A.
Pengertian Perdagangan
Mata Uang Asing (Forex)
Perdagangan mata
uang asing disebut juga pasar valuta asing, dalam bahasa inggris foreign exchange market (Forex)
merupakan suatu jenis perdagangan atau transaksi yang memperdagangkan mata uang suatu negara terhadap mata uang
negara lainnya (pasangan mata uang/pair) yang melibatkan pasar-pasar
uang utama di dunia selama 24 jam secara berkesinambungan (Wikipedia).
Menurut Jose
Rizal seperti di kutip dalam bukunya yang berjudul “Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing”, pasar valuta
asing adalah suatu mekanisme di mana mata uang satu ditukar terhadap mata uang
lainnya.
Valas adalah
singkatan dari valuta asing. Yang dimaksud dengan valuta asing ialah mata uang
luar negeri, seperti dollar Amerika, poundsterling Inggris, ringgit Malaysia
dan sebagainya.
Apabila
antara negara terjadi perdagangan international, maka tiap negara membutuhkan
valuta asing untuk alat bayar luar negeri, yang dalam dunia perdagangan disebut
devisa. Misalnya, importir Indonesia memerlukan devisa
untuk mengimpor barang dari luar negeri. Untuk membayar barang-barang
impor tersebut, si importir membutuhkan mata uang asing.
Dalam
istilah bahasa Arab dikenal dengan nama al-sharf yang berarti jual beli
valuta asing dapat ditemukan dalam beberapa kamus. Muhammad al-Adnani
mendefinisikan al-sharf dengan tukar menukar uang. Dalam kamus al-Munjid
fi al-Lughah disebutkan bahwa al-sharf berarti menjual uang dengan uang
lainnya. Yang dalam istilah Inggris sering disebut dengan money changer.
Taqiyuddin an-Nabhani mendefinisikan al-sharf dengan pemerolehan harta
dengan harta lain, dalam bentuk emas dan perak, yang sejenis dengan saling menyamakan
antara emas yang satu dengan emas yang lain, atau antara perak yang satu dengan
perak yang lain (atau berbeda sejenisnya) semisal emas dengan perak, dengan
menyamakan atau melebihkan antara jenis yang satu dengan jenis yang lain.
Dari
beberapa jenis pengertian di atas, dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa al-sharf
merupakan suatu perjanjian jual beli suatu valuta dengan valuta lainnya,
transaksi jual beli mata uang asing yang sejenis (misalnya rupiah dengan
rupiah) maupun yang tidak sejenis (misalnya rupiah dengan dolar atau
sebaliknya). Dalam literatur klasik, ditemukan dalam bentuk jual beli dinar
dengan dinar, dirham dengan dirham atau dinar dengan dirham. Tukar menukar
seperti ini dalam hukum Islam termasuk salah satu cara jual beli, dan
dalam hukum perdata Barat disebut dengan barter.
Taqiyuddin
an-Nabhani menyatakan bahwa jual beli mata uang atau pertukaran mata uang
merupakan transaksi jual beli dalam bentuk finansial yang menurutnya mencakup:
1.
Pembelian mata uang dengan mata uang yang serupa
seperti pertukaran uang kertas dinar baru Irak dengan kertas dinar lama.
2.
Pertukaran mata uang dengan mata uang asing seperti
pertukaran dolar dengan Pound Mesir.
3.
Pembelian barang dengan uang tertentu serta pembelian
mata uang tersebut dengan mata uang asing seperti membeli pesawat dengan dolar,
serta pertukaran dolar dengan dinar Irak dalam suatu kesepakatan.
4.
Penjualan barang dengan mata uang, misalnya dengan
dolar Australia serta pertukaran dolar dengan dolar Australia.
5.
Penjualan promis (surat perjanjian untuk membayar
sejumlah uang) dengan mata uang tertentu.
6.
Penjualan saham dalam perseroan tertentu dengan mata
uang tertentu.
Masing-masing
kegiatan di atas merupakan dua macam bentuk aktivitas, yaitu aktivitas jual
beli dan aktivitas pertukaran. Sehingga untuk masing-masing aktivitas tesebut
bisa diberlakukan hukum jual beli dan pertukaran serta hukum-hukum adanya
perbedaan transaksi. Penjualan mata uang dengan mata uang yang serupa
atau penjualan mata uang dengan mata uang asing dalam Islam dikenal sebagai
aktivitas al-sharf.
Praktek al-sharf
tersebut bisa terjadi dalam bentuk uang sebagaimana yang terjadi dalam
pertukaran emas dengan perak, sebab sifat emas dan perak bisa berlaku untuk
jenis barang tersebut yang sama-sama merupakan mata uang, dan bukannya
dianalogikan pada emas dan perak.
Transaksi di
pasar valuta asing terdiri dari dua jenis tingkatan, yaitu antar bank (wholesale
market) dan klien (retail market). Transaksi individu dalam pasar
antar bank biasanya berjumlah sangat besar misalnya dalam kelipatan jutaan
dolar. Sedangkan kontrak antar bank dengan nasabah biasanya dibuat dalam jumlah
tertentu dan bisa dalam jumlah yang relatif kecil.
Valas
bersifat interbank karena waktu perdagangannya yang secara kontinyu mengikuti
waktu perdagangan masing-masing negara dan bisa diasumsikan bahwa pasar valas
buka 24 jam. Ada beberapa golongan yang aktif melakukan transaksi jual beli
valas, yang dapat digolongkan kepada 7 golongan, yaitu :
a. Perusahaan.
Perusahaan menggunakan
pasar valuta asing untuk mempermudah pelaksanaan transfer investasi atau
komersil. Kelompok ini terdiri dari para importir, investor internasional dan
perusahan-perusahaan multinasional. Mereka menggunakan pasar valuta asing untuk
tujuan investasi.
b.
Masyarakat atau Perorangan
Masyarakat dan
perorangan dapat melakukan transaksi valas untuk memenuhi kebutuhannya.
Contohnya yaitu, Ayah mengirimkan uang untuk anaknya yang sedang sekolah di
Amerika, maka terlebih dahulu Ayah harus membeli dolar atau menukar rupiah
dengan dolar Amerika.
c.
Bank Umum dan Non Bank
Bank Umum dan non bank
beroperasi di kedua pasar antar bank dan nasabah. Mereka melayani nasabah yang
ingin bertransaksi valas. Mereka ini memperoleh keuntungan dengan membeli
valuta asing pada harga permintaan (bid) dan menjualnya kembali pada harga yang
sedikit lebih tinggi dari pada harga penawaran (offer).
d.
Broker atau Perantara
Broker atau Perantara adalah
orang atau perusahaan yang tugasnya adalah menjadi perantara aktifitas
transaksi valas.
e.
Pemerintah
Pemerintah melakukan
valas untuk berbagai tujuan antara lain membayar cicilan hutang ke luar negeri,
penerimaan hutang dari luar negeri yang harus ditukar ke valuta sendiri.
f.
Bank Sentral
Di banyak negara, Bank
sentral tidak berada di bawah kendali pemerintah, dia merupakan lembaga
independen yang bertugas menstabilkan perekonomian. Bank-bank sentral
menggunakan pasar valas ini untuk memperoleh cadangan devisa dan juga
mempengaruhi harga di mana mata uangnya diperdagangkan.
g.
Spekulator dan arbitrase
Arbitrase pada
prinsipnya merupakan suatu bentuk spekulasi yang terdapat dalam valuta asing,
di mana mereka membeli suatu valuta asing di suatu pusat keuangan kemudian
menjualnya kembali di pusat keuangan lain untuk memperoleh keuntungan.
Mata uang
yang biasanya diperdagangkan dalam Forex adalah mata uang negara-negara
maju seperti Dollar Amerika (USD), Yen Jepang (JPY), Swiss Franc (CHF),
Poundsterling Inggris (GBP), Australian Dollar (AUD), dan Euro (EUR). Semua
mata uang itu lazimnya dipertukarkan atau diperdagangkan secara berpasang-pasangan atau disebut pair. Misalnya
EUR/GBP, CHF, GBP/USD, EUR/USD, AUD/USD, GBP/JPY dan lainnya.
Perlu
diketahui bahwa Forex Market adalah pasar yang paling likuid dan
paling besar di dunia. Ada trilyunan dolar uang yang berputar di pasar forex
setiap harinya. Jumlahnya sering melebihi BNP (Bruto Nasional Produk)
negara-negara maju. Luar biasa. Tidak satu pihak pun dapat mengendalikan
harganya di pasar untuk waktu yang panjang kecuali pasar itu sendiri yang
menggerakkan.
Forex adalah
produk investasi yang sifatnya liquid dan bersifat internasional.
Perbedaan nilai mata uang sebuah negara yang berubah dari waktu ke waktu yang
dipengaruhi berbagai macam faktor itulah yang menjadi dasar adanya transaksi
keuangan bernama Forex Trading.
Forex
trading sendiri telah lama ada sejak ditemukannya
teknik konversi mata uang sebuah negara ke mata uang negara lainnya. Tetapi
secara kelembagaan forex trading baru ada setelah didirikannya Badan
Arbitrase Kontrak Berjangka atau Futures. Misalnya IMM atau
International Money Market yang didirikan pada 1972 sebagai divisi bagian dari
CME atau Chicago Mercantile Exchange (perishable commodities). Atau yang
lain misalnya LIFFE atau London International Financial Futures Exchange, TIFFE
atau Tokyo International Financial Futures Exchange dan lainnya.
Sejarah
forex sendiri sudah dimulai sangat lama. Transaksi forex bermula
dari perdagangan komoditas, seperti emas, beras, dan lain-lain. Perubahan pola
pasar forex sendiri sampai yang dirasakan saat ini setidaknya mengalami
empat kali perkembangan. Pertama, periode standar emas pada era 1880-1914,
kedua, periode masa Perang Dunia I pada era 1919-1939, ketiga periode Bretton
Woods pada era 1946-1971 dan keempat periode nilai tukar mengambang pada era
1971 sampai kini.
Perubahan
itu dapat diringkas lagi menjadi dua tahap, yaitu tahap periode nilai tukar
tetap dan periode nilai tukar mengambang. Adapun periode standar emas, periode
masa Perang Dunia I dan periode Bretton Woods adalah termasuk tahap periode
nilai tukar tetap.
Pada
era Bretton Woods pasca kegagalan dari periode nilai tukar tetap dalam
mempertahankan kestabilan ekonomi, transaksi forex mulai menjadi bagian
terpenting perkembangan dunia sampai kini. Pasalnya karena suatu nilai tukar
mata uang antar negara diserahkan sepenuhnya kepada mekanisme pasar. Pasar yang
akan menentukan apakah seberapa besar nilai tukar mata uang tersebut berkaitan
dengan perkembangan perekonomian suatu negara.
C. Jenis-Jenis
Forex
1.
Transaksi Spot
Transaksi spot adalah pembelian dan penjualan valuta asing untuk penyerahan
pada saat itu (over the counter) atau penyelesaiannya paling lambat dalam
jangka waktu dua hari. Misalnya kontrak jual beli suatu mata uang spot
dilakukan atau ditutup pada tanggal 12 juni 2002, penyerahan dan penyelesaian
kontrak tersebut dilakukan pada tanggal 14 juni 2002. Apabila tanggal 14 juni
2002 tersebut kebetulan hari libur atau hari sabtu, maka penyelesaiannya adalah
pada hari kerja berikutnya. Tanggal penyelesaian transaksi seperti ini disebut
value date. Penyerahan dana dalam transaksi spot pada dasarnya dapat dilakukan
dalam beberapa cara berikut ini:
a) Value today, yaitu penyerahan dana dilakukan
pada tanggal (hari) yang sama dengan tanggal (hari) diadakannya transaksi
(kontrak).
b) Value tomorrow, yaitu penyerahan dana dilakukan
pada hari kerja berikutnya atau hari keja setelah diadakannya kontrak.
c) Value spot, yaitu penyerahan dilakukan dua
hari kerja setelah tanggal transaksi.
2. Transaksi Forward
Transaksi
forward disebut juga dengan transaksi berjangka yang pada prinsipnya adalah
transaksi sejumlah mata uang tertentu dengan sejumlah mata uang lainnya dengan
penyerahan pada waktu yang akan datang. Kurs ditetapkan pada waktu kontrak
dilakukan, tetapi pembayaran dan penyerahan baru dilakukan pada saat kontrak
jatuh tempo. Transaksi forward ini biasanya sering digunakan untuk tujuan
hedging dan spekulasi. Hedging atau pemagaran resiko yaitu transaksi yang
dilakukan semata-mata untuk menghindari resiko kerugian akibat terjadinya
perubahan kurs.
3. Transaksi Swap
Transaksi swap adalah
transaksi pembelian dan penjualan bersamaan sejumlah tertentu mata uang dengan
2 tanggal valuta (penyerahan) yang berbeda. Pembelian dan penjualan mata uang
tersebut dilakukan pada bank lain yang sama. Jenis transaksi swap yang umum
adalah spot terhadap forward.Dalam mekanisme swap, terjadi dua transaksi
sekaligus dalam waktu yang bersamaan yaitu menjual dan membeli atau menjual dan
membeli suatu mata uang yang sama.
4. Transaksi Option
Transaksi option yaitu
kontrak untuk memperoleh hak dalam rangka membeli atau hak untuk menjual yang
tidak harus dilakukan atas sejumlah unit valuta asing pada harga dan jangka
waktu atau tanggal akhir tertentu.
Dari beberapa macam
jenis dari valuta asing di atas, tidak semua dipandang sesuai dengan syari’at
Islam, dalam arti ada jenis yang dihukumi haram, dan ada pula yang hukumnya sah
menurut Islam.
D. Forex
Dalam Pandangan Islam
Prof. Drs. Masifuk Zuhdi yang berjudul
Masail Fiqhiyah: Kapita Selecta Hukum Islam, diperoleh bahwa Forex (Perdagangan
Valas) diperbolehkan dalam hukum Islam.
Sedangkan menurut Imam al-Subki perdagangan
mata uang asing ini, sebagaimana dikutip Sura’i mengatakan bahwa pendapat yang
populer pada mazhab Syafi’I adalah boleh hukumnya melakukan transaksi dengan
mata uang dirham yang tengah berlaku walaupun ditukar dengan dirham biasa,
sedangkan dirham sebagai mata uang negara yang mempunyai cap, maka transaksi
semacam ini dibolehkan. Kemudian ia berkata berlakunya transaksi dengan
mempertukarkan mata uang yang tidak sejenis tidaklah ada halangannya, asalkan
secara tunai, Namun demikian apakah diperbolehkan mempertukarkan mata uang yang
sama namanya tetapi berbeda negara yang memilikinya seperti dinar Marokko
dengan dinar Maghribi. Dalam hal ini Imam al-Subki tidak menemukan
adanya riwayat yang melarang tetapi pendapat yang terkuat adalah
membolehkannya.
Dalam hal
memperjualbelikan valuta asing yang tidak dilakukan secara tunai, Yusuf
al-Qardhawi mengatakan tidak diperbolehkan. Oleh karena itu tidak sah jual beli
uang dengan sistem penangguhan, bahkan harus dilakukan secara tunai ketika di
tempat transaksi. Hanya saja yang menjadi kriteria tunainya sesuatu itu menurut
ukurannya sendiri-diri. Dalam hal ni menurut Yusuf al-Qardhawi syara’ telah
menyerahkan ukuran tersebut kepada adat kebiasaan yang berlaku di suatu
masyarakat. Walaupun demikian, realita tunai ini juga mengikuti hukum darurat
yang diukur sesuai dengan ukurannya. Justru itu umat Islam tidak diperkenankan
untuk menjual apa yang dibelinya kecuali setelah diterimanya terlebih dahulu
barang itu menurut adat kebiasaan yang berlaku.
Berdasarkan
beberapa pendapat para ahli hukum Islam di atas, dapatlah disimpulkan bahwa
pada dasarnya mereka sepakat tentang bolehnya memperjual belikan valuta asing
dari jenis mata uang apapun dan dari negara manapun. Tetapi juga mereka sepakat
bahwa transaksi valuta asing harus dilakukan secara tunai dan bertangguh. Hal
ini didasarkan pada ketentuan syari’ah seperti yang dijelaskan oleh hadis-hadis Nabi.
Secara normative hukum Isalam, jual beli
valuta asing yang dilakukan saat sekarang tidaklah merubah fungsi uang dalam Islam. Karena
al-sharf yang dijadikan sebagai salah satu jasa perbankan tidaklah sama dengan
perdagangan uang atau memperjual belikan uang yang dalam banyak hal telah
merugikan masyarakat banyak, terutama dalam kasus Indonesia.
Perbedaan antara al-sharf dengan
perdagangan uang atau jual beli uang, terletak pada hukum yang diterapkan pada
al-sharf. Walaupun al-sharf itu merupakan salah satu variasi dari jual
beli, akan tetapi ia tidak dihukumi dengan konsep jual beli secara umum, karena
dalam konsep jual beli boleh untuk di tangguhkan. Sedangkan dalam variasi jual
beli uang dengan uang memakai hukum khusus yang tidak terdapat dalam bai’
mutlak (jual beli barang dengan uang) dan bai’ muqayyadah (jual beli barang
dengan barang) yaitu dalam hal tujuan akhirnya. Artinya dalam aqad al-Sharf ini harus
dilakukan secara tunai (tidak boleh ditangguhkan).
Sebagaimana diketahui, bahwa jual beli itu
bisa berupa ayn (goods dan service) yang berarti barang dan jasa, atau juga
berupa dayn (financial obligation). Objek jual beli yang berupa dayn dengan
dayn, hukumnya adalah tidak sah karena hal tersebut telah menjadikan dayn sebagai
ayn. Akan tetapi ketika kedua bentuk dayn itu adalah berupa mata uang, maka ia
adalah al-sharf yang hukumnya boleh (mubah) dengan syarat kedua mata uang
tersebut harus diserahkan secara langsung (tunai) sebelum para pihak berpisah.
Sehingga akad al-sharf ini bisa disebut sebagai pengecualian dari aqad lain
yang obyeknya berupa dayn.
Tujuan dari keharusan tunai dalam aqad
al-sharf ini adalah untuk menghindari adanya gharar yang terdapat dalam riba
fadl. Gharar dalam aqad al-sharf ini akan lenyap karena time of
settlement-nya dilaksanakan secara tunai. Sedangkan dalam aqad yang obyeknya
berupa barang, maka selain masa penyerahannya yang harus tunai, juga harus sama
dalam hal kualitas dan kuantitasnya. Justru merupakan satu hal yang tepat,
ketika Ibn Taimiyah mensyaratkan harus dilakukan secara simultan (taqabud)
dalam transaksi perdagangan uang.
Sebagai salah satu variasi jual beli,
al-sharf juga tentu saja harus memenuhi persyaratan sebagaimana halnya variasi
jual beli yang lain seperti bai’ mutlak dan muqayyadah. Karena agar jual beli
itu terbentuk dan sah diperlukan sejumlah syarat, yaitu syarat adanya aqad jual
beli dan syarat sahnya jual beli. Sehingga aqad jual beli itu tidak saja ada
dan terbentuk, akan tetapi juga sah secara hukum. Dengan demikian hukum tentang
al-sharf yang biasa diartikan dengan jual beli valuta asing tidak diragukan
lagi kebolehannya dari sudut fiqh Islam.
E.
Dasar Hukum
al-Sharf
Pada asalnya, mata uang itu hanya emas dan
perak. Uang emas disebut dinar dan uang perak disebut dirham. Kedua mata uang
tersebut dinamakan mata uang intrinsik, yaitu mata uang yang sesuai dengan
nilai nominalnya dengan nilai kandungan bahannya.
Zaman sekarang mata uang juga berbentuk nikel,
tembaga dan kertas yang diberi nilai tertentu. Mata uang selain dinar dan
dirham itu disebut uang nominal yakni angka yang tertulis pada uang nominal
tidak sesuai dengan harga material (intrinsik) uang tersebut.
Tukar menukar mata uang boleh terjadi antara
lain :
1. Jenis logam yang sama, seperti emas dengan emas, perak dengan perak,
2. Jenis logam yang berlainan, emas dengan perak, emas dengan nikel,
3. Logam dengan uang kertas, misalnya emas dengan kertas,
4. Uang kertas dengan uang kertas, misalnya selembar Rp. 10.000,- dengan 10
lembar uang ribuan.
Seperti yang telah diterangkan sebelumnya bahwa setelah beberapa jenis mata uang telah dibuat, maka mata uang kertas
wajib menggantikan fungsi emas dan perak, yang mana emas dan perak inilah yang
dulu dipakai sebagai alat tukar. Dengan demikian mata uang kertas menjadi
satu-satunya satuan hitung dan sarana perantara dalam tukar menukar. Mata uang
kertas menjadi berharga
sebagaimana halnya emas dan perak. Oleh sebab itu hukum tukar menukar mata uang
kertas tunduk kepada peraturan al-sharf sebagaimana halnya emas dan
perak.
Praktek al-sharf hanya terjadi dalam transaksi jual beli, di mana
praktek ini diperbolehkan dalam Islam berdasarkan firman Allah QS. Al-Baqarah ayat 275:
”Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan
seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit
gila. keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka Berkata
(berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah Telah
menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. orang-orang yang Telah sampai
kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba),
Maka baginya apa yang Telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan
urusannya (terserah) kepada Allah. orang yang kembali (mengambil riba), Maka
orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.”
Kemudian dalam hadis Rasulullah juga disebutkan bahwa:
لا تبيعوا الذهب بالذهب الا سواء بسواء, والفضة
بالفضة, الا سواء بسواء, و بيعوا الذهب بالفضة والفضة بالذهب كيف شئتم (رواه بخاري)
“Janganlah engkau menjual emas
dengan emas, kecuali seimbang,dan jangan pula menjual perak dengan perak
kecuali seimbang. Juallah emas dengan perak atau perak dengan emas sesuka
kalian.” (HR. Bukhari).
“Nabi melarang menjual perak dengan perak, emas dengan emas,
kecuali seimbang. Dan Nabi memerintahkan untuk menjual emas dengann perak
sesuka kami, dan menjual perak dengan emas sesuka kami”.
“Kami telah diperintahkan untuk membeli perak dengan emas sesuka kami dan
membeli emas dengan perak sesuka kami. Abu Bakrah berkata: beliau (Rasulullah)
ditanya oleh seorang laki-laki, lalu beliau menjawab, Harus tunai (cash).
Kemudian Abi Bakrah berkata, Demikianlah yang aku dengar.” (HR. Abu Hurairah)
Dari beberapa Hadis di atas dipahami bahwa hadis pertama dan kedua
merupakan dalil tentang diperbolehkannya al-sharf serta tidak boleh adanya
penambahan antara suatu barang yang sejenis (emas dengan emas atau perak dengan
perak), karena kelebihan antara dua barang yang sejenis tersebut merupakan riba
fadl yang jelas-jelas dilarang oleh Islam. Sedangkan hadis ketiga, selain bisa
dijadikan dasar diperbolehkannya al-sharf, juga mengisyaratkan bahwa kegiatan
jual beli tersebut harus dalam bentuk tunai, yaitu untuk menghindari terjadinya
riba nasi’ah.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa jual beli mata uang (valuta asing)
dibatasi oleh beberapa syarat, dan syarat-syarat itu telah disebutkan oleh para
ulama dalam penukaran emas dan perak yang mana berlaku juga dalam penukaran
mata uang yang ada pada zaman setelahnya.
F.
Syarat-Syarat
Dan Batasan-Batasan Al-sharf
1.
Serah terima
sebelum iftirak (berpisah)
Maksudnya yaitu transaksi tukar menukar dilakukan sebelum kedua belah pihak
berpisah. Hal ini berlaku pada penukaran mata uang yang berjenis sama maupun
yang berbeda, oleh karena itu kedua belah pihak harus melakukan serah terima
sebelum keduanya berpisah meninggalkan tempat transaksi dan tidak boleh menunda
pembayaran salah satu antara keduanya. Apabila persyaratan ini tidak dipenuhi,
maka jelas hukumnya tidak sah.
Hal ini sesuai dengan dalil yang bersumber dari hadis nabi seperti yang
telah disebutkan terakhir di atas yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah. Begitu
pula dengan hadis yang diriwayatkan oleh Abu Sa’ad al-Khudhri, bahwasannya
Rasulullah bersabda: ”Janganlah kalian
menjual emas dengan emas, kecuali sama rata, dan janganlah melebihkan salah
satu diantara keduanya. Dan janganlah kalian menjual perak dengan perak,
kecuali sama rata, dan janganlah kalian melebihkan salah satu antara keduanya.
Dan janganlah kalian menjual -emas dan perak- yang telah ada dengan yang belum
ada.”
Namun terdapat beberapa interpretasi yang berbeda di kalangan ulama
mengenai istilah iftirak, yaitu:
·
Jumhur ulama
seperti ulama Hanafi, Syafi’i dan Hambali sepakat bahwa yang dimaksud iftirak
adalah apabila kedua belah pihak telah meninggalkan tempat transaksi. Apabila
kedua belah pihak belum beranjak dari tempat maka tidak dikatakan iftirak meski
dalam waktu yang lama. Pengertian ini didasari kepada Umar bin Khatab ketika
meriwayatkan sebuah hadis, lalu beliau berkata kepada thalhah: ”Demi Tuhan, jangan kamu
tinggalkan orang itu sebelum menerima sesuatu darinya.” dalil ini menunjukkan
bahwa yang dijadikan standar iftirak adalah pisah badan.
·
Ulama Maliki
berpendapat bahwa iftirak badan bukan merupakan ukuran sah atau tidaknya suatu
transaksi. Yang jadi ukuran yaitu serah terima harus dilakukan ketika
pengucapan ijab dan kabul berlangsung. Maksudnya, jika serah terima dilakukan
setelah ijab kabul, maka transaksi tersebut dianggap tidak sah, sekalipun kedua
belah pihak belum berpisah badan. Hal ini didasarkan pada sabda Rasulullah saw.:
” Emas dengan emas adalah riba, kecuali ha wa ha
(ucapan ambil dan bayar).” hal ini menunjukkan bahwa serah terima harus
dilakukan seketika bersamaan dengan ijab kabul.
2.
Al-Tamatsul
(sama rata)
Pertukaran uang yang nilainya tidak sama rata maka hukumnya haram, syarat
ini berlaku pada pertukaran uang yang satu atau sama jenis. Sedangkan
pertukaran uang yang jenisnya berbeda, maka dibolehkan al-tafadhul. Misalnya
yaitu menukar mata uang dolar Amerika dengan dolar Amerika, maka nilainya harus
sama. Namun apabila menukar mata uang dolar Amerika dengan rupiah, maka tidak
disyaratkan al-tamatsul. hal ini praktis diperbolehkan mengingat nilai tukar
mata uang dimasing-masing negara di dunia ini berbeda. Dan apabila diteliti,
hanya ada beberapa mata uang tertentu yang populer dan menjadi mata uang
penggerak di perekonomian dunia, dan tentunya masing-masing nilai mata uang itu
sangat tinggi nilainya.
3.
Pembayaran
Dengan Tunai
Tidak sah huukmnya apabila di dalam transaksi pertukaran uang terdapat
penundaan pembayaran, baik penundaan tersebut berasal dari satu pihak atau
disepakati oleh kedua belah pihak. Syarat ini terlepas dari apakah pertukaran
itu antara mata uang yang sejenis maupun mata uang yang berbeda.
4.
Tidak
Mengandung Akad Khiyar Syarat
Apabila terdapat khiyar syarat pada akad al-sharf baik syarat
tersebut dari sebelah pihak maupun dari kedua belah pihak, maka menurut jumhur
ulama hukumnya tidak sah. Sebab salah satu syarat sah transaksi adalah serah
terima, sementara khiyar syarat menjadi kendala untuk kepemilikan sempurna. Hal
ini tentunya dapat mengurangi makna kesempurnaan serah terima. Menurut ulama
Hambali, al-sharf dianggap tetap sah, sedangkan khiyar syaratnya menjadi
sia-sia.
Selain beberapa syarat di atas, disebutkan pula batasan-batasan pelaksanaan
valuta asing yang juga didasarkan dari hadis-hadis yang dijadikan dasar
bolehnya jual beli valuta asing. Batasan-batasan tersebut adalah:
- Pertukaran tersebut harus dilakukan secara tunai (bai’ naqd), artinya masing-masing pihak harus menerima atau menyerahkan masing-masing mata uang secara bersamaan.
- Motif pertukaran adalah rangka mendukung transaksi komersil, yaitu transaksi perdagangan barang dan jasa antar bangsa, bukan dalam rangka spekulasi.
- Harus dihindari jual beli bersyarat. Misalnya A setuju membeli barang dari B hari ini, dengan syarat B harus membelinya kembali pada tanggal tertentu di masa mendatang. Hal ini tidak diperbolehkan karena selain untuk menghindari riba, juga karena jual beli bersyarat itu membuat hukum jual beli menjadi belum tuntas.
- Transaksi berjangka harus dilakukan dengan pihak-pihak yang diyakini mampu menyediakan valuta asing yang dipertukarkan.
- Tidak dibenarkan menjual barang yang belum dikuasai, atau dengan kata lain tidak dibenarkan jual beli tanpa hak kepemilikan (bai’ ainiah).
Seseorang yang melakukan perdagangan valuta asing wajib memperhatikan
batasan tersebut dan wajib menjauhkan diri dari pasar gelap. Tidaklah
dibenarkan pedagang valas berpendapat bahwa “agama membenarkan penukaran mata
uang dengan syarat dilakukan secara tunai, tetapi mereka mengabaikan
kepentingan masyarakat banyak.” Jika mereka melakukan penyimpangan karena
melakukan pemerasan, maka yang semula halal akan menjadi terlarang karena dapat
merugikan.
Ada hal penting yang tersirat dari hadis hadis Nabi maupun penafsiran para
ahli hukum Islam tentang perdagangan valuta asing ini, yaitu bertujuan agar
tidak ada pihak-pihak yang di rugikan dan dizalimi, dan tidak mendatangkan
mudharat bagi masyarakat banyak. Persoalan yang merupakan masalah yang
berkaitan dengan hajat orang banyak terhadap kebutuhan ekonomi. Oleh sebab itu,
dapat dimengerti mafhum mukhalafah dari hikmah yang terkandung dari ketentuan
di atas. Di satu sisi pertukaran dan perdagangan valuta asing merupakan suatu
kebutuhan untuk perdagangan internasional dan kegiatan ekonomi yang berhubungan
dengan negara lain. Akan tetapi di sisi lain, harus dapat pula menghindarkan
diri dari hal-hal yang dilarang syari’ah dan perilaku yang mendatangkan
kemudharatan.
Sesuai dengan maqashid syari’ah yang salah satu prinsipnya mengenai aspek
hajjiyah dalam pengertian segala yang menyulitkan dan menjadi beban bagi
kehidupan harus dihindari, maka sesungguhnya elastisitas hukum Islam mengenai
perdagangan valuta asing dapat dilihat dari sisi lain. Pada kasus perdagangan valuta
asing saat sekarang, yang notabene tidak secara tunai dan tidak simultan
penyerahan dana ketika transaksi disepakati, merupakan fenomena yang tidak
sesuai dengan ketentuan syari’ah. Ada baiknya ketentuan harus tunai dan
simultan itu untuk ditinjau kembali secara mendalam, karena perkembangan dunia
modern saat ini dengan kemajuan teknologi yang sudah sedemikian pesatnya, yang
seandainya ketentuan tersebut tidak memiliki sifat elastisitas sesuai dengan
perubahan waktu, tempat, situasi dan kondisi, maka justru akan mendatangkan kesulitan, sedangkan nafyul haraj dalam istilah ushul fiqh merupakan suatu
keniscayaan.
Persoalan perdagangan valuta asing telah menjadi sangat populer, umum dan
hampir dilakukan serta diterima sebagai suatu transaksi yang dipraktekkan di
seluruh dunia. Tidak ada sistem ekonomi suatu negara mengalami kemajuan tanpa
behubungan dengan perdagangan valuta asing. Oleh sebab itu selayaknya
perdagangan valuta asing diterima dan diadopsi sebagai suatu kebutuhan di
bidang ekonomi dan
bermanfaat serta sulit sekali dipisahkan dari dunia modern. Afzalur Rahman
mengutip pendapat Imam Hanafi, bahwa jika suatu bisnis secara umum diterima dan
dilakukan oleh orang banyak, maka bisnis tersebut menjadi halal, karena
merupakan kebutuhan. Akan tetapi jika perdagangan valuta asing tersebut
dilakukan dengan tujuan untuk spekulasi, dan merusak sistem prekonomian suatu
negara, maka hal inilah yang sangat bertentangan dengan tujuan syari’ah. Solusi
yang terbaik untuk hal itu adalah mengadopsi dan menyesuaikan sistem
perdagangan valuta asing yang ada dengan prinsip-prinsip yuridis syar’i (hukum
Islam), dan penulis sepakat dengan pendapat Yusuf al- Qardhawi dan Imam Malik
batasan tunai dan tangguh diserahkan kepada adat kebiasaan masyarakat sesuai
dengan kaedah ushul fiqh al adatu muhakamah.
DAFTAR PUSTAKA
Ad-Duwaisy, Ahmad bin ‘Abdurrazzaq. 2005. Fatwa-fatwa
jual Beli. Bogor: Pustaka Imam Syafi’i.
Agustianto. (2011, April 7). Perdagangan Valas Dalam Perspektif Ekonomi Islam.
Dipetik 25 Januari, 2012, dari Agustianto Centre Website: http://www.agustiantocentre.com
An-Nabhani, Taqyuddin. 1996. Membangun
Sistem Ekonomi Alternatif Perspefektif Islam.
Surabaya: Risalah Gusti
Berlianta, Heli Charisma. 2005. Mengenal Valuta Asing.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
FOREX/VALAS, Sejarah, Pengertian dan Perkembangannya. (2009, Januari 1). Dipetik Januari 25, 2012, dari Blog Valas: http://www.blogvalas.com
Hasan, Ahmad. 2005. Mata Uang Islami.
Jakarta: PT. Grafindo Persada.
Kahf, M. (2010). Tanya Jawab Keuangan dan Bisnis Kontemporer dalam
Tinjauan Syariah. Solo: Aqwam.
Susanto, Ivan. 2007. Forex trading. Yogyakarta:
Andi Offset.
Syathiri, A. (2011, Januari 24). Home: Jual Beli Valuta Asing (Al-Sharf).
Dipetik Juni 25, 2011, dari Belajar Ekonomi Syariah: http://www.satirisyariah.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar