Selasa, 30 September 2014

Ushul Fiqh I SEJARAH PERKEMBANGAN USHUL FIQH I KARYA-KARYA DALAM BIDANG USHUL FIQH


SEJARAH PERKEMBANGAN USHUL FIQH

1.      Ushul Fiqh Sebelum Dibukukan

a.      Masa Sahabat

Meskipun kenyataan sejarahnya fikih sebagai produk ijtihad lebih dahulu dikenal dan dibukukan dibandingkan dengan Ushul Fiqh, namun menurut Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh dalam praktiknya telah muncul berbarengan dengan munculnya fikih. Alasannya, karena secara metodologis, fikih tidak akan terwujud tanpa ada metode istinbat, dan metode istinbat itulah sebagai inti dari Ushul Fiqh. Fikih sebagai produk ijtihad mulai muncul pada masa sahabat. Dalam melakukan ijtihad, kata Muhammad Abu Zahrah, secara praktis mereka telah menggunakan kaidah-kaidah Ushul Fiqh meskipun belum dirumuskan dalam satu disiplin ilmu. Kemampuan mereka dalam bidang ini, di samping berakar dari bimbingan Rasulullah SAW. juga kemampuan bahasa Arab mereka yang masih tinggi dan jernih. Mereka, khususnya yang kemudian terkenal banyak melakukan ijtihad di bidang hukum Islam, mengikuti langsung praktik-praktik tasyri’ (pembentukan hukum) dari Rasulullah SAW. Mereka adalah orang-orang yang dekat dengan Rasulullah SAW dan selalu menyertainya dan menyaksikan sendiri peristiwa-peristiwa hukum yang dipecahkan Rasulullah, sehingga mereka tahu betul bagaimana cara memahami ayat dan dapat menangkap tujuan pembentukan hukumnya. Di samping itu, mereka adalah generasi yang masih bersih dan kuat kemampuan bahasa Arabnya sebagai bahasa Al-Qur’an. Hal itu semuanya membuat mereka mampu memahami teks-teks Al-Qur’an dan melakukan qiyas (analogi) sebagai metode pengembangan hukum lewat substasi-nya. Oleh karena itu, seperti disimpulkan Khudri Bik, ahli Ushul Fiqh berkebangsaan Mesir, begitu Rasulullah wafat mereka sudah siap untuk menghadapi perkembangan sosial yang menghendaki pemecahan hukum dengan melakukan ijtihad meskipun kaidah-kaidah Ushul Fiqh belum dirumuskan secara tertulis. Dalam melakukan ijtihad, seperti disimpulkan Abd al-Wahhab Abu Sulaiman, guru besar Ushul Fiqh Universitas Ummul-Qura Mekkah, mula-mula mereka pelajari teks Al-Qur’an dan kemudian Sunnah Rasulullah. Jika hukumnya tidak ditemukan dalam dua sumber tersebut, mereka melakukan ijtihad, baik perorangan atau dengan mengumpulkan para sahabat untuk bermusyawarah. Hasil kesepakatan mereka dikenal dengan ijma’ sahabat. Di samping berijtihad dengan metode qiyas, mereka berijtihad dengan metode istishlah yang didasarkan atas maslahah mursalah, yaitu kemaslahatan yang tidak ada dalil secara khusus yang mendukung dan tidak pula ada yang menolak, namun mendukung pemeliharaan tujuan syariat. Misalnya mengumpulkan Al-Qur’an dalam satu mushaf (naskah Al-Qur’an).

Dengan demikian, menurut Abd al-Wahhab Abu Sulaiman, para sahabat telah mempraktikan ijma’, qiyas, dan istislah (maslahah mursalah) bilamana hukum suatu masalah tidak ditemukan secara tertulis dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Praktik ijtihad para sahabat dengan metode-metode tersebut telah mampu memenuhi kebutuhan masyarakat yang baru mulai berkembang waktu itu. Menurut Muhammad Abu Zaharah, Ushul Fiqh yang dirumuskan kemudian berakar dan diramu dari praktik-praktik ijtihad para sahabat. 

b.      Masa Tabi’in

Pada masa tabi’in metode istinbat menjadi semakin jelas dan meluas disebabkan tambah luasnya daerah Islam sehingga banyak permasalahan baru yang muncul. Banyak para tabi’in hasil didikan para sahabat yang mengkhususkan diri untuk berfatwa dan berijtihad, antara lain Sa’id ibn al-Musayyab (15 H – 94 H) di Madinah, dan ‘Alqamah ibn Qays (w. 62 H) serta Ibrahim Al-Nakha’i (w. 96 H) di Irak. Dalam berfatwa mereka merujuk kepada Al-Qur’an, Sunnah Rasulullah, fatwa sahabat, ijma’, qiyas, dan maslahah mursalah. Pada masa ini, kata Abd al-Wahhab Abu Sulaiman, terjadi perbedaan pendapat yang tajam tentang apakah fatwa sahabat dapat dijadikan hujjah (dalil hukum), dan perbedaan pendapat tentang ijma’ ahl al Madinah (kesepakatan penduduk Madinah) apakah dapat di pegang sebagai ijma’.

c.       Masa Imam-Imam Mujtahid Sebelum Imam Syafi’i

Metode ijtihad menjadi lebih jelas lagi pada masa sesudah tabi’in, yaitu periode para imam mujtahid sebelum Imam Muhammad bin Idris al-Syafi’i (w. 204), pendiri mazhab Syafi’i. Dari ungkapan-ungkapan mereka dapat diketahui metode istinbat mereka. Imam Abu Hanifah an-Nu’man (w. 150 H), pendiri mazhab Hanafi umpamanya, seperti dikemukakan Muhammad Abu Zahrah, menjelaskan dasar-dasar istinbat-nya yaitu, berpegang kepada Kitabullah, jika tidak di temukan di dalamnya ia berpegang kepada pendapat yang disepakati para sahabat. Jika mereka berbeda pendapat ia akan memilih salah satu dari pendapat-pendapat itu dan ia tidak akan mengeluarkan fatwa yang menyalahi pendapat sahabat. Dia tidak berpegang kepada pendapat tabi’in karena ia juga sejajar dengan tabi’in. Dalam melakukan ijtihad, Abu Hanifah terkenal banyak melakukan qiyas dan istihsan.

Demikian pula Imam Malik bin Anas (w. 178 H), pendiri mazhab Maliki, dalam berijtihad mempunyai metode yang cukup jelas, seperti tergambar dalam sikapnya dalam mempertahankan praktik penduduk Madinah sebagai sumber hukum. Satu hal yang perlu dicatat adalah bahwa sampai masa Imam Malik Ushul Fiqh belum dibukukan secara lebih lengkap dan sistematis.

Abu Hanifah sendiri dan begitu pula Imam Malik tidak meninggalkan buku Ushul Fiqh. Metode istinbat Imam Abu Hanifah kemudian disimpulkan oleh pengiktunya dari fatwa-fatwanya dan metode istinbat Imam Malik disimpulkan dari karya-karya fikihnya.

2.      Pembukuan Ushul Fiqh

Pada penghujung abad kedua dan awal abad ketiga Imam Muhammad bin Idris al-Syafi’i (150 H – 204 H) tampil berperan dalam meramu, mensistematisasi dan membukukan Ushul Fiqh. Upaya pembukuan Ushul Fiqh ini, seperti disimpulkan Abd al-Wahhab Abu Sulaiman, sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan keislaman di masa itu. Perkembangan pesat ilmu-ilmu keislaman dimulai dari masa Harun Al-Rasyid (143 H-193 H), khalifah kelima Dinasti Abbasiyah yang memerintah selam 23 tahun (170H- 218H) dan dilanjutkan dalam perkembangan yang lebih pesat lagi pada masa putranya bernama Al-Ma’mun (170H- 218H) khalifah ketujuh yang memerintah selama 20 tahun (198 H- 218 H).

Pada masa ini ditandai oleh pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan keislaman, bahkan dikenal sebagai masa keemasan Islam. Dengan didirikannya “Baitul-Hikmah”, yaitu sebuah perpustakaan terbesar di masanya, kota Baghdad menjadi menara ilmu yang didatangi dari berbagai penjuru wilayah Islam. Lembaga ini, di samping sebagai perpustakaan juga berfungsi sebagai balai penerjemah buku-buku yang berasal dari Yunani ke dalam bahasa Arab. Perkembangan pesat ilmu-ilmu keislaman ini, secara disiplin ilmu menghendaki adanya pemisahan antara satu bidang ilmu dengan bidang yang lain.

Dalam suasana pesatnya perkembangan ilmu-ilmu keislaman tersebut, Ushul Fiqh muncul menjadi satu disiplin ilmu tersendiri. Sebagai ulama yang datang kemudian, Imam Syafi’i banyak mengetahui tentang metodologi istinbat para imam mujtahid sebelumnya, seperti Imam Abu Hanifah, Imam Malik, dan metode istinbat para sahabat, dan mengetahui di mana kelemahan dan di mana keunggulannya. Ushul Fiqh dirumuskannya di samping untuk metode istinbat yang jelas dan dapat dipedomani oleh peminat hukum Islam, juga dengan itu ia membangun mazhab fikihnya serta ia ukur kebenaran hasil ijtihad di masa sebelumnya. Maka oleh Imam Syafi’i disusunlah sebuah buku yang diberinya judul Al-Kitab, dan kemudian dikenal dengan sebutan Al-Risalah yang berarti sepucuk surat. Dikenal demikian karena buku itu pada mulanya merupakan lembaran-lembaran surat yang dikirimkannya kepada Abdurrahaman al-Mahdi (w. 198 H), seorang pembesar dan ahli hadis ketika itu. Munculnya buku al-Risalah merupakan fase awal dari perkembangan Ushul Fiqh sebagai satu disiplin ilmu. Secara umum pembicaraan dalam buku ini berkisar pada landasan-landasan pembentukan fikih, yaitu Al-Qur’an, Sunnah Rasulullah, ijma’, fatwa sahabat, dan qiyas.

3.      Ushul Fiqh Pasca Syafi’i

Setelah kitab al-Risalah oleh Imam Syafi’i, masih dalam abad ketiga bermunculan karya-karya ilmiah dalam bidang ini. Antara lain, buku Khabar al-wahid karya ‘Isa ibnu Aban ibn Shadaqah (w.220 H) dari kalangan Hanafiyah, buku Al-Nasikh wa al-Mansukh oleh Ahmad bin Hanbal (164 H- 241 H) pendiri mazhab Hanbali, dan buku Ibtal al-Qiyas oleh Daud Al-Zahiri (230 H- 270 H) pendiri mazhab Zahiri.

Selanjutnya, pertengahan abad keempat, menurut Abd al-Wahhab Khallaf, ahli Ushul Fiqh berkebangsaan Mesir, dalam bukunya Khulasat Tarikh al-Tasyri al-Islami, ditandai dengan kemunduran dalam kegiatan ijtihad di bidang fikih, dalam pengertian tidak lagi ada orang yang mengkhususkan diri untuk membentuk mazhab baru, namun seperti dicatat Abd al-Wahhab Abu Sulaiman, pada saat yang sama kegiatan ijtihad di bidang Ushul Fiqh berkembang pesat karena ternyata Ushul Fiqh tidak kehilangan fungsinya. Ushul Fiqh berperan sebagai alat pengukur kebenaran pendapat-pendapt yang telah terbentuk sebelumnya, dan dijadikan alat untuk berdebat dalam diskusi-diskusi ilmiah. Pertemuan-pertemuan ilmiah sering diadakan dalam rangka mengkaji hasil-hasil ijtihad dari mazhab yang mereka anut. Hal itu menghendaki kedalaman pengetahuan tentang Ushul Fiqh.

Di antara buku Ushul Fiqh yang disusun pada periode ini adalah Itsbat al-Qiyas oleh Abu Al-Hasan Al-Asy’ari (w. 324 H) pendiri aliran teologi al-Asy’ariyah, dan buku al-Jadal fi Ushul al-Fiqh oleh Abu Mansur Al-Maturidi (w. 334 H) pendiri aliran teologi Maturidiyah. Menurut Abd al-Wahhab Abu Sulaiman, dengan lebih pesatnya kajian-kajian ilmiah di kalangan para pengikut mazhab perkembangan Ushul Fiqh menjadi lebih pesat dan mencapai kematangannya pada abad kelima dan keenam hijriyah.

4.      Aliran-aliran Ushul Fiqh

Seperti dikemukakan di atas, dengan maraknya kajian-kajian ilmiah di bidang fikih di kalangan ulama, Ushul Fiqh menjadi lebih berkembang. Sejalan dengan itu, bibit-bibit perbedaan kecenderungan dalam merumuskan kaidah dalam memahami Al-Qur’an dan Sunnah yang memang sudah ada jauh dari masa sebelumnya, pada masa ini lebih jelas tampak ke permukaan. Kubu ulama Hijaz dari kalangan Malikiyah dan Syafi’iyah, yang kemudian juga dianut oleh kalangan Hanabilah, sering berada pada satu pihak, berlainan bahkan kadang-kadang berhadap-hadapan dengan kubu ulama Irak dari kalangan Hanfiyah. Adanya perbedaan di antara dua kubu tersebut, bukan saja dari segi prinsip dan bentuk kaidah yang digunakan, tetapi juga dalam sistematika penulisan dan pengungkapan Ushul Fiqh. Pada masa ini dua aliran dalam penulisan Ushul Fiqh semakin jelas perbedaannya, yang dikenal dengan aliran jumhur (mayoritas) ulama Ushul Fiqh, dan aliran Hanafiyah. Aliran Jumhur terdiri dari kalangan Malikiyah, Syafi’iyah dan kalangan Hanabilah. Aliran ini juga dikenal sebagai aliran mutakallimin karena tokoh-tokoh utamanya dalam pengembangannya terdiri dari tokoh-tokoh ulama ahli ilmu kalam, seperti Qadli Abdul Jabbar, Imam al-Juwaini, dan Imam al-Ghazali. Oleh karena para tokoh aliran ini mayoritas adalah ulama-ulama dari kalangan Syafi’iyah seperti halnya tokoh-tokoh tersebut di atas, maka aliran ini juga dikenal sebagai aliran Syafi’iyah. Sedangkan aliran Hanfiyah, dikenal juga sebagai aliran fuqaha. Di samping dua aliran tersebut, sejauh berbicara tentang metode penulisan, pada gilirannya muncul aliran ketiga yang menggabungkan antara kedua metode penulisan dari dua aliran tersebut.

Adanya beberapa aliran dalam penulisan Ushul Fiqh, tidak dapat diartikan bahwa aliran jumhur yang berada pada salah satu pihak, merupakan aliran yang kompak menyepakati segala segi Ushul Fiqhnya. Sebab, pada kenyataannya di antara kalangan Jumhur (kalangan Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah), secara esensial terdapat berbagai perbedaan yang mendasar, yang mengakibatkan adanya pula perbedaan pendapat di antara mereka dalam bidang fiqh. Oleh karena itu, ketika para ulama Ushul Fiqh menguraikan dua aliran tersebut dalam konteks ini, lebih berat tekanannya pada adanya perbedaan dalam konteks ini, lebih berat tekanannya pada adanya perbedaan dalam metode penulisan dan pengungkapan Ushul Fiqh. Meskipun demikian, antara dua kubu ulama tersebut, yaitu kalangan jumhur dan kalangan Hanafiyah, secara garis besarnya, bisa menggambarkan adanya dua kubu ulama fiqh dalam perkembangan fiqh dalam sejarah. Sebab, kubu kalangan jumhur sering berada pada satu pihak, sedangkah kalangan Hanafiyah berada di pihak lain. Artinya, aliran Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah mempunyai banyak kesamaan apabila dibandingkan dengan kalangan Hanafiyah.    

Dua aliran ini meskipun telah muncul pada periode sebelumnya, tetapi pada periode ini menjadi lebih jelas perbedaannya. Oleh karena itu, buku-buku Ushul Fiqh yang disusun pada periode ini dianggap sebagai buku-buku standar bagi perkembangan Ushul Fiqh masing-masing aliran itu pada masa berikutnya. Beberapa aliran yang dikenal dalam Ushul Fiqh, seperti banyak diungkapkan dalam kitab-kitab Ushul Fiqh dalam bagian sejarahnya, yaitu aliran jumhur, aliran fuqaha’, dan aliran yang menggabungkan antara keduanya. Pembagian kepada tiga aliran ini lebih banyak berkonotasi kepada sistem penulisan Ushul Fiqh, bukan kepada perbedaan-perbedaan secara substansial. Sebab, apa yang disebut aliran Jumhur, tidak berarti mereka sepakat dalam prinsip-prinsip Ushul Fiqh secara keseluruhan. Namun adalah benar mereka sepakat dalam banyak hal mengenai substansi, di samping secara keseluruhan mereka sepakat dalam cara penyusunan Ushul Fiqh. Lebih jauh tentang masing-masing aliran itu ialah:

a.      Aliran Jumhur Ulama Ushul Fiqh

Aliran ini dikenal juga dengan aliran Syfi’iyah atau aliran Mutakallimin. Aliran ini dikenal dengan aliran Jumhur ulama karena merupakan aliran yang dianut oleh mayoritas ulama dari kalangan Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah terutama dalam cara penulisan Ushul Fiqh. Disebut aliran Syafi’iyah karena orang paling pertama mewujudkan cara penulisan Ushul seperti ini adalah Imam Syafi’i, dan dikenal sebagai aliran Mutakallimin karena para pakar di bidang ini setelah Imam Syafi’i adalah dari kalangan Mutakallimin (para ahli ilmu kalam), misalnya, Imam al-Juwaini, al-Qadli Abdul Jabbar’ dan al-Imam al-Ghazali.

Cara penulisan Ushul Fiqh aliran ini telah dirintis oleh Imam Syafi’i, kemudian dikembangkan oleh para murid dan para pengikutnya (Syafi’iyah) sehingga disebut sebagai aliran Syafi’iyah. Dalam perkembangan metode penyusunan Ushul Fiqh aliran ini diikuti oleh kalangan Malikiyah dan Hanabilah. Oleh karena itu, metode ini juga dikenal dengan metode Jumhur ulama Ushul Fiqh. Dan oleh karena para tokohnya umumnya dari kalangan ahli-ahli ilmu kalam sehingga dalam penyusunannya sedikit banyaknya dipengaruhi oleh metode ilmu kalam, maka aliran ini juga disebut sebagai aliran Mutakallimin (para ahli kalam).

Beberapa ciri dari aliran ini antara lain adalah bahwa pembahasan Ushul Fiqh disajikan secara rasional, filosofis, teoretis tanpa disertai contoh, dan murni tanpa mengacu kepada mazhab fikih tertentu yang sudah ada. Kaidah-kaidah Ushul Fiqh mereka rumuskan tanpa peduli apakah mendukung mazhab fikih yang mereka anut atau justru berbeda, bahkan bertujuan untuk dijadikan timbangan bagi kebenaran mazhab fikih yang sudah terbentuk.

Buku-buku standar dalam aliran ini yang disusun ketika itu adalah kitab al-‘Amd oleh qadi Abdul Jabbar al-Mu’tazili (w. 415 H), kitab Al-Mu’tamad fi Ushul al-Fiqh oleh Abu al-Husein Al-Bashri al-Mu’tazili (w. 436 H), kitab Al-Burhan fi Ushul al-Fiqh oleh Al-Imam Al-Haramain (w. 478 H), dan kitab Al-Mustashf fi’ilm al-Ushul oleh Abu Hamid Al-Ghazali (w.505 H). Pada periode selanjutnya empat buah buku tersebut secara ringkas telah dirangkum oleh al-Fakhr al-Razi (544 H-607 H) ahli Ushul Fiqh dari kalangan Syafi’iyah dalam bukunya yang terkenal Al-Mahsul fi ‘Ilm al-Ushul. Dari empat buah buku di atas, yang paling popular adalah kitab Al-Musthafa oleh Al-Ghazali.

b.      Aliran Fuqaha atau Aliran Hanafiayah

Aliran Fuqaha, adalah aliran yang dikembangkan oleh kalangan ulama Hanfiyah. Disebut aliran Fuqaha (ahli-ahli fikih) karena dalam sistem penulisannya banyak diwarnai oleh contoh-contoh fikih. Dalam merumuskan kaidah Ushul Fiqh mereka berpedoman kepada pendapat-pendapat fikih Abu Hanifah dan pendapat-pendapat para muridnya serta melengkapinya dengan contoh-contoh.

Penyusun seperti ini dilakukan oleh kalangan Hanafiyah karena, seperti telah disebutkan di atas, Abu Hanifah tidak meninggalkan buku Ushul Fiqh. Ushul Fiqh mazhabnya disimpulkan kemudian oleh pengikutnya dari hasil-hasil fatwa para muridnya. Setiap kaidah diuji kebenarannya dengan hasil ijtihad yang telah terbentuk, bukan sebaliknya di mana hasil ijtihad yang sudah terbentuk diuji kebenarannya dengan kaidah-kaidah Ushul Fiqh seperti dalam aliran pertama di atas.

Kitab-kitab standar yang disusun dalam aliran ini pada periode ini adalah antara lain kitab Ta’sis al-Nazhar oleh Abu Zaid Al-Dabbusi (w.430 H), kitab Ushul al-Bazdawi oleh ‘Ali ibn Muhammad al-Bazdawi (w.483 H), dan kitab Ushul al-Syarakhshi oleh Abu Bakr Syams al-Aimmah al-Syarakhshi (w.483 H).

c.       Aliran yang Menggabungkan antara Dua Aliran di Atas

Dalam perkembangan selanjutnya, seperti disebutkan oleh Muhammad Abu Zahrah, muncul aliran ketiga yang dalam penulisan Ushul Fiqh menggabungkan antara dua aliran tersebut. Misalnya buku Badi’ al-Nizam karya Ahmad bin ‘Ali al-Sa’ati (w.694 H) ahli Ushul Fiqh dari kalangan Hanafiyah, yang menggabungkan dua buah buku, yaitu Ushul al-Bazdawi oleh Ali ibn Muhammad al-Bazdawi dari aliran Hanafiyah dan al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam oleh al-Amidi (w. 631 H) dari aliran Syafi’iyah, buku Jam’u al-Jawami’ oleh Ibnu al-Sibki (w. 771 H) ahli Ushul Fiqh dari kalangan Syafi’iyah, dan buku al-Tahrir oleh al-Kamal Ibnu al-Humam (w. 861 H) ahli Ushul Fiqh dari kalangan Hanfiyah. Pada penghujung abad kedelapan Abu Ishaq al-Syatibi (w. 780 H), ahli Ushul Fiqh dari kalangan Malikiyah, mengarang sebuah buku yang berjudul al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah. Di bandingkan dengan buku-buku Ushul Fiqh sebelumnya, kitab al-Muwafaqat lebih banyak berbicara tentang maqasid al-Syari’ah (tujuan hukum) sebagai landasan pembentukan hukum. Buku ini dianggap sebagai perkembangan terakhir dari Ushul Fiqh. Buku-buku Ushul Fiqh yang datang kemudian, umumnya merupakan nukilan dan ulasan dari prinsip-prinsip yang terdapat di dalam buku-buku yang tersebut di atas.    

KARYA-KARYA DALAM BIDANG USHUL FIQH   

Seperti dikemukakan terdahulu, dalam menyusun Ushul Fiqh terdapat berbagai aliran, yaitu aliran Jumhur Ulama Ushul Fiqh, aliran Hanafiyah, dan aliran yang menggabungkan antara dua aliran tersebut.

Adapun Kitab-kitab Ushul Fiqh yang disusun menurut aliran Jumhur di antaranya adalah:

1.      Al-Risalah, disusun oleh Muhammad bin Idris al-Syafi’i (150 H-204 H). Kitab al-Risalah adalah buku pertama Ushul Fiqh. Oleh karena itu, buku ini menjadi referensi utama dalam studi Ushul Fiqh dan banyak yang mensyarahnya, antara lain Syaih Abi Bakr al-Shairafi (w. 330 H), dan Syarh Abu al-Walid al-Naisaburi Muhammad ibn Abdillah (w. 388 H). Buku ini telah dicetak berulang kali dan yang paling popular di dunia Islam adalah edisi yang dikomentari oleh Syekh Ahmad Syakir seorang ahli Ushul Fiqh berkebangsaan Mesir yang hidup pada abad kedua puluh ini. Edisi tersebut dicetak pada Mathba’ah (percetakan) Musthafa al-Babi Al-Halabi di Mesir tahun 1358 H/1929 M.

2.      Al-Burhan fi Ushul al-Fiqh, disusun oleh Abu al-Ma’ali Abd al-Malik ibn Abdillah al-Juwaini yang bergelar Imam al-Haramain (419 H – 478 H). Buku ini adalah salah satu buku standar dalam Ushul Fiqh aliran Jumhur atau Mutakallimin. Buku ini beredar di dunia Islam dan cetakan kedua pada tahun 1400 H di percetakan Dar al-Anshar di Kairo.

3.      Al-Mughni fi Abwab al-Tawhid wa al-‘Adl, disusun oleh al-Qadli Abdul Jabbar (w. 415 H), seorang tokoh mu’tazilah. Buku ini terdiri dari 23 jilid yang berbicara tentang berbagai ilmu keislaman. Sedangkan khusus juz ketujuh belas (17) berbicara tentang Ushul Fiqh. Buku ini telah berulang kali dicetak dan terakhir oleh Kementerian Kebudayaan Mesir tanpa menyebutkan tahunnya. Selain itu, pengarang juga menyusun buku yang berjudul al-‘Amd atau al-‘Ahd, namun buku ini seperti dikatakan oleh Abu Sulaiman, belum pernah beredar dalam bentuk cetakan.

4.      Al-Mu’tamad fi Ushul al-Fiqh, oleh Abu Al-Husein Al-Bashri (w. 436 H), seorang ahli Ushul Fiqh dari kalangan mu’tazilah. Buku ini terdiri dari dua jilid dan terbilang sebagai salah satu buku standar Ushul Fiqh aliran Jumhur ulama atau Syafi’iyah. Buku ini dikomentari oleh Muhammad Hasan Hitu dan diterbitkan pertama kali oleh Dar al-Fikr pada tahun 1400 H/ 1980 M di Damaskus Syria.

5.      Al-Musthafa min ‘Ilm al-Ushul, oleh Abu Hamid Al-Ghazali (w. 505 H-1111 M) ahli Ushul fiqh dari kalangan Syafi’iyah. Seperti halnya setiap karya Al-Ghazali, buku ini terbilang sebagai buku Ushul Fiqh yang sangat bermutu dan beredar di dunia Islam sampai sekarang ini. Buku ini terdiri dari dua jilid dan telah dicetak berulang kali, antara lain cetakan pertama pada al-Mathba’ah al-Amiriyah Bulaq Mesir tahun 1324 H. Di samping itu juga al-Ghazali mengarang kitab al-Mankhul min Ta’liqat al Ushul, yang telah dicetak berulang kali antara lain edisi yang dikomentari oleh Muhammad Hasan Hitu yang diterbitkan pertama kali oleh Dar al-Fikr Damaskus Syiria tahun 1400H/1980M, dan kitab Syifa’ al-Galil fi Bayan al-Syibah wa al-Mukhil wa masalik al-Ta’il. Buku ini terdiri satu jilid dan telah dicetak berulang kali, antara lain Mathba’at al-Irsyad Baghdad tahun 1390 H/1971 M.          

6.      Al-Mahsul fi ‘Ilm al-Ushul karya Fakhr al-Dien al-Razi (544-606 H/1150-121- M), seorang ahli ilmu kalam, ahli tafsir, dan ahli Ushul Fiqh dari kalangan Syafi’iyah. Kitab ini merupakan rangkuman dari empat buah buku Ushul Fiqh standar aliran Mutakallimin/Syafi’iyah tersebut di atas, yaitu kitab al-Burhan fi Usul al-Fiqh oleh Imam al-Haramain, kitab al-‘Amd oleh Abdul Jabbr, kitab al-Mu’tamad oleh Abu al-Husein Al-Basri, dan kitab al-Mustashfa oleh al-Ghazali. Buku ini aslinya terdiri dari dua jilid besar. Terakhir dikomentari hingga menjadi beberapa jilid oleh seorang guru besar Ushul Fiqh Universitas Islam Ibnu Sa’ud di Riyad, yaitu Syekh Jabir Fayyadl al-’Ulwani. Cetakan pertama diterbitkan oleh Universitas Islam Ibnu Sa’ud Riyad tahun 1979.

7.      Al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam, karya Saif al-Dien al-Amidi (55 H-631 H), ahli Ushul Fiqh dari kalangan Syafi’iyah. Buku ini telah dicetak berulang kali dalam empat jilid antara lain oleh penerbit Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah Beirut pada tahun 1403 H/1983 M.

8.      Minhaj al-Wushu fi ‘Ilm al-Ushul, karya al-Qadi al-Baidawi (w. 685 H). Buku ini dicetak antara lain di Mathba’ah Muhammad ‘Ali Subaih wa awladuhu, Mesir, tanpa menyebutkan tahun.

9.      Al-‘Uddah fi Ushul al-Fiqh, karya Abu Ya’la al-Farra’ al-Hanbali (380-458H) seorang ahli Ushul Fiqh dari kalangan Hanbaliyah (pengikut mazhab Hanbali). Kitab ini terdiri dari tiga jilid dan terkenal di antara buku standar Ushul Fiqh dalam Mazhab Hanbali. Buku ini dicetak pada Muassasah al-Risalah Beirut pada tahun 1980.

10.  Raudah al-Nazir wa Jannah al-Munazir, karya Muwaffaq al-Dien Ibnu Qudamah al-Maqdisi (541-620H), ahli fikih dan Ushul Fiqh dalam mazhab Hanbali. Buku ini telah mengalami beberapa kali cetak ulang dan terakhir diterbitkan oleh Universitas Islam. Muhammad Ibnu Sa’ud di Riyad, dan cetakan keempat pada tahun 1408 H/1987 M, yang dikomentari oleh DR. Abdul ‘Aziz Abdurrahman al-Sa’id.

11.  Al-Musawwadah fi Ushul al-Fiqh. Buku ini disusun oleh tiga orang ulama besar penganut mazhab Hanbali. Mulanya dikarang oleh Syeikh al-Islam Majd al-Dien Abu al-Barakat al-Harrani (590-652H), kemudian diteruskan dan ditambah oleh putranya Syihab al-Dien Abu Abdul-Halim (627-682 H), dan seterusnya oleh cucunya Taqiy al-Dien Ibnu Taimiyah (661-728 H). Buku ini dicetak oleh Percetakan al-Madani di Kairo tanpa menyebutkan tahunnya.

12.  A’lam al-Muwaqqi’n ‘an Rabb al-‘Alamin, karya Imam Syams al-Dien Abu Bakr yang terkenal dengan Ibnu Qayyim al-Jawziyah (691-751 H), ahli Ushul Fiqh mazhab Hanbali. Buku ini berbicara panjang lebar tentang Ushul Fiqh mazhab Hanbali dan telah berulang kali dicetak, antara lain edisi Thaha Abd Rauf terbitan Dar al-Jail Beirut tahun 1973 M.

13.  Mukhtashar Muntaha al-Sul wa al-amal karya Jamal al-Dien Ibnu Hajib (570 H-646 H), ahli Usul Fiqh dari kalangan Malikiyah. Buku ini lebih dikenal dengan Mukhtashr Ibnu al-Hajib dan dicetak pertama kali pada Mathba’ah Kurdistan Kairo tahun 1326 H.

Sedangkan kitab-kitab Ushul Fiqh yang disusun menurut aliran Hanafiyah antara lain ialah:

1.      Taqwim al-Adillah, karya Imam Abu Zaid al-Dabbusi (w. 432H), ahli Ushul Fiqh dari kalangan Hanafiyah. Buku yang merupakan buku Ushul Fiqh standar dalam mazhab Hanafi ini dicetak pertama kali di al-Mathba’ah al-Amiriyah, Kairo Mesir. Kata Abu Sulaiman, manuskrip buku ini secara utuh terdapat di Perpustakaan al-Sulaiman Istanbul, Nomor 690.

2.      Ushul al-Syarakhshi, disusun oleh Imam Muhammad Ibnu Ahmad Syams al-Aimmah al-Sarakhshi (w. 483H), ahli Fikih dan Ushul Fiqh mazhab Hanafi. Buku ini dikenal di berbagai kalangan dan menjadi rujukan utama dalam mazhab Hanafi. Buku ini terdiri dari dua jilid dan terakhir diterbitkan oleh Dar al-Kutub al-’Ilmiyah Beirut pada tahun 1413H.

3.      Kanz al-Wushul ila Ma’rifat al-Ushul, disusun oleh Fakhr al-Islam Al-Bazdawi (400 H-482 H), ahli Ushul fiqh dari kalangan Hanafiyah. Buku ini lebih dikenal dengan Ushul al-Bazdawi dan telah disyarah oleh para ahlinya, di antaranya yang amat terkenal adalah Syarh Abdul Aziz al-Bukhari dengan judul Kasyf al-Syrkah  yang merupakan rujukan utama dalam mazhab ini. Buku ini terkahir dicetak dalam dua jilid pada Mathba’ah al-Syirkah Al-Sahafiyah al-Usmaniyah Kairo, tanpa menyebutkan tahun.

4.      Manar al-Anwar oleh Abu al-Barakat Abdullah Ibnu Ahmad Ibnu Muhammad al-Nasafi (w.710 H), ahli Ushul Fiqh Hanafi. Buku ini telah banyak disyarah antara lain oleh penulisnya sendiri dengan judul Kasyf al-Asrar yang diterbitkan oleh Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah Beirut tahun 1406 H.

Kitab-kitab Ushul Fiqh yang disusun dengan menggabungkan aliran Jumhur dengan aliran Hanafiyah antara lain yang beredar di dunia Islam:

1.      Jam’u al-Jawami’, karya Taj al-Dien Ibnu al-Sibki (727 H-771 H) ahli Ushul Fiqh dari kalangan Syafi’iyah. Buku ini sangat peopuler di dunia Islam dan telah banyak disyarah, antara lain oleh Jalal al-Dien al-Mahalli (727 H-771 H), ahli Ushul Fiqh dari kalangan Syafi’iyah. Buku ini terdiri dari dua jilid dan telah berulang kali diterbitkan, antara lain oleh Dar al-Fikr Beirut pada tahun 1402 H.

2.      Al-Tahrir fi Ushul al-Fiqh, karya Kamal al-Dien Ibn al-Human (w. 861 H), ahli Fikih dan Ushul Fiqh dari kalangan Hanafiyah. Buku ini disyarah antara lain oleh Amir Bad Syah al-Husaini, ahli Ushul Fiqh dari kalangan Hanafiah, dicetak pertama kali dalam dua jilid pada percetakan Mustafa al-Babi al-Halabi wa Awaladuhu, Mesir, tahun 1350 H.

3.      Musallam al-Subut, karya Muhibbullah Ibn Abd al-Syakur (w. 1119 H) yang kemudan disyarah oleh ‘Abd. Al-‘Ali Muhammad ibn Nizam al-Dien al-Ansari dalam bukunya Fawatih al-Rahmut. Kedua tokoh itu adalah ahli Ushul Fiqh dari kalangan Hanafiyah. Kitab ini dicetak bersama Kitab Al-Mustashfa oleh Al-Ghazali pada al-Matba’ah al-Amiriyah, Bulaq Mesir, tahun 1322 H.

4.      Al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah, karya Abu Ishaq al-Syathibi (w. 790 H), ahli Ushul Fiqh dari kalangan Malikiyah. Buku ini dikenal luas pembahasannya dan banyak berbicara tentang penetapan hukum melalui tujuan syari’ah (maqashid al-syari’ah). Buku ini dicetak antara lain edisi yang dikomentari Syekh Abdullah Darraz terdiri dari empat jilid yang diterbitkan oleh Dar al-Ma’ri fah Beirut, tanpa menyebutkan tahunnya.

Buku-buku ‘Ilmu Ushul Fiqh yang disusun pada abad modern di antaranya adalah:

1.      Irsyad al-Fuhul, karya Imam Muhammad ibn ‘Ali al-Syaukani (117 H-125 H), ahli Ushul Fiqh terkemuka pada abad ke-13 Hijriyah. Buku ini telah dicetak beberapa kali di antaranya oleh percetakan Mustafa al-Babi al-Halabi Mesir, tahun 1356 H/1937 M.

2.      ‘Ilmu Ushul al-Fiqh, karya ‘Abdul-Wahhab Khallaf. Kitab ini telah mengalami beberapa kali cetak ulang, dan cetakan kelima belasa diterbitkan oleh Dar al-Qalam di Kuwait tahun 1402H/1983 M.

3.      Ushul al-Fiqh, disusun oleh Syekh Muhammad Abu Zahrah, guru besar Universitas Al-Azhar Kairo yang hidup pada awal abad kedua puluh. Buku ini beredar di Indonesia dan telah mengalami beberapa kali cetak ulang, antara lain oleh penerbit Dar al-Fikr al-‘Arabi Mesir tanpa menyebutkan tahunnya.

4.      Ushul al-Tasyri’ al-Islami, disusun oleh al-Ustadz ‘Ali Hasaballah, guru besar syari’at Islam pada Universitas Al-Qahirah Mesir. Buku ini cetakan kelimanya diterbitkan oleh penerbit Dar al-Ma’arif Mesir tahun 1396 H/1976 M.

5.      Dlawabit al-Maslahah fi al-Fiqh al-Islami, karya Muhammad Sa’id Ramadan al-Buthi, guru besar Ushul Fiqh pada Universitas Damaskus Syiria. Buku ini berasal dari disertasi pengarang pada Universitas Al-Azhar Kairo. Cetakan kedua pada tahun 1397 H/1977 M, penerbit Muassasah al-Risalah Beirut.

6.      Tafsir al-Nusus fi al-Fiqh al-Islami, disusun oleh Dr. Muhammad Adib Shaleh, guru besar pada Universitas Damaskus Syria. Buku ini terdiri dari dua jilid yang umumnya berbicara tentang pendekatan kebahasaan dalam memahami ayat-ayat hukum dan hadis Rasulullah. Buku ini pertama kali diterbitkan oleh al-Maktab al-Islami. Damaskus Syiria tahun 1403 H/1984 M.

7.      Al-Wasit fi Usul al-Fiqh al-Islami, karya DR. Wahbah Al-Zuhaili, guru besar fikih dan Ushul Fiqh pada Universitas Damaskus Syiria. Buku ini terdiri dari dua jilid dan diterbitkan pertama kali oleh Dar ar-Fikr al-Mu’asir Beirut tahun 1406 H/1986 M.

8.      Nazariyat al-Maslahah fi al-Fiqh al-Islami, karya Dr. Husein Hamid Hassan, guru besar pada Universitas Ummul-Qura Mekkah. Buku ini berbicara tentang maslahah dalam fikih Islam yang berasal dari disertasinya pada Universitas Al-Azhar Mesir. Cetakan pertamanya diterbitkan oleh Dar al-Nahdah Al-‘Arabiyah Mekkah al-Mukarramah, tahun 1971.

9.      Atsar al-Ikhtilaf fi al-Qawa’id al-Usuliyyah fi Ikhtilaf al-Fuqaha, karya DR. Musthafa Sa’id al-Khin guru besar pada Fakultas Syari’ah Universitas Damaskus Syiria. Buku ini adalah perbandingan Ushul Fiqh dan pengaruhnya kepada hukum Fikih. Cetakan pertamanya diterbitkan oleh Muassasah al-Risalah Beirut tahun 1392 H/1972 M.

10.  Al-Fikr al-Ushuli, disusun oleh DR. Abd. Wahhab Ibrahim Abu Sulaiman, dosen Fakultas Syari’ah & Dirasat al-Islamiyah Universitas Ummul-qura, Mekkah. Buku ini menguraikan sejarah terbentuk dan perkembangan Ushul Fiqh dari mulai terbentuknya dan perkembangan Ushul Fiqh dari mulai terbentuknya sampai abad ketujuh Hijriyah. Buku ini pertama kali diterbitkan oleh penerbit Dar al-Syuruq, Jeddah Saudi Arabiah, tahun 1403 H/1983 M.

               
Sumber : Buku Ushul Fiqh, Satria Effendi

Senin, 29 September 2014

Ushul Fiqh I PENGERTIAN USHUL FIQH I OBJEK KAJIAN USHUL FIQH DAN FIKIH I MANFAAT MEMPELAJARI USHUL FIQH


PENGERTIAN USHUL FIQH

Definisi Ushul Fiqh Dilihat dari Sisi Dua Kata yang Membentuknya

Untuk mendefinisikan Ushul Fiqh dari sisi ini lebih dulu perlu mengatakan definisi masing-masing dari dua kata yang membentuknya. Kemudian apa yang dimaksud dengan Ushul Fiqh dari sisi ini adalah gabungan dari dua pengertian tersebut.

Ushul Fiqh berasal dari bahasa Arab Ushul al-Fiqh yang terdiri dua kata, yaitu al-ushul dan al-fiqh. Masing-masing kata itu mempunyai pengertian tersendiri.

1.      Al-Ushul

Kata al-ushul, adalah jamak (plural) dari kata al-ashal, menurut bahasa berarti landasan tempat membangun sesuatu. Menurut istilah, seperti dikemukakan Wahbah az-Zuhaili, guru besar Universitas Damaskus, kata al-ashal mengandung beberapa pengertian: (1) bermakna dalil seperti dalam contoh: dalil wajib shalat adalah Al-Qur’an dan Sunnah, (2) bermakna kaidah umum yaitu satu ketentuan yang bersifat umum yang berlaku pada seluruh cakupannya, seperti dalam contoh; Islam dibangun di atas lima kaidah umum, (3) bermakna al-rajih (yang lebih kuat dari beberapa kemungkinan) seperti dalam contoh pengertian yang lebih kuat dari suatu perkataan adalah pengertian hakikatnya, (4) bermakna asal’ tempat menganalogikan sesuatu yang merupakan salah satu dari rukun qiyas. Misalnya, khamar merupakan asal’ (tempat mengkiyaskan) narkotika, dan (5) bermakna sesuatu yang diyakini bilamana terjadi keraguan dalam satu masalah. Misalnya, seseorang yang meyakini bahwa ia telah berwudhu, kemudian ia ragu apakah wudhunya sudah batal, maka dalam hal ini ketetapan fikih mengatakan, yang diyakini adalah keadaan ia dalam keadaan berwudhu. Artinya, dalam hal tersebut yang dipegang adalah sesuatu yang diyakini itu.

Demikianlah beberapa pengertian kata al-ashlu yang populer dalam literatur-literatur keislaman. Pengertian al-ashlu yang dimaksud, bila dihubungkan dengan kata fikih adalah pengertian yang disebut pertama di atas, yaitu dengan makna al-dalil. Dalam pengertian ini, maka kata Ushul al-Fiqh berarti dalil-dalil fikih, seperti Al-Qur’an, Sunnah Rasulullah, ijma’, qiyas, dan lain-lain.

2.      Al-Fiqh

Kata kedua yang membentuk istilah Ushul al-Fiqh adalah kata al-Fiqh. Kata al-Fiqh menurut bahasa berarti pemahaman. Contohnya, firman Allah dalam menceritakan sikap kaum Nabi Syu’aib dalam ayat:   

Mereka berkata: “Hai Syu’aib, kami tidak banyak mengerti tentang apa yang kamu katakan itu dan sesungguhnya kami benar-benar melihat kamu seorang yang lemah di antara kami… (QS. Hud/11: 91)

Menurut istilah, al-fiqh dalam pandangan az-Zuhaili, terdapat beberapa pendapat tentang definisi fiqh. Abu Hanifah mendefinisikan sebagai: Pengetahuan diri seseorang tentang apa yang menjadi haknya, dan apa yang menjadi kewajibannya, atau dengan kata lain, pengetahuan seseorang tentang apa yang menguntungkan dan apa yang merugikannya. Definisi yang diajukan Abu Hanifah ini sejalan dengan keadaan ilmu pengetahuan keislaman di masanya, di mana belum ada pemilihan antara ilmu fikih dalam pengertian yang lebih khusus dengan ilmu-ilmu keislaman lainnya. Oleh sebab itu, sesuai dengan pengertian fikih yang disebutkannya itu, istilah fikih mempunyai pengertian umum, mencakup hukum yang berhubungan dengan akidah seperti kewajiban beriman dan sebagainya, ilmu akhlak, dan hukum-hukum yang berhubungan dengan amal perbuatan manusia, seperti hukum ibadah, dan mu’amalah. Setelah masa Abu hanifah, masing-masing ilmu telah mengambil namanya tersendiri sebagai satu disiplin ilmu. Maka ada yang disebut ilmu tauhid yang membahas masalah akidah, ada pula yang dikenal dengan ilmu akhlak atau ilmu tasawuf, dan ada pula yang disebut ilmu fikih yang khusus membahas hukum-hukum yang berhubungan dengan amal perbuatan manusia. Ketika masing-masing ilmu telah mempunyai disiplin ilmu tersendiri, maka kalangan pengikut Abu Hanifah (kalangan Hanafiyah) menambah kata “amalan” di akhir definisi tersebut, sehingga dengan itu definisi fikih berarti: “Pengetahuan diri seseorang tentang hak dan kewajibannya dari segi amal perbuatan”. Dengan adanya tambahan terebut, maka kata fikih tidak lagi mencakup selain hukum-hukum yang berhubungan dengan amal perbuatan.

Ulama yang datang kemudian, seperti Ilmu Subki dari kalangan Syafi’iyah mendefinisikannya sebagai:

Pengetahuan tentang hukum syara’ yang berhubungan dengan amal perbuatan, yang digali dari satu persatu dalilnya.

Kata al-‘ilmu (pengetahuan) secara umum mencakup pengetahuan secara yakin dan pengetahuan yang sampai ketingkat zhan (perkiraan). Namun yang dimaksud dengan kata al-‘ilmu dalam definisi tersebut ialah pengetahuan yang sampai ke tingkatan zhan atau asumsi. Fikih adalah hukum Islam yang  tingkat kekuatannya hanya sampai ke tingkatan zhan, karena ditarik dari dalil-dalil yang dzanny. Bahwa hukum fikih itu adalah zhanny sejalan dengan pula dengan kata “al-muktasab” dalam definisi tersebut yang berarti “diusahakan” yang mengandung pengertian adanya campur tangan akal pikiran manusia dalam penarikannya dari Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah. Oleh sebab itu, pengetahuan tentang hukum Islam yang tidak dicampuri oleh akal pikiran manusia, dalam Ushul Fiqh tidak disebut sebagai fikih. Misalnya pengetahuan tentang kewajiban melaksanakan shalat lima waktu, kewajiban menunaikan zakat, dan haji. Hal-hal yang sudah pasti seperti itu kekuatan hukumnya bersifat pasti (qath’iy).

Demikianlah pengertian dari masing-masing kata tersebut. Seperti dikemukakan di atas, yang dimaksud dengan kata al-ashl disini adalah dengan makna dalil. Atas dasar itu, istilah Ushul Fiqh berarti dalil-dalil fikih, seperti Al-Qur’an, Sunnah, ijma’, qiyas, dan lain-lain. Namun pengertian seperti ini tidak popular dipakai dalam kajian Ushul Fiqh.

Definisi Ushul al-Fiqh sebagai Satu Disiplin Ilmu

Sebagaimana bagi satu disiplin ilmu, Ushul Fiqh dipandang sebagai satu kesatuan, tanpa melihat kepada pengertian satu-persatu dari dua kata yang membentuknya. Dalam mendefinisikannya terdapat berbagai redaksi di kalangan para ahlinya. ‘Abdullah bin ‘Umar al-Baidawi (w. 685 H), ahli Usul Fiqh dari kalangan Syafi’iyah mendefinisikannya sebagai:

Pengetahuan tentang dalil-dalil fikih secara global, cara mengistimbatkan (menarik) hukum dari dalil-dalil itu, dan tentang hal ihwal pelaku istinbat.

Berbagai hal yang menjadi pembahasan seperti yang ditunjukkan oleh definisi tersebut adalah:

1.      Tentang Dalil-dalil Fikih Secara Global

Apa yang dimaksud dengan dalil dalam definisi tersebut?. Kata al-dalil secara etimologis berarti “sesuatu yang memberi petunjuk kepada suatu hal yang lain”. Menurut istilah Ushul Fiqh, dalil berarti:

Sesuatu yang bilamana dipikirkan secara benar akan menyampaikan seseorang kepada kesimpulan yang dicari.

Misalnya, alam semesta ini bilamana dipikirkan secara benar tentang eksistensi dan sifat-sifatnya yang selalu berubah, dapat diketahui bahwa alam itu baru, dan hal itu akan menyampaikan seseorang kepada sebuah kesimpulan bahwa alam yang baru ini mesti ada penciptanya, sehingga kesimpulannya berbunyi: “Alam ini baru, setiap yang baru ada penciptanya, kesimpulan akhirnya berbunyi: ‘Alam ada penciptanya’ ”. Contoh lain, firman Allah, apabila diamati secara benar akan membawa kepada kesimpulan bahwa perintah yang terdapat dalam ayat tersebut menunjukkan hukum wajib, sehingga dapat dikatakan bahwa shalat hukumnya wajib.

Dalil itu sendiri terdiri dari dua macam, dalil ijmali (global) dan dalil tafsili (terinci). Kemudian, istilah dalil ijmali dan dalil tafsili, masing-masing popular dalam dua pengertian.

Pertama, pengertian dalil ijmali dalam konteks ayat-ayat hukum dalam Al-Qur’an dari segi terinci dan tidak terincinya. Ayat-ayat Al-Qur’an dalam menjelaskan hukum ada yang secara global tanpa merincinya dan ada pula yang secara rinci menjelaskan hubungan. Ayat-ayat yang menjelaskan hukum secara global itu disebut, ayat-ayat mujmal (global). Misalnya, ayat-ayat yang menjelaskan kewajiban melaksanakan shalat lima waktu, ayat-ayat yang mewajibkan zakat, dan haji. Ayat-ayat yang menjelaskan hal-hal tersebut bersifat garis-garis besar, tanpa terinci teknis pelaksanaanya. Sebaliknya, ayat-ayat yang secara rinci menjelaskan tentang sesutu hukum, disebut dalil-dalil tafsili. Misalnya, ayat-ayat yang menjelaskan masalah pembagian harta warisan, dan ayat yang menjelsakan masalah kewajiban membayar denda kifarat atas pelanggar sumpah dan kifarat zhihar.   

Kedua, pengertian dalil ijmali dalam konteks pembicaraan tentang kaidah-kaidah umum Ushul Fiqh seperti yang dimaksud dengan istilah dalil ijmali dalam definisi Ushul Fiqh tersebut di atas. Dalam konteks ini, yang dimaksud dengan dalil ijmali (global) adalah dalil atau kaidah yang bersifat umum yang tidak menunjukkan sesuatu hukum pada masalah tertentu secara langsung. Contohnya kaidah yang mengatakan bahwa “Al-Qur’an adalah sumber hukum pertama dan utama”, “hadis adalah sumber hukum kedua”, dan “kata perintah menunjukkan hukum wajib selama tidak ada indikasi lain yang menunjukkan pengertian selain itu” disebut sebagai kaidah atau dalil-dalil ijmali (global). Dalam konteks ini, yang menjadi lawannya adalah dalil tafsili dalam pengertian dalil-dalil yang langsung menunjukkan hukum tertentu. Misalnya, ayat yang memerintahkan untuk melakukan shalat, zakat, haji, dan pembagian harta warisan.

Kajian Ushul Fiqh membahas dalil-dalil yang bersifat global seperti yang tersebut pada bagian dua di atas, bukan dalil terinci. Dalil terinci menjadi lapangan ilmu fikih. ‘Abd al-Rahim al-Isnawi (w. 773 H), ahli Ushul Fiqh dari kalangan Syafi’iyah, menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan pengetahuan tentang dalil-dalil fikih dalam definisi tersebut mencakup pengetahuan tentang dalil-dalil yang disepakati, seperti Al-Qur’an, Sunnah, ijma’, dan qiyas, dan dalil-dalil yang tidak disepakati, misalnya, istihsan, istislah (maslahah mursalah), syar’u man qablana, fatwa sahabat dan ‘urf (adat kebiasaan). Pengetahuan tentang dalil-dalil tersebut, terdiri dari dua segi yaitu: (1) segi kehujahannya (keabsahannya sebagai landasan pembentukan hukum), seperti kehujahan Sunnah, kehujahan ijma’, qiyas, dan sebagainya, dan (2) segi penunjukkannya terhadap hukum serta metode menarik hukum darinya. Yang disebut terakhir ini, yaitu segi penunjukan dalil terhadap hukum dan metode menarik hukum darinya, adalah kajian tentang berbagai cara Al-Qur’an dan Sunnah menunjukkan hukum baik dari segi kebahasaan seperti suatu perintah menunjukkan hukum wajib dan suatu larangan menunjukkan hukum haram selama tidak ada dalil yang menunjukkan hukum haram selama tidak ada dalil yang menunjukkan pengertian lain, maupun dari segi tujuan syariat (substansinya) seperti dalam praktik qiyas dalam upaya mengembangkan hukum lewat tujuan syariat. Dalam bagian ini dikaji secara rinci metode pemahaman Al-Qur’an dan Sunnah dari segi-segi tersebut. Pengetahuan tentang hal-hal tersebut disajikan dalam bentuk global, tidak terfokus kepada rincian perkasus. Atau dengan kata lain, Ushul Fiqh hanya berbicara tentang kaidah-kaidah atau ketetapan-ketetapan yang bersifat umum, tidak bersifat rinci. Misalnya, seperti dalam contoh di atas dalam kaidah “suatu perintah menunjukkan hukum wajib selama tidak ada dalil yang memalingkannya kepada pengertian lain”. Di sini Ushul Fiqh hanya berbicara tentang kaidah umum seperti itu, tanpa merinci satu per satu perintah yang terdapat dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Rincian dari kaidah-kaidah umum itu bukan kajian Ushul Fiqh, tetapi akan dikaji oleh seorang mujtahid ketika menerapkan kaidah-kaidah umum Usul Fiqh itu lebih kepada satu per satu ayat dalam Al-Qur’an, atau Hadis, atau kasus per kasus dari dalil-dalil lainnya.

2.      Tentang Cara Mengistinbatkan Hukum dari Dalil-dalil-nya

Metode istinbat yang dibahas dalam bagian ini adalah bagian dari metode-metode istinbat secara keseluruhan. Karena, sebagian besar dari metode istinbat, telah tercakup dalam bagian pertama di atas. Bagian ini khusus membicarakan metode istinbat bilamana dalam pandangan mujtahid terjadi pertentangan antara satu dalil dengan dalil yang lain. Misalnya, seperti dikemukakan oleh Abd al-Rahim al-Isnawi, mendahulukan dalil yang tegas atas dalil yang tidak tegas pengertiannya, mendahulukan hadis mutawatir atas hadis yang tidak sampai ke tingkat mutawatir, dan lain-lain yang pada umumnya dibahas dalam kajian ta’arud al-adillah (dalil-dalil yang bertentangan) dan metode tarjih (cara mengetahui mana dalil yang lebih kuat sehingga harus didahulukan).

3.      Tentang Syarat-syarat yang Harus Dipenuhi oleh Seseorang yang Akan Melakukan Ijtihad, tentang Ijtihad itu Sendiri dan Hal-hal yang Menjadi Lapangannya

Kalangan Hanfiyah, Malikiyah, dan Hanabilah, seperti dinukil dan disimpulkan oleh Wahbah az-Zuhaili mendefinisikan Ushul Fiqh sebagai:

Kaidah-kaidah yang akan digunakan seorang mujtahid untuk menyimpulkan hukum fikih dari satu persatu dalilnya.

Yang dimaksud dengan “kaidah-kaidah” dalam definisi tersebut adalah ketentuan-ketentuan yang bersifat umum yang menjadi pedoman bagi mujtahid untuk memahami hukum-hukum lebih rinci yang tercakup di dalam Al-Qur’an dan Sunnah.

Di antara kaidah-kaidah itu ada yang berhubungan dengan keabsahan suatu dalil misalnya keabsahan hadis Rasulullah untuk dijadikan sumber hukum, dan ada pula yang berhubungan dengan metode istinbat. Yang disebut terakhir ini, yaitu metode istinbat ada yang dari segi kebahasaan seperti kaidah yang mengatakan bahwa ayat-ayat yang tegas (qath’i) menunjukkan hukum, wajib diamalkan seadanya dan bukan merupakan lapangan ijtihad, ada yang dari segi substansinya (tujuan hukum atau maqasid syari’ah) seperti cara-cara menetapkan hukum dengan qiyas, istihsan, dan istishlah (maslahah mur-salah), dan ada pula yang berhubungan dengan metode tarjih yaitu metode untuk mengetahui mana yang lebih kuat di antara dalil-dalil yang kelihatan bertentangan di mata seorang mujtahid.

Kedua definisi di atas, sepakat pada satu inti dari Ushul Fiqh, yaitu metode atau kaidah-kaidah yang dipakai untuk meng-istinbat-kan hukum dari Al-Qur’an dan Sunnah. Muhammad Abu Zahrah, seorang ahli Usul Fiqh berkebangsaan Mesir yang hidup pada awal abad kedua puluh, dalam keterangannya menjelaskan bahwa inti ilmu Ushul Fiqh adalah satu ilmu yang menjelaskan metode meng-istinbat-kan hukum dari dalil-dalilnya.

Metode istinbat itu seperti tergambar dalam dua definisi di atas, ada yang berhubungan dengan kaidah-kaidah kebahasaan, ada yang berhubungan dengan tujuan hukum, dan ada pula dalam bentuk penyelesaian dari dalil-dalil yang kelihatan bertentangan. Metode pemahaman kebahasaan diperlukan karena Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab yang dalam memahaminya memerlukan seperangkat aturan. Ayat-ayat hukum dalam Al-Qur’an, dalam pandangan para ahli Ushul Fiqh menunjukkan hukum dari berbagai bentuk, sifat dan dari berbagai sisi. Ada berbentuk perintah (amar), ada berbentuk larangan (nahi) dan ada yang memberi pilih (takhyir). Ada yang bersifat umum dan ada pula yang bersifat khusus. Ada yang bersifat mutlaq dan ada pula yang bersifat muqayyad (dibatasi pengertiannya), ada yang dari sisi mantuq (tersurat), dan menurut mayoritas ulama Ushul Fiqh ada pula yang dari sisi mafhum mukhalafah (kebalikan dari hukum yang tersurat), dan lain-lain yang berhubungan dengan kajian kebahasaan. Ushul Fiqh menjelaskan cara memahami lafal ayat dan hadis dari berbagai sisi dan bentuknya itu.

Metode yang berhubungan dengan penetapan hukum melalui maqasid al-syari’ah (tujuan syariat) diperlukan karena Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah, menurut hasil penelitian para ahli Ushul Fiqh, di samping menunjukkan hukum melalui pengertian bahasanya, juga melalui tujuan hukumnya. Syariat Islam diturunkan bertujuan untuk kemaslahatan umat manusia. Adanya suatu perintah atau anjuran untuk untuk melakukan suatu perbuatan karena di dalamnya terdapat kemaslahatan bagi manusia. Sebaliknya, adanya suatu larangan karena di dalam perbuatan itu terdapat bahaya bagi kehidupan. Melalui substansi hukum ini, ayat-ayat hukum yang terbatas, jumlahnya dapat dikembangkan. Ushul Fiqh menjelaskan kaidah-kaidah atau metode penetapan hukum melalui hal tersebut, misalnya seperti dalam metode qiyas (analogi), istihsan, istishlah (maslahah mursalah), istishab, sadd al-zari’ah, dan ‘urf (adat kebiasaan). Adapun metode yang berhubungan dengan penyelesaian dalil-dalil yang kelihatan bertentangan diperlukan karena dalam pandangan seorang mujtahid, disebabkan keterbatasan kemampuan akal pikirannya dalam menangkap maksud dari suatu dalil, bisa jadi di satu kali maksud suatu dalil kelihatan bertentangan dengan maksud dalil yang lain. Ushul Fiqh menyajikan metode penyelesaiannya secara rinci seperti dalam metode tarjih.

OBJEK KAJIAN USHUL FIQH DAN FIKIH

1.      Objek kajian Ushul Fiqh

Untuk mendalami satu disiplin ilmu, lebih dulu perlu diketahui apa yang menjadi objek pembahasannya dan sisi mana saja dari objek bahasan tersebut yang akan dikaji. Demikian halnya untuk mempelajari Ushul Fiqh, perlu diketahui objek pembahasannya. Objek bahasan setiap ilmu pengetahuan adalah sesuatu yang dibahas dalam ilmu itu tentang sifat-sifat yang berhubungan atau bisa dihubungkan dengan sesuatu itu.

Dari definisi Ushul Fiqh menurut Abdullah bin Umar al-Baidlawi yang dikemukakan di bagian awal pembahasan ini, dapat dipaparkan tiga masalah pokok yang akan dibahas dalam Ushul Fiqh, yaitu tentang sumber dan dalil hukum, tentang metode istinbat, dan tentang ijtihad. Kajian tentang hukum (al-hukm) oleh ‘Abd Allah bin Umar al-Baidlawi di letakkan pada bagian pendahuluan. Sedangkan Imam Abu Hamid Al-Ghazali (450 H-505 H), ahli Ushul Fiqh dari kalangan Syafi’iyah meletakkan pembahasan tentang hukum bukan pada pendahuluan, melainkan pada bagian pertama dari masalah-masalah pokok yang akan dibahas dalam Ushul Fiqh. Berpegang kepada pendapat Al-Ghazali tersebut, maka objek bahasan Ushul Fiqh menjadi 4 (empat) bagian, yaitu: (1) pembahasan tentang hukum syara’ dan yang berhubungan dengannya, seperti hakim, mahkum fih, dan mahkum ‘alaih; (2) pembahasan tentang sumber-sumber dan dalil-dalil hukum; (3) pembahasan tentang cara mengistinbatkan hukum dari sumber-sumber dan dalil-dalil itu; dan (4) pembahasan tentang ijtihad. Secara global muatan kajian Ushul Fiqh seperti dijelaskan di atas menggambarkan objek bahasan Ushul Fiqh dalam berbagai literatur dan aliran, meskipun mungkin terdapat perbedaan tentang sistematika dan jumlah muatan dari masing-masing bagian tersebut.

Meskipun yang menjadi objek bahasan Ushul Fiqh ada empat seperti dikemukakan di atas, namun Wahbah az-Zuhaili dalam bukunya al-Wasith Fi Ushul al-Fiqh menjelaskan bahwa yang menjadi inti dari objek kajian Ushul Fiqh adalah tentang du ahal, yaitu dalil-dalil secara global dan tentang al-ahkam (hukum-hukum syara’). Selain dua hal tersebut, dipaparkan oleh para ulama Ushul Fiqh hanya sebagai pelengkap. Lalu aspek mana saja dari kedua objek bahasan tersebut yang dikaji dalam Ushul Fiqh?. Dalil-dalil syara’ dikaji dari segi tetapnya sifat-sifat esensialnya. Misalnya, Al-Qur’an adalah kitab suci dan menjadi sumber bagi ketetapan hukum syara’. Al-amr (perintah) yang terdapat di dalam Al-Qur’an menunjukkan hukum wajib. Sebuah teks (nash) yang tegas menunjukkan pengertiannya secara pasti (qath’i), Lafal umum yang sudah ditakhshish sebagian cakupannya, sisanya berlalu secara tidak pasti (zhannya). Dalam contoh-contoh di atas, Al-Qur’an dikaji dari segi kompetensinya dalam menetapkan hukum, teks (nash) yang tegas dikaji dari segi kepastian pengertiannya menunjukkan hukum, dan lafal umum yang sudah ditakhshish ketidakpastian penunjukannya terhadap sisa cakupan pengertiannya mengena hukum.

Begitulah setiap teks ayat atau hadis dalam berbagai macam bentuk dan karakteristiknya dikaji sedemikian rupa sehingga akan membuahkan kesimpulan-kesimpulan yang dirumuskan dalam bentuk kaidah-kaidah umum. Kemudian, hukum syara’ dijelaskan secara panjang lebar, baik dari segi konsepnya maupun dari segi bagaimana ia bisa ditetapkan melalui dalil-dalil syara’. Dari sisi ini kelihatan hubungan erat antara hukum dan dalil-dalil syara’. Sebuah ungkapan menarik dalam hal ini adalah apa yang dikemukakan oleh Abu Ishaq al-Syathibi dalam kitabnya al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah. Ia mengatakan: “Setiap kajian yang dirumuskan dalam Ushul Fiqh yang tidak bisa dibangun di atasnya hukum fikih, atau adab sopan santun syara’, atau tidak membantu untuk pembentukan hal-hal tersebut, maka meletakkan hal seperti itu dalam Ushul Fiqh adalah sia-sia”.

Dari keterangan di atas, jelas bahwa yang menjadi objek bahasan Ushul Fiqh adalah sifat-sifat esensial dari berbagai macam dalil dalam kaitannya dengan penetapan sebuah hukum dan sebaliknya segi bagaimana tetapnya suatu huku dengan dalil. Dalil-dalil atau kaidah-kaidah serta hukum itu dikemukakan secara global, tanpa masuk kepada rinciannya, karena rinciannya, seperti dikemukakan sebelumnya, dibahas dalam ilmu fikih olh mujtahid.

2.      Objek Kajian Fikih

Tugas Ushul Fiqh untuk menemukan sifat-sifat esensial dari dalil-dalil syara’ dan sifat-sifat esensial itu dirumuskan dalam bentuk dalil-dalil atau kaidah-kaidah secara global. Dalil-dalil yang secara global telah dirumuskan oleh para ahli Ushul Fiqh ini pada gilirannya akan diterapkan oleh seorang mujtahid kepada dalil-dalil juz’i (terinci) yang terdapat dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah. Dari aktivitas mujtahid dalam ijtihadnya itu akan membuahkan hukum Fikih yang langsung dikaitkan dengan perbuatan mukalaf. Jadi, yang menjadi bahasan Fikih adalah satu persatu dalil dalam Al-Qur’an dan Sunnah dalam kaitannya dengan perbuatan mukalaf, dengan menggunakan kaidah-kaidah Ushul Fiqh.

Adanya pembedaan fungsi tersebut di atas, hanya dapat dilihat dari sisi pandang disiplin ilmu. Dari segi praktiknya, perbedaan tersebut tidak begitu kelihatan, sebab apa yang disebut sebagai ijtihad dalam pembentukan hukum fikih tidak lain dari penerapan dari kaidah-kaidah Ushul Fiqh itu sendiri. Oleh sebab itu, dalam buku ini, ketika telah dilengkapi kaidah-kaidah Ushul Fiqh dengan contoh-contoh penerapannya, tidak akan kelihatan lagi perbedaan tersebut.

MANFAAT MEMPELAJARI USHUL FIQH

Dalam masyarakat muslim di mana berkembang budaya taklid kepada salah seorang imam pendiri mazhab, studi Ushul Fiqh kurang mendapat perhatian. Sebab, dalam mengamalkan hukum Islam, bisa jadi mereka merasa cukup dengan apa yang telah tersedia dalam buku-buku fikih klasik. Studi Ushul Fiqh baru teras penting bilamana dihadapkan kepada masalah-masalah baru yang hukumnya tidak terdapat dalam perbendaharaan fikih lam. Di samping itu, dengan maraknya para peminat hukum Islam melakukan perbandingan mazhab bahkan untuk mengetahui mana pendapat yang lebih kuat, serta adanya upaya untuk memperbarui hukum Islam, akan semakin terasa betapa pentingnya melakukan studi Ushul Fiqh. Gagasan pembaruan Hukum Islam tanpa mengetahui dan mendalami metodologi pembentukan hukum Islam, maka pembaruan itu sendiri akan menjadi boomerang bagi umat Islam karena akan menimbulkan kerancuan berpikir dalam hukum Islam.

Di bawah ini akan dikemukakan beberapa kegunaan penting bagi studi Ushul Fiqh:

1.      Dengan mempelajari Ushul Fiqh akan memungkinkan untuk mengetahui dasar-dasar para mujtahid masa silam dalam membentuk pendapat fikihnya. Dengan demikian, akan dimengerti betul secara mendalam, sehingga dengan itu bisa diketahui sejauh mana kebenaran pendapat-pendapat fikih yang berkembang di dunia Islam. Pengetahuan seperti ini akan mengantarkan kepada ketenangan mengamalkan pendapat-pendapat mereka.

2.      Dengan studi Ushul Fiqh seseorang akan memperoleh kemampuan untuk memahami ayat-ayat hukum dalam Al-Qur’an dan hadis-hadis hukum dalam Sunnah Rasulullah, kemudian meng-istinbat-kan hukum dari dua sumber tersebut. Dalam Ushul Fiqh, seseorang akan memperoleh pengetahuan bagaimana seharusnya memahami sebuah ayat atau hadis, dan bagaimana cara mengembangkannya. Oleh sebab itu, ulama-ulama mujtahid terdahulu, lebih mengutamakan studi Ushul Fiqh dari studi Fikih itu sendiri. Sebab dengan mempelajari Ushul Fiqh seseorang bukan saja mampu memakai tetapi berarti mampu memproduk fikih.

3.      Dengan mendalami Ushul Fiqh seseorang akan mampu secara benar dan lebih baik melakukan muqaranat al-mazahib al-Fiqhiyah, studi komparatif antar pendapat ulama fikih dari berbagai mazhab, sebab Ushul Fiqh merupakan alat untuk melakukan perbandingan mazhab fikih.

Kegunaan Ushul Fiqh terutama baru akan terasa bilamana keyakinan bahwa pintu ijtihad sudah tertutup dapat disingkirkan dari benak umat Islam. Jika benar pintu ijtihad pernah ditutup dalam sejarahnya, hal itu tidak lain dimaksudkan agar ijtihad tidak dimanipulasi oleh orang-orang yang tidak berkompeten untuk melakukannya. Bagi orang-orang yang mampu, pintu ijtihad tidak seorang pun yang berhak menutupnya. Dalam konteks inilah studi Ushul Fiqh menjadi lebih penting. Ia penting didalami, baik oleh seseorang yang akan memberikan fatwa, oleh para hakim di pengadilan di mana hukum Islam diterapkan, dan oleh para mahasiswa yang akan menekuni studi hukum Islam.              

Sumber : Buku Ushul Fiqh, Satria Effendi

Kisah Mata Air Keabadian

Kisah ini diriwayatkan oleh Ats-Tsa’labi dari Imam Ali ra. Pada zaman dahulu hiduplah seorang hamba Allah SWT yang melebihkan kepada d...