Penyelidikan
Ontologis
Dalam sejarah filsafat
paling awal, para pemikir mengawali dengan menanyakan bahwa dasar yang
menjadikan dunia. Pertanyaan berikutnya, bisakah semua yang ada di alam semesta
ini diperinci kembali ke dalam beberapa bentuk “ada” yang paling dasar, menjadi
beberapa realitas tertinggi seperti materi, energi atau pikiran? Hal ini adalah
masalah kuna tentang kenyataan (Reality),
atau persoalan tentang “ada” (Being).
Istilah teknis untuk penyelidikan ini disebut Ontologi. Istilah ini berasal
dari dua kata dalam bahasa Yunani yang berarti ilmu tentag yang “ada” (the science of being) Ilmu ini
menghadirkan kembali pencarian bagi ditemukannya prinsip pertama (the first principle).
Manusia memang menyukai
untuk senantiasa menyederhanakan segala sesuatu hingga sampai pada beberapa
kesatuan hingga sampai pada beberapa kesatuan akhir atau bahan yang paling
dasar.
Jika kita percaya bahwa
kita telah berhasil menemukan satu kesatuan yang paling akhir maka kita
menyebut teori tentang realitas seperti ini adalah pandangan monistik atau
Monisme saja. Istilah ini berasal dari bahasa Yunani yang berarti tunggal, satu
atau sendiri. Jika kita sekarang percaya bahwa hanya ada satu realitas
tertinggi dan bahwa realitas tersebut adalah materi maka kita menyebut
pandangan ini adalah monisme materialistic atau hanya materialism saja.
Sebaliknya jika kita sampai pada kesimpulan bahwa realitas tertinggi yang satu
itu bukan materi tetapi pikiran, spirit atau semangat ruhaniah, kita menyebut
pandangan ini adalah monisme spiritualitas atau spiritualisme saja. Terkadang
pandangan ini disebut juga dengan idealisme.
Barangkali kita tidak
berhasil memecahkan atau memerinci kembali kesatuan dunia ke dalam satu
substansi dasar dan akan menemukan bahwa ternyata ada dua bentuk “ada” yang
paling tinggi yaitu pikiran dan materi. Jika memang demikian “ada” nya maka
kita bisa menyebut teori ini sebagai dualism, berasal dari bahasa Latin yang
artinya dua.
Terakhir, dan ini
sangat-sangat mungkin, bahwa kenyataan atau realitas itu tidak bisa
disederhanakan ke dalam dua bentuk
tertinggi tetapi justru ada lebih dari dua, bahkan banyak. Lantas teori kita
tentang realitas ini disebut dengan pluralism. Nyatalah bahwa kita mengalami
banyak kesulitan dalam memecahkan persoalan ontologis ini dengan banyaknya
jawaban yang tidak cukup memuaskan. Tetapi manusia selalu ingin tahu tentang
realitas tertinggi, ya setidaknya kita bisa mempelajari berbagai pandangan
tentang realitas tadi dari para filsuf terdahulu, yang akan diuraikan kemudian.
Monisme
Setidaknya ada tiga
macam teori monisme yang muncul secara menonjol dalam sejarah filsafat. Ketiga
teori tersebut berturut-turut adalah, idealism dan netralisme.
Di antara sekian banyak
filsuf Yunani, materialisme ini mempunyai banyak pencetusnya dan pada zaman
modern juga mempunyai banyak pendukungnya. Seperti misalnya Democritus dan
Lucretius yang dengan yakin mengatakan bahwa dunia dapat disederhanakan kepada
unsure-unsur materi. Sementara hukum-hukum atas elemen material tersebut
dirumuskan oleh Haeckel. Doktrin materialisme mengatakan bahwa pada akhirnya
hanya ada satu realitas yaitu materi. Pikiran yang Descartes pertahankan
sebagai sama tinggi kedudukannya dengan materi dan tidak bergantung kepada
materi, bagi seorang materialis tiada lain merupakan fungsi tertinggi dari
materi, jika ada sebuah benda yang memikirkan semuanya (a thinking thing).
Dunia dalam analisa terakhir materialisme merupakan materi yang beroperasi di
bawah hukum-hukum yang ilmu fisika nyatakan kepada kita.
Idealisme juga
mengatakan bahwa realitas atau kenyataan itu satu. Kenyataan yang ada itu satu
spirit. Bagi kaum idealis, materi adalah suatu gambaran atau bentuk terbaik
dari pikiran. Dunia “materi” itu ada tetapi merupakan kenampakan dari pikiran
itu sendiri. Dunia yang para fisikawan bicarakan itu, seperti yang Eddington
katakana dalam, The Nature of The Physical Wordl, adalah sebuah “dunia
baying-bayang”. Apa yang betul-betul ada, dalam analisa terakhir idealism
adalah hakekat pikiran. Memang seorang idealis akan menyangkal kalau penafsiran
mekanis atas dunia itu hanya ditafsirkan dengan satu cara. Alam semesta
bukanlah sesuatu yang sama sekali secara mekanis betul-betul rumit dan zalim,
di mana nilai-nilai agama dan aspirasi moral itu ada tetapi berupa khayalan
bodoh saja; dengan demikian alam semesta tak lebih hanya merupakan suatu
realitas kehidupan dinamis yang menjamin suatu kebermaknaan kosmik atas usaha
manusia dan menafsirkan dunia dalam cahaya nilai-nilai spiritual.
Masih ada tipe ketiga
monisme yang kita sebut netralisme yang mengatakan bahwa realitas itu bukan
berupa pikiran dan juga bukan berupa materi tetapi suatu jenis bahan dasar yang
menyebabkan materi atau pikiran itu menampakkan diri dan membentuk diri.
Spinoza adalah gambaran terbaik atas tipe semacam ini. Bagi Spinoza, ada satu
kenyataan atas realitas yang dia sebut dengan substansi, dan dunia dalam
berbagai aspeknya itu ada tetapi hanya mode-modenya dan atribut-atributnya.
Apa yang Descartes sebut pikiran dan
materi itu masing-masing ada, bagi Spinoza hanyalah satu substansi yang
memiliki dua atribut, yakni dua jalan di mana substansi yang memiliki dua
atribut, yakni di mana substansi itu
nampak. Apa yang dikatakan pikiran dalam satu sudut pandang tertentu
adalah materi dalam sudut pandang lain. Mereka tidak betul-betul jelas tetapi
hanya seperti itulah rupanya.
Dualisme
Dualisme merupakan
suatu pandangan tentang realitas yang paling mudah untuk dipahami. Barangkali
karena pandangan dualisme ini, merupakan keyakinan yang paling popular,
setidaknya di Amerika, di mana tradisi filsafatnya yang diturunkan dari sekolah
Scottish yang menganjurkan memakai pandangan ini. Dualisme adalah teori bahwa
pikiran dan materi itu adalah dua kenyataan fundamental dalam dunia dan antara
satu terhadap yang lainnya tidak bisa saling menyederhanakan. Orang-orang
primitif dan orang modern nampaknya sangat biasa untuk membedakan antara
pikiran dengan tubuh secara tajam bahwa masing-masing merupakan kenyataan
tertinggi. Orang-orang primitif sering keliru dalam membedakan tubuh dan jiwa,
jiwa walaupun barangkali tidak dianggap sebagai materi tetapi dianggapi sejenis
yang menduplikasikan tubuh atau menaungi khayalan tentang tubuh dan bisa berada
di dalam tubuh dan bisa meninggalkan tubuh dan mungkin menghantui kuburan tubuh
setelah meninggal kelak.
Thales dan orang-orang
lonia pengikutnya, walaupun nampaknya mereka telah menjadi penganut Monisme,
telah menyederhanakan realitas dengan air, atau api, tetap saja percaya bahwa
benda-benda material ini bersatu padu dengan kehidupan atau dengan suatu
prinsip yang menghidupi dan paling tinggi yang membuat perubahan dan
pertumbuhan itu mungkin terjadi. Empedocles menganggap api, air, bumi, dan
udara sebagai sumber dan akar dari segala sesuatu. Dia masih juga menambahkan,
pasti ada dua sumber lain yang lebih berkarakter spiritual dan mental yaitu
cinta dan benci. Benci itulah yang kelak bertindak sebagai sebab-sebab
terjadinya perubahan. Anaxagoras merumuskan bahwa di samping dunia atom ada
sesuatu yang dia sebut Nous (Noύs)
atau Akal yaitu sebuah realitas abadi yang ada bersama-sama dengan
elemen-elemen lain. Filsafat abad pertengahan juga bersifat dualistik,
mengikuti Saint Agustine yang mengatakan bahwa manusia merupakan kesatuan
antara tubuh dengan jiwa, dan jiwa adalah sesuatu yang immaterial dan sebuah
substansi abadi.
Dualisme Metasifis
Pandangan dualistik
dalam dunia modern saat ini sangat kuat, seolah memperpanjang malam dengan api
unggun, pandangan ini memperoleh pertumbuhannya yang pesat dalam filsafat
Descartes yaitu orang yang disebut-sebut sebagai bapak filsafat modern. Ia
menulis Meditation yang diterbitkan dalam bahasa Perancis dan latin pada
pertengahan abad ke 17 dan mempunyai pengaruh besar atas cara berpikir
orang-orang modern kita ini. Ajaran Descartes mengatakan bahwa di dunia ini ada
dua kenyataan yang jenisnya berbeda (substansi) yaitu akal dan keluasan atau
sebagaimana biasa kita pahami adalah sebagai pikiran dan benda-materi. Seluruh
dunia fisik termasuk tubuh binatang dan manusia merupakan substansi keluasan
yaitu materi-benda atau masa yang dibangun dan digerakkan secara mutlak oleh
hukum-hukum mekanis. Materi mendasari gerakan dalam dunia fisik. Binatang
terendah hanya bersifat mekanis saja. Binatang pada umumnya tidak memiliki
jiwa, dia hanya tubuh-materi benda saja. Tidak demikian dengan manusia, karena
dalam tubuh-keluasan-benda materialnya ada sebuah substansi yang berpikir, jiwa
abadi, yang selalu dalam keadaan terus berpikir.
Dualisme metafisik yang
mutlak dan pasti, seperti yang dipikirkan oleh Descartes tersebut, kini
memiliki dukungan sejumlah tokoh filsafat. Sekarang ini, kita sangat tidak
menyukai menggunakan kata substansi, baik ketika mengacu kepada benda-benda
material maupun mental. Pada dunia fisik kita menyebut ada berbagai energy dan
dalam dunia mental ada berbagai proses. Kita juga selalu mencari beberapa
prinsip kesatuan dan kontinuitas atau evolusi, juga asumsi tentang dua unsure
dasar jenis realitas yang secara keseluruhan berbeda dan satu sama lain saling
bersifat terpisah namun kini kurang mendapat sambutan lagi. Filsafat modern
seperti ini nampak sedikit dogmatis dengan memperluas (generalisasi) atau
membagi alam semesta ke dalam dua wilayah terpisah satu sama lain. Kita
senantiasa mencoba mengatasi dualisme dan menemukan satu ketimbang dua bentuk tertinggi
tentang yang ada atau pengada; sepertinya kini lebih cocok mengungkap satu
kenyataan tertinggi di dunia dan satuan keberagamaan. (a plurarity of entities). Konsekuensinya walaupun saat ini,
dualisme, mungkin harus tetap dipakai, pandangan dunia monistik maupun
pluralistik di dalam ontologi lebih bisa diterima secara umum. Di sisi lain
ironisnya, banyak persoalan dalam psikologi dan epistemology muncul sekarang
ini, justru dengan menerima konsep pemisahan kenyataan tertinggi dan pembedaan
antara jasmani dan rohani.
Pluralisme
Tipe ketiga teori
metafisika, mengatakan bahwa dunia bukanlah sesuatu yang sangat sederhana.
Dunia tidak bisa direduksi ke dalam satu atau pun dua denominator. Realitas
dunia itu bermacam-macam dan sebuah kekeliruan jika menganalisis tentangnya
dengan mereduksi sekumpulan alam semesta ke dalam dua atau satu kenyataan.
Pandangan ini diungkapkan oleh sejumlah filsuf Yunani kuna juga modern.
Empedocles contohnya, mungkin bisa dikatakan seorang plurali ketika dia
mengatakan bahwa realitas tertinggi itu adalah sesuatu yang bisa
dipisah-pisahkan ke dalam tanah, udara, api dan air. Plato juga adalah seorang
pluralistik dalam arti ini. Bagi dia ada banyak kenyataan yaitu ide-ide,
berbaga bentuk, berbagai prinsip dan berbagai hukum. Non-being yang dia
katakannya pun merupakan kenyataan.
Pada zaman modern
bentuk-bentuk lain pluralism telah banyak diusulkan. William James mungkin
merupakan tokoh protagonist yang paling terkenal dalam filsafat pluralistik.
Filsafat
Kejiwaan
Selanjutnya, kita akan
menemukan satu rangkaian penyelidikan yang paling mendesak (urgent) dan paling
mendalam yaitu penyelidikan tentang kejiwaan atau hal-hal yang sifatnya
ruhaniah. Kita akan berusaha menyelidiki dan mengetahui apa yang dimaksud
dengan pikiran? Apakah pikiran tersebut berbeda dengan jiwa atau spirit? Kita
betul-betul ingin mengetahui tentang kesadaran, diri dan personalitas.
Bagaimana jiwa berhubungan dengan tubuh? Apakah persoalan (lama) tentang
kehendak bebas (the Freedom of the Will)
telah diselesaikan? Apakah pada akhirnya jiwa itu ada atau bisa menjadi abadi?
Semua pertanyaan di
atas nampaknya akan menjadi sebuah penyelidikan psikologi karena mereka berhubungan
dengan psike atau jiwa. Studi tentang kejiwaan menjadi menarik dan meluas, pertama-tama karena bahwa jiwa
dan pikiran telah menjadi pokok persoalan sain empiris khususnya yang setia
dengan investigasi proses mental. Itulah sebabnya disiplin psikologi cocok
untuk sain ini. Di dalam filsafat pertanyaannya lebih tinggi dan lebih luas dan
masih belum terjamah oleh sain psikologi.
Dapatkah jiwa memahami
dirinya sendiri?
Persoalan jiwa,
pikiran, dan ruh sebenarnya merupakan persoalan yang mencengangkan. Sains
memulai dari hal yang sederhana sampai ke hal yang kompleks atau rumit.
Bintang-bintang begitu jauh dari perhatian manusia dan merupakan objek pertama
studi di Assyria dan Mesir Kuno. Pada awalnya, para astronom betapa tidak
berkepentingan untuk mempelajari berbagai proses halus pikiran dan kejiwaan
yang mereka miliki sendiri. Lalu setelah astronomi, muncul matematika dan
fisika, pada zaman yang lebih modern muncul lagi kimia dan biologi, terakhir
sain yang paling sulit dari semua sain yaitu psikologi dan sosiologi.
Semua sain merupakan
ciptaann pikiran manusia tetapi tentang pikiran itu sendiri, baru pada sains
terakhir bisa diungkap, diketahui dan dimengerti disbanding dengan semua sain
yang telah ada. Dapatkah pikiran mengetahui dan memahami dirinya sendiri?
Akankah membayangkannya sebagaimana usahanya yang mencerminkan supremasi yang
luar biasa atas berbagai penyelidikan. Ini berarti, penyelidikan seperti ini
berada dalam pusat perhatian di antara para ilmuwan dan barangkali berbagai hal
telah berada dalam usaha pemecahannya.
Berbagai definisi awal
tentang filsafat kejiwaan
Berikutnya, kita akan
membedakan istilah-istilah pikiran (mind)
dengan kesadaran (consciousness).
Kita mungkin menemukan bahwa kata pikiran, jiwa dan spirit benar-benar memiliki
arti yang tidak sama. Demi kepentingan penyederhanaan kita akan menentukan
titik keberangkatan tentang kenyataan kehidupan terdalam atas pengalaman. Tentu
saja kata-kata ini tidak sama, untuk pikiran dan mental diusulkan sebagai
konsep tindakan intelektual. Sementara jiwa dan psikis kerap kali disebut
sebagai unsure vital dan emosional. Kadang-kadang, ketika kita berpikir tentang
pikiran sebagai sesuatu yang bisa dipisahkan dari tubuh, kita gunakan kata
spirit. Bentuk ajektif dari konsep spiritual melahirkan bidang pengkajian
nilai-moral dan agama.
Sejarah filsafat
kejiwaan
Satu hal yang orang
miliki ketika berniat belajar filsafat adalah mengharapkan dengan segera
terpecahkannya persoalan tentang jiwa atau pikiran dan berbagai takdirnya.
Hasilnya mungkin sangat mengecewakan, bagaimanapun juga untuk mempelajari pikiran sebagai hal yang paling
penting dari semua pertanyaan filsafat ternyata masih jauh dari penyelesaian.
Dengan kata lain kenyataan ini akan terus terdorong untuk mengetahui bahwa
kemajuan luar biasa yang telah dicapai dalam dua puluh tahun terakhir justru
baru membuka seluk-beluk berbagai misteri paling ruwet dari persoalan kejiwaan
ini, sekalipun begitu persoalan ini tetap saja masih menjadi yang paling
menarik dari semua persoalan-persoalan filsafat. Walaupun penyelidikan tentang
jiwa akan betul-betul menjadi tugas kita (mahasiswa filsafat), namun kata
‘jiwa’, dalam psikologi, kini lebih kaya penggunaannya dibanding beberapa waktu
kebelakang.
Orang-orang primitif
berpikir tentang jiwa sebagai sejenis bayangan atas imajinasi atau replica dari
tubuh. Barangkali mereka menganggap seperti asap atau tarikan nafas yang
meninggalkan tubuh selama tidur dan mungkin hidup terus setelah tubuh mengalami
kematian. Filsafat dan sastra Yunani meresap bersama dengan gagasan tentang
jiwa, yang dalam bahasa Yunani disebut pscyche
dengan membawa sebuah konotasi yang kaya tentang hidup, jiwa dan kesadaran.
Para filsuf awal Yunani percaya dalam hakekat ke-Ilahian dan setiap yang
bernyawa, pada dasarnya imanen, seperti nampak pada manusia sebagai jiwa,
sumber kehidupan dan kecerdasan. Pandangan ini terungkap dalam doktrin
Heraclitus, seorang pemikir yang mengatakan bahwa jiwa merupakan asap yang
berapi-api identik dengan api-jiwa vital dan rasional alam semesta. Sains
Yunani mengalami puncaknya pada Democritos yang memproklamirkan bahwa semua
benda-benda fisk faktanya tersusun atas berbagai atom material, dalam interaksi
mekanis, dan ia filsuf yang percaya bahwa jiwa juga merupakan atom-atom halus
yang mengerubuti tubuh.
Teori
pengetahuan
Sebelum kita
memantapkan diri mencari pokok pembahasan ini dalam berfilsafat, kita akan
menemukan begitu banyak kesulitan dan keraguan yang begitu mendalam. Kita
selanjutnya akan menuntaskan kembali bahwa kita akan mulai dengan berpikir,
apakah mungkin pikiran manusia mampu mendapatkan pengetahuan yang
sungguh-sungguh benar? Apakah kesempatan paling besar di dapatnya pengetahuan
itu melalui beberapa “fakultas” akal? Dari sini kita akan dipaksa masuk ke
dalam studi tentang teori pengetahuan, atau yang disebut dengan epistemology.
Barangkali beberapa
pembaca akan berpikir bahwa kita sejak awal seharusnya mulai dengan persoalan
ini dan yakin kelak akan menjadi semacam suatu aturan logis yang melandasi cara
berfilsafat. Tetapi teori tentang pengetahuan merupakan pokok pembahasan sulit
dan jika dibahas lebih dulu bisa menghalau kita dari studi filsafat yang
sesungguhnya. Artinya kita seolah-olah bisa menduga begitu saja bahwa pikiran
manusia telah memiliki kemampuan untuk mencapai pengetahuan yang
sungguh-sungguh benar, dan pengetahuan yang sungguh-sungguh nyata seperti ini
ditawarkan pada kita dalam sain khusus. Namun demikian secara umum, memiliki
iman, kepercayaan dan keyakinan lebih baik daripada menempatkan skeptisme
(faham yang mengatakan bahwa tidak ada pengetahuan yang benar) sebagai titik
keberangkatannya. Akhirnya, kita bisa bertanya tentang sumber dan validitas
atau keabsahan sebuah pengetahuan manusia.
Sumber-sumber
pengetahuan
Salah satu persoalan
epistemologis tertua berhubungan dengan sumber-sumber pengetahuan. Kita semua
memiliki “kedai” atau “tubuh” pengetahuan, misalnya, seperti dunia di sekita
kita, pikiran kita sendiri, prinsip-prinsip matematika, yang benar dan salah,
serta kebaikan dan kecantikan. Karena itu muncul pertanyaan, dari mana kita
mendapatkan pengetahuan semacam ini? Nilai dan kebenarannya mungkin sangat
bergantung kepada sumber-sumbernya. Di sini, kita menginginkan masing-masing
pengetahuan, sedikit menunjukkan semacam surat mandatnya.
Dalam sejarah filsafat,
biasanya kita mengatakan bahwa semua pengetahuan sampai kepada kita melalui
tiga atau empat cara. Dalam bahasa tradisional epistemologi, pengetahuan itu,
satu, pasti bersifat bawaan atau dating dari rasio. Kedua, ada yang mengatakan
bahwa pengetahuan datang melalui panca indera khusus, yaitu penglihatan,
pendengaran, tekanan, rasa, penciuman, suhu, ketegangan. Terakhir, ada yang
berpendapat bahwa pengetahuan pasti datang dari pengalaman langsung atau
intuisi. Satu kajian psikologi yang lebih akurat dan sebuah uraian logika yang
lebih akurat dan sebuah uraian logika yang lebih modern, telah berhasil
membentuk minat dan perhatian epistemologi, dengan melihat “sumber-sumber”
pengetahuan. Pengetahuan bukanlah sesuatu yang datang dalam suatu paket
sehingga bisa dilacak sumber-sumber otentiknya; gagasan bukanlah satu kesatuan
yang sudah terbangun dalam pengetahuan; tidak ada fakultas rasio yang menjamin
adanya semacam kesuian ilahiah atas ucapan-ucapan ilmuwan. Dan sejak zaman
Locke, sedikit orang, jika ada, percaya tentang ide bawaan (innate ideas).
Watak bawaan, kecenderungan, minat, cara mereaksi, cukup banyak kita miliki,
tetapi tetap saja tidak ada pengetahuan yang sudah jadi.
Cara yang lebih baik
untuk memahami teori pengetahuan, yaitu melalui studi genetis atas sebuah
persoalan, yakni mulai dengan sikap dan perilaku organisme makhluk hidup yang
paling sederhana terhadap lingkungan sekitarnya. Pertama bahwa peristiwa
merupakan respon atas sejumlah stimulus yang dibarengi dengan kesadaran
sederhana. Memang, ini bukan yang pertama yang membuat keduanya terjadi.
Peristiwa pertama yang terjadi adalah organisme itu sendiri, dan minat bawaan
yang menggerakannya. Maka hal yang sangat mula-mula kita lihat adalah bagaimana
tidak bermaknanya teori sensasionalisme atau empirisme murni. Empirisme
mengatakan bahwa semua pengetahuan datang dari sensai atau pengalaman, seperti
diungkapkan Locke bahwa pikiran itu seperti tablet putih, yang mana hanya
kesan-kesan inderawilah yang merekamnya. Ungkapan ini, sebenarnya sama tidak
bermaknanya dengan rivalnya yang menurunkan pengetahuan dari kemampuan rasio.
Memang bentuk paling
sederhana dari pengetahuan bakal menjadi semata-mata kesadaran, seperti halnya
sebuah organisme menangkap atau menyerang suatu objek yang mengganggunya.
Secepat kilat, ketika suatu organisme mulai merespon suatu rangsangan lalu
kemudian merespon khususnya sebuah situasi, situasi tersebut mulai memiliki
makna; situasi tersebut bisa merupakan perhatian, harapan, ancaman, yang
kemudian dihindari. Memang sebuah hubungan yang muncul, bisa disebut dengan
“perjalanan” (acquaintance). Lalu bahasa datang dengan menamai berbagai hal dan
peristiwa, berbagai istilah abstrak, berbagai klasifikasi, putusan dan
pernyataan serta berbagai alasan dan pemikiran.
Menyertakan subjek
secara psikologis dengan cara seperti ini, kita bisa lihat bahwa tidak ada
kemampuan yang disebut rasio yang dengan sabda dewa mudah mendapatkan sesuatu
yang disebut dengan pengetahuan, seperti yang rasionalisme ajarkan; juga tidak
ada hukum-hukum, a priori transcendental atas pikiran yang mensyaratkan
pengalaman, sebagaimana apriorisme ajarkan. Di sisi lain juga tidak ada, apa
yang disebut dengan sesuatu yang dengan penginderaan sederhana dianggap sama
dengan satuan-satuan pengetahuan yang dapat dikombinasikan atau dikukuhkan ke
dalam tubuh pengetahuan. Selanjutnya, apa yang kita miliki adalah sebuah
organisme dengan minat yang dalam dan dengan kecenderungan mengeksplorasi
sebuah dunia yang bermusuhan dan bersahabat serta berinteraksi dengan
lingkungannya. Hasilnya adalah pengalaman; dan pengalaman ini mungkin
tersimpan, tergambar dalam situasi baru dan khusus, kemudian situasi ini diberi
pemahaman, dikontrol dan akhirnya dimiliki. Teranglah, situasi ini merupakan
pengalaman yang tersimpan (funded experience) yang kita sebut dengan
pengetahuan, kemudian diklasifikasikan, diungkapkan dalam bahasa serta di susun
ke dalam laporan ilmiah. Pengetahuan adalah pengalaman yang dirasionalisir,
sehingga terorganisis. Di sini, untuk sementara Empirisme dan rasionalisme
mengesampingkan rivalitas sejarah mereka dan berpegangan tangan dengan
bersahabat.
John Dewey dan
asosiasinya telah mencerahkan kita tidak sedikit, tentang kenyataan yang
sungguh-sungguh alamiah tentang pengetahuan dengan mempelajarinya melalui
tahap-tahap genetis. Berhubungan dengan Ini Dewey mengatakan:
…… Pengetahuan bukanlah
sesuatu yang terpisah dan mengalami kecukupan diri tetapi meliputi di dalamnya
proses di mana kehidupan berkembang dan berlanjut terus-menerus. Panca indera
tidak menempatkan mereka sebagai pintu gerbang pengetahuan demi meraih
kebenaran sebagai sebuah rangsangan atas suatu tindakan. Bagi seekor binatang
suatu afeksi atas mata atau pendengaran bukanlah suatu lembaran kosong dari
informasi tentang sesuatu dengan cara membedakan peristiwa di dunia tetapi
lebih merupakan sebuah undangan dan rangsangan untuk bertindak dalam keadaan
yang sangat diperlukan. Ini merupakan petunjuk dalam bertingkah laku, sebuah unsur
penunjuk dalam hidup beradaptasi dengan lingkungan sekitarnya. Ini merupakan
petunjuk dalam bertingkah laku, sebuah unsur penunjuk dalam hidup beradaptasi
dengan lingkungan sekitarnya. Ini merupakan hal yang mendesak hukum bersifat
kognitif dalam kualitas. Keseluruhan kontroveri antara empirisme dan
rasionalisme seperti nilai intelektual sensasi dirubah secara kuno sekali.
Diskusi tentang sensasi, di bawah tema stimulus dan respon dengan segera, tidak
termasuk dalam bidang pengetahuan …..
Seorang rasionalis
betul ketika menolak bahwa sensasi seperti itu merupakan unsur yang membenarkan
pengetahuan. Tetapi alasan yang dia berikan bagi kesimpulan dan konsekunsi ini,
dan semua yang dia gambarkan dari nya, salah. Sensasi bukanlah bagian dari
adanya sebuah pengetahua, baik atau buruk, superior atau inferior, lengkap atau
tidak lengkap. Mereka lebih merupakan provokasi, hasutan, pendorong atau suatu
tindakan penyelidikan yang berakhir dalam sebuah pengetahuan. Sensasi bukanlah
bagian cara mengetahui berbagai hal yang bernilai inferior menurut jalan
reflektif, yaitu suatu jalan yang membutuhkan pemikiran dan kesimpulan, karena
sensasi bukanlah cara atau jalan atas semua pengetahuan. Sensasi adalah
rangsangan bagi munculnya refleksi dan penarikan kesimpulan. Dengan cukup
mengganggu, mereka memunculkan pertanyaan: Apa yang terjadi? Apa persoalannya?
Apakah hubungan saya dengan lingkungan sekitar terguncang? Apa yang mesti
dilakukan dengan semua itu? Bagaimana saya akan merubah cara saya bertindak
untuk mempertemukan perubahan yang telah berada dalam lingkungan sekitar?
Bagaimana saya akan menyesuaikan kembali perilaku saya dalam merespon alam
sekitar? Sensasi dengan demikian, seperti para sensasionalis katakana, adalah
awal mula pengetahuan, tetapi hanya dalam arti bahwa seluruh guncangan
pengalaman atas berbagai perubahan memerlukan rangsangan dalam menginvestigasi
dan membandingkan berbagai peristiwa yang pada akhirnya menghasilkan
pengetahuan.
Pernyataan ini
menunjukkan dengan sangat jelas bagaimana pengetahuan itu muncul, dan kita
melihat bahwa pernyataan ini lebih baik diselidiki sebagai kondisi pengetahuan
daripada sebagai sumber-sumbernya. Kondisi-kondisi tersebut bersifat pribadi
dengan sejumlah minat bawaan tertentu, lingkungan di mana seseorang masuk ke
dalam suatu relasi, kecerdasan yang dapat mengumpulkan, menulis dengan huruf
besar, mengorganisasi pengalaman dan memperlakukan secara efektif situasi yang
rumit dan baru. Pengetahuan merupakan pengalaman yang terkumpulkan, tetapi
dalam mengumpulkan, berbagai aktivitas dan kekuatan mental memproses berbagai
hal yang sangat penting—memori, pemikiran, analisis konseptual, refleksi,
organisasi yang selektif, dan sintesis kreatif. Pengetahuan bukan sesuatu yang
lepas dari dunia yang telah jadi dalam bentuk impresi atau kesan, sebagaimana
sensasionalisme tua telah pikirkan; juga bukan hasil sulingan prinsip-prinsip pikiran
universal a priori tertentu
sebagaimana rasionalisme yang lebih tua telah pikirkan juga. Pengetahuan adalah
sebuah produk atau hasil interaksi antara seseorang dengan lingkungannya, di
mana kekuatan luar biasa atas orang tersebutlah yang merupakan faktor paling
menentukan. Karena pengetahuan tidak semestinya mengandaikan adanya a priori, dan kategori-kategori
super-empiris atau prinsip-prinsip pengetahuan.
Sebelumnya pengalaman individual itu memang ada, untuk meyakinkan,
kecenderungan bawaan tertentu tersebut dipelajari dalam proses evolusi melalui
kontak yang sesungguhnya dengan lingkungan. Di sini keberhasilan, sebenarnya
berhubungan erat dengan semua ini. Jika a
priori dipakai mengartikan kebiasaan rasial yang berkenaan dengan pengalaman
dan pengorganisasiannya, maka selanjutnya kita mungkin percaya bahwa dalam a priori itu telah mengunsur suatu
pengetahuan.
Keabsahan
pengetahuan
Bagian ini merupakan
persoalan ke dua dalam teori pengetahuan dan cukup berbeda dengan persoalan
pertama yang telah kita diskusikan. Persoalan ini bukan pertanyaan dari mana
pengetahuan kita berasal, tetapi apakah pengetahuan itu sah ketika kita
memperolehnya. Dalam bentuk umumnya persoalan ini adalah persoalan tentang
hubungan antara gagasan atau ide kita dengan kenyataan dunia. Persoalan
kebenaran dan keabsahan ini memperkenalkan kepada kita perdebatan terkenal
antara Realisme dengan Idealisme yang sekarang menyerang kita dalam berbagai
diskusi epistemologis. Dua istilah ini digunakan dalam arti yang berbeda dengan
istilah yang mereka gunakan dalam teori ontologi. Persoalan yang kini harus
kita diskusikan adalah secara tidak langsung mempertanyakan apakah dunia di
dalam dirinya sendiri merupakan kenyataan bebas dan jelas, atau apakah
kenyataan dunia itu hanya sekedar refleksi atas pikiran kita sendiri yaitu
suatu ide, persepsi, atau konstruksi mental. Untuk menunjuk pada keyakinan
pertama, dipakai kata Realisme, sedangkan yang terakhir digunakan istilah
Idealisme.
Idealisme
Idealisme sering
disebut dengan subjektivitas. Idealisme mengajarkan kepada kita bahwa dunia
adalah gagasanku. Idealisme nampaknya menolak semua metode yang terbiasa
berusaha memecahkan, tetapi selama menyelesaikan kesimpulan akhirnya oleh
Berkeley sendiri, idealisme tidak menimbulkan kejutan dan keganjilan apa pun.
Namun satu pertanyaan muncul mengapa idealisme benar-benar menjadi filsafat
yang sangat tidak bisa dikalahkan—apakah tidak mungkin mengajukan beberapa
asumsi yang mengandaikan di dalamnya ada sesuatu yang tidak perlu atau keliru.
Ada sebuah ‘pegangan’
mengenai keadaan bahaya jika ego dijadikan sebagai pusat segala sesuatu (the
ego-centric predicament), yang telah dimunculkan kembali oleh penulis zaman
sekarang. Ini tidak berarti bahwa, karena benda-benda yang saya ketahui itu ada
dalam suatu relasi kognitif dengan saya,
sebab benda-benda tersebut juga tidak ada jika tanpa relasi ini. Kami
mengatakan bahwa bunga ros atau sebuah pohon adalah gagasan saya, dan bahwa
segala sesuatu yang saya dekati dengan cara mengetahuinya, menjadi sesuatu yang
diketahui, yaitu sebuah ide (gagasan). Baiklah, jika itu benar, ini tidak
berarti bahwa bunga ros atau sebuah pohon bisa tidak ada dalam hubungan atau
relasi lain. Jika benar bahwa saya tidak bisa mengetahui apa pun tentang
benda-benda yang tidak dialami, ini tidak berarti bahwa tidak ada benda-benda
yang tidak bisa dialami. Mari kita buat pengandaian bahwa ada dunia realitas
atau kenyataan yang cukup bebas dari pengalaman manusia. Katakanlah dunia
material, dunia hakekat objek-objek, atau suatu dunia, seandainya kamu
membolehkan, pohon hijau, gunung coklat dan langit berwarna biru. Postulat
tersebut diperbolehkan. Lalu mari kita anggap bahwa organisme sensitif akan
mencapai, pikiran perseptif, sebagai katakanlah manusia berpikir. Mereka bisa
dengan yakin membuktikan keterangan mereka sendiri bahwa semua pohon dan gunung
dan objek lain hanya sekedar sebendel sensasi, atau setumpuk ‘data inderawi
yang beragam’. Tetapi hanya dengan satu hiptosis, kesimpulan ini akan menjadi
salah. Kita bisa saja membuat postulat lain bahwa ada kenyataan objektif dunia
yang terbebas dari persepsi kita. Sains biasanya membuat postulat ini, dan
dibuat dalam rangka mencapai hasil yang memuaskan. Sambil lalu hasilnya
dikonfirmasikan dengan pendapat umum.
Tetapi ada kesalahan
lebih serius yang mendasari keseluruhan teori kaum subjektivis, yaitu suatu
kesalahan fundamental seperti, mirip dengan penyebab perasaan dongkol yang bisa
dibebankan ke dalam banyak generasi mahasiswa filsafat. Kita kembali kepada
John Locke yang mengatakan bahwa pengetahuan merupakan persepsi yang cocok atau
tidak cocok atas dua gagasan. Misalnya pengetahuan bahwa bunga ros merah adalah
pengakuan adanya kesesuaian antara gagasan “bunga ros” dengan “merah”. Gagasan
Locke nampaknya menjadikan bahwa ada benda tertentu atau kesatuan tertentu
dalam pikiran, kemudian mensurvei gagasan ini dan mengakui kecocokan atau
ketidakcocokan mereka sebagaimana pengakuan adanya pengetahuan. Kesalahan ini
adalah kesalahan psikologis dan telah merusak epistemologi. Dalam psikologi
modern kesalahan ini terabadikan melalui adanya kesalahpahaman yang muncul
dalam penggunaan istilah-istilah seperti sensasi, keadaan pikiran (states of mind), keadaan kesadaran (state of consciousness) di mana benda-benda
yang menarik secara subjektif ini hanya membingungkan jika dibandingkan dengan
makna kualitas pada objek-objeknya. Lantas warna merah pada bunga ros, biru
pada langit, dan cokelat pada gunung lebih disebut sebagai sensasi atau keadaan
mental atau keadaan sadar, daripada disebut sebagaimana mereka seharusnya
katakana, yaitu kualitas objek-objek.
Ketika kita
mendiskusikan sumber-sumber pengetahuan, kita memindahkan banyak kesulitan dan
membawa kepada semacam pemahaman umum Realisme. Pengetahuan bukan pengakuan
atau kecocokan atau ketidak cocokan anta ride, tetapi pengalaman langsung atas
benda-benda. Pemahaman ini muncul dalam interaksi antara organisme yang
mempersepsi dengan benda-benda yang dipersepsi/diterima. Dalam bentuk paling
sederhana, situasi ini merupakan semata-mata kesadaran atas sebuah objek.
Sebuah amuba misalnya, melakukan kontak dengan sesuatu yang mungkin atau tidak
mungkin diperoleh untuk mendapatkan makanan. Amuba memiliki pengalaman dan
pengetahuan. Yakinlah, tidak ada sesuatu yang sangat misterius tentang
pengetahuan ketika kita memandangnya dengan cara seperti ini—dan ini pasti
meliputi tidak hanya subjek yang mempersepsi tetapi juga sebuah objek yang
dipersepsi. Ini mengandaikan bahwa ada dunia eksternal dengan organisme yang mempersepsi,
yaitu dunia yang betul-betul nyata, memiliki kualitas nyata pula, hadir dengan
kulaitasnya tadi sebelum ia diketahui, dan ketika mengetahui ia berada dalam
relasi baru—sebuah relasi dengan pikiran yang mengetahui.
Sekarang, dalam kasus
pengetahuan manusia, kita memiliki lingkungan yang kompleks berinteraksi dengan
organisme kompleks juga dan karakter pengetahuan seperti ini ditentukan oleh
hakekat keduanya. Karena organisme yang cerdas di dalam dirinya sendiri
merupakan keadaan yang sangat kompleks, sejumlah organ panca indera penerima
tertentu yang terbatas (mestinya hanya semacam rangsangan tertentu);
menggunakan rangsangan ini terutama, tidak sebagai pintu gerbang kepada
pengetahuan, tetapi sebagai perangsang tindakan; menyajikan kekuatan memori dan
menambah unsur-unsur sekumpulan gambaran (associative) atas apa yang diberikan
dalam indera persepsi; serta menampilkan kebutuhan khusus dengan suka dan tidak
suka, akan memunculkan satu pertanyaan, apakah pengetahuan yang mirip dengan
sebuah organisme yang mempunyai lingkungannya sendiri merupakan pengetahuan
yang akurat.
Karena memunculkan satu
diskusi di mana literature epistemologi telah dibenamkan; missal, tentang
pengalaman khayalan, kebenaran, kesalahan, dan perbedaan antara kualitas
sekunder dengan kualitas primer maka tidak mengherankan seandainnya kita masih
mendengar bahwa tongkat lurus terlihat bengkok di dalam air, dan rel kereta api
yang pararel terlihat bertemu. Dengan demikian kualitas sekunder tidak hanya
milik benda-benda, tetapi juga pikiran. Namun demikian hukum cahaya akan
menjelaskan mengapa tongkat yang lurus nampak bengkok dalam air dan mengapa rel
yang paralel nampak bertemu; dan kini banyak orang yang merasa tidak perlu
memikirkannya untuk memandang sebagai subjektif seperti kualitas warna dan
suara, tetapi hanya untuk mengingatkan bahwa kualitas berbeda atas objek-objek
dibuka di bawah kondisi yang berbeda. Barangkali pemecahan paling sederhana
atau persoalan kuno ini adalah yang terbaik.
Kita mungkin masih
percaya bahwa dunia yang kita ketahui—dunia objek-objek yang ada dalam ruang
dan waktu, dunia hubungan penyebaban, dunia tentang warna dan suara, maupun
dunia proporsi dan keindahan—bukan dunia yang kita ciptakan dalam pengetahuan,
atau diubah oleh manusia yang mengetahui, tetapi sebuah dunia yang ada
sepanjang masa sekaligus kita ciptakan, maka orang bisa mengetahui. Lalu dunia
objektif, sungguh-sungguh nyata dan pengetahuan kita tentangnya benar meskipun
sebagian; dan pengetahuan yang benar tentang dunia ini secara konstan
diperlukan oleh penerapan metode investigasi ilmiah.
Sumber
: Buku Filsafat