Rabu, 19 September 2012

PERDAGANGAN MATA UANG ASING (FOREX)


A.   Pengertian Perdagangan Mata Uang Asing (Forex)
Perdagangan mata uang asing disebut juga pasar valuta asing, dalam bahasa inggris foreign exchange market (Forex) merupakan suatu jenis perdagangan atau transaksi yang memperdagangkan mata uang suatu negara terhadap mata uang negara lainnya (pasangan mata uang/pair) yang melibatkan pasar-pasar uang utama di dunia selama 24 jam secara berkesinambungan (Wikipedia).

Menurut Jose Rizal seperti di kutip dalam bukunya yang berjudul “Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing”,  pasar valuta asing adalah suatu mekanisme di mana mata uang satu ditukar terhadap mata uang lainnya. 

Valas adalah singkatan dari valuta asing. Yang dimaksud dengan valuta asing ialah mata uang luar negeri, seperti dollar Amerika, poundsterling Inggris, ringgit Malaysia dan sebagainya.

Apabila antara negara terjadi perdagangan international, maka tiap negara membutuhkan valuta asing untuk alat bayar luar negeri, yang dalam dunia perdagangan disebut devisa. Misalnya, importir Indonesia memerlukan devisa untuk mengimpor barang dari luar negeri. Untuk membayar barang-barang impor tersebut, si importir membutuhkan mata uang asing.

Dalam istilah bahasa Arab dikenal dengan nama al-sharf yang berarti jual beli valuta asing dapat ditemukan dalam beberapa kamus. Muhammad al-Adnani mendefinisikan al-sharf dengan tukar menukar uang. Dalam kamus al-Munjid fi al-Lughah disebutkan bahwa al-sharf berarti menjual uang dengan uang lainnya. Yang dalam istilah Inggris sering disebut dengan money changer. Taqiyuddin an-Nabhani mendefinisikan al-sharf dengan pemerolehan harta dengan harta lain, dalam bentuk emas dan perak, yang sejenis dengan saling menyamakan antara emas yang satu dengan emas yang lain, atau antara perak yang satu dengan perak yang lain (atau berbeda sejenisnya) semisal emas dengan perak, dengan menyamakan atau melebihkan antara jenis yang satu dengan jenis yang lain.

Dari beberapa jenis pengertian di atas, dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa al-sharf merupakan suatu perjanjian jual beli suatu valuta dengan valuta lainnya, transaksi jual beli mata uang asing yang sejenis (misalnya rupiah dengan rupiah) maupun yang tidak sejenis (misalnya rupiah dengan dolar atau sebaliknya). Dalam literatur klasik, ditemukan dalam bentuk jual beli dinar dengan dinar, dirham dengan dirham atau dinar dengan dirham. Tukar menukar seperti ini  dalam hukum Islam termasuk salah satu cara jual beli, dan dalam hukum perdata Barat disebut dengan barter.

Taqiyuddin an-Nabhani menyatakan bahwa jual beli mata uang atau pertukaran mata uang merupakan transaksi jual beli dalam bentuk finansial yang menurutnya mencakup:
1.         Pembelian mata uang dengan mata uang yang serupa seperti pertukaran uang kertas dinar baru Irak dengan kertas dinar lama.
2.         Pertukaran mata uang dengan mata uang asing seperti pertukaran dolar dengan Pound Mesir.
3.         Pembelian barang dengan uang tertentu serta pembelian mata uang tersebut dengan mata uang asing seperti membeli pesawat dengan dolar, serta pertukaran dolar dengan dinar Irak dalam suatu kesepakatan.
4.         Penjualan barang dengan mata uang, misalnya dengan dolar Australia serta pertukaran dolar dengan dolar Australia.
5.         Penjualan promis (surat perjanjian untuk membayar sejumlah uang) dengan mata uang tertentu.
6.         Penjualan saham dalam perseroan tertentu dengan mata uang tertentu. 

Masing-masing kegiatan di atas merupakan dua macam bentuk aktivitas, yaitu aktivitas jual beli dan aktivitas pertukaran. Sehingga untuk masing-masing aktivitas tesebut bisa diberlakukan hukum jual beli dan pertukaran serta hukum-hukum adanya perbedaan transaksi. Penjualan mata uang dengan mata uang  yang serupa atau penjualan mata uang dengan mata uang asing dalam Islam dikenal sebagai aktivitas al-sharf.

Praktek al-sharf tersebut bisa terjadi dalam bentuk uang sebagaimana yang terjadi dalam pertukaran emas dengan perak, sebab sifat emas dan perak bisa berlaku untuk jenis barang tersebut yang sama-sama merupakan mata uang, dan bukannya dianalogikan pada emas dan perak.

Transaksi di pasar valuta asing terdiri dari dua jenis tingkatan, yaitu antar bank (wholesale market) dan klien (retail market). Transaksi individu dalam pasar antar bank biasanya berjumlah sangat besar misalnya dalam kelipatan jutaan dolar. Sedangkan kontrak antar bank dengan nasabah biasanya dibuat dalam jumlah tertentu dan bisa dalam jumlah yang relatif kecil. 

Valas bersifat interbank karena waktu perdagangannya yang secara kontinyu mengikuti waktu perdagangan masing-masing negara dan bisa diasumsikan bahwa pasar valas buka 24 jam. Ada beberapa golongan yang aktif melakukan transaksi jual beli valas, yang dapat digolongkan kepada 7 golongan, yaitu :

a.        Perusahaan.
Perusahaan menggunakan pasar valuta asing untuk mempermudah pelaksanaan transfer investasi atau komersil. Kelompok ini terdiri dari para importir, investor internasional dan perusahan-perusahaan multinasional. Mereka menggunakan pasar valuta asing untuk tujuan investasi.

b.   Masyarakat atau Perorangan
Masyarakat dan perorangan dapat melakukan transaksi valas untuk memenuhi kebutuhannya. Contohnya yaitu, Ayah mengirimkan uang untuk anaknya yang sedang sekolah di Amerika, maka terlebih dahulu Ayah harus membeli dolar atau menukar rupiah dengan dolar Amerika.

c.   Bank Umum dan Non Bank
Bank Umum dan non bank beroperasi di kedua pasar antar bank dan nasabah. Mereka melayani nasabah yang ingin bertransaksi valas. Mereka ini memperoleh keuntungan dengan membeli valuta asing pada harga permintaan (bid) dan menjualnya kembali pada harga yang sedikit lebih tinggi dari pada harga penawaran (offer).

d.   Broker atau Perantara
Broker atau Perantara adalah orang atau perusahaan yang tugasnya adalah menjadi perantara aktifitas transaksi valas.

e.   Pemerintah
Pemerintah melakukan valas untuk berbagai tujuan antara lain membayar cicilan hutang ke luar negeri, penerimaan hutang dari luar negeri yang harus ditukar ke valuta sendiri.

f.   Bank Sentral
Di banyak negara, Bank sentral tidak berada di bawah kendali pemerintah, dia merupakan lembaga independen yang bertugas menstabilkan perekonomian. Bank-bank sentral menggunakan pasar valas ini untuk memperoleh cadangan devisa dan juga mempengaruhi harga di mana mata uangnya diperdagangkan.

g.   Spekulator dan arbitrase
Arbitrase pada prinsipnya merupakan suatu bentuk spekulasi yang terdapat dalam valuta asing, di mana mereka membeli suatu valuta asing di suatu pusat keuangan kemudian menjualnya kembali di pusat keuangan lain untuk memperoleh keuntungan.

Mata uang yang biasanya diperdagangkan dalam Forex adalah mata uang negara-negara maju seperti Dollar Amerika (USD), Yen Jepang (JPY), Swiss Franc (CHF), Poundsterling Inggris (GBP), Australian Dollar (AUD), dan Euro (EUR). Semua mata uang itu lazimnya dipertukarkan atau diperdagangkan secara berpasang-pasangan atau disebut pair. Misalnya EUR/GBP, CHF, GBP/USD, EUR/USD, AUD/USD, GBP/JPY dan lainnya.

Perlu diketahui bahwa Forex Market adalah pasar yang paling likuid dan paling besar di dunia. Ada trilyunan dolar uang yang berputar di pasar forex setiap harinya. Jumlahnya sering melebihi BNP (Bruto Nasional Produk) negara-negara maju. Luar biasa. Tidak satu pihak pun dapat mengendalikan harganya di pasar untuk waktu yang panjang kecuali pasar itu sendiri yang menggerakkan.

Forex adalah produk investasi yang sifatnya liquid dan bersifat internasional. Perbedaan nilai mata uang sebuah negara yang berubah dari waktu ke waktu yang dipengaruhi berbagai macam faktor itulah yang menjadi dasar adanya transaksi keuangan bernama Forex Trading.

B.   SEJARAH PASAR VALUTA ASING (FOREX)
Forex trading sendiri telah lama ada sejak ditemukannya teknik konversi mata uang sebuah negara ke mata uang negara lainnya. Tetapi secara kelembagaan forex trading baru ada setelah didirikannya Badan Arbitrase Kontrak Berjangka atau Futures. Misalnya IMM atau International Money Market yang didirikan pada 1972 sebagai divisi bagian dari CME atau Chicago Mercantile Exchange (perishable commodities). Atau yang lain misalnya LIFFE atau London International Financial Futures Exchange, TIFFE atau Tokyo International Financial Futures Exchange dan lainnya.

Sejarah forex sendiri sudah dimulai sangat lama. Transaksi forex bermula dari perdagangan komoditas, seperti emas, beras, dan lain-lain. Perubahan pola pasar forex sendiri sampai yang dirasakan saat ini setidaknya mengalami empat kali perkembangan. Pertama, periode standar emas pada era 1880-1914, kedua, periode masa Perang Dunia I pada era 1919-1939, ketiga periode Bretton Woods pada era 1946-1971 dan keempat periode nilai tukar mengambang pada era 1971 sampai kini.

Perubahan itu dapat diringkas lagi menjadi dua tahap, yaitu tahap periode nilai tukar tetap dan periode nilai tukar mengambang. Adapun periode standar emas, periode masa Perang Dunia I dan periode Bretton Woods adalah termasuk tahap periode nilai tukar tetap.

Pada era Bretton Woods pasca kegagalan dari periode nilai tukar tetap dalam mempertahankan kestabilan ekonomi, transaksi forex mulai menjadi bagian terpenting perkembangan dunia sampai kini. Pasalnya karena suatu nilai tukar mata uang antar negara diserahkan sepenuhnya kepada mekanisme pasar. Pasar yang akan menentukan apakah seberapa besar nilai tukar mata uang tersebut berkaitan dengan perkembangan perekonomian suatu negara. 

C.  Jenis-Jenis Forex
1.         Transaksi Spot
Transaksi spot adalah pembelian dan penjualan valuta asing untuk penyerahan pada saat itu (over the counter) atau penyelesaiannya paling lambat dalam jangka waktu dua hari. Misalnya kontrak jual beli suatu mata uang spot dilakukan atau ditutup pada tanggal 12 juni 2002, penyerahan dan penyelesaian kontrak tersebut dilakukan pada tanggal 14 juni 2002. Apabila tanggal 14 juni 2002 tersebut kebetulan hari libur atau hari sabtu, maka penyelesaiannya adalah pada hari kerja berikutnya. Tanggal penyelesaian transaksi seperti ini disebut value date. Penyerahan dana dalam transaksi spot pada dasarnya dapat dilakukan dalam beberapa cara berikut ini: 
a) Value today, yaitu penyerahan dana dilakukan pada tanggal (hari) yang sama dengan tanggal (hari) diadakannya transaksi (kontrak).
b) Value tomorrow, yaitu penyerahan dana dilakukan pada hari kerja berikutnya atau hari keja setelah diadakannya kontrak.
c) Value spot, yaitu penyerahan dilakukan dua hari kerja setelah tanggal transaksi.

2.     Transaksi Forward
Transaksi forward disebut juga dengan transaksi berjangka yang pada prinsipnya adalah transaksi sejumlah mata uang tertentu dengan sejumlah mata uang lainnya dengan penyerahan pada waktu yang akan datang. Kurs ditetapkan pada waktu kontrak dilakukan, tetapi pembayaran dan penyerahan baru dilakukan pada saat kontrak jatuh tempo. Transaksi forward ini biasanya sering digunakan untuk tujuan hedging dan spekulasi. Hedging atau pemagaran resiko yaitu transaksi yang dilakukan semata-mata untuk menghindari resiko kerugian akibat terjadinya perubahan kurs.

3.     Transaksi Swap
Transaksi swap adalah transaksi pembelian dan penjualan bersamaan sejumlah tertentu mata uang dengan 2 tanggal valuta (penyerahan) yang berbeda. Pembelian dan penjualan mata uang tersebut dilakukan pada bank lain yang sama. Jenis transaksi swap yang umum adalah spot terhadap forward.Dalam mekanisme swap, terjadi dua transaksi sekaligus dalam waktu yang bersamaan yaitu menjual dan membeli atau menjual dan membeli suatu mata uang yang sama.

4.     Transaksi Option
Transaksi option yaitu kontrak untuk memperoleh hak dalam rangka membeli atau hak untuk menjual yang tidak harus dilakukan atas sejumlah unit valuta asing pada harga dan jangka waktu atau tanggal akhir tertentu.

Dari beberapa macam jenis dari valuta asing di atas, tidak semua dipandang sesuai dengan syari’at Islam, dalam arti ada jenis yang dihukumi haram, dan ada pula yang hukumnya sah menurut Islam.

D.   Forex Dalam Pandangan Islam
Prof. Drs. Masifuk Zuhdi yang berjudul Masail Fiqhiyah: Kapita Selecta Hukum Islam, diperoleh bahwa Forex (Perdagangan Valas) diperbolehkan dalam hukum Islam. 

Sedangkan menurut Imam al-Subki perdagangan mata uang asing ini, sebagaimana dikutip Sura’i mengatakan bahwa pendapat yang populer pada mazhab Syafi’I adalah boleh hukumnya melakukan transaksi dengan mata uang dirham yang tengah berlaku walaupun ditukar dengan dirham biasa, sedangkan dirham sebagai mata uang negara yang mempunyai cap, maka transaksi semacam ini dibolehkan. Kemudian ia berkata berlakunya transaksi dengan mempertukarkan mata uang yang tidak sejenis tidaklah ada halangannya, asalkan secara tunai, Namun demikian apakah diperbolehkan mempertukarkan mata uang yang sama namanya tetapi berbeda negara yang memilikinya seperti dinar Marokko dengan dinar Maghribi. Dalam hal ini Imam al-Subki tidak menemukan adanya riwayat yang melarang tetapi pendapat yang terkuat adalah membolehkannya.

Dalam hal memperjualbelikan valuta asing yang tidak dilakukan secara tunai, Yusuf al-Qardhawi mengatakan tidak diperbolehkan. Oleh karena itu tidak sah jual beli uang dengan sistem penangguhan, bahkan harus dilakukan secara tunai ketika di tempat transaksi. Hanya saja yang menjadi kriteria tunainya sesuatu itu menurut ukurannya sendiri-diri. Dalam hal ni menurut Yusuf al-Qardhawi syara’ telah menyerahkan ukuran tersebut kepada adat kebiasaan yang berlaku di suatu masyarakat. Walaupun demikian, realita tunai ini juga mengikuti hukum darurat yang diukur sesuai dengan ukurannya. Justru itu umat Islam tidak diperkenankan untuk menjual apa yang dibelinya kecuali setelah diterimanya terlebih dahulu barang itu menurut adat kebiasaan yang berlaku.

Berdasarkan beberapa pendapat para ahli hukum Islam di atas, dapatlah disimpulkan bahwa pada dasarnya mereka sepakat tentang bolehnya memperjual belikan valuta asing dari jenis mata uang apapun dan dari negara manapun. Tetapi juga mereka sepakat bahwa transaksi valuta asing harus dilakukan secara tunai dan bertangguh. Hal ini didasarkan pada ketentuan syari’ah seperti yang dijelaskan oleh hadis-hadis Nabi.

Secara normative hukum Isalam, jual beli valuta asing yang dilakukan saat sekarang tidaklah merubah fungsi uang dalam Islam. Karena al-sharf yang dijadikan sebagai salah satu jasa perbankan tidaklah sama dengan perdagangan uang atau memperjual belikan uang yang dalam banyak hal telah merugikan masyarakat banyak, terutama dalam kasus Indonesia.

Perbedaan antara al-sharf dengan perdagangan uang atau jual beli uang, terletak pada hukum yang diterapkan pada al-sharf. Walaupun al-sharf itu merupakan salah satu variasi dari jual beli, akan tetapi ia tidak dihukumi dengan konsep jual beli secara umum, karena dalam konsep jual beli boleh untuk di tangguhkan. Sedangkan dalam variasi jual beli uang dengan uang memakai hukum khusus yang tidak terdapat dalam bai’ mutlak (jual beli barang dengan uang) dan bai’ muqayyadah (jual beli barang dengan barang) yaitu dalam hal tujuan akhirnya. Artinya dalam aqad al-Sharf ini harus dilakukan secara tunai (tidak boleh ditangguhkan).

Sebagaimana diketahui, bahwa jual beli itu bisa berupa ayn (goods dan service) yang berarti barang dan jasa, atau juga berupa dayn (financial obligation). Objek jual beli yang berupa dayn dengan dayn, hukumnya adalah tidak sah karena hal tersebut telah menjadikan dayn sebagai ayn. Akan tetapi ketika kedua bentuk dayn itu adalah berupa mata uang, maka ia adalah al-sharf yang hukumnya boleh (mubah) dengan syarat kedua mata uang tersebut harus diserahkan secara langsung (tunai) sebelum para pihak berpisah. Sehingga akad al-sharf ini bisa disebut sebagai pengecualian dari aqad lain yang obyeknya berupa dayn.

Tujuan dari keharusan tunai dalam aqad al-sharf ini adalah untuk menghindari adanya gharar yang terdapat dalam riba fadl. Gharar dalam aqad al-sharf ini akan lenyap karena time of settlement-nya dilaksanakan secara tunai. Sedangkan dalam aqad yang obyeknya berupa barang, maka selain masa penyerahannya yang harus tunai, juga harus sama dalam hal kualitas dan kuantitasnya. Justru merupakan satu hal yang tepat, ketika Ibn Taimiyah mensyaratkan harus dilakukan secara simultan (taqabud) dalam transaksi perdagangan uang.

Sebagai salah satu variasi jual beli, al-sharf juga tentu saja harus memenuhi persyaratan sebagaimana halnya variasi jual beli yang lain seperti bai’ mutlak dan muqayyadah. Karena agar jual beli itu terbentuk dan sah diperlukan sejumlah syarat, yaitu syarat adanya aqad jual beli dan syarat sahnya jual beli. Sehingga aqad jual beli itu tidak saja ada dan terbentuk, akan tetapi juga sah secara hukum. Dengan demikian hukum tentang al-sharf yang biasa diartikan dengan jual beli valuta asing tidak diragukan lagi kebolehannya dari sudut fiqh Islam. 

E.   Dasar Hukum al-Sharf
Pada asalnya, mata uang itu hanya emas dan perak. Uang emas disebut dinar dan uang perak disebut dirham. Kedua mata uang tersebut dinamakan mata uang intrinsik, yaitu mata uang yang sesuai dengan nilai nominalnya dengan nilai kandungan bahannya.

Zaman sekarang mata uang juga berbentuk nikel, tembaga dan kertas yang diberi nilai tertentu. Mata uang selain dinar dan dirham itu disebut uang nominal yakni angka yang tertulis pada uang nominal tidak sesuai dengan harga material (intrinsik) uang tersebut.

Tukar menukar mata uang boleh terjadi antara lain :
1.   Jenis logam yang sama, seperti emas dengan emas, perak dengan perak,
2.   Jenis logam yang berlainan, emas dengan perak, emas dengan nikel,
3.   Logam dengan uang kertas, misalnya emas dengan kertas,
4.   Uang kertas dengan uang kertas, misalnya selembar Rp. 10.000,- dengan 10 lembar uang ribuan.
Seperti yang telah diterangkan sebelumnya bahwa setelah beberapa jenis mata uang telah dibuat, maka mata uang kertas wajib menggantikan fungsi emas dan perak, yang mana emas dan perak inilah yang dulu dipakai sebagai alat tukar. Dengan demikian mata uang kertas menjadi satu-satunya satuan hitung dan sarana perantara dalam tukar menukar. Mata uang kertas menjadi berharga sebagaimana halnya emas dan perak. Oleh sebab itu hukum tukar menukar mata uang kertas tunduk kepada peraturan al-sharf sebagaimana halnya emas dan perak.

Praktek al-sharf hanya terjadi dalam transaksi jual beli, di mana praktek ini diperbolehkan dalam Islam berdasarkan firman Allah QS. Al-Baqarah ayat 275:

”Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka Berkata (berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah Telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. orang-orang yang Telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang Telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. orang yang kembali (mengambil riba), Maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.”

Kemudian dalam hadis Rasulullah juga disebutkan bahwa:
لا تبيعوا الذهب بالذهب الا سواء بسواء, والفضة بالفضة, الا سواء بسواء, و بيعوا الذهب بالفضة والفضة بالذهب كيف شئتم (رواه بخاري)
 “Janganlah engkau menjual emas dengan emas, kecuali seimbang,dan jangan pula menjual perak dengan perak kecuali seimbang. Juallah emas dengan perak atau perak dengan emas sesuka kalian.” (HR. Bukhari).

“Nabi melarang menjual perak dengan perak, emas dengan emas, kecuali seimbang. Dan Nabi memerintahkan untuk menjual emas dengann perak sesuka kami, dan menjual perak dengan emas sesuka kami”. 

“Kami telah diperintahkan untuk membeli perak dengan emas sesuka kami dan membeli emas dengan perak sesuka kami. Abu Bakrah berkata: beliau (Rasulullah) ditanya oleh seorang laki-laki, lalu beliau menjawab, Harus tunai (cash). Kemudian Abi Bakrah berkata, Demikianlah yang aku dengar.” (HR. Abu Hurairah)

Dari beberapa Hadis di atas dipahami bahwa hadis pertama dan kedua merupakan dalil tentang diperbolehkannya al-sharf serta tidak boleh adanya penambahan antara suatu barang yang sejenis (emas dengan emas atau perak dengan perak), karena kelebihan antara dua barang yang sejenis tersebut merupakan riba fadl yang jelas-jelas dilarang oleh Islam. Sedangkan hadis ketiga, selain bisa dijadikan dasar diperbolehkannya al-sharf, juga mengisyaratkan bahwa kegiatan jual beli tersebut harus dalam bentuk tunai, yaitu untuk menghindari terjadinya riba nasi’ah.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa jual beli mata uang (valuta asing) dibatasi oleh beberapa syarat, dan syarat-syarat itu telah disebutkan oleh para ulama dalam penukaran emas dan perak yang mana berlaku juga dalam penukaran mata uang yang ada pada zaman setelahnya.
 
F.    Syarat-Syarat Dan Batasan-Batasan Al-sharf
1.      Serah terima sebelum iftirak (berpisah)
Maksudnya yaitu transaksi tukar menukar dilakukan sebelum kedua belah pihak berpisah. Hal ini berlaku pada penukaran mata uang yang berjenis sama maupun yang berbeda, oleh karena itu kedua belah pihak harus melakukan serah terima sebelum keduanya berpisah meninggalkan tempat transaksi dan tidak boleh menunda pembayaran salah satu antara keduanya. Apabila persyaratan ini tidak dipenuhi, maka jelas hukumnya tidak sah. 

Hal ini sesuai dengan dalil yang bersumber dari hadis nabi seperti yang telah disebutkan terakhir di atas yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah. Begitu pula dengan hadis yang diriwayatkan oleh Abu Sa’ad al-Khudhri, bahwasannya Rasulullah bersabda: ”Janganlah kalian menjual emas dengan emas, kecuali sama rata, dan janganlah melebihkan salah satu diantara keduanya. Dan janganlah kalian menjual perak dengan perak, kecuali sama rata, dan janganlah kalian melebihkan salah satu antara keduanya. Dan janganlah kalian menjual -emas dan perak- yang telah ada dengan yang belum ada.”

Namun terdapat beberapa interpretasi yang berbeda di kalangan ulama mengenai istilah iftirak, yaitu:
·         Jumhur ulama seperti ulama Hanafi, Syafi’i dan Hambali sepakat bahwa yang dimaksud iftirak adalah apabila kedua belah pihak telah meninggalkan tempat transaksi. Apabila kedua belah pihak belum beranjak dari tempat maka tidak dikatakan iftirak meski dalam waktu yang lama. Pengertian ini didasari kepada Umar bin Khatab ketika meriwayatkan sebuah hadis, lalu beliau berkata kepada thalhah: ”Demi Tuhan, jangan kamu tinggalkan orang itu sebelum menerima sesuatu darinya.” dalil ini menunjukkan bahwa yang dijadikan standar iftirak adalah pisah badan.

·         Ulama Maliki berpendapat bahwa iftirak badan bukan merupakan ukuran sah atau tidaknya suatu transaksi. Yang jadi ukuran yaitu serah terima harus dilakukan ketika pengucapan ijab dan kabul berlangsung. Maksudnya, jika serah terima dilakukan setelah ijab kabul, maka transaksi tersebut dianggap tidak sah, sekalipun kedua belah pihak belum berpisah badan. Hal ini didasarkan pada sabda Rasulullah saw.: ” Emas dengan emas adalah riba, kecuali ha wa ha (ucapan ambil dan bayar).” hal ini menunjukkan bahwa serah terima harus dilakukan seketika bersamaan dengan ijab kabul. 

2.      Al-Tamatsul (sama rata)
Pertukaran uang yang nilainya tidak sama rata maka hukumnya haram, syarat ini berlaku pada pertukaran uang yang satu atau sama jenis. Sedangkan pertukaran uang yang jenisnya berbeda, maka dibolehkan al-tafadhul. Misalnya yaitu menukar mata uang dolar Amerika dengan dolar Amerika, maka nilainya harus sama. Namun apabila menukar mata uang dolar Amerika dengan rupiah, maka tidak disyaratkan al-tamatsul. hal ini praktis diperbolehkan mengingat nilai tukar mata uang dimasing-masing negara di dunia ini berbeda. Dan apabila diteliti, hanya ada beberapa mata uang tertentu yang populer dan menjadi mata uang penggerak di perekonomian dunia, dan tentunya masing-masing nilai mata uang itu sangat tinggi nilainya.

3.      Pembayaran Dengan Tunai
Tidak sah huukmnya apabila di dalam transaksi pertukaran uang terdapat penundaan pembayaran, baik penundaan tersebut berasal dari satu pihak atau disepakati oleh kedua belah pihak. Syarat ini terlepas dari apakah pertukaran itu antara mata uang yang sejenis maupun mata uang yang berbeda.

4.      Tidak Mengandung Akad Khiyar Syarat
Apabila terdapat khiyar syarat pada akad al-sharf baik syarat tersebut dari sebelah pihak maupun dari kedua belah pihak, maka menurut jumhur ulama hukumnya tidak sah. Sebab salah satu syarat sah transaksi adalah serah terima, sementara khiyar syarat menjadi kendala untuk kepemilikan sempurna. Hal ini tentunya dapat mengurangi makna kesempurnaan serah terima. Menurut ulama Hambali, al-sharf dianggap tetap sah, sedangkan khiyar syaratnya menjadi sia-sia.

Selain beberapa syarat di atas, disebutkan pula batasan-batasan pelaksanaan valuta asing yang juga didasarkan dari hadis-hadis yang dijadikan dasar bolehnya jual beli valuta asing. Batasan-batasan tersebut adalah:
  • Pertukaran tersebut harus dilakukan secara tunai (bai’ naqd), artinya masing-masing pihak harus menerima atau menyerahkan masing-masing mata uang secara bersamaan.
  • Motif pertukaran adalah rangka mendukung transaksi komersil, yaitu transaksi perdagangan barang dan jasa antar bangsa, bukan dalam rangka spekulasi.
  • Harus dihindari jual beli bersyarat. Misalnya A setuju membeli barang dari B hari ini, dengan syarat B harus membelinya kembali pada tanggal tertentu di masa mendatang. Hal ini tidak diperbolehkan karena selain untuk menghindari riba, juga karena jual beli bersyarat itu membuat hukum jual beli menjadi belum tuntas.
  • Transaksi berjangka harus dilakukan dengan pihak-pihak yang diyakini mampu menyediakan valuta asing yang dipertukarkan.
  • Tidak dibenarkan menjual barang yang belum dikuasai, atau dengan kata lain tidak dibenarkan jual beli tanpa hak kepemilikan (bai’ ainiah).
Seseorang yang melakukan perdagangan valuta asing wajib memperhatikan batasan tersebut dan wajib menjauhkan diri dari pasar gelap. Tidaklah dibenarkan pedagang valas berpendapat bahwa “agama membenarkan penukaran mata uang dengan syarat dilakukan secara tunai, tetapi mereka mengabaikan kepentingan masyarakat banyak.” Jika mereka melakukan penyimpangan karena melakukan pemerasan, maka yang semula halal akan menjadi terlarang karena dapat merugikan.

Ada hal penting yang tersirat dari hadis hadis Nabi maupun penafsiran para ahli hukum Islam tentang perdagangan valuta asing ini, yaitu bertujuan agar tidak ada pihak-pihak yang di rugikan dan dizalimi, dan tidak mendatangkan mudharat bagi masyarakat banyak. Persoalan yang merupakan masalah yang berkaitan dengan hajat orang banyak terhadap kebutuhan ekonomi. Oleh sebab itu, dapat dimengerti mafhum mukhalafah dari hikmah yang terkandung dari ketentuan di atas. Di satu sisi pertukaran dan perdagangan valuta asing merupakan suatu kebutuhan untuk perdagangan internasional dan kegiatan ekonomi yang berhubungan dengan negara lain. Akan tetapi di sisi lain, harus dapat pula menghindarkan diri dari hal-hal yang dilarang syari’ah dan perilaku yang mendatangkan kemudharatan.

Sesuai dengan maqashid syari’ah yang salah satu prinsipnya mengenai aspek hajjiyah dalam pengertian segala yang menyulitkan dan menjadi beban bagi kehidupan harus dihindari, maka sesungguhnya elastisitas hukum Islam mengenai perdagangan valuta asing dapat dilihat dari sisi lain. Pada kasus perdagangan valuta asing saat sekarang, yang notabene tidak secara tunai dan tidak simultan penyerahan dana ketika transaksi disepakati, merupakan fenomena yang tidak sesuai dengan ketentuan syari’ah. Ada baiknya ketentuan harus tunai dan simultan itu untuk ditinjau kembali secara mendalam, karena perkembangan dunia modern saat ini dengan kemajuan teknologi yang sudah sedemikian pesatnya, yang seandainya ketentuan tersebut tidak memiliki sifat elastisitas sesuai dengan perubahan waktu, tempat, situasi dan kondisi, maka justru akan mendatangkan kesulitan, sedangkan nafyul haraj dalam istilah ushul fiqh merupakan suatu keniscayaan.

Persoalan perdagangan valuta asing telah menjadi sangat populer, umum dan hampir dilakukan serta diterima sebagai suatu transaksi yang dipraktekkan di seluruh dunia. Tidak ada sistem ekonomi suatu negara mengalami kemajuan tanpa behubungan dengan perdagangan valuta asing. Oleh sebab itu selayaknya perdagangan valuta asing diterima dan diadopsi sebagai suatu kebutuhan di bidang ekonomi dan bermanfaat serta sulit sekali dipisahkan dari dunia modern. Afzalur Rahman mengutip pendapat Imam Hanafi, bahwa jika suatu bisnis secara umum diterima dan dilakukan oleh orang banyak, maka bisnis tersebut menjadi halal, karena merupakan kebutuhan. Akan tetapi jika perdagangan valuta asing tersebut dilakukan dengan tujuan untuk spekulasi, dan merusak sistem prekonomian suatu negara, maka hal inilah yang sangat bertentangan dengan tujuan syari’ah. Solusi yang terbaik untuk hal itu adalah mengadopsi dan menyesuaikan sistem perdagangan valuta asing yang ada dengan prinsip-prinsip yuridis syar’i (hukum Islam), dan penulis sepakat dengan pendapat Yusuf al- Qardhawi dan Imam Malik batasan tunai dan tangguh diserahkan kepada adat kebiasaan masyarakat sesuai dengan kaedah ushul fiqh al adatu muhakamah.

DAFTAR PUSTAKA

Ad-Duwaisy, Ahmad bin ‘Abdurrazzaq. 2005. Fatwa-fatwa jual Beli. Bogor: Pustaka Imam Syafi’i.

Agustianto. (2011, April 7). Perdagangan Valas Dalam Perspektif Ekonomi Islam. Dipetik 25 Januari, 2012, dari Agustianto Centre Website: http://www.agustiantocentre.com

An-Nabhani, Taqyuddin. 1996. Membangun Sistem Ekonomi Alternatif Perspefektif Islam. Surabaya: Risalah Gusti

Berlianta, Heli Charisma. 2005. Mengenal Valuta Asing. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

FOREX/VALAS, Sejarah, Pengertian dan Perkembangannya. (2009, Januari 1). Dipetik Januari 25, 2012, dari Blog Valas: http://www.blogvalas.com

Hasan, Ahmad. 2005. Mata Uang Islami. Jakarta: PT. Grafindo Persada.

Kahf, M. (2010). Tanya Jawab Keuangan dan Bisnis Kontemporer dalam Tinjauan Syariah. Solo: Aqwam.

Susanto, Ivan. 2007. Forex trading. Yogyakarta: Andi Offset.

Syathiri, A. (2011, Januari 24). Home: Jual Beli Valuta Asing (Al-Sharf). Dipetik Juni 25, 2011, dari Belajar Ekonomi Syariah: http://www.satirisyariah.blogspot.com

Wikipedia. 2011. Pasar Valuta Asing. http://www.wikipedia.com. 25 Januari 2012

Tidak ada komentar:

Kisah Mata Air Keabadian

Kisah ini diriwayatkan oleh Ats-Tsa’labi dari Imam Ali ra. Pada zaman dahulu hiduplah seorang hamba Allah SWT yang melebihkan kepada d...