Selasa, 11 September 2012

KEMUNCULAN MAZHAB, TAKLID, DAN MASA KEJUMUDAN


A.   Pengertian Mazhab
Secara etimologi kata mazhab merupakan sighat isim makan dari fi’il madli zahaba. Zahaba artinya pergi; oleh karena itu mazhab artinya : tempat pergi atau jalan. Kata-kata yang semakna ialah : maslak, thariiqah dan sabiil yang kesemuanya berarti jalan atau cara. Mazhab (bahasa Arab: مذهب, madzhab) adalah istilah dari bahasa Arab, yang berarti jalan yang dilalui dan dilewati, sesuatu yang menjadi tujuan seseorang baik konkrit maupun abstrak.
Sesuatu dikatakan mazhab bagi seseorang jika cara atau jalan tersebut menjadi ciri khasnya. Menurut para ulama dan ahli agama Islam, yang dinamakan mazhab adalah metode (manhaj) yang dibentuk setelah melalui pemikiran dan penelitian, kemudian orang yang menjalaninya menjadikannya sebagai pedoman yang jelas batasan-batasannya, bagian-bagiannya, dibangun di atas prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah.
Pengertian mazhab menurut istilah dalam kalangan umat Islam ialah : Sejumlah dari fatwa-fatwa dan pendapat-pendapat seorang alim besar di dalam urusan agama, baik ibadah maupun lainnya.
Mazhab menurut ulama fiqih, adalah sebuah metodologi fiqih khusus yang dijalani oleh seorang ahli fiqih mujtahid, yang berbeda dengan ahli fiqih lain, yang menghantarkannya memilih sejumlah hukum dalam kawasan ilmu furu'.
Ciri-ciri mazhab:
1.      Merupakan pandangan hukum sekelompok orang (ahli  hukum).
2.      Terdapat pemimpin (pelopor) atau sekelompok pemimpin.
3.      Dianut dalam jangka waktu cukup lama (berabad atau ratusan tahun).
4.      Membentuk tradisi:
      i Tradisi dalam berfikir/mengkaji;
i Tradisi dalam bersikap tindak.
5.      Di dalam intern mazhab dikenal perbedaan.
Jadi bicara mazhab: mempelajari pandangan mengenai hukum, termasuk situasi/budaya pada masa pandangan hukum tersebut muncul.
B.   Sejarah Singkat Munculnya Mazhab Fiqh
Sebenarnya ikhtilaf telah ada di masa sahabat, hal ini terjadi antara lain karena perbedaan pemahaman di antara mereka dan perbedaan nash (sunnah) yang sampai kepada mereka, selain itu juga karena pengetahuan mereka dalam masalah hadis tidak sama dan juga karena perbedaan pandangan tentang dasar penetapan hukum dan berlainan tempat. Sebagaimana diketahui, bahwa ketika agama Islam telah tersebar meluas ke berbagai penjuru, banyak sahabat Nabi yang telah pindah tempat dan berpencar-pencar ke negara yang baru tersebut. Dengan demikian, kesempatan untuk bertukar pikiran atau bermusyawarah memecahkan sesuatu masalah sukar dilaksanakan. Sejalan dengan pendapat di atas, Qasim Abdul Aziz Khomis menjelaskan bahwa faktor-faktor yang menyebabkan ikhtilaf di kalangan sahabat ada tiga yakni :
1. Perbedaan para sahabat dalam memahami nash-nash al-Qur’an
2. Perbedaan para sahabat disebabkan perbedaan riwayat
3. Perbedaan para sahabat disebabkan karena ra’yu.
Setelah berakhirnya masa sahabat yang dilanjutkan dengan masa Tabi’in, muncullah generasi Tabi’it Tabi’in. Ijtihad para Sahabat dan Tabi’in dijadikan suri tauladan oleh generasi penerusnya yang tersebar di berbagai daerah wilayah dan kekuasaan Islam pada waktu itu. Generasi ketiga ini dikenal dengan Tabi’it Tabi’in. Di dalam sejarah dijelaskan bahwa masa ini dimulai ketika memasuki abad kedua hijriah, di mana pemerintahan Islam dipegang oleh Daulah Abbasiyyah.
Masa Daulah Abbasiyah adalah masa keemasan Islam, atau sering disebut dengan istilah ‘’The Golden Age’’. Pada masa itu Umat Islam telah mencapai puncak kemuliaan, baik dalam bidang ekonomi, peradaban dan kekuasaan. Selain itu juga telah berkembang berbagai cabang ilmu pengetahuan, ditambah lagi dengan banyaknya penerjemahan buku-buku dari bahasa asing ke bahasa Arab. Fenomena ini kemudian yang melahirkan cendikiawan-cendikiawan besar yang menghasilkan berbagai inovasi baru di berbagai disiplin ilmu pengetahuan. Bani Abbas mewarisi imperium besar Bani Umayah. Hal ini memungkinkan mereka dapat mencapai hasil lebih banyak, karena landasannya telah dipersiapkan oleh Daulah Bani Umayah yang besar. Periode ini dalam sejarah hukum Islam juga dianggap sebagai periode kegemilangan fiqh Islam, di mana lahir beberapa mazhab fiqih yang panji-panjinya dibawa oleh tokoh-tokoh fiqh agung yang berjasa mengintegrasikan fiqih Islam dan meninggalkan khazanah luar biasa yang menjadi landasan kokoh bagi setiap ulama fiqih sampai sekarang.
Sebenarnya periode ini adalah kelanjutan periode sebelumnya, karena pemikiran-pemikiran di bidang fiqh yang diwakili mazhab ahli hadis dan ahli ra’yu merupakan penyebab timbulnya mazhab-mazhab fiqh, dan mazhab-mazhab inilah yang mengaplikasikan pemikiran-pemikiran operasional. Ketika memasuki abad kedua Hijriah inilah merupakan era kelahiran mazhab-mazhab hukum dan dua abad kemudian mazhab-mazhab hukum ini telah melembaga dalam masyarakat Islam dengan pola dan karakteristik tersendiri dalam melakukan istinbat hukum
Kelahiran mazhab-mazhab hukum dengan pola dan karakteristik tersendiri ini, tak pelak lagi menimbulkan berbagai perbedaan pendapat dan beragamnya produk hukum yang dihasilkan. Para tokoh atau imam mazhab seperti Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i, Ahmad bin Hanbal dan lainnya, masing-masing menawarkan kerangka metodologi, teori dan kaidah-kaidah ijtihad yang menjadi pijakan mereka dalam menetapkan hukum. Metodologi, teori dan kaidah-kaidah yang dirumuskan oleh para tokoh dan para Imam Mazhab ini, pada awalnya hanya bertujuan untuk memberikan jalan dan merupakan langkah-langkah atau upaya dalam memecahkan berbagai persoalan hukum yang dihadapi baik dalam memahami nash al-Quran dan al-Hadis maupun kasus-kasus hukum yang tidak ditemukan jawabannya dalam nash.
Metodologi, teori dan kaidah-kaidah yang dirumuskan oleh para imam mazhab tersebut terus berkembang dan diikuti oleh generasi selanjutnya dan ia -tanpa disadari- menjelma menjadi doktrin (anutan) untuk menggali hukum dari sumbernya. Dengan semakin mengakarnya dan melembaganya doktrin pemikiran hukum di mana antara satu dengan lainnya terdapat perbedaan yang khas, maka kemudian ia muncul sebagai aliran atau mazhab yang akhirnya menjadi pijakan oleh masing-masing pengikut mazhab dalam melakukan istinbat hukum.
Teori-teori pemikiran yang telah dirumuskan oleh masing-masing mazhab tersebut merupakan sesuatu yang sangat penting artinya, karena ia menyangkut penciptaan pola kerja dan kerangka metodologi yang sistematis dalam usaha melakukan istinbat hukum. Penciptaan pola kerja dan kerangka metodologi tersebut inilah dalam pemikiran hukum Islam disebut dengan ushul fiqh.
Sampai saat ini Fiqih ikhtilaf terus berlangsung, mereka tetap berselisih paham dalam masalah furu’iyyah, sebagai akibat dari keanekaragaman sumber dan aliran dalam memahami nash dan mengistinbatkan hukum yang tidak ada nashnya. Perselisihan itu terjadi antara pihak yang memperluas dan mempersempit, antara yang memperketat dan yang memperlonggar, antara yang cenderung rasional dan yang cenderung berpegang pada zahir nash, antara yang mewajibkan mazhab dan yang melarangnya.
C.   Mazhab Masyhur
Berkembangnya dua aliran ijtihad rasionalisme dan tradisionalisme telah melahirkan mazhab-mazhab fiqih islam yang mempunyai metodologi kajian hukum serta fatwa-fatwa fiqih tersendiri, dan mempunyai pengikut dari berbagai lapisan masyarakat. Dalam sejarah pengkajian hukum islam dikenal beberapa madzhab fiqih yang secara umum terbagi dua, yaitu madzhab sunni dan madzhab syi’ah. Di kalangan Sunni terdapat beberapa madzhab, yaitu hanafi, maliki, syafi’i dan hambali. Sedangkan di kalangan syiah terdapat dua madzhab fiqih, yaitu Zaidiyah dan Ja’fariah. Namun yang masih berkembang kini hanyalah madzhab Ja’fariah dan Syi’ah Imamiyah.
Disini hanya akan dijelaskan pada mazhab-mazhab fiqh dari golongan sunni seperti berikut ini.
E.     Mazhab Hanafi
Mazhab Hanafi ialah salah satu mazhab fiqh dalam Islam Sunni. Mazhab ini didirikan oleh Imam Abu Hanifah yang bernama lengkap Abu Hanifah bin Nu'man bin Tsabit Al-Taimi Al-Kufi, dan terkenal sebagai mazhab yang paling terbuka kepada ide modern. Mazhab ini diamalkan terutama sekali di kalangan orang Islam Sunni Mesir, Turki, anak-benua India, Tiongkok dan sebagian Afrika Barat, walaupun pelajar Islam seluruh dunia belajar dan melihat pendapatnya mengenai amalan Islam. Mazhab Hanafi merupakan mazhab terbesar dengan 30% pengikut.
Madzhab Hanafi berkembang karena kegigihan murid-muridnya menyebarkan ke masyarakat luas, namun kadang-kadang ada pendapat murid yang bertentangan dengan pendapat gurunya, maka itulah salah satu ciri khas fiqih Hanafiyah yang terkadang memuat bantahan gurunya terhadap ulama fiqih yang hidup di masanya.
Ulama Hanafiyah menyusun kitab-kitab fiqih, diantaranya Jami’ al-Fushulai, Dlarar al-Hukkam, kitab al-Fiqh dan qawaid al-Fiqh, dan lain-lain. Dasar-dasar Madzhab Hanafi adalah :

Metodologi Fiqh Abu Hanifah

Dasar-dasar Abu Hanifah dalam Menetapkan suatu hukum fiqh bisa dilihat dari urutan berikut:
  1. Al-Qur'an
  2. Sunnah, dimana beliau selalu mengambil sunnah yang mutawatir/masyhur. Beliau mengambil sunnah yang diriwayatkan secara ahad hanya bila rawi darinya tsiqah.
  3. Pendapat para Sahabat Nabi (Atsar)
  4. Qiyas
  5. Istihsan
  6. Ijma' para ulama
  7. Urf masyarakat muslim
Murid imam Abu Hanifah yang terkenal dan yang meneruskan pemikiran-pemikirannya adalah : Imam Abu Yusuf al-Ansharg, Imam Muhammad bin al-Hasan al-Syaibani, dll.

F.     Mazhab Maliki

Mazhab Maliki (bahasa Arab: مالكية) adalah satu dari empat mazhab fiqih atau hukum Islam dalam Sunni. Dianut oleh sekitar 15% umat Muslim, kebanyakan di Afrika Utara dan Afrika Barat. Mazhab ini didirikan oleh Imam Malik bin Anas atau bernama lengkap Malik bin Anas bin Malik bin Abi Amirul Ashbani.
Mazhab ini berpegang pada :
1.                  Al-Qur'an
2.                  Hadits Rasulullah
3.                  Ijma' ahlul MadinahQiyas
4.                  Istilah
Mazhab ini kebanyakan dianut oleh penduduk Tunisia, Maroko, al-Jazair, dan Mesir Atas. Mazhab ini menjadi dasar hukum Arab Saudi.

G.    Mazhab Syafi'i

Mazhab Syafi'i (bahasa Arab: شافعية , Syaf'iyah) adalah mazhab fiqih yang dicetuskan oleh Muhammad bin Idris asy-Syafi'i atau yang lebih dikenal dengan nama Imam Syafi'i.[1][2] Mazhab ini kebanyakan dianut para penduduk Mesir bawah, Arab Saudi bagian barat, Suriah, Indonesia, Malaysia, Brunei, dan Bahrain.

Dasar-dasar

Madzhab fiqih as-Syafi’i merupakan perpaduan antara madzhab Hanafi dan madzhab Maliki. Ia terdiri dari dua pendapat, yaitu qaul qadim (pendapat lama) di Irak dan qaul jadid di Mesir. Madzhab Syafi’i terkenal sebagai madzhab yang paling hati-hati dalam menentukan hukum.
Dasar-dasar Mazhab Syafi'i dapat dilihat dalam kitab ushul fiqh Ar-Risalah dan kitab fiqh al-Umm. Di dalam buku-buku tersebut Imam Syafi'i menjelaskan kerangka dan prinsip mazhabnya serta beberapa contoh merumuskan hukum far'iyyah (yang bersifat cabang). Dasar-dasar mazhab yang pokok ialah berpegang pada hal-hal berikut.
1.      Al-Quran, tafsir secara lahiriah, selama tidak ada yang menegaskan bahwa yang dimaksud bukan arti lahiriahnya. Imam Syafi'i pertama sekali selalu mencari alasannya dari Al-Qur'an dalam menetapkan hukum Islam.
2.      Sunnah dari Rasulullah SAW kemudian digunakan jika tidak ditemukan rujukan dari Al-Quran. Imam Syafi'i sangat kuat pembelaannya terhadap sunnah sehingga dijuluki Nashir As-Sunnah (pembela Sunnah Nabi).
3.      Ijma' atau kesepakatan para Sahabat Nabi, yang tidak terdapat perbedaan pendapat dalam suatu masalah. Ijma' yang diterima Imam Syafi'i sebagai landasan hukum adalah ijma' para sahabat, bukan kesepakatan seluruh mujtahid pada masa tertentu terhadap suatu hukum; karena menurutnya hal seperti ini tidak mungkin terjadi.
4.      Qiyas yang dalam Ar-Risalah disebut sebagai ijtihad, apabila dalam ijma' tidak juga ditemukan hukumnya. Akan tetapi Imam Syafi'i menolak dasar istihsan dan istislah sebagai salah satu cara menetapkan hukum Islam.

H.    Mazhab Hambali

Mazhab Hambali / Imam Ahmad bin Hanbal dicetuskan oleh Ahmad bin Muhammad Hanbal bin Hilal. Dasar-dasarnya yang pokok ialah berpegang pada :
  1. al-Qur-an
  2. Hadits marfu'
  3. Fatwa sahabat dan mereka yang lebih dekat pada al-Qur-an dan hadits, di antara fatwa yang berlawanan
  4. Hadits mursal
  5. Qiyas
Mazhab ini dianut kebanyakan penduduk Hejaz, di pedalaman Oman dan beberapa tempat sepanjang Teluk Persia dan di beberapa kota Asia Tengah.
D.   Pengertian Taqlid
Taqlid menurut bahasa berasal dari bahasa Arab yaitu qalada, yuqalidu, taqlidan, yang berarti mengulangi, meniru dan mengikuti. Para ulama ushul memberikan defenisi taqlid dengan “mengikuti pendapat seseorang mujtahid atau ulama tertentu tanpa mengetahui sumber dan cara pengambilan pendapat tersebut. Orang yang bertaqlid disebut mukallid.
          Dari defenisi di atas terdapat dua unsur yang perlu diperhatikan dalam pembicaraan taqlid, yaitu:
a.       Menerima atau mengikuti suatu perkataan seseorang
b.      Perkataan tersebut tidak diketahui dasarnya, apakah ada dalam Al-Qur’an dan hadits tersebut.

Defenisi taqlid menurut para ahli ushul fiqih:
Taqlid menurut Imam Al-Ghazali dalam Al-Mustasyfa adalah :
“Taqlid adalah menerima suatu perkataan dengan tidak ada hujjah. Dan tidak ada taqlid itu menjadi jalan kepada pengetahuan (keyakinan), baik dalam urusan ushul maupun dalam urusan furu’.”
Al-Asnawi dalam kitab Nihayat Al-Ushul mendefinisikan:
“Mengambil perkataan orang lain tanpa dalil”
 Ibnu Subki dalam kitab Jam’ul jawami mendefinisikan:
“Taqlid adalah mengambil suatu perkataan tanpa mengetahui dalil”.
Contoh taqlid: Seseorang yang mengikuti Umar bin Khattab dalam melaksanakan shalat tarawih 20 rakaat, tetapi dia tidak mengetahui alasan yang dijadikan dasar oleh Umar.
Macam-Macam Taqlid dan Hukumnya
Bentuk taqlid tidak terlepas dari empat macam, yaitu:
a.    Taklid orang awam pada orang awam.
b.      Taklid seorang mujtahid pada orang awam.
Dua macam taklid ini dilarang menurut kesepakatan ulama akan tetapi mereka membolehkan seorang ‘alim yang belum mencapai tingkat mujtahid untuk berfatwa dengan pendapat imam yang diikutinya atau imam mujtahid lainnya.
c.   Taklid seorang mujtahid kepada mujtahid lainnya. Terdapat banyak pendapat sekitar hukum taklid macam ini :
    • Boleh secara mutlak, menurut pendapat Imam Ibnu Hambal.
    • Dilarang secara mutlak, menurut pendapat pilihan Imam Baidlowi.
    • Boleh apabila muqqalid (yang mengikuti) lebih rendah derajatnya. Ini pendapat Muhammad bin Al Hasan.
    • Boleh bertaklid pada mujtahid yang lebih alim, dengan syarat si muqallid tidak mampu berijtihad dalam masalah yang ditaqlid. Ini pendapat Ibnu Suraidj.
d.   Taklid orang awam pada mujtahid. Jumhur Ulama membolehkan macam pendapat keempat ini walaupun muqallid termasuk ulama yang belum sampai derajat mujtahid.
Para ulama bersilang pendapat sekitar ruang lingkup seorang awam dibolehkan bertaklid pada mujtahid. Sebagian berpendapat bahwa seseorang bebas bertaklid pada mujtahid siapa saja, baik itu dari sahabat atau bukan. Menurut sebagian lain, orang hanya bertaklid pada lainnya, dengan alasan bahwa madzhab empat ini memiliki aturan tertentu dan dikenal pokok-pokok madzhab ini telah berusaha keras menerangkan, menjelaskan dan menguraikan hukum yang ditetapkannya. Hal ini tidak memiliki oleh madzhab selain yang empat ini.
Hubungan Taklid dengan Mazhab
Dengan munculnya berbagai mazhab, umat islam cenderung memilih taklid. Sebab melonjaknya taklid adalah :
a.      Imam-imam telah berhasil memilih murid-murid yang kelak akan menyebarluaskan madzhabnya. Murid-murid ini amat dipercaya ilmunya dan diakui ketangguhannya di bidang fiqh dan ijtihad. Mereka berhasil menanamkan pada jumhur bahwa dasar/landasan madzhab amat kokoh mencakup semua aspek kehidupan dan mengandung setiap terapi yang dibutuhkan manusia guna menyelesaikan problem mereka. Hal ini mengakibatkan timbulnya kebencian akan adanya madzhab baru, bahkan menurut pandangan orang dianggap keluar dari jama’ah dan memecah belah kesatuan ummat Islam.
b.      Dibukukannya madzhab-madzhab. Barangkali pembukuan hukum-hukum yang ditetapkan setiap madzhab mengundang lemahnya kemauan berijtihad, karena orang-orang bisa mendapatkan hukum yang ingin diketahuinya dari buku tersebut, dan merasa cukup dengan buku kumpulan hukum tersebut.
c.       Lowongan kerja di bidang tasyri’ dibatasi hanya untuk pendukung madzhab tertentu saja. Contohnya di bidang peradilan dan pendidikan.
d.      Peradilan pada periode pertama berjalan menurut pilihan pendapat para ahli fiqh yang diambil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah atau dengan ijtihad sendiri bila tidak ada nash. Setelah munculnya madzhab-madzhab lainnya, maka peradilan pun terbatas pada para fuqaha madzhab yang didukung penguasa, terkadang syafi’i, Hanafi atau lainnya.
e.       Lowongan kerja di bidang peradilan dibatasi hanya untuk mendukung pendukung madzhab saja. Pembatasan ini mengakibatkan orang-orang berpaling dari ijtihad dan lebih suka bertaklid pada madzhab-madzhab fiqh yang didukung demi mendapat jabatan di bidang peradilan dan pengajaran atas restu penguasa.

E.   Perkembangan Pemikiran Hukum Pada Masa Kejumudan
Para ulama tidak sekaligus meninggalkan ijtihad, melainkan berangsur-angsur karena itu dapatlah kita membedakan antara masa sebelum pertengahan abad 7 hijriyah (tahun 656 H) yaitu masa ketika jatuhnya kerajaan Abasiyyah di Baghdad dengan terbunhnya al Mu’tashim, dengan masa sesudahnya. Dalam masa itulah para ulama menghadapkan dirinya kepada taqlid.
Para imam telah meninggalkan warisan yang begitu berharga dan sangat besar, yaitu hukum-hukum yang diperlukan oleh kejadian-kejadian. Pemerintah pun dalam menetapkan seseorang untuk menjadi hakim dan mufti dan kedudukan lainnya mengambil dari orang-orang yang mengikuti madzhab, baik di Timur maupun di Andalus dan Maghribi. Para fuqaha’ masa taqlid itu sepakat meninggalkan ijtihad, adakala karena aneka ragam fatwa yang bersimpang siur tak terkendalikan lagi, yang menyebabkan para fuqaha’ menjauhkan diri dari ijtihad, dan adakala karena sudah malas untuk berijtihad, dan adakalanya pula memang pahamnya sudah tertumbuk pada pendapat bahwa pintu ijtihad sudah tertutup. Mulai saat itu fiqh Islam sudah bercerai dari sifat amaliyah yang praktis berpindah berjalan pada cara yang teoritis yang jauh dari segi-segi praktek kehidupan, dan merupakan bentuk yang membeku, tidak mau menampung masalah yang hidup dalam kehidupan umat.
Dalam pada itu, dalam masa ini masih terdapat fuqaha’ yang mempunyai pembahasan-pembahasan yang berharga dan kadang-kadang mereka menyalahi pendapat-pendapat imam. Dan pada masa itu masih terdapat mujtahid muqayyad atau mujtahid madzhab. Juga para fuqaha’ pada masa itu ada yang memberikan illat-illat hukum yang dikemukanan oleh para imam dan menampung kaidah-kaidah serta mentarjihkan pendapat-pendapat yang berbeda-beda dari para imam dalam sesuatu masalah
Ringkasnya, masa ini adalah masa menyusun fiqh secara menetapkan masalah-masalahnya yang baru, menurut dasar yaang telah ditancapkan oleh imam-imam mereka dan mentarjihkan menguatkan suatu pendapat dari pendapat yang berbeda-beda.
F.    Perkembangan Pemikiran Hukum Pasca Kejumudan
Pada pertengahan abad ke-13, muncul upaya reformasi (pembaharuan) untuk melepaskan diri dari taklid di kalangan umat Islam. Usaha ini timbul setelah kaum muslimin sadar akan kelemahan dan kemunduran mereka akibat perselisihan di kalangan umat Islam sendiri. Di pihak lain ada juga usaha-usaha non muslim yang ikut menyokong kehancuran umat Islam. Bersamaan dengan itu banyak Negara-negara Islam ditundukkan Barat di bawah kekuasaannya.
Dalam pada itu, dunia pada umumnya, terutama barat yang semula jauh ketinggalan dibandingkan dengan dunia Islam, mulai maju dengan pesatnya ilmu pengetahuan dan teknologi yang mereka capai. Peradapan yang dahulu berada di tangan kaum muslimin, beralih ke Barat. Mereka telah mengemukakan masa keemasannya.
Kemajuan di kalangan Barat, sekaligus keberhasilan mereka dalam menguasai peradaban dunia ketika itu tidak terlepas dari faktor utamanya, yakni semangat berfikir rasional mereka, yang disebut juga pengejawantahan dari semangat Yunani.
Umat Islam merasa tergugah kembali untuk meraih kembali kesuksesan yang pernah diraihnya itu. Kebangkitan umat Islam muncul di Turki dan Mesir yang memulai usaha-usaha dalam bidang pendidikan. Di Mesir, pada awal abad ke-13 H, Muhammad Ali Pasya tampil untuk memajukan ilmu pengetahuan, kemudian dilanjutkan oleh al-Tahtawi, dengan usaha penerjemahan buku-buku baru serta penerbitan berbagai surat kabar dan majalah ilmu pengetahuan.
Mesir juga berusaha keras untuk menguasai ilmu-ilmu pengetahuan modern. Mahasiswa-mahasiswa mesir dibiayai untuk belajar di negeri barat, saat itu dikirim mahasiswa tidak kurang dari 300 mahasiswa di Itali, Perancis, Inggris dan Austria. Sekembali dari negeri Barat itu, mereka melihat situasi di negerinya jauh ketinggalan dengan negeri-negeri Barat. Maka para pemuda Islam yang terdidik itu berusaha membangkitkan dunia Islam ke arah peradaban modern. Mereka dilengkapi berbagai metode dan strategi untuk menyesuaikan syari’at Islam dengan pandangan dunia.
Dalam rangka usaha-usaha pembaharuan Islam, para ulama berusaha untuk menafsirkan kembali sumber-sumber tasyri’. Hal ini diambil karena para mufassir terdahulu sebagian besar terpengaruh dongeng-dongeng israiliyat dan Nasraniyat, karena banyak orang Yahudi dan Nasrani yang masuk Islam.
Sebagai upaya menghadapi tantangan zaman yang serba modern, para mujadid menafsirkan al-qur’an dengan disesuaikan perkembangan zaman, juga menghindarkan diri dari dongeng Israiliyaht dan Nasraniyat. Maka pada abad 14 H lahirlah aliran baru dalam menafsirkan al-qur’an seperti aliran al-Manar yang dipelopori oleh Jamaludin al-afghani (1315 H), Muhammad Abduh (1323 H) dan muridnya M. Rasyid Ridha.
Dalam penafsiran ini Muhammad Abduh senantiasa berusaha mencari persesuaian antar al-Qur’an tidak mungkin mengandung ajaran-ajaran yang berlawanan dengan hakikat ilmu. Bahkan, al-Qur’an mencakup ilmu pengetahuan modern di abad yang akhir ini. Pemikiran Abduh terutama dalam bidang hukum Islam, diinspirasi oleh pemikiran Ibnu Taimiyah. Ia membagi ruang lingkup agama ke dalam dua bidang besar, yaitu ibadah dan mu’amalah. Beliau juga menganjurkan agar tidak terikat kepada madzhab tertentu. Sikap semacam ini dilatarbelakangi oleh luasnya wawasan Abduh dalam hukum Islam. Ia berani mengambil berbagi keputusan hukum secara bebas dan penuh tanggungjawab. Hal ini nampak dari setiap keputusannya ketika ia menjadi mufti di Mesir.
Cita-cita pembaharuan Abduh kemudian ditindak lanjuti oleh muridnya, Sayyid Muhmmad Rasyid Ridha. Titik tolak pembaharuan Ridha berpangkal pada segi keagamaan, yaitu tuntutan adanya kemurnian ajaran Islam, baik dari segi akidah maupun amaliyahnya. Ajaran Islam yang murni inilah yang akan membawa kemajuan umat Islam. Itulah sebabnya bid’ah, khurafat dan segala ajaran yang menyimpang harus disingkirkan.
Adapun tafsir yang menitikberatkan kepada ayat-ayat tasryri’ ialah tafsir al-Qurtubi, abu Bakar al-Arabi, Abu Bakar al-Janash dan tafsir Shidiq Hasan Khan yang dikenal dengan tafsir ulama tasyri’. Di samping itu, para mujadid juga berusaha menafsirkan sunah Rasul disesuaikan dengan laju peradaban modern, sehingga sumber-sumber tasyri’ yang pokok itu tetap menjadi pegangan pembuat undang-undang di zaman mutakhir.
Dalam mewujudkan pembaharuan dan pembentukan hukum ini, para mujadid tidak terikat pada salah satu madzhab. Mereka mengambil pendapat dari berbagai ulama ahli hukum yang lebih sesuai dengan kemaslahatan umat dan masyarakat di alam modern. Sikap seperti ini dikenal dengan istilah “talfiq” (meramu), yakni mengamalkan suatu hukum furu’ yang dzonni menurut ketentuan dua madzhab atau lebih. Misalnya, seseorang bertanya kepada ulama Malikiyah tentang batal wudlu karena keluar darah. Maka ulama itu mengatakan tidak batal. Kemudian orang itu bertanya kepada ulama Hanafiyah tentang batal wudlu karena menyentuh kemaluan. Maka ulama itu menyatakan bahwa wudlunya tidak batal. Apabila orang itu mengamalkan fatwa itu di dalam wudlunya, yakni beriktikad wudlunya tidak sah pula menurut ulama hanafiyah karena mengeluarkan darah, maka orang demikian telah mengamalkan talfiq.
Dalam masalah boleh tidaknya talfiq, terdapat beberapa pendapat. Al-Ghozali, al-syatibi, al-Jalal Mahalli mengharamkannya secara mutlak. Ulama lainnya, seperti Ibnu al-Athar, Ibnu Humma Abu Ishak al-Marwani membolehkannya. Pendirian tersebut berpegang kepada firman Allah: “Allah menghendaki kelonggaran bagimu” (Al-Baqarah: 185).
Usaha ulama yang lain adalah berkaitan dengan kemurnian tasyri’ islam dari bid’ah dan khurafat. Bid’ah dapat diartikan menjalani syariat yang tidak sesuai dengan ajaran Allah dan sunah Rasulullah, baik dengan cara mengurangi maupun menambah ketentuan yang telah ditetapkan oleh nash. Khurafat diartikan sebagai keyakinan atau i’tikad yang menyalahi kehendak al-Qur’an dan sunah Rasulullah.
Dalam memperbaharui tasyri’ Islam, para mujtahid berusaha untuk memurnikan tasyri’ Islam dari bid’ah dan khurafat, umatnya tidak akan mengalami kemajuan apalagi kejayaan sebagaimana yang dialami pada masa Rasulullah dan masa sahabat. Tokoh terkenal yang menentang bid’ah dan khurafat adalah Abu Al-Wahhab di Saudi Arabia dan Syekh Waliyullah al-Dahlawi dari India. 

Sumber : 

http://id.wikipedia.org/wiki/Mazhab
http://ismenalghifary.blogspot.com/2010/06/makalah-usul-fiqh-tentang-mazhab.html
http://ibnuumar-amz.blogspot.com/2009/04/sejarah-munculnya-mazhab-dan-dasar.html
http://restuandrian.blogspot.com/2011/12/pengertian-dan-hukum-taqlid.html
http://cahkene-wahyulyananta.blogspot.com/2010/03/pembaharuan-pemikiran-hukum-islam-pasca.html
xa.yimg.com/kq/groups/23319787/1725306251/name/MAZHAB

Tidak ada komentar:

Kisah Mata Air Keabadian

Kisah ini diriwayatkan oleh Ats-Tsa’labi dari Imam Ali ra. Pada zaman dahulu hiduplah seorang hamba Allah SWT yang melebihkan kepada d...