Psikologi
Islam di sini diartikan sebagai upaya sadar yang dilakukan oleh mereka yang
memiliki tanggung jawab terhadap pembinaan, bimbingan, pengembangan serta
pengarahan potensi yang dimiliki anak agar mereka dapat berfungsi dan berperan
sebagaimana hakikat kejadiannya. Jadi dalam pengertian ini pendidikan Islam
tidak dibatasi oleh institusi (kelembagaan) ataupun pada lapangan pendidikan
tertentu. Pendidikan Islam diartikan dalam ruang lingkup yang luas.
Adapun
yang dimaksud yang bertanggung jawab dalam pengertian ini adalah orang tua. Sedangkan
para guru atau pendidik lainnya adalah merupakan perpanjangan tangan para orang
tua. Maksudnya, tepat tidaknya para guru atau pendidik yang dipilih oleh orang
tua untuk mendidik anak mereka sepenuhnya menjadi tanggung jawab para orang
tua. Maka pendidikan Islam meletakkan dasarnya adalah pada rumah tangga.
Seiring dengan tanggung jawab itu, maka para orang tua dan para guru dalam
pendidikan Islam berfungsi dan berperan sebagai pembina, pembimbing, pengembang
serta pengarah potensi yang dimiliki anak agar merek menjadi pengabdi Allah
yang taat dan setia, sesuai dengan hakikat penciptaan manusia (QS 51:56) dan
juga dapat berperan sebagai khalifah Allah dalam kehidupan di dunia (QS 2:30).
Selain itu dalam pelaksanaannya aktivitas pendidikan seperti itu diterapkan
sejak usia bayi dalam buaian hingga ke akhir hayat, seperti tuntunan Rasul
Allah Saw.
Pendidikan
Islam dalam konteks pengertian seperti yang dianjutkan Rasul Allah Saw. inilah
yang dimaksud dengan pendidikan Islam dalam arti yang seutuhnya. Dalam kaitan
ini, pendidikan Islam erat kaitannya dengan psikologi agama. Bahkan psikologi
agama digunakan sebagai salah-satu pendekatan dalam pelaksanaan pendidikan
Islam. Ada beberapa contoh mengenai bagaimana hubungan antara psikologi agama
dan pendidikan Islam di awal-awal perkembangan agama ini.
Pada
suatu hari, Rasul Allah Saw. Didatangi seorang laki-laki yang masih awam
tentang Islam. Laki-laki tersebut menanyakan tentang kewajiban Islam yang harus
dipatuhi oleh penganutnya. Rasul Allah Saw. menjelaskan kelima prinsip (rukun)
Islam kepada laki-laki dimaksud. Setelah mendengar penjelasan itu, maka orang
tadi mengatakan kepada Rasul: “Demi Allah, aku tidak akan menambah atau
mengurangi”. Dan setelah orang tersebut berlalu, maka Rasul menyatakan, bahwa
jika laki-laki itu konsisten dengan apa yang dikatakannya, maka ganjarannya
adalah surga. (Bukhari, 19).
Kali
yang lain, Rasul Allah Saw. Sedang menunaikan shalat. Saat beliau sujud, cucu
beliau naik ke punggung kakek mereka. Merasakan hal itu, maka Rasul Allah Saw. Memperlambat
sujud beliau, dan baru bergerak setelah kedua cucu beliau turun. Rasul Allah Saw.
Memperpanjang sujud untuk memberi kesempatan kepada cucu beliau turun hingga
tidak mencederakan mereka. (Bukhari)
Setelah
mencapai usia kanak-kanak, Hasan dan Husein pernah dihadapkan pada seorang
dewasa yang keliru dalam berwudhu. Kedua cucu Rasul Saw. tersebut tidak menegur
orang tadi, walaupun mereka berdua sudah tahu bagaimana tata cara berwudhu yang
benar. Menegur langsung, bagaimanapun kurang etis, apalagi terhadap orang yang
lebih tua.
Dalam
situasi seperti itu Hasan dan adiknya Husein menggunakan pendekatan yang tepat
untuk memberitahukan kekeliruan laki-laki yang dihadapinya, tanpa menyinggung
perasaan yang bersangkutan. Mereka berdua kemudian pura-pura mengadakan
perlombaan cara berwudhu yang benar.
Lelaki
yang berada di samping mereka kemudian tertegun dan setelah melihat cucu Rasul
Allah Saw. sibuk dengan cara mereka berwudhu yang disertai dengan dialog antara
keduanya, sadarlah ia bahwa apa yang dilakukannya adalah keliru. Sadar akan
kekeliruannya itu, maka laki-laki tersebut minta ditunjukkan cara berwudhu yang
sebenarnya.
Contoh
ini merupakan realisasi dari anjuran Rasul Allah Saw. sendiri, agar dalam
memberikan pendidikan harus disesuaikan dengan kadar kemampuan atau nalar
seseorang. Dengan demikian, dalam menghadapi orang yang masih awam terhadap
agama berbeda dengan menghadapi mereka yang sudah memiliki latar belakang
pendidikan agama. Sebaliknya menghadapi orang dewasa harus debedakan dengan
cara menghadapi anak-anak dalam mengajarkan agama. Didiklah anak-anakmu dengan
cara belajar sambil bermain atau bergurau pada tujuh tahun pertama usia mereka,
dan pada tujuh tahun kedua didiklah mereka dengan disiplin dan moral, kemudian
pada tujuh tahun ketiga didiklah mereka dengan memperlakukan mereka sebagai
sahabat, setelah itu baru lepaskan mereka mandiri (Muhammad Munir Mursyi,
1989:32).
Pendekatan
psikologi agama dalam pendidikan agama Islam ternyata telah dilakukan di
periode awal perkembangan Islam itu sendiri. Fungsi dan peran kedua orang tua
sebagai teladan yang terdekat kepada anak telah diakui dalam pendidikan Islam. Bahkan
agama dan keyakinan seorang anak dinilai sangat tergantung dari keteladanan
para orang tua mereka. Tak mengherankan jika Sigmund Freud (1856-1939)
menyatakan bahwa keberagamaan anak terpola dari tingkah laku bapaknya.
Seorang
bapak yang pemabuk dan sering memperlakukan anaknya dengan kasar akan membekas
pada diri anak, termasuk sikapnya terhadap agama. Demikian pula seorang bapak
yang taat beragama serta memperlakukan anak-anaknya dengan kasih sayang juga
akan membekas pada diri anak tersebut. Pengaruh ini Sigmund Freud disebut citra
bapak (father image). Baik buruknya
citra bapak akan ikut mempengaruhi sikap keagamaan pada anak.
Jika
kesadaran terhadap pengaruh bapak terhadap keberagamaan anak baru diungkapkan
oleh ahli psikologi agama (Barat) sekitar awal abad ke-20, maka jauh sebelum
itu Islam telah menerapkannya dalam kehidupan rumah tangga. Bahakan menurut
pendidikan Islam, bukan hanya bapak, melainkan juga ibu ikut memberi citra pada
keberagamaan anak-anak mereka. Bermula dari tuntunan Al-Quran yang memuat pesan
Luqman al-Hakim kepada anaknya: Hai
anakku, janganlah kamu memepersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan
(Allah) adalah merupakan kezaliman yang amat besar. (QS 31: 12).
Dalam
informasi Al-Quran ini terungkap bagaimana seharusnya seorang bapak menuntun
dan membimbing anak-anak mereka mengenal Tuhannya. Anak mengenal Tuhan melalaui
bimbingan orang tua mereka. Kemudian upaya membimbing pengenalan terhadap Tuhan
dan agama hendaknya dilakukan dengan penuh kasih sayang. Tidak dengan perintah,
melainkan melalui keteladanan orang tua.
Diceritakan
bahwa al-Aqra’ ibn Habis pernah menyatakan keheranannya terhadap perlakuan
Rasul Allah Saw. kepada Fathimah puteri beliau. Menurut al-Aqra’, ia mempunyai
anak sepuluh orang tetapi tak satu pun di antaranya yang pernah ia perlakukan
seperti yang diperbuat Rasul Allah kepada Fathimah, yaitu mencium puteri beliau
dengan penuh kasih sayang.
Pernyataan
al-Aqra’ ibn Habis dijawab Rasul Allah Saw. bahwa Allah telah mencabut rasa
kasih sayang dari hati al-Aqra’. Bahkan Rasul Saw. menyatakan: “Siapa yang
tidak memiliki rasa kasih sayang, maka tidak akan memperoleh kasih sayang”. Bahakan
menurut anjuran beliau: “Orang yang penuh kasih sayang akan dikasihi oleh Tuhan
Yang Maha Pengasih dan Penyayang. Karena itu sayangilah segala yang ada di bumi
maka yang di langit (Allah) akan menyayangimu”.
Mencium
anak seperti, yang diteladankan oleh Rasul, merupakan bagian dari pendidikan
Islam yang diteladankan beliau kepada umatnya. Sebagai contoh bagi para orang
tua.
Dalam
pandangan Islam, sejak dilahirkan, manusia telah dianugerahkan potensi
keberagamaan. Potensi ini baru dalam bentuk sederhana, yaitu berupa
kecenderungan untuk tunduk dan mengabdi kepada sesuatu. Agar kecendrungan untuk
tunduk dan mengabdi ini tidak salah, maka perlu adanya bimbingan dari luar. Secara
kodrati orang tua merupakan pembimbing pertama yang mula-mula dikenal anak. Oleh
karena itu, Rasul Allah Saw. menekankan bimbingan itu pada tanggung jawab kedua
orang tua.
“Setiap
bayi dilahirkan dalam fitrahnya (potensi keberagamaan), maka kedua
orangtuanyalah yang kan menjadikannya sebagai Majusi, Yahudi, atau Nasrani,”
sabda Rasul Allah Saw. pernyataan ini mengindikasikan, bahwa pengaruh bimbingan
ibu-bapak memiliki peran strategis dalam membentuk jiwa agama pada diri anak. Demikian
pentingnya pengaruh bimbingan itu, hingga dikaitkan dengan akidah. Sebab bila
dibiarkan berkembang dengan sendirinya, maka potensi kebaragamaan pada anak
akan salah arah. Kecendrungan untuk tunduk kepada sesuatu, dapat saja diarahkan
kepada yang salah.
Kajian
ilmiah, terutama sejarah, psikologi, maupun antropologi budaya mengungkapkan
adanaya kecendrungan untuk tunduk itu pada manusia. Pada suku bangsa primitif ketundukan
itu ditujukan kepada benda-benda alam, roh leluhur. Sedangkan pada bangsa
modern, ketundukan tersebut disalurkan kepada tokoh yang dikagumi. Kultus individu
atau sikap fanatis terhadap isme-isme tertentu, tampaknya tak jauh berbeda dari
apa yang dilakukan suku-suku primitif.
Sejarah
mencatat, bagaimana orang memuja dan mengkultuskan Adolf Hitler, tokoh Nazi
Jerman. Bergitu pula yang dilakukan masyarakat China terhadap Mao Tse Tung di zaman komunis berkuasa
di negara ini. Masyarakat Rusia memuja Stalin, sedangkan orang Jepang
menganggap Kaisar mereka sebagai titisan Dewa Matahari (Amiterasu Omi Kami). Bahkan secara umum, di zaman modern sekalipun
masih tersisa keyakinan terhadap tokoh pujaan ini. Gerakan mesionisme dan ratu adil, merupakan bagian dari kecendrungan (motif)
ketundukan ini.
Ternyata
manusia akan sesat, bila potensi keberagamaan yang dimilikinya tidak dibimbing ke
arah yang benar. Untuk itu pula Tuhan mengutus Rasul-Nya. Risalah kenabian
merupakan pedoman bagi manusia, dan bimbingan yang paling absah. Dengan mempedomaninya,
manusia akan terbimbing untuk menyalurkan potensi keberagamaannya, yaitu tunduk
kepada Tuhan sang Maha Pencipta. Tidak kepada yang lain.
Demikian
pentingnya bimbingan itu, hingga Rasul Allah Saw. menegaskan sebagai tanggung
jawab kedua orang tua. Para orang tua dibebankan tanggung jawab untuk
membimbing potensi keagamaan (fithrah) anak-anak mereka, agar terbentuk menjadi
nyata dan benar. Diaharapakan pada diri mereka terbentuk kesadaran agama (religious consciousness) dan pengalaman
agama (religious experience). Anak-anak
diberi bimbingan agar tahu dan memahami, kepada “siapa” mereka wajib tunduk dan
bagaimana tata cara sebagai bentuk penyataan dari sikap tunduk tersebut.
Pembentukan
jiwa keagaaman pada anak diawali sejak dilahirkan. Kepadanya diperdengarkan
kalimat tauhid, dengan mengumandangkan azan ke telinga kanannya dan iqamat ke
telinga kirinya. Lalu pada usia ketujuh hari (sebaiknya) sang bayi diaqiqahkan,
dan sekaligus diberi nama yang baik, sebagai doa dan titipan harapan orang tua
agar anaknya menjadi anak yang shaleh. Di samping itu, kepada anak diberikan
makanan yang bergizi dan halal. Pada periode perkembangan selanjutnya, anak
diperlakukan dengan kasih sayang, serta dibiasakan pada perkataan, sikap dan
perbuatan yang baik melalui keteladanan kedua orang tuanya.
Rasul
Allah Saw. tampaknya sangat paham benar, tentang adanya hubungan timbal balik
antara jiwa (psycho) dengan tubuh (soma). Demikian pula mengenai hubungan
antara biokimia dengan jiwa dan raga. Juga tentang pengaruh suara dengan
pembentukan hati nurani. Semuanya itu terangkai dalam formulasi dan konsep
ajaran yang diamanatkan kepada para orang tua, dalam memberi bimbingan kepada
anak-anak mereka.
Dalam
konsep ajaran Rasul Allah Saw. tampaknya pembentukan kesadaran agama dan
pengalaman agama, harus dilakukan secara simultan, sinergis dan utuh. Makan dan
minuman yang halal, berkaitan dengan pemurnian unsur biokimia tubuh (soma) agar
tetap sejalan dan terpeliharanya fithrah keagamaaan. Kemudian azan dan iqamah,
mana yang baik serta aqiqah, berhubungan dengan pembentukan dengan pembentukan
nilai-nilai ketauhidan dalam jiwa (psycho). Lalu setelah anak mampu
berkomunikasi, mereka diperkenalkan dengan perlakukan kasih sayang
(keteladanan).
Lebih
lanjut, saat anak menginjak usia tujuh tahun, secara fisik mereka dibiasakan
untuk menunaikan shalat (pembiasaan). Kemudian setelah mencapai usia sepuluh
tahun, perintah untuk menunaikan shalat secara rutin dan tepat waktu diperketat
(disiplin). Pada jenjang usia ini pun anak-anak diperkenalkan kepada
nilai-nilai ajaran agamanya. Diajarkan membaca Kitab Suci, sunnah Rasul, maupun
cerita-cerita yang bernilai pendidikan.
Bimbingan
kejiwaan diarahkan pada pembentukan nilai-nilai imani. Sedangkan keteladanan,
pembiasaan, dan disiplin dititikberatkan pada pembentukan nilai-nilai amali. Keduanya
memiliki hubungan timbal balik. Dengan demikian, kesadaran agama dan pengalaman
agama dibentuk melalui proses bimbingan terpadu. Hasil yang diharapkan adalah
sosok manusia yang beriman (kesadaran agama), dan beramal saleh (pengalaman
agama).
Anak
dibimbing untuk tunduk dan mengabdikan diri hanya kepada Allah, sesuai dengan
fithrahnya. Kemudian sebagai pembuktian dari pengabdian itu, direalisasikan
dalam bentuk perbuatan dan aktivitas yang bermanfaat, seseuai dengan
perintah-Nya.
Sumber :
Jalaluddin,
H. 2010. Psikologi Agama. Jakarta:
PT. RajaGrafindo Persada.