Jumat, 31 Oktober 2014

Efisiensi, Pendekatan, Dan Metode Belajar


 

Pendekatan belajar (approach to learning) dan strategi atau kiat melaksanakan pendekatan serta metode belajar termasuk faktor-faktor yang turut menentukan tingkat keberhasilan belajar siswa. Sering terjadi seorang siswa yang memilki kemampuan ranah cipta (kognitif) yang lebih tinggi daripada teman-temannya, ternyata hanya mampu mencapai hasil yang sama dengan yang dicapai teman-temannya. Bahkan, bukan hal yang mustahil jika suatu saat siswa cerdas tersebut mengalami kemerosotan prestasi sampai ke titik yang lebih rendah daripada prestasi temannya yang berkapasitas rata-rata.

Sebaliknya, seorang siswa yang sebenarnya hanya memiliki kemampuan ranah cipta rata-rata atau sedang, dapat mencapai puncak prestasi (sampai batas optimal kemampuannya) yang memuaskan, lantaran menggunakan pendekatan belajar yang efisisen dan efektif. Konsekuensi positifnya ialah harga diri (self-esteem) siswa tersebut melonjak hingga setara dengan teman-temannya, yang beberapa orang di antaranya mungkin berkapasitas kognitif lebih tinggi.

1.      EFISIENSI BELAJAR

Pada umumnya orang melakukan usaha atau bekerja dengan harapan memeroleh hasil yang banyak tanpa mengeluarkan biaya, tenaga, dan waktu yang banyak pula, atau dengan kata lain efisien. Efisiensi adalah sebuah konsep yang mencerminkan perbandingan terbaik antara usaha dengan hasilnya (Gie, 1985). Dengan demikian, ada dua macam efisiensi yang dapat dicapai siswa, yaitu: 1) efisiensi usaha belajar; 2) efisiensi hasil belajar.

A.    Efisiensi usaha belajar

Suatu kegiatan belajar dapat dikatakan efisien kalau prestasi belajar yang diinginkan dapat dicapai dengan usahan yang hemat atau minum. Usaha dalam hal ini segala sesuatu yang digunakan untuk mendapat hasil belajar yang memuaskan, seperti: tenaga dan pikiran, waktu, peralatan belajar, dan lain-lain hal yang relevan dengan kegiatan belajar.

B.     Efisiensi Hasil Belajar

Selanjutnya, sebuah kegiatan belajar dapat pula dikatakan efisien apabila dengan usaha belajar tertentu memberikan prestasi belajar tinggi.

2.      RAGAM PENDEKATAN BELAJAR

Banyak pendekatan belajar yang dapat Anda ajarkan kepada siswa untuk mempelajari bidang studi atau materi pelajaran yang sedang mereka tekuni, dari yang paling klasik sampai yang paling modern. Di antara pendekatan-pendekatan belajar yang dipandang representatif (mewakili) yang klasik dan modern itu ialah: 1) pendekatan hukum Jost; 2) pendekatan Ballar & Clancy; dan 3) pendekatan Biggs.

A.    Pendekatan Hukum Jost

Menurut Reber (1988), salah satu asumsi penting yang mendasari Hukum Jost (Jost’s Law) adalah siswa yang lebih sering mempraktikan materi pelajaran akan lebih mudah memanggil kembali memori lama yang berhubungan dengan materi yang sedang ia tekuni. Selanjutnya berdasarkan asumsi Hukum Jost itu maka belajar dengan kiat 5 x 3 adalah lebih baik daripada 3 x 5 walaupun hasil perilaku kedua kiat tersebut sama.

Maksudnya, mempelajari sebuah materi atau bidang studi, seperti bahasa Inggris, dengan alokasi waktu 3 jam per hari selama 5 hari akan lebih efektif daripada mempelajarai materi tersebut dengan alokasi waktu 5 jam sehari tetapi hanya selama 3 hari. Perumpamaan pendekatan belajar dengan cara mencicil seperti contoh di atas hingga kini masih dipandang cukup berhasil guna terutama untuk materi-materi yang bersifat hafalan atau pembiasaan keterampilan tertentu misalnya keterampilan berbahasa Inggris.

B.     Pendekatan Ballard & Clanchy

Menurut Ballard & Clanchy (1990), pendekatan belajar siswa pada umumnya dipengaruhi oleh sikap terhadap ilmu pengetahuan (attitude to knowledge). Ada dua macam siswa dalam menyikapi ilmu pengetahuan, yaitu: 1) sikap melestarikan materi yang sudah ada (conserving); dan 2) sikap memperluas materi (extending).

Siswa yang bersikap conserving pada umumnya menggunakan pendekatan belajar “reproduktif” (bersifat menghasilkan kembali fakta dan informasi). Sedangkan siswa yang bersikap extending, biasanya menggunakan pendekatan belajar “analitis” (berdasakan pemilahan dan interpretasi fakta dan informasi). Bahkan di antara mereka yang bersikap extending cukup banyak yang menggunakan pendekatan belajar yang lebih ideal yaitu pendekatan spekulatif (berdasarkan pemikiran mendalam), yang bukan saja bertujuan menyerap pengetahuan melainkan juga mengembangkannya.

C.    Pendekatan Biggs

Menurut hasil penelitian Biggs (1991), pendekatan belajar siswa dapat dikelompokkan ke dalam tiga prototipe (bentuk dasar), yakni:

1.      pendekatan surface (permukaan/bersifat lahiriah).

2.      pendekatan deep (mendalam)

3.      pendekatan achieving (pencapaian prestasi tinggi).

John B. Biggs, seorang profesor kognitif (cognitivist) yang berpengalaman mengepalai Jurusan Pendidikan Universitas Hongkong itu menyimpulkan bahwa prototipe-prototipe pendekatan belajar tadi pada umumnya digunakan para siswa berdasarkan motifnya, bukan karena sikapnya terhadap pengetahuan. Namun, agaknya patut diduga bahwa antara motif siswa dengan sikapnya terhadap pengetahuan ada keterkaitan.

Siswa yang menggunakan pendekatan surface misalnya, mau belajar karena dorongan dari luar (ekstrinsik) antara lain takut tidak lulus yang mengakibatkan dia malu. Oleh karena itu, gaya belajarnya santai, asal hafal, dan tidak mementingkan pemahaman yang mendalam.

Sebaliknya, siswa yang menggunakan deep biasanya mempelajari materi karena memang dia tertarik dan merasa membutuhkannya (intrinsik). Oleh karena itu, gaya belajarnya serius dan berusaha memahami materi secara mendalam serta memikirkan cara mengaplikasikannya. Bagi siswa ini, lulus dengan nilai baik itu penting, tetapi yang lebih penting memiliki pengetahuan yang banyak dan bermanfaat bagi kehidupannya.

Sementara itu, siswa yang menggunakan pendekatan achieving pada umumnya dilandasai oleh motif ekstrinsik yang berciri khusus yang disebut “ego-enchancement” yaitu ambisi pribadi yang besar dalam meningkatkan prestasi keakuan dirinya dengan cara meraih indeks prestasi setinggi-tingginya. Gaya belajar siswa ini lebih serius daripada siswa-siswa yang memakai pendekatan-pendekatan lainnya. Dia memiliki keterampilan belajar (study skills) dalam arti sangat cerdik dan efisien dalam mengatur waktu, ruang kerja, dan penelaahan isi silabus. Baginya, berkompetisi dengan teman-teman dalam meraih nilai tertinggi adalah penting, sehingga ia sangat disiplin, rapi dan sistematis serta berencana maju ke depan (plans ahead).

3.      METODE BELAJAR SQ3R

Untuk melengkapi uraian mengenai pendekatan dan strategi belajar sebagaimana tersebut di muka, berikut ini penyusun sajikan sebuah cara mempelajari teks (wacana), khususnya yang terdapat dalam buku, artikel ilmiah, dan laporan penelitian. Kiat yang secara spesifik dirancang untuk memahami isi teks itu disebur metode SQ3R yang dikembangkan oleh Francis P. Robinson di Universitas Negeri Ohio Amerika Serikat. Metode tersebut bersifat praktis dan dapat diaplikasikan dalam berbagai pendekatan belajar.

SQ3R pada prinsipnya merupakan singkatan langkah-langkah mempelajari teks yang meliputi:

1.      Survey, maksudnya memeriksa atau meneliti atau mengidentifikasi seluruh teks;

2.      Question, maksudnya menyusun daftar pertanyaan yang relevan dengan teks;

3.      Read, maksudnya membaca teks secara aktif untuk mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang telah tersusun;

4.      Recite, maksudnya menghafal setiap jawaban yang telah ditemukan;

5.      Review, maksudnya meninjau ulang seluruh jawaban atas pertanyaan yang tersusun pada langkah kedua dan ketiga.

Langkah pertama, dalam melakukan aktivitas survey, Anda perlu membantu dan mendorong siswa untuk memeriksa atau meneliti secara singkat seluruh struktur teks. Tujuannya, agar siswa mengetahui panjangnya teks, judul bagian (heading) dan judul subbagian (sub-heading), istilah, kata kunci, dan sebagainya. Dalam melakukan survey, siswa dianjurkan menyiapkan pensil, kertas, dan alat pembuat ciri (berwarna kuning, hijau, dan sebagainya) seperti stabile untuk menandai bagian-bagian tertentu. Bagian-bagian penting dan akan dijadikan bahan pertanyaan, perlu ditandai untuk memudahkan proses penyusunan daftar pertanyaan, perlu ditandai untuk memudahkan proses penyusunan daftar pertanyaan pada langkah selanjutnya.

Langkah kedua, Anda seyogianya memberi petunjuk atau contoh kepada para siswa untuk menyusun pertanyaan-pertanyaan yang jelas, singkat, dan relevan dengan bagian-bagian teks yang telah ditandai pada langkah pertama. Jumlah pertanyaan bergantung pada panjang-pendeknya teks, dan kemampuan siswa dalam memahami teks yang sedang dipelajari. Jika teks yang sedang dipelajari siswa berisi hal-hal yang sebelumnya sudah diketahui, mungkin mereka hanya perlu membuat beberapa pertanyaan. Sebaliknya, apabila latar belakang pengetahuan siswa tidak berhubungan dengan isi teks, maka ia perlu menyusun pertanyaan sebanyak-banyaknya.

Langkah ketiga, Anda seyogianya menyuruh siswa membaca secara aktif dala rangka mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang telah tersusun. Dalam hal ini, membaca secara aktif juga berarti membaca yang difokuskan pada paragraf-paragaraf yang diperkirakan mengandung jawaban-jawaban yang diperkirakan relevan dengan pertanyaan tadi.

Langkah keempat, seyogianya Anda menyuruh menyebutkan lagi jawaban-jawaban atas pertanyaan yang telah tersusun. Latihlah siswa untuk tidak membuka catatan jawaban. Jika sebuah pertanyaan tak terjawab, siswa tetap disuruh menjawab pertanyaan berikutnya. Demikian seterusnya, hingga seluruh pertanyaan, termasuk yang belum terjawab, dapat diselesaikan dengan baik.

Langkah kelima, pada langkah terakhir (review) Anda seyogianya menyuruh siswa meninjau ulang seluruh pertanyaan dan jawaban secara singkat.

Alokasi waktu yang diperlukan untuk memahami sebuah teks dengan metode SQ3R, mungkin tidak banyak berbeda dengan mempelajari teks secara biasa (tanpa metode SQ3R). Akan tetapi, hasil pembelajaran siswa dengan menggunakan SQ3R dapat diharapkan lebih memuaskan, karena dengan metode ini siswa menjadi pembaca aktif dan terarah langsung pada intisari atau kandungan-kandaungan pokok yang tersirat dan tersurat dalam teks.      

Sumber : Buku Psikologi Pendidikan, Muhibbin Syah.

Jenis-Jenis Belajar


 

Dalam poses belajar dikenal adanya bermacam-macam kegiatan yang memiliki corak yang berbeda antara satu dengan ainnya, baik dalam aspek materi dan metodenya maupun dalam aspek tujuan dan perubahan tingkah laku yang diharapkan. Keanekaragaman jenis belajar ini muncul dalam dunia pendidikan sejalan dengan kebutuhan kehidupan manusia yang juga bermacam-macam.

1.      Belajar Abstrak

Belajar abstrak ialah belajar yang menggunakan cara-cara berpikir abstrak. Tujuannya adalah untuk memeroleh pemahaman dan pemecahan masalah-masalah yang tidak nyata. Dalam mempelajari hal-hal yang abstrak diperlukan peranan akal yang kuat di samping penguasaan atas prinsip, konsep, dan generalisasi. Termasuk dalam jenis ini misalnya belajar matematika, astronomi, filsafat, dan materi bidang studi agama seperti tauhid.

2.      Belajar Keterampilan

Belajar keterampilan adalah belajar dengan menggunakan gerakan-gerakan motorik yakni yang berhubungan dengan urat-urat syaraf dan otot-otot/ neuromuscular. Tujuannya untuk memperoleh dan menguasai keterampilan jasmaniah tertentu. Dalam belajar jenis ini pelatihan intensif dan teratur amat diperlukan. Termasuk belajar dalam jenis ini misalnya belajar olahraga, musik, menari, melukis, memperbaiki benda-benda elektronik, dan juga sebagian materi pelajaran agama, seperti ibadah salat dan haji.

3.      Belajar Sosial

Belajar sosial pada dasarnya adalah belajar memahami masalah-masalah dan teknik-teknik untuk memecahkan masalah tersebut. Tujuannya untuk menguasai pemahaman dan kecakapan dalam memecahkan masalah-masalah sosial seperti masalah keluarga, masalah persahabatan, masalah kelompok, dan masalah-masalah lain yang bersifat kemasyarakatan.

Selain itu, belajar sosial juga bertujuan untuk mengatur dorongan nafsu pribadi demi kepentingan bersama dan memberi peluang kepada orang lain atau kelompok lan untuk memenuhi kebutuhannya secara berimbang dan proporsional. Bidang-bidang studi yang termasuk bahan pelajaran sosial antara lain pelajaran agama dan PPKn.

4.      Belajar Pemecahan Masalah

Belajar pemecahan pada dasarnya adalah belajar menggunakan metode-metode ilmiah atau berpikir secara sistematis, logis, teratur, dan teliti. Tujuannya ialah untuk memeroleh kemampuan dan kecakapan kognitif untuk memecahkan masalah secara rasional, lugas, dan tuntas. Untuk itu, kemampuan siswa dalam menguasai konsep-konsep, prinsip-prisnip, dan generalisasi serta insight (tilikan akal) amat diperlukan.

Dalam hal ini, hampir semua bidang studi dapat dijadikan sarana belajar pemecahan masalah. Untuk keperluan ini, guru (khususnya yang mengajar eksakta, seperti matematika dan IPA) sangat dianjurkan menggunakan model dan strategi mengajar yang berorientasi pada cara pemecahan masalah (Lawson, 1991).

5.      Belajar Rasional

Belajar rasional ialah belajar dengan menggunakan kemampuan berpikir secara logis dan rasional (sesuai dengan akal sehat). Tujuannya ialah untuk memeroleh aneka ragam kecakapan menggunakan prinsip-prinsip dan konsep-konsep. Jenis belajar ini sangat erat kaitannya dengan belajar pemecahan masalah. Dengan belajar rasional, siswa diharapkan memiliki kemampuan rasional problem solving, yaitu kemampuan memecahkan masalah dengan menggunakan pertimbangan dan strategi akal sehat, logis, dan sistematis (Reber, 1988).

Bidang-bidang studi yang dapat digunakan sebagai sarana belajar rasional sama dengan bidang-bidang studi untuk belajar pemecahan masalah. Perbedaannya, belajar rasional tidak memberi tekanan khusus pada penggunaan bidang studi eksakta. Artinya, bidang-bidang studi noneksakta pun dapat memberi efek yang sama dengan bidang studi eksakta dalam belajar rasional.

6.      Belajar Kebiasaan

Belajar kebiasaan adalah proses pembentukan kebiasaan-kebiasaan baru atau perbaikan kebiasaan-kebiasaan yang telah ada. Belajar kebiasaan, selain menggunakan perintah, suri teladan dan pengalaman khusus, juga menggunakan hukuman dan ganjaran. Tujuannya agar siswa memeroleh sikap-sikap dan kebiasaan-kebiasaan perbuatan baru yang lebih tepat dan positif dalam arti selaras dengan kebutuhan ruang dan waktu  (kontekstual). Selain itu, arti tepat dan positif di atas ialah selaras dengan norma dan tata nilai moral yang berlaku, baik yang bersifat religius maupun tradisional dan kultural. Belajar kebiasaan akan lebih tepat dilaksanakan dalam konteks pendidikan keluarga sebagaimana yang dimaksud oleh UUSPN 2003 Bab VI Pasal 27 (1) dan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) yakni TK dan RA (Raudhatul Athfal) sebagaimana yang diisyaratkan dalam Bab VI Pasal 28 (1) Undang-undang tersebut. Namun demikian tentu tidak tertutup kemungkinan penggunaan pelajaran agama sebagai sarana belajar kebiasaan bagi para siswa.

7.      Belajar Apresiasi

Belajar apresiasi adalah belajar mempertimbangkan (judgment) arti penting atau nilai suatu objek. Tujuannya, agar siswa memeroleh dan mengembangkan kecakapan ranah rasa (affective skills) yang dalam hal ini kemampuan menghargai secara tepat terhadap nilai objek tertentu misalnya apresiasi sastra, apresiasi musik, dan sebagainya.

Bidang-bidang studi yang dapat menunjang tercapainya tujuan belajar apresiasi antara lain bahasa dan sastra, kerajinan tangan (prakarya), kesenian, dan menggambar. Selain bidang-bidang studi ini, bidang studi agama juga memungkinkan untuk digunakan sebagai alat pengembangan apresiasi siswa, misalnya dalam hal seni baca tulis Al-Qur’an.

8.      Belajar Pengetahuan

Belajar pengetahuan (studi) ialah belajar dengan cara melakukan penyelidikan mendalam terhadap objek pengetahuan tertentu. Studi ini juga dapat diartikan sebagai sebuah program belajar terencana untuk menguasai materi pelajaran dengan melibatkan kegiatan investigasi dan eksperimen (Reber, 1988). Tujuan belajar pengetahuan ialah agar siswa memeroleh atau menambah informasi dan pemahaman terhadap pengetahuan tertentu yang biasanya lebih rumit dan memerlukan kiat khusus dalam mempelajarinya, misalnya dengan menggunakan alat-alat, laboratorium dan penelitian lapangan.  

Contoh: kegiatan siswa dalam bidang studi fisika mengenai “gerak” menurut hukum Newton I. Dalam hal ini siswa melakukan eksperimen untuk membuktikan bahwa setiap benda tetap diam atau bergerak secara beraturan, kecuali kalau ada gaya luar yang memengaruhinya. Contoh lainnya, kegiatan siswa dalam bidang studi biologi mengenai protoplasma, yakni zat hidup yang ada pada tumbuhan dan hewan. Dalam hal ini siswa melakukan investigasi terhadap senyawa organik yang terdapat dalam protoplasma yang meliputi: karbohidrat, lemak, protein, dan asam nukleat.
Sumber : Buku Psikologi Pendidikan, Muhibbin Syah.

Perwujudan Perilaku Belajar


 

Dalam hal memahami arti belajar dan esensi perubahan karena belajar, para ahli sependapat atau sekurang-kurangnya terdapat titik temu di antara mereka mengenai hal-hal yang prinsipal. Akan tetapi, mengenai apa yang dipelajari siswa dan bagaimana perwujudannya, agaknya masih tetap merupakan teka-teki yang sering menimbulkan silang pendapat yang cukup tajam di antara para ahli itu. meskipun demikian, berikut ini akan penyusun turunkan pendapat sekelompok ahli yang relatif lebih lengkap mengenai perilaku belajar. Pemakaian pendapat kelompok ahli ini tidak berarti mengecilkan pendapat kelompok ahli lainnya.

Manifestasi atau perwujudan perilaku belajar biasanya lebih sering tampak dalam perubahan-perubahan sebagai berikut: 1) kebiasaan; 2) keterampilan; 3) pengamatan; 4) berpikir asosiatif dan daya ingat; 5) berpikir rasional; 6) sikap; 7) inhibisi; 8) apresiasi; dan 9) tingkah laku efektif. Timbulnya sikap dan kesanggupan yang konstruktif, juga berpikir kritis dan kreatif, seperti yang dikemukakan sebagian ahli, tidak penyusun uraikan secara eksplisit mengingat keterpaduannya dalam sembilan perwujudan di atas.

1.      Kebiasaan

Setiap siswa yang telah mengalami proses belajar, kebiasaan-kebiasaannya akan tampak berubah. Menurut Burghardt (1973), kebiasaan itu timbul karena proses penyusutan kecenderungan respons dengan menggunakan stimulasi yang berulang-ulang. Dalam proses belajar, pembiasaan juga meliputi pengurangan perilaku yang tidak diperlukan. Karena proses pe-nyusutan/pengurangan inilah, muncul suatu pola bertingkah laku baru yang relatif menetap dan otomatis.

Kebiasaan ini terjadi karena prosedur pembiasaan seperti dalam classical dan operant conditioning. Contoh: siswa yang belajar bahasa secara berkali-kali menghindari kecenderungan penggunaan kata atau struktur yang keliru, akhirnya akan terbiasa dengan penggunaan bahasa secara baik dan benar. Jadi, berbahasa dengan cara yang baik dan benar itulah perwujudan perilaku belajar siswa tadi.

2.      Keterampilan

Keterampilan ialah kegiatan yang berhubungan dengan urat-urat syaraf dan otot-otot (neuromuscular) yang lazimnya tampak dalam kegiatan jasmaniah seperti menulis, mengetik, olah raga, dan sebagainya. Meskipun sifatnya motorik, namun keterampilan itu memerlukan koordinasi gerak yang teliti dan kesadaran yang tinggi. Dengan demikian, siswa yang melakukan gerakan motorik dengan koordinasi dan kesadaran yang rendah dapat dianggap kurang atau tidak terampil.

Di samping itu, menurut Reber (1988), keterampilan adalah kemampuan melakukan pola-pola tingkah laku yang kompleks dan tersusun rapi secara mulus dan sesuai dengan keadaan untuk mencapai hasil tertentu. Keterampilan bukan hanya meliputi gerakan motorik melainkan juga pengejawantahan fungsi mental yang bersifat kognitif. Konotasinya pun luas sehingga sampai pada mempengaruhi atau mendayagunakan orang lain. Artinya orang yang mampu mendayagunakan orang lain secara tepat juga dianggap sebagai orang yang terampil.

3.      Pengamatan

Pengamatan artinya proses menerima, menafsirkan, dan memberi arti rangsangan yang masuk melalui indera-indera seperti mata dan telinga. Berkat pengalaman belajar seorang siswa akan mampu mencapai penga-matan yang benar objektif sebelum mencapai pengertian. Pengamatan yang salah akan mengakibatkan timbulnya pengertian yang salah pula. Sebagai contoh, seorang anak yang baru pertama kali mendengarkan radio akan mengira bahwa penyiar benar-benar berada dalam kotak bersuara itu. Namun melalui proses belajar, lambat laun akan diketahuinya juga bahwa yang ada dalam radio tersebut hanya suaranya, sedangkan penyiarnya berada jauh di studio pemancar.

4.      Berpikir Asosiatif dan Daya Ingat

Secara sederhana, berpikir asosiatif adalah berpikir dengan cara mengasosiasikan sesuatu dengan lainnya. Berpikir asosiatif itu merupakan proses pembentukan hubungan antara rangsangan dengan respons. Dalam hal ini perlu dicatat bahwa kemampuan siswa untuk melakukan hubungan asosiatif yang benar amat dipengaruhi oleh tingkat pengertian atau pengetahuan yang diperoleh dari hasil belajar. Sebagai contoh, siswa yang mampu menjelaskan arti penting tanggal 12 Rabiul Awal. Kemampuan siswa tersebut dalam mengasosiasikan tanggal bersejarah itu dengan hari ulang tahun (maulid) Nabi Muhammad SAW. hanya bia didapat apabila ia telah mempelajari riwayat hidup beliau.

Di samping itu, daya ingat pun merupakan perwujudan belajar, sebab merupakan unsur merupakan unsur pokok dalam berpikir asosiatif. Jadi, siswa yang telah mengalami proses belajar akan ditandai dengan bertambahnya simpanan materi (pengetahuan dan pengertian) dalam memori, serta meningkatnya kemampuan menghubungkan materi tersebut dengan situasi stimulus yang sedang ia hadapi.

5.      Berpikir Rasional dan Kritis

Berpikir rasional dan kritis adalah perwujudan perilaku belajar terutam yang bertalian dengan pemecahan masalah. Pada umumnya siswa yang berpikir rasional akan menggunakan prinsip-prinsip dan dasar-dasar pengertian dalam menjawab pertanyaan “bagaimana” (how) dan “mengapa” (why). Dalam berpikir rasional, siswa dituntut menggunakan logika (akal sehat) untuk menentukan sebab-akibat, menganalisis, menarik simpulan-simpulan, dan bahkan juga menciptakan hukum-hukum (kaidah teoretis) dan ramalan-ramalan. Dalam hal berpikir, siswa dituntut menggunakan strategi kognitif tertentu yang tepat untuk menguji keandalan gagasan pemecahan masalah dan mengatasi kesalahan atau kekurangan (Reber, 1988).

6.      Sikap

Dalam arti yang sempit sikap adalah pandangan atau kecenderungan mental. Menurut Bruno (1978), sikap (attitude) adalah kecenderungan yang relatif menetap untuk bereaksi dengan cara baik atau buruk terhadap orang atau barang tertentu. Dengan demikian, pada prinsipnya sikap itu dapat kita anggap suatu kecenderungan siswa untuk bertindak dengan cara tertentu. Dalam hal ini, perwujudan perilaku belajar siswa akan ditandai dengan munculnya kecenderungan-kecenderungan baru yang telah berubah (lebih maju dan lugas) terhadap suatu objek, tata nilai, peristiwa dan sebagainya.

7.      Inhibisi

Secara ringkas, inhibisi adalah upaya pengurangan atau pencegahan timbulnya suatu respons tertentu karena adanya proses respons lain yang sedang berlangsung (Reber, 1988). Dalam hal belajar, yang dimaksud dengan inhibisi ialah kesanggupan siswa untuk mengurangi atau menghentikan tindakan yang tidak perlu, lalu memilih atau melakukan tindakan lainnya yang lebih baik ketika ia berinteraksi dengan lingkungannya.

Kemampuan siswa dalam melakukan inhibisi pada umumnya diperoleh lewat proses belajar. Oleh sebab itu, makna dan perwujudan perilaku belajar seorang siswa akan tampak pula dalam kemampuannya melakukan inhibisi ini. Contoh: seorang siswa yang telah sukses mempelajari bahaya alkohol akan menghindari membeli minuman keras. Sebagai gantinya ia membeli minuman sehat.

8.      Apresiasi

Pada dasarnya, apresiasi berarti suatu pertimbangan (judgment) mengenai arti penting atau nilai sesuatu (Chaplin, 1982). Dalam penerapannya, apresiasi sering diartikan sebagai penghargaan atau penilaian terhadap benda-benda baik abstrak maupun konkret yang memiliki nilai luhur. Apresiasi adalah gejala ranah afektif yang pada umumnya ditujukan pada karya-karya seni budaya seperti: seni sastra, seni musik, seni lukis, drama, dan sebagainya.

Tingkat apresiasi seorang siswa terhadap nilai sebuah karya sangat bergantung pada tingkat pengalaman belajarnya. Sebagai contoh, jika seorang siswa telah mengalami proses belajar agama secara mendalam maka tingkat apresiasinya terhadap nilai seni baca Al-Qur’an dan kaligrafi akan mendalam pula. Dengan demikian, pada dasarnya seorang siswa baru akan memiliki apresiasi yang memadai terhadap objek tertentu (misalnya kaligrafi) apabila sebelumnya ia telah mempelajari materi yang berkaitan dengan objek yang dianggap mengandung nilai penting dan indah tersebut.

9.      Tingkah Laku Afektif

Tingkah laku afektif adalah tingkah laku yang menyangkut keanekaragaman perasaan seperti: takut, marah, sedih, gembira, kecewa, senang, benci, was-was, dan sebagainya. Tingkah laku seperti ini tidak terlepas dari pengaruh pengalaman belajar. Oleh karenanya, ia juga dapat dianggap sebagai perwujudan perilaku belajar.

Seorang siswa, misalnya, dapat dianggap sukses secara afektif dalam belajar agama apabila ia telah menyenangi dan menyadari dengan ikhlas kebenaran ajaran agama yang ia pelajari, lalu menjadikannya sebagai “sistem nilai diri”. Kemudian, pada giliranya ia menjadikan sistema nilai ini sebagai penuntun hidup, baik di kala suka maupun duka (Darajat, 1985).  
Sumber : Buku Psikologi Pendidikan, Muhibbin Syah.

Ciri Khas Perilaku Belajar


 

Setiap perilaku belajar selalu ditandai oleh ciri-ciri perubahan yang spesifik. Karakteristik perilaku belajar ini dalam beberapa pustaka rujukan, antara lain Psikologi Pendidikan oleh Surya (1982), disebut juga sebagai prinsip-prinsip belajar. Di antara ciri-ciri perubahan khas yang menjadi karakteristik perilaku belajar yang terpenting adalah:

1)      perubahan itu intensional;

2)      perubahan itu positif dan aktif;

3)      perubahan itu efektif dan fungsional.

 

1.      Perubahan Intensional

Perubahan yang terjadi dalam proses belajar adalah berkat pengalaman atau praktik yang dilakukan dengan sengaja dan disadari, atau dengan kata lain bukan kebetulan. Karakteristik ini mengandung konotasi bahwa siswa menyadari akan adanya perubahan yang dialami atau sekurang-kurangnya ia merasakan adanya perubahan dalam dirinya, seperti penambahan pengetahuan, kebiasaan, sikap dan pandangan sesuatu, keterampilan dan seterusnya. Sehubungan dengan itu, perubahan yang diakibatkan mabuk, gila, dan lelah tidak termasuk dalam karakteristik belajar, karena individu yang bersangkutan tidak menyadari atau tidak menghendaki keberadaannya.

Di samping perilaku belajar itu menghendaki perubahan yang disadari, juga diarahkan pada tercapainya perubahan tersebut. Jadi, jika seorang siswa belajar bahasa Inggris umpamanya, maka sebelumnya ia telah menetapkan taraf kemahiran yang disesuaikan dengan tujuan pemakaiannya. Penetapan ini misalnya, apakah bahasa asing tersebut akan ia gunakan untuk keperluan studi ke luar negeri ataukah untuk sekedar bisa membaca teks-teks atau literatur berbahasa Inggris.

Namun demikian, perlu pula dicatat bahwa kesengajaan belajar itu, menurut Anderson (1990) tidak penting, yang penting cara mengelola informasi yang diterima siswa pada waktu pembelajaran terjadi. Di samping itu, dari kenyataan sehari-hari juga menunjukkan bahwa tidak semua kecakapan yang kita peroleh merupakan hasil kesengajaan belajar yang kita sadari.

Sebagai contoh, kebiasaan bersopan santun di meja makan dan bertegur sapa dengan orang lain, guru, dan orang-orang baik di sekitar kita tanpa disengaja dan disadari. Begitu juga beberapa kecakapan tertentu yang kita peroleh dari pengalaman dan praktik sehari-hari, belum tentu kita pelajari dengan sengaja. Dengan demikian, dapat kita pastikan bahwa perubahan intensional tersebut “bukan harga mati” yang harus dibayar oleh Anda dan siswa.

2.      Perubahan Positif dan Aktif

Perubahan yang terjadi karena proses belajar bersifat positif dan aktif. Positif artinya baik, bermanfaat, serta sesuai dengan harapan. Hal ini juga bermakna bahwa perubahan tersebut senantiasa merupakan penambahan, yakni diperolehnya sesuatu yang baru (seperti pemahaman dan keterampilan baru) yang lebih baik daripada apa yang telah ada sebelumnya. Adapun perubahan aktif artinya tidak terjadi dengan sendirinya seperti karena proses kematangan (misalnya, bayi yang bisa merangkak setelah bisa duduk), tetapi karena usaha siswa itu sendiri.

3.      Perubahan Efektif dan Fungsional

Perubahan yang timbul karena proses belajar bersifat efektif, yakni berhasil guna. Artinya, perubahan tersebut membawa pengaruh, makna, dan manfaat tertentu bagi siswa. Selain itu, perubahan dalam proses belajar bersifat fungsional dalam arti bahwa ia relatif menetap dan setiap saat apabila dibutuhkan, perubahan tersebut dapat direproduksi dan dimanfaatkan. Perubahan fungsional dapat diharapkan memberi manfaat yang luas misalnya ketika siswa menempuh ujian dan menyesuaikan diri dengan lingkungan kehidupan sehari-hari dalam mempertahankan kelangsungan hidupnya.

Selain itu, perubahan yang efektif dan fungsional biasanya bersifat dinamis dan mendorong timbulnya perubahan-perubahan positif lainnya. Sebagai contoh, jika seorang siswa belajar menulis, maka di samping akan mampu merangkaikan kata dan kalimat dalam bentuk tulisan, ia juga akan memperoleh kecakapan lainnya seperti membuat catatan, mengarang surat, dan bahkan menyusun karya sastra atau karya ilmiah.  
Sumber : Buku Psikologi Pendidikan, Muhibbin Syah.

Kamis, 30 Oktober 2014

Proses dan Fase Belajar


 

1.      Definisi Proses Belajar

Proses adalah kata yang berasal dari bahasa Latin “processus” yang berarti “berjalan ke dapan”. Kata ini mempunyai konotasi urutan langkah atau kemajuan yang mengarah pada suatu sasaran atau tujuan. Menurut Chaplin (1972), proses adalah Any change in any object or organism, particulary a behavioral or psychological change. (Proses adalah suatu perubahan yang menyangkut tingkah laku atau kejiwaan).

Dalam psikologi belajar, proses berarti cara-cara atau langkah-langkah khusus yang dengannya beberapa perubahan ditimbulkan hingga tercapainya hasil-hasil tertentu (Reber, 1988). Jika kita perhatikan ungkapan any change in object or organism dalam definisi Chaplin di atas dan kata-kata “cara-cara atau langkah-langkah” (manners or operations) dalam definisi Reber tadi, istilah “tahapan perubahan” dapat kita pakai sebagai padanan kata proses. Jadi, proses belajar dapat diartikan sebagai tahapan perubahan perilaku kognitif, afektif, dan psikomotor yang terjadi dalam diri siswa. Perubahan tersebut bersifat positif dalam arti berorientasi ke arah yang lebih maju daripada keadaan sebelumnya.

2.      Fase-Fase dalam Proses Belajar

Karena belajar itu merupakan aktivitas yang berproses, sudah tentu di dalamnya terjadi perubahan-perubahan yang bertahap. Perubahan-perubahan tersebut timbul melalui fase-fase yang antara satu dengan lainnya bertalian secara berurutan dan fungsional.

Menurut Jerome S. Bruner, salah seorang penentang teori S-R Bond (Barlow, 1985), dalam proses belajar, siswa menempuh tiga episode atau fase, yakni:

1.      fase informasi (tahap penerimaan materi).

2.      fase transformasi (tahap pengubahan materi).

3.      fase evaluasi (tahap penilaian materi).

Dalam fase informasi (information), seorang siswa yang sedang belajar memeroleh sejumlah keterangan mengenai materi yang sedang dipelajari. Di antara informasi yang diperoleh itu ada yang sama sekali baru dan berdiri sendiri ada pula yang berfungsi menambah, memperhalus, dan memperdalam pengetahuan yang sebelumnya telah dimiliki.

Dalam fase transformasi (transformation), informasi yang telah diperoleh itu dianalisis, diubah, atau ditransformasikan menjadi bentuk yang abstrak atau konseptual supaya kelak pada gilirannya dapat dimanfaatkan bagi hal-hal yang lebih luas. Bagi siswa pemula, fase ini akan berlangsung lebih mudah apabila disertai dengan bimbingan Anda selaku guru yang diharapkan kompeten dalam mentransfer strategi kognitif yang tepat untuk mempelajari materi pelajaran tertentu.

Dalam fase evaluasi (evaluation), seorang siswa akan menilai sendiri sampai sejauh mana pengetahuan (informasi yang telah ditransformasikan tadi) dapat dimanfaatkan untuk memahami gejala-gejala lain atau memecahkan masalah yang dihadapi.

Menurut Wittig (1981) dalam bukunya Psychology of Learning, setiap proses belajar selalu berlangsung dalam tahapan-tahapan yang mencakup:

1.      Acquisition (tahap perolehan/penerimaan informasi).

2.      Storage (tahap penyimpanan informasi).

3.      Retrivel (tahap mendapatkan kembali informasi).

Pada tingkatan acquisition seorang siswa mulai menerima informasi sebagai stimulus dan melakukan respons terhadapnya, sehingga menimbulkan pemahaman dan perilaku baru. Pada tahap ini terjadi pula asimilasi antara pemahaman dengan perilaku baru dalam keseluruhan perilakunya. Proses acquisition dalam belajar merupakan tahap yang paling mendasar. Kegagalan dalam tahap ini akan mengakibatkan kegagalan pada tahap-tahap berikutnya.

Pada tingkatan storage seorang siswa secara otomatis akan mengalami proses penyimpanan pemahaman dan perilaku baru yang ia peroleh ketika menjalani proses acquisition. Peristiwa ini sudah tentu melibatkan fungsi short term dan long term memori.

Pada tingkatan retrivel seorang siswa akan mengaktifkan kembali fungsi-fungsi sistem memorinya, misalnya ketika ia menjawab pertanyaan atau memecahkan masalah. Proses retrivel pada dasarnya adalah upaya atau peristiwa mental dalam mengungkapkan dan memproduksi kembali item-item yang tersimpan dalam memori berupa informasi, simbol, pemahaman, dan perilaku tertentu sebagai respons atas stimulus yang sedang dihadapi.
Sumber : Buku Psikologi Pendidikan, Muhibbin Syah.

Teori-Teori Pokok Belajar


 

Secara pragmatis, teori belajar dapat dipahami sebaga prinsip umum atau kumpulan prinsip yang saling berhubungan dan merupakan penjelasan atas sejumlah fakta dan penemuan yang berkaitan dengan peristiwa belajar. Di antara sekian banyak teori yang berdasarkan hasil eksperimen terdapat tiga macam yang sangat menonjol, yakni: connectionism, classical conditioning, dan operan conditioning. Teori-teori tersebut merupakan ilham yang mendorong para ahli melakukan eksperimen-eksperimen lainnya untuk mengembangkan teori-teori baru yang juga berkaitan dengan belajar seperti Contigious Conditioning (Guthrie), Sign Learning (Tolman), Gestalt Theory, dan lain sebagainya.

1.      Koneksionisme

Teori koneksionisme (connectionism) adalah teori yang ditemukan dan dikembangkan oleh Edward L. Thorndike (1874-1949) berdasarkan eksperimen yang ia lakukan pada tahun 1890-an. Eksperimen Throndike ini menggunakan hewan-hewan terutama kucing untuk mengetahui fenomena belajar.

Seekor kucing yang lapar ditempatkan dalam sangkar berbentuk kotak berjeruji yang dilengkapi dengan peralatan, seperti pengungkit, gerendel pintu, dan tali yang menghubungkan pengungkit dengan gerendel tersebut. Peralatan ini ditata sedemikian rupa sehingga memungkinkan kucing tersebut memeroleh makanan yang tersedia di depan sangkar tadi.

Keadaan bagian dalam sangkar yang disebut puzzle box (peti teka-teki) itu merupakan situasi stimulus yang merangsang kucing untuk bereaksi melepaskan diri dan memeroleh makanan yang ada di muka pintu. Mula-mula kucing tersebut mengeong, mencakar, melompat, dan berlari-larian, namun gagal membuka pintu untuk memeroleh makanan yang ada di depannya. Akhirnya, entah bagaimana, secara kebetulan kucing itu berhasil menekan pengungkit dan terbukalah pintu sangkar tersebut. Eksperimen puzzle box ini kemudian terkenal dengan nama instrumental conditioning. Artinya, tingkah laku yang dipelajari berfungsi sebagai instrumental (penolong) untuk mencapai hasil atau ganjaran yang dikehendaki (Hintzman, 1978).

Berdasarkan eksperimen di atas, Thorndike menyimpulkan bahwa belajar adalah hubungan antara stimulus dan respons. Itulah sebabnya, teori koneksionisme juga disebut “S-R Bond Theory” dan “S-R Psychology of Learning”. Di samping itu, teori ini juga terkenal dengan sebutan “Trial and Error Learning”. Istilah ini menunjuk pada panjangnya waktu atau banyaknya jumlah kekeliruan dalam mencapai suatu tujuan (Hilgard & Bower, 1975).

Apabila kita perhatikan dengan seksama, dalam eksperimen Thorndike tadi akan kita dapati dua hal pokok yang mendorong timbulnya fenomena belajar. Pertama, keadaan kucing yang lapar. Seandainya kucing itu kenyang, sudah tentu tak akan berusaha keras untuk keluar. Bahkan, barangkali ia akan tidur saja dalam puzzle box yang mengurungnya. Dengan kata lain, kucing itu tidak akan menampakkan gejala belajar untuk ke luar. Sehubangan dengan hal ini, hampir dapat dipastikan bahwa motivasi (seperti rasa lapar) merupakan hal yang sangat vital dalam belajar.

Kedua, tersedianya makanan di muka pintu puzzle box. Makanan ini merupakan efeks positif atau memuaskan yang dicapai oleh respons kemudian menjadi dasar timbulnya hukum belajar yang disebut law of effect. Artinya, jika sebuah respons menghasilkan efek yang memuaskan berhubungan antara stimulus dengan respons akan semakin kuat. Sebaliknya, semakin tidak memuaskan (mengganggu) efek yang dicapai respons, semakin lemah pula hubungan stimulus dan respons tersebut. Hukum belajar inilah yang mengilhami munculnya konsep reinforce dalam teori operant conditioning hasil penemuan B.F. Skinner.

Disamping law of effect. Thorndike juga mengemukakan dua macam hukum lainnya yang maing-masing disebut law of readiness dan law of exercise. Sekarang, kedua macam hukum ini sesungguhnya tidak begitu populer, namun cukup berguna sebagai tambahan kajian dan perbandingan.

Law of readiness (hukum kesiapsiagaan) pada prinsipnya hanya merupakan asumsi bahwa kepuasaan organisme itu berasal dari pendayagunaan conductions unit (satuan perantaraan). Unit-unit ini menimbulkan kecenderungan yang mendorong organisme untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu. Jelas, hukum ini semata-mata bersifat spekulatif yang menurut Reber (1988), hanya bersifat historis.

Law of exercise (hukum pelatihan) ialah generalisasi atas law of use dan law of disuse. Menurut Hilgard & Bower (1975), jika perilaku (perubahan hasil belajar) sering dilatih atau digunakan maka eksistensi perilaku tersebut akan semakin kuat (law of use). Sebaliknya, jika perilaku tadi tidak sering dilatih atau tidak digunakan maka perilaku tersebut akan terlupakan atau sekurang-kurangnya akan menurun (law of disuse).

2.      Pembiasaan Klasik

Teori pembiasaan klasik (classical conditioning) ini berkembang berdasarkan hasil eksperimen yang dilakukan oleh Ivan Pavlov (1849-1936), seorang ilmuwan besar Rusia yang berhasil menggondol hadiah Nobel pada tahun 1909. Pada dasarnya classical conditioning adalah sebuah prosedur penciptaan refleks baru dengan cara mendatangkan stimulus sebelum terjadinya refleks tersebut (Terrace, 1973).

Kata classical yang mengawali nama teori ini semata-mata dipakai untuk menghargai karya Pavlov yang dianggap paling dahulu di bidang conditioning (upaya pembiasaan) dan untuk membedakannya dari teori conditioning lainnya (Gleitman, 1986). Selanjutnya, mungkin karena fungsinya, teori Pavlov ini juga dapat respondent conditioning (pembiasaan dituntut).

Dalam eksperimennya, Pavlov menggunakan anjing untuk mengetahui hubungan-hubungan antara conditional stimulus (CS), unconditional stimulus (UCS), conditional response (CR), dan unconditional-response (UCR). CS adalah rangsangan yang mampu mendatangkan respons yang dipelajari, sedangkan respons yang dipelajari itu sendiri disebut CR. Adapun UCS berarti rangsangan yang menimbulkan respons yang tidak dipelajari, dan respons yang tidak dipelajari itu disebut UCR.

Anjing percobaan itu mula-mula diikat sedemikian rupa dan pada salah satu kelenjar air liurnya diberi alat penampung cairan yang dihubungkan dengan pipa kecil (tube). Perlu diketahui bahwa sebelum dilatih (dikenai eksperimen), secara alami anjing itu selalu mengeluarkan air liur setiap kali mulutnya berisi makanan. Ketika bel dibunyikan, secara alami pula anjing itu menunjukkan reaksinya yang relevan, yakni tidak mengeluarkan air liur.

Kemudian, dilakukan eksperimen berupa latihan pembiasaan mendengarkan bel (CS) bersama-sama dengan pemberian makanan berupa serbuk daging (UCS). Setelah latihan yang berulang-ulang ini selesai, suaru bel tadi (CS) diperdengarkan lagi tanpa disertai makanan (UCS). Apa yang terjadi? Ternyata anjing percobaan tadi mengeluarkan air liur juga (CR), meskipun hanya mendengar suaru bel (CS). Jadi, CS akan menghasilkan CR apabila CS dan UCS telah berkali-kali dihadirkan bersama-sama.

Berdasarkan eksperimen di atas, semakin jelaslah bahwa belajar adalah perbuatan yang ditandai dengan adanya hubungan antara stimulus dan respons. Jadi, pada prinsipnya hasil eksperimen E.L Thorndike di muka kurang lebih sama dengan hasi eksperimen Pavlov yang memang dianggap sebagai perubahan dan anutan Thorndike yang behavioristik itu. Simpulan yang dapat kita tarik dari hasil eksperimen Pavlov ialah apabila stimulus yang diadakan (CS) selalu disertai dengan stimulus penguat (UCS), stimulus tadi (CS) cepat atau lambat akhirnya akan menimbulkan respons atau perubahan yang kita kehendaki yang dalam hal ini CR.

Selanjutnya, Skinner berpendapat bahwa proses belajar yang berlangsung dalam eksperimen Pavlov itu tunduk terhadap dua macam hukum yang berbeda, yakni: law of respondent conditioning dan law of respondent extinction. Secara harfiah, law of respondent conditioning berarti hukum pembiasaan yang dituntut, sedangkan law of respondent extinction adalah hukum pemusnahan yang dituntut.

Menurut Hintzman (1978), yang dimaksud dengan law of respondent conditioning ialah jika dua macam stimulus dihadirkan secara bersamaan (yang salah satunya berfungsi sebagai reinforcer) maka refleks ketiga yang terbentuk dari respons atas penguatan refleks dan stimulus lainnya akan meningkat. Yang dimaksud dengan dua stimulus tadi adalah CS dan UCS, sedangkan refleks ketiga adalah hubungan antara CS dan CR. Sebaliknya, law of respondent extinction ialah jika refleks yang sudah diperlukan melalui respondent conditioning itu didatangkan kembali tanpa kembali tanpa menghadirkan reinforcer, maka kekuatannya akan menurun.

3.      Pembiasaan Perilaku Respons

Teori pembiasaan perilaku respons (operant conditioning) ini merupakan teori belajar yang berusia paling muda dan masih sangat berpengaruh di kalangan para ahli psikologi belajar masa kini. Penciptanya bernam Biurhus Frederic Skinner (lahir tahun 1904), seorang penganut behaviorisme yang dianggap kontraversial. Karya tulisnya yang masyur berjudul About Behaviorism diterbitkan pada tahun 1974. Tema pokok yang mewarnai karya-karyanya adalah bahwa tingkah laku itu terbentuk oleh konsekuensi-konsekuensi yang ditimbulkan oleh tingkah laku itu sendiri (Bruno, 1987).

Operant” adalah sejumlah perilaku atau respons yang membawa efek yang sama terhadap lingkungan yang dekat (Reber, 1988). Tidak seperti dalam respondent conditioning (yang responsnya didatangkan oleh stimulus tertentu), respons dalam operant conditioning terjadi tanpa didahului oleh stimulus, melainkan oleh efek yang ditimbulkan oleh reinforcer. Reinforcer sesungguhnya adalah stimulus yang meningkatkan kemungkinan timbulnya sejumlah respons tertentu, namun tidak sengaja diadakan sebagai pasangan stimulus lainnya seperti dalam classical respondent conditioning.

Dalam salah satu eksperimennya, Skinner menggunakan seekor tikus yang ditempatkan dalam sebuah peti yang kemudian terkenal dengan nama “Skinner Box”. Peti sangkar ini terdiri atas dua macam komponen pokok, yakni: manipulandum dan alat pemberi reinforcement yang antara lain berupa wadah makanan. Manipulandum adalah komponen yang dapat dimanipulasi dan gerakannya berhubungan dengan reinforcement. Komponen ini terdiri atas tombol, batang jeruji, dan pengungkit (Reber, 1988).

Dalam eksperimen tadi mula-mula tikus itu mengeksplorasi peti sangkar dengan cara lari ke sana kemari, mencium benda-benda yang ada di sekitarnya, mencakar dinding, dan sebagainya. Aksi-aksi seperti ini disebut “emitted behavior” (tingkah laku yang terpancar), yakni tingkah laku yang terpancar dari organisme tanpa mempedulikan stimulus tertentu. Kemudian pada gilirannya, secara kebetulan salah satu emitted behavior tersebut (seperti cakaran kaki depan atau sentuhan moncong) dapat menekan pengungkit. Tekanan pengungkit ini mengakibatkan munculnya butir-butir makanan ke dalam wadahnya.

Butir-butir makanan yang muncul itu merupakan reinforcer bagi penekanan pengungkit. Penekanan pengungkit inilah disebut tingkah laku operant yang akan terus meningkat apabila diiringi dengan reinforcement, yakni penguatan berupa butir-butir makanan yang muncul pada wadah makanan.

Jelas sekali bahwa eksperimen Skinner di atas mirip sekali dengan trial and error learning yang ditmukan oleh Thorndike. Dalam hal ini, fenomena tingkah laku belajar menurut Thorndike selalu melibatkan satisfaction/ kepuasaan, sedangkan menurut Skinner fenomena tersebut melibatkan reinforcement/penguatan. Dengan demikian, baik belajar dalam teori S-R Bond maupun dalam teori operant conditioning langsung atau tidak, keduanya mengakui arti penting law of effect.

Selanjutnya, proses belajar dalam operant conditioning juga tunduk kepada dua hukum operant yang berbeda, yakni: law of operant conditioning dan law of operant extinction. Menurut law of operant conditioning, jika timbulnya tingkah laku operant diiringi dengan stimulus penguat, maka kekuatan tingkah laku tersebut akan meningkat. Sebaliknya, menurut law of operant extinction, jika timbulnya tingkah laku operant yang telah diperkuat melalui proses conditioning itu tidak diiringi dengan stimulus penguat, maka kekuatan tingkah laku tersebut akan menurun atau bahkan musnah (Hintzman, 1987). Hukum-hukum ini pada dasarnya sama saja dengan hukum-hukum yang melekat dalam proses belajar menurut teori pembiasaan yang klasik.

Teori-teori belajar hasil eksperimen Throndike, Skinner, dan Pavlov di atas secara prinsipal bersifat behavioristik dalam arti lebih menekankan timbulnya perilaku jasmaniah yang nyata dan dapat diukur. Teori-teori itu juga bersifat otomatis-mekanis dalam menghubungkan stimulus dan respons, sehingga terkesan seperti kinerja mesin atau robot. Jika kita renungkan dan bandingkan dengan teori juga temuan riset psikologi kognitif, karakteristik belajar yang terdapat teori-teori behavioristik yang terlanjur diyakini sebagian besar ahli pendidikan kita itu, sesungguhnya mengandung banyak kelemahan.

Di antara kelemahan-kelemahan teori-teori tersebut adalah sebagai berikut, yakni:

a.       proses belajar itu dapat diamati secara langsung, padahal belajar adalah proses kegiatan mental yang tidak dapat disaksikan dari luar kecuali sebagian gejalanya;

b.      proses belajar itu bersifat otomatis-mekanis, sehingga terkesan seperti gerakan mesin dan robot, padahal setiap siswa memiliki self-direction (kemampuan mengarahkan diri) dan self control (pengendalian diri) yang bersifat kognitif, dan karenanya ia bisa menolak merespons jika ia tidak menghendaki, misalnya karena lelah atau berlawanan dengan kata hati;

c.       proses belajar manusia yang dianalogikan dengan perilaku hewan itu sangat sulit diterima, mengingat mencoloknya perbedaan karakter fisik dan psikis antara manusia dengan hewan. 

            

4.      Teori Pendekatan Kognitif

Teori psikologi kognitif adalah bagian terpenting dari sains kognitif yang telah memberi kontribusi yang sangat berarti dalam perkembangan psikologi pendidikan. Sains kognitif merupakan himpunan disiplin yang terdiri atas: psikologi kognitif, ilmu-ilmu komputer, linguistik, intelegensi buatan, matematika, epistemologi, dan neuropsychology (psikologi syaraf).

Pendekatan psikologi kognitif lebih menekankan arti penting proses internal, mental Indonesia. Dalam pandangan para ahli kognitif, tingkah laku manusia yang tampak tak dapat diukur dan diterangkan tanpa melibatkan proses mental, seperti, motivasi, kesengajaan, keyakinan, dan sebagainya.

Meskipun pendekatan kognitif sering dipertentangkan dengan pendekatan behavioristik, tidak berarti psikologi kognitif anti terhadap aliran behaviorisme. Hanya, menurut para ahli psikologi kognitif, aliran behaviorisme itu tidak lengkap sebagai sebuah teori psikologi, sebab tidak memperhatikan proses kejiwaan yang berdimensi ranah cipta seperti berikir, mempertimbangkan pilihan dan mengambil keputusan. Selain ini, aliran behaviorisme juga tidak mau tahu urusan ranah rasa.

Dalam perspektif psikologi kognitif, belajar pada asasnya adalah peristiwa mental, bukan peristiwa behavioral (yang bersifat jasmaniah) meskipun hal-hal yang bersifat behavioral tampak lebih nyata dalam hampir setiap peristiwa belajar siswa. Secara lahiriah, seorang anak yang sedang belajar membaca dan menulis, misalnya, tentu menggunakan perangkat jasmaniah (dalam hal ini mulut dan tangan) untuk mengucapkan kata dan menggoreskan pena. Akan tetapi, perilaku mengucapkan kata dan menggoreskan pena. Akan tetapi, perilaku mengucapkan kata-kata dan menggoreskan pena yang dilakukan anak tersebut bukan semata-mata respons atau stimulus yang ada, melainkan yang lebih penting karena dorongan mental yang diatur oleh otaknya. Sehubungan dengan hal ini, Piaget, seorang pakar psikologi terkemuka, menyimpulkan: … Children have a built-in desire to learn (Barlow, 1985), bahwa anak-anak memiliki kebutuhan yang melekat dalam dirinya sendiri untuk belajar.

Sementara itu, teori filsafat pragmatisme yang dipelopori oleh William James (1842-1910) dan teori-teori belajar yang bersumber dari eksperimen Pavlov, Thorndike, dan Skinner, telah diambil sebagai landasan psikologi aliran behaviorisme di bawah kepemimpinan John Broadus Watson (1878-1958). Aliran behaviorisme yang terkenal radikal dan menantang itu kini sedang mengalami fase keruntuhannya. Karena kini semakin banyak pakar psikologi kelas dunia yang merasa tidak puas terhadap teori-teori behavioristik, apalagi setelah dibandingkan dengan hasil-hasil riset para pakar psikologi (Reber, 1988).

Di antara keyakinan prinsipal yang terdapat dalam teori behavioristik ialah setiap anak manusia lahir tanpa warisan kecerdasan, warisan bakat, warisan perasaan, dan warisan-abstrak lainnya. Semua kecakapan, kecerdasan, dan bahkan perasaan baru timbul setelah manusia melakukan kontak dengan alam sekitar terutama alam pendidikan. Artinya, seorang individu manusia bisa pintar, terampil, dan berperasaan hanya bergantung pada cara individu itu dididik.

Keyakinan prinsipal lainnya yang dianut oleh para behavioris adalah peranan “refleks”, yakni reaksi jasmaniah yang dianggap tidak memerlukan kesadaran mental. Apapun yang dilakukan manusia, termasuk kegiatan belajar adalah kegiatan refleks belaka, yaitu reaksi manusia atas rangsangan-rangsangan yang ada. Refleks-refleks ini jika dilatih akan menjadi keterampilan-keterampilan dan kebiasaan-kebiasaan yang dikuasai manusia. Jadi, peristiwa belajar seorang siswa menurut para behavioris adalah peristiwa melatih refleks-refleks sedemikian rupa sehingga menjadi kebiasaan yang dikuasai siswa tersebut.

Dalam perspektif psikologi kognitif, peristiwa belajar yang digambarkan seperti tadi adalah naïf (terlalu sederhana dan tak masuk akal) dan sulit dipertanggungjawabkan secara psikologis. Sebagai bukti dan bahan perbandingan, berikut ini penyusun kemukakan dua contoh kritik terhadap kepercayaan behavioristik tadi.

Pertama, memang tak dapat dimungkiri bahwa kebiasaan pada umumnya berpengaruh terhadap kegiatan belajar siswa. Seorang siswa lazimnya menyalin pelajaran, juga dengan kebiasaan. Gerakan tangan dan goresan pena yang dilakukan siswa tersebut demikian lancarnya karena sudah terbiasa menuju sejak tahun pertama masuk sekolah.

Perlu diingat bahwa sebelum siswa tadi menyalin pelajaran dengan cara yang biasa ia lakukan, tentu terlebih dahulu ia membuat keputusan mengenai ia akan menyalin pelajaran sekarang nanti, atau sama sekali tidak. Jadi, kebiasaan dapat berfungsi sebagai pelaksanaan aktivitas menyalin pelajaran dari awal hingga akhir, sedangkan “keputusan” berfungsi untuk menetapkan dimulainya aktivitas menyalin pelajaran oleh siswa tadi dengan kebiasaan yang ia kuasai. Keputusan tersebut tentu bukan peristiwa behavioral melainkan peristiwa mental siswa itu sendiri.

Kedua, kebiasaan belajar seorang siswa dapat ditiadakan oleh kemauan siswa itu sendiri. Contoh: menurut kebiasaan, seorang siswa belajar seharian di perpustakaan sambil mengunyah permen. Tetapi, ketika tiba saat berpuasa pada bulan Ramadhan ia hanya belajar setengah hari dengan tidak mengunyah permen. Dalam hal ini, pengurangan alokasi waktu belajar dan penghentian kebiasaan mengunyah permen merupakan kemauan siswa tersebut karena sedang menunaikan ibadah puasa. Kemauan siswa itu tentu bukan perilaku behavioral melainkan peristiwa mental (konatif), meskipun secara lahiriah yang menerima akibat kemauan tersebut adalah perilaku behavioral.

Dari uraian contoh-contoh di atas, semakin jelaslah bahwa perilaku belajar itu, dalam hampir semua bentuk dan manifestasinya, bukan sekadar peristiwa S-R Bond (ikatan antara stimulus dan respons) melainkan lebih banyak melibatkan proses kognitif. Hanya dalam peristiwa belajar tertentu yang sangat terbatas ruang lingkupnya (umpamanya belajar meniru sopan santun di meja makan dan bertegur sapa), peranan ranah cipta siswa tidak menonjol.
Sumber : Buku Psikologi Pendidikan, Muhibbin Syah.

Kisah Mata Air Keabadian

Kisah ini diriwayatkan oleh Ats-Tsa’labi dari Imam Ali ra. Pada zaman dahulu hiduplah seorang hamba Allah SWT yang melebihkan kepada d...