Remaja
adalah masa yang paling indah, ibarat buah sedang ranum-ranumnya akan matang,
akan tetapi jika langkahnya keliru maka yang akan didapat adalah salah jalan,
atau keblinger, maka dari itu pembinaan di LDII senantiasa pembinaan
remaja menjadi prioritas utama sebagai pembentukan psikologi yang baik untuk
menjadi manusia seutuhnya berdasarkan dengan Al-Quran dan Hadist, tapi
bagaimana pendapat para ahli tentang remaja, tidak ada salahnya menyimak
pendapat mereka tentang definisi remaja.
Remaja
berasal dari kata latin adolensence yang berarti tumbuh atau tumbuh
menjadi dewasa. Istilah adolensence mempunyai arti yang lebih luas lagi yang
mencakup kematangan mental, emosional sosial dan fisik (Hurlock, 1992). Remaja
sebenarnya tidak mempunyai tempat yang jelas karena tidak termasuk golongan
anak tetapi tidak juga golongan dewasa atau tua.
Seperti yang
dikemukakan oleh Calon (dalam Monks, dkk 1994) bahwa masa remaja menunjukkan
dengan jelas sifat transisi atau peralihan karena remaja belum memperoleh
status dewasa dan tidak lagi memiliki status anak. Menurut Sri Rumini &
Siti Sundari (2004: 53) masa remaja adalah peralihan dari masa anak dengan masa
dewasa yang mengalami perkembangan semua aspek/ fungsi untuk memasuki masa
dewasa.
Berencana
Nasional (BKKBN) mewanti-wanti agar tidak menikah di usia muda. Usia muda
artinya, usia yang belum matang secara medis dan psikologinya. Usia menikah
ideal untuk perempuan adalah 20-35 tahun dan 25-40 tahun untuk pria.
"Perlu dipertimbangkan medis dan psikologisnya. Untuk perempuan, idealnya menikah di usia 20-35 tahun. Sedangkan untuk laki-laki beda 5 tahun yakni 25-40 tahun," ujar Kepala BKKBN Sugiri Syarif dalam perbincangan dengan detikcom, Selasa (17/5/2011).
"Perlu dipertimbangkan medis dan psikologisnya. Untuk perempuan, idealnya menikah di usia 20-35 tahun. Sedangkan untuk laki-laki beda 5 tahun yakni 25-40 tahun," ujar Kepala BKKBN Sugiri Syarif dalam perbincangan dengan detikcom, Selasa (17/5/2011).
Dia
menjelaskan, pada umur 20 tahun ke atas, organ reproduksi perempuan sudah siap
mengandung dan melahirkan. Sedangkan pada usia 35 tahun mulai terjadi proses
regeneratif. "Secara psikologis umur 20 juga mulai matang, bisa
mempertimbangkan secara emosional dan nalar. Sudah tahu menikah itu tujuannya
apa, untuk apa. Kebanyakan yang terjadi, tambahnya, menikah dini dikarenakan
terjepit masalah ekonomi. Hal ini banyak dijumpai di pedesaan dan daerah
tertentu di Indonesia yang masih sangat memegang pemikiran lama, di mana
perempuan tidak perlu mendapat pendidikan tinggi karena banyak bergulat di
dapur, kasur dan sumur.
"Kalau
sudah selesai sekolah (seperti SD atau SMP) banyak yang langsung dinikahkan.
Masih ada orangtua yang bangga kalau anaknya menikah usia muda, apalagi jika
pasangannya kaya dan terkenal," lanjut Sugiri.
Selain itu,
masih ada orangtua yang merasa bangga jika anaknya menikah di usia muda meski
harus tidak melanjutkan pendidikan. "Sepertinya ada sebuah kebanggan kalau
anaknya 'laku' atau masih muda namun telah dipinang orang," imbuhnya.
sedangkan perempuan yang menikah di atas 35 tahun dan setelah itu hamil, maka
harus lebih hati-hati menjaga kehamilannya. Kala hamil di usia lebih dari 35
tahun maka harus rajin-rajin memeriksakan kehamilan. Di usia itu, kehamilan
kurang lebih sama rentannya dengan kehamilan perempuan dengan usia di bawah 20
tahun.
A.
Kriteria Mamilih Calon Istri Dan
Suami Menurut Islam
Setiap muslim yang ingin beruntung dunia akhirat hendaknya
mengidam-idamkan sosok suami dan istri dengan kriteria sebagai berikut:
1.
Taat
kepada Allah dan Rasul-Nya
Ini adalah kriteria yang paling
utama dari kriteria yang lain. Maka dalam memilih calon pasangan hidup, minimal
harus terdapat satu syarat ini. Karena Allah Ta’ala berfirman,
Sedangkan
taqwa adalah menjaga diri dari adzab Allah Ta’ala dengan menjalankan
perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Maka hendaknya seorang muslim berjuang
untuk mendapatkan calon pasangan yang paling mulia di sisi Allah, yaitu seorang
yang taat kepada aturan agama. Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam pun
menganjurkan memilih istri yang baik agamanya.
2.
Al
Kafa’ah (Sekufu)
Yang dimaksud dengan sekufu atau al
kafa’ah -secara bahasa- adalah sebanding dalam hal kedudukan, agama, nasab, rumah
dan selainnya (Lisaanul Arab, Ibnu Manzhur). Al Kafa’ah secara syariat menurut
mayoritas ulama adalah sebanding dalam agama, nasab (keturunan), kemerdekaan
dan pekerjaan. (Dinukil dari Panduan Lengkap Nikah, hal. 175). Atau dengan kata
lain kesetaraan dalam agama dan status sosial. Banyak dalil yang menunjukkan
anjuran ini. Di antaranya firman Allah Ta’ala: “Wanita-wanita yang keji untuk
laki-laki yang keji. Dan laki-laki yang keji untuk wanita-wanita yang keji
pula. Wanita-wanita yang baik untuk laki-laki yang baik. Dan laki-laki yang
baik untuk wanita-wanita yang baik pula.” (QS. An Nur: 26)
Salah satu hikmah dari anjuran ini adalah
kesetaraan dalam agama dan kedudukan sosial dapat menjadi faktor kelanggengan
rumah tangga. Hal ini diisyaratkan oleh kisah Zaid bin Haritsah radhiyallahu
‘anhu, seorang sahabat yang paling dicintai oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam, dinikahkan dengan Zainab binti Jahsy radhiyallahu ‘anha. Zainab
adalah wanita terpandang dan cantik, sedangkan Zaid adalah lelaki biasa yang
tidak tampan. Walhasil, pernikahan mereka pun tidak berlangsung lama. Jika
kasus seperti ini terjadi pada sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam, apalagi kita?
3. Menyenangkan jika dipandang
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits yang telah disebutkan, membolehkan
kita untuk menjadikan faktor fisik sebagai salah satu kriteria memilih calon
pasangan. Karena paras yang cantik atau tampan, juga keadaan fisik yang menarik
lainnya dari calon pasangan hidup kita adalah salah satu faktor penunjang
keharmonisan rumah tangga. Maka mempertimbangkan hal tersebut sejalan dengan
tujuan dari pernikahan, yaitu untuk menciptakan ketentraman dalam hati.
Allah Ta’ala berfirman,
“Dan di antara tanda kekuasaan Allah ialah Ia
menciptakan bagimu istri-istri dari jenismu sendiri agar kamu merasa tenteram
denganya.” (QS. Ar Ruum: 21)
4.
Subur
(mampu menghasilkan keturunan)
Di antara
hikmah dari pernikahan adalah untuk meneruskan keturunan dan memperbanyak
jumlah kaum muslimin dan memperkuat izzah (kemuliaan) kaum muslimin. Karena
dari pernikahan diharapkan lahirlah anak-anak kaum muslimin yang nantinya
menjadi orang-orang yang shalih yang mendakwahkan Islam. Oleh karena itulah,
Rasullullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan untuk memilih calon istri
yang subur,
“Nikahilah wanita yang penyayang dan subur!
Karena aku berbangga dengan banyaknya ummatku.” (HR. An Nasa’I, Abu Dawud.
Dihasankan oleh Al Albani dalam Misykatul Mashabih)
Karena
alasan ini juga sebagian fuqoha (para pakar fiqih) berpendapat bolehnya fas-khu
an nikah (membatalkan pernikahan) karena diketahui suami memiliki impotensi
yang parah. As Sa’di berkata: “Jika seorang istri setelah pernikahan mendapati
suaminya ternyata impoten, maka diberi waktu selama 1 tahun, jika masih dalam keadaan
demikian, maka pernikahan dibatalkan (oleh penguasa)” (Lihat Manhajus Salikin,
Bab ‘Uyub fin Nikah hal. 202)
B. Kriteria Khusus untuk Memilih Calon
Suami
Khusus bagi seorang muslimah yang hendak memilih calon
pendamping, ada satu kriteria yang penting untuk diperhatikan. Yaitu calon
suami memiliki kemampuan untuk memberi nafkah. Karena memberi nafkah merupakan
kewajiban seorang suami. Islam telah menjadikan sikap menyia-nyiakan hak istri,
anak-anak serta kedua orang tua dalam nafkah termasuk dalam kategori dosa
besar. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Cukuplah
seseorang itu berdosa bila ia menyia-nyiakan orang yang menjadi tanggungannya.”
(HR. Ahmad, Abu Dawud. Al Hakim berkata bahwa sanad hadits ini shahih).
Oleh
karena itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun membolehkan bahkan
menganjurkan menimbang faktor kemampuan memberi nafkah dalam memilih suami.
Seperti kisah pelamaran Fathimah binti Qais radhiyallahu ‘anha:
“Dari
Fathimah binti Qais radhiyallahu ‘anha, ia berkata: ‘Aku mendatangi Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu aku berkata, “Sesungguhnya Abul Jahm dan
Mu’awiyah telah melamarku”. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
berkata, “Adapun Mu’awiyah adalah orang fakir, ia tidak mempunyai harta. Adapun
Abul Jahm, ia tidak pernah meletakkan tongkat dari pundaknya”.” (HR.
Bukhari-Muslim)
Dalam
hadits ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak merekomendasikan
Muawiyah radhiyallahu ‘anhu karena miskin. Maka ini menunjukkan bahwa masalah
kemampuan memberi nafkah perlu diperhatikan.
Namun
kebutuhan akan nafkah ini jangan sampai dijadikan kriteria dan tujuan utama.
Jika sang calon suami dapat memberi nafkah yang dapat menegakkan tulang
punggungnya dan keluarganya kelak itu sudah mencukupi. Karena Allah dan
Rasul-Nya mengajarkan akhlak zuhud (sederhana) dan qana’ah (menyukuri apa yang
dikarunai Allah) serta mencela penghamba dan pengumpul harta. Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Celakalah
hamba dinar, celakalah hamba dirham, celakalah hamba khamishah dan celakalah
hamba khamilah. Jika diberi ia senang, tetapi jika tidak diberi ia marah.” (HR.
Bukhari).
Selain
itu, bukan juga berarti calon suami harus kaya raya. Karena Allah pun
menjanjikan kepada para lelaki yang miskin yang ingin menjaga kehormatannya
dengan menikah untuk diberi rizki.
“Dan
nikahkanlah orang-orang yang masih membujang di antara kalian. Jika mereka
miskin, Allah akan memberi kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya.” (QS. An
Nur: 32)
C. Kriteria Khusus untuk Memilih Istri
Salah satu bukti bahwa wanita memiliki kedudukan yang mulia
dalam Islam adalah bahwa terdapat anjuran untuk memilih calon istri dengan
lebih selektif. Yaitu dengan adanya beberapa kriteria khusus untuk memilih
calon istri. Di antara kriteria tersebut adalah:
1.
Bersedia
taat kepada suami
Seorang
suami adalah pemimpin dalam rumah tangga. Sebagaimana firman Allah Ta’ala:
“Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita.” (QS. An
Nisa: 34)
Sudah sepatutnya seorang pemimpin
untuk ditaati. Ketika ketaatan ditinggalkan maka hancurlah ‘organisasi’ rumah
tangga yang dijalankan. Oleh karena itulah, Allah dan Rasul-Nya dalam banyak
dalil memerintahkan seorang istri untuk taat kepada suaminya, kecuali dalam
perkara yang diharamkan. Meninggalkan ketaatan kepada suami merupakan dosa
besar, sebaliknya ketaatan kepadanya diganjar dengan pahala yang sangat besar
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Apabila seorang wanita mengerjakan
shalat lima waktunya, mengerjakan puasa di bulan Ramadhan, menjaga kemaluannya
dan menaati suaminya, maka ia akan masuk surga dari pintu mana saja yang ia
inginkan.” (HR. Ibnu Hibban. Dishahihkan oleh Al Albani)
Maka seorang muslim hendaknya
memilih wanita calon pasangan hidupnya yang telah menyadari akan kewajiban ini.
2.
Menjaga
auratnya dan tidak memamerkan kecantikannya kecuali kepada suaminya
Berbusana muslimah yang benar dan
syar’i adalah kewajiban setiap muslimah. Seorang muslimah yang shalihah
tentunya tidak akan melanggar ketentuan ini. Allah Ta’ala berfirman:
“Wahai Nabi katakanlah kepada
istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin: ‘Hendaklah
mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.’” (QS. Al Ahzab: 59)
Berdasarkan
dalil-dalil yang ada, para ulama merumuskan syarat-syarat busana muslimah yang
syar’i di antaranya: menutup aurat dengan sempurna, tidak ketat, tidak
transparan, bukan untuk memamerkan kecantikan di depan lelaki non-mahram, tidak
meniru ciri khas busana non-muslim, tidak meniru ciri khas busana laki-laki,
dll.
Maka
pilihlah calon istri yang menyadari dan memahami hal ini, yaitu para muslimah
yang berbusana muslimah yang syar’i.
3.
Gadis
lebih diutamakan dari janda
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan agar menikahi wanita yang masih
gadis. Karena secara umum wanita yang masih gadis memiliki kelebihan dalam hal
kemesraan dan dalam hal pemenuhan kebutuhan biologis. Sehingga sejalan dengan
salah satu tujuan menikah, yaitu menjaga dari penyaluran syahawat kepada yang
haram. Wanita yang masih gadis juga biasanya lebih nrimo jika sang suami
berpenghasilan sedikit. Hal ini semua dapat menambah kebahagiaan dalam
pernikahan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Menikahlah dengan gadis, sebab
mulut mereka lebih jernih, rahimnya lebih cepat hamil, dan lebih rela pada
pemberian yang sedikit.” (HR. Ibnu Majah. Dishahihkan oleh Al Albani)
Namun
tidak mengapa menikah dengan seorang janda jika melihat maslahat yang besar.
Seperti sahabat Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu yang menikah dengan janda
karena ia memiliki 8 orang adik yang masih kecil sehingga membutuhkan istri
yang pandai merawat anak kecil, kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam pun menyetujuinya (HR. Bukhari-Muslim)
4.
Nasab-nya
baik
Dianjurkan
kepada seseorang yang hendak meminang seorang wanita untuk mencari tahu tentang
nasab (silsilah keturunan)-nya.
Alasan
pertama, keluarga memiliki peran besar dalam mempengaruhi ilmu, akhlak dan
keimanan seseorang. Seorang wanita yang tumbuh dalam keluarga yang baik lagi
Islami biasanya menjadi seorang wanita yang shalihah.
Alasan
kedua, di masyarakat kita yang masih awam terdapat permasalahan pelik berkaitan
dengan status anak zina. Mereka menganggap bahwa jika dua orang berzina, cukup
dengan menikahkan keduanya maka selesailah permasalahan. Padahal tidak
demikian. Karena dalam ketentuan Islam, anak yang dilahirkan dari hasil zina
tidak di-nasab-kan kepada si lelaki pezina, namun di-nasab-kan kepada ibunya.
Berdasarkan hadits,
“Anak yang lahir
adalah milik pemilik kasur (suami) dan pezinanya dihukum.” (HR. Bukhari)
Oleh
karena itulah, seorang lelaki yang hendak meminang wanita terkadang perlu untuk
mengecek nasab dari calon pasangan.
Demikian
beberapa kriteria yang perlu dipertimbangkan oleh seorang muslim yang hendak
menapaki tangga pernikahan. Nasehat kami, selain melakukan usaha untuk memilih
pasangan, jangan lupa bahwa hasil akhir dari segala usaha ada di tangan Allah
‘Azza Wa Jalla. Maka sepatutnya jangan meninggalkan doa kepada Allah Ta’ala
agar dipilihkan calon pasangan yang baik. Salah satu doa yang bisa dilakukan
adalah dengan melakukan shalat Istikharah. Sebagaimana hadits dari Jabir
radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata
“Jika kalian merasa gelisah terhadap
suatu perkara, maka shalatlah dua raka’at kemudian berdoalah: ‘Ya Allah, aku
beristikharah kepadamu dengan ilmu-Mu’… (dst)” (HR. Bukhari)
D. Pentingnya
Pendidikan Pra Nikah
Agama
Islam mengajarkan kepada pemeluknya untuk tidak tergesa-gesa dalam segala
tindakannya. Akan tetapi, ada sesuatu yang justru Islam menganjurkan untuk
bersegera dilakukan. Setidaknya ada lima perkara: mengubur jenazah, membayar
hutang, menghidangkan jamuan untuk musafir yang berkunjung, bertaubat, dan
menikah.
Sudah
merupakan fitrah manusia untuk mencintai lawan jenis, baik pria maupun wanita.
Allah sendiri berfirman dalam surat Ali Imran “Dijadikan terasa indah dalam
pandangan manusia cinta terhadap apa yang diinginkan, berupa perempuan
–perempuan, anak-anak, …” Islam sebagai agama yang haq dan sempurna sudah
tentu mempunyai koridor dan batasan bagaimana me-manage rasa cinta kepada lawan
jenis. Dan satu-satunya solusi yang ditawarkan adalah melalui ikatan suci
pernikahan. Bahkan kedudukan nikah dijelaskan oleh Rasulullah SAW “Barangsiapa
menikah, maka ia telah melengkapi separuh dari agamanya. Dan hendaklah ia
bertaqwa kepada Allah dalam memelihara yang separuhnya lagi”. (HR. Thabrani
dan Hakim).
Menikah
terlihat mudah, tetapi sebenarnya urusan ini cukup pelik dan menuntut perhatian
yang lebih. Perlu banyak bekal untuk menuju ke sana. Ambilah contoh betapa
rumitnya ketika membuat sebuah rumah hunian. Membangunnya dibutuhkan
perencanaan yang matang mulai dari pemilihan lokasi, bentuk bangunan, material
yang digunakan, estimasi anggaran, sampai rincian lainnya. Hal tersebut
dilakukan agar rumah yang dihasilkan adalah bangunan yang kokoh dan bagus. Jika
membangun rumah yang notabene adalah untuk tujuan dunia perlu perencanaan yang
baik, maka untuk membangun rumah tangga tentunya akan lebih membutuhkan
persiapan yang benar-benar matang. Karena rumah tangga ini harapannya tidak
hanya untuk tujuan dunia tetapi juga di akhirat kelak.
Jika
umur umat Islam adalah 60 – 70 tahun, sesuai sabda Rasulullah SAW, “Umur umatku
adalah antara 60 tahun hingga 70 tahun” dan menurut statistik, rata-rata usia
menikah penduduk Indonesia adalah pada usia 25 – 27 tahun, berarti sesorang
akan mengarungi kehidupan berumah tangga selama sekitar 35 tahun atau dengan
kata lain separuh lebih usia hidup di dunia akan dihabiskan dengan orang baru
yaitu istri atau suami. Bisa dibayangkan ketika salah perhitungan dalam
perencanaan rumah tangga, masa depan suram akan menunggu di depan mata, baik di
dunia lebih-lebih di akhirat.
a. Kejayaan Islam terwujud melalui
pernikahan.
Salah satu tujuan pernikahan di
samping beribadah kepada Allah serta tempat menyalurkan gharizah insaniyah
(naluri kemanusiaan) yang halal, juga bertujuan untuk mempunyai keturunan.
Pernikahan yang berkualitas akan menghasilkan keturunan yang qualified pula.
Psikolog Abigael Wohing Ati memaparkan yang dimaksud pernikahan berkualitas
adalah kondisi di mana dengan pernikahan dapat menghasilkan kebahagiaan,
keseuaian serta kestabilan pernikahan. Sedangkan tingkat kualitas pernikahan
sendiri dipengaruhi oleh faktor seperti komposisi optimal keluarga, siklus
kehidupan keluarga, kelayakan sosioekonomi dan kesesuaian peran, faktor sumber
daya sosial dan pribadi suami istri bahkan oleh kondisi pranikah. Menyinggung
sedikit mengenai kondisi pranikah, penelitian yang dilakukan Fakultas Psikologi
Undip Semarang, menyimpulkan bahwa kualitas pernikahan pasangan yang tidak
membina hubungan sebelum nikah (pacaran) adalah lebih tinggi dibanding pasutri
yang melakukan pacaran sebelum menikah.
Dalam Islam sendiri, pernikahan
berkualitas akan diukur dari proses pra, pas, dan pasca nikah. Bagaimana
seseorang memulai proses dari mencari calon istri atau suami hingga sampai aqad
nikah dan pasca nikah akan mempunyai keturunan, kesemuanya itu dibalut dalam
syariat yang jelas. Sehingga harapannya ketika mempunyai keturunan, adalah anak
yang sholeh dan sholehah, bisa memberikan kebermanfaatan untuk umat.
Seperti contoh Umar bin Abdul Aziz.
Salah seorang tokoh besar dalam sejarah Islam, sampai-sampai ahli sejarah Islam
menjuluki beliau sebagai Khulafaur Rasyidin kelima setelah Abu Bakar ash
Shiddiq, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib. Gelar
tersebut dirasa pantas mengingat prestasi yang dilakukan Umar bin Abdul Aziz
semasa menjadi khalifah pada era Dinasti Umayyah. Beliau berhasil mengembalikan
stabilitas negara sama seperti pada masa Khulafaur Rasyidin. Dikisahkan pada
saat itu tidak ada siapa pun umat Islam yang layak menerima zakat. Kondisi
tersebut tercapai hanya dalam tempo sekitar tiga tahun pemerintahan.
Jika menelusuri silsilah Umar bin
Abdul Aziz maka dapat dilihat bahwa beliau lahir dari pasangan pernikahan yang
luar biasa. Kisah diawali ketika suatu malam Sahabat Umar bin Khattab yang saat
itu menjadi Khalifah sedang berkeliling melihat kondisi rakyatnya, tidak
sengaja mendengarkan percakapan Ibu dan anak. Si Ibu menyuruh menambahkan air
pada susu agar terlihat banyak, tetapi sang anak menolak. Umar bin Khattab
kagum lalu singkat cerita si anak perempuan tadi yang bernama Ummu Ammarah
binti Sufyan bin Abdullah bin Rabi’ah Ats-Tsaqafi dinikahkan dengan salah satu
putranya yang bernama Ashim. Dari pernikahan tersebut lahirlah gadis bernama
Laila atau lebih dikenal Ummu Ashim. Ummu Ashim seorang wanita yang shalihah
lalu menikah dengan Abdul Aziz bin Marwan seorang gubernur Bani Marwan. Dari
pernikahan suci inilah lahir seorang lelaki bernama Umar bin Abdul Aziz. Sang
pemimpin umat Islam.
b. Kurikulum Pendidikan Pra Nikah
Keluarga memang menjadi tempat paling penting dalam penanaman ilmu keIslaman. Karena di sinilah anak akan belajar untuk pertama kalinya sebelum memperoleh ilmu dari luar lingkungan keluarga. Kerjasama yang baik antara Ayah dan Ibu sangat vital dalam proses tumbuh kembang anak. Akan tetapi, peran keluarga sebagai insititusi pendidikan non formal juga harus mendapat dukungan dari institusi pendidikan formal mulai dari dasar hingga tingkat lanjut. Seperti dijelaskan di awal, bahwa pernikahan adalah hal rumit dan ini harus dipaparkan dengan gamblang dari yang bersifat umum hingga mendetil bagaimana Islam mengatur hal tersebut. Mungkin ada permasalahan yang orangtua belum bisa menyampaikan dan harus disampaikan oleh yang lebih ahli dan berilmu.
Perguruan tinggi sebagai salah satu institusi pendidikan
formal, lebih-lebih perguruan tinggi Islam harus mengambil peran tersebut.
Sebagai perguruan tinggi, tentunya institusi mempunyai tujuan agar para
lulusannya bisa meniti karir dengan sukses. Kurikulum dan segala perangkatnya
akan didesain sedemikian baik untuk menunjang harapan tersebut. Kondisi
terbalik ketika berbicara masalah keIslaman, utamanya pada institusi pendidikan
Islam, penyampaian ilmu agama termasuk diantaranya munakahat kurang mendapat
perhatian lebih. Ini bisa dilihat dari porsi belajarnya yang relatif kecil.
Sangat disayangkan jika para mahasiswa harus mencari ilmu agama di luar kampus,
padahal dalam kesehariannya mereka menuntut ilmu di kampus yang berbasis agama.
Sudah sepatutnya kondisi paradoks tersebut segera disikapi.
Padahal,
kedudukan ilmu pengetahuan tentang membina rumah tangga yang Islami mempunyai
andil yang cukup besar dalam kehidupan manusia. Apalah arti karir sukses jika
di level rumah tangga hancur berantakan karena tidak tahu bagaimana membinanya
dalam bingkai Islam? Bagaimana dia akan bisa menjadi manajer yang baik di
perusahaan jika di rumah dia gagal membina istri dan anak? Lebih menderita
karena kegagalan membina rumah, membina anak, akan berimbas pada nasib manusia
di akhirat nanti. Dan rasanya kurikulum pendidikan pra nikah lebih urgent serta
layak diberikan ketimbang sekedar menyampaikan pendidikan seks kepada remaja.
Maka
cukuplah Rasulullah SAW menjadi suri tauladan. Beliau adalah seorang pemimpin
negara, pebisnis sukses, panglima perang yang gagah berani, tetapi beliau juga
adalah seorang suami yang baik, dan ayah yang sangat menyayangi anak-anaknya.
Baik di dalam maupun luar rumah beliau tetap menjadi idola.
Marilah
berupaya sekuat tenaga mengamalkan segala yang diperintahkan oleh Allah dan
Rasul-Nya. Semoga Allah menjadikan rumah tangga yang kita bina adalah rumah
tangga yang diberkahi, sehingga bisa menjadi jalan mencapai ridho Allah yaitu
Surga yang penuh dengan kenikmatan. Semoga shalawat dan salam tercurah atas
Nabi Muhammad keluarga beliau dan seluruh sahabat-sahabatnya.
Daftar Pustaka
Tidak ada komentar:
Posting Komentar