Minggu, 16 September 2012

PENDIDIKAN USIA PRA NIKAH



Remaja adalah masa yang paling indah, ibarat buah sedang ranum-ranumnya akan matang, akan tetapi jika langkahnya keliru maka yang akan didapat adalah salah jalan, atau keblinger, maka dari itu pembinaan di LDII senantiasa pembinaan remaja menjadi prioritas utama sebagai pembentukan psikologi yang baik untuk menjadi manusia seutuhnya berdasarkan dengan Al-Quran dan Hadist, tapi bagaimana pendapat para ahli tentang remaja, tidak ada salahnya menyimak pendapat mereka tentang definisi remaja.

Remaja berasal dari kata latin adolensence yang berarti tumbuh atau tumbuh menjadi dewasa. Istilah adolensence mempunyai arti yang lebih luas lagi yang mencakup kematangan mental, emosional sosial dan fisik (Hurlock, 1992). Remaja sebenarnya tidak mempunyai tempat yang jelas karena tidak termasuk golongan anak tetapi tidak juga golongan dewasa atau tua.

Seperti yang dikemukakan oleh Calon (dalam Monks, dkk 1994) bahwa masa remaja menunjukkan dengan jelas sifat transisi atau peralihan karena remaja belum memperoleh status dewasa dan tidak lagi memiliki status anak. Menurut Sri Rumini & Siti Sundari (2004: 53) masa remaja adalah peralihan dari masa anak dengan masa dewasa yang mengalami perkembangan semua aspek/ fungsi untuk memasuki masa dewasa.

Berencana Nasional (BKKBN) mewanti-wanti agar tidak menikah di usia muda. Usia muda artinya, usia yang belum matang secara medis dan psikologinya. Usia menikah ideal untuk perempuan adalah 20-35 tahun dan 25-40 tahun untuk pria.

           "Perlu dipertimbangkan medis dan psikologisnya. Untuk perempuan, idealnya menikah di usia 20-35 tahun. Sedangkan untuk laki-laki beda 5 tahun yakni 25-40 tahun," ujar Kepala BKKBN Sugiri Syarif dalam perbincangan dengan detikcom, Selasa (17/5/2011).

Dia menjelaskan, pada umur 20 tahun ke atas, organ reproduksi perempuan sudah siap mengandung dan melahirkan. Sedangkan pada usia 35 tahun mulai terjadi proses regeneratif. "Secara psikologis umur 20 juga mulai matang, bisa mempertimbangkan secara emosional dan nalar. Sudah tahu menikah itu tujuannya apa, untuk apa. Kebanyakan yang terjadi, tambahnya, menikah dini dikarenakan terjepit masalah ekonomi. Hal ini banyak dijumpai di pedesaan dan daerah tertentu di Indonesia yang masih sangat memegang pemikiran lama, di mana perempuan tidak perlu mendapat pendidikan tinggi karena banyak bergulat di dapur, kasur dan sumur.

"Kalau sudah selesai sekolah (seperti SD atau SMP) banyak yang langsung dinikahkan. Masih ada orangtua yang bangga kalau anaknya menikah usia muda, apalagi jika pasangannya kaya dan terkenal," lanjut Sugiri.

Selain itu, masih ada orangtua yang merasa bangga jika anaknya menikah di usia muda meski harus tidak melanjutkan pendidikan. "Sepertinya ada sebuah kebanggan kalau anaknya 'laku' atau masih muda namun telah dipinang orang," imbuhnya. sedangkan perempuan yang menikah di atas 35 tahun dan setelah itu hamil, maka harus lebih hati-hati menjaga kehamilannya. Kala hamil di usia lebih dari 35 tahun maka harus rajin-rajin memeriksakan kehamilan. Di usia itu, kehamilan kurang lebih sama rentannya dengan kehamilan perempuan dengan usia di bawah 20 tahun.

A.    Kriteria Mamilih Calon Istri Dan Suami Menurut Islam

Setiap muslim yang ingin beruntung dunia akhirat hendaknya mengidam-idamkan sosok suami dan istri dengan kriteria sebagai berikut:

      1.      Taat kepada Allah dan Rasul-Nya
Ini adalah kriteria yang paling utama dari kriteria yang lain. Maka dalam memilih calon pasangan hidup, minimal harus terdapat satu syarat ini. Karena Allah Ta’ala berfirman,

“Sesungguhnya yang paling mulia di antara kalian adalah yang paling bertaqwa.” (QS. Al Hujurat: 13)

Sedangkan taqwa adalah menjaga diri dari adzab Allah Ta’ala dengan menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Maka hendaknya seorang muslim berjuang untuk mendapatkan calon pasangan yang paling mulia di sisi Allah, yaitu seorang yang taat kepada aturan agama. Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam pun menganjurkan memilih istri yang baik agamanya.

     2.      Al Kafa’ah (Sekufu)
Yang dimaksud dengan sekufu atau al kafa’ah -secara bahasa- adalah sebanding dalam hal kedudukan, agama, nasab, rumah dan selainnya (Lisaanul Arab, Ibnu Manzhur). Al Kafa’ah secara syariat menurut mayoritas ulama adalah sebanding dalam agama, nasab (keturunan), kemerdekaan dan pekerjaan. (Dinukil dari Panduan Lengkap Nikah, hal. 175). Atau dengan kata lain kesetaraan dalam agama dan status sosial. Banyak dalil yang menunjukkan anjuran ini. Di antaranya firman Allah Ta’ala: “Wanita-wanita yang keji untuk laki-laki yang keji. Dan laki-laki yang keji untuk wanita-wanita yang keji pula. Wanita-wanita yang baik untuk laki-laki yang baik. Dan laki-laki yang baik untuk wanita-wanita yang baik pula.” (QS. An Nur: 26)

     Salah satu hikmah dari anjuran ini adalah kesetaraan dalam agama dan kedudukan sosial dapat menjadi faktor kelanggengan rumah tangga. Hal ini diisyaratkan oleh kisah Zaid bin Haritsah radhiyallahu ‘anhu, seorang sahabat yang paling dicintai oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dinikahkan dengan Zainab binti Jahsy radhiyallahu ‘anha. Zainab adalah wanita terpandang dan cantik, sedangkan Zaid adalah lelaki biasa yang tidak tampan. Walhasil, pernikahan mereka pun tidak berlangsung lama. Jika kasus seperti ini terjadi pada sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, apalagi kita?
     3.      Menyenangkan jika dipandang
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits yang telah disebutkan, membolehkan kita untuk menjadikan faktor fisik sebagai salah satu kriteria memilih calon pasangan. Karena paras yang cantik atau tampan, juga keadaan fisik yang menarik lainnya dari calon pasangan hidup kita adalah salah satu faktor penunjang keharmonisan rumah tangga. Maka mempertimbangkan hal tersebut sejalan dengan tujuan dari pernikahan, yaitu untuk menciptakan ketentraman dalam hati.
Allah Ta’ala berfirman,

 “Dan di antara tanda kekuasaan Allah ialah Ia menciptakan bagimu istri-istri dari jenismu sendiri agar kamu merasa tenteram denganya.” (QS. Ar Ruum: 21)

      4.      Subur (mampu menghasilkan keturunan)
Di antara hikmah dari pernikahan adalah untuk meneruskan keturunan dan memperbanyak jumlah kaum muslimin dan memperkuat izzah (kemuliaan) kaum muslimin. Karena dari pernikahan diharapkan lahirlah anak-anak kaum muslimin yang nantinya menjadi orang-orang yang shalih yang mendakwahkan Islam. Oleh karena itulah, Rasullullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan untuk memilih calon istri yang subur,

 “Nikahilah wanita yang penyayang dan subur! Karena aku berbangga dengan banyaknya ummatku.” (HR. An Nasa’I, Abu Dawud. Dihasankan oleh Al Albani dalam Misykatul Mashabih)

Karena alasan ini juga sebagian fuqoha (para pakar fiqih) berpendapat bolehnya fas-khu an nikah (membatalkan pernikahan) karena diketahui suami memiliki impotensi yang parah. As Sa’di berkata: “Jika seorang istri setelah pernikahan mendapati suaminya ternyata impoten, maka diberi waktu selama 1 tahun, jika masih dalam keadaan demikian, maka pernikahan dibatalkan (oleh penguasa)” (Lihat Manhajus Salikin, Bab ‘Uyub fin Nikah hal. 202)

B.     Kriteria Khusus untuk Memilih Calon Suami
Khusus bagi seorang muslimah yang hendak memilih calon pendamping, ada satu kriteria yang penting untuk diperhatikan. Yaitu calon suami memiliki kemampuan untuk memberi nafkah. Karena memberi nafkah merupakan kewajiban seorang suami. Islam telah menjadikan sikap menyia-nyiakan hak istri, anak-anak serta kedua orang tua dalam nafkah termasuk dalam kategori dosa besar. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Cukuplah seseorang itu berdosa bila ia menyia-nyiakan orang yang menjadi tanggungannya.” (HR. Ahmad, Abu Dawud. Al Hakim berkata bahwa sanad hadits ini shahih).

Oleh karena itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun membolehkan bahkan menganjurkan menimbang faktor kemampuan memberi nafkah dalam memilih suami. Seperti kisah pelamaran Fathimah binti Qais radhiyallahu ‘anha:

“Dari Fathimah binti Qais radhiyallahu ‘anha, ia berkata: ‘Aku mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu aku berkata, “Sesungguhnya Abul Jahm dan Mu’awiyah telah melamarku”. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Adapun Mu’awiyah adalah orang fakir, ia tidak mempunyai harta. Adapun Abul Jahm, ia tidak pernah meletakkan tongkat dari pundaknya”.” (HR. Bukhari-Muslim)

Dalam hadits ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak merekomendasikan Muawiyah radhiyallahu ‘anhu karena miskin. Maka ini menunjukkan bahwa masalah kemampuan memberi nafkah perlu diperhatikan.

Namun kebutuhan akan nafkah ini jangan sampai dijadikan kriteria dan tujuan utama. Jika sang calon suami dapat memberi nafkah yang dapat menegakkan tulang punggungnya dan keluarganya kelak itu sudah mencukupi. Karena Allah dan Rasul-Nya mengajarkan akhlak zuhud (sederhana) dan qana’ah (menyukuri apa yang dikarunai Allah) serta mencela penghamba dan pengumpul harta. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Celakalah hamba dinar, celakalah hamba dirham, celakalah hamba khamishah dan celakalah hamba khamilah. Jika diberi ia senang, tetapi jika tidak diberi ia marah.” (HR. Bukhari).

Selain itu, bukan juga berarti calon suami harus kaya raya. Karena Allah pun menjanjikan kepada para lelaki yang miskin yang ingin menjaga kehormatannya dengan menikah untuk diberi rizki.
“Dan nikahkanlah orang-orang yang masih membujang di antara kalian. Jika mereka miskin, Allah akan memberi kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya.” (QS. An Nur: 32)

C.     Kriteria Khusus untuk Memilih Istri
Salah satu bukti bahwa wanita memiliki kedudukan yang mulia dalam Islam adalah bahwa terdapat anjuran untuk memilih calon istri dengan lebih selektif. Yaitu dengan adanya beberapa kriteria khusus untuk memilih calon istri. Di antara kriteria tersebut adalah:

       1.      Bersedia taat kepada suami
Seorang suami adalah pemimpin dalam rumah tangga. Sebagaimana firman Allah Ta’ala:
“Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita.” (QS. An Nisa: 34)

Sudah sepatutnya seorang pemimpin untuk ditaati. Ketika ketaatan ditinggalkan maka hancurlah ‘organisasi’ rumah tangga yang dijalankan. Oleh karena itulah, Allah dan Rasul-Nya dalam banyak dalil memerintahkan seorang istri untuk taat kepada suaminya, kecuali dalam perkara yang diharamkan. Meninggalkan ketaatan kepada suami merupakan dosa besar, sebaliknya ketaatan kepadanya diganjar dengan pahala yang sangat besar

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Apabila seorang wanita mengerjakan shalat lima waktunya, mengerjakan puasa di bulan Ramadhan, menjaga kemaluannya dan menaati suaminya, maka ia akan masuk surga dari pintu mana saja yang ia inginkan.” (HR. Ibnu Hibban. Dishahihkan oleh Al Albani)

Maka seorang muslim hendaknya memilih wanita calon pasangan hidupnya yang telah menyadari akan kewajiban ini.

      2.      Menjaga auratnya dan tidak memamerkan kecantikannya kecuali kepada suaminya
Berbusana muslimah yang benar dan syar’i adalah kewajiban setiap muslimah. Seorang muslimah yang shalihah tentunya tidak akan melanggar ketentuan ini. Allah Ta’ala berfirman:

“Wahai Nabi katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin: ‘Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.’” (QS. Al Ahzab: 59)

Berdasarkan dalil-dalil yang ada, para ulama merumuskan syarat-syarat busana muslimah yang syar’i di antaranya: menutup aurat dengan sempurna, tidak ketat, tidak transparan, bukan untuk memamerkan kecantikan di depan lelaki non-mahram, tidak meniru ciri khas busana non-muslim, tidak meniru ciri khas busana laki-laki, dll.

Maka pilihlah calon istri yang menyadari dan memahami hal ini, yaitu para muslimah yang berbusana muslimah yang syar’i.

       3.      Gadis lebih diutamakan dari janda
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan agar menikahi wanita yang masih gadis. Karena secara umum wanita yang masih gadis memiliki kelebihan dalam hal kemesraan dan dalam hal pemenuhan kebutuhan biologis. Sehingga sejalan dengan salah satu tujuan menikah, yaitu menjaga dari penyaluran syahawat kepada yang haram. Wanita yang masih gadis juga biasanya lebih nrimo jika sang suami berpenghasilan sedikit. Hal ini semua dapat menambah kebahagiaan dalam pernikahan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Menikahlah dengan gadis, sebab mulut mereka lebih jernih, rahimnya lebih cepat hamil, dan lebih rela pada pemberian yang sedikit.” (HR. Ibnu Majah. Dishahihkan oleh Al Albani)

Namun tidak mengapa menikah dengan seorang janda jika melihat maslahat yang besar. Seperti sahabat Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu yang menikah dengan janda karena ia memiliki 8 orang adik yang masih kecil sehingga membutuhkan istri yang pandai merawat anak kecil, kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menyetujuinya (HR. Bukhari-Muslim)

       4.      Nasab-nya baik
Dianjurkan kepada seseorang yang hendak meminang seorang wanita untuk mencari tahu tentang nasab (silsilah keturunan)-nya.

Alasan pertama, keluarga memiliki peran besar dalam mempengaruhi ilmu, akhlak dan keimanan seseorang. Seorang wanita yang tumbuh dalam keluarga yang baik lagi Islami biasanya menjadi seorang wanita yang shalihah.

Alasan kedua, di masyarakat kita yang masih awam terdapat permasalahan pelik berkaitan dengan status anak zina. Mereka menganggap bahwa jika dua orang berzina, cukup dengan menikahkan keduanya maka selesailah permasalahan. Padahal tidak demikian. Karena dalam ketentuan Islam, anak yang dilahirkan dari hasil zina tidak di-nasab-kan kepada si lelaki pezina, namun di-nasab-kan kepada ibunya. Berdasarkan hadits,

 “Anak yang lahir adalah milik pemilik kasur (suami) dan pezinanya dihukum.” (HR. Bukhari)

Oleh karena itulah, seorang lelaki yang hendak meminang wanita terkadang perlu untuk mengecek nasab dari calon pasangan.

Demikian beberapa kriteria yang perlu dipertimbangkan oleh seorang muslim yang hendak menapaki tangga pernikahan. Nasehat kami, selain melakukan usaha untuk memilih pasangan, jangan lupa bahwa hasil akhir dari segala usaha ada di tangan Allah ‘Azza Wa Jalla. Maka sepatutnya jangan meninggalkan doa kepada Allah Ta’ala agar dipilihkan calon pasangan yang baik. Salah satu doa yang bisa dilakukan adalah dengan melakukan shalat Istikharah. Sebagaimana hadits dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata

“Jika kalian merasa gelisah terhadap suatu perkara, maka shalatlah dua raka’at kemudian berdoalah: ‘Ya Allah, aku beristikharah kepadamu dengan ilmu-Mu’… (dst)” (HR. Bukhari)

D.    Pentingnya Pendidikan Pra Nikah
Agama Islam mengajarkan kepada pemeluknya untuk tidak tergesa-gesa dalam segala tindakannya. Akan tetapi, ada sesuatu yang justru Islam menganjurkan untuk bersegera dilakukan. Setidaknya ada lima perkara: mengubur jenazah, membayar hutang, menghidangkan jamuan untuk musafir yang berkunjung, bertaubat, dan menikah.

Sudah merupakan fitrah manusia untuk mencintai lawan jenis, baik pria maupun wanita. Allah sendiri berfirman dalam surat Ali Imran “Dijadikan terasa indah dalam pandangan manusia cinta terhadap apa yang diinginkan, berupa perempuan –perempuan, anak-anak, …” Islam sebagai agama yang haq dan sempurna sudah tentu mempunyai koridor dan batasan bagaimana me-manage rasa cinta kepada lawan jenis. Dan satu-satunya solusi yang ditawarkan adalah melalui ikatan suci pernikahan. Bahkan kedudukan nikah dijelaskan oleh Rasulullah SAW “Barangsiapa menikah, maka ia telah melengkapi separuh dari agamanya. Dan hendaklah ia bertaqwa kepada Allah dalam memelihara yang separuhnya lagi”. (HR. Thabrani dan Hakim).

Menikah terlihat mudah, tetapi sebenarnya urusan ini cukup pelik dan menuntut perhatian yang lebih. Perlu banyak bekal untuk menuju ke sana. Ambilah contoh betapa rumitnya ketika membuat sebuah rumah hunian. Membangunnya dibutuhkan perencanaan yang matang mulai dari pemilihan lokasi, bentuk bangunan, material yang digunakan, estimasi anggaran, sampai rincian lainnya. Hal tersebut dilakukan agar rumah yang dihasilkan adalah bangunan yang kokoh dan bagus. Jika membangun rumah yang notabene adalah untuk tujuan dunia perlu perencanaan yang baik, maka untuk membangun rumah tangga tentunya akan lebih membutuhkan persiapan yang benar-benar matang. Karena rumah tangga ini harapannya tidak hanya untuk tujuan dunia tetapi juga di akhirat kelak.

Jika umur umat Islam adalah 60 – 70 tahun, sesuai sabda Rasulullah SAW, “Umur umatku adalah antara 60 tahun hingga 70 tahun” dan menurut statistik, rata-rata usia menikah penduduk Indonesia adalah pada usia 25 – 27 tahun, berarti sesorang akan mengarungi kehidupan berumah tangga selama sekitar 35 tahun atau dengan kata lain separuh lebih usia hidup di dunia akan dihabiskan dengan orang baru yaitu istri atau suami. Bisa dibayangkan ketika salah perhitungan dalam perencanaan rumah tangga, masa depan suram akan menunggu di depan mata, baik di dunia lebih-lebih di akhirat.

a.    Kejayaan Islam terwujud melalui pernikahan.
Salah satu tujuan pernikahan di samping beribadah kepada Allah serta tempat menyalurkan gharizah insaniyah (naluri kemanusiaan) yang halal, juga bertujuan untuk mempunyai keturunan. Pernikahan yang berkualitas akan menghasilkan keturunan yang qualified pula. Psikolog Abigael Wohing Ati memaparkan yang dimaksud pernikahan berkualitas adalah kondisi di mana dengan pernikahan dapat menghasilkan kebahagiaan, keseuaian serta kestabilan pernikahan. Sedangkan tingkat kualitas pernikahan sendiri dipengaruhi oleh faktor seperti komposisi optimal keluarga, siklus kehidupan keluarga, kelayakan sosioekonomi dan kesesuaian peran, faktor sumber daya sosial dan pribadi suami istri bahkan oleh kondisi pranikah. Menyinggung sedikit mengenai kondisi pranikah, penelitian yang dilakukan Fakultas Psikologi Undip Semarang, menyimpulkan bahwa kualitas pernikahan pasangan yang tidak membina hubungan sebelum nikah (pacaran) adalah lebih tinggi dibanding pasutri yang melakukan pacaran sebelum menikah.

Dalam Islam sendiri, pernikahan berkualitas akan diukur dari proses pra, pas, dan pasca nikah. Bagaimana seseorang memulai proses dari mencari calon istri atau suami hingga sampai aqad nikah dan pasca nikah akan mempunyai keturunan, kesemuanya itu dibalut dalam syariat yang jelas. Sehingga harapannya ketika mempunyai keturunan, adalah anak yang sholeh dan sholehah, bisa memberikan kebermanfaatan untuk umat.

Seperti contoh Umar bin Abdul Aziz. Salah seorang tokoh besar dalam sejarah Islam, sampai-sampai ahli sejarah Islam menjuluki beliau sebagai Khulafaur Rasyidin kelima setelah Abu Bakar ash Shiddiq, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib. Gelar tersebut dirasa pantas mengingat prestasi yang dilakukan Umar bin Abdul Aziz semasa menjadi khalifah pada era Dinasti Umayyah. Beliau berhasil mengembalikan stabilitas negara sama seperti pada masa Khulafaur Rasyidin. Dikisahkan pada saat itu tidak ada siapa pun umat Islam yang layak menerima zakat. Kondisi tersebut tercapai hanya dalam tempo sekitar tiga tahun pemerintahan.

Jika menelusuri silsilah Umar bin Abdul Aziz maka dapat dilihat bahwa beliau lahir dari pasangan pernikahan yang luar biasa. Kisah diawali ketika suatu malam Sahabat Umar bin Khattab yang saat itu menjadi Khalifah sedang berkeliling melihat kondisi rakyatnya, tidak sengaja mendengarkan percakapan Ibu dan anak. Si Ibu menyuruh menambahkan air pada susu agar terlihat banyak, tetapi sang anak menolak. Umar bin Khattab kagum lalu singkat cerita si anak perempuan tadi yang bernama Ummu Ammarah binti Sufyan bin Abdullah bin Rabi’ah Ats-Tsaqafi dinikahkan dengan salah satu putranya yang bernama Ashim. Dari pernikahan tersebut lahirlah gadis bernama Laila atau lebih dikenal Ummu Ashim. Ummu Ashim seorang wanita yang shalihah lalu menikah dengan Abdul Aziz bin Marwan seorang gubernur Bani Marwan. Dari pernikahan suci inilah lahir seorang lelaki bernama Umar bin Abdul Aziz. Sang pemimpin umat Islam.

 b.      Kurikulum Pendidikan Pra Nikah

      Keluarga memang menjadi tempat paling penting dalam penanaman ilmu keIslaman. Karena di sinilah anak akan belajar untuk pertama kalinya sebelum memperoleh ilmu dari luar lingkungan keluarga. Kerjasama yang baik antara Ayah dan Ibu sangat vital dalam proses tumbuh kembang anak. Akan tetapi, peran keluarga sebagai insititusi pendidikan non formal juga harus mendapat dukungan dari institusi pendidikan formal mulai dari dasar hingga tingkat lanjut. Seperti dijelaskan di awal, bahwa pernikahan adalah hal rumit dan ini harus dipaparkan dengan gamblang dari yang bersifat umum hingga mendetil bagaimana Islam mengatur hal tersebut. Mungkin ada permasalahan yang orangtua belum bisa menyampaikan dan harus disampaikan oleh yang lebih ahli dan berilmu.

       Perguruan tinggi sebagai salah satu institusi pendidikan formal, lebih-lebih perguruan tinggi Islam harus mengambil peran tersebut. Sebagai perguruan tinggi, tentunya institusi mempunyai tujuan agar para lulusannya bisa meniti karir dengan sukses. Kurikulum dan segala perangkatnya akan didesain sedemikian baik untuk menunjang harapan tersebut. Kondisi terbalik ketika berbicara masalah keIslaman, utamanya pada institusi pendidikan Islam, penyampaian ilmu agama termasuk diantaranya munakahat kurang mendapat perhatian lebih. Ini bisa dilihat dari porsi belajarnya yang relatif kecil. Sangat disayangkan jika para mahasiswa harus mencari ilmu agama di luar kampus, padahal dalam kesehariannya mereka menuntut ilmu di kampus yang berbasis agama. Sudah sepatutnya kondisi paradoks tersebut segera disikapi.

          Padahal, kedudukan ilmu pengetahuan tentang membina rumah tangga yang Islami mempunyai andil yang cukup besar dalam kehidupan manusia. Apalah arti karir sukses jika di level rumah tangga hancur berantakan karena tidak tahu bagaimana membinanya dalam bingkai Islam? Bagaimana dia akan bisa menjadi manajer yang baik di perusahaan jika di rumah dia gagal membina istri dan anak? Lebih menderita karena kegagalan membina rumah, membina anak, akan berimbas pada nasib manusia di akhirat nanti. Dan rasanya kurikulum pendidikan pra nikah lebih urgent serta layak diberikan ketimbang sekedar menyampaikan pendidikan seks kepada remaja.

          Maka cukuplah Rasulullah SAW menjadi suri tauladan. Beliau adalah seorang pemimpin negara, pebisnis sukses, panglima perang yang gagah berani, tetapi beliau juga adalah seorang suami yang baik, dan ayah yang sangat menyayangi anak-anaknya. Baik di dalam maupun luar rumah beliau tetap menjadi idola. 

Marilah berupaya sekuat tenaga mengamalkan segala yang diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Semoga Allah menjadikan rumah tangga yang kita bina adalah rumah tangga yang diberkahi, sehingga bisa menjadi jalan mencapai ridho Allah yaitu Surga yang penuh dengan kenikmatan. Semoga shalawat dan salam tercurah atas Nabi Muhammad keluarga beliau dan seluruh sahabat-sahabatnya.

Daftar Pustaka
 

Tidak ada komentar:

Kisah Mata Air Keabadian

Kisah ini diriwayatkan oleh Ats-Tsa’labi dari Imam Ali ra. Pada zaman dahulu hiduplah seorang hamba Allah SWT yang melebihkan kepada d...