Jumat, 07 Oktober 2011

MENGENAL SUPERKONDUKTOR I SUHU KRITIK I MEDAN MAGNET KRITIK

Untuk lengkapnya download ja file nya Di Sini



MENGENAL SUPERKONDUKTOR


Superkonduktivitas suatu bahan bukanlah hal yang baru. Sifat ini diamati untuk yang pertama kalinya pada tahun 1911 oleh fisikawan Belanda H.K. Onnes, yaitu ketika ia menemukan bahwa air raksa murni yang didinginkan dengan helium cair ( suhu 4,2 K ) kehilangan seluruh resistansi listriknya. Sejak itu harapan untuk menciptakan alat-alat listrik yang ekonomis terbuka lebar-lebar. Bayangkan, dengan resistansinya yang nol itu superkonduktor dapat menghantarkan arus listrik tanpa kehilangan daya sedikitpun, kawat superkonduktor tidak akan menjadi panas dengan lewatnya arus listrik.
Kendala terbesar yang masih menghadang terapan superkonduktor dalam peralatan praktis sehari-hari adalah bahwa superkonduktivitas bahan barulah muncul pada suhu yang amatrendah, jauh di bawah 0 °C! Dengan demikian niat penghematan pemakaian daya listrik masih harus bersaing dengan biaya pendinginan yang harus dilakukan. Oleh sebab itulah para ahli sampai sekarang terus berlomba-lomba menemukan bahan superkonduktor yang dapat beroperasi pada suhu tinggi, kalau bisa ya pada suhu kamar.

SUHU KRITIK
Perubahan watak bahan dari keadaan normal ke keadaan superkonduktor dapat dianalogikan misalnya dengan perubahan fase air dari keadaan cair ke keadaan padat. Perubahan watak seperti ini sama-sama mempunyai suatu suhu transisis, pada transisi superkonduktor suhu ini disebut sebagai suhu kritik Tc, pada transisi fase ada yang disebut titik didih (dari fase cair ke gas) dan titik beku (dari fase cair ke padat). Pada transisi feromagnetik suhu transisinya disebut suhu Curie. Besaran fisis yang berkaitan dengan transisi superkonduktor adalah resistivitas bahan,

Pada suhu T > Tc bahan dikatakan berada dalam keadaan normal, ia memiliki resistansi listrik. Transisi ke keadaan normal ini bukan selalu berarti menjadi konduktor biasa yang baik, pada umumnya malah menjadi penghantar yang jelek, bahkan ada yang ekstrim menjadi isolator! Untuk suhu T < Tc bahan berada dalam keadaan superkonduktor. Di dalam eksperimen, pengukuran resistivitasnya dilakukan dengan menginduksi suatu sampel bahan berbentuk cincin, ternyata arus listrik yang terjadi dapat bertahan sampai bertahun-tahun. Resistivitasnya yang terukur tidak akan melebihi 10-25 ohm.meter, sehingga cukup beralasan bila resistivitasnya dikatakan sama dengan nol.

Perkembangan bahan superkonduktor dari saat pertama kali ditemukan sampai sekarang dapat diikuti pada tabel di bawah ini.

Bahan Tc (K) Ditemukan tahun
Raksa Hg (a ) 4,2 1911
Timbal Pb 7,2 1913
Niobium nitrida 16,0 1960-an
Niobium-3-timah 18,1 1960-an
Al0,8Ge0,2Nb3 20,7 1960-an
Niobium germanium 23,2 1973
Lanthanum barium
tembaga oksida 28 1985
Yttrium barium tembaga
oksida (1-2-3 atau YBCO) 93 1987
Thalium barium kalsium
tembaga oksida 125 1987

Keluarga superkonduktor yang terdiri dari unsur-unsur tunggal yang dipelopori oleh temuan Onnes, disebut superkonduktor tipe I atau superkonduktor konvensional, ada kira-kira 27 jenis dari tipe ini. Suatu hal yang menarik, bahwa unsur-unsur yang pada suhu kamar merupakan konduktor banyak diantara mereka yang tidak memiliki sifat superkonduktor pada suhu rendah, contohnya tembaga, perak dan golongan alkali.
Pada tahun 1960-an lahirlah keluarga superkonduktor tipe II, yang biasanya berupa kombinasi unsur molybdenum (Mo), niobium (Nb), timah (Sn), vanadium (V), germanium (Ge), indium (In) atau galium (Ga). Sebagian merupakan senyawa, sebagian lagi merupakan larutan padatan. Sifatnya agak berbeda dengan tipe I karena suhu kritiknya relatif lebih tinggi, sehingga tipe II ini sering disebut superkonduktor yang alot. Semua alat yang telah menerapkan superkonduktor dewasa ini menggunakan bahan tipe II ini, alasannya akan menjadi jelas kemudian.

Pada tahun 1985 di laboratorium riset IBM di Zurich, A.Muller dan G.Bednorz memulai era baru bagi ilmu bahan superkonduktor. Mereka menemukan bahwa senyawa keramik tembaga oksida dapat memiliki sifat superkonduktor pada suhu yang relatif tinggi, rekor suhu kritik yang saat ini sudah mencapai 125 K juga dipegang oleh golongan ini.
Perkembangan selanjutnya tampak agak seret, para ahli sendiri masih meributkan ada tidaknya batas suhu kritik yang mungkin dicapai. Ahli riset di Institut Teknologi California meramalkan bahwa suhu kritik superkonduktivitas tidak akan pernah melampaui 250 K, jadi masih cukup jauh di bawah suhu kamar. Apakah benar demikian, kita tunggu saja hasil-hasil penelitian berikutnya.

MEDAN MAGNET KRITIK
Tinggi rendahnya suhu transisi Tc dipengaruhi banyak faktor. Seperti tekanan yang dapat menurunkan titik beku air, suhu kritik superkonduktor juga bisa turun dengan hadirnya medan magnet yang cukup kuat. Kuat medan magnet yang menentukan harga Tc ini disebut medan kritik (Hc). Kita lihat grafik ketergantungan Tc terhadap kuat medan magnet pada gambar2.
Walaupun Pb bersuhu kritik normal (tanpa medan magnet) 7,2 K, apabila ia dikenai medan H = 4,8 ´ 104 A/m misalnya, suhu kritiknya turun menjadi 4 K. Artinya dengan medan sbesar itu pada suhu 5 K pun Pb masih bersifat normal. Medan kritiknya ini dapat dinyatakan dengan persamaan :
Hc(T) = Hc (0) [ 1 - (T/Tc)2 ]
Hc (0) adalah harga maksimum Hc yaitu harga pada suhu 0 K.
Medan kritik ini tidak harus berasal dari luar, tapi juga bisa ditimbulkan oleh medan internal, yaitu jika ia diberi aliran arus listrik. Untuk superkonduktor berbentuk kawat beradius r, arus kritiknya dinyatakan oleh aturan Silsbee :
Ic = 2 p . r . Hc
Jadi pada suhu tertentu ( T < Tc ) , bahan superkonduktor memiliki ketahanan yang terbatas terhadap medan magnet dari luar dan arus listrik yang bisa diangkutnya.
Kalau harga-harga kritik ini dilampaui, sifat superkonduktor bahan akan lenyap dengan sendirinya. Ambil contoh untuk kawat Pb beradius 1 mm pada suhu 4 K, agar ia tetap bersifat superkonduktor ia tidak boleh menerima medan magnet lebih besar dari 48000 A/m atau mengangkut arus listrik lebih dari 300 A. Pada ukuran dan suhu yang sama Nb3Sn mampu mengangkut 12500 A, oleh sebab itulah secara teknis superkonduktor tipe II lebih baik pakai.
Sebagai perbandingan YBCO pada suhu 77 K dapat mengangkut arus sebesar 530 A, cukup lumayan! Naiknya suhu operasi mempunyai nilai ekonomis, karena biaya pendinginan menjadi lebih murah dibandingkan helium cair (untuk menjaga suhu 4 K).

Satu liter He harganya US$ 4 (Rp.7000) sedangkan satu liter N2 cuma 25 cent (Rp.450), padahal dalam prakteknya penguapan 1 liter N2 setara dengan penguapan 25 liter He.

Selasa, 27 September 2011

Pedoman Penyusunan Tes Uraian I Pemberian Skor Tes Uraian


Download Filenya Di Sini


Pedoman Penyusunan Tes Uraian

Agar diperoleh soal-soal bentuk uraian yang dikatakan memadai sebagai alat penilaian hasil belajar, hendaknya diperhatikan hal-hal berikut:

1) Hendaknya soal-soal tes dapat meliputi ide-ide pokok dari bahan yang diteskan, dan kalau mungkin disusun soal yang sifatnya komprehensif.

2) Hendaknya soal tidak mengambil kalimat-kalimat yang disalin langsung dari buku atau catatan

3) Pada waktu menyusun, soal-soal itu sudah dilengkapi dengan kunci jawaban serta pedoman penilaiannya

4) Hendaknya diusahakan agar pertanyaan bervariasi antara “Jelaskan”, “Mengapa”, “Bagaimana”, “Sebenarnya jauh”, agar dapat diketahui lebih jauh penguasaan siswa terhadap bahan.

5) Hendaknya rumusan soal dibuat sedemikian rupa sehingga mudah dipahami oleh siswa

6) Hendaknya ditegaskan model jawaban apa yang dikehendaki oleh penyusun tes. Untuk ini pertanyaan tidak boleh terlalu umum, tetapi harus spesifik.

Pemberian Skor Tes Uraian

Memeriksa jawaban soal-soal uraian tidak semudah tes objektif sekalipun telah ada kunci jawabannya. Setiap jawaban soal uraian harus dibaca seluruhnya sebelum diberi skor sesuai dengan kriteria yang telah ditentukan.

Ada dua cara pemeriksaan jawaban soal uraian. Cara pertama ialah diperiksa seorang demi seorang untuk semua soal, kemudian diberi skor. Cara kedua ialah diperiksa nomor demi nomor untuk semua siswa, kemudian diberi skor, dan setelah selesai baru soal nomor dua, dst. Cara kedua memang memakan waktu lama, tetapi akan lebih objektif sebab jawaban setiap nomor untuk setiap siswa dapat diketahui dan dibandingkan. Cara kedua lebih baik daripada cara pertama, namun resikonya cukup berat bagi guru, apalagi jika jumlah siswa cukup banyak. Memeriksa jawaban soal uraian jangan dipaksakan selesai pada saat itu, tetapi lakukan secara bertahap. Hal ini penting untuk mencegah kelelahan sehingga pemeriksaan tidak objektif lagi. Guru harus sabar dalam memeriksa jawaban siswa, tidak emosional, lebih-lebih bila menghadapi tulisan siswa yang tak dapat dibaca, bahasa yang berbelit-belit, sistematika berpikirnya yang tidak teratur, dll.

Skoring bisa digunakan dalam berbagai bentuk, misalnya skala 1-4 atau 1-10, bahkan bisa pula 1-100. Namun, yang paling umum digunakan adalah 1-4 atau 1-10. Dengan demikian, guru tidak memberi angka nol terhadap jawaban yang salah. Gunakan sistem bobot dalam memberikan nilai terhadap jawaban siswa untuk setiap nomor. Bobot nilai bisa menggunakan skala 1-10. Misalnya untuk soal kategori mudah diberi bobot dua, soal kategori cukup diberi bobot tiga, dan soal kategori sulit diberi bobot lima sehingga jumlah bobot itu 10. Contoh: diberikan lima soal uraian. Nomor satu soal kategori mudah; nomor 2,3, dan 4 soal kategori sedang; dan nomor lima soal kategori sukar. Sebagai hasil penilian diperoleh data sebagai berikut:

Siswa Ali:

Nomor soal

Nilai yang diperoleh

Bobot nilai

Total nilai

1

2

3

4

5

4

3

3

4

2

2

3

3

3

5

8

9

9

12

10

· Nilai rata-rata sebelum diberi bobot adalah 16/5 = 3,2

· Nilai rata-rata setelah diberi bobot adalah 48/16 = 3.0

Siswa Beni

Nomor soal

Nilai yang diperoleh

Bobot nilai

Total nilai

1

2

3

4

5

2

3

3

4

4

2

3

3

3

5

8

9

9

12

20

· Nilai rata-rata sebelum diberi bobot adalah 16/5 = 3,2

· Nilai rata-rata setelah diberi bobot adalah 54/16 = 3,33

Kedua siswa diatas, bila dinilai tanpa pembobotan, menunjukkan prestasi yang sama, yakni 3,2. Namun, jika diberi bobot, ternyata Beni lebih tinggi, yakni memperoleh nilai 3,33 sedangkan Ali hanya 3,0. Sebabnya ialah Beni menjawab sempurna soal sulit dan Ali menjawab sempurna nomor mudah. Oleh sebab itu, penghargaan kepada siswa yang dapat menjawab soal sulit lebih tinggi ketimbang kepada siswa yang menjawab soal mudah.

Dari kasus di atas dapat disimpulkan bahwa Beni lebih mampu daripada Ali sekalipun kedua-duanya mendapat nilai keseluruhan yang sama.

Dalam menilai kebenaran jawaban soal-soal bentuk uraian dipertimbangkan beberapa aspek, antara lain kebenaran isi sesuai dengan kaidah-kaidah materi yang ditanyakan, sistematika atau uraian logis dari kerangka berpikirnya yang dilihat dari penyajian gagasan jawaban, dan bahasa yang digunakan dalam mengekspresikan buah pikirannya.

Sistem penilaian yang digunakan untuk soal-soal uraian pada dasarnya sama dengan bentuk lain, yakni dapat menggunakan penilaian acuan norma dan atau penilaian acuan patokan. Pada tahap-tahap permulaan, dengan maksud mendorong motivasi siswa terhadap penggunaan tes uraian dan membiasakan mereka dengan soal bentuk uraian, ada baiknya digunakan penilaian acuan norma, yakni membandingkan posisi siswa dengan prestasi kelompoknya. Dengan sistem ini, memberi skor tinggi sekalipun jawabannya kurang memuaskan asalkan konsisten untuk semua siswa, tidak akan mempengaruhi posisi siswa dibandingkan dengan kelompoknya. Dengan perkataan lain, tidak merugikan penilaian, bahkan sebaliknya memotivasi belajar para siswa. Sebaliknya, bila digunakan penilaian acuan patokan jawaban yang tidak benar dinilai rendah dan krieria keberhasilan masih jauh dari jangkauan, bisa menyebabkan gagalnya semua siswa. Hal ini bisa melemahkan motivasi dan semangat belajar siswa. Sungguhpun demikian, penggunaan penilaian acuan norma yang terus-menerus dan berlebihan juga ada kelemahannya, yakni kurang meningkatkan hasil pendidikan. Oleh sebab itu, kedua sistem penilaian tersebut sebaiknya digunakan secara bergantian dan berkesinambungan.

Setelah mengkaji hakikat dari soal bentuk uraian baik yang berkenaan dengan keunggulan maupun dengan kelemahannya, kiranya cukup bijaksana apabila bentuk tes ini digunakan di semua tingkat pendidikan agar kualitas pendidikan nasioanal lebih meningkat lagi. Hal ini disebabkan oleh telah terlalu jenuhnya penggunaan tes objektif sehingga soal-soal bentuk objektif telah dianggap mudah menjawabnya dan para siswa kurang mempersiapkan diri dalam menghadapi ujian di sekolah. Di lain pihak, kemapuan yang diungkapkan melalui bentuk tes uraian tidak hanya mencakup berpikir logis, tetapi juga kemampuan berbahasa para siswa. Dimensi-dimensi tes uraian lebih luas dan bisa mencakup semua aspek kognitif secara seimbang di samping membiasakan para siswa belajar penuh pemahaman dan mempersiapkan diri secara matang manakala menghadapi ulangan dan ujian-ujian yang diberikan di sekolahnya.


Sumber:

Sudjana, Nana. 2010. Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar. Bandung: PT Remaja Rosdakarya

Arikunto, Suharsimi. 2010. Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: PT Bumi Aksara

TES URAIAN I Kelebihan dan Kekurangan I Bentuk Tes Uraian

Untuk lebih lengkapnya download filenya

Di Sini



Tes Uraian

Tes uraian, yang dalam literatur disebut juga essay examination, merupakan alat penilaian hasil belajar yang paling tua. Secara umum tes uraian ini adalah pertanyaan yang menuntut siswa menjawabnya dalam bentuk menguraikan, menjelaskan, mendiskusikan, membandingkan, memberikan alasan, dan bentuk lain yang sejenis sesuai dengan tuntutan pertanyaan dengan menggunakan kata-kata dan bahasa sendiri. Dengan demikian, dalam tes ini dituntut kemampuan siswa dalam hal mengekspresikan gagasannya melalui bahasa tulisan. Dalam hal inilah kekuatan atau kelebihan tes esai dari alat penilaian lainnya. Sungguh pun demikian, sejak tahun 1960-an bentuk tes ini banyak ditinggalkan orang karena munculnya bentuk tes objektif. Bahkan sampai saat ini tes objektif sangat populer dan digunakan oleh hampir semua guru mulai di tingkat SD sampai diperguruan tinggi. Ada semacam kecenderungan di kalangan para pendidik dan guru untuk kembali menggunakan tes uraian sebagai alat penilian hasil belajar, terutama diperguruan tinggi, disebabkan oleh beberapa hal, antara lain ialah :

a) Adanya gejala menurunnya hasil belajar atau kualitas pendidikan di perguruan tinggi yang salah satu diantaranya berkenaan dengan penggunaan tes objektif

b) Lemahnya para mahasiswa dalam menggunakan bahasa tulisan sebagai akibat penggunaan tes objektif yang berlebihan

c) Kurangnya daya analisis para mahasiswa karena terbiasa dengan tes objektif yang memungkinkan mereka main tebak jawaban manakala menghadapi kesulitan dalam menjawabnya.

Kondisi seperti ini sangat menunjang penggunaan tes uraian di perguruan tinggi akhir-akhir ini dengan harapan dapat meningkatkan kembali kualitas pendidikan di perguruan tinggi. Harus diakui bahwa tes uraian dalam banyak hal mempunyai kelebihan daripada tes objektif, terutama dalam hal kemampuan menalar di kalangan mahasiswa dan siswa. Hal ini ialah karena melalui tes ini para mahasiswa dapat mengungkapkan aspek kognitif tingkat tinggi seperti analisis-sintesis-evaluasi, baik secara lisan maupun secara tulisan. Siswa juga dibiasakan dengan kemampuan memecahkan masalah (problem solving), mencoba merumuskan hipotesis, menyusun dan mengekspresikan gagasannya, dan menarik kesimpulan dari pemecahan masalah.

Kelebihan dan Kekurangan

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kelebihan atau keunggulan tes uraian ini antara lain adalah:

a) Dapat mengukur proses mental yang tinggi atau aspek kognitif tingkat tinggi;

b) Dapat mengembangkan kemampuan berbahasa, baik lisan maupun tulisan, dengan baik dan benar sesuai dengan kaidah-kaidah bahasa;

c) Dapat melatih kemampuan berpikir teratur atau penalaran, yakni berpikir logis, analitis, dan sistematis;

d) Mengembangkan keterampilan pemecahan masalah (problem solving);

e) Adanya keuntungan teknis seperti mudah membuat soalnya sehingga tanpa memakan waktu yang lama, guru dapat secara langsung melihat proses berpikir siswa.

Di lain pihak kelemahan atau kekurangan yang terdapat dalam tes ini antara lain adalah:

a) Sampel tes sangat terbatas sebab dengan tes ini tidak mungkin dapat menguji semua bahan yang telah diberikan, tidak seperti pada tes objektif yang dapat menanyakan banyak hal melalui sejumlah pertanyaan;

b) Sifatnya sangat subjektif, baik dalam menanyakan, dalam membuat pertanyaan, maupun dalam cara memeriksanya. Guru bisa saja bertanya tentang hal-hal yang menarik baginya, dan jawabannya juga berdasarkan apa yang dikehendakinya;

c) Tes ini biasanya kurang reliabel, mengungkap aspek yang terbatas, pemeriksaannya memerlukan waktu lama sehingga tidak praktis bagi kelas yang jumlah siswanya relatif besar.

Bentuk Tes Uraian

1. Uraian Bebas (free essay)

Dalam uraian bebeas jawaban siswa tidak dibatasi, bergantung pada pandangan siswa itu sendiri. Hal ini disebabkan oleh isi pertanyaan uraian bebas sifatnya umum.

2. Uraian Terbatas

Bentuk kedua dari tes uraian adalah uraian terbatas. Dalam bentuk ini pertanyaan telah diarahkan kepada hal-hal tertentu atau ada pembatasan tertentu.

3. Uraian Berstruktur

Uraian berstruktur atau soal berstruktur dipandang sebagai bentuk antara soal-soal objektif dan soal-soal esai. Soal berstruktur merupakan serangkaian soal jawaban singkat sekalipun bersifat terbuka dan bebas menjawabnya. Soal yang berstruktur berisi unsur-unsur pengantar soal, seperangkat data, dan serangkaian subsoal perhatikan contoh di bawah ini.

Di bawah ini tercantum daftar nilai hasil ujian matematika siswa kelas dua SMA. Nilai tersebut telah diurutkan dari skor tertinggi sampai terendah disertai keterangan berupa jumlah siswa yang mencapainya, baik untuk setiap nilai maupun secara kumulatif.

Nilai

Jumlah Siswa

Kumulatif

32

31

30

29

28

27

1

2

2

2

1

2

1

3

5

7

8

10





Dari data di atas:

a) Hitunglah berapa rata-ratanya dan berapa median

b) Hitunglah berapa orang siswa yang nilainya termasuk kedalam kelompok 26-31, 30-32.

c) Hitung pula berapa simpangan bakunya.

Keuntungan soal bentuk berstruktur antara lain ialah satu soal bisa terdiri atas beberapa subsoal atau pertanyaan, setiap pertanyaan yang diajukan mengacu kepada suatu data tertentu sehingga lebih jelas dan terarah, soal-soal berkaitan satu sama lain dan bisa diurutkan berdasarkan tingkat kesulitannya.

Data yang diajukan dalam soal berstruktur bisa berupa angka, tabel, grafik, gambar, bagan, kasus, bacaan tertentu, diagram, model, dll.

Bentuk soal berstruktur dapat digunakan untuk mengukur semua aspek kognitif seperti ingatan, pemahaman, aplikasi, analisis, sintesis, dan evaluasi. Dengan demikan bentuk ini dapat mengungkapkan banyak aspek yang diinginkan. Tingkat kesulitan soal dapat dibuat sedemikian rupa sehingga berurutan dari soal yang mudah menuju soal yang sukar. Satu permasalahan yang akan diungkapkan dapat dikaji dari banyak aspek melalui subsoal-subsoal atau pertanyaan yang diacukan kepada tema permasalahan.

Kelemahan yang mungkin terjadi berkisar pada bidang yang diujikan menjadi terbatas dan kurang praktis sebab satu permasalahan harus dirumuskan dalam pemaparan yang lengkap disertai data yang memadai.


Sumber: Sudjana, Nana. 2010. Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar. Bandung: PT Remaja Rosdakarya

Kisah Mata Air Keabadian

Kisah ini diriwayatkan oleh Ats-Tsa’labi dari Imam Ali ra. Pada zaman dahulu hiduplah seorang hamba Allah SWT yang melebihkan kepada d...