Pada
bagian ini akan dibahas hal-hal pokok mengenai lupa dalam belajar yang
meliputi: 1) faktor-faktor penyebab lupa; 2) kiat mengurangi lupa. Gejala
negatif yang juga akan dibahas pada bagian ini, secara singkat, adalah masalah
kejenuhan belajar.
1.
LUPA
DALAM BELAJAR
Dari
pengalaman sehari-hari, kita memiliki kesan seakan-akan apa-apa yang kita alami
dan kita pelajari tidak seluruhnya tersimpan dalam akal kita. Padahal, menurut
teori kognitif apapun yang kita alami dan kita pelajari, kalau memang sistem
akal kita mengolahnya dengan cara yang memadai, semuanya akan tersimpan dalam
subsistem akal permanen kita.
Akan
tetapi, kenyataan yang kita alami terasa bertolak belakang dengan teori itu.
Acapkali terjadi, apa yang telah kita pelajari dengan tekun justru sukar
diingat kembali dan mudah terlupakan. Sebaliknya, tidak sedikit pengalaman dan
pelajaran yang kita tekuni sepintas lalu mudah melekat dalam ingatan.
Lupa
(forgetting) ialah hilangnya kemampuan untuk menyebut atau memproduksi kembali
apa-apa yang sebelumnya telah kita pelajari. Secara sederhana, Gulo (1982) dan
Reber (1988) mendefinisikan lupa sebagai ketidakmampuan mengenal atau mengingat
sesuatu yang pernah dipelajari atau dialami. Dengan demikian, lupa bukanlah
peristiwa hilangnya item informasi dan pengetahuan dari akal kita.
Dapatkah
lupa dalam belajar siswa diukur secara langsung? Wittig (1981) menyimpulkan
berdasarkan penelitiannya, peristiwa lupa yang dialami seseorang tak mungkin
dapat diukur secara langsung. Sering terjadi, apa yang dinyatakan telah
terlupakan oleh seorang siswa justru ia katakana. Untuk memperjelas hal ini,
perhatikan contoh berikut.
Jika
Anda meminta penjelasan kepada seorang siswa, Ali misalnya, mengenai materi
pelajaran tertentu dengan perintah: “Ali, katakana semua yang telah kau lupakan
mengenai pelajaran itu!” Kemudian Ali menyebutkan hampir seluruh bagian
pelajaran tersebut. Lupakah Ali akan materi pelajaran itu? Jawabnya, tentu
tidak. Sebab, perintah Anda sesungguhnya telah mengungkapkan apa-apa yang dia
ingat. Hal lain yang tak dapat ia katakan (yang sedikit itu), itulah yang
mungkin terlupakan olehnya.
Apakah
sesungguhnya yang menyebabkan siswa Anda lupa akan sebagian materi yang telah
Anda ajarkan? Pada umumnya orang percaya bahwa lupa terutama disebabkan oleh
lamanya tenggang waktu antara saat terjadinya proses belajar sebuah materi
dengan saat pengungkapannya. Namun berdasarkan hasil-hasil penelitian, ternyata
anggapan seperti itu nyaris tak terbukti.
A.
Faktor-faktor
Penyebab Lupa
Pertama,
lupa dapat terjadi karena gangguan konflik antara item-item informasi atau
materi yang ada dalam sistem memori siswa. Dalam interference theory (teori mengenai gangguan), gangguan konflik ini
terbagi menjadi dua macam, yaitu: 1) proactive
interference; 2) retroactive
interference (Reber 1988; Best, 1989; Anderson, 1990).
Seorang
siswa akan mengalami gangguan proaktif apabila materi pelajaran lama yang sudah
tersimpan dalam subsistem akal permanennya mengganggu masuknya materi pelajaran
baru. Peristiwa ini bisa terjadi apabila siswa tersebut mempelajari sebuah
materi pelajaran yang sangat mirip dengan materi pelajaran yang telah
dikuasainya dalam tenggang waktu yang pendek. Dalam hal ini, materi yang baru
saja dipelajari akan sangat sulit diingat atau diproduksi kembali. Dengan kata
lain, siswa tersebut lupa akan materi pelajaran lama itu.
Kedua,
lupa dapat terjadi pada seorang siswa karena adanya tekanan terhadap item yang
telah ada, baik sengaja ataupun tidak. Penekanan ini terjadi karena beberapa
kemungkinan.
a. Karena
item informasi (berupa pengetahuan, tanggapan, kesan, dan sebagainya) yang
diterima siswa kurang menyenangkan, sehingga ia dengan sengaja menekannya
hingga ke alam ketidaksadaran.
b. Karena
item informasi yang baru secara otomatis menekan item informasi yang telah ada,
jadi sama dengan fenomena retroaktif.
c. Karena
item informasi yang akan direproduksi (diingat kembali) itu tertekan ke alam
bawah sadar dengan sendirinya lantaran tidak pernah dipergunakan.
Itulah
pendapat yang didasarkan pada repression theory yakni teori represi/penekanan
(Reber, 1988). Namun, perlu ditambahkan bahwa istilah “alam ketidaksadaran” dan
“alam bawah sadar” seperti tersebut di atas, merupakan gagasan Sigmund Freud
(baca: Sigmen Froid), bapak psikologi analisis yang banyak mendapat tantangan,
baik dari lawan maupun kawannya itu.
Ketiga,
lupa dapat terjadi pada siswa karena perubahan situasi lingkungan antara waktu
belajar dengan waktu mengingat kembali (Anderson, 1990). Jika seorang siswa
hanya mengenal atau mempelajari hewan jerapah atau kuda nil lewat gambar-gambar
yang ada di sekolah misalnya, maka kemungkinan ia akan lupa menyebut nama
hewan-hewan tadi ketika melihatnya di kebun binatang.
Keempat,
lupa dapat terjadi karena perubahan sikap dan minat siswa terhadap proses dan
situasi belajar tertentu. Jadi, meskipun seorang telah mengikuti proses
mengajar-belajar dengan tekun dan serius, tetapi karena sesuatu hal sikap dan
minat siswa tersebut menjadi sebaliknya (seperti karena ketidaksenangan kepada
guru) maka materi pelajaran itu akan mudah terlupakan.
Kelima,
menurut law of disuse (Hilgard & Bower 1975), lupa dapat terjadi karena
materi pelajaran yang telah dikuasai tidak pernah digunakan atau dihafalkan
siswa. Menurut asumsi sebagian ahli, materi yang diperlakukan demikian dengan
sendirinya akan masuk ke alam bawah sadar atau mungkin juga bercampur aduk
dengan materi pelajaran baru.
Keenam,
lupa tentu saja dapat terjadi karena perubahan urat syaraf otak. Seorang siswa
yang terserang penyakit tertentu seperti keracunan, kecanduan alkohol, dan
geger otak akan kehilangan ingatan atas item-item informasi yang ada dalam
memori permanennya.
Meskipun
penyebab lupa itu banyak aneka ragamnya, yang paling penting untuk diperhatikan
para guru adalah faktor pertama yang meliputi gangguan proaktif dan retroaktif,
karena didukung oleh hasil riset dan eksperimen. Mengenai faktor keenam, tentu
saja semua orang maklum.
Kecuali
gangguan proaktif dan retroaktif, ada satu lagi penemuan baru yang menyimpulkan
bahwa lupa dapat dialami seorang siswa apabila item informasi yang ia serap
rusak sebelum masuk ke memori permanennya. Item yang rusak (decay) itu tidak
hilang dan tetap diproses oleh sistem memori siswa tadi, tetapi terlalu lemah
untuk dipanggil kembali. Kerusakan item informasi tersebut mungkin disebabkan
karena tenggang waktu (decay) antara saat diserapnya item informasi dengan saat
proses pengkodean dan transformasi dalam memori jangka pendek siswa tersebut
(Best, 1989; Anderson, 1990).
Apakah
materi pelajaran yang terlupakan oleh siswa benar-benar hilang dari ingatan
akalnya? Menurut pandangan para ahli psikologi kognitif, “tidak!” Materi
pelajaran itu masih terdapat dalam subsistem akal permanen siswa namun terlalu
lemah untuk dipanggil atau diingat kembali. Buktinya banyak siswa yang mengeluh
“kehilangan ilmu”, setelah melakukan relearning (belajar lagi) atau mengikuti
remedial teaching (pengajaran perbaikan) ternyata dapat menunjukkan kinerja
akademik yang lebih memuaskan daripada kinerja akademik sebelumnya. Hal ini
bermakna bahwa relearning dan remedial teaching berfungsi memperbaiki atau
menguatkan item-item informasi yang rusak atau lemah dalam memori para siswa
tersebut, sehingga mereka berhasil mencapai prestasi yang memuaskan.
B.
Kiat
Mengurangi Lupa dalam Belajar
Sebagai
seorang calon guru atau guru profesional dapatkah Anda mencegah peristiwa lupa
yang sering dialami para siswa itu? Lupa itu manusiawi dan mungkin Anda tak
akan mampu mencegahnya. Namun, sekadar berusaha mengurangi proses terjadinya
lupa yang sering dialami para siswa dapat Anda lakukan dengan berbagai kiat.
Pada
prinsipnya, apabila materi pelajaran yang Anda sajikan kepada siswa-siswa dapat
diserap, diproses, dan disimpan dengan baik oleh sistem memori mereka,
peristiwa lupa yang menjengkelkan semua pihak itu mungkin tidak terjadi, atau
terjadi namun tidak totoal. Masalah Anda sekarang ialah bagaimana kiat membuat
sistem memori/akal siswa agar berfungsi optimal dalam memproses materi
pelajaran yang Anda sajikan pada mereka.
Kiat
terbaik untuk mengurangi lupa adalah dengan cara meningkatkan daya ingat akal
siswa. Banyak ragam kiat yang dapat dicoba siswa dalam meningkatkan daya
ingatannya, antara lain menurut Barlow (1985), Reber (1988), dan Anderson
(1990), adalah sebagai berikut.
1.
Overlearning
Overlearning
(belajar lebih) artinya upaya belajar yang melibihi batas penguasaan dasar atas
materi pelajaran tertentu. Overlearning terjadi apabila respons atau reaksi
tertentu muncul setelah siswa melakukan pembelajaran atas respons tersebut
dengan cara di luar kebiasaan. Banyak contoh yang dapat dipakai untuk
overlearning, antara lain pembacaan teks Pancasila pada setiap hari Senin dan
Sabtu memungkinkan ingatan siswa terhadap materi Pendidikan Kewarganegaraan
(PKN) lebih kuat.
2.
Extra
study time
Extra study time
(tambahan waktu belajar) ialah upaya penambahan alokasi waktu belajar atau penambahan
frekuensi (kekerapan) aktivitas belajar. Penambahan alokasi waktu belajar
materi tertentu berarti siswa menambah jam belajar, misalnya dari satu jam
menjadi satu setengah jam. Penambahan frekuensi belajar berarti siswa
meningkatkan kekerapan belajar materi tertentu, misalnya dari sekali sehari
menjadi dua kali sehari. Kiat ini dipandang cukup strategis karena dapat
melindungi memori dari kelupaan.
3.
Mnemonic
device
Mnemonic device
(muslihat memori) yang sering juga hanya disebut mne-monic itu berarti kiat
khusus yang dijadikan “alat pengait” mental untuk memasukkan item-item
informasi kedalam sistem akal siswa. Muslihat mnemonic ini banyak ragamnya,
tetapi yang paling menonjol adalah sebagaimana terurai di bawah ini.
Rima
(Rhyme), yakni sajak yang dibuat sedemikian rupa yang isinya terdiri atas kata
dan istilah yang harus diingat siswa. Sajak ini akan lebih baik pengaruhnya
apabila diberi not-not sehingga dapat dinyanyikan. Nyanyian anak-anak TK yang
berisi pesan-pesan moral dapat diambil sebagai contoh penyusunan rima mnemonic.
Singkatan,
yakni terdiri atas huruf-huruf awal nama atau istilah yang harus diingat siswa.
Contoh: jika seorang siswa hendak mempermudah mengingat nama Nabi Adam, Nabi
Nuh, Nabi Ibrahim, dan Nabi Musa, dapat menyingkatnya dengan ANIM. Pembuatan
singkatan-singkatan seyogianya dilakukan sedemikian rupa sehingga menarik dan
memiliki kesan tersendiri.
Sistem
kata pasak (peg word system), yakni sejenis teknik mnemonic yang menggunakan
komponen-komponen yang sebelumnya telah dikuasai sebagai pasak (paku) pengait
memori baru. Kata komponen pasak ini dibentuk berpasangan seperti merah-saga,
panas-api. Kata-kata ini berguna untuk mengingat kata dan istilah yang memiliki
watak yang sama seperti: darah, lipstick; pasangan langit dan bumi; neraka, dan
kata/istilah lain yang memiliki kesamaan watak (warna, rasa, dan seterusnya).
Metode
Losai (Method of Loci), yaitu kiat mnemonic yang menggunakan tempat-tempat
khusus dan terkenal sebagai sarana penempatan kata dan istilah tertentu yang
harus diingat siswa. Kata “loci” sendiri adalah jamak dari kata “locus” artinya
tempat. Dalam hal ini, nama-nama kota, jalan, gedung terkenal dapat dipakai
untuk menempatkan kata dan istilah yang kurang lebih relevan dalam arti
memiliki kemiripan ciri dan keadaan. Contoh: nama ibu kota Amerika Serikat
untuk mengingat nama presiden pertama negara itu (George Washington); dan
gedung bundar untuk mengingat nama jaksa agung. Apabila guru memerlukan siswa
menyebut nama-nama tadi, ia dapat menyuruh siswa tersebut “bepergian” ke
tempat-tempat tersebut.
Sistem
kata kunci (key word system). Kiat
mnemonic yang satu ini relatif tergolong baru disbanding dengan kiat-kiat
mnemonic lainnya. Kiat ini mula-mula dikembangkan pada tahun 1975 oleh dua
orang pakar psikologi, Raugh dan Atkinson (Barlow, 1985). Sistem kata kunci
biasanya direkayasa secara khusus untuk mempelajari kata dan istilah asing, dan
konon cukup efektif untuk pengajaran bahasa asing, Inggris misalnya. Sistem ini
berbentuk daftar kata yang terdiri atas unsur-unsur sebagai berikut: 1)
kata-kata asing; 2) kata-kata kunci, yakni kata-kata bahasa local yang paling
kurang suku pertamanya memiliki suaru/lafal yang mirip dengan kata yang
dipelajari; 3) arti-arti kata asing tersebut. Yang mirip dengan kata yang dipelajari;
3) arti-arti kata asing tersebut.
4.
Pengelompokan
Maksud
kiat pengelompokan (clustering) ialah menata ulang item-item materi menjadi
kelompok-kelompok kecil yang dianggap lebih logis dalam arti bahwa item-item
tersebut memiliki signifikansi dan lafal yang sama atau sangat mirip.
Penataan/pengelompokkan ini direkayasa sedemikian rupa dalam bentuk daftar-daftar
item materi seperti:
a) daftar
I terdiri atas nama-nama negara serumpun: Indonesia, Malaysia, Brunei, dan
seterusnya;
b) daftar
II terdiri atas singkatan-singkatan lembaga-lembaga negara: MPR, DPR, dan
seterusnya;
c) daftar
III terdiri atas singkatan-singkatan nama-nama badan internasional: WHO, ILO,
dan sebagainya.
5.
Latihan
terbagi
Lawan
latihan terbagi (distributed practice)
adalah latihan terkumpul (massed practice)
yang sudah dianggap tidak efektif karena mendorong siswa melakukan cramming.
Dalam latihan terbagi siswa melakukan latihan-latihan dengan alokasi waktu yang
pendek dan dipisah-pisahkan di antara waktu-waktu istirahat. Upaya demikian
dilakukan untuk menghindari cramming, yakni belajar banyak materi secara
tergesa-gesa dalam waktu yang singkat. Dalam melaksanakan distributed practice, siswa dapat menggunakan berbagai metode dan
strategi belajar yang efisien; misalnya hukum Jost sebagaimana yang telah
penyusun singgung sebelum ini.
6.
Pengaruh
letak bersambung
Untuk
memperoleh efek positif dari pengaruh letak bersambung (the serial position effect), siswa dianjurkan menyusun daftar
kata-kata (nama, istilah, dan sebagainya) yang diawali dan di akhiri dengan
kata-kata yang harus diingat. Kata-kata yang harus diingat siswa tersebut
sebaiknya ditulis dengan menggunakan huruf dan warna yang mencolok agar tampak
sangat berbeda dari kata-kata yang lainnya yang tidak perlu diingat. Dengan
demikian, kata yang ditulis pada awal dan akhir daftar tersebut memberi kesan
tersendiri dan diharapkan melekat erat dalam subsistem akal permanen siswa.
Selanjutnya,
apa yang dapat Anda lakukan (sebagai guru dan calon guru) dalam mengurangi
kelupaan siswa? Ada beberapa cara yang dapat ditempuh guru dalam menanggulangi
kemungkinan terlupakannya materi pelajaran yang disajikan kepada mereka.
Pertama,
cobalah timbulkan atau tingkatkan motivasi belajar para siswa dengan
menyadarkan mereka akan tujuan instruksional yang harus mereka capai. Hal ini
dapat Anda lakukan, misalnya dengan menjelaskan manfaat materi pelajaran bagi
kehidupan masa depan mereka seraya memberi contoh konkret orang-orang yang
tidak beruntung lantaran tidak memiliki pengetahuan yang Anda ajarkan itu.
Kedua,
cobalah selalu menunjukkan unsur-unsur pokok sebelum menunjukkan unsur-unsur
penunjang yang relevan dalam materi pelajaran yang Anda sajikan. Dalam hal ini
Anda dianjurkan untuk mendemonstrasikan dengan alat-alat peraga yang tersedia
atau memberi tanda khusus pada kata atau istilah pokok yang tertulis pada papan
tulis dengan kapur warna merah, hijau, atau warna lainnya yang kontras.
Ketiga,
coblah Anda selalu menyajikan pokok bahasan materi yang berkaitan dengan pokok
bahasan pada sesi sebelumnya dan relevan dengan pokok bahasan materi yang akan
disajikan pada sesi berikutnya. Langkah ini penting Anda tempuh, sebab
kesinambungan antara pokok bahasan yang satu dengan lainnya itu dapat
mempermudah proses pengolahan materi bahasan tersebut dalam sistem akal para siswa.
Keempat,
jika Anda menanyakan sesuatu yang berhubungan dengan materi yang telah Anda
sajikan kepada orang siswa, sebaiknya Anda memperhatikan hal-hal sebagai
berikut.
a. Pertanyaan
seyogianya disampaikan dengan cara akrab dan tidak menegangkan, tetapi wibawa
Anda perlu tetap terjaga.
b. Pertanyaan
seyogianya jelas, singkat, dan tidak mengandung bermacam-macam tafsiran.
c. Pertanyaan
hendaknya hanya mengandung satu masalah agar siswa dapat memusatkan proses
sistem akalnya dalam mencari respons.
d. Pertanyaan
hendaknya tidak hanya mendorong siswa untuk menjawab “ya” atau “tidak” sebab
dapat menghambat kreativitas akalnya.
e. Jika
seorang siswa tidak mampu menjawab, Anda tidak perlu mendesaknya, sebab ia akan
kehilangan muka dan ingatannya menjadi kacau.
f. Segeralah
Anda tawarkan pertanyaan yang tak terjawab itu kepada siswa-siswa lainnya agar
siswa yang tak mampu menjawab tadi dapat mengambil pelajaran dari kawannya
sendiri.
g. Jika
seorang siswa berhasil menjawab pertanyaan, berilah pujian dan senyuman
seperlunya tanpa harus bersikap melecehkan siswa yang gagal menjawab pertanyaan
Anda.
2.
KEJENUH
BELAJAR
Secara
harfiah, arti kejenuhan ialah padat atau penuh sehingga tidak mampu lagi memuat
apapun. Selain itu, jenuh juga dapat berarti jemu atau bosan.
Dalam
belajar, di samping siswa sering mengalami kelupaan, ia juga terkadang
mengalami peristiwa negatif lainnya yang disebut jenuh belajar yang dalam
bahasa psikologi lazim disebut learning plateu atau plateu (baca: pletou) saja. Peristiwa jenuh ini kalau
dialami seorang siswa yang sedang dalam proses belajar (kejenuhan belajar)
dapat membuat siswa tersebut merasa telah memubazirkan usahanya.
Kejenuhan
belajar ialah rentang waktu tertentu yang digunakan untuk belajar, tetapi tidak
mendatangkan hasil (Reber, 1988). Seorang siswa yang mengalami kejenuhan
belajar merasa seakan-akan pengetahuan dan kecakapan yang diperoleh dari
belajar tidak ada kemajuan. Tidak adanya kemajuan hasil belajar ini pada
umumnya tidak berlangsung selamanya, tetapi dalam rentang waktu tertentu saja,
misalnya seminggu. Namun tidak sedikit siswa yang mengalami rentang waktu yang
membawa kejenuhan itu berkali-kali dalam satu periode belajar tertentu.
Seorang
siswa yang sedang dalam keadaan jenuh sistem akalnya tak dapat bekerja
sebagaimana yang diharapkan dalam memproses item-item informasi atau pengalaman
baru, sehingga kemajuan belajarnya seakan-akan “jalan di tempat”. Bila kemajuan
belajar yang jalan di tempat ini kita gambarkan dalam bentuk kurva, yang akan
tampak adalah garis mendatar yang lazim disebut plateau.
Kejenuhan
belajar dapat melanda seorang siswa yang kehilangan motivasi dan konsolidasi
salah satu tingkat keterampilan tertentu sebelum sampai pada tingkat
keterampilan berikutnya.
Faktor Penyebab dan
Cara Mengatasi Kejenuhan Belajar
Kejenuhan
belajar dapat melanda siswa apabila ia telah kehilangan motivasi dan kehilangan
konsolidasi salah satu tingkat keterampilan tertentu sebelum siswa tertentu
sampai pada tingkat keterampilan berikutnya (Chaplin, 1972). Selain itu,
kejenuhan juga dapat terjadi karena proses belajar siswa telah sampai pada batas
kemampuan jasmaniahnya karena bosan (boring)
dan keletihan (fatigue). Namun, penyebab kejenuhan yang paling umum adalah
keletihan yang melanda siswa, karena keletihan dapat menjadi penyebab munculnya
perasaan bosan pada siswa yang bersangkutan.
Menurut
Cross (1974) dalam bukunya The Psychology
of Learning, keletihan siswa dapat dikategorikan menjadi tiga macam, yakni:
1) keletihan indera siswa; 2) keletihan fisik siswa; 3) keletihan mental siswa.
Keletihan fisik dan keletihan indera-dalam hal ini mata dan telinga-pada
umumnya dapat dikurangi atau dihilangkan lebih mudah setelah siswa beristirahat
cukup-terutama tidur nyenyak-dan mengkonsumsi makanan dan minuman yang cukup
bergizi. Sebaliknya, keletihan mental tak dapat diatasi dengan cara yang sesederhana
cara mengatasi keletihan-keletihan lainnya. Itulah sebabnya, keletihan mental
dipandang sebagai faktor utama penyebab munculnya kejenuhan belajar.
Apakah
yang menyebabkan siswa mengalami keletihan mental (mental fatigue)? Sedikitnya
ada empa faktor penyebab keletihan mental siswa.
1. Karena
kecemasan siswa terhadap dampak negatif yang ditimbulkan oleh keletihan itu
sendiri.
2. Karena
kecemasan siswa terhadap standar/patokan keberhasilan bidang-bidang studi
tertentu yang dianggap terlalu tinggi terutama ketika siswa tersebut sedang
merasa bosan mempelajari bidang-bidang studi tadi.
3. Karena
siswa berada di tengah-tengah situasi kompetitif yang ketat dan menuntut lebih
banyak kerja intelek yang berat.
4. Karena
siswa mempercayai konsep kinerja akademik yang optimum, sedangkan dia sendiri
menilai belajarnya sendiri hanya berdasarkan ketentuan yang ia bikin sendiri (self-imposed).
Selanjutnya,
kiat-kiat untuk mengatasi keletihan mental yang menyebabkan munculnya kejenuhan
belajar itu, antara lain sebagai berikut.
1. Melakukan
istirahat dan mengkonsumsi makanan dan minuman yang bergizi dengan takaran yang
cukup banyak.
2. Pengubahan
atau penjadwalan kembali jam-jam dari hari-hari belajar yang dianggap lebih memungkinkan
siswa belajar lebih giat.
3. Pengubahan
atau penataan kembali lingkungan belajar siswa yang meliputi pengubahan posisi
meja tulis, lemari, rak buku, alat-alat perlengkapan belajar dan sebagainya
sampai memungkinkan siswa merasa berada di sebuah kamar baru yang lebih
menyenangkan untuk belajar.
4. Memberikan
motivasi dan stimulasi baru agar siswa merasa terdorong untuk belajar lebih
giat daripada sebelumnya.
5. Siswa
harus berbuat nyata (tidak menyerah atau tinggal diam) dengan cara mencoba belajar
dan belajar lagi.
Sumber
: Buku Psikologi Pendidikan, Muhibbin Syah