
Atas hal
itu, orangtua pun mempunyai cara-cara tersendiri dalam merawat, menjaga, dan
mendidik anak-anak mereka. Demi mencapai harapan-harapan mereka, seringkali
cara mendidik yang dilakukan orangtua kurang tepat. Masalah utamanya karena
orangtua kurang memiliki pengetahuan dan wawasan yang memadai dalam mendidik
putera puterinya.
Ada tipe
orangtua yang karena rasa sayangnya yang begitu besar pada sang anak, bersikap
lunak dengan memperturutkan semua keinginan anak. Mereka tidak mau untuk
mengatakan 'tidak' pada anak. Anak terbiasa tanpa kesulitan atau hambatan
apapun untuk mendapatkan keinginannya. Jika butuh sesuatu tinggal mengatakannya
pada orangtua. Anak tidak terbiasa dengan ujian.
Ada pula
orang tua yang tidak memperbolehkan anak melakukan jenis pekerjaan rumah.
Seperti merapikan tempat tidurnya dan membereskan mainannya. Tentu saja hal ini
menjadikan anak tidak terampil karena tidak terbiasa dilatih di rumah. Padahal
dengan bekerja, anak dapat mengenal rasa lelah dan menghargai waktu
istirahatnya. Pekerjaan di dalam rumah merupakan ajang latihan agar mampu
bekerja dan bertanggungjawab dengan pekerjaannya kelak.
Amat keliru
orangtua yang menganggap bahwa dengan memberikan tugas-tugas atau meminta anak
untuk mengerjakan pekerjaan rumah tangga merupakan pemberian beban pada anak.
Padahal mengikutsertakan anak dalam bekerja di dalam rumah merupakan suatu
bentuk pengakuan yang memang dicari anak. Anak justru akan merasa diakui,
dihargai, memiliki manfaat bagi orang lain.
Ada beberapa
hal yang patut ditanamkan bagi anak, yaitu sikap membantu, mampu kerja sama,
dermawan, suka menolong dan bertanggung jawab. Bahkan orangtua dapat juga
mendidik mental dan spiritual anak mereka, bukan hanya secara motorik. Tak ada
salahnya orangtua mengajak anaknya untuk memikirkan dan memahami tentang
berbagai hal, seperti perihal keluarga, tetangga, lingkungan sekitar yang
terkena musibah, agama, atau kondisi bangsa dan negara. Dengan sikap seperti
itu berarti orangtua telah mendidik anak untuk menjadi insan yang peka terhadap
permasalahan, memiliki sikap respek terhadap diri dan lingkungannya.
Pada umumnya anak-anak bersikap manja pada orang dewasa terutama pada orangtua mereka. Namun, hendaknya sikap-sikap itu diatasi dengan mengarahkan dan melatih agar sikap tersebut tidak mendominasi dalam diri anak. Seiring pertambahan usia yang semula kanak-kanak akan tumbuh menjadi remaja, kemudian menjadi manusia dewasa yang nota bene mau tidak mau harus sudah memiliki sikap tanggung jawab terhadap kehidupannya. Jika sikap manja dipertahankan hingga usia menjelang dewasa, tentu hal tersebut akan membawa dampak kurang baik.
Anak manja
akan cenderung bermasalah dibandingkan dengan anak yang tidak manja atau
terlatih mandiri. Anak manja kerap mempunyai sikap tidak siap menghadapi
peraturan-peraturan di lingkungannya dan tidak peduli dengan tanggung jawab
sosial. Misalnya di lingkungan sekolah, saat guru memberikan tugas, anak
tersebut akan merasa terbebani, bahkan tidak sedikit yang menolak tugas. Hal
ini terjadi karena ia tidak biasa disusahkan, tidak peka dengan lingkungannya.
Ia lebih terbiasa dibebaskan dari tugas-tugas, biasa dinomorsatukan, dan biasa
dibantu.
Pada
akhirnya anak manja jadi cenderung untuk bersikap licik, mementingkan dirinya
saja, tidak menghargai kepentingan orang lain, tidak sabar terhadap sesuatu,
mudah rapuh dan putus asa, sulit untuk mandiri, dan lebih banyak menuntut
hak-hak mereka. Mereka juga akan mengalami kesulitan dalam bergaul.
Menghadapi
kenyataan ini, orangtua ataupun guru masih dapat mengatasinya dengan mengajak
berbicara secara terbuka, memberikan contoh-contoh kehidupan, memberikan
wawasan untuk bergaul di masyarakat dengan semestinya. Lalu berikan pendidikan
dan pelatihan yang memadai guna membentuk sikap-sikap yang baik pada diri anak.
Tidak membiarkan anak bersikap yang salah merupakan tugas utama orangtua, namun
tidak cukup dengan kata-kata, melainkan dengan contoh secara langsung.
Anak-anak umunya bosan dinasehati, bosan dimarahi, bosan mendengarkan
larangan-larangan. Cara yang efektif untuk mengatasinya yaitu dengan contoh
nyata. Anak lebih cenderung untuk meniru yang dilihatnya dari pada yang
didengarnya. Sesungguhnya niat dan sikap orangtua terhadap anak akan membentuk
sifat dan sikap yang identik di dalam diri anak-anak.
Hati-hati jika Anda terlalu
memanjakan anak. Perlakuan Anda tersebut ternyata
dapat menimbulkan efek tidak baik di kemudian hari. Anak akan menjadi pribadi
yang rapuh, tidak bertanggungjawab, tumpul kepekaan sosialnya, dan egois.
Padahal saya yakin seratus persen Anda tidak menginginkan anak Anda berkepribadian
seperti itu. Mumpung belum terlambat, segera ubah perlakuan terhadap anak-anak
Anda. Ajari mereka bersikap mandiri sejak kecil. Paling tidak, saat anak sudah
memasuki usia Sekolah Dasar ia harus sudah belajar mandiri. Tidak perlu terlalu
muluk-muluk, berikan ia tanggungjawab yang mudah dulu. Seperti menyiram bunga,
menguras bak mandi, merapikan tempat tidur, dll. Bertahap namun pasti Anda bisa
memberikan tanggungjawab yang lebih besar seiring dengan perkembangan usianya.
Seringkali, orang tua menomorsatukan anak dalam hal pelayanan. Segala kebutuhan anak selalu
dipenuhi bagaimana pun caranya. Kehadiran anak dijadikan mitos sebagai pembawa
rezeki dan kebahagiaan dalam keluarga. Orangtua menaruh harapan-harapan kepada
anak-anaknya agar mereka memberikan kebanggaan dan kebahagiaan. Banyak orang
tua berharap anak-anaknya dapat hidup lebih baik dari diri mereka secara moril
dan materil sehingga tidak jarang orangtua menjadikan anak-anaknya sebagai aset
keluarga. Orangtua yang terlalu berharap berlebihan kepada anaknya sesungguhnya
justru membebani hidup anak itu sendiri. Sebab anak akan merasa terpasung dalam
menentukan sikap sesuai dengan keinginannya (niat dan bakatnya).
Atas hal itu,
orangtua pun mempunyai cara-cara tersendiri dalam merawat, menjaga, dan
mendidik anak-anak mereka. Demi mencapai harapan-harapan mereka, seringkali
cara mendidik yang dilakukan orangtua kurang tepat. Masalah utamanya karena
orangtua kurang memiliki pengetahuan dan wawasan yang memadai dalam mendidik
putera puterinya.
Ada tipe
orangtua yang karena rasa sayangnya yang begitu besar pada sang anak, bersikap
lunak dengan memperturutkan semua keinginannya. Mereka tidak tega untuk
mengatakan 'tidak' pada anak. Akibatnya, anak terbiasa tanpa kesulitan atau
hambatan apapun untuk mendapatkan keinginannya. Hal itu membuat pribadi mereka
menjadi rapuh dan tidak tahan uji. Walaupun sebenarnya orang tua tahu bahwa
hidup itu penuh ujian dan masalah tapi tetap saja memanjakan anak-anaknya
secara berlebihan. Padahal keterampilan dalam menghadapi masalah dan ujian
itulah yang sebenarnya perlu ditanamkan kepada anak sejak mereka masih kecil.
Agar kelak mereka mampu menghadapi masalah dan ujian yang lebih besar lagi.
Mengikuti tips
dari Mas Ricky mengenai Efek
Parasit Dalam Bisnis Internet, beberapa
waktu yang lalu saya membaca ebook mengenai biografi orang-orang yang sukses
dalam hidup seperti KH. Abdullah Gymnastiar, Ciputra, Puspo Wardoyo, Bill
Gates, dll. Dari situ saya dapat mengambil satu benang merah bahwa sejak kecil
mereka dididik dan dibiasakan oleh orangtuanya untuk bersikap mandiri. Mereka sudah
terbiasa merasakan susahnya hidup, menghargai uang, dan menghargai waktu sejak
kecil. Tidak jarang mereka diajak orangtuanya untuk membantu berjualan di toko
keluarga, merawat tanaman di kebun, atau menjajakan kue keliling kampung.
Walaupun kebanyakan orang tua mereka tidak berpendidikan formal, namun mereka tahu bagaimana cara mendidik anak-anaknya di rumah.
Hal itu sangat berbeda dengan zaman sekarang yang rata-rata orangtua
berpendidikan tinggi namun seringkali salah dalam mendidik anak-anaknya di
rumah. Hingga, tidak jarang anak sekarang masih sangat tergantung dengan orang
tuanya saat ia sudah dewasa bahkan sudah menikah sekalipun.
C.
Peran Orang Tua Dalam Pendidikan Anak
Dalam sebuah keluarga, tentunya yang
sangat berperan adalah ayah dan ibu (orang tua) dalam mendidik anak. Apa saja
yang harus dilakukan oleh ayah dan ibu sebagai sebuah keluarga yang ideal dalam
mendidik dan mengembangkan potensi/kemampuan anak-anak :
a.
Memahami makna mendidik.
Sebagai orang tua harus memahami benar apa makna dari
mendidik sehingga tidak berpendapat bahwa mendidik adalah melarang, menasehat
atau memerintah si anak. Tetapi harus dipahami bahwa mendidik adalah proses
memberi pengertian atau pemaknaan kepada si anak agar si anak dapat memahami
lingkungan sekitarnya dan dapat mengembangkan dirinya secara bertanggung jawab.
Proses memberi pengertian atau pemaknaan ini dapat
melalui komunikasi maupun teladan/tindakan, contoh : jika ingin anak disiplin
maka orang tua dapat memberi teladan kepada si anak akan hal-hal yang baik dan
beretika atau orang tua menciptakan komunikasi dengan si anak yang dialogis
dengan penuh keterbukaan, kejujuran dan ketulusan. Apabila kita mengedepankan
sikap memerintah, menasehat atau melarang maka langsung ataupun tidak akan
berdampak pada sikap anak yang bergaya otoriter dan mau menang sendiri. Kiranya
orang tua dapat mengambil pesan moral dari sajak yang ditulis oleh Dorothy Law
Nolte dengan judul “Anak Belajar dari Kehidupannya”.
Jika anak dibesarkan dengan celaan, ia akan belajar
memaki. Jika anak dibesarkan dengan cemoohan, ia akan belajar rendah diri. Jika anak dibesarkan dengan toleransi, ia akan belajar menahan diri. Jika anak dibesarkan dengan pujian, ia akan belajar menghargai. Jika anak dibesarkan dengan sebaik-baiknya perlakuan, ia akan belajar
keadilan. Jika anak dibesarkan dengan rasa aman, ia akan belajar menaruh kepercayaan. Jika anak dibesarkan dengan dukungan, ia akan belajar menghargai dirinya. Jika anak dibesarkan dengan kasih sayang dan persahabatan, maka ia akan
belajar menemukan cinta dalam kehidupan.
Ada hubungan kausal antara bagaimana orang tua
mendidik anak dengan apa yang diperbuat anak. Atau ibaratnya apa yang orang tua
tabur itulah yang nanti akan dituai. Peran orang tua dalam mendidik anak tidak
dapat tergantikan secara total oleh lembaga-lembaga persekolahan atau institusi
formal lainnya. Karena bagaimanapun juga tanggung jawab mendidik anak ada pada
pundak orang tua.
b.
Hindari mengancam, membujuk atau
menjanjikan hadiah
Dalam mendidik anak jangan memakai cara membujuk
dengan menjanjikan hadiah karena hal ini akan melahirkan ketergantungan anak
terhadap sesuatu hal baru dia melakuka sesuatu. Hal ini akan mematikan
motivasi, kreatifitas, insiatif dan pengertian serta kemandirian mereka
terhadap hal-hal yang harus dia kerjakan. Contoh : menjanjikan hadiah kalau
nilai sekolahnya baik, atau mengancam tidak memberi hadiah bila nilainya
rendah.
c.
Hindari sikap otoriter, acuh tak
acuh, memanjakan dan selalu khawatir
Seorang anak akan dapat mandiri apabila dia punya
ruang dan waktu baginya untuk berkreasi sesuai dengan kemampuan dan rasa
percaya diri yang dimilikinya. Ini harus menjadi perhatian bersama karena hal
tersebut dapat muncul dari sikap orang tuanya sendiri yang sadar atau tidak
sadar ditampakkan pada saat interaksi terjadi antara ayah dan ibu dengan anak.
Sehingga anak-anak akan termotivasi untuk mengaktualisasika potensi yang ada
pada dirinya tanpa adanya tekanan atau ketakutan.
d.
Memahami bahasa non verbal
Memarahi anak yang melakukan kesalahan adalah sesuatu
yang tidak efektif melainkan kita harus mendalami apa penyebab si anak
melakukan kesalahan dan memahami perasaan si anak. Oleh karena itu perlu
dikembangkan bahasa non verbal sebagai suatu upaya efektif untuk memahami
masalah dan perasaan si anak. Bahasa non verbal adalah dengan memberi sentuhan,
pelukan, menatap, memberi senyuman manis atau meletakkan tangan di bahu untuk
menenangkan si anak, sehingga si anak merasa nyaman untuk mengungkapkan apa
yang dipikirkan atau perasaannya.
e.
Membantu anak memecahkan persoalan
secara bersama.
Pada kondisi tertentu dibutuhkan keterlibatan kita
sebagai orang tua untuk memecahkan masalah yang dihadapi si anak. Dalam hal
membantu anak memecahkan persoalan anak, kita harus melakukannya dengan tetap
menjunjung tinggi kemandiriannya.
f.
Menjaga keharmonisan dalam keluarga.
Ayah dan Ibu sering bertengkar dan berselisih bahkan
melakukan kekerasan di depan anak-anak, sehingga anak-anak mencontoh dengan
bertindak tidak menghargai teman sebayanya atau melakukan kekerasan pula pada
temannya.
Demikian beberapa hal yang mestinya dijadi perhatian
oleh para orang tua dalam mendidik anak-anaknya. Diakui bahwa hal tersebut di
atas dapat ditambahkan dengan hal lain yang positif agar menjadi perbendaharaan
pengetahuan dalam mendidik, namun yang terutama dari semua itu adalah orang tua
harus “bagaimana menciptakan dan membangun komunikasi yang efektif” dengan
anak. Karena hal ini akan secara langsung menjaga dan memelihara kedekatan
secara emosional dengan anaknya sehingga dapat mencegah perilaku menyimpang
dari si anak. Dalam komunikasi juga perlu ditanamkan sikap optimisme pada anak,
mengembangkan sikap keterbukaan pada anak dan perlu mengajarkan tata krama pada
anak.
D.
Pengaruh negatif bagi anak bila
terlalu dimanjakan
Ada banyak hal yang merupakan
Pengaruh negatif bagi anak bila terlalu dimanjakan. Berikut ini adalah beberapa
dari hal, diantaranya :
a.
Kurang
Peka atau kurang inisiatif
Karena anak
telah terbiasa dilayani, ini akan membuat anak menjadi kurang peka. Kurang
adanya inisiatif untuk melakukan atau menyelesaikan sesuatu yang bermanfaat.
b.
Anak akan
menjadi malas
Bila Anda
terus membiarkan anak menjadi manja, anak cenderung akan menjadi seorang yang
pemalas, sulit untuk menyelesaikan pekerjaan, tugas, atau tanggungjawab yang
sebenarnya dapat dia selesaikan.
c.
Kecerdasan
Emosional Menjadi Rendah
Hilangnya
rasa empati, menghargai, dan hilangnya rasa tanggung jawab akan membuat
kecerdasan emosianal sang anak menjadi rendah. Sikap ini tentunya membuat sang
anak menjadi sulit untuk mendapatkan kepercayaan dari orang lain.
d.
Sulit
untuk bersosialisasi
Salah satu
akibat dari anak yang terlalu dimanja adalah akan membuat Ia sulit untuk
bersosialisasi. Hubungan dengan teman-temannya biasanya akan menjadi seperti
seorang majikan dan anak buah.
E.
Cara menghadapi anak yang manja
Ada
beberapa cara yang harus ditempuh oleh orang tua dalam menghadapi anak yang manja, diantaranya
:
a. Orang tua
harus mempunyai kemauan untuk tidak lagi memanjakan anak. Perilaku manja salah
satunya karena selama ini apa saja yang mereka inginkan selalu dituruti.
Mulailah untuk tidak memanjakan anak dan ajarkan hidup mandiri dari hal-hal
yang kecil, Misalnya biasakan anak mengambil baju seragam sendiri,
mengambil makan atau minum sendiri.
b. Orang tua
harus dapat lebih mengerti tentang perasaan anak. Caranya adalah, buatlah anak
menjadi suka menceritakan tentang dirinya atau pengalamannya. Ketika komunikasi
sedang berlangsung, tunjukkan perasaan bahwa orang tua mengerti dan
sangat memahami perasaan sang anak. Buatlah sang anak percaya diri dengan
kemampuannya.
c. Jangan
membandingkan anak dengan orang lain atau sebaliknya. Tanamkan kepadanya agar
selalu berpikir positif terhadap apapun dan jangan lupa untuk selalu
membesarkan hatinya.
d. Berilah
perhatian. Ajak sang anak untuk melakukan aktifitas-aktifitas yang dia suka.
Apabila ada permasalahan dengan saudaranya, jangan selalu dibenarkan dan jangan
pula selalu disalahkan. Katakan dengan lembut agar dia dapat menghargai dan
menyayangi saudaranya.
e. Orangtua
harus dapat memupuk kepercayaan diri sang anak agar dapat mandiri. Jangan
biarkan anak ketergantungan terhadap orangtua ataupun dengan orang lain. Selalu
berikan kesempatan dan kebebasan untuknya melakukan sesuatu yang ke depannya akan
bermanfaat positif. Ini sangat penting karena anak akan dapat melakukan sesuatu
apabila dia bisa melakukannya.
f. Didiklah
anak agar dapat berbaur dengan lingkungan sekitar dan teman-temannya. Hal ini
akan membuatnya menjadi lebih bersemangat untuk berkreatifitas.
g. Menghargai
kemampuan anak. Biarkan Ia melakukan sesuatu atau mencoba mengatai permasalahan
yang dia hadapi. Jangan selalu diberi bantuan, terutama mengekang sang anak
untuk tidak melakukan apapun.
Orang tua harus konsisten untuk tidak memanjakan anak,
tidak hanya satu atau dua hari saja lalu kembali memanjakan mereka.
Daftar Pustaka
Tharsyah,
Adnan.2006.”16 Jalan Kebahagiaan Sejati”.
Jakarta : Hikmah
Munir, Abdullah.2006.”Spiritual Teaching”.Yogyakarta: Insan
Madani
Tidak ada komentar:
Posting Komentar