Senin, 10 September 2012

PENGARUH KEBUDAYAAN TERHADAP JIWA KEAGAMAAN

Tradisi Keagamaan dan Kebudayaan
Herskouits memandang kebudayaan sebagai sesuatu yang turun temurun dari satu generasi ke generasi yang lain. Sementara, menurut Andreas Eppink kebudayaan mengandung keseluruhan pengertian nilai, norma, ilmu pengetahuan, serta keseluruhan struktur-struktur sosial, religius dan lain-lain. Sementara itu Corel R. E dan Melvin E. (seorang ahli antropologi – budaya) memberikan konsep kebudayaan umumnya mencakup cara berpikir dan cara berlaku yang telah menjadi ciri khas suatu bangsa atau masyarakat tertentu (yang meliputi) hal – hal seperti bahasa, ilmu pengetahuan, hukum-hukum, kepercayaan, agama, kegemaran makanan tertentu, musik, kebiasaan, pekerjaan, larangan-larangan dan sebagainya.
Dengan demikian, kebudayaan adalah hasil daya cipta manusia dengan menggunakan dan mengerahkan segenap potensi batin yang dimilikinya. Di dalam kebudayaan tersebut terdapat pengetahuan, keyakinan, seni, moral, adat istiadat sebaga aspek – aspek dari kebudayaan itu sendiri yang kesemuanya ditujukan untuk membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat. Dengan demikian, kebudayaan dalam suatu masyarakat merupakan sistem nilai tertentu yang dijadikan pedoman hidup oleh warga yang mendukung kebudayaan tersebut. Karena dijadikan kerangka acuan dalam bertindak dan bertingkah laku, maka kebudayaan cenderung menjadi tradisi dalam suatu masyarakat.
Tradisi menurut Parsudi Suparlan, merupakan unsur sosial budaya yang telah mengakar dalam kehidupan masyarakat dan sulit berubah. Umumnya tradisi erat kaitannya dengan mitos dan agama. Mitos lahir dari tradisi yang sudah mengakar kuat disuatu masyarakat, sementara agama dipahami berdasarkan kultus setempat sehingga mempengaruhi tradisi.
Dari sudut pandang sosiologi, tradisi merupakan suatu pranata sosial, karena tradisi dijadikan kerangka acuan norma ini ada yang bersifat sekunder dan primer. Pranata sekunder ini bersifat fleksibel mudah berubah sesuai dengan situasi yang diinginkan, sedangkan pranata primer berhubungan dengan kehormatan dan harga diri, serta kelestarian masyarakatnya, karena pranata ini merupakan kerangka acuan norma yang mendasar dan hakiki dalam kehidupan manusia. Oleh karena itu pranata ini tidak dengan mudah dapat berubah begitu saja.
Mengacu pada penjelasan di atas, tradisi keagamaan termasuk ke dalam pranata primer, karena tradisi keagamaan ini mengadung unsur-unsur yang berkaitan dengan ketuhanan atau keyakinan, tindakan keagamaan, perasaan– perasaan yang bersifat mistik, penyembahan kepada yang suci, dan keyakinan terhadap nilai – nilai yang hakiki. Dengan demikian, tradisi keagamaan sulit berubah, karena selain didukung oleh masyarakat juga memuat sejumlah unsur – unsur yang memiliki nilai – nilai luhur yang berkaitan dengan keyakinan masyarakat. Tradisi keagamaan mengadung nilai-nilai yang sangat penting yang berkaitan erat dengan agama yang dianut masyarakat, atau pribadi – pribadi pemeluk agama tersebut.
Dalam suatu masyarakat yang warganya terdiri atas pemeluk agama, maka secara umum pranata keagamaan menjadi salah satu pranata kebudayaan yang ada di masyarakat tersebut. Dalam konteks seperti ini terlihat hubungan antara tradisi keagamaan dengan kebudayaan masyarakat tersebut. Bila kebudayaan sebagai pedoman bagi kehidupan masyarakat, maka dalam masyarakat pemeluk agama perangkat – perangkat yang berlaku umum dan menyeluruh sebagai norma – norma kehidupan akan cenderung mengandung muatan keagamaan.
Dengan demikian dapat disimpulkan, hubungan antara keagamaan dengan kebudayaan terjalin sebagai hubungan timbal balik. Makin kuat tradisi keagamaan dalam suatu masyarakat maka akan makin terlihat peran dan dominan pengaruhnya dalam kebudayaan.
B. Hubungan tradisi keagamaan dan sikap keagamaan
Tradisi keagamaan dan sikap keagamaan saling mempengaruhi, sikap keagamaan mendukung terbentuknya tradisi keagamaan, sedangkan tradisi keagamaan sebagai lingkungan kehidupan turut memberi nilai-nilai, norma-norma, pola tingkah laku keagamaan kepada seseorang. Dengan demikian, tradisi keagamaan memberi pengaruh dalam membentuk pengalaman dan kesadaran agama sehingga terbentuk dalam sikap keagamaan pada diri seseorang yang hidup dalam lingkungan tradisi keagamaan tertentu.
Sikap keagamaan yang terbentuk oleh tradisi keagamaan merupakan bagian dari pernyataan jati diri seseorang dalam kaitan dengan agama yang dianutnya. Sikap keagamaan ini akan ikut mempengaruhi cara berpikir, cita rasa, ataupun penilaian seseorang terhadap segala sesuatu yang berkaitan dengan agama, tradisi keagamaan dalam pandangan Robert C. Monk memiliki dua fungsi utama yang mempunyai peran ganda. Yaitu bagi masyarakat maupun individu. Fungsi yang pertama adalah sebagai kekuatan yang mampu membuat kestabilan dan keterpaduan masyarakat maupun individu. Sedangkan fungsi yang kedua yaitu tradisi keagamaan berfungsi sebagai agen perubahan dalam masyarakat atau diri individu, bahkan dalam situasi terjadinya konfilik sekalipun.
Sikap dan keberagamaan seseorang atau sekelompok orang bisa berubah dan berkembang sejalan dengan perkembangan budaya dimana agama itu hidup dan berkembang. Demikian pula budaya mengalami perkembangan dan tranformasi. Transformasi budaya merupakan perubahan yang menyangkut nilai-nilai dan struktural sosial. Proses perubahan sturuktur sosial akan menyangkut masalah-masalah disiplin sosial, solidaritas sosial, keadilan sosial, system sosial, mobilitas sosial dan tindakan-tindakan keagamaan. Tranformasi budaya yang tidak berakar pada nilai budya bangsa yang beragam akan mengendorkan disiplin sosial dan solidaritas sosial, dan pada gilirannya unsur keadilan sosial akan sukar diwujudkan.
C. Pengaruh kebudayaan dalam era global terhadap jiwa keagamaan
Era global ditandai oleh proses kehidupan mendunia, kemajuan IPTEK terutama dalam bidang transportasi dan komunikasi serta terjadinya lintas budaya. Kondisi ini mendukung terciptanya berbagai kemudahan dalam hidup manusia, menjadikan dunia semakin transparan. Pengaruh ini ikut melahirkan pandangan yang serba boleh (permissiveness). Apa yang sebelumnya dianggap sebagai tabu, selanjutnya dapat diterima dan dianggap biasa. Sementara itu, nilai-nilai tradisional mengalami proses perubahan sistem nilai. Bahkan mulai kehilangan pegangan hidup yang bersumber dari tradisi masyarakatnya. Termasuk ke dalamnya sistem nilai yang bersumber dari ajaran agama.
Dalam kaitannya dengan jiwa keagamaan, barang kali dampak globalisasi itu dapat dilihat melalui hubungannya dengan perubahan sikap. Menurut teori yang dikemukakan oleh Osgood dan Tannenbaum, perubahan sikap akan terjadi jika terjadi persamaan persepsi pada diri seseorang atau masyarakat terhadap sesuatu. Hal ini berarti bahwa apabila pengaruh globalisasi dengan segala muatannya di nilai baik oleh individu maupun masyarakat, maka mereka akan menerimanya.
Secara fenomena, kebudayaan dalam era global mengarah kepada nilai-nilai sekuler yang besar pengaruhnya terhadap perkembangan jiwa keagamaan. Meskipun dalam sisi-sisi tertentu kehidupan tradisi keagamaan tampak meningkat dalam kesemarakannya. Namun dalam kehidupan masyarakat global yang cenderung sekuler barangkali akan ada pengaruhnya terhadap pertumbunhan jiwa keagamaannya.
Dalam situasi seperti itu, bisa saja terjadi berbagai kemungkinan. Pertama, mereka yang tidak ikut larut dalam pengaguman yang berlebihan terhadap rekayasa teknologi dan tetap berpegang teguh pada nilai – nilai keagamaan, kemungkinan akan lebih meyakini kebenaran agama. Kedua, golongan yang longgar dari nilai-nilai ajaran agama akan mengalami kekosongan jiwa, golongan ini sulit menentukan pilihan guna menentramkan gejolak dalam jiwanya.
Era global diperkirakan memunculkan tiga kecendrungan utama dalam kesadaran agama dan pengalaman agama. Kecendrungan pertama, berupa arus kembali ke tradisi keagamaan yang liberal. Kedua, kecendrungan ke tradisi keagamaan pada aspek mistis. Sedangkan, kecendrungan ketiga, adalah munculnya gerakan sempalan yang mengatasnamakan agama.
1.      Agama Budaya dan Budaya Agama
Menurut Selo Soemardjan seorang pakar sosiologi agama memang bersumber dari ajaran Ilahi. Namun, bila sudah diimplementasikan dalam kehidupan manusia maka menjadi bagian budaya. Sejalan dengan pandangan ini, maka ada yang menggolongkan budaya dalam: 1) budaya iptek; dan 2)  budaya agama. Golongan pertama, adalah budaya yang lahir dari ilmu pengetahuan dan teknologi. Sedangkan yang kedua, adalah budaya yang lahir dari nilai-nilai ajaran agama. Bangunan gedung sebagai karya arsitektur termasuk budaya iptek. Namun bangunan rumah ibadah, serta prosesi ibadahnya termasuk budaya agama.
Atas pembagian ini, seyogyanya acara keagamaan dapat dibedakan dari acara formal yang non-agama dan murni budaya. Acara keagamaan, lazimnya mengandung unsur-unsur sakral, hingga mereka yang terlibat di dalamnya merasakn kekhidmatan. Namun, dalam kehidupan masyarakat modern tampaknya perbedaan itu sudah kian menipis. Acara sekaten yang bersumber dari peringatan maulid Nabi., terkesan sudah dianggap sebagai acara yang bersifat rekreatif. Kondisi yang tak jauh berbeda juga dialami oleh masyarakat Hindu di bali. Upacara-upacara keagamaan sebagian besar sudah mengarah ke atraksi pariwisata. Bahkan dalam skala global, batas antara budaya agama dan non-agama sudah melebur.
Di masyarakat global ada semacam kecendrungan untuk menciptakan tradisi baru yang artifisialis. Menempatkan kesenangan kelompok, golongan maupun massa sebagai ”upacara” resmi. Menyusun aturan-aturan khusus yang bersifat mengikat anggota pendukungnya. Bahkan tak jarang aktivitas seperti itu dijadikan semacam ritus sosial. Gejala ini oleh Carl Sagan disebut sebagai agama sipil (civil religion). Semacam tradisi budaya yang secara berangsur ikut memberi pengaruh terhadup ikatan tradisis agama murni. Pada hal-hal tertentu tradisi artifisialis ini tak jarang diperlakukan sebagai agama dalam masyarakat.
2.      Sentimen Keagamaan
Baru-baru ini masyarakat dikagetkan oleh masalah-masalah yang telah menimbulkan gejolak munculnya sentimen keagamaan. Dalam skala internasional, adalah kasus pemuatan karikatur Nabi Muhammad Saw. oleh harian Jyllands-Posten di Denmark. Lalu dalam kawasan nasional, yakni kasus penyerangan terhadap pengikut Ahmadiyah di Lombok. Kemudian baru-baru ini muncul sikap pro dan kontra terhadap Undang-Undang Pornografi dan Pornoaksi. Ketiga kasus ini sempat mencuatkan berbagai reaksi, baik dalam bentuk kecaman maupun  demonstrasi.
Secara etimologis, sentimen diartikan sebagai semacam pendapat atau pandangan yang didasarkan perasaan yang berlebih-lebihan terhadap sesuatu yang bertentangan dengan pertimbangan pikiran (KBBI, 1990: 851). Sebagai gejala psikologis, sentimen menggambarkan luapan perasaan tidak puas atau benci terhadap sesuatu yang dianggap menyalahi ataupun bertentangan dengan kondisi yang ada. Atau diangggap melecehkan sistem nilai yang oleh pendukungnya dianggap sebagai sesuatu yang benar dan perlu dipertahankan. Sentimen berpengaruh dalam menimbulkan luapan perasaan, yang pada tingkat tertentu dapat menimbulkan reaksi.
3.      Kegersangan Spiritual
Era globalisai yang bertepatan dengan masuknya milenium III, telah memberi dampak dan pengaruh terhadap peradaban manusia, dan sejarah kemanusiaan. Pengaruh tersebut tak lepas dari yang bersifat positif dan negatif. Terlepas dari semuanya itu, era globalisasi maupun milenium III adalah sebuah keniscayaan dari perjalanan sejarah peradaban manusia. Ibarat gerbong kereta, keduanya tetap meneruskan pengembaraannya menelusuri rel-rel zaman.
Di rentang perjalanan ini, dirangkaian gerbong modernisasi yang diusungnya, globalisasi membawa manusia ke suasana kehidupan baru. Dalam pandangan Ernst Cassirer, seperti dikutip Komaruddin Hidayat, perubahan ini telah membawa manusia pada krisis pengenalan diri.
Kegersangan spritual dapat menimbulkan ”cacat nurani”. Nilai-nilai kemanusiaan terabaikan sama sekali. Mampu mengubah perilaku manusia menjadi kejam. Ingin menunjukkan eksistensi dirinya melalui perbuatan yang tercela.
a.      Megalomania
Kedigdayaan iptek menciptakan dirinya sebagai ”agama” baru. Keunggulan produknya sudah bagaikan ”fatwa.” Bisa membenarka si pemilik menggunakannya untuk tujuan apa saja. Termasuk adu kekuatan. Pertimbangan moral terabaikan. Di kala itu arogansi manusia mengedepan.
Rangkaian kemenangan yang diperoleh menjadikan manusia lupa diri. Merasa serba perkasa. Semuanya kemudian terendap ke alam tak sadar. Menumpuk dan berubah bentuk narsis kekuasaan. Secara tak sadar muncul dalam sikap megalomania. Gila kekuasaan. Sejarah mencatat sosok megalomania, antara lain Adolf Hitler, Idi Amin, Saddam Husein, maupun George Walker Bush.
Michel Bigent mengatakan bahwa kemajuan, telah mengkhianati amanat yang diberikannya kepadanya. Ilmu pengetahuan yang semula diperkirakan akan menawarkan prospek baru untuk usaha perbaikan hidup manusia malah justru memproduksi alat-alat mengerikan untuk menghancurkannya. Di balik penghancuran itu pula berdiri pengidap megalomania. 
b.      Keserakahan
Produk iptek menawarkan kemewahan materi. Kekayaan materi dijadikan indikator status sosial. Manusia semakin haus. Tak pernah merasa puas. Masing-masing saling berebut untuk memiliki sebanyak-banyak yang mampu diusahakan. Memperkaya diri dengan cara apa pun. Sementara nilai-nilai moral diabaikan.
Manusia menjadi serakah. Gejolak resesi ekonomi dunia tak dapat dilepaskan dari sifat serakah ini. Demi mengejar kekayaan, manusia kehilangan akal sehat (common sense). Betapa ironisnya ketika 23 korban menyerahkan begitu saja uang mereka kepada Bernard Madoff. Terbujuk oleh iming-iming Ketua Nasdaq, bursa saham khusus untuk perusahaan teknologi. Penipuan dengan skema Ponzi yang melibatkan uang milik sejumlah perusahaan dan pensiun, yayasan sosial, aktris/aktor, dana-dana sekolah, dan lainnya.
Di tengah-tengah persaingan kemewahan, tanpa memiliki kekayaan, manusia merasa kehilangan harga diri. Perasaan ini pula yang mendorong seseorang menjadi serakah. Hidup dalam kendali hawa nafsu yang lepas dari kekangan nilai-nilai moral. Hanya untuk mendapat ”pengakuan” atas dirinya, manusia terdorong melakukan manipulasi ataupun korupsi.
c.       Manusia Robot
Kegersangan spiritual juga dapat mengubah perilaku manusia ke perilaku robotis. Bentuk perilaku yang terkendali secara mekanisme. Membeo dalam kata, meniru perilaku. Mengidentifikasi diri di popularitas sosok idola. ”Terhipnotis” jadi sosok ”pak Turut.” Tak ubahnya perilaku bocah yang termakan kemulukan iklan.
Berlomba-lomba, dan tak ketinggalan dalam kegiatan bersepada, hanya karena pejabat setempat melakukannya. Meniru dandanan para aktris atau aktor kondang. Perilaku ”jiplakan” seperti ini tak lepas dari pengaruh sikap latah. Menempatkan diri sebagai robot. Manusia yang sudah kehilangan jati diri.
Bukan itu saja. Manusia robot juga dijumpai dalam kehidupan sehari-hari masyarakat modern. Modernisasi telah menjadikan manusia pengagum teknologi. Rangkaian kehidupannya seakan sudah ’digadaikan’ ke perangkat teknologi. Patuh terhadap simbol-simbol dan mekanisme produk teknologi. Ingin serba tepat dan akurat. Manusia sudah bagaikan mesin. Beraktivitas dalam kekosongan nilai-nilai.
d.      Euforia Massal
Kegersangan spiritual menyebabkan manusia merasa dirinya terasing. Merasa kesepian dalam kemajuan (mass society). Masyarakat yang kehilangan rasa solidaritas. Berubah dari masyarakat paguyuban ke patembayan. Masyarakat yang mengedapankan kepentingan individu, ”lu-lu, gue-gue.”
Sebagai makhluk sosial, perasaan terasing merupakan ”derita” batin bagi manusia. Untuk mengenyahkan perasaan ini, mendorong manusia menemukan teman senasib. Membentuk peer group dengan latar belakang profesi. Membaur diri bersama teman senasib dan sepenanggungan, menyatu dalam euforia massal. Apa pun kegiatannya bukan masalah. Yang penting dapat mengobati kegundahan batin. Tak heran bila berbagai klub bermunculan, terutama di kota-kota yang sudah terlanda peradaban modern.  

Sumber :



Jalaluddin, Psikologi Agama, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1996

Tidak ada komentar:

Kisah Mata Air Keabadian

Kisah ini diriwayatkan oleh Ats-Tsa’labi dari Imam Ali ra. Pada zaman dahulu hiduplah seorang hamba Allah SWT yang melebihkan kepada d...