TEORI DAN
FILSAFAT PENDIDIKAN DALAM AL-QUR’AN
A.
Al-Qur’an
dan Hadits: Sebagai Asas Pendidikan dan Filsafat Pendidikan Islam
Islam
mengatakan, bahwa Al-Qur’an adalah kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad SAW melalui malaikat Jibril.Al-Qur’an ini juga dipandang sebagai
keagungan (majid) dan penjelasan (mubin).Kemudian juga seringkali disebut
pula petunjuk (hidayah) dan buku (kitab). Namun nama yang banyak dipergunakan
untuk menyebut Al-Qur’an adalah buku (kitab) dan Al-Qur’an. Al-Qur’an berisi
segala hal mengenai petunjuk yang membawa hidup manusia bahagia di dunia dan
bahagia di akhirat kelak. Kandungan yang ada di dalam Al-Qur’an meliputi segala
hal sebagaimana difirmankan Allah di dalam Al-Qur’an surat Al-An’am (6) : 38 :
“Tidak
kami luputkan dalam kitab itu segala sesuatu”.
Jika tidak ada
sesuatu yang luput dari catatan kitab (Al-Qur’an) ini, maka berarti Al-Qur’an
berisi petunjuk segala sesuatu yang dengan jelas dinyatakan dalam ayat lain,
Q.S. Al-Nahl (16) : 89 :
“Dan
Kami turunkan kepadamu kitab yang menerangkan tiap-tiap sesuatu dan sebagai
hudan dan rahmat serta kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri”.
“Segala
sesuatu” ini banyak dipahami oleh para sarjana muslim meliputi
berbagai macam cabang ilmu pengetahuan. Dengan demikian, maka ilmu pengetahuan
itu menurut Al-Qur’an harus dicari melalui analogi (qiyas) dan Hadits Nabi SAW,
yang merupakan bagian dari syari’ah Islam.Di sini, pertimbangan-pertimbangan
harus diteliti melalui kedua sumber Al-Qur’an dan Hadits tersebut yang secara
nyata ditunjukkan melalui metode qiyas ini.
B.
Teori
Pendidikan
Pertama, “teori”
dipergunakan oleh para pendidik untuk menunjukkan hipotesis-hipotesis tertentu
dalam rangka membuktikan kebenaran-kebenaran melalaui ekspresimentasi dan
observasi serta berfungsi menjelaskan pokok bahasannya. O’connor mendefinisikan
istilah “teori” ini katanya:
Kata “teori”
sebagaimana yang dipergunakan dalam konteks pendidikan secara umum adalah
sebuah tema yang apik. Teori yang dimaksudkan hanya dianggap abash manakala
kita tetapkan hasil-hasil eksperimental yang dibangun dengan baik dalam
psikologi atau sosiologi hingga sampai kepada praktek kependidikan.
Muhammad
Nujayhi, seorang ahli pendidikan Mesir Kontemporer merefleksikan pandangan
senada dengan O’Connor ketika mengatakan, bahwa perkembangan-perkembangan di
bidang psikologi eksperimental membawa kesan-kesan ke dalam dunia pendidikan
dan memberi sumbangan bagi teori-teori pendidikan, sebagaimana yang terdapat
pada bidang ilmu pengetahuan khusus. Dengan demikian, “teori” dalam arti
pertama terbatas pada penjelasan mengenai persoalan-persoalan yang berkaitan
dengan batasan-batasan ilmiah.
Kedua, “teori”
menunjuk kepada bentuk asas-asas yang saling berhubungan yang mengacu kepada
petunjuk praktis.Dalam pengertian ini, bukan hanya mencakup
pemindahan-pemindahan eksplanasi fenomena yang ada, namun termasuk di dalamnya
mengontrol atau membangun pengalaman. Pendidikan yang sadar akan tugas dan
tanggung jawab profesinya tidak akan berhenti berikhtiar – sementara situasi
belajar-mengajar di kelas – untuk mencoba-salah (trial and error), lebih lanjut
mesti ditunjukkan oleh seperangkat asas-asas yang mendasarinya. Asas-asas dasar
yang dimaksudkan ini bentuknya berbagai ragam dari satu masyarakat kepada
masyarakat lainnya, tergantung nilai-nilai dan aspirasi-aspirasi masyarakat
yang melingkupinya.
C.
Filsafat
Pendidikan Islam
Dalam pengertian
tradisioanal, filsafat dipandang sebagai suatu bentuk ilmu pengetahuan, sebagai
sebuah metoda mencari kebenaran atau mencari pengetahuan.Filsafat Yunani yang
dianggap sebagai paradigma bagi seluruh pemikir-pemikir tradisional, senantiasa
berkaitan dengan problema-problema yang memperhatikan manusia dan
kemanusiaan.Untuk mencoba menjawab eksistensi manusia, hakikatnya di alam
semesta dan hubungannya dengan kekuatan-kekuatan supernatural di luar
dirinya.Filosof tradisional merasa bebas dan tidak terikat untuk memilih
problema dari satu bidang ilmu pengetahuan yang dikehendakinya. A. Taylor,
menjelaskan posisi ini katanya: “secara ringkas, tugas filsafat adalah
berkenaan dengan segala sesuatu. Dan filsafat memungkinkan melakukan hal ini,
bukannya dengan cara ketergantungannya melainkan secara pasti”. Maka filosof
tradisional tidak terikat dan bebas dalam mempersoalkan problemanya,
mengasumsikan bahwa kekuatan-kekuatan intelektual merupakan alat yang
bermanfaat bagi upaya mendapatkan jawaban atau problema terebut.Maka mereka
menjelaskan dengan pemikiran akalnya untuk menciptakan pandangan tentang
manusia dan masyarakat.
D.
Korelasi
Praktek, Teori dan Filsafat Pendidikan Islam
Pendidikan
merupakan salah satu bidang garapan yang digandrungi oleh para ahli filsafat
analitika. Hal ini ditandai oleh penerapan para pendidik dalam konsep-konsep
dan terma-terma yang tidak sedikit berasal dari bidang-bidang ilmu pengetahuan
lain. Psikologi dan sosiologi banyak menggunakan istilah-istilah kurang jelas,
seperti “pertumbuhan, persesuaian”, dan lain-lain.Karena istilah-istilah
tersebut menemukan jalannya dalam pendidikan, maka istilah-istilah tersebut
merupakan tanggung jawab para pakar untuk memberi penjelasan digunakannya
istilah-istilah yang dimaksudkan.Filosof analitika tidak lebih lama tertarik
pada pembentukan teori-teori kependidikan.Pendidikan dan bukannya filsafat yang
merupakan awal titik pandangnya.Pandangan ini dengan jelas diungkapkan oleh
Moore yang mengilustrasikan hubungan antara filsafat pendidikan, teori
pendidikan dan praktek kependidikan.Ketiganya merupakan satu atap, perbedaan
yang ada karena bidang-bidang garapannya yang berbeda-beda katanya.Lebih lanjut
diilustrasikan di bawah ini.
Marilah kita
berpikir tentang pendidikan yang meliputi seperangkat aktivitas-aktivitas yang
terus-menerus saling berhubungan hingga pada tingkat-tingkat yang
berbeda-beda.Seumpama sebuah bangunan yang terdiri lebih dari satu lantai.Pada
setiap lantai terdapat berbagai macam aktivitas, kependidikan . . . kemudian
tingkat yang lebih tinggi berikutnya. Berbicara tentang tingkatan lantai, yang
pertama terdapat teori pendidikan yang bisa dipahami sebagai satu bentuk asas
dasarlah yang saling berhubungan . . mengacu kepada pengaruh apa yang berproses
pada tingkat lantai pertama. Pada tingkat yang lebih tinggi juga masih tetap ada
bentuk filsafat pendidikan, yang mesti mempunyai tugas-tugasnya yang pokok
mengenai penjelasan tentang konsep-konsep yang dipergunakan pada
tingkat-tingkat yang lebih rendah.Konsep-konsep yang dimaksudkan di sini
seperti “pendidikan dan pengajaran”, sebagai contoh, dan pengujian teori-teori
yang beroperasi padanya, diberikan tes dalam rangka melihat konsistensi dan
validitasnya.
Karena filsafat
analitika tidak dianggap induk ilmu pengetahuan, maka hambatan utama yang akan
menolak filsafat pendidikan tradisional dalam hal teori pendidikan Islam, harus
di lepaskan. Filsafat pendidikan analitika seolah-olah dapat lebih diterima
sejauh tidak menghubungkan dirinya dengan resep tentang niali-nilai yang
terkait dengan pendidikan Islam.
HAKEKAT SIFAT
DASAR MANUSIA
A.
Manusia
Khalifah Allah di Muka Bumi
Menurut
Al-Qur’an, manusia menempati posisi istimewa di alam jagat raya ini. Manusia
adalah wakil Tuhan di muka bumi, sebagaimana dinyatakan dalam Q.S Al-Baqarah
(2) : 30 :
“Dan
(ingatlah) tatkala Tuhanmu berkata kepada malaikat sesungguhnya Aku akan
menjadikan seorang khalifah di muka bumi”.
Kata khalifah
diambil dari kata kerja khalafa yang berarti “mengganti dan melanjutkan”. Dalam
hal ini yang dimaksud dengan khalifah adalah person yang menggantikan person
lain. Ini menjelaskan bagaimana kepemimpinan dalam rumusan Islam diberi titel
khalifah.Abu Bakar telah menggantikan Nabi SAW setelah Nabi ini meninggal
dunia, maka Abu Bakar telah disebut sebagai khalifah Rasulullah.Dengan
mengambil contoh ini maka arti kedua, “melanjutkan” tidak dipakai dan istilah
khalifah memberi pengertian “pengganti” kedudukan Rasulullah.
Makna filosofis
dari istilah khalifah ternyata tidak menimbulkan perbedaan pendapat, namun para
ahli berbeda ketika mencoba mendefinisikan pandangan mereka.Sebagaimana
khalifah dengan makna pengganti atau pemimpin, maka kita berhadapan dengan tiga
pandangan berbeda-beda. Pandangan pertama mengatakan, manusia sebagai species
telah menggantikan species lain yang sejak itu manusia bertempat tinggal di
muka bumi. Karena diakui, bahwa jin mendahului manusia, maka manusia sebagai
pengganti jin.
Pandangan kedua,
tidak perlu mempertimbangkan pendahulu-pendahulu manusia, atau siapa makhluk
sebelum manusia di muka bumi ini. Pandangan ketiga memberi tekanan kepada
proses istihlaf itu lebih penting. Dinyatakan bahwa khalifah tidak secara
sederhana menggantikan yang lainnya, yang secara nyata memang benar-benar
khlaifah Allah.Allah pertama kali menjadikan khalifah yang berjalan dan
bertingkah laku mengikuti ajaran Allah.Penafsiran seperti ini disetujui oleh
Razi, Thabari dan Qurtubi.
B.
Fithrah
Manusia dan Proses Kependidikan
Al-Qur’an
mempergunakan kata fathir dalam banyak ayat untuk memberi pengertian sang
Pencipta. Ayat-ayat Al-Qur’an ini dihubungkan dengan langit dan bumi.Kata kerja
fathara juga banyak digunakan. Dalam ayat-ayat ini, langit dan bumi digunakan
sebagai objek kata kerja, sedangkan manusia sebagai obyek yang lain. Tidak ada
yang dapat menemukan pengertian hakikiah tentang makna fithrah yang sesungguhnya.Sebab
kata fathara yang digunakan secara sederhana di sini berarti makhluk yang
diciptakan.Namun dalam salah satu ayat fithrah ini menegaskan makna agama
(din). Dalam Q.S. Al-Rum kita baca:
“Maka
hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada Agama (Allah), (tetaplah atas) fithrah
Allah yang telah menciptakan manusia menuntut fithrah itu.Tidak ada perubahan
pada fithrah Allah (Itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak
mengetahui”. (Al-Rum (30) : 30).
Ayat di atas
menghubungkan makna fithrah dengan agama Allah (din).Hubungan fithrah dengan
din tidak bertentangan, malah sebaliknya saling melengkapi keduanya.
Penekanan mengenai hakekat makna
fithrah yang sesungguhnya secara lebih terinci lagi, berasal dari ayat di bawah
ini yang menandai, bahwa Allah telah membuat perjanjian kesaksian (amanat)
dengan manusia agar berlaku adil dab baik hati. Dalam Q.S. Al-A’raf (17) : 172,
Allah berfirman :
“Dan ingatlah ketika Tuhanmu
mengeluarkan keturunan anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian
kepada jiwa mereka (seraya) berfirman : Bukankah Aku ini illahmu? Mereka
menjawab: Betul (Sesungguhnya Engkau adalah illah kami), kami menjadi saksi
agar pada hari Kiamat engkau tidak mengatakn : sesungguhnya kami tidak pernah
diberi peringatan (terhadap ke-Esaan Allah)”.
Ayat di atas
membuktikan, bahwa Allah menjanjikan
kepada manusia agar mengakui Allah ini illahnya dan sesembahannya.
C.
Hubungan
Fithrah dan Ruh
Kata ruh
digunakan dalam Al-Qur’an untuk mengartikan rahmat (belas kasihan) atau
Al-Qur’an atau malaikat khusunya malaikat Jibril atau Nabi Isa atau hakekat
rohani yang bersatu dengan badan. Menurut Q.S. Bani Israil (17) : 85, kata ruh
dipahami oleh para ahli tafsir terkemuka menunjukkan makna yang terakhir, yakni
hakekat rohani yang bersatu dengan badan. Penafsiran seperti ini menimbulkan
kesimpulan yang bertentangan dengan Al-Qur’an yang tidak mempergunakan ruh
untuk arti rohani atau soul (jiwa atau pribadi).
Kata nafs juga
digunakan di dalam Al-Qur’an, dengan pengertianyang berbeda-beda yang
diantaranya memberi pengertian tentang jiwa ini. Contoh dari ini adalah Q.S.
Al-An’am (6) : 93 :
“Para
malaikat mengulurkan tangan mereka (seraya berkata) keluarkanlah nyawamu
(anfusakum)”.
Kata anfusakum
ditafsirkan dengan jiwamu atau nyawamu. Jiwa atau nyawa manusia dengan demikian
ditegaskan di dalam Al-Qur’an yang salah satunya seperti memberi makna nafs dan ruh.
Sungguh
Al-Qur’an secara eksplisit menjadikan kehidupan manusia itu bergantung kepada
eksistensi jiwanya yang ada di dalam badan.Pisahnya jiwa dari badan berarti
kematian. Dalam pada itu, kata ruh adalah bagi Allah untuk membentuk ungkapan,
min ruhi, yang sama sekali bukan berarti ruh manusia merupakan bagian dari
Allah. Atributnya yang ditandai dengan Allah adalah tanda keagungan, namun
bukan pertanda kemilikan.Ruh dengan demikian, merupakan salah satu penciptaan
Allah yang mempunyai kualitas unggul, namun adanya tidak lebih dari itu.
D.
Kehendak
Bebas Manusia
Bagaimana
gambaran tentang kehendak bebas manusia untuk memilih beriman atau tidak, di
bawah ini dikutipkan ayat Al-Qur’an yang menegaskan prinsip tersebut. Dalam
Q.S. Al-Kahfi (18) : 29, Allah berfirman :
“Dan
katakanlah: Kebenaran itu dari Tuhan kamu. Maka barang siapa menghendaki, boleh
saja ia beriman dan barang siapa menghendaki boleh saja ia tidak beriman”.
Ayat ini
membuktikan, bahwa manusia itu boleh saja menerima atau menolak keimanan kepada
Allah SWT.Maka dengan demikian, manusia mampunyai kehendak bebas.Kehendak bebas
(free will) inilah yang membuat manusia mengadakan pilihan yang berasal dari
unsur yang berinterksi dengan fithrah.Perjalanan fungsi-fungsi fithrah ini
dipengaruhi oleh kehendak bebas yang dimiliki manusia.
Sungguhpun
demikian, kenyataan membuktikan bahwa kehendak bebas manusia ini telah dirubah
oleh kebanyakan manusia yang mengakui adanya banyak ayat-ayat Al-Qur’an yang
menegaskan adanya sikap predestinasi (keterpaksaan manusia).Ayat-ayat yang
menyatakan keterpaksaan manusia ini menunjukkan “khatm” dan “thaba” yang
dikutip untuk menunjukkan pandangan predestinasi manusia ini. Dalam Q.S.
Al-A’raf (7) : 101 Allah berfirman:
“Demikianlah
Allah mematri (yathba’) atas hati orang-orang kafir”.
Tipe ayat ini
menunjukkan predestinasi berasal dari hidayah atau dhalalah Allah. Dalam Q.S.
Al-An’am (6) : 125 dikatakan :
“Barang
siapa yang dikehendaki Allah (dalam rencananya) akan memberi petunjuk
(hidayah), niscaya Dia akan bukan dadanya untuk
memeluk agama Islam. Dan barang siapa dikehendaki (dalam rencanaNya)
kesesatan (dhalalah) kepadanya, niscaya Allah akan jadikan dadanya sangat
sempit”.
Hidayah di atas
ditafsirkan, bahwa manusia benar-benar diberi petunjuk tanpa menghiraukan
kehendak dan keinginannya, karena sama sekali dia tidak mempunyai hak untuk
memilih. Selanjutnya diakui, bahwa tidak beda apakah manusia itu telah berusaha
untuk menerima atau menolaknya.
E.
Implikasi
Kependidikan
Implikasi-implikasi
kehendak bebas manusia sungguh-sungguh telah melibatkan proses kependidikan.
Pada saat para pelajar yakni bahwa perbuatan sebelumnya telah ditetapkan
terlebih dahulu, hingga seakan-akan para pelajar tidak berusaha melepaskan
beberapa ikhtiar yang lebih lanjut dapat dipikirkan.Gagal atau sukses berkaitan
dengan faktor-faktor eksternal. Di pihak lain, pengakuan tanggung jawab manusia
akan memberi makna lebih dalam terhadap arti proses pendidikan. Pendidikan,
dengan demikian menjadi titik perhatian dengan memberi bantuan kepada para
pelajar untuk mengevaluasi alternative-alternatif dan menyeleksi mana yang baik
dan mana yang kurang atau tidak baik. Pendidikan tidak dipandang sebagai proses
pemaksaan dari seorang pendidik untuk menentukan setiap langkah yang harus
diterima oleh anak didiknya secara individual. Maka bimbingan lebih merupakan
kompulasi yang mana karakteristik pendidikan yang utama harus memperhatikan
kebebasan ini.Kalau demikian, maka hal ini berada dalam tingkatan hidayah kedua
yang diperoleh dari pendidik, sedangkan hidayah dalam tingkatan ketiga
diperoleh dari anak didiknya.
Sumber : Buku Teori-Teori
Pendidikan Berdasarkanal-Qur’an
Tidak ada komentar:
Posting Komentar