Selasa, 01 Februari 2011

Pembelajaran CTL (Contextual Teaching & Learning)


Download makalahnya klik disini


Ada kecendrungan dewasa ini untuk kembali pada pemikiran bahwa anak akan belajar lebih baik jika lingkungan diciptakan alamiah. Belajar akan lebih bermakna jika anak mengalami apa yang dipelajarinya, bukan mengetahuinya. Pembelajaran yang berorientasi pada penguasaan materi terbukti berhasil dalam kompetisi mengingat jangka pendek tetapi gagal dalam membekali anak memecahkan persoalan dalam kehidupan jangka panjang.

Pembelajaran CTL (Contextual Teaching and Learning) merupakan konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat. Dengan konsep itu, hasil pembelajaran diharapkan lebih bermakna bagi siswa. Proses pembelajaran berlangsung alamiah dalam bentuk kegiatan siswa bekerja dan mengalami, bukan mentransfer pengetahuan dari guru ke siswa. Strategi pembelajaran lebih dipentingkan daripada hasil.


A. Pengertian CTL

Pembelajaran kontekstual adalah terjemahan dari istilah Contextual Teaching & Learning (CTL). Kata contextual berasal dari kata contex yang berarti “hubungan, konteks, suasana, atau keadaan”. Dengan demikian contextual diartikan ”yang berhubungan dengan suasana (konteks). Sehingga Contextual Teaching Learning (CTL) dapat diartikan sebagi suatu pembelajaran yang berhubungan dengan suasana tertentu.

Menurut Depdiknas ( 2003 : 5 ) ” Kontekstual ( Contextual Teaching and Learning ) adalah konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapan dalam kehidupan mereka sehari - hari ”.

Pendekatan CTL diharapkan lebih bermakna bagi siswa. Proses pembelajaran berlangsung alamiah dalam bentuk kegiatan siswa bekerja dan mengalaminya. Dalam konteks itu, siswa perlu mengerti apa makna belajar, apa manfaatnya, dalam status apa mereka, dan bagaimana mencapainya. Mereka sadar bahwa yang mereka pelajari berguna bagi kehidupannya nanti. Dalam kelas kontekstual, guru berusaha membantu siswa mencapai tujuan. Maksudnya guru lebih banyak berurusan dengan strategi daripada memberi informasi. Tugas guru adalah mengelola kelas sebagai sebuah tim yang bekerja bersama untuk menemukan pengetahuan dan ketrampilan yang baru bagi siswa. Pengetahuan dan ketrampilan diperoleh dengan menemukan sendiri bukan apa kata guru.

Guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan atau menerapkan sendiri ide – ide dan mengajak siswa agar dengan menyadari dan dengan sadar menggunakan strategi – strategi mereka sendiri untuk belajar. Guru dapat memberi siswa tangga yang dapat membantu siswa mencapai tingkat pemahaman yang lebih tinggi, namun harus diupayakan agar siswa sendiri yang memanjat tangga tersebut.

B. Sejarah CTL

Pembelajaran kontekstual didasarkan pada hasil penelitian John Dewey (1916) yang menyimpulkan bahwa siswa akan belajar dengan baik jika apa yang dipelajari terkait dengan apa yang telah diketahui dan dengan kegiatan atau peristiwa yang terjadi disekelilingnya.

Pengajaran kontekstual sendiri pertama kali dikembangkan di Amerika Serikat yang diawali dengan dibentuknya Washington State Consortum for Contextual oleh Departemen Pendidikan Amerika Serikat. Antara tahun 1997 sampai tahun 2001 sudah diselenggarakan tujuh proyek besar yang bertujuan untuk mengembangkan, menguji, serta melihat efektifitas penyelenggaraan pengajaran matematika secara kontekstual. Proyek tersebut melibatkan 11 perguruan tinggi, dan 18 sekolah dengan mengikutsertakan 85 orang guru dan profesor serta 75 orang guru yang sudah diberikan pembekalan sebelumnya.

Penyelenggaraan program ini berhasil dengan sangat baik untuk level perguruan tinggi sehingga hasilnya direkomendasikan untuk segera disebarluaskan pelaksanaannya. Untuk tingkat sekolah, pelaksanaan dari program ini memperlihatkan suatu hasil yang signifikan, yakni meningkatkan ketertarikan siswa untuk belajar, dan meningkatkan partisipasi aktif siswa secara keseluruhan.

C. Konsep Dasar Strategi Pembelajaran CTL

CTL adalah suatu strategi pembelajaran yang menekankan pada proses keterlibatan siswa secara penuh untuk dapat menemukan materi yang dipelajari dan menghubungkannya dengan situasi kehidupan nyata sehingga mendorong siswa untuk dapat menerapkannya dalam kehidupan mereka. Dari konsep diatas terdapat tiga hal yang harus kita pahami :

Pertama : CTL menekankan kepada proses keterlibatan siswa untuk menemukan materi, artinya proses belajar diorientasikan pada proses pengalaman secara langsung.

Kedua : CTL mendorong agar siswa dapat menemukan hubungan antara materi yang dipelajari dengan situasi kehidupan nyata, artinya siswa dituntut untuk dapat menangkap hubungan antara pengalaman belajar di sekolah dengan kehidupan nyata. Hal ini sangat penting, sebab dengan dapat mengkorelasikan materi yang ditemukan dengan kehidupan nyata, bukan saja bagi siswa materi itu akan berfungsi secara fungsional, akan tetapi materi yang dipelajarinya akan tertanam erat dalam memori siswa, sehingga tidak akan mudah dilupakan.

Ketiga : CTL mendorong siswa untuk dapat menerapkannya dalam kehidupan, artinya CTL bukan hanya mengharapkan siswa dapat memahami materi yang dipelajarinya, akan tetapi bagaimana materi pelajaran itu dapat mewarnai perilakunya dalam kehidupan sehari – hari.

D. Perbedaan Pembelajaran CTL Dengan Pembelajaran Konvensional

Pembelajaran kontekstual berbeda dengan pembelajaran konvensional, Departemen Pendidikan Nasional (2002:5) mengemukakan perbedaan antara pembelajaran Contextual Teaching Learning (CTL) dengan pembelajaran konvensional sebagai berikut:

CTL

Konvensional

Pemilihan informasi kebutuhan individu siswa;

Pemilihan informasi ditentukan oleh guru;

Cenderung mengintegrasikan beberapa bidang (disiplin);

Cenderung terfokus pada satu bidang (disiplin) tertentu;

Selalu mengkaitkan informasi dengan pengetahuan awal yang telah dimiliki siswa;

Memberikan tumpukan informasi kepada siswa sampai pada saatnya diperlukan;

Menerapkan penilaian autentik melalui penerapan praktis dalam pemecahan masalah;

Penilaian hasil belajar hanya melalui kegiatan akademik berupa ujian/ulang

E. Karakteristik Pembelajaran CTL

  • Kerjasama
  • Saling menunjang
  • Menyenangkan, tidak membosankan
  • Belajar dengan bergairah
  • Pembelajaran terintegrasi
  • Menggunakan berbagai sumber
  • Siswa aktif
  • Sharing dengan teman
  • Siswa kritis guru kreatif
  • Dinding dan lorong-lorong penuh dengan hasil kerja siswa, peta-peta, gambar, artikel, humor dan lain-lain
  • Laporan kepada orang tua bukan hanya rapor tetapi hasil karya siswa, laporan hasil pratikum, karangan siswa dan lain-lain.

Qira’at Al Qur’an

Download makalahnya klik disini

Bangsa Arab merupakan komunitas dari berbagai suku yang secara sporadis tersebar di sepanjang Jazirah Arab. Setiap suku itu mempunyai format dialek (lahjah) yang tipikal dan berbeda dengan suku-suku lainnya. Namun, di samping setiap suku memiliki dialek yang berbeda-beda, mereka telah menjadikan bahasa Quraisy sebagai bahasa bersama (common language) dalam berkomunikasi, berniaga, mengunjungi Ka’bah, dan melakukan bentuk-bentuk interaksi lainnya. Dari kenyataan di atas, sebenarnya kita dapat memahami mengapa Al-Quran di turunkan dengan menggunakan bahasa Quraisy.

Di sisi lain, perbedaan-perbedaan dialek (lahjah) itu akhirnya membawa konsekuensi lahirnya bermacam-macam bacaan (qira’ah) dalam melafalkan Al-Quran. Rasulullah SAW. sendiri membenarkan pelafalan Al-Quran dengan berbagai macam qira’at. Sabdnya “Al-Quran itu diturunkan dengan menggunakan tujuh huruf (unzila hadza Al-Qur’an ‘ala sab’ah ahruf)” dan hadis-hadis lain yang sepadan dengannya, kendatipun Abu Syamah dalam kitabnya Al-Mursyid Al-Wajiz menolak muatan hadis itu sebagai justifikasi qira’ah sab’ah, tetapi konteks hadis itu sendiri memberikan peluang Al-Quran dibaca dengan berbagai ragam qira’ah.


A. Pengertian Qira’at Al Qur’an

Berdasarkan pengertian etimologi (bahasa), lafal qira’at adalah bentuk jamak dari qira’ah yang merupakan bentuk masdar dari fi’il madi qara’a, yaqra’u, qira’atan. (Ash-Shobuni, 1988 : 305). Menurut bahasa qira’ah artinya bacaan.

Sedangkan berdasarkan pengertian terminologi (istilah), para ahli mengemukakan secara berbeda-beda.

1. Dr. Subhi Soleh mendefinisikan qira’at : “Yaitu ilmu yang membahas tentang tata cara pengucapan kalimat-kalimat al-Quran berikut cara pelaksanaannya, baik yang disepakati maupun yang terjadi perbedaan, dengan menghubungkan setiap pandangannya menurut versi orang yang memindahkannya”. (Shalahuddin, 2002 : 244)

2. Az-Zarqani : “Suatu madzhab yang dianut seorang imam qira’at yang berbeda dengan lainnya dalam pengucapan Al-Quran serta sepakat riwayat-riwayat dan jalur-jalurnya, baik perbedaan itu dalam pengucapan huruf-huruf ataupun dalam pengucapan bentuk-bentuknya.”

3. Ibn Al-Jazari : “Ilmu yang menyangkut cara-cara mengucapkan kata-kata Al-Quran dan perbedaan-perbedaannya dengan cara menisbatkan kepada penukilnya.”

4. Al-Qasthalani : “Suatu ilmu yang mempelajari hal-hal yang disepakati atau diperselisihkan ulama yang menyangkut persoalan lughat, hadzaf, I’rab, itsbat, fashi, dan washi yang kesemuanya diperoleh secara periwayatan.”

5. Az-Zarkasyi : “Qira’at adalah perbedaan (cara mengucapkan) lafazh-lafazh Al-Quran, baik menyangkut huruf-hurufnya atau cara pengucapan huruf-huruf tersebut, seperti takhfif (meringankan), tatsqil (memberatkan), dan atau yang lainnya.”

6. Ash-Shabuni : “Qira’at adalah suatu madzhab cara pelafalan Al-Quran yang dianut salah seorang imam berdasarkan sanad-sanad yang bersambung kepada Rasulullah SAW.” (Rosihon, 2008 : 159)

Perbedaan cara pendefinisian di atas sebenarnya berada pada satu kerangka yang sama bahwa ada beberapa cara melafalkan Al-Quran walaupun sama-sama berasal dari satu sumber, yaitu Nabi Muhammad SAW.

B. Latar Belakang Timbulnya Perbedaan Qira’at

Perbedaan Qira’at sebenarnya telah muncul semenjak Nabi. Di dalam riwayatnya, Ubai pernah bercerita:

“Saya masuk ke masjid untuk mengerjakan shalat, kemudian datanglah seseorang dan membaca surat An-Nahl, tetapi bacaanya berbeda dengan bacaan saya. Setelah selesai, saya bertanya, “Siapakah yang membacakan ayat itu kepadamu? “Ia menjawab, “Rasulullah SAW.” Kemudian, datanglah seseorang mengerjakan shalat dengan membaca permulaan surat An-Nahl, tetapi bacaanya berbeda dengan bacaan saya dan bacaan teman tadi. Setelah shalatnya selesai, saya bertanya, “Siapakah yang membacakan ayat itu kepadamu?” Ia menjawab, “Rasulullah SAW.” Kedua orang itu lalu saya ajak menghadap Nabi. Setelah saya sampaikan masalah ini kepada Nabi, beliau meminta salah satu dari kedua orang itu membacakannya lagi surat itu. Setelah bacaanya selesai, Nabi bersabda, Baik. Kemudian, Nabi meminta kepada yang lain agar melakukan hal yang sama. Dan Nabi pun menjawabnya baik. (Al-Ibyariy, 1988 : 105)

Pada masa pemerintahan Khalifah Ustman bin Affan r.a terdapat perselisihan sesama kaum muslimin mengenai bacaan Alquran yang hampir menimbulkan perang saudara sesama muslim. Perselisihan ini disebabkan mereka berlainan dalam menerima bacaan ayat-ayat Alquran karena oleh Nabi diajarkan cara bacaan yang sesuai dengan dialek mereka masing-masing. Namun mereka tidak memahami maksud Nabi melakukan hal tersebut sehingga tiap suku/golongan menganggap bacaan mereka yang paling benar sedangkan yang lain salah. Untuk mengatasi perselisihan, khalifah Ustman bin Affan r.a memerintahkan untuk menyalin mushaf Alquran pada masa Abu Bakar Ash Siddiq dan memperbanyaknya kemudian mengirimkan ke berbagai daerah. (Hasanuddin, 1995 : 3)

Menurut catatan sejarah, timbulnya penyebaran qira’at dimulai pada masa tabiin, yaitu pada awal II H. tatkala para qari’ sudah tersebar di berbagai pelosok. Mereka lebih suka mengemukaan qiraat gurunya daripada mengikuti qira’at imam-imam lainnya. Qira’at-qira’at tersebut diajarkan secara turun-menurun dari guru ke guru, sehingga sampai kepada para imam qira’at, baik yang tujuh, sepuluh, atau yang empat belas.


A. Pengaruh Perbedaan Qira’at terhadap Istinbath Hukum dalam Al Qur’an

Istinbath hukum dapat diartikan sebagai upaya melahirkan ketentuan-ketentuan hukum baik dalam Alquran maupun Sunnah. Hal ini tidak terlepas dari ayat-ayat hukum dalam Alquran. Ayat-ayat hukum ialah ayat-ayat Alquran yang mengatur dan berkaitan dengan tingkah laku dan perbuatan manusia secara lahir. Ada ayat-ayat hukum yang termasuk ibadah yaitu yang mengatur hubungan manusia dengan Allah SWT dan ada ayat hukum yang termasuk muamalah yaitu mengatur hubungan manusia dengan manusia lain secara horisontal.

Perbedaan qira’at bisa terjadi pada huruf, bentuk kata, i’rab, susunan kalimat. Hal ini bisa menyebabkan perbedaan makna/arti dari ayat yang berpengaruh kepada istinbath hukum.

Misal perbedaan qira’at pada ayat :

. . . .


Hai orang-orang yang beriman apabila kamu hendak mengerjakan sholat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku dan sapulah kepalamu dan kakimu sampai dengan kedua mata kaki ...” {QS. Al-Ma’idah : 6} (Syadali,2000 : 235-236)

Berdasarkan ayat di atas, sebagian ulama memahami wajib membasuh kedua kaki dan sebagian lain membedakan dengan menyapunya. Nadi’, Ibnu Amr, dan Al Kisai membaca ﺁﺮﺠﻠﻜﻡ dengan “arjulakum”. Sedangkan Ibnu Katsir, Abu Amir, dan Hamzah membaca dengan “arjulikum”.

Dengan demikian dapat dikatakan besarnya pengaruh perbedaan qira’at dalam proses penetapan hukum. Sebagian qira’at berfungsi sebagai penjelasan kepada ayat yang mujmal (bersifat global) menurut qira’at lain atau penafsiran dan penjelasan terhadap maknanya. Bahkan, tidak jarang, perbedaan qira’at menimbulkan perbedaan penetapan hukum di kalangan ulama. Menurut Musthafa Sa’id Al-Khinn penyebab pertama timbulnya perbedaan pendapat para ulama adalah qira’at. Dari hal tersebut dapat disimpulkan bahwa pengetahuan tentang berbagai qira’at sangat perlu bagi seorang yang akan mengistinbath hukum dan menafsirkan ayat-ayat Alquran.

Kisah Mata Air Keabadian

Kisah ini diriwayatkan oleh Ats-Tsa’labi dari Imam Ali ra. Pada zaman dahulu hiduplah seorang hamba Allah SWT yang melebihkan kepada d...