Beberapa Model/Konsep Evaluasi Kurikulum
Secara garis
besar, berbagai model evaluasi yang telah dikembangkan selama ini dapat
digolongkan ke dalam lima rumpun model yaitu:
1. Measurement
evaluasi pada
dasarnya adalah pengukuran perilaku siswa untuk mengungkapkan perbedaan
individual maupun kelompok. Hasil evaluasi digunakan terutama untuk keperluan
seleksi siswa, bimbingan pendidikan dan perbandingan efektivitas antara dua
atau lebih program/metode pendidikan. Objek evaluasi dititikberatkan pada hasil
belajar terutama dalam aspek kognitif dan khususnya yang dapat diukur dengan
alat evaluasi yang objektif dan dapat dibakukan. Jenis data yang dikumpulkan
dalam evaluasi adalah data objektif khususnya skor hasil tes. Dalam kegiatan
evaluasi, cenderung ditempuh pendekatan/cara-cara berikut:
a) Menempatkan
“kedudukan” setiap siswa dalam kelompoknya melalui pengembangan norma kelompok dalam
evaluasi hasil belajar.
b) Membandingkan
hasil belajar antara dua atau lebih kelompok yang menggunakan program/metode
pengajaran yang berbeda-beda, melalui analisis secara kuantitaif.
c) Tehnik evaluasi
yang digunakan terutama tes yang disusun dalam bentuk objektif, yang terus
dikembangkan untuk menghasilkan alat evaluasi yang reliabel dan valid.
2. Congruence
Evaluasi pada
dasarnya merupakan pemeriksaan kesesuaian congruence antara tujuan pendidikan
dan hasil belajar yang dicapai, untuk melihat sejauhmana perubahan hasil
pendidikan telah terjadi. Hasil evaluasi diperlukan dalam rangka penyempurnaan
program, bimbingan pendidikan, dan pemberian informasi kepada pihak-pihak di
luar pendidikan. Objek evaluasi dititikberatkan pada hasil belajar dalam bentuk
kognitif, psikomotorik maupun nilai dan sikap. Jenis data yang dikumpulkan
adalah data objektif khususnya skor hasil tes. Dala kegiatan evaluasi,
cenderung ditempuh pendekatan/cara-cara berikut.
·
Menggunakan prosedur pre-and
post-assessment dengan menempuh langkah-langkah pokok sebagai
berikut: penugasan tujuan, pengembangan alat evaluasi, dan pengguanaan hasil
evaluasi.
·
Analisis hasil evaluasi dilakukan secara bagian demi bagian.
·
Teknik evaluasi mencakup tes dan teknik-teknik evaluasi lainnya
yang cocok untuk menilai berbagai jenis perilaku yang terkandung dalam tujuan.
·
Kurang menyetujui diadakannya evaluasi perbandingan antara dua atau
lebih program.
3. Illumination
Evaluasi pada
dasarnya merupakan studi mengenai: pelaksanaan program, pengaruh faktor
lingkungan, kebaikan-kebaikan dan kelemahan program, serta pengaruh program terhadap
perkembangan hasil belajar. Evaluasi lebih menarik didasarkan pada judgment (pertimbangan) yang hasilnya
diperlukan untuk penyempurnaan program. Objek evaluasi mencakup latar belakang
dan perkembangan program, proses pelaksanaan, hasil belajar, dan
kesulitan-kesulitan yang dialami. Jenis data yang dikumpulkan pada umumnya data
subjektif (judgment data) dalam
kegiatan evaluasi, cenderung ditempuh pendekatan/cara-cara berikut :
a) Menggunakan
prosedur yang disebut progressive focusing
dengan langkah-langkah pokok: orientasi, pengamatan yang lebih terarah, dan
analisis sebab akibat.
b) Bersifat
kualitatif-terbuka, dan fleksibel-eklesif.
c) Teknik evaluasi
mencakup: observasi, wawancara, angket, analisis, dokumen dan bila perlu
mencakup pula tes.
4. Educational System Evaluation
Evaluasi pada
dasarnya adalah perbandingan antara performance
setiap dimensi program dan kriteria, yang akan berakhir dengan suatu deskripsi
dan judgment. Hasil evaluasi diperlukan untuk penyempurnaan program dan
penyimpulan hasil program secara keseluruhan. Objek evaluasi mencakup input
(bahan, rencana, peralatan), proses, dan hasil yang dicapai dalam arti yang
lebih luas. Jenis data yang dikumpulkan meliputi baik data objektif maupun data
subjektif (judgment data). Dalam
kegiatan evaluasi, cenderung ditempuh pendekatan/cara-cara berikut:
1) Membandingkan performance setiap dimensi program dengan
kriteria internal.
2) Membandingkan performance program dengan menggunakan
kriteria.
3) Eksternal,
yaitu performance program yang
lain.
4) Teknik evaluasi
mencakup: tes, observasi, wawancara, angket, dan analisis dokumen.
5. Model CIPP
model ini
menitikberatkan pada pandangan bahwa keberhasilan program pendidikan
dipengaruhi oleh berbagai faktor, di antaranya: karakteristik peserta didik,
dan lingkungan, tujuan program itu sendiri. Evaluasi kurikulum pada model ini
dimaksudkan untuk membandingkan performance
atau kinerja dari berbagai dimensi program dengan sejumlah kriteria tertentu
untuk menghasilkan judgment atau
pertimbangan-pertimbangan mengenai kekuatan dan kelemahan dari kurikulum
tersebut.
Dalam buku Educational Evaluation and Decision Making,
dari Stufflebearn (1972), CIPP merupakan model evaluasi dengan fokus pada
contect, input, prosess, serta product. Keempat aspk tersebut menjadi bagian
penting dalam kegiatan evaluasi kurikulum yang dianggap mencakup keseluruhan
dimensi kurikulum.
Tinjauan
Masing-masing Model
1. Measurement
konsep measurement
telah memberikan sumbangan yang sangat berati dalam hal penekanannya terhadap
pentingnya objektivitas dalam proses evaluasi. Aspek objektivitas yang ditekankan oleh konsep ini perlu
dijadikan landasan yang terus-menerus dalam rangka mengembangkan konsep dan
sistem evaluasi kurikulum. Di samping itu, pendekatan yang digunakan oleh
konsep ini masih sangat besar pengaruhnya dan dirasakan faedahnya dalam
berbagai kegiatan pendidikan, seperti seleksi dan klasifikasi siswa, pemberian
nilai di sekolah, dan kegiatan penelitian pendidikan. Aspek pengukuran itu
sendiri memang diperlukan dalam proses evaluasi, tapi tidak dimaksudkan untuk
menggantikan proses evaluasi itu sendiri: “Measurement
is not evaluation, but it can provide useful data for evaluation”.
Dalam evaluasi hasil belajar, misalnya, kita tidak dapat mengelakkan penggunaan
alat pengukuran hasil belajar untuk menghasilkan data yang diperlukan dalam
pemberian judgment selanjutnya mengenai hasil belajar yang telah dicapai.
Sebagai konsekuensi dari penekanan yang berlebih-lebihan
pada aspek pengukuran, evaluasi cenderung dibatasi pada dimensi tertentu dari
program pendidikan yang “dapat diukur”, terutama hasil belajar yang bersifat
kognitif tersebut bukanlah merupakan satu-satunya indikator bagi keberhasilan
suatu kurikulum. Sebagai suatu wahana untuk mencapai tujuan-tujuan pendidikan,
kurikulum diharapkan dapat mengembangkan berbagai potensi yang ada pada diri
siswa, tidak terbatas hanya pada potensi di bidang kognitif. Di samping itu,
peranan evaluasi yang diharapkan akan dapat memberikan input bagi penyempurnaan
program dalam setiap tahap, menjadi kurang dapat terpenuhi dengan dibatasinya
evaluasi pada pengukuran hasil belajar saja, apalagi hanya ditekankan pada
bidang kognitif.
2. Congruence
Konsep ini telah
menghubungkan kegiatan evaluasi dengan tujuan untuk mengkaji efektivitas
kurikulum yang sedang dikembangkan. Dengan kata lain, konsep congruence telah
memperlihatkan adanya “high degree of
integration with the instructional process”. Dengan mengkaji
efektivitas kurikulum dalam mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan, hal
ini akan memberikan balikan kepada pengembang kurikulum tentang tujuan-tujuan
mana yang sudah dan yang belum dicapai. Hasil evaluasi yang diperoleh tidak
bersifat relatif karena selalu dihubungkan dengan tujuan yang hendak dicapai
sebagai kriteria pembandingan.
Kelemahan dari
konsep ini terletak pada ruang lingkup evaluasinya. Sekalipun tujuan evaluasi
diarahkan pada kepentingan penyempurnaan program kurikulum, tapi konsep ini
tidak menjadikan input dan proses pelaksanaan sebagai objek langsung evaluasi.
Yang dijadikan perhatian oleh konsep ini adalah hubungan antara tujuan dan
hasil belajar. Faktor-faktor penting yang terdapat di antara tujuan dan hasil
yang dicapai kurang mendapat perhatian. Padahal dimensi yang akan disempurnakan
justru adalah faktor-faktor tersebut yaitu: input dan proses belajar-mengajar,
yang keseluruhannya akan menciptakan suatu tipe pengalaman belajar tertentu.
Masih berhubungan dengan persoalan ruang lingkup evaluasi di atas, pelaksanaan
evaluasi dari konsep ini terjadi pada saat kurikulum sudah selesai
dilaksanakan, dengan jalan membandingkan antara hasil pretest dan posttest.
Sebagai
akibatnya informasi yang dihasilkan hanya dapat menjawab pertanyaan tentang
tujuan-tujuan mana yang telah dan yang belum dapat dicapai. Pertanyaan tentang
mengapa tujuan-tujuan tertentu belum dapat dicapai, sukar untuk dapat dijawab
melalui informasi perbedaab pretest dan postest. Dengan kata lain, pendekatan
yang digunakan oleh konsep ini menghasilkan suatu teknik evaluasi yang sifatnya
terminal/postfacto. Pendekatan semacam ini memang membantu di dalam mencari
jawaban tentang segi-segi apa yang masih lemah dan bagaimana kemungkinan
mengatasi kelemahan tersebut.
Terlepas dari
beberapa kelemahan di atas, konsep ini telah memberikan sumbangan yang sangat
besar bagi perkembangan konsep evaluasi kurikulum, khususnya dalam usaha:
a) Menghubungkan hasil
belajar dengan tujuan-tujuan pendidikan sebagai kriteria pendidikan, dan
b) Memperkenalkan
sistem pengolahan hasil evaluasi secara bagian demi bagian, yang ternyata lebih
relevan dengan kebutuhan pengembangan kurikulum.
3. Illumination
Sebagai reaksi
terhadap konsep measurement dan congruence yang bersifat “terminal”
seperti telah disinggung dalam bagian yang lalu, konsep illumination menekankan pentingnya dilakukan evaluasi yang berkelanjutan selama
proses pelaksanaan kurikulum sedang berlangsung. Gagasan yang terkandung di
dalam konsep ini memang penting dan menunjang proses penyempurnaan kurikulum,
karena pihak pengembang kurikulum akan memperoleh informasi yang cukup
terintegrasi sebagai dasar untuk mengoreksi dan menyempurnakan kurikulum yang sedang dikembangkan. Di samping itu,
jarak antara pengumpulan data dan laporan hasil evaluasi cukup pendek sehingga
informasi yang dihasilkan dapat digunakan pada waktunya.
Kelemahan dari
konsep ini terutama terletak pada teknik pelaksanaannya. Pertama, kegiatan evaluasi tidak didahului
oleh adanya perumusan kriteria yang jelas sebagai dasar bagi pelaksanaan dan
penyimpulan hasil evaluasi. Ini dapat mengakibatkan bahwa sejumlah segi-segi
yang penting kurang mendapat perhatian, karena evaluator
hanyut di dalam mengamati segi-segi tertentu yang menarik perhatiannya. Kedua,
objektivitas dari evaluasi inilah yang yang justru dipandang sebagai salah satu
kelemahan yang penting dari konsep ini. Di samping konsep ini lebih
menitikberatkan penggunaan judgment dalam
proses evaluasi, juga terdapat adanya kecenderungan untuk menggunakan alat
evaluasi yang “terbuka” dalam arti kurang spesifik/berstruktur. Di samping
kedua kelemahan di atas, konsep ini juga tidak menekankan pentingnya evaluasi
terhadap bahan-bahan kurikulum selama bahan-bahan tersebut disusun dalam tahap
perencanaan. Dengan kata lain, evaluasi yang diajukan oleh konsep ini lebih
berorientasi pada proses dan hasil yang dicapai oleh kurikulum yang
bersangkutan.
. Educational System Evaluation
ditinjau dari
hakikat dan ruang lingkup evaluasi, konsep ini memperlihatkan banyak segi yang
positif untuk kepentingan proses pengembangan kurikulum. Ditekankannya peranan
kriteria (absolut maupun relatif) dalam proses evaluasi. Tanpa kriteria kita
tidak akan dapat menghasilkan suatu informasi yang menunjukkan ada tidaknya
kesenjangan (discrepancy), sedangkan informasi semacam inilah yang diharapkan
dari hasil evaluasi. Sehubungan dengan ruang lingkup evaluasi, konsep ini
mengemukakan perlunya evaluasi itu dilakukan terhadap berbagai dimensi program,
tidak hanya hasil yang dicapai, tapi juga input dan proses yang dilakukan tahap
demi tahap. Ini penting sekali agar penyempurnaan kurikulum dapat dilakukan
pada setiap tahap sehingga kelemahan yang masih terlihat pada suatu tahap
tertentu tidak sampai dibawa ke tahap berikutnya.
Suatu bagian dari
konsep ini kiranya dapat dipandang sebagai kelemahan adalah mengenai
pandangannya tentang evaluasi untuk menyimpulkan kebaikan program secara
menyeluruh. Ada dua persoalan yang perlu mendapatkan penegasan dari konsep ini,
yang pertama menyangkut segi strategis. Persoalan teknis berkenaan dengan
prosedur yang ditempuh dalam membandingkan hasil antara kurikulum yang baru dan
kurikulum yang ada. Pengalaman-pengalaman yang lalu menunjukkan bahwa studi
perbandingan semacam ini pada umumnya berakhir dengan kesimpulan “tidak adanya
perbedaan yang berarti”.
Persoalan
strategis menyangkut persoalan “nasib” dari kurikulum yang baru tersebut bila
hasil perbandingan yang dilakukan menunjukkan “perbedaan yang tidak berarti”.
Bila hal itu terjadi, apakah kita akan ‘menarik kembali’ kurikulum yang baru
tersebut untuk kembali ke kurikulum yang ada ataukah mengembangkan kurikulum
baru yang lain lagi? Bagaimanakah hal ini dapat dipertanggungjawabkan dari segi
biaya yang telah dikeluarkan maupun dari segi siswa-siswa yang telah
menggunakan kurikulum baru tersebut selama bertahun-tahun? Kedua persoalan di
atas itulah yang telah terdapat dan
belum dibahas secara tuntas di dalam konsep ini. Secara keseluruhan, konsep
educational system evaluation ini relevan dengan peranan evaluasi di dalam
proses pengembangan kurikulum yang terkandung di dalam konsep-konsep terdahulu.
e. Model CIPP
Model evaluasi ini
menggambarkan cakupan evaluasi kurikulum yang cukup luas, tidak hanya mencakup
aspek pembelajaran saja sebagai implementasi kurikulum, namun keseluruhan aspek
mulai dari: konteks, masukan (input), proses dan produk atau hasil.
·
Konteks (Contect).
Berkaitan dengan situasi atau latar belakang yang mempengaruhi terhadap
pengembangan kurikulum tertentu yang di dalamnya terdapat jenis-jenis tujuan,
dan strategi pencapaian yang akan dikembangkan dalam kurikulum tersebut.
Misalnya: (a) kebijakan pemerintah, departemen, unit kerja atau sekolah yang
bersangkutan; (b) sasaran yang ingin dicapai oleh lembaga dalam kurun waktu
tertentu; (c) masalah ketenagaan yang dihadapi oleh lembaga yang bersangkutan
dan lain-lain.
·
Masukan (Input).
Berkaitan dengan bahan, peralatan, sarana, fasilitas yang disiapkan, dan
mendukung serta menjadi kelengkapan dari kurikulum yang dikembangkan; (b) staf
pengajar; guru, dosen, intruktur, widyaiswara yang disiapkan; (c) sarana dan
prasarana yang tersedia serta media pembelajaran yang digunakan.
·
Proses (Proses).
Berkaitan dengan pelaksanaan nyata dari kurikulum yang dikembangkan dalam
bentuk proses belajar mengajar, baik di kelas (classroom setting) maupun di
luat kelas, baik kegiatan intra maupun ekstra kulikuler. Misalnya: (a) pelaksanaan
pembelajaran di kelas, di laboratorium, di perpustakaan, kegiatan praktikum,
kegiatan olahraga dan lain-lain; (b) kegiatan evaluasi pembelajaran yang
dilakukan oleh guru utama terutama evaluasi formatif, yaitu evaluasi tang
bertujuan untuk memperbaiki proses pembelajaran; (c) pengelolaan kurikulum dan
pembelajaran, dan lain-lain.
Produk (Product). Berkaitan dengan keseluruhan
hasil yang dicapai oleh pengembangan kurikulum tersebut termasuk produk dari
hasil pembelajaran. Evaluasi terhadap produk meliputi: (a) evaluasi jangka
pendek, yaitu evaluasi terhadap keberhasilan pembelajaran yang menitikberatkan
pada pencapaian hasil belajar (sumative
evaluation), artinya dalam pada aspek ini yang dievaluasi adalah
bagaimana peserta didik mampu menyelesaikan sebuah program pendidikan mampu
atau tidak menghasilkan SDM yang berkualitas dan relevan dengan kebutuhan
masyarakat dan dunia kerja.
Untuk
mengkaji efektifitas pembelajaran yang telah dilakukan dan untuk menetapkan
tingkat penguasaan siswa terhadap tujuan-tujuan pembelajaran, model congruence tergolong ampuh untuk
digunakan. Akhirnya, bila kita ingin memperoleh gambaran yang lebih mendalam
tentang proses pelaksanaan kurikulum beserta faktor-faktor yang memengaruhinya,
model ilumination akan sangat
membantu.
Model yang Disarankan
Kecepatan suatu
model tak dapat dilepaskan dari tujuan yang ingin dicapai dari kegiatan evaluasi
yang kita adakan. Setiap model, termasuk model yang keempat (educational system evaluation) memiliki
kekuatan dan kelemahan ditinjau dari bernagai segi. Sehubungan dengan itu,
berkenaan dengan model mana yang akan disarankan, dikemukakan hal-hal sebagai
berikut: Untuk memperoleh gambaran yang menyeluruh tentang kurikulum yang
sedang dikembangkan, model educational
system evaluation, tampaknya merupakan model yang paling tepat.
Kelemahan masing-masing model yang lain dapat ditanggulangi oleh model yang
keempat ini. Terlepas dari kenyataan tersebut, untuk mencapai tujuan evaluasi
yang bersifat khusus, ketiga model yang lain pun masih dapat memberikan
sumbangan:
1. Untuk keperluan
seleksi dan klasifikasi siswa serta membandingkan efektifitas kurikulum yang
baru dengan kurikulum ada, model measurement
tepat untuk digunakan.
DAFTAR PUSTAKA
Tim Pengembang
MKDP Kurikulum dan Pembelajaran.2011. Kurikulum Pembelajaran.
Bandung : Raja Grafindo Persada
Tidak ada komentar:
Posting Komentar