Mari kita
kembali kepada apa yang diketahui sebagai metode ilmiah juga seperti yang
sekarang dipergunakan dalam investigasi atau penelitian ilmiah dan juga dalam
berpikir reflektif pada kehidupan sehari-hari kita. Belakangan kita bisa menanyakan
apakah metode ini dapat digunakan dalam filsafat, dan jika bisa apakah metode
ini dapat digunakan dalam filsafat, dan jika bisa apakah jalan ini yang terbaik
atau hanya sekedar metode semata. Dewey dalam buku kecilnya How We think, telah memberi kita satu
pembahasan yang jelas tentang prosedur berpikir reflektif. Berpikir reflektif
dimulai ketika ada beberapa persoalan yang sukar untuk dipecahkan atau sulit
untuk ditemukan, seperti ketika, menempuh jalan asing seperti dialami oleh
seorang musafir atau pelancong yang datang ketempat di mana terdapat
persimpangan jalan. Dia akan berpikir meskipun jika dia tidak pernah melakukan
kegiatan berpikir sebelumnya. Kemudian dia akan memutuskan jalan mana yang akan
di tempuh. Ini adalah persoalan kecil tetapi filsafat menawari kita persoalan
yang lebih besar namun metode pemecahannya sama.
Pertama kita
harus menganlisa situasi dengan hati-hati dan mengumpulkan semua fakta yang
berhubungan dengannya, selama itu bisa kita kumpulkan. Kemudian kita harus adil
dan jujur serta tanpa menyertakan prasangka apa pun dalam pengamatan kita tentang berbagai fakta. Upaya mengeliminasi
pada kesamaan dan persamaan personal, pilihan dan perasaan kita, pada suka dan
ketidaksukaan kita dan pada sistem religius dan tradisional kita ini sangat
sulit. Kegagalan dalam mengamati ini merupakan sumber kerusakan dalam banyak
kasus berfilsafat pada zaman lampau. Prasangka telah menyesatkan kita dalam
berpikir reflektif tentang kehidupan sehari-hari kita dan telah menyebabkan
juga banyaknya kesalahan dalam sain. Tidak ada kemajuan dalam sain atau
filsafat dapat dibuat jika kita sendiri mengerjakan lebih dulu beberapa teori
yang diidam-idamkan.
Dalam kehidupan
sehari-hari ketika beberpa masalah menghadirkan dirinya sendiri, kita mungkin
jatuh kembali dalam kebiasaan atau budaya lama dalam mengambil keputusannya. Sebagian
besar dari kita telah memiliki beberapa “sistem” yang sudah jadi. Kita juga
biasanya memiliki beberapa koleksi pavorit tentang gagasan yang telah kita
lupakan dari tradisi, pusaka sosial, partai politik, gereja, mesjid, ulama atau
berharap dari beberapa buku yang telah menekan kita dalam-dalam dan dari
beberapa “gerakan” baru dalam puisi, fiksi popular, mungkin juga dari sebuah sinetron
keren (impressive) dalam layar kaca lantas kita memecahkan dengan bergitu saja
masalah yang mengacau dan menyulitkan dengan hanya merujuk pada sistem ini. Hal
ini sangat mungkin bahwa dalam cara kita memecahkan atau menyelesaikan
pertanyaan dan persoalan, kita akan dengan kuat dipengaruhi oleh perasaan
personal, harapan dan dorongan kita. Beberapa kerumitan emosional (“emotional complex”) akan menentukan
pertanyaan bagi kita.
Di dalam
filasafat dan sain pemikiran reflektif kita harus dibebaskan dari berbagai
kesalahan “sistem” ini dan berbagai kepentingan subjektif, sebagaimana Francis
Bacon menyebut mereka itu merupakan idola atau berhala (idols) gua, teater, pasar atau kesukuan. Kebebasan dari prasangka
ini merupakan sesuatu yang ideal karena sangat susah untuk direalisasikan.
Di dalam
filsafat sikap tidak memihak ini secara keseluruhan tetap lebih sulit dibanding
di dalam sain meskipun beberapa dari kita mencapainya. Tetapi sejauh ini
mungkin semua persoalan apakah dalam filsafat atau dalam sain harus di dekati
dengan semangat minat ilmiah yang asli yang motifnya adalah mempertajam hasrat
atau dorongan untuk mengetahui yaitu keinginan tahu secara ilmiah yang
sungguh-sungguh nyata.