SEJARAH
PERKEMBANGAN USHUL FIQH
1.
Ushul
Fiqh Sebelum Dibukukan
a.
Masa
Sahabat
Meskipun
kenyataan sejarahnya fikih sebagai produk ijtihad lebih dahulu dikenal dan
dibukukan dibandingkan dengan Ushul Fiqh, namun menurut Muhammad Abu Zahrah,
Ushul Fiqh dalam praktiknya telah muncul berbarengan dengan munculnya fikih.
Alasannya, karena secara metodologis, fikih tidak akan terwujud tanpa ada
metode istinbat, dan metode istinbat
itulah sebagai inti dari Ushul Fiqh. Fikih sebagai produk ijtihad mulai muncul
pada masa sahabat. Dalam melakukan ijtihad, kata Muhammad Abu Zahrah, secara
praktis mereka telah menggunakan kaidah-kaidah Ushul Fiqh meskipun belum
dirumuskan dalam satu disiplin ilmu. Kemampuan mereka dalam bidang ini, di
samping berakar dari bimbingan Rasulullah SAW. juga kemampuan bahasa Arab
mereka yang masih tinggi dan jernih. Mereka, khususnya yang kemudian terkenal
banyak melakukan ijtihad di bidang hukum Islam, mengikuti langsung
praktik-praktik tasyri’ (pembentukan
hukum) dari Rasulullah SAW. Mereka adalah orang-orang yang dekat dengan
Rasulullah SAW dan selalu menyertainya dan menyaksikan sendiri peristiwa-peristiwa
hukum yang dipecahkan Rasulullah, sehingga mereka tahu betul bagaimana cara
memahami ayat dan dapat menangkap tujuan pembentukan hukumnya. Di samping itu,
mereka adalah generasi yang masih bersih dan kuat kemampuan bahasa Arabnya
sebagai bahasa Al-Qur’an. Hal itu semuanya membuat mereka mampu memahami
teks-teks Al-Qur’an dan melakukan qiyas
(analogi) sebagai metode pengembangan hukum lewat substasi-nya. Oleh karena
itu, seperti disimpulkan Khudri Bik, ahli Ushul Fiqh berkebangsaan Mesir,
begitu Rasulullah wafat mereka sudah siap untuk menghadapi perkembangan sosial
yang menghendaki pemecahan hukum dengan melakukan ijtihad meskipun
kaidah-kaidah Ushul Fiqh belum dirumuskan secara tertulis. Dalam melakukan
ijtihad, seperti disimpulkan Abd al-Wahhab Abu Sulaiman, guru besar Ushul Fiqh
Universitas Ummul-Qura Mekkah, mula-mula mereka pelajari teks Al-Qur’an dan
kemudian Sunnah Rasulullah. Jika hukumnya tidak ditemukan dalam dua sumber
tersebut, mereka melakukan ijtihad, baik perorangan atau dengan mengumpulkan
para sahabat untuk bermusyawarah. Hasil kesepakatan mereka dikenal dengan ijma’ sahabat. Di samping berijtihad
dengan metode qiyas, mereka
berijtihad dengan metode istishlah
yang didasarkan atas maslahah mursalah,
yaitu kemaslahatan yang tidak ada dalil secara khusus yang mendukung dan tidak
pula ada yang menolak, namun mendukung pemeliharaan tujuan syariat. Misalnya
mengumpulkan Al-Qur’an dalam satu mushaf (naskah Al-Qur’an).
Dengan
demikian, menurut Abd al-Wahhab Abu Sulaiman, para sahabat telah mempraktikan ijma’, qiyas, dan istislah (maslahah mursalah) bilamana hukum suatu
masalah tidak ditemukan secara tertulis dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Praktik
ijtihad para sahabat dengan metode-metode tersebut telah mampu memenuhi
kebutuhan masyarakat yang baru mulai berkembang waktu itu. Menurut Muhammad Abu
Zaharah, Ushul Fiqh yang dirumuskan kemudian berakar dan diramu dari
praktik-praktik ijtihad para sahabat.
b.
Masa
Tabi’in
Pada
masa tabi’in metode istinbat menjadi semakin jelas dan
meluas disebabkan tambah luasnya daerah Islam sehingga banyak permasalahan baru
yang muncul. Banyak para tabi’in
hasil didikan para sahabat yang mengkhususkan diri untuk berfatwa dan
berijtihad, antara lain Sa’id ibn al-Musayyab (15 H – 94 H) di Madinah, dan
‘Alqamah ibn Qays (w. 62 H) serta Ibrahim Al-Nakha’i (w. 96 H) di Irak. Dalam
berfatwa mereka merujuk kepada Al-Qur’an, Sunnah Rasulullah, fatwa sahabat, ijma’, qiyas, dan maslahah mursalah.
Pada masa ini, kata Abd al-Wahhab Abu Sulaiman, terjadi perbedaan pendapat yang
tajam tentang apakah fatwa sahabat dapat dijadikan hujjah (dalil hukum), dan
perbedaan pendapat tentang ijma’ ahl al
Madinah (kesepakatan penduduk Madinah) apakah dapat di pegang sebagai
ijma’.
c.
Masa
Imam-Imam Mujtahid Sebelum Imam Syafi’i
Metode
ijtihad menjadi lebih jelas lagi pada
masa sesudah tabi’in, yaitu periode
para imam mujtahid sebelum Imam
Muhammad bin Idris al-Syafi’i (w. 204), pendiri mazhab Syafi’i. Dari
ungkapan-ungkapan mereka dapat diketahui metode istinbat mereka. Imam Abu Hanifah an-Nu’man (w. 150 H), pendiri
mazhab Hanafi umpamanya, seperti dikemukakan Muhammad Abu Zahrah, menjelaskan
dasar-dasar istinbat-nya yaitu,
berpegang kepada Kitabullah, jika
tidak di temukan di dalamnya ia berpegang kepada pendapat yang disepakati para
sahabat. Jika mereka berbeda pendapat ia akan memilih salah satu dari
pendapat-pendapat itu dan ia tidak akan mengeluarkan fatwa yang menyalahi
pendapat sahabat. Dia tidak berpegang kepada pendapat tabi’in karena ia juga sejajar dengan tabi’in. Dalam melakukan ijtihad, Abu Hanifah terkenal banyak
melakukan qiyas dan istihsan.
Demikian
pula Imam Malik bin Anas (w. 178 H), pendiri mazhab Maliki, dalam berijtihad
mempunyai metode yang cukup jelas, seperti tergambar dalam sikapnya dalam
mempertahankan praktik penduduk Madinah sebagai sumber hukum. Satu hal yang
perlu dicatat adalah bahwa sampai masa Imam Malik Ushul Fiqh belum dibukukan
secara lebih lengkap dan sistematis.
Abu
Hanifah sendiri dan begitu pula Imam Malik tidak meninggalkan buku Ushul Fiqh.
Metode istinbat Imam Abu Hanifah
kemudian disimpulkan oleh pengiktunya dari fatwa-fatwanya dan metode istinbat Imam Malik disimpulkan dari
karya-karya fikihnya.
2.
Pembukuan
Ushul Fiqh
Pada
penghujung abad kedua dan awal abad ketiga Imam Muhammad bin Idris al-Syafi’i
(150 H – 204 H) tampil berperan dalam meramu, mensistematisasi dan membukukan
Ushul Fiqh. Upaya pembukuan Ushul Fiqh ini, seperti disimpulkan Abd al-Wahhab
Abu Sulaiman, sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan keislaman di masa
itu. Perkembangan pesat ilmu-ilmu keislaman dimulai dari masa Harun Al-Rasyid
(143 H-193 H), khalifah kelima Dinasti Abbasiyah yang memerintah selam 23 tahun
(170H- 218H) dan dilanjutkan dalam perkembangan yang lebih pesat lagi pada masa
putranya bernama Al-Ma’mun (170H- 218H) khalifah ketujuh yang memerintah selama
20 tahun (198 H- 218 H).
Pada
masa ini ditandai oleh pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan keislaman, bahkan
dikenal sebagai masa keemasan Islam. Dengan didirikannya “Baitul-Hikmah”, yaitu sebuah perpustakaan terbesar di masanya, kota
Baghdad menjadi menara ilmu yang didatangi dari berbagai penjuru wilayah Islam.
Lembaga ini, di samping sebagai perpustakaan juga berfungsi sebagai balai
penerjemah buku-buku yang berasal dari Yunani ke dalam bahasa Arab.
Perkembangan pesat ilmu-ilmu keislaman ini, secara disiplin ilmu menghendaki
adanya pemisahan antara satu bidang ilmu dengan bidang yang lain.
Dalam
suasana pesatnya perkembangan ilmu-ilmu keislaman tersebut, Ushul Fiqh muncul
menjadi satu disiplin ilmu tersendiri. Sebagai ulama yang datang kemudian, Imam
Syafi’i banyak mengetahui tentang metodologi istinbat para imam mujtahid sebelumnya, seperti Imam Abu Hanifah,
Imam Malik, dan metode istinbat para sahabat, dan mengetahui di mana kelemahan
dan di mana keunggulannya. Ushul Fiqh dirumuskannya di samping untuk metode
istinbat yang jelas dan dapat dipedomani oleh peminat hukum Islam, juga dengan
itu ia membangun mazhab fikihnya serta ia ukur kebenaran hasil ijtihad di masa
sebelumnya. Maka oleh Imam Syafi’i disusunlah sebuah buku yang diberinya judul
Al-Kitab, dan kemudian dikenal dengan sebutan Al-Risalah yang berarti sepucuk surat. Dikenal demikian karena buku
itu pada mulanya merupakan lembaran-lembaran surat yang dikirimkannya kepada
Abdurrahaman al-Mahdi (w. 198 H), seorang pembesar dan ahli hadis ketika itu.
Munculnya buku al-Risalah merupakan fase awal dari perkembangan Ushul Fiqh
sebagai satu disiplin ilmu. Secara umum pembicaraan dalam buku ini berkisar
pada landasan-landasan pembentukan fikih, yaitu Al-Qur’an, Sunnah Rasulullah,
ijma’, fatwa sahabat, dan qiyas.
3.
Ushul
Fiqh Pasca Syafi’i
Setelah
kitab al-Risalah oleh Imam Syafi’i,
masih dalam abad ketiga bermunculan karya-karya ilmiah dalam bidang ini. Antara
lain, buku Khabar al-wahid karya ‘Isa
ibnu Aban ibn Shadaqah (w.220 H) dari kalangan Hanafiyah, buku Al-Nasikh wa al-Mansukh oleh Ahmad bin
Hanbal (164 H- 241 H) pendiri mazhab Hanbali, dan buku Ibtal al-Qiyas oleh Daud Al-Zahiri (230 H- 270 H) pendiri mazhab
Zahiri.
Selanjutnya,
pertengahan abad keempat, menurut Abd al-Wahhab Khallaf, ahli Ushul Fiqh
berkebangsaan Mesir, dalam bukunya Khulasat
Tarikh al-Tasyri al-Islami, ditandai dengan kemunduran dalam kegiatan
ijtihad di bidang fikih, dalam pengertian tidak lagi ada orang yang
mengkhususkan diri untuk membentuk mazhab baru, namun seperti dicatat Abd
al-Wahhab Abu Sulaiman, pada saat yang sama kegiatan ijtihad di bidang Ushul
Fiqh berkembang pesat karena ternyata Ushul Fiqh tidak kehilangan fungsinya.
Ushul Fiqh berperan sebagai alat pengukur kebenaran pendapat-pendapt yang telah
terbentuk sebelumnya, dan dijadikan alat untuk berdebat dalam diskusi-diskusi
ilmiah. Pertemuan-pertemuan ilmiah sering diadakan dalam rangka mengkaji
hasil-hasil ijtihad dari mazhab yang mereka anut. Hal itu menghendaki kedalaman
pengetahuan tentang Ushul Fiqh.
Di
antara buku Ushul Fiqh yang disusun pada periode ini adalah Itsbat al-Qiyas oleh Abu Al-Hasan
Al-Asy’ari (w. 324 H) pendiri aliran teologi al-Asy’ariyah, dan buku al-Jadal
fi Ushul al-Fiqh oleh Abu Mansur Al-Maturidi (w. 334 H) pendiri aliran
teologi Maturidiyah. Menurut Abd
al-Wahhab Abu Sulaiman, dengan lebih pesatnya kajian-kajian ilmiah di kalangan
para pengikut mazhab perkembangan Ushul Fiqh menjadi lebih pesat dan mencapai
kematangannya pada abad kelima dan keenam hijriyah.
4.
Aliran-aliran
Ushul Fiqh
Seperti
dikemukakan di atas, dengan maraknya kajian-kajian ilmiah di bidang fikih di
kalangan ulama, Ushul Fiqh menjadi lebih berkembang. Sejalan dengan itu,
bibit-bibit perbedaan kecenderungan dalam merumuskan kaidah dalam memahami
Al-Qur’an dan Sunnah yang memang sudah ada jauh dari masa sebelumnya, pada masa
ini lebih jelas tampak ke permukaan. Kubu ulama Hijaz dari kalangan Malikiyah
dan Syafi’iyah, yang kemudian juga dianut oleh kalangan Hanabilah, sering
berada pada satu pihak, berlainan bahkan kadang-kadang berhadap-hadapan dengan
kubu ulama Irak dari kalangan Hanfiyah. Adanya perbedaan di antara dua kubu
tersebut, bukan saja dari segi prinsip dan bentuk kaidah yang digunakan, tetapi
juga dalam sistematika penulisan dan pengungkapan Ushul Fiqh. Pada masa ini dua
aliran dalam penulisan Ushul Fiqh semakin jelas perbedaannya, yang dikenal
dengan aliran jumhur (mayoritas)
ulama Ushul Fiqh, dan aliran Hanafiyah. Aliran Jumhur terdiri dari kalangan
Malikiyah, Syafi’iyah dan kalangan Hanabilah. Aliran ini juga dikenal sebagai
aliran mutakallimin karena
tokoh-tokoh utamanya dalam pengembangannya terdiri dari tokoh-tokoh ulama ahli
ilmu kalam, seperti Qadli Abdul Jabbar, Imam al-Juwaini, dan Imam al-Ghazali.
Oleh karena para tokoh aliran ini mayoritas adalah ulama-ulama dari kalangan
Syafi’iyah seperti halnya tokoh-tokoh tersebut di atas, maka aliran ini juga
dikenal sebagai aliran Syafi’iyah. Sedangkan aliran Hanfiyah, dikenal juga
sebagai aliran fuqaha. Di samping dua
aliran tersebut, sejauh berbicara tentang metode penulisan, pada gilirannya
muncul aliran ketiga yang menggabungkan antara kedua metode penulisan dari dua
aliran tersebut.
Adanya
beberapa aliran dalam penulisan Ushul Fiqh, tidak dapat diartikan bahwa aliran
jumhur yang berada pada salah satu pihak, merupakan aliran yang kompak
menyepakati segala segi Ushul Fiqhnya. Sebab, pada kenyataannya di antara kalangan
Jumhur (kalangan Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah), secara esensial
terdapat berbagai perbedaan yang mendasar, yang mengakibatkan adanya pula
perbedaan pendapat di antara mereka dalam bidang fiqh. Oleh karena itu, ketika
para ulama Ushul Fiqh menguraikan dua aliran tersebut dalam konteks ini, lebih
berat tekanannya pada adanya perbedaan dalam konteks ini, lebih berat
tekanannya pada adanya perbedaan dalam metode penulisan dan pengungkapan Ushul
Fiqh. Meskipun demikian, antara dua kubu ulama tersebut, yaitu kalangan jumhur
dan kalangan Hanafiyah, secara garis besarnya, bisa menggambarkan adanya dua
kubu ulama fiqh dalam perkembangan fiqh dalam sejarah. Sebab, kubu kalangan
jumhur sering berada pada satu pihak, sedangkah kalangan Hanafiyah berada di pihak
lain. Artinya, aliran Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah mempunyai banyak
kesamaan apabila dibandingkan dengan kalangan Hanafiyah.
Dua
aliran ini meskipun telah muncul pada periode sebelumnya, tetapi pada periode
ini menjadi lebih jelas perbedaannya. Oleh karena itu, buku-buku Ushul Fiqh
yang disusun pada periode ini dianggap sebagai buku-buku standar bagi
perkembangan Ushul Fiqh masing-masing aliran itu pada masa berikutnya. Beberapa
aliran yang dikenal dalam Ushul Fiqh, seperti banyak diungkapkan dalam
kitab-kitab Ushul Fiqh dalam bagian sejarahnya, yaitu aliran jumhur, aliran fuqaha’, dan aliran yang menggabungkan
antara keduanya. Pembagian kepada tiga aliran ini lebih banyak berkonotasi
kepada sistem penulisan Ushul Fiqh, bukan kepada perbedaan-perbedaan secara
substansial. Sebab, apa yang disebut aliran Jumhur, tidak berarti mereka
sepakat dalam prinsip-prinsip Ushul Fiqh secara keseluruhan. Namun adalah benar
mereka sepakat dalam banyak hal mengenai substansi, di samping secara
keseluruhan mereka sepakat dalam cara penyusunan Ushul Fiqh. Lebih jauh tentang
masing-masing aliran itu ialah:
a.
Aliran
Jumhur Ulama Ushul Fiqh
Aliran
ini dikenal juga dengan aliran Syfi’iyah atau aliran Mutakallimin. Aliran ini
dikenal dengan aliran Jumhur ulama karena merupakan aliran yang dianut oleh
mayoritas ulama dari kalangan Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah terutama
dalam cara penulisan Ushul Fiqh. Disebut aliran Syafi’iyah karena orang paling
pertama mewujudkan cara penulisan Ushul seperti ini adalah Imam Syafi’i, dan
dikenal sebagai aliran Mutakallimin karena para pakar di bidang ini setelah
Imam Syafi’i adalah dari kalangan Mutakallimin (para ahli ilmu kalam),
misalnya, Imam al-Juwaini, al-Qadli Abdul Jabbar’ dan al-Imam al-Ghazali.
Cara
penulisan Ushul Fiqh aliran ini telah dirintis oleh Imam Syafi’i, kemudian
dikembangkan oleh para murid dan para pengikutnya (Syafi’iyah) sehingga disebut
sebagai aliran Syafi’iyah. Dalam perkembangan metode penyusunan Ushul Fiqh
aliran ini diikuti oleh kalangan Malikiyah dan Hanabilah. Oleh karena itu,
metode ini juga dikenal dengan metode Jumhur ulama Ushul Fiqh. Dan oleh karena
para tokohnya umumnya dari kalangan ahli-ahli ilmu kalam sehingga dalam
penyusunannya sedikit banyaknya dipengaruhi oleh metode ilmu kalam, maka aliran
ini juga disebut sebagai aliran Mutakallimin (para ahli kalam).
Beberapa
ciri dari aliran ini antara lain adalah bahwa pembahasan Ushul Fiqh disajikan
secara rasional, filosofis, teoretis tanpa disertai contoh, dan murni tanpa
mengacu kepada mazhab fikih tertentu yang sudah ada. Kaidah-kaidah Ushul Fiqh
mereka rumuskan tanpa peduli apakah mendukung mazhab fikih yang mereka anut
atau justru berbeda, bahkan bertujuan untuk dijadikan timbangan bagi kebenaran
mazhab fikih yang sudah terbentuk.
Buku-buku
standar dalam aliran ini yang disusun ketika itu adalah kitab al-‘Amd oleh qadi Abdul Jabbar al-Mu’tazili
(w. 415 H), kitab Al-Mu’tamad fi Ushul
al-Fiqh oleh Abu al-Husein Al-Bashri al-Mu’tazili (w. 436 H), kitab Al-Burhan fi Ushul al-Fiqh oleh Al-Imam
Al-Haramain (w. 478 H), dan kitab Al-Mustashf
fi’ilm al-Ushul oleh Abu Hamid Al-Ghazali (w.505 H). Pada periode
selanjutnya empat buah buku tersebut secara ringkas telah dirangkum oleh
al-Fakhr al-Razi (544 H-607 H) ahli Ushul Fiqh dari kalangan Syafi’iyah dalam
bukunya yang terkenal Al-Mahsul fi ‘Ilm
al-Ushul. Dari empat buah buku di atas, yang paling popular adalah kitab Al-Musthafa oleh Al-Ghazali.
b.
Aliran
Fuqaha atau Aliran Hanafiayah
Aliran
Fuqaha, adalah aliran yang dikembangkan oleh kalangan ulama Hanfiyah. Disebut
aliran Fuqaha (ahli-ahli fikih)
karena dalam sistem penulisannya banyak diwarnai oleh contoh-contoh fikih.
Dalam merumuskan kaidah Ushul Fiqh mereka berpedoman kepada pendapat-pendapat
fikih Abu Hanifah dan pendapat-pendapat para muridnya serta melengkapinya
dengan contoh-contoh.
Penyusun
seperti ini dilakukan oleh kalangan Hanafiyah karena, seperti telah disebutkan
di atas, Abu Hanifah tidak meninggalkan buku Ushul Fiqh. Ushul Fiqh mazhabnya
disimpulkan kemudian oleh pengikutnya dari hasil-hasil fatwa para muridnya.
Setiap kaidah diuji kebenarannya dengan hasil ijtihad yang telah terbentuk,
bukan sebaliknya di mana hasil ijtihad yang sudah terbentuk diuji kebenarannya
dengan kaidah-kaidah Ushul Fiqh seperti dalam aliran pertama di atas.
Kitab-kitab
standar yang disusun dalam aliran ini pada periode ini adalah antara lain kitab
Ta’sis al-Nazhar oleh Abu Zaid
Al-Dabbusi (w.430 H), kitab Ushul
al-Bazdawi oleh ‘Ali ibn Muhammad al-Bazdawi (w.483 H), dan kitab Ushul al-Syarakhshi oleh Abu Bakr Syams
al-Aimmah al-Syarakhshi (w.483 H).
c.
Aliran
yang Menggabungkan antara Dua Aliran di Atas
Dalam
perkembangan selanjutnya, seperti disebutkan oleh Muhammad Abu Zahrah, muncul
aliran ketiga yang dalam penulisan Ushul Fiqh menggabungkan antara dua aliran
tersebut. Misalnya buku Badi’ al-Nizam
karya Ahmad bin ‘Ali al-Sa’ati (w.694 H) ahli Ushul Fiqh dari kalangan
Hanafiyah, yang menggabungkan dua buah buku, yaitu Ushul al-Bazdawi oleh Ali ibn Muhammad al-Bazdawi dari aliran
Hanafiyah dan al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam
oleh al-Amidi (w. 631 H) dari aliran Syafi’iyah, buku Jam’u al-Jawami’ oleh Ibnu al-Sibki (w. 771 H) ahli Ushul Fiqh dari
kalangan Syafi’iyah, dan buku al-Tahrir
oleh al-Kamal Ibnu al-Humam (w. 861 H) ahli Ushul Fiqh dari kalangan Hanfiyah.
Pada penghujung abad kedelapan Abu Ishaq al-Syatibi (w. 780 H), ahli Ushul Fiqh
dari kalangan Malikiyah, mengarang sebuah buku yang berjudul al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah. Di
bandingkan dengan buku-buku Ushul Fiqh sebelumnya, kitab al-Muwafaqat lebih banyak berbicara tentang maqasid al-Syari’ah (tujuan hukum) sebagai landasan pembentukan
hukum. Buku ini dianggap sebagai perkembangan terakhir dari Ushul Fiqh.
Buku-buku Ushul Fiqh yang datang kemudian, umumnya merupakan nukilan dan ulasan
dari prinsip-prinsip yang terdapat di dalam buku-buku yang tersebut di atas.
KARYA-KARYA DALAM BIDANG USHUL FIQH
Seperti
dikemukakan terdahulu, dalam menyusun Ushul Fiqh terdapat berbagai aliran,
yaitu aliran Jumhur Ulama Ushul Fiqh, aliran Hanafiyah, dan aliran yang
menggabungkan antara dua aliran tersebut.
Adapun
Kitab-kitab Ushul Fiqh yang disusun
menurut aliran Jumhur di antaranya adalah:
1. Al-Risalah,
disusun oleh Muhammad bin Idris al-Syafi’i (150 H-204 H). Kitab al-Risalah adalah buku pertama Ushul
Fiqh. Oleh karena itu, buku ini menjadi referensi utama dalam studi Ushul Fiqh
dan banyak yang mensyarahnya, antara lain Syaih Abi Bakr al-Shairafi (w. 330
H), dan Syarh Abu al-Walid al-Naisaburi Muhammad ibn Abdillah (w. 388 H). Buku
ini telah dicetak berulang kali dan yang paling popular di dunia Islam adalah
edisi yang dikomentari oleh Syekh Ahmad Syakir seorang ahli Ushul Fiqh
berkebangsaan Mesir yang hidup pada abad kedua puluh ini. Edisi tersebut
dicetak pada Mathba’ah (percetakan)
Musthafa al-Babi Al-Halabi di Mesir tahun 1358 H/1929 M.
2. Al-Burhan fi
Ushul al-Fiqh, disusun oleh Abu al-Ma’ali Abd
al-Malik ibn Abdillah al-Juwaini yang bergelar Imam al-Haramain (419 H – 478
H). Buku ini adalah salah satu buku standar dalam Ushul Fiqh aliran Jumhur atau
Mutakallimin. Buku ini beredar di dunia Islam dan cetakan kedua pada tahun 1400
H di percetakan Dar al-Anshar di Kairo.
3. Al-Mughni fi
Abwab al-Tawhid wa al-‘Adl, disusun oleh al-Qadli Abdul
Jabbar (w. 415 H), seorang tokoh mu’tazilah. Buku ini terdiri dari 23 jilid
yang berbicara tentang berbagai ilmu keislaman. Sedangkan khusus juz ketujuh
belas (17) berbicara tentang Ushul Fiqh. Buku ini telah berulang kali dicetak
dan terakhir oleh Kementerian Kebudayaan Mesir tanpa menyebutkan tahunnya.
Selain itu, pengarang juga menyusun buku yang berjudul al-‘Amd atau al-‘Ahd,
namun buku ini seperti dikatakan oleh Abu Sulaiman, belum pernah beredar dalam
bentuk cetakan.
4. Al-Mu’tamad fi
Ushul al-Fiqh, oleh Abu Al-Husein Al-Bashri (w. 436
H), seorang ahli Ushul Fiqh dari kalangan mu’tazilah.
Buku ini terdiri dari dua jilid dan terbilang sebagai salah satu buku standar
Ushul Fiqh aliran Jumhur ulama atau Syafi’iyah. Buku ini dikomentari oleh
Muhammad Hasan Hitu dan diterbitkan pertama kali oleh Dar al-Fikr pada tahun
1400 H/ 1980 M di Damaskus Syria.
5. Al-Musthafa min
‘Ilm al-Ushul, oleh Abu Hamid Al-Ghazali (w. 505
H-1111 M) ahli Ushul fiqh dari kalangan Syafi’iyah. Seperti halnya setiap karya
Al-Ghazali, buku ini terbilang sebagai buku Ushul Fiqh yang sangat bermutu dan
beredar di dunia Islam sampai sekarang ini. Buku ini terdiri dari dua jilid dan
telah dicetak berulang kali, antara lain cetakan pertama pada al-Mathba’ah
al-Amiriyah Bulaq Mesir tahun 1324 H. Di samping itu juga al-Ghazali mengarang
kitab al-Mankhul min Ta’liqat al Ushul,
yang telah dicetak berulang kali antara lain edisi yang dikomentari oleh
Muhammad Hasan Hitu yang diterbitkan pertama kali oleh Dar al-Fikr Damaskus
Syiria tahun 1400H/1980M, dan kitab Syifa’
al-Galil fi Bayan al-Syibah wa al-Mukhil wa masalik al-Ta’il. Buku ini
terdiri satu jilid dan telah dicetak berulang kali, antara lain Mathba’at
al-Irsyad Baghdad tahun 1390 H/1971 M.
6. Al-Mahsul fi
‘Ilm al-Ushul karya Fakhr al-Dien al-Razi (544-606
H/1150-121- M), seorang ahli ilmu kalam, ahli tafsir, dan ahli Ushul Fiqh dari
kalangan Syafi’iyah. Kitab ini merupakan rangkuman dari empat buah buku Ushul
Fiqh standar aliran Mutakallimin/Syafi’iyah tersebut di atas, yaitu kitab al-Burhan fi Usul al-Fiqh oleh Imam
al-Haramain, kitab al-‘Amd oleh Abdul
Jabbr, kitab al-Mu’tamad oleh Abu
al-Husein Al-Basri, dan kitab al-Mustashfa
oleh al-Ghazali. Buku ini aslinya terdiri dari dua jilid besar. Terakhir
dikomentari hingga menjadi beberapa jilid oleh seorang guru besar Ushul Fiqh
Universitas Islam Ibnu Sa’ud di Riyad, yaitu Syekh Jabir Fayyadl al-’Ulwani.
Cetakan pertama diterbitkan oleh Universitas Islam Ibnu Sa’ud Riyad tahun 1979.
7. Al-Ihkam fi
Ushul al-Ahkam, karya Saif al-Dien al-Amidi (55 H-631
H), ahli Ushul Fiqh dari kalangan Syafi’iyah. Buku ini telah dicetak berulang
kali dalam empat jilid antara lain oleh penerbit Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah
Beirut pada tahun 1403 H/1983 M.
8. Minhaj al-Wushu
fi ‘Ilm al-Ushul, karya al-Qadi al-Baidawi (w. 685 H).
Buku ini dicetak antara lain di Mathba’ah Muhammad ‘Ali Subaih wa awladuhu,
Mesir, tanpa menyebutkan tahun.
9. Al-‘Uddah fi
Ushul al-Fiqh, karya Abu Ya’la al-Farra’ al-Hanbali
(380-458H) seorang ahli Ushul Fiqh dari kalangan Hanbaliyah (pengikut mazhab
Hanbali). Kitab ini terdiri dari tiga jilid dan terkenal di antara buku standar
Ushul Fiqh dalam Mazhab Hanbali. Buku ini dicetak pada Muassasah al-Risalah
Beirut pada tahun 1980.
10. Raudah al-Nazir
wa Jannah al-Munazir, karya Muwaffaq al-Dien Ibnu Qudamah
al-Maqdisi (541-620H), ahli fikih dan Ushul Fiqh dalam mazhab Hanbali. Buku ini
telah mengalami beberapa kali cetak ulang dan terakhir diterbitkan oleh
Universitas Islam. Muhammad Ibnu Sa’ud di Riyad, dan cetakan keempat pada tahun
1408 H/1987 M, yang dikomentari oleh DR. Abdul ‘Aziz Abdurrahman al-Sa’id.
11. Al-Musawwadah fi
Ushul al-Fiqh. Buku ini disusun oleh tiga orang ulama
besar penganut mazhab Hanbali. Mulanya dikarang oleh Syeikh al-Islam Majd
al-Dien Abu al-Barakat al-Harrani (590-652H), kemudian diteruskan dan ditambah
oleh putranya Syihab al-Dien Abu Abdul-Halim (627-682 H), dan seterusnya oleh
cucunya Taqiy al-Dien Ibnu Taimiyah (661-728 H). Buku ini dicetak oleh
Percetakan al-Madani di Kairo tanpa menyebutkan tahunnya.
12. A’lam
al-Muwaqqi’n ‘an Rabb al-‘Alamin, karya Imam Syams
al-Dien Abu Bakr yang terkenal dengan Ibnu Qayyim al-Jawziyah (691-751 H), ahli
Ushul Fiqh mazhab Hanbali. Buku ini berbicara panjang lebar tentang Ushul Fiqh
mazhab Hanbali dan telah berulang kali dicetak, antara lain edisi Thaha Abd
Rauf terbitan Dar al-Jail Beirut tahun 1973 M.
13. Mukhtashar
Muntaha al-Sul wa al-amal karya Jamal al-Dien Ibnu Hajib
(570 H-646 H), ahli Usul Fiqh dari kalangan Malikiyah. Buku ini lebih dikenal
dengan Mukhtashr Ibnu al-Hajib dan
dicetak pertama kali pada Mathba’ah
Kurdistan Kairo tahun 1326 H.
Sedangkan
kitab-kitab Ushul Fiqh yang disusun menurut aliran Hanafiyah antara lain ialah:
1. Taqwim
al-Adillah, karya Imam Abu Zaid al-Dabbusi (w. 432H), ahli
Ushul Fiqh dari kalangan Hanafiyah. Buku yang merupakan buku Ushul Fiqh standar
dalam mazhab Hanafi ini dicetak pertama kali di al-Mathba’ah al-Amiriyah, Kairo
Mesir. Kata Abu Sulaiman, manuskrip buku ini secara utuh terdapat di
Perpustakaan al-Sulaiman Istanbul, Nomor 690.
2. Ushul
al-Syarakhshi, disusun oleh Imam Muhammad Ibnu Ahmad
Syams al-Aimmah al-Sarakhshi (w. 483H), ahli Fikih dan Ushul Fiqh mazhab
Hanafi. Buku ini dikenal di berbagai kalangan dan menjadi rujukan utama dalam
mazhab Hanafi. Buku ini terdiri dari dua jilid dan terakhir diterbitkan oleh
Dar al-Kutub al-’Ilmiyah Beirut pada tahun 1413H.
3. Kanz al-Wushul
ila Ma’rifat al-Ushul, disusun oleh Fakhr al-Islam Al-Bazdawi
(400 H-482 H), ahli Ushul fiqh dari kalangan Hanafiyah. Buku ini lebih dikenal
dengan Ushul al-Bazdawi dan telah
disyarah oleh para ahlinya, di antaranya yang amat terkenal adalah Syarh Abdul
Aziz al-Bukhari dengan judul Kasyf
al-Syrkah yang merupakan rujukan
utama dalam mazhab ini. Buku ini terkahir dicetak dalam dua jilid pada
Mathba’ah al-Syirkah Al-Sahafiyah al-Usmaniyah Kairo, tanpa menyebutkan tahun.
4. Manar al-Anwar
oleh Abu al-Barakat Abdullah Ibnu Ahmad Ibnu Muhammad al-Nasafi (w.710 H), ahli
Ushul Fiqh Hanafi. Buku ini telah banyak disyarah antara lain oleh penulisnya
sendiri dengan judul Kasyf al-Asrar
yang diterbitkan oleh Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah Beirut tahun 1406 H.
Kitab-kitab
Ushul Fiqh yang disusun dengan menggabungkan aliran Jumhur dengan aliran
Hanafiyah antara lain yang beredar di dunia Islam:
1. Jam’u al-Jawami’,
karya Taj al-Dien Ibnu al-Sibki (727 H-771 H) ahli Ushul Fiqh dari kalangan
Syafi’iyah. Buku ini sangat peopuler di dunia Islam dan telah banyak disyarah,
antara lain oleh Jalal al-Dien al-Mahalli (727 H-771 H), ahli Ushul Fiqh dari
kalangan Syafi’iyah. Buku ini terdiri dari dua jilid dan telah berulang kali
diterbitkan, antara lain oleh Dar al-Fikr Beirut pada tahun 1402 H.
2. Al-Tahrir fi
Ushul al-Fiqh, karya Kamal al-Dien Ibn al-Human (w.
861 H), ahli Fikih dan Ushul Fiqh dari kalangan Hanafiyah. Buku ini disyarah
antara lain oleh Amir Bad Syah al-Husaini, ahli Ushul Fiqh dari kalangan
Hanafiah, dicetak pertama kali dalam dua jilid pada percetakan Mustafa al-Babi
al-Halabi wa Awaladuhu, Mesir, tahun 1350 H.
3. Musallam
al-Subut, karya Muhibbullah Ibn Abd al-Syakur (w. 1119 H)
yang kemudan disyarah oleh ‘Abd. Al-‘Ali Muhammad ibn Nizam al-Dien al-Ansari
dalam bukunya Fawatih al-Rahmut.
Kedua tokoh itu adalah ahli Ushul Fiqh dari kalangan Hanafiyah. Kitab ini
dicetak bersama Kitab Al-Mustashfa
oleh Al-Ghazali pada al-Matba’ah al-Amiriyah, Bulaq Mesir, tahun 1322 H.
4. Al-Muwafaqat fi
Ushul al-Syari’ah, karya Abu Ishaq al-Syathibi (w. 790
H), ahli Ushul Fiqh dari kalangan Malikiyah. Buku ini dikenal luas
pembahasannya dan banyak berbicara tentang penetapan hukum melalui tujuan
syari’ah (maqashid al-syari’ah). Buku
ini dicetak antara lain edisi yang dikomentari Syekh Abdullah Darraz terdiri
dari empat jilid yang diterbitkan oleh Dar al-Ma’ri fah Beirut, tanpa
menyebutkan tahunnya.
Buku-buku
‘Ilmu Ushul Fiqh yang disusun pada abad modern di antaranya adalah:
1. Irsyad al-Fuhul,
karya Imam Muhammad ibn ‘Ali al-Syaukani (117 H-125 H), ahli Ushul Fiqh
terkemuka pada abad ke-13 Hijriyah. Buku ini telah dicetak beberapa kali di
antaranya oleh percetakan Mustafa al-Babi al-Halabi Mesir, tahun 1356 H/1937 M.
2. ‘Ilmu Ushul
al-Fiqh, karya ‘Abdul-Wahhab Khallaf. Kitab ini telah
mengalami beberapa kali cetak ulang, dan cetakan kelima belasa diterbitkan oleh
Dar al-Qalam di Kuwait tahun 1402H/1983 M.
3. Ushul al-Fiqh,
disusun oleh Syekh Muhammad Abu Zahrah, guru besar Universitas Al-Azhar Kairo
yang hidup pada awal abad kedua puluh. Buku ini beredar di Indonesia dan telah
mengalami beberapa kali cetak ulang, antara lain oleh penerbit Dar al-Fikr
al-‘Arabi Mesir tanpa menyebutkan tahunnya.
4. Ushul al-Tasyri’
al-Islami, disusun oleh al-Ustadz ‘Ali Hasaballah, guru besar
syari’at Islam pada Universitas Al-Qahirah Mesir. Buku ini cetakan kelimanya
diterbitkan oleh penerbit Dar al-Ma’arif Mesir tahun 1396 H/1976 M.
5. Dlawabit
al-Maslahah fi al-Fiqh al-Islami, karya Muhammad Sa’id
Ramadan al-Buthi, guru besar Ushul Fiqh pada Universitas Damaskus Syiria. Buku
ini berasal dari disertasi pengarang pada Universitas Al-Azhar Kairo. Cetakan
kedua pada tahun 1397 H/1977 M, penerbit Muassasah al-Risalah Beirut.
6. Tafsir al-Nusus
fi al-Fiqh al-Islami, disusun oleh Dr. Muhammad Adib Shaleh,
guru besar pada Universitas Damaskus Syria. Buku ini terdiri dari dua jilid
yang umumnya berbicara tentang pendekatan kebahasaan dalam memahami ayat-ayat
hukum dan hadis Rasulullah. Buku ini pertama kali diterbitkan oleh al-Maktab
al-Islami. Damaskus Syiria tahun 1403 H/1984 M.
7. Al-Wasit fi Usul
al-Fiqh al-Islami, karya DR. Wahbah Al-Zuhaili, guru
besar fikih dan Ushul Fiqh pada Universitas Damaskus Syiria. Buku ini terdiri
dari dua jilid dan diterbitkan pertama kali oleh Dar ar-Fikr al-Mu’asir Beirut
tahun 1406 H/1986 M.
8. Nazariyat
al-Maslahah fi al-Fiqh al-Islami, karya Dr. Husein
Hamid Hassan, guru besar pada Universitas Ummul-Qura Mekkah. Buku ini berbicara
tentang maslahah dalam fikih Islam yang berasal dari disertasinya pada
Universitas Al-Azhar Mesir. Cetakan pertamanya diterbitkan oleh Dar al-Nahdah
Al-‘Arabiyah Mekkah al-Mukarramah, tahun 1971.
9. Atsar
al-Ikhtilaf fi al-Qawa’id al-Usuliyyah fi Ikhtilaf al-Fuqaha,
karya DR. Musthafa Sa’id al-Khin guru besar pada Fakultas Syari’ah Universitas
Damaskus Syiria. Buku ini adalah perbandingan Ushul Fiqh dan pengaruhnya kepada
hukum Fikih. Cetakan pertamanya diterbitkan oleh Muassasah al-Risalah Beirut
tahun 1392 H/1972 M.
10. Al-Fikr
al-Ushuli, disusun oleh DR. Abd. Wahhab Ibrahim Abu Sulaiman,
dosen Fakultas Syari’ah & Dirasat al-Islamiyah Universitas Ummul-qura,
Mekkah. Buku ini menguraikan sejarah terbentuk dan perkembangan Ushul Fiqh dari
mulai terbentuknya dan perkembangan Ushul Fiqh dari mulai terbentuknya sampai
abad ketujuh Hijriyah. Buku ini pertama kali diterbitkan oleh penerbit Dar al-Syuruq,
Jeddah Saudi Arabiah, tahun 1403 H/1983 M.
Sumber : Buku Ushul
Fiqh, Satria Effendi