Minggu, 16 September 2012

TEORI DAN FILSAFAT PENDIDIKAN DALAM AL-QUR’AN I HAKEKAT SIFAT DASAR MANUSIA



TEORI DAN FILSAFAT PENDIDIKAN DALAM AL-QUR’AN

A.   Al-Qur’an dan Hadits: Sebagai Asas Pendidikan dan Filsafat Pendidikan Islam
Islam mengatakan, bahwa Al-Qur’an adalah kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW melalui malaikat Jibril.Al-Qur’an ini juga dipandang sebagai keagungan (majid) dan penjelasan (mubin).Kemudian juga seringkali disebut pula petunjuk (hidayah) dan buku (kitab). Namun nama yang banyak dipergunakan untuk menyebut Al-Qur’an adalah buku (kitab) dan Al-Qur’an. Al-Qur’an berisi segala hal mengenai petunjuk yang membawa hidup manusia bahagia di dunia dan bahagia di akhirat kelak. Kandungan yang ada di dalam Al-Qur’an meliputi segala hal sebagaimana difirmankan Allah di dalam Al-Qur’an surat Al-An’am (6) : 38 :

“Tidak kami luputkan dalam kitab itu segala sesuatu”.

Jika tidak ada sesuatu yang luput dari catatan kitab (Al-Qur’an) ini, maka berarti Al-Qur’an berisi petunjuk segala sesuatu yang dengan jelas dinyatakan dalam ayat lain, Q.S. Al-Nahl (16) : 89 :
“Dan Kami turunkan kepadamu kitab yang menerangkan tiap-tiap sesuatu dan sebagai hudan dan rahmat serta kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri”.

“Segala sesuatu” ini banyak dipahami oleh para sarjana muslim meliputi berbagai macam cabang ilmu pengetahuan. Dengan demikian, maka ilmu pengetahuan itu menurut Al-Qur’an harus dicari melalui analogi (qiyas) dan Hadits Nabi SAW, yang merupakan bagian dari syari’ah Islam.Di sini, pertimbangan-pertimbangan harus diteliti melalui kedua sumber Al-Qur’an dan Hadits tersebut yang secara nyata ditunjukkan melalui metode qiyas ini.

B.   Teori Pendidikan
Pertama, “teori” dipergunakan oleh para pendidik untuk menunjukkan hipotesis-hipotesis tertentu dalam rangka membuktikan kebenaran-kebenaran melalaui ekspresimentasi dan observasi serta berfungsi menjelaskan pokok bahasannya. O’connor mendefinisikan istilah “teori” ini katanya:

Kata “teori” sebagaimana yang dipergunakan dalam konteks pendidikan secara umum adalah sebuah tema yang apik. Teori yang dimaksudkan hanya dianggap abash manakala kita tetapkan hasil-hasil eksperimental yang dibangun dengan baik dalam psikologi atau sosiologi hingga sampai kepada praktek kependidikan.

Muhammad Nujayhi, seorang ahli pendidikan Mesir Kontemporer merefleksikan pandangan senada dengan O’Connor ketika mengatakan, bahwa perkembangan-perkembangan di bidang psikologi eksperimental membawa kesan-kesan ke dalam dunia pendidikan dan memberi sumbangan bagi teori-teori pendidikan, sebagaimana yang terdapat pada bidang ilmu pengetahuan khusus. Dengan demikian, “teori” dalam arti pertama terbatas pada penjelasan mengenai persoalan-persoalan yang berkaitan dengan batasan-batasan ilmiah.

Kedua, “teori” menunjuk kepada bentuk asas-asas yang saling berhubungan yang mengacu kepada petunjuk praktis.Dalam pengertian ini, bukan hanya mencakup pemindahan-pemindahan eksplanasi fenomena yang ada, namun termasuk di dalamnya mengontrol atau membangun pengalaman. Pendidikan yang sadar akan tugas dan tanggung jawab profesinya tidak akan berhenti berikhtiar – sementara situasi belajar-mengajar di kelas – untuk mencoba-salah (trial and error), lebih lanjut mesti ditunjukkan oleh seperangkat asas-asas yang mendasarinya. Asas-asas dasar yang dimaksudkan ini bentuknya berbagai ragam dari satu masyarakat kepada masyarakat lainnya, tergantung nilai-nilai dan aspirasi-aspirasi masyarakat yang melingkupinya.

C.   Filsafat Pendidikan Islam
Dalam pengertian tradisioanal, filsafat dipandang sebagai suatu bentuk ilmu pengetahuan, sebagai sebuah metoda mencari kebenaran atau mencari pengetahuan.Filsafat Yunani yang dianggap sebagai paradigma bagi seluruh pemikir-pemikir tradisional, senantiasa berkaitan dengan problema-problema yang memperhatikan manusia dan kemanusiaan.Untuk mencoba menjawab eksistensi manusia, hakikatnya di alam semesta dan hubungannya dengan kekuatan-kekuatan supernatural di luar dirinya.Filosof tradisional merasa bebas dan tidak terikat untuk memilih problema dari satu bidang ilmu pengetahuan yang dikehendakinya. A. Taylor, menjelaskan posisi ini katanya: “secara ringkas, tugas filsafat adalah berkenaan dengan segala sesuatu. Dan filsafat memungkinkan melakukan hal ini, bukannya dengan cara ketergantungannya melainkan secara pasti”. Maka filosof tradisional tidak terikat dan bebas dalam mempersoalkan problemanya, mengasumsikan bahwa kekuatan-kekuatan intelektual merupakan alat yang bermanfaat bagi upaya mendapatkan jawaban atau problema terebut.Maka mereka menjelaskan dengan pemikiran akalnya untuk menciptakan pandangan tentang manusia dan masyarakat.

D.   Korelasi Praktek, Teori dan Filsafat Pendidikan Islam
Pendidikan merupakan salah satu bidang garapan yang digandrungi oleh para ahli filsafat analitika. Hal ini ditandai oleh penerapan para pendidik dalam konsep-konsep dan terma-terma yang tidak sedikit berasal dari bidang-bidang ilmu pengetahuan lain. Psikologi dan sosiologi banyak menggunakan istilah-istilah kurang jelas, seperti “pertumbuhan, persesuaian”, dan lain-lain.Karena istilah-istilah tersebut menemukan jalannya dalam pendidikan, maka istilah-istilah tersebut merupakan tanggung jawab para pakar untuk memberi penjelasan digunakannya istilah-istilah yang dimaksudkan.Filosof analitika tidak lebih lama tertarik pada pembentukan teori-teori kependidikan.Pendidikan dan bukannya filsafat yang merupakan awal titik pandangnya.Pandangan ini dengan jelas diungkapkan oleh Moore yang mengilustrasikan hubungan antara filsafat pendidikan, teori pendidikan dan praktek kependidikan.Ketiganya merupakan satu atap, perbedaan yang ada karena bidang-bidang garapannya yang berbeda-beda katanya.Lebih lanjut diilustrasikan di bawah ini.

Marilah kita berpikir tentang pendidikan yang meliputi seperangkat aktivitas-aktivitas yang terus-menerus saling berhubungan hingga pada tingkat-tingkat yang berbeda-beda.Seumpama sebuah bangunan yang terdiri lebih dari satu lantai.Pada setiap lantai terdapat berbagai macam aktivitas, kependidikan . . . kemudian tingkat yang lebih tinggi berikutnya. Berbicara tentang tingkatan lantai, yang pertama terdapat teori pendidikan yang bisa dipahami sebagai satu bentuk asas dasarlah yang saling berhubungan . . mengacu kepada pengaruh apa yang berproses pada tingkat lantai pertama. Pada tingkat yang lebih tinggi juga masih tetap ada bentuk filsafat pendidikan, yang mesti mempunyai tugas-tugasnya yang pokok mengenai penjelasan tentang konsep-konsep yang dipergunakan pada tingkat-tingkat yang lebih rendah.Konsep-konsep yang dimaksudkan di sini seperti “pendidikan dan pengajaran”, sebagai contoh, dan pengujian teori-teori yang beroperasi padanya, diberikan tes dalam rangka melihat konsistensi dan validitasnya.

Karena filsafat analitika tidak dianggap induk ilmu pengetahuan, maka hambatan utama yang akan menolak filsafat pendidikan tradisional dalam hal teori pendidikan Islam, harus di lepaskan. Filsafat pendidikan analitika seolah-olah dapat lebih diterima sejauh tidak menghubungkan dirinya dengan resep tentang niali-nilai yang terkait dengan pendidikan Islam.


HAKEKAT SIFAT DASAR MANUSIA

A.   Manusia Khalifah Allah di Muka Bumi
Menurut Al-Qur’an, manusia menempati posisi istimewa di alam jagat raya ini. Manusia adalah wakil Tuhan di muka bumi, sebagaimana dinyatakan dalam Q.S Al-Baqarah (2) : 30 :
“Dan (ingatlah) tatkala Tuhanmu berkata kepada malaikat sesungguhnya Aku akan menjadikan seorang khalifah di muka bumi”.

Kata khalifah diambil dari kata kerja khalafa yang berarti “mengganti dan melanjutkan”. Dalam hal ini yang dimaksud dengan khalifah adalah person yang menggantikan person lain. Ini menjelaskan bagaimana kepemimpinan dalam rumusan Islam diberi titel khalifah.Abu Bakar telah menggantikan Nabi SAW setelah Nabi ini meninggal dunia, maka Abu Bakar telah disebut sebagai khalifah Rasulullah.Dengan mengambil contoh ini maka arti kedua, “melanjutkan” tidak dipakai dan istilah khalifah memberi pengertian “pengganti” kedudukan Rasulullah.

Makna filosofis dari istilah khalifah ternyata tidak menimbulkan perbedaan pendapat, namun para ahli berbeda ketika mencoba mendefinisikan pandangan mereka.Sebagaimana khalifah dengan makna pengganti atau pemimpin, maka kita berhadapan dengan tiga pandangan berbeda-beda. Pandangan pertama mengatakan, manusia sebagai species telah menggantikan species lain yang sejak itu manusia bertempat tinggal di muka bumi. Karena diakui, bahwa jin mendahului manusia, maka manusia sebagai pengganti jin. 

Pandangan kedua, tidak perlu mempertimbangkan pendahulu-pendahulu manusia, atau siapa makhluk sebelum manusia di muka bumi ini. Pandangan ketiga memberi tekanan kepada proses istihlaf itu lebih penting. Dinyatakan bahwa khalifah tidak secara sederhana menggantikan yang lainnya, yang secara nyata memang benar-benar khlaifah Allah.Allah pertama kali menjadikan khalifah yang berjalan dan bertingkah laku mengikuti ajaran Allah.Penafsiran seperti ini disetujui oleh Razi, Thabari dan Qurtubi.

B.   Fithrah Manusia dan Proses Kependidikan
Al-Qur’an mempergunakan kata fathir dalam banyak ayat untuk memberi pengertian sang Pencipta. Ayat-ayat Al-Qur’an ini dihubungkan dengan langit dan bumi.Kata kerja fathara juga banyak digunakan. Dalam ayat-ayat ini, langit dan bumi digunakan sebagai objek kata kerja, sedangkan manusia sebagai obyek yang lain. Tidak ada yang dapat menemukan pengertian hakikiah tentang makna fithrah yang sesungguhnya.Sebab kata fathara yang digunakan secara sederhana di sini berarti makhluk yang diciptakan.Namun dalam salah satu ayat fithrah ini menegaskan makna agama (din). Dalam Q.S. Al-Rum kita baca:

“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada Agama (Allah), (tetaplah atas) fithrah Allah yang telah menciptakan manusia menuntut fithrah itu.Tidak ada perubahan pada fithrah Allah (Itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”. (Al-Rum (30) : 30).

Ayat di atas menghubungkan makna fithrah dengan agama Allah (din).Hubungan fithrah dengan din tidak bertentangan, malah sebaliknya saling melengkapi keduanya.

Penekanan mengenai hakekat makna fithrah yang sesungguhnya secara lebih terinci lagi, berasal dari ayat di bawah ini yang menandai, bahwa Allah telah membuat perjanjian kesaksian (amanat) dengan manusia agar berlaku adil dab baik hati. Dalam Q.S. Al-A’raf (17) : 172, Allah berfirman :

“Dan ingatlah ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian kepada jiwa mereka (seraya) berfirman : Bukankah Aku ini illahmu? Mereka menjawab: Betul (Sesungguhnya Engkau adalah illah kami), kami menjadi saksi agar pada hari Kiamat engkau tidak mengatakn : sesungguhnya kami tidak pernah diberi peringatan (terhadap ke-Esaan Allah)”.

Ayat di atas membuktikan, bahwa Allah  menjanjikan kepada manusia agar mengakui Allah ini illahnya dan sesembahannya. 

C.   Hubungan Fithrah dan Ruh
Kata ruh digunakan dalam Al-Qur’an untuk mengartikan rahmat (belas kasihan) atau Al-Qur’an atau malaikat khusunya malaikat Jibril atau Nabi Isa atau hakekat rohani yang bersatu dengan badan. Menurut Q.S. Bani Israil (17) : 85, kata ruh dipahami oleh para ahli tafsir terkemuka menunjukkan makna yang terakhir, yakni hakekat rohani yang bersatu dengan badan. Penafsiran seperti ini menimbulkan kesimpulan yang bertentangan dengan Al-Qur’an yang tidak mempergunakan ruh untuk arti rohani atau soul (jiwa atau pribadi).

Kata nafs juga digunakan di dalam Al-Qur’an, dengan pengertianyang berbeda-beda yang diantaranya memberi pengertian tentang jiwa ini. Contoh dari ini adalah Q.S. Al-An’am (6) : 93 :
“Para malaikat mengulurkan tangan mereka (seraya berkata) keluarkanlah nyawamu (anfusakum)”.

Kata anfusakum ditafsirkan dengan jiwamu atau nyawamu. Jiwa atau nyawa manusia dengan demikian ditegaskan di dalam Al-Qur’an yang salah satunya seperti  memberi makna nafs dan ruh.

Sungguh Al-Qur’an secara eksplisit menjadikan kehidupan manusia itu bergantung kepada eksistensi jiwanya yang ada di dalam badan.Pisahnya jiwa dari badan berarti kematian. Dalam pada itu, kata ruh adalah bagi Allah untuk membentuk ungkapan, min ruhi, yang sama sekali bukan berarti ruh manusia merupakan bagian dari Allah. Atributnya yang ditandai dengan Allah adalah tanda keagungan, namun bukan pertanda kemilikan.Ruh dengan demikian, merupakan salah satu penciptaan Allah yang mempunyai kualitas unggul, namun adanya tidak lebih dari itu.

D.   Kehendak Bebas Manusia
Bagaimana gambaran tentang kehendak bebas manusia untuk memilih beriman atau tidak, di bawah ini dikutipkan ayat Al-Qur’an yang menegaskan prinsip tersebut. Dalam Q.S. Al-Kahfi (18) : 29, Allah berfirman :

“Dan katakanlah: Kebenaran itu dari Tuhan kamu. Maka barang siapa menghendaki, boleh saja ia beriman dan barang siapa menghendaki boleh saja ia tidak beriman”.

Ayat ini membuktikan, bahwa manusia itu boleh saja menerima atau menolak keimanan kepada Allah SWT.Maka dengan demikian, manusia mampunyai kehendak bebas.Kehendak bebas (free will) inilah yang membuat manusia mengadakan pilihan yang berasal dari unsur yang berinterksi dengan fithrah.Perjalanan fungsi-fungsi fithrah ini dipengaruhi oleh kehendak bebas yang dimiliki manusia.

Sungguhpun demikian, kenyataan membuktikan bahwa kehendak bebas manusia ini telah dirubah oleh kebanyakan manusia yang mengakui adanya banyak ayat-ayat Al-Qur’an yang menegaskan adanya sikap predestinasi (keterpaksaan manusia).Ayat-ayat yang menyatakan keterpaksaan manusia ini menunjukkan “khatm” dan “thaba” yang dikutip untuk menunjukkan pandangan predestinasi manusia ini. Dalam Q.S. Al-A’raf (7) : 101 Allah berfirman:

“Demikianlah Allah mematri (yathba’) atas hati orang-orang kafir”.

Tipe ayat ini menunjukkan predestinasi berasal dari hidayah atau dhalalah Allah. Dalam Q.S. Al-An’am (6) : 125 dikatakan :

“Barang siapa yang dikehendaki Allah (dalam rencananya) akan memberi petunjuk (hidayah), niscaya Dia akan bukan dadanya untuk  memeluk agama Islam. Dan barang siapa dikehendaki (dalam rencanaNya) kesesatan (dhalalah) kepadanya, niscaya Allah akan jadikan dadanya sangat sempit”.

Hidayah di atas ditafsirkan, bahwa manusia benar-benar diberi petunjuk tanpa menghiraukan kehendak dan keinginannya, karena sama sekali dia tidak mempunyai hak untuk memilih. Selanjutnya diakui, bahwa tidak beda apakah manusia itu telah berusaha untuk menerima atau menolaknya. 

E.   Implikasi Kependidikan
Implikasi-implikasi kehendak bebas manusia sungguh-sungguh telah melibatkan proses kependidikan. Pada saat para pelajar yakni bahwa perbuatan sebelumnya telah ditetapkan terlebih dahulu, hingga seakan-akan para pelajar tidak berusaha melepaskan beberapa ikhtiar yang lebih lanjut dapat dipikirkan.Gagal atau sukses berkaitan dengan faktor-faktor eksternal. Di pihak lain, pengakuan tanggung jawab manusia akan memberi makna lebih dalam terhadap arti proses pendidikan. Pendidikan, dengan demikian menjadi titik perhatian dengan memberi bantuan kepada para pelajar untuk mengevaluasi alternative-alternatif dan menyeleksi mana yang baik dan mana yang kurang atau tidak baik. Pendidikan tidak dipandang sebagai proses pemaksaan dari seorang pendidik untuk menentukan setiap langkah yang harus diterima oleh anak didiknya secara individual. Maka bimbingan lebih merupakan kompulasi yang mana karakteristik pendidikan yang utama harus memperhatikan kebebasan ini.Kalau demikian, maka hal ini berada dalam tingkatan hidayah kedua yang diperoleh dari pendidik, sedangkan hidayah dalam tingkatan ketiga diperoleh dari anak didiknya.


Sumber : Buku Teori-Teori Pendidikan Berdasarkanal-Qur’an
 

Tidak ada komentar:

Kisah Mata Air Keabadian

Kisah ini diriwayatkan oleh Ats-Tsa’labi dari Imam Ali ra. Pada zaman dahulu hiduplah seorang hamba Allah SWT yang melebihkan kepada d...