Senin, 10 November 2014

Lupa Dan Kejenuhan Belajar


 

Pada bagian ini akan dibahas hal-hal pokok mengenai lupa dalam belajar yang meliputi: 1) faktor-faktor penyebab lupa; 2) kiat mengurangi lupa. Gejala negatif yang juga akan dibahas pada bagian ini, secara singkat, adalah masalah kejenuhan belajar.

1.      LUPA DALAM BELAJAR

Dari pengalaman sehari-hari, kita memiliki kesan seakan-akan apa-apa yang kita alami dan kita pelajari tidak seluruhnya tersimpan dalam akal kita. Padahal, menurut teori kognitif apapun yang kita alami dan kita pelajari, kalau memang sistem akal kita mengolahnya dengan cara yang memadai, semuanya akan tersimpan dalam subsistem akal permanen kita.

Akan tetapi, kenyataan yang kita alami terasa bertolak belakang dengan teori itu. Acapkali terjadi, apa yang telah kita pelajari dengan tekun justru sukar diingat kembali dan mudah terlupakan. Sebaliknya, tidak sedikit pengalaman dan pelajaran yang kita tekuni sepintas lalu mudah melekat dalam ingatan.

Lupa (forgetting) ialah hilangnya kemampuan untuk menyebut atau memproduksi kembali apa-apa yang sebelumnya telah kita pelajari. Secara sederhana, Gulo (1982) dan Reber (1988) mendefinisikan lupa sebagai ketidakmampuan mengenal atau mengingat sesuatu yang pernah dipelajari atau dialami. Dengan demikian, lupa bukanlah peristiwa hilangnya item informasi dan pengetahuan dari akal kita.

Dapatkah lupa dalam belajar siswa diukur secara langsung? Wittig (1981) menyimpulkan berdasarkan penelitiannya, peristiwa lupa yang dialami seseorang tak mungkin dapat diukur secara langsung. Sering terjadi, apa yang dinyatakan telah terlupakan oleh seorang siswa justru ia katakana. Untuk memperjelas hal ini, perhatikan contoh berikut.

Jika Anda meminta penjelasan kepada seorang siswa, Ali misalnya, mengenai materi pelajaran tertentu dengan perintah: “Ali, katakana semua yang telah kau lupakan mengenai pelajaran itu!” Kemudian Ali menyebutkan hampir seluruh bagian pelajaran tersebut. Lupakah Ali akan materi pelajaran itu? Jawabnya, tentu tidak. Sebab, perintah Anda sesungguhnya telah mengungkapkan apa-apa yang dia ingat. Hal lain yang tak dapat ia katakan (yang sedikit itu), itulah yang mungkin terlupakan olehnya.

Apakah sesungguhnya yang menyebabkan siswa Anda lupa akan sebagian materi yang telah Anda ajarkan? Pada umumnya orang percaya bahwa lupa terutama disebabkan oleh lamanya tenggang waktu antara saat terjadinya proses belajar sebuah materi dengan saat pengungkapannya. Namun berdasarkan hasil-hasil penelitian, ternyata anggapan seperti itu nyaris tak terbukti.

A.    Faktor-faktor Penyebab Lupa

Pertama, lupa dapat terjadi karena gangguan konflik antara item-item informasi atau materi yang ada dalam sistem memori siswa. Dalam interference theory (teori mengenai gangguan), gangguan konflik ini terbagi menjadi dua macam, yaitu: 1) proactive interference; 2) retroactive interference (Reber 1988; Best, 1989; Anderson, 1990).

Seorang siswa akan mengalami gangguan proaktif apabila materi pelajaran lama yang sudah tersimpan dalam subsistem akal permanennya mengganggu masuknya materi pelajaran baru. Peristiwa ini bisa terjadi apabila siswa tersebut mempelajari sebuah materi pelajaran yang sangat mirip dengan materi pelajaran yang telah dikuasainya dalam tenggang waktu yang pendek. Dalam hal ini, materi yang baru saja dipelajari akan sangat sulit diingat atau diproduksi kembali. Dengan kata lain, siswa tersebut lupa akan materi pelajaran lama itu.

Kedua, lupa dapat terjadi pada seorang siswa karena adanya tekanan terhadap item yang telah ada, baik sengaja ataupun tidak. Penekanan ini terjadi karena beberapa kemungkinan.

a.       Karena item informasi (berupa pengetahuan, tanggapan, kesan, dan sebagainya) yang diterima siswa kurang menyenangkan, sehingga ia dengan sengaja menekannya hingga ke alam ketidaksadaran.

b.      Karena item informasi yang baru secara otomatis menekan item informasi yang telah ada, jadi sama dengan fenomena retroaktif.

c.       Karena item informasi yang akan direproduksi (diingat kembali) itu tertekan ke alam bawah sadar dengan sendirinya lantaran tidak pernah dipergunakan.

Itulah pendapat yang didasarkan pada repression theory yakni teori represi/penekanan (Reber, 1988). Namun, perlu ditambahkan bahwa istilah “alam ketidaksadaran” dan “alam bawah sadar” seperti tersebut di atas, merupakan gagasan Sigmund Freud (baca: Sigmen Froid), bapak psikologi analisis yang banyak mendapat tantangan, baik dari lawan maupun kawannya itu.

Ketiga, lupa dapat terjadi pada siswa karena perubahan situasi lingkungan antara waktu belajar dengan waktu mengingat kembali (Anderson, 1990). Jika seorang siswa hanya mengenal atau mempelajari hewan jerapah atau kuda nil lewat gambar-gambar yang ada di sekolah misalnya, maka kemungkinan ia akan lupa menyebut nama hewan-hewan tadi ketika melihatnya di kebun binatang.

Keempat, lupa dapat terjadi karena perubahan sikap dan minat siswa terhadap proses dan situasi belajar tertentu. Jadi, meskipun seorang telah mengikuti proses mengajar-belajar dengan tekun dan serius, tetapi karena sesuatu hal sikap dan minat siswa tersebut menjadi sebaliknya (seperti karena ketidaksenangan kepada guru) maka materi pelajaran itu akan mudah terlupakan.

Kelima, menurut law of disuse (Hilgard & Bower 1975), lupa dapat terjadi karena materi pelajaran yang telah dikuasai tidak pernah digunakan atau dihafalkan siswa. Menurut asumsi sebagian ahli, materi yang diperlakukan demikian dengan sendirinya akan masuk ke alam bawah sadar atau mungkin juga bercampur aduk dengan materi pelajaran baru.

Keenam, lupa tentu saja dapat terjadi karena perubahan urat syaraf otak. Seorang siswa yang terserang penyakit tertentu seperti keracunan, kecanduan alkohol, dan geger otak akan kehilangan ingatan atas item-item informasi yang ada dalam memori permanennya.

Meskipun penyebab lupa itu banyak aneka ragamnya, yang paling penting untuk diperhatikan para guru adalah faktor pertama yang meliputi gangguan proaktif dan retroaktif, karena didukung oleh hasil riset dan eksperimen. Mengenai faktor keenam, tentu saja semua orang maklum.

Kecuali gangguan proaktif dan retroaktif, ada satu lagi penemuan baru yang menyimpulkan bahwa lupa dapat dialami seorang siswa apabila item informasi yang ia serap rusak sebelum masuk ke memori permanennya. Item yang rusak (decay) itu tidak hilang dan tetap diproses oleh sistem memori siswa tadi, tetapi terlalu lemah untuk dipanggil kembali. Kerusakan item informasi tersebut mungkin disebabkan karena tenggang waktu (decay) antara saat diserapnya item informasi dengan saat proses pengkodean dan transformasi dalam memori jangka pendek siswa tersebut (Best, 1989; Anderson, 1990).

Apakah materi pelajaran yang terlupakan oleh siswa benar-benar hilang dari ingatan akalnya? Menurut pandangan para ahli psikologi kognitif, “tidak!” Materi pelajaran itu masih terdapat dalam subsistem akal permanen siswa namun terlalu lemah untuk dipanggil atau diingat kembali. Buktinya banyak siswa yang mengeluh “kehilangan ilmu”, setelah melakukan relearning (belajar lagi) atau mengikuti remedial teaching (pengajaran perbaikan) ternyata dapat menunjukkan kinerja akademik yang lebih memuaskan daripada kinerja akademik sebelumnya. Hal ini bermakna bahwa relearning dan remedial teaching berfungsi memperbaiki atau menguatkan item-item informasi yang rusak atau lemah dalam memori para siswa tersebut, sehingga mereka berhasil mencapai prestasi yang memuaskan.        

B.     Kiat Mengurangi Lupa dalam Belajar

Sebagai seorang calon guru atau guru profesional dapatkah Anda mencegah peristiwa lupa yang sering dialami para siswa itu? Lupa itu manusiawi dan mungkin Anda tak akan mampu mencegahnya. Namun, sekadar berusaha mengurangi proses terjadinya lupa yang sering dialami para siswa dapat Anda lakukan dengan berbagai kiat.

Pada prinsipnya, apabila materi pelajaran yang Anda sajikan kepada siswa-siswa dapat diserap, diproses, dan disimpan dengan baik oleh sistem memori mereka, peristiwa lupa yang menjengkelkan semua pihak itu mungkin tidak terjadi, atau terjadi namun tidak totoal. Masalah Anda sekarang ialah bagaimana kiat membuat sistem memori/akal siswa agar berfungsi optimal dalam memproses materi pelajaran yang Anda sajikan pada mereka.

Kiat terbaik untuk mengurangi lupa adalah dengan cara meningkatkan daya ingat akal siswa. Banyak ragam kiat yang dapat dicoba siswa dalam meningkatkan daya ingatannya, antara lain menurut Barlow (1985), Reber (1988), dan Anderson (1990), adalah sebagai berikut.

1.      Overlearning

Overlearning (belajar lebih) artinya upaya belajar yang melibihi batas penguasaan dasar atas materi pelajaran tertentu. Overlearning terjadi apabila respons atau reaksi tertentu muncul setelah siswa melakukan pembelajaran atas respons tersebut dengan cara di luar kebiasaan. Banyak contoh yang dapat dipakai untuk overlearning, antara lain pembacaan teks Pancasila pada setiap hari Senin dan Sabtu memungkinkan ingatan siswa terhadap materi Pendidikan Kewarganegaraan (PKN) lebih kuat.

2.      Extra study time

Extra study time (tambahan waktu belajar) ialah upaya penambahan alokasi waktu belajar atau penambahan frekuensi (kekerapan) aktivitas belajar. Penambahan alokasi waktu belajar materi tertentu berarti siswa menambah jam belajar, misalnya dari satu jam menjadi satu setengah jam. Penambahan frekuensi belajar berarti siswa meningkatkan kekerapan belajar materi tertentu, misalnya dari sekali sehari menjadi dua kali sehari. Kiat ini dipandang cukup strategis karena dapat melindungi memori dari kelupaan.

3.      Mnemonic device

Mnemonic device (muslihat memori) yang sering juga hanya disebut mne-monic itu berarti kiat khusus yang dijadikan “alat pengait” mental untuk memasukkan item-item informasi kedalam sistem akal siswa. Muslihat mnemonic ini banyak ragamnya, tetapi yang paling menonjol adalah sebagaimana terurai di bawah ini.

Rima (Rhyme), yakni sajak yang dibuat sedemikian rupa yang isinya terdiri atas kata dan istilah yang harus diingat siswa. Sajak ini akan lebih baik pengaruhnya apabila diberi not-not sehingga dapat dinyanyikan. Nyanyian anak-anak TK yang berisi pesan-pesan moral dapat diambil sebagai contoh penyusunan rima mnemonic.

Singkatan, yakni terdiri atas huruf-huruf awal nama atau istilah yang harus diingat siswa. Contoh: jika seorang siswa hendak mempermudah mengingat nama Nabi Adam, Nabi Nuh, Nabi Ibrahim, dan Nabi Musa, dapat menyingkatnya dengan ANIM. Pembuatan singkatan-singkatan seyogianya dilakukan sedemikian rupa sehingga menarik dan memiliki kesan tersendiri.

Sistem kata pasak (peg word system), yakni sejenis teknik mnemonic yang menggunakan komponen-komponen yang sebelumnya telah dikuasai sebagai pasak (paku) pengait memori baru. Kata komponen pasak ini dibentuk berpasangan seperti merah-saga, panas-api. Kata-kata ini berguna untuk mengingat kata dan istilah yang memiliki watak yang sama seperti: darah, lipstick; pasangan langit dan bumi; neraka, dan kata/istilah lain yang memiliki kesamaan watak (warna, rasa, dan seterusnya).

Metode Losai (Method of Loci), yaitu kiat mnemonic yang menggunakan tempat-tempat khusus dan terkenal sebagai sarana penempatan kata dan istilah tertentu yang harus diingat siswa. Kata “loci” sendiri adalah jamak dari kata “locus” artinya tempat. Dalam hal ini, nama-nama kota, jalan, gedung terkenal dapat dipakai untuk menempatkan kata dan istilah yang kurang lebih relevan dalam arti memiliki kemiripan ciri dan keadaan. Contoh: nama ibu kota Amerika Serikat untuk mengingat nama presiden pertama negara itu (George Washington); dan gedung bundar untuk mengingat nama jaksa agung. Apabila guru memerlukan siswa menyebut nama-nama tadi, ia dapat menyuruh siswa tersebut “bepergian” ke tempat-tempat tersebut.

Sistem kata kunci (key word system). Kiat mnemonic yang satu ini relatif tergolong baru disbanding dengan kiat-kiat mnemonic lainnya. Kiat ini mula-mula dikembangkan pada tahun 1975 oleh dua orang pakar psikologi, Raugh dan Atkinson (Barlow, 1985). Sistem kata kunci biasanya direkayasa secara khusus untuk mempelajari kata dan istilah asing, dan konon cukup efektif untuk pengajaran bahasa asing, Inggris misalnya. Sistem ini berbentuk daftar kata yang terdiri atas unsur-unsur sebagai berikut: 1) kata-kata asing; 2) kata-kata kunci, yakni kata-kata bahasa local yang paling kurang suku pertamanya memiliki suaru/lafal yang mirip dengan kata yang dipelajari; 3) arti-arti kata asing tersebut. Yang mirip dengan kata yang dipelajari; 3) arti-arti kata asing tersebut.

4.      Pengelompokan

Maksud kiat pengelompokan (clustering) ialah menata ulang item-item materi menjadi kelompok-kelompok kecil yang dianggap lebih logis dalam arti bahwa item-item tersebut memiliki signifikansi dan lafal yang sama atau sangat mirip. Penataan/pengelompokkan ini direkayasa sedemikian rupa dalam bentuk daftar-daftar item materi seperti:

a)      daftar I terdiri atas nama-nama negara serumpun: Indonesia, Malaysia, Brunei, dan seterusnya;

b)      daftar II terdiri atas singkatan-singkatan lembaga-lembaga negara: MPR, DPR, dan seterusnya;

c)      daftar III terdiri atas singkatan-singkatan nama-nama badan internasional: WHO, ILO, dan sebagainya.

5.      Latihan terbagi

Lawan latihan terbagi (distributed practice) adalah latihan terkumpul (massed practice) yang sudah dianggap tidak efektif karena mendorong siswa melakukan cramming. Dalam latihan terbagi siswa melakukan latihan-latihan dengan alokasi waktu yang pendek dan dipisah-pisahkan di antara waktu-waktu istirahat. Upaya demikian dilakukan untuk menghindari cramming, yakni belajar banyak materi secara tergesa-gesa dalam waktu yang singkat. Dalam melaksanakan distributed practice, siswa dapat menggunakan berbagai metode dan strategi belajar yang efisien; misalnya hukum Jost sebagaimana yang telah penyusun singgung sebelum ini.

6.      Pengaruh letak bersambung

Untuk memperoleh efek positif dari pengaruh letak bersambung (the serial position effect), siswa dianjurkan menyusun daftar kata-kata (nama, istilah, dan sebagainya) yang diawali dan di akhiri dengan kata-kata yang harus diingat. Kata-kata yang harus diingat siswa tersebut sebaiknya ditulis dengan menggunakan huruf dan warna yang mencolok agar tampak sangat berbeda dari kata-kata yang lainnya yang tidak perlu diingat. Dengan demikian, kata yang ditulis pada awal dan akhir daftar tersebut memberi kesan tersendiri dan diharapkan melekat erat dalam subsistem akal permanen siswa.

Selanjutnya, apa yang dapat Anda lakukan (sebagai guru dan calon guru) dalam mengurangi kelupaan siswa? Ada beberapa cara yang dapat ditempuh guru dalam menanggulangi kemungkinan terlupakannya materi pelajaran yang disajikan kepada mereka.

Pertama, cobalah timbulkan atau tingkatkan motivasi belajar para siswa dengan menyadarkan mereka akan tujuan instruksional yang harus mereka capai. Hal ini dapat Anda lakukan, misalnya dengan menjelaskan manfaat materi pelajaran bagi kehidupan masa depan mereka seraya memberi contoh konkret orang-orang yang tidak beruntung lantaran tidak memiliki pengetahuan yang Anda ajarkan itu.

Kedua, cobalah selalu menunjukkan unsur-unsur pokok sebelum menunjukkan unsur-unsur penunjang yang relevan dalam materi pelajaran yang Anda sajikan. Dalam hal ini Anda dianjurkan untuk mendemonstrasikan dengan alat-alat peraga yang tersedia atau memberi tanda khusus pada kata atau istilah pokok yang tertulis pada papan tulis dengan kapur warna merah, hijau, atau warna lainnya yang kontras.

Ketiga, coblah Anda selalu menyajikan pokok bahasan materi yang berkaitan dengan pokok bahasan pada sesi sebelumnya dan relevan dengan pokok bahasan materi yang akan disajikan pada sesi berikutnya. Langkah ini penting Anda tempuh, sebab kesinambungan antara pokok bahasan yang satu dengan lainnya itu dapat mempermudah proses pengolahan materi bahasan tersebut dalam sistem akal para siswa.

Keempat, jika Anda menanyakan sesuatu yang berhubungan dengan materi yang telah Anda sajikan kepada orang siswa, sebaiknya Anda memperhatikan hal-hal sebagai berikut.

a.       Pertanyaan seyogianya disampaikan dengan cara akrab dan tidak menegangkan, tetapi wibawa Anda perlu tetap terjaga.

b.      Pertanyaan seyogianya jelas, singkat, dan tidak mengandung bermacam-macam tafsiran.

c.       Pertanyaan hendaknya hanya mengandung satu masalah agar siswa dapat memusatkan proses sistem akalnya dalam mencari respons.

d.      Pertanyaan hendaknya tidak hanya mendorong siswa untuk menjawab “ya” atau “tidak” sebab dapat menghambat kreativitas akalnya.

e.       Jika seorang siswa tidak mampu menjawab, Anda tidak perlu mendesaknya, sebab ia akan kehilangan muka dan ingatannya menjadi kacau.

f.       Segeralah Anda tawarkan pertanyaan yang tak terjawab itu kepada siswa-siswa lainnya agar siswa yang tak mampu menjawab tadi dapat mengambil pelajaran dari kawannya sendiri.

g.      Jika seorang siswa berhasil menjawab pertanyaan, berilah pujian dan senyuman seperlunya tanpa harus bersikap melecehkan siswa yang gagal menjawab pertanyaan Anda.

2.      KEJENUH BELAJAR

Secara harfiah, arti kejenuhan ialah padat atau penuh sehingga tidak mampu lagi memuat apapun. Selain itu, jenuh juga dapat berarti jemu atau bosan.

Dalam belajar, di samping siswa sering mengalami kelupaan, ia juga terkadang mengalami peristiwa negatif lainnya yang disebut jenuh belajar yang dalam bahasa psikologi lazim disebut learning plateu atau plateu (baca: pletou) saja. Peristiwa jenuh ini kalau dialami seorang siswa yang sedang dalam proses belajar (kejenuhan belajar) dapat membuat siswa tersebut merasa telah memubazirkan usahanya.

Kejenuhan belajar ialah rentang waktu tertentu yang digunakan untuk belajar, tetapi tidak mendatangkan hasil (Reber, 1988). Seorang siswa yang mengalami kejenuhan belajar merasa seakan-akan pengetahuan dan kecakapan yang diperoleh dari belajar tidak ada kemajuan. Tidak adanya kemajuan hasil belajar ini pada umumnya tidak berlangsung selamanya, tetapi dalam rentang waktu tertentu saja, misalnya seminggu. Namun tidak sedikit siswa yang mengalami rentang waktu yang membawa kejenuhan itu berkali-kali dalam satu periode belajar tertentu.

Seorang siswa yang sedang dalam keadaan jenuh sistem akalnya tak dapat bekerja sebagaimana yang diharapkan dalam memproses item-item informasi atau pengalaman baru, sehingga kemajuan belajarnya seakan-akan “jalan di tempat”. Bila kemajuan belajar yang jalan di tempat ini kita gambarkan dalam bentuk kurva, yang akan tampak adalah garis mendatar yang lazim disebut plateau.

Kejenuhan belajar dapat melanda seorang siswa yang kehilangan motivasi dan konsolidasi salah satu tingkat keterampilan tertentu sebelum sampai pada tingkat keterampilan berikutnya.  

Faktor Penyebab dan Cara Mengatasi Kejenuhan Belajar

Kejenuhan belajar dapat melanda siswa apabila ia telah kehilangan motivasi dan kehilangan konsolidasi salah satu tingkat keterampilan tertentu sebelum siswa tertentu sampai pada tingkat keterampilan berikutnya (Chaplin, 1972). Selain itu, kejenuhan juga dapat terjadi karena proses belajar siswa telah sampai pada batas kemampuan jasmaniahnya karena bosan (boring) dan keletihan (fatigue). Namun, penyebab kejenuhan yang paling umum adalah keletihan yang melanda siswa, karena keletihan dapat menjadi penyebab munculnya perasaan bosan pada siswa yang bersangkutan.

Menurut Cross (1974) dalam bukunya The Psychology of Learning, keletihan siswa dapat dikategorikan menjadi tiga macam, yakni: 1) keletihan indera siswa; 2) keletihan fisik siswa; 3) keletihan mental siswa. Keletihan fisik dan keletihan indera-dalam hal ini mata dan telinga-pada umumnya dapat dikurangi atau dihilangkan lebih mudah setelah siswa beristirahat cukup-terutama tidur nyenyak-dan mengkonsumsi makanan dan minuman yang cukup bergizi. Sebaliknya, keletihan mental tak dapat diatasi dengan cara yang sesederhana cara mengatasi keletihan-keletihan lainnya. Itulah sebabnya, keletihan mental dipandang sebagai faktor utama penyebab munculnya kejenuhan belajar.

Apakah yang menyebabkan siswa mengalami keletihan mental (mental fatigue)? Sedikitnya ada empa faktor penyebab keletihan mental siswa.

1.      Karena kecemasan siswa terhadap dampak negatif yang ditimbulkan oleh keletihan itu sendiri.

2.      Karena kecemasan siswa terhadap standar/patokan keberhasilan bidang-bidang studi tertentu yang dianggap terlalu tinggi terutama ketika siswa tersebut sedang merasa bosan mempelajari bidang-bidang studi tadi.

3.      Karena siswa berada di tengah-tengah situasi kompetitif yang ketat dan menuntut lebih banyak kerja intelek yang berat.

4.      Karena siswa mempercayai konsep kinerja akademik yang optimum, sedangkan dia sendiri menilai belajarnya sendiri hanya berdasarkan ketentuan yang ia bikin sendiri (self-imposed).

Selanjutnya, kiat-kiat untuk mengatasi keletihan mental yang menyebabkan munculnya kejenuhan belajar itu, antara lain sebagai berikut.

1.      Melakukan istirahat dan mengkonsumsi makanan dan minuman yang bergizi dengan takaran yang cukup banyak.

2.      Pengubahan atau penjadwalan kembali jam-jam dari hari-hari belajar yang dianggap lebih memungkinkan siswa belajar lebih giat.

3.      Pengubahan atau penataan kembali lingkungan belajar siswa yang meliputi pengubahan posisi meja tulis, lemari, rak buku, alat-alat perlengkapan belajar dan sebagainya sampai memungkinkan siswa merasa berada di sebuah kamar baru yang lebih menyenangkan untuk belajar.

4.      Memberikan motivasi dan stimulasi baru agar siswa merasa terdorong untuk belajar lebih giat daripada sebelumnya.

5.      Siswa harus berbuat nyata (tidak menyerah atau tinggal diam) dengan cara mencoba belajar dan belajar lagi.

Sumber : Buku Psikologi Pendidikan, Muhibbin Syah

Minggu, 09 November 2014

Evaluasi Prestasi Belajar


 

Pada bagian ini akan diuraikan beberapa hal pokok yang berhubungan dengan prestasi atau kinerja akademik (academic performance) dan penetapan batas minimal prestasi belajar siswa.

1.      DEFINISI EVALUASI

Evaluasi artinya penilaian terhadap tingkat keberhasilan siswa mencapai tujuan yang telah ditetapkan dalam sebuah program. Padanan kata evaluasi adalah assessment yang menurut Tardif (1989) berarti proses penilaian untuk menggambarkan prestasi yang dicapai seorang siswa dengan kriteria yang telah ditetapkan. Selain kata evaluasi dan assessment ada pula kata lain yang searti dan relatif lebih masyhur dalam dunia pendidikan kita yakni tes, ujian, dan ulangan.

Ulangan dan Ulangan Umum yang dulu disebut THB (Tes Hasil Belajar) itu dan TPB (Tes Prestasi Belajar) adalah alat-alat ukur yang banyak digunakan untuk menemukan taraf keberhasilan sebuah proses mengajar-belajar atau untuk menentukan taraf keberhasilan sebuah program pengajaran. Sementara itu, istilah evaluasi biasanya dipandang sebagai ujian untuk menilai hasil pembelajaran para siswa pada akhir jenjang pendidikan tertentu. Di Indonesia ujian seperti ini disebut Ujian Akhir Nasional (UAN) yang kini disebut UN.

2.      TUJUAN DAN FUNGSI EVALUASI

Assessment menurut Petty (2004), mengukur keluasan dan kedalaman belajar, sedangkan evaluasi yang berarti pengungkapan dan pengukuran hasil belajar yang pada dasarnya merupakan proses penyusunan deskripsi siswa, baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Namun, kebanyakan pelaksanaan evaluasi cenderung bersifat kuantitatif, lantara penggunaan simbol angka untuk menentukan kualitas keseluruhan kinerja akademik siswa dianggap nisbi. Walupun begitu, guru yang piawai dan professional akan berusaha mencari kiat evaluasi yang lugas, tuntas, dan meliputi seluruh kemampuan ranah cipta, rasa, dan karsa siswa.

A.    Tujuan Evaluasi

Pertama, untuk mengetahui tingkat kemajuan yang telah dicapai oleh siswa dalam suatu kurun waktu proses belajar tertentu. Hal ini berarti dengan evaluasi guru dapat mengetahui kemajuan perubahan tingkah laku siswa sebagai hasil proses belajar dan mengajar yang melibatkan dirinya selaku pembimbing dan pembantu kegiatan belajar siswanya itu.

Kedua, untuk mengetahui posisi atau kedudukan seorang siswa dalam kelompok kelasnya. Dengan demikian, hasil evaluasi itu dapat dijadikan guru sebagai alat penetap apakah siswa tersebut termasuk kategori cepat, sedang, atau lambat dalam arti mutu kemampuan belajarnya.

Ketiga, untuk mengetahui tingkat usaha yang dilakukan siswa dalam belajar. Hal ini berarti dengan evaluasi, guru akan dapat mengetahui gambaran tingkat usaha siswa. Hasil yang baik pada umumnya menunjukkan tingkat usaha yang efisisen, sedangkan hasil yang buruk adalah cermin usaha yang tidak efisien.

Keempat, untuk mengetahui segala upaya siswa dalam mendayagunakan kapasitas kognitifnya (kemampuan kecerdasan yang dimilikinya) untuk keperluan belajar. Jadi, hasil evaluasi itu dapat dijadikan guru sebagai gambaran realisasi pemanfaatan kecerdasan siswa.

Kelima, untuk mengetahui tingkat daya guna dan hasil guna metode mengajar yang telah digunakan guru dalam proses mengajar-belajar (PMB). Dengan demikian, apabila sebuah metode yang digunakan guru tidak mendorong munculnya prestasi belajar siswa yang memuaskan, guru amat dianjurkan mengganti metode tersebut atau mengkombinasikannya dengan metode lain yang serasi.

Selain itu, berdasarkan UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 Pasal 58 (1) evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan. Oleh karena itu, maka evaluasi belajar seyogianya dilakukan guru secara terus-menerus dengan pelbagai cara, bukan hanya pada saat-saat ulangan terjadwal atau saat ujian belaka.

B.     Fungsi Evaluasi

Di samping memiliki tujuan, evaluasi belajar juga memiliki fungsi-fungsi sebagai berikut:

a.       fungsi administrative untuk penyusunan daftar nilai dan pengisian buku rapor;

b.      fungsi promosi untuk menetapkan kenaikan atau kelulusan;

c.       fungsi diagnostik untuk mengidentifikasi kesulitan belajar siswa dan merencanakan program remedial teaching (pengajaran perbaikan);

d.      sumber data BK untuk memasok data siswa tertentu yang memerlukan bimbingan dan konseling (BK);

e.       bahan pertimbangan pengembangan pada masa yang akan datang yang meliputi pengembangan kurikulum, metode dan alat-alat PMB.

Selanjutnya, selain memiliki fungsi-fungsi seperti di atas, evaluasi juga mengandung fungsi psikologis yang cukup signifikan bagi siswa maupun bagi guru dan orangtuanya. Bagi siswa, penilaian guru merupakan alat bantu untuk mengatasi kekurangmampuan atau ketidakmampuannya dalam menilai kemampuan dan kemajuan dirinya sendiri. Dengan mengetahui taraf kemampuan dan kemajuan dirinya sendiri, siswa memiliki self-connsciousness, kesadarannya yang lugas mengenai eksistensi dirinya, dan juga metacognitive, pengetahuan yang benar mengenai batas kemampuan akalnya sendiri (Mulcahy et al, 1991). Dengan demikian, siswa diharapkan mampu menentukan posisi dan statusnya secara tepat di antara teman-teman dan masyarakatnya sendiri.

Bagi orangtua atau wali siswa, dengan evaluasi itu kebutuhan akan pengetahuan mengenai hasil usaha dan tanggung jawabnya mengembangkan potensi anak akan terpenuhi. Pengetahuan seperti ini dapat mendatangkan rasi pasti kepada orangtua dan wali siswa dalam menentukan langkah-langkah pendidikan lanjutan bagi anaknya. Sedangkan bagi para guru sendiri (sebagai evaluator), hasil evaluasi prestasi tersebut dapat membantu mereka dalam menentukan warna sikap “efikasi-diri” dan “efikasi-kontekstual”.

Di samping itu, evaluasi prestasi belajar sudah tentu juga berfungsi melaksanakan ketentuan konstitusional sebagaimana termaktub dalam UU Sisdiknas No. 20/2003 Bab XVI Pasal 57 (1) yang berbunyi: “Evaluasi pendidikan dilakukan dalam rangka pengendalian mutu pendidikan secara nasional sebagai bentuk akuntabilitas penyelenggaraan pendidikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan”.

3.      RAGAM EVALUASI

Pada prinsipnya, evaluasi hasil belajar merupakan kegiatan berencana dan berkesinambungan. Oleh karena itu, ragamnya pun banyak, mulai yang paling sederhana sampai yang paling kompleks.

A.    Pre-test dan Post-test

Kegiatan pretest dilakukan guru secara rutin pada setiap akan memulai penyajian materi baru. Tujuannya ialah untu mengidentifikasi saraf pengetahuan siswa mengenai bahan yang akan disajikan. Evaluasi seperti ini berlangsung sinkat dan sering tidak memerluakan instrumen tertulis.

Post test adalah kebalikan dari pretes, yakni kegiatan evaluasi yang dilakukan guru pada setiap akhir penyajian materi. Tujuannya adalah untuk mengetahui taraf penguasaan siswa atas materi yang telah diajarkan. Evaluasi ini juga berlangsung singkat dan cukup dengan menggunakan instrument sederhana yang berisis item-item yang jumlahnya sangat terbatas.     

B.     Evaluasi Prasyarat

Evaluasi jenis ini sangat mirip dengan pretest. Tujuannya adalah untuk mengidentifikasi penguasaan siswa atas materi lama yang mendasari materi baru yang akan diajarkan. Contoh: evaluasi penguasaan penjumlahan bilangan sebelum memulai pelajaran perkalian bilangan, karena penjumlahan merupakan prasyarat atau dasar perkalian.

C.    Evaluasi Diagnostik

Evaluasi ini dilakukan setelah selesai penyajian sebuah satuan pelajaran dengan tujuan mengidentifikasi bagian-bagian tertentu yang belum dikuasai siswa. Instrumen evaluasi jenis ini dititikberatkan pada bahasan tertentu yang dipandang telah membuat siswa mendapatkan kesulitan.

D.    Evaluasi Formatif

Evaluasi jenis ini kurang lebih sama dengan ulangan yang dilakukan pada setiap akhir penyajian satuan pelajaran atau modul. Tujuannya ialah untuk memperoleh umpan balik yang mirip dengan evaluasi diagnostik, yakni untuk mendiagnosis (mengetahui penyakit/kesulitan) kesulitan belajar siswa. Hasil diagnosis kesulitan belajar tersebut digunakan sebagai bahan pertimbangan rekayasa pengajaran remedial (perbaikan).

E.     Evaluasi Sumatif

Ragam penilaian sumatif kurang lebih sama dengan ulangan umum yang dilakukan untuk mengukur kinerja akademik atau presasi belajar siswa pada akhir periode pelaksanaan program pengajaran. Evaluasi ini lazim dilakukan pada setiap akhir semester atau akhir tahun ajaran. Hasilnya dijadikan bahan laporan resmi mengenai kinerja akademik siswa dan bahan penentu naik atau tidaknya siswa ke kelas yang lebih tinggi.

F.     UAN/UN

Ujian Akhir Nasional atau Ujian Nasional (UN) pada prinsipnya sama dengan evaluasi sumatif dalam arti sebagai alat penentu kenaikan status siswa. Namun, UAN yang dimulai diberlakukan pada tahun 2002 itu dirancang untuk siswa yang telah menduduki kelas tertinggi pada suatu jenjang pendidikan tertentu yakni jenjang SD/MI (Madrasah Ibtidaiyah), dan seterusnya.

4.      SYARAT DAN RAGAM ALAT EVALUASI

A.    Syarat Alat Evaluasi

Langkah pertama yang perlu ditempuh guru dalam menilai prestasi belajar siswa adalah menyusun alat evaluasi (test instrument) yang sesuai dengan kebutuhan, dalam arti tidak menyimpang dari indikator dan jenis prestasi yang diharapkan.

Persyaratan pokok penyusunan alat evaluasi yang baik dalam perspekif psikologi belajar (The psychology of learning) meliputi dua macam, yakni: 1) reliabilitas; 2) validitas, (Cross, 1974; Barlow, 1985; Butler, 1990). Persyaratan lain seperti objektif, diskriminatif, dan sebagainya yang dikemukakan oleh kebanyakan penyusun buku psikologi pendidikan tidak dibahas dalam buku ini, mengingat secara implisit, telah termasuk dalam dua macam syarat di atas.

Reliabilitas. Secara sederhana, reliabilitas (reliability) berarti hal tahan uji atau dapat dipercaya. Sebuah alat evaluasi dipandang reliable atau tahan uji, apabila memiliki konsistensi atau keajegan hasil. Artinya, apabila alat itu diujikan kepada kelompok siswa pada waktu tertentu menghasilkan prestasi “X”, maka prestasi yang sama atau hampir sama dengan “X” itu dapat pula dicapai kelompok siswa tersebut setelah diuji ulang dengan alat yang sama pada waktu yang lain.

Validitas. Pada prinsipnya, validitas (validity) berarti keabsahan atau kebenaran. Sebuah alat evaluasi dipandang valid (absah) apabila dapat mengukur apa yang seharusnya diukur. Contohnya, apabila sebuah alat evaluasi bertujuan mengukur prestasi belajar matematika, maka item-item (butir-butir soal) dalam alat itu hendaknya hanya direkayasa untuk mengukur kemampuan matematis para siswa. Kemampuan-kemampuan lainnya yang tidak relevan, seperti kemampuan dalam bidang bahasa, IPS, dan sebagainya tidak perlu diukur oleh instrumen evaluasi matematika tersebut.   

B.     Ragam Alat Evaluasi

Secara garis besar, ragam alat evaluasi terdiri atas dua macam bentuk, yaitu: 1) bentuk objektif; dan 2) bentuk subjektif. Bentuk objektif biasanya diwujudkan dalam bentuk-bentuk alternatif jawaban, pengisian titik-titik, dan percobaan satu pernyataan dengan pernyataan lainnya.

1.      Bentuk objektif

Bentuk ini lazim juga disebut tes obejktif, yakni tes yang jawabannya dapat diberi skor nilai secara lugas (seadanya) menurut pedmoan yang ditentukan sebelumnya. Ada lima macam tes yang termasuk dalam evaluasi ragam objektif ini.

a)      Tes Benar-Salah

Tes ini merupakan alat evaluasi yang paling bersahaja baik dalam hal susunan item-itemnya maupun dalam hal cara menjawabnya. Soal-soal dalam tes ini berbentuk pernyataan yang pilihan jawabannya hanya dua macam, yakni “B” jika pernyataan tersebut benar dan “S” jika salah. Apabila soal-soalnya disusun dalam bentuk pertanyaan, biasanya alternatif jawaban yang harus dipilih ialah “ya” atau “tidak”.

Dalam dunia pendidikan modern, tes semacam itu sudah lama ditinggalkan karena dua alasan.

1.      Tes “B-S” tidak menghargai kreativitas akal siswa karena mereka hanya didorong untuk memilih sekenanya salah satu dari dua alternatif yang ada.

2.      Tes “B-S” dalam beberapa segi tertentu dianggap sangat rendah tingkat reliabilitasnya.

b)      Tes Pilihan Berganda

Item-item dalam tes pilihan berganda (multiple choice) biasanya berupa pertanyaan atau pernyataan yang dapat dijawab dengan memilih salah satu dari empat atau lima alternatif jawaban yang mengiringi setiap soal. Cara yang sangat lazim dilakukan ialah mengiringi setiap soal. Cara yang sangat lazim dilakukan ialah menyilang (X) salah satu huruf a, b, c, d, atau e yang menandai alternatif jawaban yang benar.

Pada zaman modern sekarang ini, dunia pendidikan khususnya di Barat sudah mulai meninggalkan tes pilihan berganda kecuali untuk keperluan di luar pengukuran prestasi belajar. Alasan-alasan ditinggalkannya jenis ini ialah:

1.      kurang mendorong kreativitas ranah cipta dan karsa siswa, karena ia hanya merasa disuruh berspekulasi, yakni menebak dan menyilang secara untung-untungan.

2.      sering terdapat dua jawaban (di antara empat atau lima alternatif) yang identik atau sangat mirip, sehingga terkesan kurang diskriminatif;

3.      sering terdapat satu jawaban yang sangat mencolok kebenarannya, sehingga jawaban-jawaban lainnya terlalu gampang untuk ditinggalkan.

Namun demikian, sampai batas tertentu tes pilihan berganda masih dapat dipakai untuk mengevaluasi prestasi belajar siswa dengan catatan, penyusunannya dilakukan secara ekstra cermat. Dalam hal ini, guru seyogianya berusaha sebaik-baiknya untuk menghindari kelemahan-kelemahan di atas.

c)      Tes Pencocokan (Menjodohkan)

Tes pencocokan (matching test) disusun dalam dua daftar yang masing-masing memuat kata, istilah, atau kalimat yang diletakkan bersebelahan. Tugas siswa dalam menjawab item-item soal ialah mencari pasangan yang selaras antara kalimat atau istilah yang ada pada daftar A (berisi item-item yang ditandai dengan nomor urut 1 sampai 10 dan seterusnya menurut kebutuhan) dengan daftar B terdiri atas item-item yang ditandai huruf a, b, c, dan sterusnya. Untuk menjaga mutu reliabilitas dan validitas, salah satu daftar instrumen evaluasi di atas sebaliknya ditambah sekitar 10% sampai 20%. Dengan demikian, kemungkinan siswa menebak sekenanya pada saat mengerjakan satu atau dua soal yang terkahir dapat dihindari.

d)     Tes Isian

Alat tes isian biasanya berbentuk cerita atau karangan pendek, yang pada bagian-bagiannya yang memuat istilah atau nama tertentu dikosongkan. Tugas siswa dalan hal ini berpikir untuk menemukan kata-kata yang relevan dengan karangan tersebut. Lalu kata-kata itu dituliskan pada titik-titik atau ruang kosong yang terdapat pada badan karangan tadi.

e)      Tes pelengkapan (Melengkapi)

Cara menyelesaikan tes melengkapi pada dasarnya sama dengan cara menyelesaikan tes isian. Perbedaannya terletak pada kalimat-kalimat yang digunakan sebagai instrumen. Dalam tes melengkapi kalimat-kalimat yang tersusun dalam bentuk karangan atau cerita pendek. Tetapi dalam bentuk kalimat-kalimat yang masing-masing berdiri sendiri.

2.      Bentuk Subjektif

Alat evaluasi yang berbentuk tes subjektif adalah alat pengukur prestasi belajar yang jawabannya tidak ternilai dengan skor atau angka pasti, seperti yang digunakan untuk evaluasi objektif. Hal ini disebabkan banyaknya ragam gaya jawaban yang diberikan oleh para siswa. Instrumen evaluasi mengambil bentuk essay examination, yakni soal ujian mengharuskan siswa menjawab setiap pertanyaan dengan cara menguraikan atau dalam bentuk karangan bebas.

Banyak ahli menganggap evaluasi subjektif itu sukar sekali dipercaya reliabilitas dan validitasnya, karena subjektivitas guru penilaiannya lebih menonjol (Suryabrata, 1984). Contoh; sebuah esai jawaban yang hari ini diberi nilai 70, mungkin dua minggu yang akan datang, jika diperiksa lagi akan diberi nilai 60 atau 80. Alasan ini konon berdasarkan hasil penilaian 55 tahun yang lalu, antara lain oleh E.W. Tiegs (1939) dan Strach & Elliof (1939).

Namun demikian, menghindari pemakaian tes subjektif (essay test) hanya karena alasan subjektivitas guru adalah suatu tindakan yang menentang perkembangan modernisasi pendidikan. Tes esai kini lebih populer di mana-mana khususnya di negara-negara maju, mengingat keunggulannya yang sulit ditandingi terutama oleh instrumen tes B-S dan pilihan berganda yang sering mendorong siswa bermain tebak-tebakan atau “menghitung kancing” itu.

Ada beberapa keunggulan tes esai yang secara implisit diakui juga oleh Suryabrata (1984).

a.       Tes esai tidak hanya mampu mengungkapkan hasil jawaban siswa, tetapi juga cara dan jalan yang ditempuh untuk memperoleh jawaban itu.

b.      Tes esai dapat mendorong siswa untuk berpikir kreatif, kritis, bebas, mandiri, tetapi tanpa melupakan tanggung jawab.

 

5.      INDIKATOR PRESTASI BELAJAR

Pada prinsipnya, pengungkapan hasil belajar ideal meliputi segenap ranah psikologis yang berubah sebagai akibat pengalaman dan proses belajar siswa. Namun demikian, pengungkapan perubahan tingkah laku seluruh ranah itu, khususnya ranah rasa murid, sangat sulit. Hal ini disebabkan perubahan hasil belajar itu ada yang bersifat intangible (tak dapat diraba). Oleh karena itu, yang dapat dilakukan guru dalam hal ini adalah hanya mengambil cuplikan perubahan tingkah laku yang dianggap penting dan diharapkan dapat mencerminkan perubahan tingkah laku yang dianggap penting dan diharapkan dapat mencerminkan perubahan yang terjadi sebagai hasil belajar siswa, baik yang berdimensi cipta dan rasa maupun yang berdimensi karsa.

Kunci pokok untuk memperoleh ukuran dan data hasil belajar siswa sebagaimana yang terurai di atas adalah mengetahui garis-garis besar indikator (penunjuk adanya prestasi tertentu) dikaitkan dengan jenis prestasi yang hendak diungkapkan atau diukur.

6.      BATAS MINIMAL PRESTASI BELAJAR

Setelah mengetahui indikator prestasi belajar di atas, guru perlu pula mengetahui bagaimana kita menetapkan batas minimal keberhasilan belajar para siswanya. Hal ini penting karena mempertimbangkan batas terendah prestasi siswa yang dianggap berhasil dalam arti luas bukanlah perkara mudah. Keberhasilan dalam arti luas berarti keberhasilan yang meliputi ranah cipta, rasa, dan karsa siswa.

Ranah-ranah psikologis, walaupun berkaitan satu sama lain, kenyataannya sukar diungkap sekaligus bila hanya melihat perubahan yang terjadi pada salah satu ranah. Contoh: seorang siswa yang memiliki nilai tinggi dalam bidang studi agama Islam, belum tentu rajin beribadah salat. Sebaliknya, siswa lain yang hanya mendapat nilai cukup dalam bidang studi tersebut, justru menunjukkan perilaku yang baik dalam kehidupan beragama sehari-hari.

Jadi, nilai hasil evaluasi sumatif atau ulangan “X” dalam rapot, misalnya, mungkin secara afektif dan psikomotor menjadi “X-“ atau “X+”. Inilah tantangan berat yang harus dihadapi oleh para guru sepanjang masa. Untuk menjawab tantangan ini guru seyogianya tidak hanya terikat oleh kiat penilaian yang bersifat kognitif, tetapi juga memperhatikan kiat penilaian yang bersifat kognitif, tetapi juga memperhatikan kiat penilaian afektif dan psikomotor siswa.

Menetapkan batas minimum keberhasilan belajar siswa selalu berkaitan dengan pengungkapan hasil belajar. Ada beberapa alternatif norma pengukuran tingkat keberhasilan siswa setelah mengikuti proses mengajar-belajar. Di antara norma-norma pengukuran tersebut ialah:

a)      norma skala angka dari 0 sampai 10;

b)      norma skala angka dari 0 sampai 100.

Angka terendah yang menyatakan kelulusan/keberhasilan belajar (passing grade) skala 0-10 adalah 5,5 atau 6, sedangkan untuk skala 0-100 adalah 55 atau 60. Alhasil pada prinsipnya jika seorang siswa dapat menyelesaikan lebih dari separuh tugas dapat menjawab lebih dari separuh tugas atau dapat menjawab lebih dari setengah instrumen evaluasi dengan benar, ia dianggap telah memenuhi target minimal keberhasilan belajar. Namun demikian, kiranya perlu dipertimbangkan oleh para guru sekolah penetapan passing grade yang lebih tinggi (misalnya 65 atau 70) untuk pelajaran-pelajaran inti (core subject). Pelajaran-pelajaran inti ini meliputi, antara lain: bahasa dan matematika, karena kedua bidang studi ini (tanpa mengurangi pentingnya bidang-bidang studi lainnya) merupakan “kunci pintu” pengetahuan-pengetahuan lainnya. Pengkhususan passing grade seperti ini sudah berlaku umum di negara-negara maju dan meningkatkan kemajuan belajar siswa dalam bidang-bidang studi lainnya.

7.      EVALUASI PRESTASI KOGNITIF, AFEKTIF, DAN PSIKOMOTOR

Pada bagian ini akan dibahas serba singkat alternatif pengukuran keberhasilan belajar baik yang berdimensi ranah cipta, ranah rasa, maupun ranah karsa. Namun, tekanan khusus pada bagian ini akan diberikan pada pengukuran prestasi ranah rasa, mengingat sangat jarangnya buku yang membahasa masalah tersebut secara memadai.

A.    Evaluasi Prestasi Kognitif

Mengukur keberhasilan siswa yang berdimensi kognitif (ranah cipta) dapat dilakukan dengan berbagai cara, baik dengan tes tertulis maupun tes lisan dan perbuatan. Karena semakin membengkaknya jumlah siswa di sekolah-sekolah, tes lisan dan perbuatan hampir tak pernah digunakan lagi. Alasan lain mengapa tes lisan khususnya kurang mendapat perhatian ialah karena pelaksanaannya yang face to face (berhadapan langsung).

Dampak negatif yang tak jarang muncul akibat tes yang face to face itu, ialah sikap dan perlakuan yang subjektif dan kurang adil, sehingga soal yang diajukan pun tingkat kesukarannya berbeda antara satu dengan yang lainnya. Di satu pihak ada siswa yang diberi soal yang mudah dan terarah (sesuai dengan topik) sedangkan di pihak lain ada pula siswa yang ditanyai masalah yang sukar bahkan terkadang tidak relevan dengan topik.

Untuk mengatasi masalah subjektivitas itu, semua jenis tes tertulis baik yang berbentuk subjektif maupun yang berbentuk objektif (kecuali tes B-S), seyogianya dipakai sebaik-baiknya oleh para guru. Namun demikian, apabila Anda menghendaki informasi yang lebih akurat mengenai kemampaun kognitif siswa, selain tes B-S, tes pilihan berganda juga sebaiknya tidak digunakan. Sebagai gantinya, Anda sangat dianjurkan untuk menggunakan tes pencocokan (matching test), tes isian, dan tes esai. Khusus untuk mengukur kemampuan analisis dan sintesis siswa, Anda lebih dianjurkan untuk menggunakan tes esai, karena tes ini adalah satu-satunya ragam instrumen evaluasi yang paling tepat untuk mengevaluasi dua jenis kemampuan akal siswa tadi.

B.     Evaluasi prestasi afektif

Dalam merencanakan penyusunan instrumen tes prestasi siswa yang berdimensi afektif (ranah rasa) jenis-jenis prestasi internalisasi dan karakterisasi seyogianya mendapat perhatian khusus. Alasannya, karena kedua jenis prestasi ranah rasa itulah yang lebih banyak mengendalikan sikap dan perbuatan siswa.

Salah satu bentuk tes ranah rasa yang populer ialah “Skala Likert” (Likert Sclae) yang tujuannya untuk mengidentifikasi kecenderungan/sikap orang (Reber, 1988). Bentuk skala ini menampung pendapat yang mencerminkan sikap sangat setuju, ragu-ragu, tidak setuju dan sangat tidak setuju. Rentang skala ini diberi skor 1 sampai 5 atau 1 sampai 7 bergantung kebutuhan dengan catatan skor-skor itu dapat mencerminkan sikap-sikap mulai sangat “ya” sampai “sangat tidak”. Perlu pula dicatat, untuk memudahkan identifikasi jenis kecenderungan afektif siswa yang representatif, item-item skala sikap sebaiknya dilengkapi dengan identitas sikap yang meliputi: 1) doktrin; 2) komitmen; 3) penghayatan; 4) wawasan.

Selanjutnya, tugas siswa yang sedang dievaluasi (testee) adalah memilih alternatif sikap yang sesuai dengan keadaan dirinya sendiri. Kemudian, sikap itu dinyatakan dengan cara memberi tanda cek (√) pada angka yang sesuai dengan kecenderungan sikapnya. Cara penyelesaian evaluasi sikap dengan membubuhkan tanda cek seperti itu berlaku baik untuk skala Likert maupun skala diferensial semantik.

Hal lain yang perlu diingat guru yang hendak menggunakan skala sikap ialah bahwa dalam evaluasi ranah rasa yang dicari bukan benar dan salah, melainkan sikap atau kecenderungan setuju atau tidak setuju. Jadi, tidak sama dengan evaluasi ranah cipta yang secara prinsipal bertujuan mengungkapkan kemampuan akal dengan batasan salah dan benar.

C.    Evaluasi Prestasi Psikomotor

Cara yang dipandang tepat untuk mengevaluasi keberhasilan belajar yang berdimensi ranah psikomotor (ranah karsa) adalah observasi. Observasi, dalam hal ini, dapat diartikan sebagai sejenis tes mengenai peristiwa, tingkah laku, atau fenomena lain, dengan pengamatan langsung. Namun, observasi harus dibedakan dari eksperimen, karena eksperimen pada umumnya dipandang sebagai salah satu cara observasi (Reber, 1988).

Guru yang hendak melakukan observasi perilaku psikomotor siswa-siswanya seyogianya mempersiapkan langkah-langkah yang cermat dan sistematis menurut pedoman yang terdapat dalam lembar format observasi yang seluruhnya telah disediakan, baik oleh sekolah maupun oleh guru itu sendiri.

Penilaian membuat bendera itu didasarkan pada ada atau tidak adanya kegiatan yang tercantum di dalam format observasi. Kolom “Ya” dan kolom “Tidak” hendaknya diisi oleh guru dengan cara membubuhkan tanda cek (√) sesuai dengan kenyataan. Penulisan nama atau nomor pokok siswa dapat dilakukan pada bagian sudut atas lembar observasi, jika kegiatan tes dilakukan pada bagan sudut atas lembar observasi, jika kegiatan tes dilakukan secara individual. Jika tes dilakukan secara berkelompok, penulisan kata “perempuan” dan “laki-laki” (sebagai kelompok terpisah) dapat juga dilakukan sebagai salah satu alternatif.

Selanjutnya, apabila guru menghendaki penilaian dengan menggunakan norma skala angka, kolom “ya” dan “tidak” dapat dihapus dan diganti dengan skor-skor, misalnya mulai 5 sampai 10. Siswa yang mendapat skor 5 ke bawah dianggap tidak memenuhi kriteria keberhasilan belajar.
 
 
 
Sumber : Buku Psikologi Pendidikan, Muhibbin Syah.
 

Kisah Mata Air Keabadian

Kisah ini diriwayatkan oleh Ats-Tsa’labi dari Imam Ali ra. Pada zaman dahulu hiduplah seorang hamba Allah SWT yang melebihkan kepada d...