Minggu, 16 September 2012

HAKEKAT ILMU DAN TUGAS YANG DIEMBAN ‘AQL



HAKEKAT ILMU DAN TUGAS YANG DIEMBAN ‘AQL

A.   Manusia dan Ilmu Pengetahuan
Pengetahuan (knowledge) adalah salah satu perlengkapan dasar manusia di dalam menempuh kehidupan ini.Ternyata kepribadian manusia itu sangat dipengaruhi oleh kualitas dan kuantitas pengetahuan yang diperolehnya. Salah satu ayat Al-Qur’an menunjukkan bahwa ketika manusia itu pertama kali hidup di dunia, manusia ini tidak tahu apa-apa (Al-Nahl (16) : 78). Sekalipun ayat ini berbeda-beda penafsirannya, namun tampak bisa dipastikan , anak manusia yang baru lahir itu tidak mengetahui apa-apa. Peranan ilmu pengetahuan diterima dalam definisi-definisi psikologis yang menekankan hubungan dengan situasi-situasi baru. Definisi intelegensi umpanya : kemampuan mengatasi kesulitan-kesulitan yang baru. Pengertian ini menghendaki persyaratan adanya eksistensi ilmu pengetahuan yang relevan.

Salah satu istilah yang menunjukkan pengetahuan didalam Al-Qur’an adalah ‘Ilm.Kata jadian ‘Ilm tersusun berkenaan dengan adanya kehadiran yang terdapat dari petunjuk Al-Qur’an.Rosental mencatat frekuensi munculnya uslub kata ‘alima yang ada pada Al-Qur’an bukannya masalah penempatan. Namun penempatan ini dipertimbangkan dengan segala kecermatannya, sehingga tidak seorangpun akan gagal menulis satu katapun. Pentingnya ‘Ilm (pengetahuan), juga diketemukan dalam Al-Qur’an dengan ayat-ayat beriringan yang memberi titik tolak adanya peranan penting dan derajat tinggi orang yang mempunyai ilmu pengetahuan dan sebaliknya juga ada ayat-ayat yang mencela orang bodoh dan tidak mempunyai pengetahuan. Dalam surat Al-Mujadalah (58) : 11, dikatakan bahwa orang yang diberi ‘Ilm dan iman diangkat derajatnya ke tingkat yang tinggi. Ibnu Mas’ud merumuskan komentarnya bahwa orang yang diberi ilmu mempunyai derajat lebih tinggi ketimbang orang yang mempunyai iman tapi tidak berilmu. Orang yang mempunyai ilmu disebutkan berbarengan dengan malaikat (Ali Imran) (3) : 18. Nabi SAW diperintahkan oleh Allah untuk memohon kepadaNya agar diberi ilmu (Tha-ha (20) : 114).

B.   Manusia dan Kecerdasan Akalnya
Istilah Dzaka yang menegakkan intelegensi tidak ada di dalam Al-Qur’an. Namun penting dicatat, bahwa proses mental yang merupakan produk-produk atau komponen-komponen kecerdasan banyak didapatkan di dalam ayat-ayat Al-Qur’an. Contoh dari proses mental ini misalnya: tadzakkur, tadabbur, tafakkur dan tafaqquh. Cragg menulis banyak nama-nama Al-Qur’an seperti Kitab, Petunjuk, Ukuran dan peringatan yang menuntut adanya kecerdasan.Lebih lanjut, banyak istilah-istilah di dalam Al-Qur’an yang merujuk ke arah kemampuan yang memungkinkan pribadi manusia untuk berfikir dan memperoleh pengetahuan. Istilah-istilah yang dimaksudkan misalnya: aql, lubb, fuad, hilm, hijr dan muhyah.

Menurut ahli-ahli perkamusan, istilah “aql” mengandung pengertian, pengetahuan yang jelas atau verifikasi bukti-bukti.Dengan pengertian ini, maka aql bertentangan dengan kebodohan.Aql juga berarti kemampuannya mengontrol diri, selanjutnya juga berarti penahanan atau pakaian habs.Seseorang yang lisannya tidak berfungsi digambarkan sebagai U’tuqila lisanuhu.Istilah ‘Aql ini di dalam Al-Qur’an bukan dalam bentuk isim atau masdar ataupun bentuk amr.Kata jadinya hanya digunakan kata kerja baik mudhari’ maupun mudhi.

Lubb adalah esensi sesuatu, adalah bagian yang paling tinggi dari sesuatu.Qalb mempunyai konotasi serupa dengan lubb, adalah esensi atau intisari suatu perkara.Fuad, menurut Ibnu Manzur disebutkan lantaran cahayanya atau kebaikannya.Hilm dengan bentuk jam’anya ahlam di dalam Al-Qur’an ada satu ayat yang menunjukkan daya pikir. Dua istilah terakhir adalah hijr dan nuhyah menunjuk kepada daya kemampuan nalar yang tidak sama.

C.   Manusia dan Bahasa
Berdasarkan kajian-kajian pada fasal sebelum ini menegaskan bahwa benda-benda yang diajarkan kepada Adam, mengingatkan kepada tipe penelitian dan pengujian yang diperankannya.Apakah Adam telah belajar memberi simbol-simbol kepada benda-benda?Atau apakah Adam telah belajar tentang hal ihwal yang lebih dari itu?

Menurut Ibnu Jinni, nama-nama yang dilukiskan dalam ayah itu menunjukkan kepada arti “bahasa”, bahasa mempunyai kata benda, kata kerja dan unsur-unsur atau partikel. Oleh karena tidak seperti nama-nama yang mempertahankan makna bahasa, maka asma’ digunakan dalam tata bahasa Arab untuk menunjukkan arti kata benda. Menurut Ibnu Jinni, kata benda (asma’) ini merupakan ihwal yang paling penting dan tidak bisa menjad obyek sasaran secara menyeluruh. Qurtubi menegaskan, nama-nama yang dimaksudkan ini menunjuk kepada pengertian ayah yang berarti model-model ekspresi.Pandangan ini juga dirujukkan kepada hadits Nabi SAWyang menunjukkan dari tipe verbal tertentu yang memerankan komunikasi antara Adam dengan malaikat. Setelah Allah menciptakan Adam, dalam hadits Nabi SAW tersebut, Allah kemudian berfirman:

“Lakukanlah dan sambutlah dari golongan malaikat dan perdengarkanlah kepada mereka.Bagi mereka akan menjadi jawaban dan sambutan anak cucumu”.

Komunikasi verbal dimana Adam sungguh terlibat dalam komunikasi, kemudian diantaranya dihadapkan dengan problema yang menyulitkan dan menuntut untuk harus diselesaikan.Dalam kondisi seperti ini, apakah bahasa mengambil peran yang digunakan sebagai hal ihwal yang berarti komunikasi? Berkenaan dengan ayah yang ditafsirkan dengan nama-nama, maka Thabari dan Ibnu Katsir sama sekali tidak menyebut problema bahasa dalam komunikasi tersebut. Namun Razi menegaskan, bahwa Adam dan anak cucunya mempunyai kemampuan lebih baik untuk berbicara dengan semua bahasa. Sepeninggal Adam, anak cucunya tersebar ke seluruh penjuru dunia yang terpancar-pancar. Mereka mempunyai pilihan kepada salah satu bahasa, sekalipun mereka masih tetap mempertahankan bahasa lainnya di dalam kenangan. Akhirnya bahasa lain ini terlupakan dan hanya satu bahasa saja yang digunakan yang masih diingat dalam berbicara. Ibnu Manzur menghubungkan cerita yang sama tanpa memberi komentar lebih jauh. Qurtubi menjelaskan, bahwa Adam berbicara dengan segala bahasa namun tak satu ahli tafsir-pun mendapat penjelasan tentang bahasa-bahasa yang digunakan oleh putra-putra Adam. Dalam menafsirkan makna ayah kepada bermacam-macam bahasa, Qurtubi memberi indikasi ini kepada Allah tanda menjelaskan masalah pokoknya akan apa yang telah Allah ciptakan dengan berbagai macam bahasa tersebut. Baidawi memperjelas, bahwa Allah telah mengajarkan semua bahasa dengan ilham atau keturunan Adam ini mempunyai kemampuan untuk belajar bahasa.Ibnu Jinni tidak memberikan pilihan satupun dari kedua alternatif yang dimajukan dalam perdebatan masalah bahasa di atas.

D.   Implikasi Kemampuan Intelegensi Bagi Kehidupan Manusia
Pembahasan terinci tentang pengetahuan dan kecerdasan manusia menjelaskan, bahwa manusia menyodorkan diri untuk sampai memikirkan tanda-tanda kekuasaan Allah pada anfus dan affaq.Hal ini terjadi, karena manusia diperlengkapi dengan kekuatan yang memungkinkan bagi manusia untuk dapat melakukan perbuatan pemikiran intelek tersebut.Manusia mempunyai kemampuan memperoleh tanda-tanda dari kesadaran dan pemahamannya, sebagaimana juga mempunyai kemampuan menyebutkan tanda-tanda dengan menggunakan simbol-simbol.Fungsi kesadaran dan kemampuan manusia memberi simbol-simbol.Kesadaran dan pengertiannya itu adalah unik yang harus mengacu kepada fakta pilihan kedua dari kecerdasan yang khas baginya.

Al-Qur’an menghimbau manusia agar meneliti tanda-tanda kekuasaan Allah yang telah menciptakan sekalian makhluknya dengan penuh kesempurnaan.Hal ini memberi inidikasi, bahwa tujuan aql yang sebenarnya adalah untuk meyakini, mengaku dan mempercayai eksistensi Allah. Dikatakan, orang-orang yang beriman tidak akan lupakan tujuan eksistensi ini, karena diakuinya bahwa manusia itu memang sangat bodoh. Al-Qur’an surat Al-Sajdah (30) : 7, menyebut demikian, katanya :

“Mereka hanya mengetahui yang lahir dari kehidupan duniawi semata”.

Di balik itu, ayat Al-Qur’an lainnya memberi indikasi bahwa pengetahuan manusia itu tidak sempurna dan juga tidak meliputi segala aspek. Kata Qur’an, “Ia mengetahui apa yang ada di hadapan mereka dan apa yang ada di belakang mereka, sedang ilmu mereka tidak bisa meliputi ilmuNya” (Tha-ha (20) : 110). Kemudian ayat lain menjelaskan pula dalam surat Al-Baqarah (2) : 225, Allah berfirman:
“Allah mengetahui apa-apa yang di hadapan mereka dan di belakang mereka, dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendakinya”.

 
TUJUAN PENDIDIKAN

A.   Terminologi Tujuan dalam Bahasa Inggris
Banyak istilah-istilah dalam bahasa Inggris yang menunjukkan hasil pendidikan yang dicita-citakan, yakni: aims, goals, objectives. Dalam kamus The Oxford English Dictionary mendefinisikan arti “aims” sebagai perbuatan yang menentukan cara berkenaan dengan tujuan yang diharapkan. Hirst dan Peters menegaskan, bahwa konsep “aims” ini diperoleh melalui penekanan target khusus yang terdapat pada suatu distansi tertentu. Pernyataan ini secar implisit menyatakan, bahwa jangkauan “goals” tidak mungkin bisa dicapai melainkan dengan upaya yang dikerahkan sekuat tenaga.Upaya yang harus dikerahkan ini juga termasuk dalam karakteristik poko “goals”. Hal ini menunjukkan bahwa kata goals dan aims adalah dua kata yang bermakna sinonim.

Menurut para pakar bahasa, kata “objectives” mempunyai pengertian yang lebih sederhana dan lebih ringkas menuju ke arah aims dan goals. Namun sebagian besar ahli pendidikan menyebut istilah “objectives” ini sebagai tujuan antara menuju tujuan umum. Mereka menggunakan istilah “aims” dalam referensi hasil khusus. Maka hasil pendidikan tidak dapat dikatakan “objectives” kecuali dikhususkan dan ditempatkan pada bentuk-bentuk yang dapat diamati.“Aims” dipandang oleh sebagian ahli pendidikan sebagai tujuan umum, sedangkan “objectives” digunakan untuk menyebut tujuan khusus.

B.   Terminologi Tujuan Dalam Bahasa Arab
Banyak istilah-istilah yang dipakai dalam bahasa Arab dalam rujukan yang mengacu kepada hasil kependidikan.Hal ini memberi indikasi adanya obyek-obyek ataupun persoalan inisiasi dan perbuatan-perbuatan manusia yang langsung.“Chayyat” untuk mengartikan tujuan akhir (muntaha) di luar yang tidak ada.“Ahdaf” pada mulanya dipergunakan untuk memberi arti peranan-peranan yang lebih tinggi dan dapat dimiliki oleh seseorang berkenaan dengan tinjauan luas yang menyiratkan hal ini sangat diperlukan, juga berarti menempati suatu sasaran yang lebih dekat. Istilah selanjutnya adalah “maqashid” diperoleh dari suatu cara yang menunjukkan kepada jalan lurus. Kata ini adalah kata jadian dari qashada yang tersebar dalam ayat-ayat Al-Qur’an yang memberi arti pokok. Dalam Al-Qur’an surat Al-Bara’ah ayat 42 ada kalimat safaran qashadan ditafsirkan kepada suatu perjalanan mudah yang tidak membutuhkan participant untuk melangkahkan jangkauan jauh dan panjang. Sebagaimana dalam surat Al-Nahl (16) : 9 ada kata qashdu al-sabil yang ditafsirkan kepada “jalan yang lurus”. Jalan yang digambarkan sebagai qashid biasanya membawa kepada hasil yang dikehendaki, sebaliknya jalan yang dilukiskan sebagai jair adalah jalan tersesat, menyimpang dan tidak dapat memimpin kepada tujuan yang berguna.Dalam istilah prkatis, kita dapat mengatakan bahwa ekspresi-ekspresi bahasa Arab di atas digunakan saling bergantian dengan penulisan-penulisan Arab modern dalam bidang pendidikan.

C.   Konsep dan Teorisasi Tujuan Pendidikan
Tujuan umum barangkali dapat digambarkan sebagai tujuan terpisah dari masa sekarang sebagai hasil perhatian yang dituju, merupakan tujuan akhir yang final.Para ahli pendidkan cenderung berhenti pada tujuan-tujuan yang lebih khusus yang dapat tercapai secara terpenggal-penggal dalam suatu langkah tertentu.Apapun yang ingin dicapai dalam langkah-langkah tertentu ini ditentukan oleh nuansa kelayakannya menuju ke arah tujuan akhir yang sesungguhnya.Dalam pendidikan Barat, seseorang mempertahankan konsep-konsep pendidikannya ke arah tujuan umum pendidikan.Pendidikan untuk hidup, untuk waktu terluang, untuk efisiensi sosial dan bentuk kewarga-negaraanyang demokratis adalah hanya contoh-contoh tujuan pendidikan umum Barat.Dalam pendidikan Islam, tujuan umumnya adalah membentuk kepribadian sebagai khalifah Allah atau sekurang-kurangnya mempersiapkan ke jalan yang mengacu kepada tujuan akhir manusia.Tujuan utama khalifah Allah adalah beriman kepada Allah dan tunduk patuh secara total kepada-Nya. Dalam surat Al-Dzariyat (51) : 56 Allah berfirman:

“Dan Aku menjadikan jin dan manusia itu hanyalah agar mereka menyembah-Ku”.

Konsep ibadah dalam ayat di atas ditafsirkan kepada artian menyembah Allah SWT dan melakukan perbuatan-perbuatan yang sesuai dengan syari’at yang telah ditentukan.Sayyid Quthb mengatakan, bahwa perbuatan khalifah dimulai dengan amal ibadah dan pengabdian serta penyembahan yang secara pasti dilukiskan sebagai ibadah.Tugas akhir yang harus diselesaikan oleh manusia adalah tujuan yang sesungguhnya dalam Pendidikan Islam yang dapat dicapai melalui pengabdiannya kepada Allah SWT secara total.Al-Qur’an mengalamatkan Nabi-nabi yang mewakili manusia ideal yang paling tinggi derajatnya sebagai ‘abid Allah, atau ‘ibad yang secara implisit menyatakan, bahwa tugas manusia yang harus diselesaikan itu tidak dapat dipisahkan dari tujuan utamanya, yakni ketundukan secara total kepada Allah.Al-Qur’an bukannya mengesampingkan peranan pembagian kekuasaan antara Allah dan manusia.

     D.   Komponen Sifat Dasar Manusia dan Tujuan Pendidikan Islam

          1.      Tujuan Pendidikan Jasmani
Khalifah telah berperan sebagai pribadi yang berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya, seumpama bangunan tinggi.Hal ini tidak mungkin bisa dicapai oleh karena adanya kelemahan fisik seorang khalifah. Dalam hadits Nabi SAW, Nabi bersabda :

“Orang mukmin yang kuat lebih baik dan lebih disayangi oleh Allah ketimbang orang mukmin yang lemah”.
 
          2.      Tujuan Pendidikan Ruhani
Pembicaraan kita diteruskan kepada tujuan ruhani dalam Pendidikan Islam atau yang diistilahkan dengan ahdaf al-ruhaniyyah. Diakui bahwa orang yang betul-betul menerima ajaran Islam, sudah barang tentu akan menerima keseluruhan cita-cita ideal yang terdapat di dalam Al-Qur’an. Peningkatan jiwa dari kesetiaannya yang hanya kepada Allah semata, dan melaksanakan moralitas Islami yang telah diteladankan ke dalam tingkah laku dan sepak terjang kehidupan Nabi SAW merupakan bagian pokok dalam tujuan umum pendidikan. Ideal-ideal yang dimaksudkan mengenai aspek-aspek pribadi sebagai suatu kedirian atau sebagai anggota kelompok masyarakat untuk memelihara pribadi masing-masing dan untuk dating menyumbangkan tali persaudaraan adalah contoh sederhana dari cita-cita serupa, sebagaimana dibuktikan dalam Al-Qur’an surat Al-Qalam (68) : 4. Ayat ini memuji Nabi SAW lantaran standar moralnya yang kukuh teguh. Cita-cita inilah yang dipegangi oleh para ahli didik modern ketika pembicaraannya diarahkan kepada tujuan pendidikan agam (ahdaf al-diniyyah).
 
          3.      Tujuan Pendidikan Akal
Setelah berbicara tentang tujuan fisik dan tujuan ruhani, sekarang tiba gilirannya untuk berbicara kategori ketiga yang disebut dengan tujuan akal (ahdaf al-‘aliyyah).Maka di sini terikat perhatiannya kepada perkembangan intelegensi yang mengarahkan seorang manusia sebagai individu untuk dapat menemukan kebenaran yang sebenar-benarnya.Telaah tanda-tanda kekuasaan Allah dan penemuaan pesan ayat-ayat-Nya membawa iman kepada Sang Pencipta segala sesuatu yang ada ini.Kegagalan ini dipandang sebagai model yang menyimpangkan akal manusia yang paling serius. Tanda-tanda kekuasaan Allah itu sendiri bukan merupakan tujuan akhir yang final, oleh karena tidak akan mampu mendominasi pikiran. Kuatnya daya tarik manusia modern dengan mendominasi pikiran.Kuatnya daya tarik manusia modern dengan ilmju pengetahuan dan teknologi secara esensial tidak ada bedanya dari daya tarik Ratu Sabu’ dan pengikut-pengikutnya dengan matahari.Dalam peristiwa ini tidak ditegakkan adanya hubungan manusia dengan Allah.

         4.      Tujuan Pendidikan Sosial
Pembahasan tentang tujuan-tujuan pendidikan merupakan keterpaduan utuh dari tubuh, ruh dan akal.Maka pembicaraan segera diteruskan dengan tujuan pendidkan sosial. Hal ini beralasan bahwa khalifah yang mempunyai kepribadian utama yang seimbang, maka khalifah ini tidak akan hidup dalam keterasingan dan kesendirian. Hal inilah yang menyiratkan ayat-ayat Al-Qur’an menunjukkan manusia dengan bentuk jama’ plural. Salah satu contoh adalah ayat yang mempergunakan kata: wahai sekalian manusia, ya ayyuha al-nas dan wahai anak Adam, ya bani Adam. Kedua bentuk kalimat ini lebih sering muncul frekuensinya ketimbang kalimat: wahai manusia dengan menggunakan kalimat ya ayyuha al-insan. Dalam surat Al-Anfal (8) : 65, dikatakan daya tahan masing-masing individu manusia dalam perjuangannya dirumuskan sebagai bagian dari ikhtiar kolektif manusia. Allah berfirman:

“Wahai Nabi, Gemarkanlah kaum mukminin berperang. Jika ada dua puluh orang di antara kamu yang berhati sabar, niscaya mereka akan mampu mengalahkan dua ratus orang musuh, dan jika ada seratus orange di antara kamu, tentu mereka dapat mengalahkan seribu orang kafir, karena mereka itu orang-orang yang tidak mengeri”.

E.   Tujuan Pendidikan Islam Bersifat Universal.
Tujuan umum pendidikan Islam diberi perhatian dan tidak terkena perubahan dari waktu ke waktu.Finalitas kenabian secara implisit menyatakan finalitas cita-cita yang diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW kepada sekalian manusia.Di samping fithrah yang baik, khalifah dikaitkan dengan pasangan kemampuannya untuk memilih perbuatannya yang tidak berubah dari waktu ke waktu, baik kelompok etnis maupun yang lainnya. Konsep khalifah tidak sama dengan konsep kenegaraan yang “demokratis” yang digambarkan sebagai tujuan langsung berlaku umum pada saat sekarang yang ada di negeri-negeri Islam, dimana cita-cita kenegaraan dan kewarganegaraan yang demokratis itu berubah-ubah dari waktu ke waktu. Dalam masyarakat demokratis, mayoritas masyarakatnya menentukan apa yang dianggap baik dan apa yang buruk. Sementara di dalam Islam demikian yang semestinya.Prinsip-prinsip Islam memberi hak bersuara sejauh tidak dikenai perubahan.Manusia diapandang sam derajatnya sepanjang sifat dasr aslinya mendapatkan perhatian. Hal ini yang mendorong diberikannya alasan finalitas dan universalitas tujuan pendidikan Islam dan ini pula yang akan membentuk karakter ketiga. 
 
Sumber : Buku Teori-Teori Pendidikan Berdasarkanal-Qur’an
 

Tidak ada komentar:

Kisah Mata Air Keabadian

Kisah ini diriwayatkan oleh Ats-Tsa’labi dari Imam Ali ra. Pada zaman dahulu hiduplah seorang hamba Allah SWT yang melebihkan kepada d...