Jumat, 14 September 2012

Beberapa Model/Konsep Evaluasi Kurikulum I Tinjauan Masing-masing Model I Model yang Disarankan


Beberapa Model/Konsep Evaluasi Kurikulum

            Secara garis besar, berbagai model evaluasi yang telah dikembangkan selama ini dapat digolongkan ke dalam lima rumpun model yaitu:

1. Measurement
            evaluasi pada dasarnya adalah pengukuran perilaku siswa untuk mengungkapkan perbedaan individual maupun kelompok. Hasil evaluasi digunakan terutama untuk keperluan seleksi siswa, bimbingan pendidikan dan perbandingan efektivitas antara dua atau lebih program/metode pendidikan. Objek evaluasi dititikberatkan pada hasil belajar terutama dalam aspek kognitif dan khususnya yang dapat diukur dengan alat evaluasi yang objektif dan dapat dibakukan. Jenis data yang dikumpulkan dalam evaluasi adalah data objektif khususnya skor hasil tes. Dalam kegiatan evaluasi, cenderung ditempuh pendekatan/cara-cara berikut:

         a)     Menempatkan “kedudukan” setiap siswa dalam kelompoknya melalui pengembangan norma kelompok dalam evaluasi hasil belajar.

     b)      Membandingkan hasil belajar antara dua atau lebih kelompok yang menggunakan program/metode pengajaran yang berbeda-beda, melalui analisis secara kuantitaif.

         c)      Tehnik evaluasi yang digunakan terutama tes yang disusun dalam bentuk objektif, yang terus dikembangkan untuk menghasilkan alat evaluasi yang reliabel dan valid.

2. Congruence
            Evaluasi pada dasarnya merupakan pemeriksaan kesesuaian congruence antara tujuan pendidikan dan hasil belajar yang dicapai, untuk melihat sejauhmana perubahan hasil pendidikan telah terjadi. Hasil evaluasi diperlukan dalam rangka penyempurnaan program, bimbingan pendidikan, dan pemberian informasi kepada pihak-pihak di luar pendidikan. Objek evaluasi dititikberatkan pada hasil belajar dalam bentuk kognitif, psikomotorik maupun nilai dan sikap. Jenis data yang dikumpulkan adalah data objektif khususnya skor hasil tes. Dala kegiatan evaluasi, cenderung ditempuh pendekatan/cara-cara berikut.

·         Menggunakan prosedur pre-and post-assessment dengan menempuh langkah-langkah pokok sebagai berikut: penugasan tujuan, pengembangan alat evaluasi, dan pengguanaan hasil evaluasi.
·         Analisis hasil evaluasi dilakukan secara bagian demi bagian.

·         Teknik evaluasi mencakup tes dan teknik-teknik evaluasi lainnya yang cocok untuk menilai berbagai jenis perilaku yang terkandung dalam tujuan.

·         Kurang menyetujui diadakannya evaluasi perbandingan antara dua atau lebih program.

3. Illumination
 
            Evaluasi pada dasarnya merupakan studi mengenai: pelaksanaan program, pengaruh faktor lingkungan, kebaikan-kebaikan dan kelemahan program, serta pengaruh program terhadap perkembangan hasil belajar. Evaluasi lebih menarik didasarkan pada judgment (pertimbangan) yang hasilnya diperlukan untuk penyempurnaan program. Objek evaluasi mencakup latar belakang dan perkembangan program, proses pelaksanaan, hasil belajar, dan kesulitan-kesulitan yang dialami. Jenis data yang dikumpulkan pada umumnya data subjektif (judgment data) dalam kegiatan evaluasi, cenderung ditempuh pendekatan/cara-cara berikut : 

    a)      Menggunakan prosedur yang disebut progressive focusing dengan langkah-langkah pokok: orientasi, pengamatan yang lebih terarah, dan analisis sebab akibat.

       b)      Bersifat kualitatif-terbuka, dan fleksibel-eklesif.

    c)      Teknik evaluasi mencakup: observasi, wawancara, angket, analisis, dokumen dan bila perlu mencakup pula tes.

4. Educational System Evaluation

            Evaluasi pada dasarnya adalah perbandingan antara performance setiap dimensi program dan kriteria, yang akan berakhir dengan suatu deskripsi dan judgment. Hasil evaluasi diperlukan untuk penyempurnaan program dan penyimpulan hasil program secara keseluruhan. Objek evaluasi mencakup input (bahan, rencana, peralatan), proses, dan hasil yang dicapai dalam arti yang lebih luas. Jenis data yang dikumpulkan meliputi baik data objektif maupun data subjektif (judgment data). Dalam kegiatan evaluasi, cenderung ditempuh pendekatan/cara-cara berikut:

      1)      Membandingkan performance setiap dimensi program dengan kriteria internal.

       2)      Membandingkan performance program dengan menggunakan kriteria.
  
      3)      Eksternal, yaitu performance program yang lain. 

      4)      Teknik evaluasi mencakup: tes, observasi, wawancara, angket, dan analisis dokumen.

5. Model CIPP

            model ini menitikberatkan pada pandangan bahwa keberhasilan program pendidikan dipengaruhi oleh berbagai faktor, di antaranya: karakteristik peserta didik, dan lingkungan, tujuan program itu sendiri. Evaluasi kurikulum pada model ini dimaksudkan untuk membandingkan performance atau kinerja dari berbagai dimensi program dengan sejumlah kriteria tertentu untuk menghasilkan judgment atau pertimbangan-pertimbangan mengenai kekuatan dan kelemahan dari kurikulum tersebut. 

            Dalam buku Educational Evaluation and Decision Making, dari Stufflebearn (1972), CIPP merupakan model evaluasi dengan fokus pada contect, input, prosess, serta product. Keempat aspk tersebut menjadi bagian penting dalam kegiatan evaluasi kurikulum yang dianggap mencakup keseluruhan dimensi kurikulum. 

Tinjauan Masing-masing Model

1. Measurement
            konsep measurement telah memberikan sumbangan yang sangat berati dalam hal penekanannya terhadap pentingnya objektivitas dalam proses evaluasi. Aspek           objektivitas yang ditekankan oleh konsep ini perlu dijadikan landasan yang terus-menerus dalam rangka mengembangkan konsep dan sistem evaluasi kurikulum. Di samping itu, pendekatan yang digunakan oleh konsep ini masih sangat besar pengaruhnya dan dirasakan faedahnya dalam berbagai kegiatan pendidikan, seperti seleksi dan klasifikasi siswa, pemberian nilai di sekolah, dan kegiatan penelitian pendidikan. Aspek pengukuran itu sendiri memang diperlukan dalam proses evaluasi, tapi tidak dimaksudkan untuk menggantikan proses evaluasi itu sendiri: “Measurement is not evaluation, but it can provide useful data for evaluation”. Dalam evaluasi hasil belajar, misalnya, kita tidak dapat mengelakkan penggunaan alat pengukuran hasil belajar untuk menghasilkan data yang diperlukan dalam pemberian judgment selanjutnya mengenai hasil belajar yang telah dicapai.

            Sebagai konsekuensi dari penekanan yang berlebih-lebihan pada aspek pengukuran, evaluasi cenderung dibatasi pada dimensi tertentu dari program pendidikan yang “dapat diukur”, terutama hasil belajar yang bersifat kognitif tersebut bukanlah merupakan satu-satunya indikator bagi keberhasilan suatu kurikulum. Sebagai suatu wahana untuk mencapai tujuan-tujuan pendidikan, kurikulum diharapkan dapat mengembangkan berbagai potensi yang ada pada diri siswa, tidak terbatas hanya pada potensi di bidang kognitif. Di samping itu, peranan evaluasi yang diharapkan akan dapat memberikan input bagi penyempurnaan program dalam setiap tahap, menjadi kurang dapat terpenuhi dengan dibatasinya evaluasi pada pengukuran hasil belajar saja, apalagi hanya ditekankan pada bidang kognitif.

2. Congruence
            Konsep ini telah menghubungkan kegiatan evaluasi dengan tujuan untuk mengkaji efektivitas kurikulum yang sedang dikembangkan. Dengan kata lain, konsep congruence telah memperlihatkan adanya “high degree of integration with the instructional process”. Dengan mengkaji efektivitas kurikulum dalam mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan, hal ini akan memberikan balikan kepada pengembang kurikulum tentang tujuan-tujuan mana yang sudah dan yang belum dicapai. Hasil evaluasi yang diperoleh tidak bersifat relatif karena selalu dihubungkan dengan tujuan yang hendak dicapai sebagai kriteria pembandingan.

            Kelemahan dari konsep ini terletak pada ruang lingkup evaluasinya. Sekalipun tujuan evaluasi diarahkan pada kepentingan penyempurnaan program kurikulum, tapi konsep ini tidak menjadikan input dan proses pelaksanaan sebagai objek langsung evaluasi. Yang dijadikan perhatian oleh konsep ini adalah hubungan antara tujuan dan hasil belajar. Faktor-faktor penting yang terdapat di antara tujuan dan hasil yang dicapai kurang mendapat perhatian. Padahal dimensi yang akan disempurnakan justru adalah faktor-faktor tersebut yaitu: input dan proses belajar-mengajar, yang keseluruhannya akan menciptakan suatu tipe pengalaman belajar tertentu. Masih berhubungan dengan persoalan ruang lingkup evaluasi di atas, pelaksanaan evaluasi dari konsep ini terjadi pada saat kurikulum sudah selesai dilaksanakan, dengan jalan membandingkan antara hasil pretest dan posttest.

            Sebagai akibatnya informasi yang dihasilkan hanya dapat menjawab pertanyaan tentang tujuan-tujuan mana yang telah dan yang belum dapat dicapai. Pertanyaan tentang mengapa tujuan-tujuan tertentu belum dapat dicapai, sukar untuk dapat dijawab melalui informasi perbedaab pretest dan postest. Dengan kata lain, pendekatan yang digunakan oleh konsep ini menghasilkan suatu teknik evaluasi yang sifatnya terminal/postfacto. Pendekatan semacam ini memang membantu di dalam mencari jawaban tentang segi-segi apa yang masih lemah dan bagaimana kemungkinan mengatasi kelemahan tersebut.

            Terlepas dari beberapa kelemahan di atas, konsep ini telah memberikan sumbangan yang sangat besar bagi perkembangan konsep evaluasi kurikulum, khususnya dalam usaha:

      a)      Menghubungkan hasil belajar dengan tujuan-tujuan pendidikan sebagai kriteria pendidikan, dan

     b)      Memperkenalkan sistem pengolahan hasil evaluasi secara bagian demi bagian, yang ternyata lebih relevan dengan kebutuhan pengembangan kurikulum.

3. Illumination

            Sebagai reaksi terhadap konsep measurement dan congruence yang bersifat “terminal” seperti telah disinggung dalam bagian yang lalu, konsep illumination menekankan pentingnya dilakukan evaluasi yang berkelanjutan selama proses pelaksanaan kurikulum sedang berlangsung. Gagasan yang terkandung di dalam konsep ini memang penting dan menunjang proses penyempurnaan kurikulum, karena pihak pengembang kurikulum akan memperoleh informasi yang cukup terintegrasi sebagai dasar untuk mengoreksi dan menyempurnakan kurikulum  yang sedang dikembangkan. Di samping itu, jarak antara pengumpulan data dan laporan hasil evaluasi cukup pendek sehingga informasi yang dihasilkan dapat digunakan pada waktunya.

            Kelemahan dari konsep ini terutama terletak pada teknik pelaksanaannya. Pertama, kegiatan evaluasi tidak didahului oleh adanya perumusan kriteria yang jelas sebagai dasar bagi pelaksanaan dan penyimpulan hasil evaluasi. Ini dapat mengakibatkan bahwa sejumlah segi-segi yang penting kurang mendapat perhatian, karena evaluator hanyut di dalam mengamati segi-segi tertentu yang menarik perhatiannya.  Kedua, objektivitas dari evaluasi inilah yang  yang justru dipandang sebagai salah satu kelemahan yang penting dari konsep ini. Di samping konsep ini lebih menitikberatkan penggunaan judgment dalam proses evaluasi, juga terdapat adanya kecenderungan untuk menggunakan alat evaluasi yang “terbuka” dalam arti kurang spesifik/berstruktur. Di samping kedua kelemahan di atas, konsep ini juga tidak menekankan pentingnya evaluasi terhadap bahan-bahan kurikulum selama bahan-bahan tersebut disusun dalam tahap perencanaan. Dengan kata lain, evaluasi yang diajukan oleh konsep ini lebih berorientasi pada proses dan hasil yang dicapai oleh kurikulum yang bersangkutan. 

. Educational System Evaluation

            ditinjau dari hakikat dan ruang lingkup evaluasi, konsep ini memperlihatkan banyak segi yang positif untuk kepentingan proses pengembangan kurikulum. Ditekankannya peranan kriteria (absolut maupun relatif) dalam proses evaluasi. Tanpa kriteria kita tidak akan dapat menghasilkan suatu informasi yang menunjukkan ada tidaknya kesenjangan (discrepancy), sedangkan informasi semacam inilah yang diharapkan dari hasil evaluasi. Sehubungan dengan ruang lingkup evaluasi, konsep ini mengemukakan perlunya evaluasi itu dilakukan terhadap berbagai dimensi program, tidak hanya hasil yang dicapai, tapi juga input dan proses yang dilakukan tahap demi tahap. Ini penting sekali agar penyempurnaan kurikulum dapat dilakukan pada setiap tahap sehingga kelemahan yang masih terlihat pada suatu tahap tertentu tidak sampai dibawa ke tahap berikutnya.

            Suatu bagian dari konsep ini kiranya dapat dipandang sebagai kelemahan adalah mengenai pandangannya tentang evaluasi untuk menyimpulkan kebaikan program secara menyeluruh. Ada dua persoalan yang perlu mendapatkan penegasan dari konsep ini, yang pertama menyangkut segi strategis. Persoalan teknis berkenaan dengan prosedur yang ditempuh dalam membandingkan hasil antara kurikulum yang baru dan kurikulum yang ada. Pengalaman-pengalaman yang lalu menunjukkan bahwa studi perbandingan semacam ini pada umumnya berakhir dengan kesimpulan “tidak adanya perbedaan yang berarti”. 

            Persoalan strategis menyangkut persoalan “nasib” dari kurikulum yang baru tersebut bila hasil perbandingan yang dilakukan menunjukkan “perbedaan yang tidak berarti”. Bila hal itu terjadi, apakah kita akan ‘menarik kembali’ kurikulum yang baru tersebut untuk kembali ke kurikulum yang ada ataukah mengembangkan kurikulum baru yang lain lagi? Bagaimanakah hal ini dapat dipertanggungjawabkan dari segi biaya yang telah dikeluarkan maupun dari segi siswa-siswa yang telah menggunakan kurikulum baru tersebut selama bertahun-tahun? Kedua persoalan di atas itulah yang telah terdapat  dan belum dibahas secara tuntas di dalam konsep ini. Secara keseluruhan, konsep educational system evaluation ini relevan dengan peranan evaluasi di dalam proses pengembangan kurikulum yang terkandung di dalam konsep-konsep terdahulu.

e. Model CIPP
            Model evaluasi ini menggambarkan cakupan evaluasi kurikulum yang cukup luas, tidak hanya mencakup aspek pembelajaran saja sebagai implementasi kurikulum, namun keseluruhan aspek mulai dari: konteks, masukan (input), proses dan produk atau hasil. 

·         Konteks (Contect). Berkaitan dengan situasi atau latar belakang yang mempengaruhi terhadap pengembangan kurikulum tertentu yang di dalamnya terdapat jenis-jenis tujuan, dan strategi pencapaian yang akan dikembangkan dalam kurikulum tersebut. Misalnya: (a) kebijakan pemerintah, departemen, unit kerja atau sekolah yang bersangkutan; (b) sasaran yang ingin dicapai oleh lembaga dalam kurun waktu tertentu; (c) masalah ketenagaan yang dihadapi oleh lembaga yang bersangkutan dan lain-lain.

·         Masukan (Input). Berkaitan dengan bahan, peralatan, sarana, fasilitas yang disiapkan, dan mendukung serta menjadi kelengkapan dari kurikulum yang dikembangkan; (b) staf pengajar; guru, dosen, intruktur, widyaiswara yang disiapkan; (c) sarana dan prasarana yang tersedia serta media pembelajaran yang digunakan.

·         Proses (Proses). Berkaitan dengan pelaksanaan nyata dari kurikulum yang dikembangkan dalam bentuk proses belajar mengajar, baik di kelas (classroom setting) maupun di luat kelas, baik kegiatan intra maupun ekstra kulikuler. Misalnya: (a) pelaksanaan pembelajaran di kelas, di laboratorium, di perpustakaan, kegiatan praktikum, kegiatan olahraga dan lain-lain; (b) kegiatan evaluasi pembelajaran yang dilakukan oleh guru utama terutama evaluasi formatif, yaitu evaluasi tang bertujuan untuk memperbaiki proses pembelajaran; (c) pengelolaan kurikulum dan pembelajaran, dan lain-lain. 
          Produk (Product). Berkaitan dengan keseluruhan hasil yang dicapai oleh pengembangan kurikulum tersebut termasuk produk dari hasil pembelajaran. Evaluasi terhadap produk meliputi: (a) evaluasi jangka pendek, yaitu evaluasi terhadap keberhasilan pembelajaran yang menitikberatkan pada pencapaian hasil belajar (sumative evaluation), artinya dalam pada aspek ini yang dievaluasi adalah bagaimana peserta didik mampu menyelesaikan sebuah program pendidikan mampu atau tidak menghasilkan SDM yang berkualitas dan relevan dengan kebutuhan masyarakat dan dunia kerja.

     Model yang Disarankan
            Kecepatan suatu model tak dapat dilepaskan dari tujuan yang ingin dicapai dari kegiatan evaluasi yang kita adakan. Setiap model, termasuk model yang keempat (educational system evaluation) memiliki kekuatan dan kelemahan ditinjau dari bernagai segi. Sehubungan dengan itu, berkenaan dengan model mana yang akan disarankan, dikemukakan hal-hal sebagai berikut: Untuk memperoleh gambaran yang menyeluruh tentang kurikulum yang sedang dikembangkan, model educational system evaluation, tampaknya merupakan model yang paling tepat. Kelemahan masing-masing model yang lain dapat ditanggulangi oleh model yang keempat ini. Terlepas dari kenyataan tersebut, untuk mencapai tujuan evaluasi yang bersifat khusus, ketiga model yang lain pun masih dapat memberikan sumbangan:

1.    Untuk keperluan seleksi dan klasifikasi siswa serta membandingkan efektifitas kurikulum yang baru dengan kurikulum ada, model measurement tepat untuk digunakan.

Untuk mengkaji efektifitas pembelajaran yang telah dilakukan dan untuk menetapkan tingkat penguasaan siswa terhadap tujuan-tujuan pembelajaran, model congruence tergolong ampuh untuk digunakan. Akhirnya, bila kita ingin memperoleh gambaran yang lebih mendalam tentang proses pelaksanaan kurikulum beserta faktor-faktor yang memengaruhinya, model ilumination akan sangat membantu.

 
DAFTAR PUSTAKA

Tim Pengembang MKDP Kurikulum dan Pembelajaran.2011. Kurikulum Pembelajaran.
Bandung : Raja Grafindo Persada

Tidak ada komentar:

Kisah Mata Air Keabadian

Kisah ini diriwayatkan oleh Ats-Tsa’labi dari Imam Ali ra. Pada zaman dahulu hiduplah seorang hamba Allah SWT yang melebihkan kepada d...