HAKEKAT ILMU DAN
TUGAS YANG DIEMBAN ‘AQL
A.
Manusia
dan Ilmu Pengetahuan
Pengetahuan
(knowledge) adalah salah satu perlengkapan dasar manusia di dalam menempuh
kehidupan ini.Ternyata kepribadian manusia itu sangat dipengaruhi oleh kualitas
dan kuantitas pengetahuan yang diperolehnya. Salah satu ayat Al-Qur’an
menunjukkan bahwa ketika manusia itu pertama kali hidup di dunia, manusia ini
tidak tahu apa-apa (Al-Nahl (16) : 78). Sekalipun ayat ini berbeda-beda
penafsirannya, namun tampak bisa dipastikan , anak manusia yang baru lahir itu
tidak mengetahui apa-apa. Peranan ilmu pengetahuan diterima dalam
definisi-definisi psikologis yang menekankan hubungan dengan situasi-situasi
baru. Definisi intelegensi umpanya : kemampuan mengatasi kesulitan-kesulitan
yang baru. Pengertian ini menghendaki persyaratan adanya eksistensi ilmu
pengetahuan yang relevan.
Salah satu
istilah yang menunjukkan pengetahuan didalam Al-Qur’an adalah ‘Ilm.Kata jadian
‘Ilm tersusun berkenaan dengan adanya kehadiran yang terdapat dari petunjuk
Al-Qur’an.Rosental mencatat frekuensi munculnya uslub kata ‘alima yang ada pada
Al-Qur’an bukannya masalah penempatan. Namun penempatan ini dipertimbangkan
dengan segala kecermatannya, sehingga tidak seorangpun akan gagal menulis satu
katapun. Pentingnya ‘Ilm (pengetahuan), juga diketemukan dalam Al-Qur’an dengan
ayat-ayat beriringan yang memberi titik tolak adanya peranan penting dan
derajat tinggi orang yang mempunyai ilmu pengetahuan dan sebaliknya juga ada
ayat-ayat yang mencela orang bodoh dan tidak mempunyai pengetahuan. Dalam surat
Al-Mujadalah (58) : 11, dikatakan bahwa orang yang diberi ‘Ilm dan iman
diangkat derajatnya ke tingkat yang tinggi. Ibnu Mas’ud merumuskan komentarnya
bahwa orang yang diberi ilmu mempunyai derajat lebih tinggi ketimbang orang
yang mempunyai iman tapi tidak berilmu. Orang yang mempunyai ilmu disebutkan
berbarengan dengan malaikat (Ali Imran) (3) : 18. Nabi SAW diperintahkan oleh
Allah untuk memohon kepadaNya agar diberi ilmu (Tha-ha (20) : 114).
B.
Manusia
dan Kecerdasan Akalnya
Istilah Dzaka
yang menegakkan intelegensi tidak ada di dalam Al-Qur’an. Namun penting
dicatat, bahwa proses mental yang merupakan produk-produk atau
komponen-komponen kecerdasan banyak didapatkan di dalam ayat-ayat Al-Qur’an.
Contoh dari proses mental ini misalnya: tadzakkur, tadabbur, tafakkur dan
tafaqquh. Cragg menulis banyak nama-nama Al-Qur’an seperti Kitab, Petunjuk,
Ukuran dan peringatan yang menuntut adanya kecerdasan.Lebih lanjut, banyak
istilah-istilah di dalam Al-Qur’an yang merujuk ke arah kemampuan yang memungkinkan
pribadi manusia untuk berfikir dan memperoleh pengetahuan. Istilah-istilah yang
dimaksudkan misalnya: aql, lubb, fuad, hilm, hijr dan muhyah.
Menurut
ahli-ahli perkamusan, istilah “aql” mengandung pengertian, pengetahuan yang
jelas atau verifikasi bukti-bukti.Dengan pengertian ini, maka aql bertentangan
dengan kebodohan.Aql juga berarti kemampuannya mengontrol diri, selanjutnya
juga berarti penahanan atau pakaian habs.Seseorang yang lisannya tidak
berfungsi digambarkan sebagai U’tuqila lisanuhu.Istilah ‘Aql ini di dalam
Al-Qur’an bukan dalam bentuk isim atau masdar ataupun bentuk amr.Kata jadinya
hanya digunakan kata kerja baik mudhari’ maupun mudhi.
Lubb adalah
esensi sesuatu, adalah bagian yang paling tinggi dari sesuatu.Qalb mempunyai
konotasi serupa dengan lubb, adalah esensi atau intisari suatu perkara.Fuad,
menurut Ibnu Manzur disebutkan lantaran cahayanya atau kebaikannya.Hilm dengan
bentuk jam’anya ahlam di dalam Al-Qur’an ada satu ayat yang menunjukkan daya pikir.
Dua istilah terakhir adalah hijr dan nuhyah menunjuk kepada daya kemampuan
nalar yang tidak sama.
C.
Manusia
dan Bahasa
Berdasarkan
kajian-kajian pada fasal sebelum ini menegaskan bahwa benda-benda yang
diajarkan kepada Adam, mengingatkan kepada tipe penelitian dan pengujian yang diperankannya.Apakah
Adam telah belajar memberi simbol-simbol kepada benda-benda?Atau apakah Adam
telah belajar tentang hal ihwal yang lebih dari itu?
Menurut Ibnu Jinni, nama-nama yang
dilukiskan dalam ayah itu menunjukkan kepada arti “bahasa”, bahasa mempunyai
kata benda, kata kerja dan unsur-unsur atau partikel. Oleh karena tidak seperti
nama-nama yang mempertahankan makna bahasa, maka asma’ digunakan dalam tata
bahasa Arab untuk menunjukkan arti kata benda. Menurut Ibnu Jinni, kata benda
(asma’) ini merupakan ihwal yang paling penting dan tidak bisa menjad obyek
sasaran secara menyeluruh. Qurtubi menegaskan, nama-nama yang dimaksudkan ini
menunjuk kepada pengertian ayah yang berarti model-model ekspresi.Pandangan ini
juga dirujukkan kepada hadits Nabi SAWyang menunjukkan dari tipe verbal
tertentu yang memerankan komunikasi antara Adam dengan malaikat. Setelah Allah
menciptakan Adam, dalam hadits Nabi SAW tersebut, Allah kemudian berfirman:
“Lakukanlah
dan sambutlah dari golongan malaikat dan perdengarkanlah kepada mereka.Bagi
mereka akan menjadi jawaban dan sambutan anak cucumu”.
Komunikasi
verbal dimana Adam sungguh terlibat dalam komunikasi, kemudian diantaranya
dihadapkan dengan problema yang menyulitkan dan menuntut untuk harus
diselesaikan.Dalam kondisi seperti ini, apakah bahasa mengambil peran yang
digunakan sebagai hal ihwal yang berarti komunikasi? Berkenaan dengan ayah yang
ditafsirkan dengan nama-nama, maka Thabari dan Ibnu Katsir sama sekali tidak
menyebut problema bahasa dalam komunikasi tersebut. Namun Razi menegaskan,
bahwa Adam dan anak cucunya mempunyai kemampuan lebih baik untuk berbicara
dengan semua bahasa. Sepeninggal Adam, anak cucunya tersebar ke seluruh penjuru
dunia yang terpancar-pancar. Mereka mempunyai pilihan kepada salah satu bahasa,
sekalipun mereka masih tetap mempertahankan bahasa lainnya di dalam kenangan.
Akhirnya bahasa lain ini terlupakan dan hanya satu bahasa saja yang digunakan
yang masih diingat dalam berbicara. Ibnu Manzur menghubungkan cerita yang sama
tanpa memberi komentar lebih jauh. Qurtubi menjelaskan, bahwa Adam berbicara
dengan segala bahasa namun tak satu ahli tafsir-pun mendapat penjelasan tentang
bahasa-bahasa yang digunakan oleh putra-putra Adam. Dalam menafsirkan makna
ayah kepada bermacam-macam bahasa, Qurtubi memberi indikasi ini kepada Allah
tanda menjelaskan masalah pokoknya akan apa yang telah Allah ciptakan dengan
berbagai macam bahasa tersebut. Baidawi memperjelas, bahwa Allah telah
mengajarkan semua bahasa dengan ilham atau keturunan Adam ini mempunyai
kemampuan untuk belajar bahasa.Ibnu Jinni tidak memberikan pilihan satupun dari
kedua alternatif yang dimajukan dalam perdebatan masalah bahasa di atas.
D.
Implikasi
Kemampuan Intelegensi Bagi Kehidupan Manusia
Pembahasan
terinci tentang pengetahuan dan kecerdasan manusia menjelaskan, bahwa manusia
menyodorkan diri untuk sampai memikirkan tanda-tanda kekuasaan Allah pada anfus
dan affaq.Hal ini terjadi, karena manusia diperlengkapi dengan kekuatan yang
memungkinkan bagi manusia untuk dapat melakukan perbuatan pemikiran intelek
tersebut.Manusia mempunyai kemampuan memperoleh tanda-tanda dari kesadaran dan
pemahamannya, sebagaimana juga mempunyai kemampuan menyebutkan tanda-tanda
dengan menggunakan simbol-simbol.Fungsi kesadaran dan kemampuan manusia memberi
simbol-simbol.Kesadaran dan pengertiannya itu adalah unik yang harus mengacu
kepada fakta pilihan kedua dari kecerdasan yang khas baginya.
Al-Qur’an
menghimbau manusia agar meneliti tanda-tanda kekuasaan Allah yang telah
menciptakan sekalian makhluknya dengan penuh kesempurnaan.Hal ini memberi
inidikasi, bahwa tujuan aql yang sebenarnya adalah untuk meyakini, mengaku dan
mempercayai eksistensi Allah. Dikatakan, orang-orang yang beriman tidak akan
lupakan tujuan eksistensi ini, karena diakuinya bahwa manusia itu memang sangat
bodoh. Al-Qur’an surat Al-Sajdah (30) : 7, menyebut demikian, katanya :
“Mereka
hanya mengetahui yang lahir dari kehidupan duniawi semata”.
Di balik itu,
ayat Al-Qur’an lainnya memberi indikasi bahwa pengetahuan manusia itu tidak
sempurna dan juga tidak meliputi segala aspek. Kata Qur’an, “Ia mengetahui apa
yang ada di hadapan mereka dan apa yang ada di belakang mereka, sedang ilmu
mereka tidak bisa meliputi ilmuNya” (Tha-ha (20) : 110). Kemudian ayat lain
menjelaskan pula dalam surat Al-Baqarah (2) : 225, Allah berfirman:
“Allah
mengetahui apa-apa yang di hadapan mereka dan di belakang mereka, dan mereka
tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendakinya”.
TUJUAN
PENDIDIKAN
A.
Terminologi
Tujuan dalam Bahasa Inggris
Banyak
istilah-istilah dalam bahasa Inggris yang menunjukkan hasil pendidikan yang
dicita-citakan, yakni: aims, goals, objectives. Dalam kamus The Oxford English
Dictionary mendefinisikan arti “aims” sebagai perbuatan yang menentukan cara
berkenaan dengan tujuan yang diharapkan. Hirst dan Peters menegaskan, bahwa
konsep “aims” ini diperoleh melalui penekanan target khusus yang terdapat pada
suatu distansi tertentu. Pernyataan ini secar implisit menyatakan, bahwa
jangkauan “goals” tidak mungkin bisa dicapai melainkan dengan upaya yang
dikerahkan sekuat tenaga.Upaya yang harus dikerahkan ini juga termasuk dalam
karakteristik poko “goals”. Hal ini menunjukkan bahwa kata goals dan aims
adalah dua kata yang bermakna sinonim.
Menurut para
pakar bahasa, kata “objectives” mempunyai pengertian yang lebih sederhana dan
lebih ringkas menuju ke arah aims dan goals. Namun sebagian besar ahli
pendidikan menyebut istilah “objectives” ini sebagai tujuan antara menuju
tujuan umum. Mereka menggunakan istilah “aims” dalam referensi hasil khusus.
Maka hasil pendidikan tidak dapat dikatakan “objectives” kecuali dikhususkan
dan ditempatkan pada bentuk-bentuk yang dapat diamati.“Aims” dipandang oleh
sebagian ahli pendidikan sebagai tujuan umum, sedangkan “objectives” digunakan
untuk menyebut tujuan khusus.
B.
Terminologi
Tujuan Dalam Bahasa Arab
Banyak
istilah-istilah yang dipakai dalam bahasa Arab dalam rujukan yang mengacu
kepada hasil kependidikan.Hal ini memberi indikasi adanya obyek-obyek ataupun
persoalan inisiasi dan perbuatan-perbuatan manusia yang langsung.“Chayyat” untuk mengartikan tujuan akhir
(muntaha) di luar yang tidak ada.“Ahdaf”
pada mulanya dipergunakan untuk memberi arti peranan-peranan yang lebih tinggi
dan dapat dimiliki oleh seseorang berkenaan dengan tinjauan luas yang
menyiratkan hal ini sangat diperlukan, juga berarti menempati suatu sasaran
yang lebih dekat. Istilah selanjutnya adalah “maqashid” diperoleh dari suatu cara yang menunjukkan kepada jalan
lurus. Kata ini adalah kata jadian dari qashada yang tersebar dalam ayat-ayat
Al-Qur’an yang memberi arti pokok. Dalam Al-Qur’an surat Al-Bara’ah ayat 42 ada
kalimat safaran qashadan ditafsirkan kepada suatu perjalanan mudah yang tidak
membutuhkan participant untuk melangkahkan jangkauan jauh dan panjang.
Sebagaimana dalam surat Al-Nahl (16) : 9 ada kata qashdu al-sabil yang
ditafsirkan kepada “jalan yang lurus”. Jalan yang digambarkan sebagai qashid
biasanya membawa kepada hasil yang dikehendaki, sebaliknya jalan yang
dilukiskan sebagai jair adalah jalan tersesat, menyimpang dan tidak dapat
memimpin kepada tujuan yang berguna.Dalam istilah prkatis, kita dapat
mengatakan bahwa ekspresi-ekspresi bahasa Arab di atas digunakan saling
bergantian dengan penulisan-penulisan Arab modern dalam bidang pendidikan.
C.
Konsep
dan Teorisasi Tujuan Pendidikan
Tujuan umum
barangkali dapat digambarkan sebagai tujuan terpisah dari masa sekarang sebagai
hasil perhatian yang dituju, merupakan tujuan akhir yang final.Para ahli
pendidkan cenderung berhenti pada tujuan-tujuan yang lebih khusus yang dapat
tercapai secara terpenggal-penggal dalam suatu langkah tertentu.Apapun yang
ingin dicapai dalam langkah-langkah tertentu ini ditentukan oleh nuansa
kelayakannya menuju ke arah tujuan akhir yang sesungguhnya.Dalam pendidikan
Barat, seseorang mempertahankan konsep-konsep pendidikannya ke arah tujuan umum
pendidikan.Pendidikan untuk hidup, untuk waktu terluang, untuk efisiensi sosial
dan bentuk kewarga-negaraanyang demokratis adalah hanya contoh-contoh tujuan
pendidikan umum Barat.Dalam pendidikan Islam, tujuan umumnya adalah membentuk
kepribadian sebagai khalifah Allah atau sekurang-kurangnya mempersiapkan ke
jalan yang mengacu kepada tujuan akhir manusia.Tujuan utama khalifah Allah
adalah beriman kepada Allah dan tunduk patuh secara total kepada-Nya. Dalam
surat Al-Dzariyat (51) : 56 Allah berfirman:
“Dan
Aku menjadikan jin dan manusia itu hanyalah agar mereka menyembah-Ku”.
Konsep ibadah
dalam ayat di atas ditafsirkan kepada artian menyembah Allah SWT dan melakukan
perbuatan-perbuatan yang sesuai dengan syari’at yang telah ditentukan.Sayyid
Quthb mengatakan, bahwa perbuatan khalifah dimulai dengan amal ibadah dan
pengabdian serta penyembahan yang secara pasti dilukiskan sebagai ibadah.Tugas
akhir yang harus diselesaikan oleh manusia adalah tujuan yang sesungguhnya
dalam Pendidikan Islam yang dapat dicapai melalui pengabdiannya kepada Allah
SWT secara total.Al-Qur’an mengalamatkan Nabi-nabi yang mewakili manusia ideal
yang paling tinggi derajatnya sebagai ‘abid Allah, atau ‘ibad yang secara
implisit menyatakan, bahwa tugas manusia yang harus diselesaikan itu tidak
dapat dipisahkan dari tujuan utamanya, yakni ketundukan secara total kepada
Allah.Al-Qur’an bukannya mengesampingkan peranan pembagian kekuasaan antara
Allah dan manusia.
D.
Komponen
Sifat Dasar Manusia dan Tujuan Pendidikan Islam
1. Tujuan Pendidikan Jasmani
Khalifah
telah berperan sebagai pribadi yang berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya,
seumpama bangunan tinggi.Hal ini tidak mungkin bisa dicapai oleh karena adanya
kelemahan fisik seorang khalifah. Dalam hadits Nabi SAW, Nabi bersabda :
“Orang
mukmin yang kuat lebih baik dan lebih disayangi oleh Allah ketimbang orang
mukmin yang lemah”.
2. Tujuan Pendidikan Ruhani
Pembicaraan
kita diteruskan kepada tujuan ruhani dalam Pendidikan Islam atau yang
diistilahkan dengan ahdaf al-ruhaniyyah.
Diakui bahwa orang yang betul-betul menerima ajaran Islam, sudah barang tentu
akan menerima keseluruhan cita-cita ideal yang terdapat di dalam Al-Qur’an.
Peningkatan jiwa dari kesetiaannya yang hanya kepada Allah semata, dan
melaksanakan moralitas Islami yang telah diteladankan ke dalam tingkah laku dan
sepak terjang kehidupan Nabi SAW merupakan bagian pokok dalam tujuan umum
pendidikan. Ideal-ideal yang dimaksudkan mengenai aspek-aspek pribadi sebagai
suatu kedirian atau sebagai anggota kelompok masyarakat untuk memelihara
pribadi masing-masing dan untuk dating menyumbangkan tali persaudaraan adalah
contoh sederhana dari cita-cita serupa, sebagaimana dibuktikan dalam Al-Qur’an
surat Al-Qalam (68) : 4. Ayat ini memuji Nabi SAW lantaran standar moralnya
yang kukuh teguh. Cita-cita inilah yang dipegangi oleh para ahli didik modern
ketika pembicaraannya diarahkan kepada tujuan pendidikan agam (ahdaf
al-diniyyah).
3. Tujuan Pendidikan Akal
Setelah
berbicara tentang tujuan fisik dan tujuan ruhani, sekarang tiba gilirannya
untuk berbicara kategori ketiga yang disebut dengan tujuan akal (ahdaf
al-‘aliyyah).Maka di sini terikat perhatiannya kepada perkembangan intelegensi
yang mengarahkan seorang manusia sebagai individu untuk dapat menemukan
kebenaran yang sebenar-benarnya.Telaah tanda-tanda kekuasaan Allah dan
penemuaan pesan ayat-ayat-Nya membawa iman kepada Sang Pencipta segala sesuatu
yang ada ini.Kegagalan ini dipandang sebagai model yang menyimpangkan akal manusia
yang paling serius. Tanda-tanda kekuasaan Allah itu sendiri bukan merupakan
tujuan akhir yang final, oleh karena tidak akan mampu mendominasi pikiran.
Kuatnya daya tarik manusia modern dengan mendominasi pikiran.Kuatnya daya tarik
manusia modern dengan ilmju pengetahuan dan teknologi secara esensial tidak ada
bedanya dari daya tarik Ratu Sabu’ dan pengikut-pengikutnya dengan
matahari.Dalam peristiwa ini tidak ditegakkan adanya hubungan manusia dengan
Allah.
4. Tujuan Pendidikan Sosial
Pembahasan
tentang tujuan-tujuan pendidikan merupakan keterpaduan utuh dari tubuh, ruh dan
akal.Maka pembicaraan segera diteruskan dengan tujuan pendidkan sosial. Hal ini
beralasan bahwa khalifah yang mempunyai kepribadian utama yang seimbang, maka
khalifah ini tidak akan hidup dalam keterasingan dan kesendirian. Hal inilah
yang menyiratkan ayat-ayat Al-Qur’an menunjukkan manusia dengan bentuk jama’
plural. Salah satu contoh adalah ayat yang mempergunakan kata: wahai sekalian
manusia, ya ayyuha al-nas dan wahai anak Adam, ya bani Adam. Kedua bentuk
kalimat ini lebih sering muncul frekuensinya ketimbang kalimat: wahai manusia
dengan menggunakan kalimat ya ayyuha al-insan. Dalam surat Al-Anfal (8) : 65,
dikatakan daya tahan masing-masing individu manusia dalam perjuangannya dirumuskan
sebagai bagian dari ikhtiar kolektif manusia. Allah berfirman:
“Wahai
Nabi, Gemarkanlah kaum mukminin berperang. Jika ada dua puluh orang di antara
kamu yang berhati sabar, niscaya mereka akan mampu mengalahkan dua ratus orang
musuh, dan jika ada seratus orange di antara kamu, tentu mereka dapat
mengalahkan seribu orang kafir, karena mereka itu orang-orang yang tidak
mengeri”.
E.
Tujuan
Pendidikan Islam Bersifat Universal.
Tujuan umum
pendidikan Islam diberi perhatian dan tidak terkena perubahan dari waktu ke
waktu.Finalitas kenabian secara implisit menyatakan finalitas cita-cita yang
diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW kepada sekalian manusia.Di samping fithrah
yang baik, khalifah dikaitkan dengan pasangan kemampuannya untuk memilih
perbuatannya yang tidak berubah dari waktu ke waktu, baik kelompok etnis maupun
yang lainnya. Konsep khalifah tidak sama dengan konsep kenegaraan yang “demokratis”
yang digambarkan sebagai tujuan langsung berlaku umum pada saat sekarang yang
ada di negeri-negeri Islam, dimana cita-cita kenegaraan dan kewarganegaraan
yang demokratis itu berubah-ubah dari waktu ke waktu. Dalam masyarakat
demokratis, mayoritas masyarakatnya menentukan apa yang dianggap baik dan apa
yang buruk. Sementara di dalam Islam demikian yang semestinya.Prinsip-prinsip
Islam memberi hak bersuara sejauh tidak dikenai perubahan.Manusia diapandang
sam derajatnya sepanjang sifat dasr aslinya mendapatkan perhatian. Hal ini yang
mendorong diberikannya alasan finalitas dan universalitas tujuan pendidikan
Islam dan ini pula yang akan membentuk karakter ketiga.
Sumber : Buku Teori-Teori
Pendidikan Berdasarkanal-Qur’an
Tidak ada komentar:
Posting Komentar