Senin, 25 Agustus 2014

Filsafat I Penyelidikan Ontologis I Monisme I Dualisme I Pluralisme



Penyelidikan Ontologis

Dalam sejarah filsafat paling awal, para pemikir mengawali dengan menanyakan bahwa dasar yang menjadikan dunia. Pertanyaan berikutnya, bisakah semua yang ada di alam semesta ini diperinci kembali ke dalam beberapa bentuk “ada” yang paling dasar, menjadi beberapa realitas tertinggi seperti materi, energi atau pikiran? Hal ini adalah masalah kuna tentang kenyataan (Reality), atau persoalan tentang “ada” (Being). Istilah teknis untuk penyelidikan ini disebut Ontologi. Istilah ini berasal dari dua kata dalam bahasa Yunani yang berarti ilmu tentag yang “ada” (the science of being) Ilmu ini menghadirkan kembali pencarian bagi ditemukannya prinsip pertama (the first principle). 

Manusia memang menyukai untuk senantiasa menyederhanakan segala sesuatu hingga sampai pada beberapa kesatuan hingga sampai pada beberapa kesatuan akhir atau bahan yang paling dasar.

Jika kita percaya bahwa kita telah berhasil menemukan satu kesatuan yang paling akhir maka kita menyebut teori tentang realitas seperti ini adalah pandangan monistik atau Monisme saja. Istilah ini berasal dari bahasa Yunani yang berarti tunggal, satu atau sendiri. Jika kita sekarang percaya bahwa hanya ada satu realitas tertinggi dan bahwa realitas tersebut adalah materi maka kita menyebut pandangan ini adalah monisme materialistic atau hanya materialism saja. Sebaliknya jika kita sampai pada kesimpulan bahwa realitas tertinggi yang satu itu bukan materi tetapi pikiran, spirit atau semangat ruhaniah, kita menyebut pandangan ini adalah monisme spiritualitas atau spiritualisme saja. Terkadang pandangan ini disebut juga dengan idealisme.

Barangkali kita tidak berhasil memecahkan atau memerinci kembali kesatuan dunia ke dalam satu substansi dasar dan akan menemukan bahwa ternyata ada dua bentuk “ada” yang paling tinggi yaitu pikiran dan materi. Jika memang demikian “ada” nya maka kita bisa menyebut teori ini sebagai dualism, berasal dari bahasa Latin yang artinya dua.

Terakhir, dan ini sangat-sangat mungkin, bahwa kenyataan atau realitas itu tidak bisa disederhanakan ke dalam  dua bentuk tertinggi tetapi justru ada lebih dari dua, bahkan banyak. Lantas teori kita tentang realitas ini disebut dengan pluralism. Nyatalah bahwa kita mengalami banyak kesulitan dalam memecahkan persoalan ontologis ini dengan banyaknya jawaban yang tidak cukup memuaskan. Tetapi manusia selalu ingin tahu tentang realitas tertinggi, ya setidaknya kita bisa mempelajari berbagai pandangan tentang realitas tadi dari para filsuf terdahulu, yang akan diuraikan kemudian. 

Monisme 

Setidaknya ada tiga macam teori monisme yang muncul secara menonjol dalam sejarah filsafat. Ketiga teori tersebut berturut-turut adalah, idealism dan netralisme.

Di antara sekian banyak filsuf Yunani, materialisme ini mempunyai banyak pencetusnya dan pada zaman modern juga mempunyai banyak pendukungnya. Seperti misalnya Democritus dan Lucretius yang dengan yakin mengatakan bahwa dunia dapat disederhanakan kepada unsure-unsur materi. Sementara hukum-hukum atas elemen material tersebut dirumuskan oleh Haeckel. Doktrin materialisme mengatakan bahwa pada akhirnya hanya ada satu realitas yaitu materi. Pikiran yang Descartes pertahankan sebagai sama tinggi kedudukannya dengan materi dan tidak bergantung kepada materi, bagi seorang materialis tiada lain merupakan fungsi tertinggi dari materi, jika ada sebuah benda yang memikirkan semuanya (a thinking thing). Dunia dalam analisa terakhir materialisme merupakan materi yang beroperasi di bawah hukum-hukum yang ilmu fisika nyatakan kepada kita.

Idealisme juga mengatakan bahwa realitas atau kenyataan itu satu. Kenyataan yang ada itu satu spirit. Bagi kaum idealis, materi adalah suatu gambaran atau bentuk terbaik dari pikiran. Dunia “materi” itu ada tetapi merupakan kenampakan dari pikiran itu sendiri. Dunia yang para fisikawan bicarakan itu, seperti yang Eddington katakana dalam, The Nature of The Physical Wordl, adalah sebuah “dunia baying-bayang”. Apa yang betul-betul ada, dalam analisa terakhir idealism adalah hakekat pikiran. Memang seorang idealis akan menyangkal kalau penafsiran mekanis atas dunia itu hanya ditafsirkan dengan satu cara. Alam semesta bukanlah sesuatu yang sama sekali secara mekanis betul-betul rumit dan zalim, di mana nilai-nilai agama dan aspirasi moral itu ada tetapi berupa khayalan bodoh saja; dengan demikian alam semesta tak lebih hanya merupakan suatu realitas kehidupan dinamis yang menjamin suatu kebermaknaan kosmik atas usaha manusia dan menafsirkan dunia dalam cahaya nilai-nilai spiritual.

Masih ada tipe ketiga monisme yang kita sebut netralisme yang mengatakan bahwa realitas itu bukan berupa pikiran dan juga bukan berupa materi tetapi suatu jenis bahan dasar yang menyebabkan materi atau pikiran itu menampakkan diri dan membentuk diri. Spinoza adalah gambaran terbaik atas tipe semacam ini. Bagi Spinoza, ada satu kenyataan atas realitas yang dia sebut dengan substansi, dan dunia dalam berbagai aspeknya itu ada tetapi hanya mode-modenya dan atribut-atributnya. Apa  yang Descartes sebut pikiran dan materi itu masing-masing ada, bagi Spinoza hanyalah satu substansi yang memiliki dua atribut, yakni dua jalan di mana substansi yang memiliki dua atribut, yakni di mana substansi itu  nampak. Apa yang dikatakan pikiran dalam satu sudut pandang tertentu adalah materi dalam sudut pandang lain. Mereka tidak betul-betul jelas tetapi hanya seperti itulah rupanya.

Dualisme

Dualisme merupakan suatu pandangan tentang realitas yang paling mudah untuk dipahami. Barangkali karena pandangan dualisme ini, merupakan keyakinan yang paling popular, setidaknya di Amerika, di mana tradisi filsafatnya yang diturunkan dari sekolah Scottish yang menganjurkan memakai pandangan ini. Dualisme adalah teori bahwa pikiran dan materi itu adalah dua kenyataan fundamental dalam dunia dan antara satu terhadap yang lainnya tidak bisa saling menyederhanakan. Orang-orang primitif dan orang modern nampaknya sangat biasa untuk membedakan antara pikiran dengan tubuh secara tajam bahwa masing-masing merupakan kenyataan tertinggi. Orang-orang primitif sering keliru dalam membedakan tubuh dan jiwa, jiwa walaupun barangkali tidak dianggap sebagai materi tetapi dianggapi sejenis yang menduplikasikan tubuh atau menaungi khayalan tentang tubuh dan bisa berada di dalam tubuh dan bisa meninggalkan tubuh dan mungkin menghantui kuburan tubuh setelah meninggal kelak.

Thales dan orang-orang lonia pengikutnya, walaupun nampaknya mereka telah menjadi penganut Monisme, telah menyederhanakan realitas dengan air, atau api, tetap saja percaya bahwa benda-benda material ini bersatu padu dengan kehidupan atau dengan suatu prinsip yang menghidupi dan paling tinggi yang membuat perubahan dan pertumbuhan itu mungkin terjadi. Empedocles menganggap api, air, bumi, dan udara sebagai sumber dan akar dari segala sesuatu. Dia masih juga menambahkan, pasti ada dua sumber lain yang lebih berkarakter spiritual dan mental yaitu cinta dan benci. Benci itulah yang kelak bertindak sebagai sebab-sebab terjadinya perubahan. Anaxagoras merumuskan bahwa di samping dunia atom ada sesuatu yang dia sebut Nous (Noύs) atau Akal yaitu sebuah realitas abadi yang ada bersama-sama dengan elemen-elemen lain. Filsafat abad pertengahan juga bersifat dualistik, mengikuti Saint Agustine yang mengatakan bahwa manusia merupakan kesatuan antara tubuh dengan jiwa, dan jiwa adalah sesuatu yang immaterial dan sebuah substansi abadi.  

Dualisme Metasifis

Pandangan dualistik dalam dunia modern saat ini sangat kuat, seolah memperpanjang malam dengan api unggun, pandangan ini memperoleh pertumbuhannya yang pesat dalam filsafat Descartes yaitu orang yang disebut-sebut sebagai bapak filsafat modern. Ia menulis Meditation yang diterbitkan dalam bahasa Perancis dan latin pada pertengahan abad ke 17 dan mempunyai pengaruh besar atas cara berpikir orang-orang modern kita ini. Ajaran Descartes mengatakan bahwa di dunia ini ada dua kenyataan yang jenisnya berbeda (substansi) yaitu akal dan keluasan atau sebagaimana biasa kita pahami adalah sebagai pikiran dan benda-materi. Seluruh dunia fisik termasuk tubuh binatang dan manusia merupakan substansi keluasan yaitu materi-benda atau masa yang dibangun dan digerakkan secara mutlak oleh hukum-hukum mekanis. Materi mendasari gerakan dalam dunia fisik. Binatang terendah hanya bersifat mekanis saja. Binatang pada umumnya tidak memiliki jiwa, dia hanya tubuh-materi benda saja. Tidak demikian dengan manusia, karena dalam tubuh-keluasan-benda materialnya ada sebuah substansi yang berpikir, jiwa abadi, yang selalu dalam keadaan terus berpikir.

Dualisme metafisik yang mutlak dan pasti, seperti yang dipikirkan oleh Descartes tersebut, kini memiliki dukungan sejumlah tokoh filsafat. Sekarang ini, kita sangat tidak menyukai menggunakan kata substansi, baik ketika mengacu kepada benda-benda material maupun mental. Pada dunia fisik kita menyebut ada berbagai energy dan dalam dunia mental ada berbagai proses. Kita juga selalu mencari beberapa prinsip kesatuan dan kontinuitas atau evolusi, juga asumsi tentang dua unsure dasar jenis realitas yang secara keseluruhan berbeda dan satu sama lain saling bersifat terpisah namun kini kurang mendapat sambutan lagi. Filsafat modern seperti ini nampak sedikit dogmatis dengan memperluas (generalisasi) atau membagi alam semesta ke dalam dua wilayah terpisah satu sama lain. Kita senantiasa mencoba mengatasi dualisme dan menemukan satu ketimbang dua bentuk tertinggi tentang yang ada atau pengada; sepertinya kini lebih cocok mengungkap satu kenyataan tertinggi di dunia dan satuan keberagamaan. (a plurarity of entities). Konsekuensinya walaupun saat ini, dualisme, mungkin harus tetap dipakai, pandangan dunia monistik maupun pluralistik di dalam ontologi lebih bisa diterima secara umum. Di sisi lain ironisnya, banyak persoalan dalam psikologi dan epistemology muncul sekarang ini, justru dengan menerima konsep pemisahan kenyataan tertinggi dan pembedaan antara jasmani dan rohani.

Pluralisme

Tipe ketiga teori metafisika, mengatakan bahwa dunia bukanlah sesuatu yang sangat sederhana. Dunia tidak bisa direduksi ke dalam satu atau pun dua denominator. Realitas dunia itu bermacam-macam dan sebuah kekeliruan jika menganalisis tentangnya dengan mereduksi sekumpulan alam semesta ke dalam dua atau satu kenyataan. Pandangan ini diungkapkan oleh sejumlah filsuf Yunani kuna juga modern. Empedocles contohnya, mungkin bisa dikatakan seorang plurali ketika dia mengatakan bahwa realitas tertinggi itu adalah sesuatu yang bisa dipisah-pisahkan ke dalam tanah, udara, api dan air. Plato juga adalah seorang pluralistik dalam arti ini. Bagi dia ada banyak kenyataan yaitu ide-ide, berbaga bentuk, berbagai prinsip dan berbagai hukum. Non-being yang dia katakannya pun merupakan kenyataan.

Pada zaman modern bentuk-bentuk lain pluralism telah banyak diusulkan. William James mungkin merupakan tokoh protagonist yang paling terkenal dalam filsafat pluralistik.

Filsafat Kejiwaan

Selanjutnya, kita akan menemukan satu rangkaian penyelidikan yang paling mendesak (urgent) dan paling mendalam yaitu penyelidikan tentang kejiwaan atau hal-hal yang sifatnya ruhaniah. Kita akan berusaha menyelidiki dan mengetahui apa yang dimaksud dengan pikiran? Apakah pikiran tersebut berbeda dengan jiwa atau spirit? Kita betul-betul ingin mengetahui tentang kesadaran, diri dan personalitas. Bagaimana jiwa berhubungan dengan tubuh? Apakah persoalan (lama) tentang kehendak bebas (the Freedom of the Will) telah diselesaikan? Apakah pada akhirnya jiwa itu ada atau bisa menjadi abadi?

Semua pertanyaan di atas nampaknya akan menjadi sebuah penyelidikan psikologi karena mereka berhubungan dengan psike atau jiwa. Studi tentang kejiwaan menjadi menarik  dan meluas, pertama-tama karena bahwa jiwa dan pikiran telah menjadi pokok persoalan sain empiris khususnya yang setia dengan investigasi proses mental. Itulah sebabnya disiplin psikologi cocok untuk sain ini. Di dalam filsafat pertanyaannya lebih tinggi dan lebih luas dan masih belum terjamah oleh sain psikologi.

Dapatkah jiwa memahami dirinya sendiri?

Persoalan jiwa, pikiran, dan ruh sebenarnya merupakan persoalan yang mencengangkan. Sains memulai dari hal yang sederhana sampai ke hal yang kompleks atau rumit. Bintang-bintang begitu jauh dari perhatian manusia dan merupakan objek pertama studi di Assyria dan Mesir Kuno. Pada awalnya, para astronom betapa tidak berkepentingan untuk mempelajari berbagai proses halus pikiran dan kejiwaan yang mereka miliki sendiri. Lalu setelah astronomi, muncul matematika dan fisika, pada zaman yang lebih modern muncul lagi kimia dan biologi, terakhir sain yang paling sulit dari semua sain yaitu psikologi dan sosiologi.

Semua sain merupakan ciptaann pikiran manusia tetapi tentang pikiran itu sendiri, baru pada sains terakhir bisa diungkap, diketahui dan dimengerti disbanding dengan semua sain yang telah ada. Dapatkah pikiran mengetahui dan memahami dirinya sendiri? Akankah membayangkannya sebagaimana usahanya yang mencerminkan supremasi yang luar biasa atas berbagai penyelidikan. Ini berarti, penyelidikan seperti ini berada dalam pusat perhatian di antara para ilmuwan dan barangkali berbagai hal telah berada dalam usaha pemecahannya.

Berbagai definisi awal tentang filsafat kejiwaan

Berikutnya, kita akan membedakan istilah-istilah pikiran (mind) dengan kesadaran (consciousness). Kita mungkin menemukan bahwa kata pikiran, jiwa dan spirit benar-benar memiliki arti yang tidak sama. Demi kepentingan penyederhanaan kita akan menentukan titik keberangkatan tentang kenyataan kehidupan terdalam atas pengalaman. Tentu saja kata-kata ini tidak sama, untuk pikiran dan mental diusulkan sebagai konsep tindakan intelektual. Sementara jiwa dan psikis kerap kali disebut sebagai unsure vital dan emosional. Kadang-kadang, ketika kita berpikir tentang pikiran sebagai sesuatu yang bisa dipisahkan dari tubuh, kita gunakan kata spirit. Bentuk ajektif dari konsep spiritual melahirkan bidang pengkajian nilai-moral dan agama.

Sejarah filsafat kejiwaan

Satu hal yang orang miliki ketika berniat belajar filsafat adalah mengharapkan dengan segera terpecahkannya persoalan tentang jiwa atau pikiran dan berbagai takdirnya. Hasilnya mungkin sangat mengecewakan, bagaimanapun juga untuk  mempelajari pikiran sebagai hal yang paling penting dari semua pertanyaan filsafat ternyata masih jauh dari penyelesaian. Dengan kata lain kenyataan ini akan terus terdorong untuk mengetahui bahwa kemajuan luar biasa yang telah dicapai dalam dua puluh tahun terakhir justru baru membuka seluk-beluk berbagai misteri paling ruwet dari persoalan kejiwaan ini, sekalipun begitu persoalan ini tetap saja masih menjadi yang paling menarik dari semua persoalan-persoalan filsafat. Walaupun penyelidikan tentang jiwa akan betul-betul menjadi tugas kita (mahasiswa filsafat), namun kata ‘jiwa’, dalam psikologi, kini lebih kaya penggunaannya dibanding beberapa waktu kebelakang.

Orang-orang primitif berpikir tentang jiwa sebagai sejenis bayangan atas imajinasi atau replica dari tubuh. Barangkali mereka menganggap seperti asap atau tarikan nafas yang meninggalkan tubuh selama tidur dan mungkin hidup terus setelah tubuh mengalami kematian. Filsafat dan sastra Yunani meresap bersama dengan gagasan tentang jiwa, yang dalam bahasa Yunani disebut pscyche dengan membawa sebuah konotasi yang kaya tentang hidup, jiwa dan kesadaran. Para filsuf awal Yunani percaya dalam hakekat ke-Ilahian dan setiap yang bernyawa, pada dasarnya imanen, seperti nampak pada manusia sebagai jiwa, sumber kehidupan dan kecerdasan. Pandangan ini terungkap dalam doktrin Heraclitus, seorang pemikir yang mengatakan bahwa jiwa merupakan asap yang berapi-api identik dengan api-jiwa vital dan rasional alam semesta. Sains Yunani mengalami puncaknya pada Democritos yang memproklamirkan bahwa semua benda-benda fisk faktanya tersusun atas berbagai atom material, dalam interaksi mekanis, dan ia filsuf yang percaya bahwa jiwa juga merupakan atom-atom halus yang mengerubuti tubuh.

Teori pengetahuan

Sebelum kita memantapkan diri mencari pokok pembahasan ini dalam berfilsafat, kita akan menemukan begitu banyak kesulitan dan keraguan yang begitu mendalam. Kita selanjutnya akan menuntaskan kembali bahwa kita akan mulai dengan berpikir, apakah mungkin pikiran manusia mampu mendapatkan pengetahuan yang sungguh-sungguh benar? Apakah kesempatan paling besar di dapatnya pengetahuan itu melalui beberapa “fakultas” akal? Dari sini kita akan dipaksa masuk ke dalam studi tentang teori pengetahuan, atau yang disebut dengan epistemology.

Barangkali beberapa pembaca akan berpikir bahwa kita sejak awal seharusnya mulai dengan persoalan ini dan yakin kelak akan menjadi semacam suatu aturan logis yang melandasi cara berfilsafat. Tetapi teori tentang pengetahuan merupakan pokok pembahasan sulit dan jika dibahas lebih dulu bisa menghalau kita dari studi filsafat yang sesungguhnya. Artinya kita seolah-olah bisa menduga begitu saja bahwa pikiran manusia telah memiliki kemampuan untuk mencapai pengetahuan yang sungguh-sungguh benar, dan pengetahuan yang sungguh-sungguh nyata seperti ini ditawarkan pada kita dalam sain khusus. Namun demikian secara umum, memiliki iman, kepercayaan dan keyakinan lebih baik daripada menempatkan skeptisme (faham yang mengatakan bahwa tidak ada pengetahuan yang benar) sebagai titik keberangkatannya. Akhirnya, kita bisa bertanya tentang sumber dan validitas atau keabsahan sebuah pengetahuan manusia.

Sumber-sumber pengetahuan

Salah satu persoalan epistemologis tertua berhubungan dengan sumber-sumber pengetahuan. Kita semua memiliki “kedai” atau “tubuh” pengetahuan, misalnya, seperti dunia di sekita kita, pikiran kita sendiri, prinsip-prinsip matematika, yang benar dan salah, serta kebaikan dan kecantikan. Karena itu muncul pertanyaan, dari mana kita mendapatkan pengetahuan semacam ini? Nilai dan kebenarannya mungkin sangat bergantung kepada sumber-sumbernya. Di sini, kita menginginkan masing-masing pengetahuan, sedikit menunjukkan semacam surat mandatnya.

Dalam sejarah filsafat, biasanya kita mengatakan bahwa semua pengetahuan sampai kepada kita melalui tiga atau empat cara. Dalam bahasa tradisional epistemologi, pengetahuan itu, satu, pasti bersifat bawaan atau dating dari rasio. Kedua, ada yang mengatakan bahwa pengetahuan datang melalui panca indera khusus, yaitu penglihatan, pendengaran, tekanan, rasa, penciuman, suhu, ketegangan. Terakhir, ada yang berpendapat bahwa pengetahuan pasti datang dari pengalaman langsung atau intuisi. Satu kajian psikologi yang lebih akurat dan sebuah uraian logika yang lebih akurat dan sebuah uraian logika yang lebih modern, telah berhasil membentuk minat dan perhatian epistemologi, dengan melihat “sumber-sumber” pengetahuan. Pengetahuan bukanlah sesuatu yang datang dalam suatu paket sehingga bisa dilacak sumber-sumber otentiknya; gagasan bukanlah satu kesatuan yang sudah terbangun dalam pengetahuan; tidak ada fakultas rasio yang menjamin adanya semacam kesuian ilahiah atas ucapan-ucapan ilmuwan. Dan sejak zaman Locke, sedikit orang, jika ada, percaya tentang ide bawaan (innate ideas). Watak bawaan, kecenderungan, minat, cara mereaksi, cukup banyak kita miliki, tetapi tetap saja tidak ada pengetahuan yang sudah jadi. 

Cara yang lebih baik untuk memahami teori pengetahuan, yaitu melalui studi genetis atas sebuah persoalan, yakni mulai dengan sikap dan perilaku organisme makhluk hidup yang paling sederhana terhadap lingkungan sekitarnya. Pertama bahwa peristiwa merupakan respon atas sejumlah stimulus yang dibarengi dengan kesadaran sederhana. Memang, ini bukan yang pertama yang membuat keduanya terjadi. Peristiwa pertama yang terjadi adalah organisme itu sendiri, dan minat bawaan yang menggerakannya. Maka hal yang sangat mula-mula kita lihat adalah bagaimana tidak bermaknanya teori sensasionalisme atau empirisme murni. Empirisme mengatakan bahwa semua pengetahuan datang dari sensai atau pengalaman, seperti diungkapkan Locke bahwa pikiran itu seperti tablet putih, yang mana hanya kesan-kesan inderawilah yang merekamnya. Ungkapan ini, sebenarnya sama tidak bermaknanya dengan rivalnya yang menurunkan pengetahuan dari kemampuan rasio.

Memang bentuk paling sederhana dari pengetahuan bakal menjadi semata-mata kesadaran, seperti halnya sebuah organisme menangkap atau menyerang suatu objek yang mengganggunya. Secepat kilat, ketika suatu organisme mulai merespon suatu rangsangan lalu kemudian merespon khususnya sebuah situasi, situasi tersebut mulai memiliki makna; situasi tersebut bisa merupakan perhatian, harapan, ancaman, yang kemudian dihindari. Memang sebuah hubungan yang muncul, bisa disebut dengan “perjalanan” (acquaintance). Lalu bahasa datang dengan menamai berbagai hal dan peristiwa, berbagai istilah abstrak, berbagai klasifikasi, putusan dan pernyataan serta berbagai alasan dan pemikiran.

Menyertakan subjek secara psikologis dengan cara seperti ini, kita bisa lihat bahwa tidak ada kemampuan yang disebut rasio yang dengan sabda dewa mudah mendapatkan sesuatu yang disebut dengan pengetahuan, seperti yang rasionalisme ajarkan; juga tidak ada hukum-hukum, a priori transcendental atas pikiran yang mensyaratkan pengalaman, sebagaimana apriorisme ajarkan. Di sisi lain juga tidak ada, apa yang disebut dengan sesuatu yang dengan penginderaan sederhana dianggap sama dengan satuan-satuan pengetahuan yang dapat dikombinasikan atau dikukuhkan ke dalam tubuh pengetahuan. Selanjutnya, apa yang kita miliki adalah sebuah organisme dengan minat yang dalam dan dengan kecenderungan mengeksplorasi sebuah dunia yang bermusuhan dan bersahabat serta berinteraksi dengan lingkungannya. Hasilnya adalah pengalaman; dan pengalaman ini mungkin tersimpan, tergambar dalam situasi baru dan khusus, kemudian situasi ini diberi pemahaman, dikontrol dan akhirnya dimiliki. Teranglah, situasi ini merupakan pengalaman yang tersimpan (funded experience) yang kita sebut dengan pengetahuan, kemudian diklasifikasikan, diungkapkan dalam bahasa serta di susun ke dalam laporan ilmiah. Pengetahuan adalah pengalaman yang dirasionalisir, sehingga terorganisis. Di sini, untuk sementara Empirisme dan rasionalisme mengesampingkan rivalitas sejarah mereka dan berpegangan tangan dengan bersahabat.

John Dewey dan asosiasinya telah mencerahkan kita tidak sedikit, tentang kenyataan yang sungguh-sungguh alamiah tentang pengetahuan dengan mempelajarinya melalui tahap-tahap genetis. Berhubungan dengan Ini Dewey mengatakan: 

…… Pengetahuan bukanlah sesuatu yang terpisah dan mengalami kecukupan diri tetapi meliputi di dalamnya proses di mana kehidupan berkembang dan berlanjut terus-menerus. Panca indera tidak menempatkan mereka sebagai pintu gerbang pengetahuan demi meraih kebenaran sebagai sebuah rangsangan atas suatu tindakan. Bagi seekor binatang suatu afeksi atas mata atau pendengaran bukanlah suatu lembaran kosong dari informasi tentang sesuatu dengan cara membedakan peristiwa di dunia tetapi lebih merupakan sebuah undangan dan rangsangan untuk bertindak dalam keadaan yang sangat diperlukan. Ini merupakan petunjuk dalam bertingkah laku, sebuah unsur penunjuk dalam hidup beradaptasi dengan lingkungan sekitarnya. Ini merupakan petunjuk dalam bertingkah laku, sebuah unsur penunjuk dalam hidup beradaptasi dengan lingkungan sekitarnya. Ini merupakan hal yang mendesak hukum bersifat kognitif dalam kualitas. Keseluruhan kontroveri antara empirisme dan rasionalisme seperti nilai intelektual sensasi dirubah secara kuno sekali. Diskusi tentang sensasi, di bawah tema stimulus dan respon dengan segera, tidak termasuk dalam bidang pengetahuan …..

Seorang rasionalis betul ketika menolak bahwa sensasi seperti itu merupakan unsur yang membenarkan pengetahuan. Tetapi alasan yang dia berikan bagi kesimpulan dan konsekunsi ini, dan semua yang dia gambarkan dari nya, salah. Sensasi bukanlah bagian dari adanya sebuah pengetahua, baik atau buruk, superior atau inferior, lengkap atau tidak lengkap. Mereka lebih merupakan provokasi, hasutan, pendorong atau suatu tindakan penyelidikan yang berakhir dalam sebuah pengetahuan. Sensasi bukanlah bagian cara mengetahui berbagai hal yang bernilai inferior menurut jalan reflektif, yaitu suatu jalan yang membutuhkan pemikiran dan kesimpulan, karena sensasi bukanlah cara atau jalan atas semua pengetahuan. Sensasi adalah rangsangan bagi munculnya refleksi dan penarikan kesimpulan. Dengan cukup mengganggu, mereka memunculkan pertanyaan: Apa yang terjadi? Apa persoalannya? Apakah hubungan saya dengan lingkungan sekitar terguncang? Apa yang mesti dilakukan dengan semua itu? Bagaimana saya akan merubah cara saya bertindak untuk mempertemukan perubahan yang telah berada dalam lingkungan sekitar? Bagaimana saya akan menyesuaikan kembali perilaku saya dalam merespon alam sekitar? Sensasi dengan demikian, seperti para sensasionalis katakana, adalah awal mula pengetahuan, tetapi hanya dalam arti bahwa seluruh guncangan pengalaman atas berbagai perubahan memerlukan rangsangan dalam menginvestigasi dan membandingkan berbagai peristiwa yang pada akhirnya menghasilkan pengetahuan.

Pernyataan ini menunjukkan dengan sangat jelas bagaimana pengetahuan itu muncul, dan kita melihat bahwa pernyataan ini lebih baik diselidiki sebagai kondisi pengetahuan daripada sebagai sumber-sumbernya. Kondisi-kondisi tersebut bersifat pribadi dengan sejumlah minat bawaan tertentu, lingkungan di mana seseorang masuk ke dalam suatu relasi, kecerdasan yang dapat mengumpulkan, menulis dengan huruf besar, mengorganisasi pengalaman dan memperlakukan secara efektif situasi yang rumit dan baru. Pengetahuan merupakan pengalaman yang terkumpulkan, tetapi dalam mengumpulkan, berbagai aktivitas dan kekuatan mental memproses berbagai hal yang sangat penting—memori, pemikiran, analisis konseptual, refleksi, organisasi yang selektif, dan sintesis kreatif. Pengetahuan bukan sesuatu yang lepas dari dunia yang telah jadi dalam bentuk impresi atau kesan, sebagaimana sensasionalisme tua telah pikirkan; juga bukan hasil sulingan prinsip-prinsip pikiran universal a priori tertentu sebagaimana rasionalisme yang lebih tua telah pikirkan juga. Pengetahuan adalah sebuah produk atau hasil interaksi antara seseorang dengan lingkungannya, di mana kekuatan luar biasa atas orang tersebutlah yang merupakan faktor paling menentukan. Karena pengetahuan tidak semestinya mengandaikan adanya a priori, dan kategori-kategori super-empiris atau prinsip-prinsip pengetahuan.  Sebelumnya pengalaman individual itu memang ada, untuk meyakinkan, kecenderungan bawaan tertentu tersebut dipelajari dalam proses evolusi melalui kontak yang sesungguhnya dengan lingkungan. Di sini keberhasilan, sebenarnya berhubungan erat dengan semua ini. Jika a priori dipakai mengartikan kebiasaan rasial yang berkenaan dengan pengalaman dan pengorganisasiannya, maka selanjutnya kita mungkin percaya bahwa dalam a priori itu telah mengunsur suatu pengetahuan. 

Keabsahan pengetahuan

Bagian ini merupakan persoalan ke dua dalam teori pengetahuan dan cukup berbeda dengan persoalan pertama yang telah kita diskusikan. Persoalan ini bukan pertanyaan dari mana pengetahuan kita berasal, tetapi apakah pengetahuan itu sah ketika kita memperolehnya. Dalam bentuk umumnya persoalan ini adalah persoalan tentang hubungan antara gagasan atau ide kita dengan kenyataan dunia. Persoalan kebenaran dan keabsahan ini memperkenalkan kepada kita perdebatan terkenal antara Realisme dengan Idealisme yang sekarang menyerang kita dalam berbagai diskusi epistemologis. Dua istilah ini digunakan dalam arti yang berbeda dengan istilah yang mereka gunakan dalam teori ontologi. Persoalan yang kini harus kita diskusikan adalah secara tidak langsung mempertanyakan apakah dunia di dalam dirinya sendiri merupakan kenyataan bebas dan jelas, atau apakah kenyataan dunia itu hanya sekedar refleksi atas pikiran kita sendiri yaitu suatu ide, persepsi, atau konstruksi mental. Untuk menunjuk pada keyakinan pertama, dipakai kata Realisme, sedangkan yang terakhir digunakan istilah Idealisme.  

Idealisme

Idealisme sering disebut dengan subjektivitas. Idealisme mengajarkan kepada kita bahwa dunia adalah gagasanku. Idealisme nampaknya menolak semua metode yang terbiasa berusaha memecahkan, tetapi selama menyelesaikan kesimpulan akhirnya oleh Berkeley sendiri, idealisme tidak menimbulkan kejutan dan keganjilan apa pun. Namun satu pertanyaan muncul mengapa idealisme benar-benar menjadi filsafat yang sangat tidak bisa dikalahkan—apakah tidak mungkin mengajukan beberapa asumsi yang mengandaikan di dalamnya ada sesuatu yang tidak perlu atau keliru.

Ada sebuah ‘pegangan’ mengenai keadaan bahaya jika ego dijadikan sebagai pusat segala sesuatu (the ego-centric predicament), yang telah dimunculkan kembali oleh penulis zaman sekarang. Ini tidak berarti bahwa, karena benda-benda yang saya ketahui itu ada dalam suatu  relasi kognitif dengan saya, sebab benda-benda tersebut juga tidak ada jika tanpa relasi ini. Kami mengatakan bahwa bunga ros atau sebuah pohon adalah gagasan saya, dan bahwa segala sesuatu yang saya dekati dengan cara mengetahuinya, menjadi sesuatu yang diketahui, yaitu sebuah ide (gagasan). Baiklah, jika itu benar, ini tidak berarti bahwa bunga ros atau sebuah pohon bisa tidak ada dalam hubungan atau relasi lain. Jika benar bahwa saya tidak bisa mengetahui apa pun tentang benda-benda yang tidak dialami, ini tidak berarti bahwa tidak ada benda-benda yang tidak bisa dialami. Mari kita buat pengandaian bahwa ada dunia realitas atau kenyataan yang cukup bebas dari pengalaman manusia. Katakanlah dunia material, dunia hakekat objek-objek, atau suatu dunia, seandainya kamu membolehkan, pohon hijau, gunung coklat dan langit berwarna biru. Postulat tersebut diperbolehkan. Lalu mari kita anggap bahwa organisme sensitif akan mencapai, pikiran perseptif, sebagai katakanlah manusia berpikir. Mereka bisa dengan yakin membuktikan keterangan mereka sendiri bahwa semua pohon dan gunung dan objek lain hanya sekedar sebendel sensasi, atau setumpuk ‘data inderawi yang beragam’. Tetapi hanya dengan satu hiptosis, kesimpulan ini akan menjadi salah. Kita bisa saja membuat postulat lain bahwa ada kenyataan objektif dunia yang terbebas dari persepsi kita. Sains biasanya membuat postulat ini, dan dibuat dalam rangka mencapai hasil yang memuaskan. Sambil lalu hasilnya dikonfirmasikan dengan pendapat umum.

Tetapi ada kesalahan lebih serius yang mendasari keseluruhan teori kaum subjektivis, yaitu suatu kesalahan fundamental seperti, mirip dengan penyebab perasaan dongkol yang bisa dibebankan ke dalam banyak generasi mahasiswa filsafat. Kita kembali kepada John Locke yang mengatakan bahwa pengetahuan merupakan persepsi yang cocok atau tidak cocok atas dua gagasan. Misalnya pengetahuan bahwa bunga ros merah adalah pengakuan adanya kesesuaian antara gagasan “bunga ros” dengan “merah”. Gagasan Locke nampaknya menjadikan bahwa ada benda tertentu atau kesatuan tertentu dalam pikiran, kemudian mensurvei gagasan ini dan mengakui kecocokan atau ketidakcocokan mereka sebagaimana pengakuan adanya pengetahuan. Kesalahan ini adalah kesalahan psikologis dan telah merusak epistemologi. Dalam psikologi modern kesalahan ini terabadikan melalui adanya kesalahpahaman yang muncul dalam penggunaan istilah-istilah seperti sensasi, keadaan pikiran (states of mind), keadaan kesadaran (state of consciousness) di mana benda-benda yang menarik secara subjektif ini hanya membingungkan jika dibandingkan dengan makna kualitas pada objek-objeknya. Lantas warna merah pada bunga ros, biru pada langit, dan cokelat pada gunung lebih disebut sebagai sensasi atau keadaan mental atau keadaan sadar, daripada disebut sebagaimana mereka seharusnya katakana, yaitu kualitas objek-objek.   

Ketika kita mendiskusikan sumber-sumber pengetahuan, kita memindahkan banyak kesulitan dan membawa kepada semacam pemahaman umum Realisme. Pengetahuan bukan pengakuan atau kecocokan atau ketidak cocokan anta ride, tetapi pengalaman langsung atas benda-benda. Pemahaman ini muncul dalam interaksi antara organisme yang mempersepsi dengan benda-benda yang dipersepsi/diterima. Dalam bentuk paling sederhana, situasi ini merupakan semata-mata kesadaran atas sebuah objek. Sebuah amuba misalnya, melakukan kontak dengan sesuatu yang mungkin atau tidak mungkin diperoleh untuk mendapatkan makanan. Amuba memiliki pengalaman dan pengetahuan. Yakinlah, tidak ada sesuatu yang sangat misterius tentang pengetahuan ketika kita memandangnya dengan cara seperti ini—dan ini pasti meliputi tidak hanya subjek yang mempersepsi tetapi juga sebuah objek yang dipersepsi. Ini mengandaikan bahwa ada dunia eksternal dengan organisme yang mempersepsi, yaitu dunia yang betul-betul nyata, memiliki kualitas nyata pula, hadir dengan kulaitasnya tadi sebelum ia diketahui, dan ketika mengetahui ia berada dalam relasi baru—sebuah relasi dengan pikiran yang mengetahui.

Sekarang, dalam kasus pengetahuan manusia, kita memiliki lingkungan yang kompleks berinteraksi dengan organisme kompleks juga dan karakter pengetahuan seperti ini ditentukan oleh hakekat keduanya. Karena organisme yang cerdas di dalam dirinya sendiri merupakan keadaan yang sangat kompleks, sejumlah organ panca indera penerima tertentu yang terbatas (mestinya hanya semacam rangsangan tertentu); menggunakan rangsangan ini terutama, tidak sebagai pintu gerbang kepada pengetahuan, tetapi sebagai perangsang tindakan; menyajikan kekuatan memori dan menambah unsur-unsur sekumpulan gambaran (associative) atas apa yang diberikan dalam indera persepsi; serta menampilkan kebutuhan khusus dengan suka dan tidak suka, akan memunculkan satu pertanyaan, apakah pengetahuan yang mirip dengan sebuah organisme yang mempunyai lingkungannya sendiri merupakan pengetahuan yang akurat.

Karena memunculkan satu diskusi di mana literature epistemologi telah dibenamkan; missal, tentang pengalaman khayalan, kebenaran, kesalahan, dan perbedaan antara kualitas sekunder dengan kualitas primer maka tidak mengherankan seandainnya kita masih mendengar bahwa tongkat lurus terlihat bengkok di dalam air, dan rel kereta api yang pararel terlihat bertemu. Dengan demikian kualitas sekunder tidak hanya milik benda-benda, tetapi juga pikiran. Namun demikian hukum cahaya akan menjelaskan mengapa tongkat yang lurus nampak bengkok dalam air dan mengapa rel yang paralel nampak bertemu; dan kini banyak orang yang merasa tidak perlu memikirkannya untuk memandang sebagai subjektif seperti kualitas warna dan suara, tetapi hanya untuk mengingatkan bahwa kualitas berbeda atas objek-objek dibuka di bawah kondisi yang berbeda. Barangkali pemecahan paling sederhana atau persoalan kuno ini adalah yang terbaik.

Kita mungkin masih percaya bahwa dunia yang kita ketahui—dunia objek-objek yang ada dalam ruang dan waktu, dunia hubungan penyebaban, dunia tentang warna dan suara, maupun dunia proporsi dan keindahan—bukan dunia yang kita ciptakan dalam pengetahuan, atau diubah oleh manusia yang mengetahui, tetapi sebuah dunia yang ada sepanjang masa sekaligus kita ciptakan, maka orang bisa mengetahui. Lalu dunia objektif, sungguh-sungguh nyata dan pengetahuan kita tentangnya benar meskipun sebagian; dan pengetahuan yang benar tentang dunia ini secara konstan diperlukan oleh penerapan metode investigasi ilmiah.

Sumber : Buku Filsafat

Minggu, 10 Agustus 2014

Filsafat I Evolusi I Teleologi



Evolusi 

Apa yang dimaksud dengan evolusi? Kata evolusi yang dalam bahasa Jerman disebut dengan Enwickelung adalah bunyi merdu (euphomic) gerak luwes dari lidah dengan kenikmatan yang menyelinap. Kata evolusi sebenarnya kata yang sangat mudah diterapkan ke dalam berbagai hal. Masyarakat yang berubah, perubahan kebudayaan, perubahan lingkungan kita, perubahan spesies binatang dan ras, perubahan permukaan bumi, perubahan rasi bintang dsb. Seperti yang Heraclitus katakana pada filsafat Yunani awal, segala sesuatu itu berubah dan bergerak. Dengan demikian doktrin evolusi adalah perubahan secara gradual (tahap demi tahap) dan dengan cara yang biasa-biasa saja.

Ketika kita menggunakan kata evolusi, dalam pikiran kita biasanya tertanam konsep evolusi organis atau teori bahwa spesies makhluk hidup diturunkan dari spesies makhluk hidup lain, dan bahwa semua spesies tumbuhan dan binatang memiliki keturunan dan leluhur bersama; dan biasanya kita menghubungkan teori ini kepada Darwin. Ada beberapa kesalahan konsep namun tentang teori evolusi ini. Istilah Evolusi sebenarnya lebih luas dari gagasan evolusi organic, dan mengacu kepada teori umum tentang perkembangan yang sifatnya biasa saja yaitu berbagai perubahan progresif, kita biasanya mengartikannya menuju kea rah organisasi yang kompleksitasnya lebih besar dan tingkatannya lebih tinggi. Dalam perluasan makna ini kita bias mengatakan evolusi itu berkenaan dengan sistem bintang, evolusi permukaan bumi atau evolusi kemasyarakatan. Maka kita pun percaya bahwa elemen kimia manusia berkembang dari sesuatu yang paling sederhana. 

Ketika evolusi didefinisikan sebagai perubahan progresif yang biasa-biasa saja, sebenarnya definisi tersebut jauh dari akurat jikalau kita ingin memasukkan semua konsep perubahan yang sifatnya sedikit demi sedikit atau berangsur-angsur yang terjadi di bumi yang mengarah ke masa depan. Definisi tersebut semata-mata meliputi konsep perubahan dalam arti umum dan paling nampak terjadi dalam berbagai fase kehidupan organis. Seperti perubahan yang nampak mengarah pada struktur yang lebih kompleks dan fungsi yang lebih spesifik. Tentang penggunaan kata “progresif”, hal ini masih bermasalah. Kata ini secara tidak langsung menuju ke arah konsep di mana segala sesuatu atau seseorang sedang berjuang. Sangat menarik untuk memikirkan alam sebagai perjuangan yang bertujuan menghasilkan kehidupan beserta bentuk-bentuknya yang benar juga, jika kita mengira hal ini merupakan satu-satunya definisi evolusi. Kita hanya mungkin memperlakukannya sebagai filsafat atau hipotesis ilmiah.

Banyak usaha yang telah dilakukan untuk sampai pada definisi evolusi yang sifatnya sempurna ilmiah. Terkadang kata evolusi digambarkan secara sederhana sebagai “sebuah system perubahan yang berjalan terus dan tidak bias diubah kembali”, atau sebagai “kontinuitas genetik”. Conger mengatakan bahwa evolusi biasanya menyiratkan secara tidak langsung tiga gagasan fundamental: I. Perubahan berkenaan dengan waktu. 2. Urutan cerita. 3. Alasan yang melekat. Kemudian dia menambahkan yang keempat, yaitu sintesa kreatif, jika berbagai alasan yang melekat itu telah diuraikan.

Di sisi lain, evolusi organik, mengacu kepada perkembangan bentuk kehidupan yang lebih kompleks dari bentuk kehidupan yang lebih dan berasal dari mikro organisme yang paling sederhana. Hal ini mengandaikan bahwa semua bentuk kehidupan material, tumbuhan dan spesies bintang, dan semua ras umat manusia diturunkan melalui perubahan yang gradual, setahap demi setahap dari sel hidup pertama yang paling primordial. Teori evolusi organis diusulkan jauh sebelum zaman Darwin dan tidak bersinonim dengan Darwinisme. Darwinisme adalah sebuah teori atau sekelompok teori yang terbatas untuk doktrin umum tentang evolusi organis dan membantu menjelaskan metode evolusi. Sementara kepastian adanya evolusi itu lengkap sedangkan kepastian teori Darwin sangat tidak lengkap.  

Bilamana doktrin evolusi organik itu nyata-nyata dibawa sebelum ada dunia oleh Darwin pada pertengahan akhir abada ke sembilan belas, maka dua miskonsepsi muncul, yang pada zaman sekarang secara luas telah dikoreksi. Pertama, ada semacam konflik antara evolusi dengan agama, dan kedua bahwa evolusi telah menjelaskan dunia. Berkenaan dengan yang pertama, kita sampai mempelajari bahwa sikap religious telah diperkuat oleh visi luas di mana evolusi telah membawa kita. Kini, kita telah terbiasa dengan gagasan perkembangan dan kita memahami superioritasnya yang tidak terkira di atas teori penciptaan tua yang hebat. Di mana-mana kita melihat evolusi, di alam, di dalam masyarakat, dalam seni dst. Pada tahun-tahun terakhir ini kita menyaksikan evolusi kendaraan mobil dari yang dalam beberapa tahun kebelakangan pada awalnya sangat bersahaja. Kebanggaan kita di akhir abad dengan cantik menghasilkan kesempurnaan yang tidak terkurangi oleh fakta perkembangan lambatnya; kebanggaan kita sebagai manusia tidak terkurangi pula oleh sejarah pertumbuhan dan perjuangan, karena dia telah memperjuangkan caranya naik ke atas dari bentuk kehidupan (animate) yang lebih rendah dengan mengatasi semua rintangan. 

Barangkali banyak bermunculnya antagonism yang sebenarnya tidak tepat dan tidak berguna terhadap teori evolusi pada akhir abad ini, dapat dihindari, jika Darwin berkata, tidak ada manusia yang “turun”, manusia selalu “naik”. Ini semua nampak cukup berbeda ketika kita berpikir tentang manusia sebagai puncak karya besar metode evolusioner alam. Teori evolusi pada suatu saat memberi pesona baru bagi alam. Teori evolusi pada suatu saat member pesona baru bagi alam, jika kita berpikir tentangnya sebagai sebuah baru bagi alam, jika kita berpikir tentangnya sebagai sebuah proses realisasi, sebagai penciptaan progresif yang lebih tinggi dan berbagai nilai yang lebih tinggi pula.

Evolusi member kita metode baru, metode genentik di mana kita belajar untuk memahami berbagai hal dengan mempelajari perkembangan dan pertumbuhannya. Setiap sains kini dipelajari secara genetik, dan kita sampai untuk memahami bahwa tidak ada cabang pengetahuan kemanusiaan yang sebagian besar bias dipahami dari pengetahuan tentang cara persoalan sains tersebut dan diperoleh. Aman-aman saja jika kita katakana bahwa baik etika maupun agama telah berpartisipasi besar dalam metode baru ini dan kini, kedua persoalan ini telah cukup jelas.

Kesalahpahaman lain yang muncul mengenai evolusi, hampir berlawanan dengan yang pertama. Bahwa evolusi telah menjelaskan dunia, termasuk manusia dan pikirannya, dan bahwa tidak ada filsafat lain atau agama yang lebih penting dari evolusi. Kesalahan yang mengherankan ini mungkin muncul karena ada hal yang membingungkan antara evolusi sebagai metode atau hokum perubahan dengan evolusi sebagai kekuatan atau kekuasaan. Ada suatu kepercayaan umum bahwa evolusi itu semacam daya kreatif, yaitu sesuatu yang bisa mengerjakan berbagai hal. Sebaliknya, ada juga yang mengatakan bahwa evolusi itu semata-mata gambaran tentang metode alam. Para mahasiswa filsafat yang telah belajar bahwa hokum alam bukanlah kekuatan atau kekuasaan, tetapi semata-mata keseragaman hasil observasi, sepertinya tidak jauh kepada kesalahan atas menjadikan Tuhan sebagai evolusi.

Sebuah kejutan bagi kita dalam mempelajari evolusi adalah adanya penemuan betapa kecilnya dunia yang telah dijelaskan kepada kita. Hal ini memberikan kepada kita betapa berarti metode untuk mempelajarinya, di mana kita memungkinkan untuk memahami makna berbagai bentuk dan fungsinya dalam hubungannya dengan latar belakang sejarah dunia; tetapi persoalan lebih dalam tentang kehidupan dan pemikirannya telah menyinarkan sedikit cahaya. Kita segera menemukan jurang yang amat lebar dalam sejarah hidup dunia, yang kita usulkan, tentu, telah lama sejak ditemukan oleh sain, tetapi yang kini kita temukan tidak ditemukan semuanya. Kita menemukan bahwa evolusi itu tidak menjelaskan apakah kehidupan itu ada, atau bagaimana awal-mulanya, atau bagaiman hidup menghasilkan kehidupan itu sendiri, atau bagaimana asimilasi dan pertumbuhan itu berperan, atau mengapa ada sebuah perjuangan untuk hidup, atau mengapa dan bagaimana berbagai peristiwa ini terjadi, dan bagaimana spesies berubah antara satu dengan lainnya; juga evolusi tidak menjelaskan bahwa mana yang paling penting di antara kedua hal ini, asal ususl atau hakekat kesadaran.

Kekecewaan ini, kita yakini merupakan kegagalan evolusi untuk menjelaskan persoalan terbesar filsafat, pasti tidak dengan mengesampingkan kesalahan pintu sains. Ini lebih karena sebuah kesalahpahaman umum atas maksud dan berbagai pernyataan tentang evolusi. Ilmuwan evolusioner seperti seorang ilmuwan lainnya sangat terlambat untuk membuat sejumlah pernyataan tentang pemecahan masalah dunia. Dia berperan lebih sebagai pekerja yang sabar, berusaha memunculkan, jika dia bisa, beberapa tahap dalam suatu metode bagaimana alam bekerja. 

Teleologi

Teleologi adalah studi yang mempertanyakan adakah tujuan atau desain dalam alam? Atau apakah dunia itu memiliki maksud dan tujuan akhir? Teleologi berasal dari dua kata dalam bahasa Yunani yang diartikan sebagai studi atas berbagai tujuan. 

Jelaslah bahwa manusia sedang bergerak menuju ke suatu tujuan akhir. Secara teoretis, apa pun yang kita lakukan, kita melakukan demi sebuah tujuan. Anda punya tujuan ketika membaca buku ini, barangkali untuk menambah pengetahuan filsafat, barangkali juga untuk persiapan menghadapi ujian. Jika anda melakukan apa pun, pasti ingin mencapai tujuan; dan masing-masing bagiannya juga memiliki tujuannya sendiri-sendiri. Mesin mobil memiliki tujuan tertentu. Setiap bagiannya, setiap baut, per, gas, sayap, balok, paking, ring, peleg roda, atau pelor memiliki tujuannya sendiri-sendiri. Dengan demikian alamiah bagi kita untuk berpikir secara teleologis, artinya, selama semua hal mempunyai tujuan, sepertinya berurusan dengan manusia. Wajar saja bagi kita jika berpikir bahwa semua bagian organ-tubuh manusia itu memiliki tujuan juga. Anak-anak nampaknya secara instingtif menjadi seorang teleologis, karena dia selalu mengajukan pertanyaan. Untuk apa ini? Untuk apa itu? Dia nampaknya sudah terbiasa menerima bahwa segala sesuatu yang ada di dunia ini memiliki tujuan, sebagaimana dia mengira bahwa segala sesuatu yang diperbuat manusia mempunyai suatu tujuan pula.

Tetapi ketika seorang anak mulai tumbuh remaja dan dewasa serta mulai berpikir, dia melihat bahwa setiap hal menimbulkan berbagai persoalan dan kesulitan. Dia melihat cukup jelas bahwa umat manusialah, yang bisa berpikir dan melihat ke depan serta membuat berbagai rencana, bertindak secara disengaja dan penuh dengan tujuan. Tetapi apakah yakin juga bahwa ada satu tujuan di luar pikiran manusia? Sains nampaknya telah mengajarkan bahwa segala sesuatu yang ada di alam semesta itu terjadi tidak secara disengaja dan tidak penuh dengan tujuan, tetapi secara mekanis. Apa pun yang terjadi di alam, jatuhnya batu, erosi atas benua, pembentukkan kepingan salju, terjadi secara mekanis; oleh karena itu, kejadiannya dengan solid ditentukan oleh kondisi fisik yang mendahuluinya. Semua fenomena alam sepenuhnya disebabkan oleh keseluruhan kondisi fisik yang mendahuluinya. Seorang ahli fisika segera menghentikan penyelidikan jika dihadapkan dengan pertanyaan apa tujuan benda-benda? Kemudian ia meninggalkan cara pandang ilmiahnya; sebab bagaimanapun juga seorang ilmuwan selalu mengandaikan bahwa penjelasan yang lengkap atas benda-benda ditemukan dalam rangkaian peristiwa fisika yang mengkondisikannya, bukan karena tujuan tertentu.

Ambilah kembali contoh mesin mobil. Bagian-bagiannya bekerja secara tidak disengaja—mereka bekerja secara mekanis, mengikuti hukum-hukum mekanis tertentu. Bunyi klakson, pada mulanya tidak untuk menghangatkan jalannya mesin, tetapi karena arus elektrik diubah ke dalam sirkuit tertentu maka secara mekanis akan menimbulkan getaran atas diafragma tertentu dengan demikian terjadi pemanasan. Roda berputar, tidak untuk menggerakkan mobil, tetapi karena sejumlah energy fisika tertentu telah dihubungkan dengan as maka pada akhirnya  mobil bergerak; dan jika ada kekeliruan dengan mekanisme, atau ada bagian mobil yang tidak bisa menyesuaikan dirinya sendiri secara adaptif terhadap situasi baru, tetap saja ia dikatakan berjalan dan bergerak menurut hukum mekanis yang sudah pasti. Begitu juga pada pohon atau tubuh manusia. Getah pada pohon ke luar dan bergerak, tidak untuk satu tujuan tertentu yang sudah pasti, tetapi karena pengaruh mekanis cahaya matahari. Otot tubuh yang mengkerut, tidak untuk menimbulkan pukulan, tetapi karena adanya perpindahan otot dan energy syaraf.

Mengikuti alur berpikir seperti di atas pembaca mungkin mengatakan: Saya pikir, saya mengamati melalui sebuah teka-teki. Bagian mesin mobil, tentu saja semuanya bergerak secara mekanis mengikuti hukum fisika yang pasti; tetapi masih benar juga bahwa semua roda, katup atau klep, dan pembersih memiliki fungsi dan perannya masing-masing, dan fungsi ini mungkin dipandang sebagai tujuan, jika kita berpikir keseluruhan mesin sebagai sesuatu yang direncanakan dan didesain oleh penemu atau seorang mekanik. Tujuan berada di luar mesin tetapi berada di dalam pikiran manusia yang mendesainnya.      

Mengungkap maksud dan tujuan alam

Kini, kita lanjutkan pembahasan kita, dan mari kita berpikir tentang pohon dan tubuh manusia. Semua bagian harus beraksi secara mekanis, dan nampaknya memiliki sebuah tujuan di dalamnya, sebagaimana bagian-bagian mesin mobil. Tentu saja tujuan mata untuk melihat, ibu jari untuk menggemgam, gigi untuk menggigit dan mengunyah; tetapi karena mereka, objek-objek fisik maka dibangun oleh hukum alam, sedangkan tujuan harus berada di luar tubuh pencipta dunia, atau Tuhan. Dengan kata lain, pohon dan tubuh manusia pasti didesain oleh seseorang yang memiliki kekuatan mental atas visi untuk melihat sebuah tujuan menjadi sempurna, dan demi menyesuaikan, antara instrument dengan tujuan tadi; karena itu cukup jelas—menempatkan kasus pohon—bahwa ada sebuah rencana atau tujuan dalam semua bagian-bagiannya—daun bertindak sebagai paru-paru pohon yang menghisap embun dari tanah, batang pohon yang kuat menahan angin, kulit kayu yang kasar melindungi bagian vital di bawah pohon. Demikian juga bulu menghangatkan lembu jantan dan tajamnya kuku macan punya fungsi tersendiri.

Dengan kata lain, berbagai bagian tubuh atau pohon atau bunga atau sebilah rumput merupakan alat (instrument) untuk mencapai tujuan tertentu, seperti halnya suku cadang sebuah mesin mobil merupakan alat, yang masing-masing memiliki tujuan tertentu; tetapi sebagaimana suku cadang mesin mobil, tak satu pun alat ini bekerja disengaja. Mereka begitu saja mengikuti hukum-hukum mekanis.

Semua ini kedengarannya masuk akal, dan nampaknya secara tidak langsung menyiratkan bahwa tubuh binatang, tumbuhan serta pepohonan dalam beberapa cara merupakan hasil dari kecerdasan dan desain; dan karena mereka bukan hasil kecerdasan manusia maka mereka pasti hasil karya kecerdasan kosmik, atau Tuhan.

Seraya kita berpikir tentang materi dengan lebih hati-hati, kita mulai melihat bahwa pemikiran kita itu tak lain dan tak bukan hanya sebuah analogi. Bagian tubuh binatang dan tumbuhan memiliki persamaan yang menonjol dengan suku cadang mobil dalam hal ini hanya, bahwa mereka menampilkan fungsi tertentu dalam suatu cara tertentu memberikan kontribusi kepada tujuan akhir, perseneleng merupakan bagian mesin mobil yang berfungsi menghidupkan atau menggerakkan pada seekor binatang. Dengan analogi kita menyimpulkan bahwa, karena mesin mobil merupakan hasil kecerdasan dari luar, tumbuhan dan tubuh binatang pasti juga demikian. Apa yang sebenarnya kita lihat pada tumbuhan dan tubuh binatang adalah sebuah adaptasi yang sangat mengagumkan. Ada suatu adaptasi antara bagian-bagian pohon dengan lingkungan, misalnya terhadap matahari, tanah dan udara. Ada sebuah adaptasi antara bulu beruang kutub dengan iklim.

Kini, seperti apa itu adaptasi dan menunjukkan ada rahasia apa di balik adaptasi? Apakah adaptasi itu menyiratkan sebuah pikiran lain yang berpikir tentang adaptasi dan desainnnya; atau apakah adaptasi itu tidak lebih daripada sebuah relasi pencocokan atau penyesuaian terhadap kondisi di bawah sebuah organisms kehidupan? Apakah adaptasi menyiratkan secara tidak langsung sebuah tujuan? Tidak bisakah adaptasi dicapai oleh organisme melalui metode percobaan (trial and error)? Sudahkah Darwin menjelaskan adaptasi dengan menjalankan aksi seleksi alam pada berbagai perubahan kecil? Jika memang demikian, tidakkah keliru analogi kita antara mesin mobil dengan pohon. Kemudian, apakah kita, di ala mini, memiliki kekuatan beradaptasi yang sempurna sebagaimana yang terjadi pada organigram manusia. Apakah tidak kurang kasus-kasus ketidakmampuan beradaptasi (maladaptasi), seperti halnya sebuah kota dengan gempa bumi, atau naluri berpindah burung-burung dan badai akhir musim semi yang membunuh ribuan ekor dari mereka?  

Tetapi, jika kita menolak tujuan sebagai sebuah penjelasan tentang adaptasi, apa alternatifnya? Apakah “perubahan” merupakan sebuah alternatif? Haruskah kita mengandaikan bahwa semua dunia keindahan dan keteraturan yang dialami makhluk hidup itu terjadi secara kebetulan saja? Apakah keteraturan yang kita lihat dalam penambahan berat badan hanya sekedar peristiwa? Apakah hanya sekedar peristiwa bahwa ada sebuah bulan yang menyinari kita di malam hari? Apakah pergantian musim yang membahagiakan kita antara kemarau dan hujan hanya sekedar peristiwa? Apakah ini juga hanya sekedar peristiwa, bahwa udara cocok untuk bernafas dan bahwa bumi memberikan berlimpah-limpah buah-buahn dan padi yang cocok untuk dikonsumsi? Sebagaimana seseorang telah katakan, lebih sulit untuk percaya, bahwa keteraturan dunia semacam terjadi karena tubrukan atom-atom materi, daripada drama Shakesphare terjadi karena sebuah ledakan di kantor percetakan.

Lalu apa yang mesti kita lakukan? Bahwa dunia terjadi karena perubahan nampaknya tidak mungkin dipercaya; bagaimanpun juga, kita tidak akan mempercayainya hingga kita menghabiskan semua hipotesis. Di sisi lain, bahwa dunia merupakan mesin yang besar, didesain dan diciptakan oleh pencipta dunia yang transenden karena beberapa tujuan tertentu, sebagaimana ahli mekanik menciptakan mesin mobil, nampaknya seperti analogi kekanakan yang memiliki sedikit saja nilai ilmiah.

Tetapi tidak adakah kemungkinan lain? Apakah hanya perubahan dan tujuan saja yang dijadikan sebagai alternatifnya? Dan jika tidak ada alternatif lain, mungkin kita akan mengatakan bahwa dunia itu bertujuan tanpa bergerak lebih jauh untuk berpikir tentangnya seperti semacam barang yang dipabrikan, direncanakan dan dibuat oleh beberapa dewa antropomorfis? Jelaslah, persoalan ini memerlukan banyak sekali upaya berpikir secara reflektif. 

 
Sumber : Buku Filsafat

Kisah Mata Air Keabadian

Kisah ini diriwayatkan oleh Ats-Tsa’labi dari Imam Ali ra. Pada zaman dahulu hiduplah seorang hamba Allah SWT yang melebihkan kepada d...