Rabu, 25 Juni 2014

Perbedaan Individual Peserta Didik

Perbedaan Individual Peserta Didik

Setiap anak adalah unik. Ketika kita memperhatikan anak-anak di dalam ruang kelas, kita akan melihat perbedaan individual yang sangat banyak. Bahkan anak-anak dengan latar belakang usia hampir sama, akan memperlihatkan penampilan, kemampuan, temperamen, minat dan sikap yang sangat beragam.

Dalam kajian psikologi, masalah individu mendapat perhatian yang besar, sehingga melahirkan suatu cabang psikologi yang dikenal dengan individual psychology, atau differential psychology, yang memberikan perhatian besar terhadap penelitian tentang perbedaan antarindividu. Ini didasarkan atas kenyataan bahwa di dunia tidak ada dua orang yang persis sama. Bahkan anak kembar sekali pun masih ditemukan adanya beberapa dimensi perbedaan di antara keduanya.

Dalam tinjauan psikologi Islam, perbedaan individual tersebut dipandang sebagai realitas kehidupan manusia yang sengaja diciptakan Allah untuk dijadikan bukti kebesaran dan kesempurnaan ciptaan-Nya. Ketika menjelaskan tentang proses penciptaan, dalam surah al-Mu’minun ayat 12-14, Allah telah memberi isyarat akan perbedaan individual ini. “Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah. Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kukuh (rahim). Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang-belulang, lalu tulang-belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Sucilah Allah, Pencipta Yang Paling Baik”, (QS. Al-Mu’minuun [23]: 12-14).

Kata-kata “makhluk (bentuk) lain” (khalqun akhar) yang terkandung dalam ayat di atas mengindikasikan betapa manusiasebagai makhluk individual memiliki ciri-ciri khas, yang berbeda satu sama lain. Sejak zaman Nabi Adam, manusia pertama ciptaan Allah, hingga saat ini tidak ditemukan seorang yang memiliki bentuk persis sama, meskipun masih dalam keturunan yang satu.

Jadi, setiap manusia, apakah ia berada dalam suatu kelompok ataukah seorang diri, ia disebut individu. Individu menunjukkan kedudukan seseorang sebagai perseorangan atau pesona. Sebagai orang perorangan, individu memiliki sifat-sifat atau karakteristik yang menjadikannya berbeda dengan individu lainnya. Perbedaan inilah yang disebut dengan perbedaan individual (individual differences).

Ciri-ciri, sifat-sifat atau karakteristik inidividual ini dapat berupa karakterisitik bawaan sejak lahir dan dapat pula berupa karakteristik yang diperoleh dari hasil pengaruh lingkungan. Seorang bayi yang baru lahir misalnya, merupakan hasil perpaduan dari dua garis keturunan, keturunan ayah dan keturunan ibu. Sejak masa konsepsi awal di dalam kandungan ibu, secara berkesinambungan ia dipengaruhi oleh bermacam-macam faktor lingkungan yang merangsang. Masing-masing perangsang tersebut, baik secara terpisah ataupun secara bersama-samadengan perangsang lain, mempengaruhi perkembangan potensi-potensi biologis, yang pada gilirannya menjelma menjadi suatu pola tingkah laku yang dapat mewujudkan seseorang menjadi individu yang berkarakteristik berbeda dengan individu-individu lain.

Secara umum, perbedaan individual dapat atas dua, yaitu perbedaan secara vertikal dan perbedaan secara horizonatl. Perbedaan vertikal adalah perbedaan individu dalam aspek jasmaniah, seperti: bentuk, tinggi, besar, kekuatan, dan sebagainya. Sedangkan perbedaan horizontal adalah perbedaan individu dalam aspek mental, seperti: tingkat kecerdasan, bakat, minat, ingatan, emosi, temperamen, dan sebagainya. Berikut ini akan diuraikan beberapa aspek perbedaan individual peserta didik tersebut.

Perbedaan fisik-motorik

Perbedaan individual dalam fisik tidak hanya terbatas pada aspek-aspek yang teramati oleh pancaindera, seperti: bentuk atau tinggi badan, warna kulit, warna mata atau rambut, jenis kelamin, nada suara atau bau keringat, melainkan juga mencakup aspek-aspek fisik yang tidak dapat diamati melalui pencaindra, tetapi hanya dapat diketahui setelah diadakan pengukuran, seperti usia, kekuatan badan atau kecepatan lari, golongan darah, pendengaran, penglihatan, dan sebagainya.

Aspek fisik lain dapat dilihat dari kecakapan motorik, yaitu kemampuan melakukan koordinasi kerja sistem saraf motorik yang menimbulkan reaksi dalam bentuk gerakan-gerakan atau kegiatan secara tepat, sesuai antara rangsangan dan responssnya. Dalam hal ini, akan ditemui ada anak yang cekatan dan terampil, tetapi ada pula anak yang lamban dalam mereaksi sesuatu.

Perbedaan aspek fisik juga dapat dilihat dari kesehatan peserta didik, seperti kesehatan mata dan telinga yang berkaitan langsung dengan penerimaan materi pelajaran di kelas. Dalam hal kesehatan mata misalnya, akan ditemui adanya peserta didik yang mengalami gangguan penglihatan, seperti: rabun jauh, rabun dekat, rabun malam, buta warna, dan sebagainya. Sedangkan dalam hal kesehatan telinga, akan ditemui adanya peserta didik yang mengalami penyumbatan pada saluran liang telinga, ketegangan pada gendang telinga, terganggunya tulang-tulang pendengaran, dan sebagainya.

Perbedaan intelegensi  

Intelegensi adalah salah satu kemampuan mental, pikiran atau intelektual dan merupakan bagian dari proses-proses kognitif pada tingkatan yang lebih tinggi. Secara umum inteligensi dapat dipahami sebagai kemampuan untuk menggunakan konsep yang abstrak secara efektif, dan kemampuan untuk memahami hubungan dan mempelajarinya dengan cepat. 

Dalam proses pendidikan di sekolah, inteligensi diyakini sebagai unsur unsur penting yang sangat menentukan keberhasilan belajar peserta didik. Namun inteligensi merupakan salah satu aspek perbedaan individual yang perlu dicermati. Setiap peserta didik memiliki inteligensi yang berlainan. Ada anak yang memiliki inteligensi tinggi, sedang dan rendah. Untuk mengetahui tinggi rendahnya inteligensi peserta didik, para ahli telah mengembangkan instrumen yang dikenal dengan “tes inteligensi”, yang kemudian lebih populer dengan istilah Intelligence Quotient, disingkat IQ. Berdasarkan hasil tes inteligensi ini, peserta didik dapat diklasifikasikan sebagai

a.       Anak genius
IQ di atas 140
b.      Anak pintar
110-140
c.       Anak normal
90-110
d.      Anak kurang pintar
70-90
e.       Anak debil
50-70
f.       Anak dungu
30-50
g.      Anak idiot
IQ di bawah 30

Sejumlah hasil penelitian menunjukkan bahwa persentase orang yang genius dan idiot sangat kecil, dan yang terbanyak adalah anak normal. Genius adalah sifat pembawaan luar biasa yang dimiliki seseorang, sehingga ia mampu mengatasi kecerdasan orang-orang biasa dalam bentuk pemikiran dan hasil karya. Sedangkan idiot atau pandir adalah penderita lemah otak, yang hanya memiliki kemampuan berpikir setingkat dengan kecerdasan anak yang berumur tiga tahun (Mursal, 1981).

Dengan adanya perbedaan individual dalam aspek inteligensi ini, maka guru disekolah akan mendapati anak dengan kecerdasan yang luar biasa, anak yang mampu memecahkan masalah dengan cepat, mampu berpikir abstrak dan kreatif. Sebaliknya, guru juga akan menghadapi anak-anak yang kurang cerdas, sangat lambat dan bahkan hampir tidak mampu mengatasi suatu masalah yang mudah sekalipun.

Perbedaan kecakapan bahasa

Bahasa merupakan salah satu kemampuan individu yang sangat pentingdalam proses belajar di sekolah. Kemampuan berbahasa adalah kemampuan sesorang untuk menyatakan buah pikirannya dalam bentuk ungkapan kata dan kalimat yang bermakna, logis dan sistematis. Kemampuan berbahasa anak berbeda-beda, ada anak yang dapat berbicara dengan lancar, singakt dan jelas, tetapi ada pula anak yang gagap, berbicara berbelit-belit dan tidak jelas.

Perbedaan individual dalam perkembangan dan kecakapan bahasa anak ini telah menjadi wilayah pengkajian dan penelitian yang menarik bagi sejumlah psikologi dan pendidik. Banyak penelitian eksperimental telah dilakukan untuk menemukan faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan atau kegagalan dalam penguasaan bahasa anak. Dari sejumlah hasil penelitian tersebut diketahui bahwa faktor nature dan nurture (pembawaan dan lingkungan) sangat mempengaruhi perkembangan bahasa anak. Berhubung faktor-faktor nature dan nurture individu itu bervariasi, maka pengaruhnya terhadap perkembangan bahasa juga bervariasi. Karena itu, tidak heran kalau antara individu yang satu dan individu lainnya berbeda dalam kecakapan bahasanya. Perbedaan kecakapan berbahasa anak ini sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti faktor kecerdasan, pembawaan, lingkungan, fisik, terutama organ bicara, dan sebagainya.

Perbedaan psikologis

Perbedaan individual peserta didik juga terlihat dari aspek psikologinya. Ada anak yang mudah tersenyum, ada anak yang gampang marah, ada yang berjiwa sosial, ada yang sangat egoistis, ada yang cengeng, ada yang pemalas, ada yang rajin, ada yang pemurung, dan sebagainya.

Dalam proses pendidikan di sekolah, perbedaan aspek psikologis ini sering menjadi persoalan, terutama aspek psikologis yang menyangkut, masalah minat, motivasi dan perhatian peserta didik terhadap materi pelajaran yang disajikan guru. Dalam penyajian suatu materi pelajaran guru sering menghadapi kenyataan betapa tidak semua peserta didik yang mampu menyerapnya secara bik. Realitas ini mungkin disebabkan oleh cara penyampaian guru yang kurang tepat atau menarik, dan mungkin pula disebabkan oleh faktor psikologis peserta didik yang kurang memperhatikan. Secara fisik mungkin terlihat bahwa perhatian peserta didik terarah pada pembicaraan guru. Namun secara psikologis, pandangan mata atau kondisi tubuh mereka yang terlihat duduk dengan rapi dan tenang belum dapat dipastikan bahwa memperhatikan semua penjelasan guru. Bisa saja pandangan mata anak hanya terarah pada gerak, sikap dan gaya mengajar guru, tetapi alam pikirannya terarah pada masalah lain yang lebih menarik minat dan perhatiannya.

Persoalan psikologis memang sangat kompleks dan sangat sulit dipahami secara tepat, sebab menyangkut apa yang ada di dalam jiwa dan perasaan didik. Meskipun demikian, bukan berarti seorang guru mengabaikan begitu saja, tanpa berusaha untuk memahaminya. Guru dituntut untuk mampu mamahmi fenomena-fenomena psikologis peserta didik yang rumit tersebut. Salah satu cara yang mungkin dilakukan dalam menyelami aspek psikologis peserta didik secara pribadi. Guru harus menjalin hubungan yang akrab dengan peserta didik, sehingga mereka mau mengungkapkan isi hatinya secara terbuka. Dengan cara ini memungkinkan guru dapat mengenal siapa sebenarnya peserta didik sebagai individu, apa keinginan-keinginannya, kebutuhan-kebutuhan apa yang ingin dicapainya, masalah-masalah apa yang tengah dihadapinya, dan sebagainya. Dengan demikian dan mengenal peserta didik secara mendalam, guru pada gilirannya dapat mencari cara-cara yang tepat untuk memberikan bimbingan dan membangkitkan motivasi belajar mereka.

Karakteristik Individu dan Implikasinya terhadap Pendidikan

Karakteristik individu adalah keseluruhan kelakuan dan kemampuan yang ada pada individu sebagai hasil dari pembawaan dan lingkungannya. Untuk menjelaskan karakteristik-karakteristik individu, baik dalam hal fisik, mental maupun emosional ini biasanya digunakan istilah nature dan nurture. Nature (alam, sifat dasar) adalah karakteristik individu atau sifat khas seseorang yang dibawa sejak kecil atau yang diwarisi sebagai sifat pembawaan, sedangkan nurture (pemeliharaan, pengasuhan) adalah faktor-faktor lingkungan yang mempengaruhi individu sejak dari masa pembuahan sampai selanjutnya.

Nature dan nurture ini merupakan dua faktor yang mempengaruhi karakteristik individu. Seorang bayi yang baru lahir merupakan hasil dari dua garis keluarga, yaitu garis keluarga ayah dan garis keluarga ibu. Sejak saat terjadinya pembuahan atau konsepsi kehidupan, secara berkesinambungan dipengaruhi oleh bermacam-macam faktor lingkungan yang merangsang. Masing-masing perangsang tersebut, baik secara terpisah atau terpadu dengan rangsangan yang lain, semuanya membantu perkembangan potensi-potensi biologis demi terbentuknya tingkah laku manusia yang dibawa sejak lahir. Hal ini pada gilirannya membentuk suatu pola karakteristik tingkah laku yang dapat mewujudkan seseorang sebagai individu yang berkarakteristik berbeda dengan individu-individu lain.

Adanya karekteristik individu yang dipengaruhi oleh faktor bawaan dan lingkungan tersebut jelas membawa implikasi terhadap proses pendidikan di sekolah. Dalam hal ini, proses pendidikan di sekolah harus disesuaikan dengan karakteristik peserta didik secara individu. Berdasarakan pemahaman ini, maka secara esensial proses belajar mengajar yang dilaksanakan guru adalah menyediakan kondisi yang kondusif agar masing-masing individu peserta didik dapat belajar secara optimal, meskipun wujudnya mereka itu datang dan ada secara berkelompok. Ini berarti bahwa di dalam proses belajar mengajar, setiap individu peserta didik memerlukan perlakuan yang berbeda, sehingga strategi dan usaha pelaksanaannya pun akan berbeda-beda dan bervariasi.

Dalam pembicaraannya mengenai karakeristik individu peserta didik ini, ada tiga hal yang perlu diperhatikan, yaitu:
1.      Karakteristik yang berkenaan dengan kemampuan awal atau prerequisite skills, seperti kemampuan intelektual, kemampuan berpikir dan hal-hal yang berkatian dengan aspek psikomotor.
2.      Karakteristik yang berhubungan dengan latar belakang dan status sosio-kultural.
3.      Karakteristik yang berkenaan dengan perbedaan-perbedaan kepribadian, seperti sikap, perasaan, minat, dan lain-lain.

Pemahaman tentang karakteristik individu peserta didik ini memiliki arti penting dalam interaksi belajar-mengajar. Bagi seorang guru khususnya, informasi mengenai karakteristik individu peserta didik ini akan sangat berguna dalam memilih dan menentukan pola-pola pengajaran yang lebih baik atau yang lebih tepat, yang dapat menjamin kemudahan belajar bagi setiap peserta didik. Dengan pemahaman atas karakteristik individu peserta didik ini, guru dapat merekonstruksi dan mengorganisasikan materi pelajaran sedemikian rupa, memilih dan menentukan metode yang lebih tepat, sehingga terjadi proses interaksi dan masing-masing komponen belajar mengajar secara optimal. Di samping itu, pemahaman atas karakteristik individu peserta didik juga sangat bermanfaat bagi guru dalam memberikan motivasi dan bimbingan bagi setiap individu peserta didik ke arah keberhasilan belajarnya. 
      
Sumber : Psikologi Perkembangan Peserta Didik, Desmita

Pandangan Psikologi Transpersonal


Psikologi transpersonal sebenarnya merupakan kelanjutan atau lebih tepatnya pengembangan dari psikologi humanistik. Aliran psikologi ini disebut aliran keempat psikologi. S.I. Shapiro dan Denise H. Lajoie (1992) menggambarkan psikologi transpersonal sebagai berikut:

Tranpersonal psychology is concerned with the study of humanitys highest potential, and with the recognation, understanding, and realization of unitive, spiritual, and trancendent states of consciousness.

Dari rumusan di atas terlihat dua unsur penting yang menjadi perhatian psikologis transpersonal, yaitu potensi-potensi luhur (the highest potentials) dan fenomena kesadaran (state of consciousness) manusia. Dengan perkataan lain, psikologi transpersonal memfokuskan perhatian pada dimensi siritual dan pengalaman-pengalaman ruhaniah manusia.

The states of consciousness atau lebih populernya disebut the altered states of consciousness adalah pengalaman seseorang melewati batas-batas kesadaran biasa, seperti pengalaman-pengalaman alih dimensi, memasuki alam-alam kebatinan, kesatuan mistik, komunikasi batiniah, pengalaman meditasi, dan sebagainya. Demikian juga mengenai potensi-potensi luhur manusia menghasilkan telaah-telaah seperti altered states of consciousness, extra sensory perception, transendensi diri, kerohanian, potensi luhur dan paripurna, dimensi di atas alam kesadaran, pengalaman mistik, ekstasi, parapsikologi, paranormal, daya-daya batin, pengalaman spiritual dan praktek-praktek keagamaan di kawasan Timur dan di berbagai belahan dunia lainnya, dan sebagainya.

Psikologi transpersonal berawal dari penelitian-penelitian psikologi kesehatan yang dilakukan oleh Abraham Maslow dalam tahun 1960-an. Maslow melakukan serangkaian penelitian yang intensif dan luas tentang pengalaman-pengalaman keagamaan, seperti “pengalaman-pengalaman puncak” (peak experiences). Laporan-laporan diperoleh dari jawaban atas permintaan untuk memikirkan pengalaman-pengalaman yang sangat indah dalam kehidupan seseorang. Ditemukan bahwa orang-orang yang mengalami puncak merasa lebih terintegrasi, lebih bersatu dengan dunia, lebih menjadi raja atas diri mereka sendiri, lebih spontan, kurang menyadari ruang dan waktu, lebih cepat dan mudah mencerap sesuatu, dan sebagainya.

Dari hasil penelitiannya ini, Maslow berkesimpulan bahwa pengalaman keagamaan adalah peak experience, plateau dan farthes reaches of human nature. Oleh sebab itu kata Maslow, psikologi belum sempurna sebelum difokuskan kembali dalam pandangan spiritual dan transpersonal. Lebih jauh Maslow, (1968) menulis:

I should say also that I consider humanistic, Third Forces Psychology, to be transitional, a preparation for a still higher Fourth Psychology, a transpersonal, transhuman, centerd in the cosmos rather human need and interest, going beyond humannes, identity, self actualization, and the like.

Sepanjang sejarah kemanusiaan, manusia bertanya, “siapakah aku?”. Tradisi keagamaan menjawabnya dengan menukik jauh ke dalam “wujud spiritual, ruh.” Psikologi modern menjawab dengan menengok ke dalam (tidak terlalu dalam), self, ego, eksistensi psikologis” dan psikoterapi merupakan perjalanan psikologis untuk menemukan diri ini. Psikologi transpersonal menggabungkan kedua jawaban ini. Ia mengambil pelajaran dari semua angkatan psikologi dan kearifan perenial (philosophia perennis) agama. Psikologi transpersonal menunjukkan bahwa di luar alam kesadaran biasa terdapat ragam dimensi lain yang luar biasa potensialnya serta mengajarkan praktek-praktek untuk mengantarkan manusia pada kesadaran spiritual, di atas id, ego, dan superego-nya Freud.  

Peserta Didik sebagai Makhluk Individual

Dilihat dari sudut pandang psikologis, peserta didik dapat diartikan sebagai suatu organisme yang sedang tumbuh dan berkembang. Ia memiliki berbagai potensi manusiawi, seperti bakat, minat, kebutuhan sosial-emosional-personal, dan kemampuan jasmaniah. Potensi-potensi tersebut perlu dikembangkan melalui proses pendidikan dan pengajaran, sehingga dapat tumbuh dan berkembang secara utuh menjadi manusia dewasa atau matang.

Sebagai organisme yang seang tumbuh dan berkembang, peserta didik dipandang sebagai individu yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Secara etimologi, istilah individu berasal dari kata Latin “individuum”, yang berarti tidak dapat dibagi, perseorangan atau pribadi. Dalam bahasa Inggris, individu berasal dari kata “in” dan “divided”. Kata “in” salah satunya mengandung pengertian “tidak”, sedangkan “divided” artinya “terbagi”. Jadi, indivdu artinya tidak terbagi, atau suatu kesatuan.

Dalam bahasa Indonesia, individu diartikan sebagai: :orang seorang diri atau pribadi sebagai perseorangan”. Menurut Zakiah Daradjat (1995), individu adalah “manusia perseorangan yang memiliki pribadi/jiwa sendiri, di mana dengan kekhususan jiwa tersebut menyebabkan individu yang satu berbeda dengan individu yang lain.

Dalam perspektif psikologi Islam, untuk menyebut pengertian yang sama dengan individu digunakan istilah “nafs” (bentuk jamaknya nufus), yang sering diartikan sebagai “pribadi atau diri, totalitas manusia, apa yang terdapat dalam diri manusia yang menghasilkan tingkah laku (Rahardjo, 1991, Shihab, 1996).

Muhammad Iqbal, seorang pemikir besar Islam dari India, menggunakan istilah “khudi”-istilah dalam bahasa parsi, yang secara harfiah berarti: “kedirian” atau “individualitas”. Menurut Iqbal, khudi merupakan pusat dan landasan dari keseluruhan organisasi kehidupan manusia. Ia merupakan satu kesatuan yang riil dan mantap. Tugas manusia adalah untuk mewujudkan diri dan dengan berani mengukuhkan realitas dirinya serta memantapkan ego insaninya dalam suatu pribadi yang lebih kukuh (Saiyidan, 1981).

Dari pengertian di atas dapat dipahami bahwa manusia sebagai makhluk individual berarti bahwa manusia itu merupakan keseluruhan atau totalitas yang tidak dapat dibagi. Menurut pengertian ini, maka manusia tidak dapat dipisahkan dari jiwa dan raganya, rohani dan jasmaninya. Manusia tidak terdiri atas penjumlahan dari potensi-potensi tertentu, yang masing-masing bekerja sendiri-sendiri. Kegiatan jiwa dalam kehidupan sehari-hari tidak lain merupakan kegiatan keseluruhan jiwa-raganya, dan bukan kegiatan alat-alat tubuh saja atau kemampuan-kemampuan jiwa saja.

Berdasarkan kesadaran bahwa manusia merupakan kesatuan jiwa-badan, maka hanya manusia pula yang merupakan totalitas. Manusia menyadari akan dua momen dalam dirinya sebagai jiwa dan badan, yang kedua-duanya harus selalu menjadi kesatuan yang tak dapat dipisahkan. Kesadaran inilah yang membuat manusia dapat mengadakan refleksi bahwa berkat badan manusia adalah bagian dari alam semesta, tetapi berkat jiwa rohaninya ia melampauinya. Jiwa rohaninya itu membedakan manusia sebagai suatu totalitas dengan segala sesuatu lainnya dalam alam semesta ini. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa jiwa rohani itu merupakan kekhususan manusia dan menempatkannya sebagai pribadi, dan sebagai pribadi manusia menyadari dirinya sebagai subjek yang dihadapkan pada dunia luar sebagai objek.

Sebagai subjek, manusia memiliki kepribadian yang mengatakan atau men-”transendir” dunia luar, alam sekitar. Artinya, sebagai subjek yang bermartabat pribadi, manusia dapat mengatasi alam sekitar dan tidak dideterminasikan oleh nalurinya, sebagaimana halnya hewan. Sebagai pribadi, manusia tidak mungkin dapat dijadikan objek. Dia begitu otonom dan individual, sehingga tidak dapat diulangi dan tidak pernah ada duanya di dunia ini. Lebih dari itu, manusia sebagai pribadi adalah substansi, individual yang bersifat rasional, yang mampu menyadari bahwa dunia luar merupakan objek, yang dijadikan alat untuk memperkembangkan diri mencapai kematangan dan kesempurnaan (Adisusila, 1985).

Semua ini disadari dan dilakukan manusia secara khas sesuai dengan corak kepribadian dan kemampuan masing-masing individu. Oleh karena proses perkembangan dan pengalaman masing-masing individu tidak sama, maka pribadi yang terbentuk dalam proses tersebut juga berbeda antara individu yang satu dengan individu yang lainny. Realitas ini mengindikasikan bahwa dalam proses perkembangan peserta didik yang wajar harus memperhatikan segi individualitas kemanusiaannya, dalam artian bahwa setiap individu merupakan kesatuan jiwa raga, yang memiliki struktur dan kecakapan yang unik.

Sesuai dengan sifat individual tersebut, perkembangan peserta didik juga bersifat unik. Dalam hal ini menarik apa yang dikemukakan oleh Saufrock dan Yussen (dalam Rohman Wahab, 1998/199): “each us develops some other individuals, and like individuals, like some other individuals, and like no other individuals.” Jadi, di samping terdapat kesamaan-kesamaan dalam pola-pola umum perkembangan setiap individu, terdapat variasi individual dalam perkembangan yang bisa terjadi pada setiap saat. Hal ini adalah karena perkembangan itu sendiri merupakan suatu proses perubahan yang kompleks, melibatkan berbagai unsur yang sling berpengaruh satu sama lain.  

Sumber : Psikologi Perkembangan Peserta Didik, Desmita

Variasi Individual Peserta Didik


Pengertian Peserta Didik

Dalam proses pendidikan, peserta didik merupakan salah satu komponen manusiawi yang menempati posisi sentral. Peserta didik menjadi pokok persoalan dan tumpuan  perhatian dalam semua proses transformasi yang disebut pendidikan. Sebagai salah satu komponen penting dalam sistem  pendidikan, peserta didik sering disebut sebagai “raw material” (bahan mentah).

Dalam perspektif pedagogis, peserta didik diartikan sebagai sejenis makhluk “homo educandum”, makhluk yang menghajatkan pendidikan. Dalam pengertian ini, peserta didik dipandang sebagai manusia yang memiliki potensi yang bersifat laten, sehingga dibutuhkan binaan dan bimbingan untuk mengaktualisasikannya agar ia dapat menjadi manusia susila yang cakap.

Dalam perspektif psikologis, peserta didik adalah individu yang sedang berada dalam proses pertumbuhan dan perkembangan, baik fisik maupun psikis menurut fitrahnya masing-masing. Sebagai individu yang tengah tumbuh dan berkembang, peserta didik memerlukan bimbingan dan pengarahan yang konsisten menuju ke arah titik optimal kemampuan fitrahnya (Arifin, 1996).

Dalam perspektif Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003 pasal 1 ayat 4, “peserta didik diartikan sebagai anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan dirinya melalui proses pendidikan pada jalur jenjang dan jenis pendidikan tertentu.”

Berdasarkan beberapa definisi tentang peserta didik yang disebutkan di atas dapat disimpulkan bahwa peserta didik individu yang memiliki sejumlah karakteristik, di antaranya:

1.      Peserta didik adalah individu yang memiliki potensi fisik dan psikis yang khas, sehingga ia merupakan insan yang unik. Potensi-potensi khas yang dimilikinya ini perlu dikembangkan dan diaktualisasikan sehingga mampu mencapai taraf perkembangan yang optimal.
2.      Peserta didik adalah individu yang sedang berkembang. Artinya peserta didik tengah mengalami perubahan-perubahan dalam dirinya secara wajar, baik yang ditujukan kepada diri sendiri maupun yang diarahkan pada penyesuaian dengan lingkungannya.
3.      Peserta didik adalah individu yang membutuhkan bimbingan individual dan perlakuan manusiawi. Sebagai individu yang sedang berkembang, maka proses pemberian bantuan dan bimbingan perlu mengacu pada tingkat perkembangannya.
4.      Peserta didik adalah individu yang memiliki kemampuan untuk mandiri. Dalam perkembangannya peserta didik memiliki kemampuan untuk berkembang ke arah kedewasaan. Di samping itu, dalam diri peserta didik juga terdapat kecenderungan untuk melepaskan diri dari kebergantungan pada pihak lain. Karena itu setahap demi setahap orangtua atau pendidik perlu memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mandiri dan bertanggung jawab sesuai dengan kepribadiannya sendiri.

Teori-Teori Psikologi tentang Hakikat Peserta Didik

Karena peserta didik merupakan komponen manusiawi yang terpenting dalam proses pendidikan, maka seorang guru dituntut memiliki pemahaman yang mendalam tentang hakikat peserta didik tersebut. Sebagai komponen manusiawi, berarti pemahaman tentang hakikat peserta didik tidak terlepas tentang hakikat manusia secara umum. Dalam kajian psikologi terdapat sejumlah teori yang berupaya untuk menjelaskan tentang hakikat manusia, terutama tentang bagaimana manusia berkembang dan bertingkah laku, faktor-faktor apa yang mempengaruhi manusia sehingga mampu mendinamisasikan dirinya dalam berbagai perilaku kehidupan.

Berikut ini akan diuraikan beberapa teori psikologi tentang hakikat manusia tersebut.

Pandangan Psikodinamika
Teori psikodinamika adalah teori psikologi yang berupaya menjelaskan hakikat dan perkembangan tingkah laku (kepribadian) manusia. Teori psikodinamika dipelopori oleh Sigmund Freud (1856-1939). Model psikodinamika yang diajukan Freud disebut “teori psikoanalisis” (psychoanalytic theory). Menurut teori ini, tingkah laku manusia merupakan hasil tenaga yang beroperasi di dalam pikiran, yang sering tanpa disadari oleh individu. Bagi Freud, ketidaksadaran merupakan bagian dari pikiran yang terletak di luar kesadaran yang umum dan berisi dorongan-dorongan instinktual. Hanya sebagian kecil dari tingkah laku manusia yang muncul dari proses mental yang disadari, sebaliknya yang paling besar mempengaruhi tingkah laku manusia adalah ketidaksadaran.

Oleh sebab itu, menurut pandangan psikoanalisis, tingkah laku manusia hanya dapat dipahami melalui pengkajian yang mendalam terhadap ketidaksadaran. Freud meyakini bahwa tingkah laku kita didorong oleh motif-motif di luar alam sadar kita dan konflik-konflik yang tidak kita sadari. Konflik-konflik itu didasari oleh hal-hal di seputar instink-instink atau dorongan-dorongan seksual dan agresif primitif serta kebutuhan untuk mempertahankan impuls-impuls primitif tersebut di luar kesadaran langsung kita.

Jadi, menurut pandangan ini, tingkah laku manusia lebih ditentukan dan dikontrol oleh kekuatan psikologis, naluri-naluri irrasional (terutama naluri menyerang dan naluri seks) yang memang sudah ada sejak semula pada setiap diri individu. Menurut Freud, hanya sedikit ide-ide, harapan-harapan, dan impuls-impuls yang ada dalam diri individu dan yang menentukan tingkah laku mereka. Sebaliknya, bagian dari pikiran yang lebih besar, yang meliputi harapan-harapan, kekuatan-kekuatan, dorongan-dorongan yang bersifat instinktif kita yang terdalam, tetap berada di bawah permukaan keasadaran (unconscious). Berdasarkan keyakinan inilah maka para teoretisi psikodinamika menganggap perkembangan manusia (human development) sebagai suatu proses aktif dan dinamis yang sangat dipengaruhi oleh dorongan-dorongan atau impuls-impuls individual yang dibawa sejak lahir.

Berdasarkan ide-ide pokok tentang tingkah laku manusia tersebut, Freud kemudian membedakan kepribadian manusia atas tiga unit mental atau struktur psikis, yaitu id, ego, dan superego. Struktur psikis tidak dapat dilihat atau diukur secara langsung, tetapi keberadaannya ditandai oleh perilaku yang dapat diamati dan diekspresikan pada pikiran dan emosi. Meskipun ketiga struktur psikis tersebut mempunyai fungsi, sifat, komponen, prinsip kerja, dan dinamikanya sendiri-sendiri, tetapi ketiganya saling berhubungan, sehingga sulit untuk memisahkan pengaruhnya satu sama lain dalam fenomena tingkah laku manusia.

Id merupakan aspek biologis kepribadian karena berisikan unsur-unsur biologis, termasuk di dalamnya dorongan-dorongan dan impuls-impuls instinktif yang lebih dasar (lapar, haus, seks, dan agresi). Id merupakan realitas psikis yang sesungguhnya karena hanya merupakan dunia batin/dunia subjektif manusia dan sama sekali tidak berhubungan dengan dunia objektif. Id, yang sepenuhnya beroperasi pada ketidaksadaran dan telah ada sejak lahir, dan tidak memperoleh campur tangan dari dunia luar. Id bekerja mengikuti prinsip (pleasure principle), yang dioperasikan pada dua proses; pertama, refleks dan reaksi otomatis (seperti: bersin, berkedip); kedua, proses berpikir primer (primary process thinking), yang merupakan proses dalam berhubungan dengan dunia luar melalui imajinasi dan fantasi, yakni mencapai pemuasan dengan memanipulasi gambaran mental dari objek yang diinginkan (seperti: orang lapar membayangkan makanan). Karena mengikuti prinsip kesenangan, id menuntut pemuasan dari instink-instink tanpa memperhitungkan norma-norma sosial atau kebutuhan orang lain.

Ego merupakan aspek psikologis kepribadian karena timbul dari kebutuhan organisme untuk berhubungan secara baik dengan dunia nyata dan menjadi perantara antara kebutuhan instinktif organisme dengan keadaan lingkungan. Ego berkembang pada tahun pertama dan merupakan aspek eksekutif atau “executive branch” (badan pelaksana) kepribadian, karena fungsi utama ego adalah: (1) menahan penyaluran dorongan, (2) mengatur desakan dorongan-dorongan yang sampai pada kesadaran, (3) mengarahkan suatu perbuatan agar mencapai tujuan-tujuan yang dapat diterima, (4) berpikir logis, dan (5) mempergunakan pengalaman emosi-emosi kecewa atau kesal sebagai tanda adanya sesuatu yang salah, yang tidak benar, sehingga kemudian dapat dikategorikan dengan hal-hal lain untuk memutuskan apa yang akan dilakukan sebaik-baiknya.

Ego terikat oleh proses berpikir sekunder (secondary process thinking), yaitu proses berpikir realistis melalui perencanaan pemuasan kebutuhan dan menimbang situasi yang memungkinkan kompromi antara fantasi dari id dan realitas dunia luar. Prinsip kerja ego diatur oleh prinsip realitas (reality principle), yaitu menghilangkan ketegangan dengan mencari objek yang tepat di dunia nyata.

Perbedaan pokok antara id dan ego ialah bahwa id hanya mengenal realitas subjektif jiwa, sedangkan ego membedakan antara hal-hal yang terdapat dalam batin dengan hal-hal yang terdapat dalam dunia luar.

Perbedaan pokok antara id dan ego ialah bahwa id hanya mengenal realitas subjektif-jiwa, sedangkan ego membedakan antara hal-hal yang terdapat dalam batin dengan hal-hal yang terdapat dalam dunia luar.

Superego adalah aspek sosiologis kepribadian karena merupakan wakil nilai-nilai tradisional dan cita-cita masyarakat sebagaimana yang ditafsirkan orangtua kepada anak-anaknya melalui berbagai perintah dan larangan. Perhatian utama superego adalah memutuskan apakah sesuatu itu benar atau salah, sehingga ia dapat bertindak sesuai dengan norma-norma moral yang diakui oleh masyarakat. Superego mencerminkan nilai-nilai moral dari self yang ideal, yang disebut “ego ideal” dan berfungsi : (1) sebagai hati nurani atau penjaga moral internal, yang mengawasi ego dan memberikan penilaian tentang benar atau salah; (2) merintangi impuls-impuls id, terutama impuls-impuls seksual dan agresif; (3) mendorong ego untuk menggantikan tujuan-tujuan realistis dengan tujuan-tujuan moralitas; (4) menentukan cita-cita mana yang akan diperjuangkan; dan (4) mengajar kesempurnaan.  

Superego bekerja menurut prinsip moral (moral principle), yaitu menuntur kepatuhan yang ketat terhadap standar moral. Karena mengikuti prinsip moral, superego cenderung untuk menentang, baik id maupun ego, dan membuat dunia menurut gambarannya sendiri. Tetapi, superego sama seperti id, bersifat tidak rasional, dan sama seperti ego, melaksanakan kontrol atas instink-instink. Berbeda dengan ego, superego tidak hanya menunda pemuasan instink, tetapi tetap berusaha untuk merintanginya.

Dalam dinamika dan realitas kehidupan pribadi, kalau id lebih cenderung pada nafsu, sedangkan superego lebih cenderung pada hal-hal yang moralis. Agar tercipta keseimbangan hidup, id dan superego harus dijembatani oleh hal yang bersifat realistis (ego). Artinya, agar manusia tidak terlalu mengembangkan nafsu saja dan juga tidak terlalu cenderung pada hal-hal yang idealis dan moralis, perlu ada imbangan melalui dunia kenyataan atau dijembatani oleh ego.

Pandangan Behavioristik
Behavioristik adalah sebuah aliran dalam pemahaman tingkah laku manusia yang dikembangkan oleh John B. Watson (1878-1958), seorang ali psikologi amerika, pada tahun 1930, sebagai reaksi atas teori psikodinamika. Perspektif behavioral ini berfokus pada peran dari belajar dalam menjelaskan tingkah laku manusia. Asumsi dasar mengenai tingkah laku menurut teori ini adalah bahwa tingkah laku sepenuhnya ditentukan oleh aturan-aturan, bisa diramalkan, dan bisa dikendalikan.

Watson dan teoritikus behavioristik lainnya, seperti Skinner (1904-1990) meyakini bahwa tingkah laku manusia merupakan hasil dari pembawaan genetis dan pengaruh lingkungan atau situasional. Kalau Freud melihat bahwa tingkah laku kita dikendalikan oleh kekuatan-kekuatan yang tidak rasional, teoretikus behavioristik melihat kita sebagai hasil pengaruh lingkungan yang membentuk dan memanipulasi tingkah laku kita. Menurut teoretikus behavioristik, manusia sepenuhnya adalah makhluk reaktif, yang tingkah lakunya dikontrol oleh faktor-faktor yang berasal dari luar. Faktor lingkungan inilah yang menjadi penentu terpenting dari tingkah laku manusia. Berdasarkan pemahaman ini, maka kepribadian individu menurut teori ini dapat dikembalikan kepada hubungan antara individu dan lingkungannya. Manusia datang ke dunia ini tidak dengan membawa ciri-ciri yang pada dasarnya “baik atau buruk”, tetapi netral. Hal-hal yang mempengaruhi perkembangan kepribadian individu selanjutnya semata-mata bergantung pada lingkungannya.

Menurut teori ini, orang terlibat di dalam tingkah laku tertentu karena mereka telah mempelajarinya, melalui pengalaman-pengalaman terdahulu, menghubungkan tingkah laku tersebut dengan hadiah-hadiah. Orang menghentikan suatu tingkah laku, mungkin karena tingkah laku tersebut dalam diberi hadiah atau telah mendapat hukuman. Semua tingkah laku, baik bermanfaat ataupun merusak, merupakan tingkah laku yang dipelajari.

Gagasan utama dalam aliran behavioristik ini adalah bahwa untuk memahami tingkah laku manusia diperlukan pendekatan yang objektif, mekanistik dan materialistik, sehingga perubahan tingkah laku pada diri seseorang dapat dilakukan melalui upaya pengondisian. Dengan perkataan lain, mempelajarinya tingkah laku seseorang seharusnya dilakukan melalui pengujian dan pengamatan atas tingkah laku yang tampak, bukan dengan mengamati kegiatan bagian dalam tubuh. Menurut Watson, adalah tidak bertanggung jawab dan tidak ilmiah mempelajari tingkah laku seseorang seharusnya dilakukan melalui pengujian dan pengamatan atas tingkah laku yang tamapak, bukan dengan mengamati kegiatan bagian dalam tubuh. Menurut Watson, adalah tidak bertanggung jawab dan tidak ilmiah mempelajari tingkah laku manusia semata-mata didasarkan atas kejadian-kejadian subjektif, yakni kejadian-kejadian yang diperkirakan terjadi di dalam pikiran, tetapi tidak dapat diamati dan diukur.

Pandangan Humanistik
Teori humanistik muncul pada pertengahan abad ke-20 sebagai reaksi terhadap teori psikodinamik dan behavioristik. Para teoretikus humanistik, seperti Carl Rogers (1902-1987) dan Abraham Maslow (1908-1907) meyakini bahwa tingkah laku manusia tidak dapat dijelaskan sebagai hasil dari konflik-konflik yang tidak disadari maupun sebagai hasil pengondisian (conditioning) yang sederhana. Teori ini menyiratkan penolakan terhadap pendapat bahwa tingkah laku manusia semata-mata ditentukan oleh faktor di luar dirinya. Sebaliknya, teori ini melihat manusia sebagai aktor dalam drama kehidupan, bukan reaktor terhadap instink atau tekanan lingkungan. Teori ini berfokus pada pentingnya pengalaman disadari yang bersifat subjektif dan self-direction.  

Aliran humanistik berhubungan erat dengan aliran filosofis Eropa yang disebut sebagai “eksistensialisme”. Para eksistensialis, seperti filososf martin heidegger (1889-11976) dan Jean Paul Sartre (1905-1980), memfokuskan perhatian pada pencarian arti dan pentingnya pilihan pada eksistensi manusia. Para eksistensialis juga meyakini bahwa kemanusiaan kita membuat kita bertanggung jawab atas arah yang akan diambil dalam kehidupan kita.   

Para teoretikus humanistik mempertahankan bahwa manusia memiliki kecenderungan bawaan untuk melakukan self-actualization- untuk berjuang menjadi apa yang mereka mampu. Setiap manusia memiliki serangkaian perangai dan bakat-bakat yang mendasari perasaan dan kebutuhan individual serta memberikan perspektif yang unik dalam hidup kita. Meskipun pada akhirnya setiap manusia akan mati, tetapi masing-masing dapat mengisi kehidupan dengan penuh arti dan bertujuan apabila kita mengenali dan menerima kebutuhan dan perasaan terdalam kita. Kita hidup secara autentik. Kesadaran diri terhadap perasaan-perasaan autentik dan pengalaman subjektif dapat membantu kita untuk membuat pilihan-pilihan yang lebih bermakna.

Menurut Rogers, salah seorang tokoh aliran humanistik, prasyarat yang terpenting bagi aktualisasi-diri adalah konsep diri yang luas dan fleksibel, sesuatu yang memungkinkan kita untuk menyerap secara luas seluruh pengalaman dan mengekspresikan diri kita secara penuh. Konsep diri sebagian besar merupakan hasil pengalaman kita pada waktu kecil, terutama pengalaman bersama orangtua kita sendiri. Semua anak secara alamiah mendambakan kehangatan dan penerimaan.

Rogers meyakini bahwa orangtua mempunyai peran yang besar dalam membantu anak-anak merka mengembangkan self-esteem dan menempatkan mereka pada jalur self-actualization dengan menunjukkan pada mereka unconditional positive regard-memuji mereka berdasarkan nilai dari dalam diri mereka, tanpa memandang perilaku mereka pada saat itu. Dengan cara pemberian penghargaan dan penilaian yang bersifat positif inilah anak dapat mengembangkan self-actualization dan self-concept yang positif. Sebaliknya, penilaian yang bersifat negatif terhadap anak akan memberikan penglaman yang tidak menyenangkan bagi mereka. Pengalaman yang tidak menyenangkan ini cenderung dikeluarkan anak dari konsep diri mereka sehingga menghasilkan konsep diri yang tidak selaras dengan organisme. Dengan konsep diri yang demikian, anak akan berusaha menjadi apa yang diinginkan oleh orang lain, dan tidak berusaha menjadi apa yang sebenanya ia inginkan.

Lebih jauh Rogers mengatakan bahwa orang saling menyakiti satu sama lain atau menajdi antisosial dalam tingkah laku mereka sebenarnya adalah karena mereka frustasi dalam usaha untuk mencapai potensi unik mereka. Namun ketika orangtua dan orang lain memperlakukan anak-anak dengan cinta dan toleransi untuk perbedaan mereka, anak-anak juga akan tumbuh menjadi penuh cinta, sekalipun beberapa dari nilai dan kesukaan mereka berbeda dengan pilihan orangtua mereka.

Jadi, dalam teori humanistik, manusia digambarkan secara optimistik dan penuh harapan. Di dalam diri manusia terdapat potensi-potensi untuk menjadi sehat dan tumbuh secara kreatif. Manusia digambarkan sebagai individu yang aktif, bertanggung jawab, mempunyai potensi kreatif, bebas (tidak terikat oleh belenggu masa lalu), beroerientasi ke depan, dan selalu berusaha untuk self-fulfillment (mengisi diri sepenuhnya untuk beraktualisasi). Kegagalan dalam mewujudkan potensi-potensi ini lebih disebabkan oleh pengaruh yang bersifat menjerat dan keliru dari pendidikan dan latihan yang diberikan oleh orangtua serta pengaruh-pengaruh sosial lainnya.   

Sumber : Psikologi Perkembangan Peserta Didik, Desmita

Gambaran Umum tentang Aspek-Aspek Perkembangan Peserta Didik

Gambaran Umum tentang Aspek-Aspek Perkembangan Peserta Didik

Perkembangan peserta didik adalah mata kuliah yang mempelajari aspek-aspek perkembangan individu yang berada pada tahap usia sekolah dasar dan sekolah menengah. Mata kuliah ini memberikan pemahaman kepada mahasiswa calon guru tentang perkembangan peserta didik, sehingga diharapkan mampu memberikan pelayanan pendidikan yang sesuai dengan tingkat perkembangan siswa yang dihadapinya.

Secara umum perkembangan peserta didik dapat dikelompokkan ke dalam tiga aspek perkembangan, yaitu perkembangan fisik, kognitif, dan psikososial.

Perkembangan aspek fisik
Perkembangan fisik atau yang disebut atau yang disebut juga pertumbuhan biologis (biological growth) meliputi perubahan-perubahan dalam tubuh (seperti: pertumbuhan otak, sistem saraf, organ-organ indrawi, pertambahan tinggi dan berat, hormon, dll.), dan perubahan-perubahan dalam cara-cara individu dalam menggunakan tubuhnya (seperti perkembangan keterampilan motorik dan perkembangan seksual), serta perubahan dalam kemampuan fisik (seperti penurunan fungsi jantung, penglihatan dan sebagainya).

Perkembangan aspek kognitif
Perkembangan kognitif adalah salah satu aspek perkembangan peserta didik yang berkaitan dengan pengertian (pengetahuan), yang semua proses psikologis yang berkaitan dengan bagaimana individu mempelajari dan memikirkan lingkungannya. Perkembangan kognitif ini meliputi perubahan pada aktivitas mental yang berhubungan dengan persepsi, pemikiran, ingatan, keterampilan berbahasa, dan pengolahan informasi yang memungkinkan seseorang memperoleh pengetahuan, memecahkan masalah, dan merencanakan masa depan, atau semua proses psikologis yang berkaitan dengan bagaimana individu mempelajari memperhatikan, mengamati, membayangkan, memperkirakan menilai dan memikirkan lingkungannya.

Perkembangan Aspek Psikososial
Perkembangan psikososial adalah proses perubahan kemampuan-kemampauan peserta didik untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial yang lebih luas. Dalam proses perkembangan ini peserta didik diharapkan mengerti orang lain, yang berarti mampu menggambarkan ciri-cirinya, mengenali apa yang dipikirkan dirasakan dan diinginkan serta dapat menempatkan diri pada sudut pandang orang lain, tanpa kehilangan dirinya sendiri, meliputi perubahan pada relasi individu dengan orang lain, perubahan pada emosi dan perubahan kepribadian.

Karakteristik Umum Perkembangan Peserta Didik

Secara umum, buku ini mengetengahkan kajian psikologi perkembangan, yang secara khusus membahas perkembangan anak usia sekolah (SD) dan remaja (SMP & SMA). Aspek-aspek perkembangan yang dibahas dalam buku ini secara garis besarnya meliputi perkembangan fisik-motorik dan otak, perkembangan kognitif, dan perkembangan sosioemosional. Masing-masing aspek perkembangan dihubungkan dengan pendidikan, sehingga para guru diharapkan mampu memberikan layanan pendidikan atau pertumbuhan strategi pembelajaran yang relevan dengan karakteristik perkembangan tersebut.

Karakteristik Anak Usia Sekolah Dasar (SD)

Usia rata-rata anak Indonesia saat masuk sekolah dasar adalah 6 tahun dan selesai pada usia 12 tahun. Kalau mengacu pada pembagian tahapan perkembangan anak, berarti anak usia sekolah berada dalam dua masa perkembangan, yaitu masa kanak-kanak tengah (6-9 tahun), dan masa kanak-kanak akhir (10-12 tahun).

Anak-anak usia sekolah ini memiliki karakteristik yang berbeda dengan anak-anak yang usianya lebih muda. Ia senang bermain, senang bergerak, senang bekerja dalam kelompok, dan senang merasakan atau melakukan sesuatu secara langsung. Oleh sebab itu, guru hendaknya mengembangkan pembelajaran yang mengandung unsur permainan, mengusahakan siswa berpindah atau bergerak, bekerja atau belajar dalam kelompok, serta memberikan kesempatan untuk terlibat langsung dalam pembelajaran.

Menurut Havighurst, tugas perkembangan anak usia sekolah dasar meliputi:
1.      Menguasai keterampilan fisik yang diperlukan dalam permainan dan aktivitas fisik.
2.      Membina hidup sehat.
3.      Belajar bergaul dan bekerja dalam kelompok.
4.      Belajar menjalankan peranan sosial sesuai dengan jenis kelamin.
5.      Belajar membaca, menulis, dan berhitung agar mampu berpartisipasi dalam masyarakat.
6.      Memperoleh sejumlah konsep yang diperlukan untuk berpikir efektif.
7.      Mengembangkan kata hati, moral dan nilai-nilai.
8.      Mencapai kemandirian pribadi.

Dalam upaya mencapai setiap tugas perkembangan tersebut, guna dituntut untuk memberikan bantuan berupa:
1.      Menciptakan lingkungan teman sebaya yang mengajarkan keterampilan fisik.
2.      Melaksanakan pembelajaran yang memberikan kesempatan kepada siswa untuk belajar bergaul dan bekerja dengan teman sebaya, sehingga kepribadian sosialnya berkembang.
3.      Mengembangkan kegiatan pembelajaran yang memberikan pengalaman yang konkret atau langsung dalam membangun konsep.
4.      Melaksanakan pembelajaran yang dapat mengembangkan nilai-nilai, sehingga siswa mampu menentukan pilihan yang stabil dan menjadi pegangan bagi dirinya.

Karakteristik Anak Usia Sekolah Menengah (SMP)

Dilihat dari tahapan perkembangan yang disetujui oleh banyaknya ahli, anak usia sekolah menengah (SMP)
Dilihat dari tahapan perkembangan yang disetujui oleh banyak ahli, anak usia sekolah menengah (SMP) berada pada tahap perkembangan pubertas (10-14 tahun). Terdapat sejumlah karakterisitik yang menonjol pada anak usia SMP ini, yaitu:
1.      Terjadinya ketidakseimbangan proporsi tinggi dan berat badan.
2.      Mulai timbulnya ciri-ciri seks sekunder.
3.      Kecenderungan ambivalensi, antara keinginan menyendiri dengan keinginan bergaul, serta keinginan untuk bebas dari dominasi dengan kebutuhan bimbingan dan bantuan dari orangtua.
4.      Senang membandingkan kaedah-kaedah, nilai-nilai etika atau norma dengan kenyataan yang terjadi dalam kehidupan orang dewasa.
5.      Mulai mempertanyakan secara skeptis mengenai eksistensi dan sifat kemurahan dan keadilan Tuhan.
6.      Reaksi dan ekspresi emosi masih labil.
7.      Mulai mengembangkan standar dan harapan terhadap perilaku diri sendiri yang sesuai dengan dunia sosial.
8.      Kecenderungan minat dan pilihan karer relatif sudah lebih jelas.

Adanya karakteristik anak usia sekolah menengah yang demikian, maka guru diharapkan untuk:
1.      Menerapkan model pembelajaran yang memisahkan siswa pria dan wanita ketika membahas topik-topik yang berkenaan dengan anatomi dan fisiologi.
2.      Memberikan kesempatan kepada siswa untuk menyalurkan hobi dan minatnya melalui kegiatan-kegiatan yang positif.
3.      Menerapkan pendekatan pembelajaran yang memperhatikan perbedaan individual atau kelompok kecil.
4.      Meningkatkan kerja sama dengan orangtua dan masyarakat untuk mengembangkan potensi siswa.
5.      Tampil menjadi teladan yang baik bagi siswa.
6.      Memberikan kesempatan kepada siswa untuk belajar bertanggung jawab.  

Karakteristik Anak Usia Remaja (SMP/SMA)

Masa remaja (12-21 tahun) merupakan masa peralihan antara masa kehidupan anak-anak dan masa kehidupan orang dewasa. Masa remaja sering dikenal dengan masa pencarian jati diri (ego identity). Masa remaja ditandai dengan sejumlah karakteristik penting, yaitu:
1.      Mencapai hubungan yang matang dengan teman sebaya
2.      Dapat menerima dan belajar sosial sebagai pria atau wanita dewasa yang dijunjung tinggi oleh masyarakat.
3.      Menerima keadaan fisik dan mampu menggunakannya secara efektif.
4.      Mencapai kemandirian emosional dari orangtua dan orang dewasa lainnya.
5.      Memilih dan mempersiapkan karier di masa depan sesuai dengan minat dan kemampuannya.
6.      Mengembangkan sikap positif terhadap pernikahan, hidup berkeluarga dan memiliki anak.
7.      Mengembangkan keterampilan intelektual dan konsep-konsep yang diperlukan sebagai warga negara.
8.      Mencapai tingkah laku yang bertanggung jawab secara sosial.
9.      Memperoleh seperangkat nilai dan sistem etika sebagai pedoman dalam bertingkah laku
10.  Mengembangkan wawasan keagamaan dan meningkatkan religiusitas.

Berbagai karakteristik perkembangan masa remaja tersebut, menuntut adanya pelayanan pendidikan yang mampu memenuhi kebutuhannya. Hal ini dapat dilakukan guru, di antaranya:
1.      Memberikan pengetahuan dan pemahaman tentang kesehatan reproduksi, bahaya penyimpangan seksual dan penyalahagunaan narkotika.
2.      Membantu siswa mengembangkan sikap apresiatif terhadap postur tubuh atau kondisi dirinya.
3.      Menyediakan fasilitas yang memungkinkan siswa mengembangkan keterampilan yang sesuai dengan minat dan bakatnya, seperti sarana olah raga, kesenian, dan sebagainya.
4.      Memberikan pelatihan untuk mengembangkan keterampilan memecahkan masalah dan mengambil keputusan.
5.      Melatih siswa mengembangkan resiliensi, kemampuan bertahan dalam kondisi sulit dan penuh godaan.
6.      Menerapkan model pembelajaran yang memungkinkan siswa untuk berpikir kritis, reflektif, dan positif.
7.      Membantu siswa mengembangkan etos kerja yang tinggi dan sikap wiraswasta.
8.      Memupuk semangat keberagamaan siswa melalui pembelajaran agama terbuka dan lebih toleran.
9.      Menjalin hubungan yang harmonis dengan siswa, dan bersedia mendengarkan segala keluhan dan problem yang dihadapinya.

Masing-masing karakteristik perkembangan peserta didik sebagaimana disebutkan di atas, akan diuraikan secara lebih luas dalam bab-bab selanjutnya.

Sumber : Psikologi Perkembangan Peserta Didik, Desmita

Kisah Mata Air Keabadian

Kisah ini diriwayatkan oleh Ats-Tsa’labi dari Imam Ali ra. Pada zaman dahulu hiduplah seorang hamba Allah SWT yang melebihkan kepada d...