Sabtu, 06 Oktober 2012

Psikologi Agama sebagai Disiplin Ilmu I Psikologi Agama dan Pendidikan Islam

Psikologi Islam di sini diartikan sebagai upaya sadar yang dilakukan oleh mereka yang memiliki tanggung jawab terhadap pembinaan, bimbingan, pengembangan serta pengarahan potensi yang dimiliki anak agar mereka dapat berfungsi dan berperan sebagaimana hakikat kejadiannya. Jadi dalam pengertian ini pendidikan Islam tidak dibatasi oleh institusi (kelembagaan) ataupun pada lapangan pendidikan tertentu. Pendidikan Islam diartikan dalam ruang lingkup yang luas.

Adapun yang dimaksud yang bertanggung jawab dalam pengertian ini adalah orang tua. Sedangkan para guru atau pendidik lainnya adalah merupakan perpanjangan tangan para orang tua. Maksudnya, tepat tidaknya para guru atau pendidik yang dipilih oleh orang tua untuk mendidik anak mereka sepenuhnya menjadi tanggung jawab para orang tua. Maka pendidikan Islam meletakkan dasarnya adalah pada rumah tangga. Seiring dengan tanggung jawab itu, maka para orang tua dan para guru dalam pendidikan Islam berfungsi dan berperan sebagai pembina, pembimbing, pengembang serta pengarah potensi yang dimiliki anak agar merek menjadi pengabdi Allah yang taat dan setia, sesuai dengan hakikat penciptaan manusia (QS 51:56) dan juga dapat berperan sebagai khalifah Allah dalam kehidupan di dunia (QS 2:30). Selain itu dalam pelaksanaannya aktivitas pendidikan seperti itu diterapkan sejak usia bayi dalam buaian hingga ke akhir hayat, seperti tuntunan Rasul Allah Saw.

Pendidikan Islam dalam konteks pengertian seperti yang dianjutkan Rasul Allah Saw. inilah yang dimaksud dengan pendidikan Islam dalam arti yang seutuhnya. Dalam kaitan ini, pendidikan Islam erat kaitannya dengan psikologi agama. Bahkan psikologi agama digunakan sebagai salah-satu pendekatan dalam pelaksanaan pendidikan Islam. Ada beberapa contoh mengenai bagaimana hubungan antara psikologi agama dan pendidikan Islam di awal-awal perkembangan agama ini.

Pada suatu hari, Rasul Allah Saw. Didatangi seorang laki-laki yang masih awam tentang Islam. Laki-laki tersebut menanyakan tentang kewajiban Islam yang harus dipatuhi oleh penganutnya. Rasul Allah Saw. menjelaskan kelima prinsip (rukun) Islam kepada laki-laki dimaksud. Setelah mendengar penjelasan itu, maka orang tadi mengatakan kepada Rasul: “Demi Allah, aku tidak akan menambah atau mengurangi”. Dan setelah orang tersebut berlalu, maka Rasul menyatakan, bahwa jika laki-laki itu konsisten dengan apa yang dikatakannya, maka ganjarannya adalah surga. (Bukhari, 19).

Kali yang lain, Rasul Allah Saw. Sedang menunaikan shalat. Saat beliau sujud, cucu beliau naik ke punggung kakek mereka. Merasakan hal itu, maka Rasul Allah Saw. Memperlambat sujud beliau, dan baru bergerak setelah kedua cucu beliau turun. Rasul Allah Saw. Memperpanjang sujud untuk memberi kesempatan kepada cucu beliau turun hingga tidak mencederakan mereka. (Bukhari)

Setelah mencapai usia kanak-kanak, Hasan dan Husein pernah dihadapkan pada seorang dewasa yang keliru dalam berwudhu. Kedua cucu Rasul Saw. tersebut tidak menegur orang tadi, walaupun mereka berdua sudah tahu bagaimana tata cara berwudhu yang benar. Menegur langsung, bagaimanapun kurang etis, apalagi terhadap orang yang lebih tua.

Dalam situasi seperti itu Hasan dan adiknya Husein menggunakan pendekatan yang tepat untuk memberitahukan kekeliruan laki-laki yang dihadapinya, tanpa menyinggung perasaan yang bersangkutan. Mereka berdua kemudian pura-pura mengadakan perlombaan cara berwudhu yang benar.

Lelaki yang berada di samping mereka kemudian tertegun dan setelah melihat cucu Rasul Allah Saw. sibuk dengan cara mereka berwudhu yang disertai dengan dialog antara keduanya, sadarlah ia bahwa apa yang dilakukannya adalah keliru. Sadar akan kekeliruannya itu, maka laki-laki tersebut minta ditunjukkan cara berwudhu yang sebenarnya.

Contoh ini merupakan realisasi dari anjuran Rasul Allah Saw. sendiri, agar dalam memberikan pendidikan harus disesuaikan dengan kadar kemampuan atau nalar seseorang. Dengan demikian, dalam menghadapi orang yang masih awam terhadap agama berbeda dengan menghadapi mereka yang sudah memiliki latar belakang pendidikan agama. Sebaliknya menghadapi orang dewasa harus debedakan dengan cara menghadapi anak-anak dalam mengajarkan agama. Didiklah anak-anakmu dengan cara belajar sambil bermain atau bergurau pada tujuh tahun pertama usia mereka, dan pada tujuh tahun kedua didiklah mereka dengan disiplin dan moral, kemudian pada tujuh tahun ketiga didiklah mereka dengan memperlakukan mereka sebagai sahabat, setelah itu baru lepaskan mereka mandiri (Muhammad Munir Mursyi, 1989:32).

Pendekatan psikologi agama dalam pendidikan agama Islam ternyata telah dilakukan di periode awal perkembangan Islam itu sendiri. Fungsi dan peran kedua orang tua sebagai teladan yang terdekat kepada anak telah diakui dalam pendidikan Islam. Bahkan agama dan keyakinan seorang anak dinilai sangat tergantung dari keteladanan para orang tua mereka. Tak mengherankan jika Sigmund Freud (1856-1939) menyatakan bahwa keberagamaan anak terpola dari tingkah laku bapaknya.

Seorang bapak yang pemabuk dan sering memperlakukan anaknya dengan kasar akan membekas pada diri anak, termasuk sikapnya terhadap agama. Demikian pula seorang bapak yang taat beragama serta memperlakukan anak-anaknya dengan kasih sayang juga akan membekas pada diri anak tersebut. Pengaruh ini Sigmund Freud disebut citra bapak (father image). Baik buruknya citra bapak akan ikut mempengaruhi sikap keagamaan pada anak.

Jika kesadaran terhadap pengaruh bapak terhadap keberagamaan anak baru diungkapkan oleh ahli psikologi agama (Barat) sekitar awal abad ke-20, maka jauh sebelum itu Islam telah menerapkannya dalam kehidupan rumah tangga. Bahakan menurut pendidikan Islam, bukan hanya bapak, melainkan juga ibu ikut memberi citra pada keberagamaan anak-anak mereka. Bermula dari tuntunan Al-Quran yang memuat pesan Luqman al-Hakim kepada anaknya: Hai anakku, janganlah kamu memepersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah merupakan kezaliman yang amat besar. (QS 31: 12).

Dalam informasi Al-Quran ini terungkap bagaimana seharusnya seorang bapak menuntun dan membimbing anak-anak mereka mengenal Tuhannya. Anak mengenal Tuhan melalaui bimbingan orang tua mereka. Kemudian upaya membimbing pengenalan terhadap Tuhan dan agama hendaknya dilakukan dengan penuh kasih sayang. Tidak dengan perintah, melainkan melalui keteladanan orang tua. 

Diceritakan bahwa al-Aqra’ ibn Habis pernah menyatakan keheranannya terhadap perlakuan Rasul Allah Saw. kepada Fathimah puteri beliau. Menurut al-Aqra’, ia mempunyai anak sepuluh orang tetapi tak satu pun di antaranya yang pernah ia perlakukan seperti yang diperbuat Rasul Allah kepada Fathimah, yaitu mencium puteri beliau dengan penuh kasih sayang.

Pernyataan al-Aqra’ ibn Habis dijawab Rasul Allah Saw. bahwa Allah telah mencabut rasa kasih sayang dari hati al-Aqra’. Bahkan Rasul Saw. menyatakan: “Siapa yang tidak memiliki rasa kasih sayang, maka tidak akan memperoleh kasih sayang”. Bahakan menurut anjuran beliau: “Orang yang penuh kasih sayang akan dikasihi oleh Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang. Karena itu sayangilah segala yang ada di bumi maka yang di langit (Allah) akan menyayangimu”.

Mencium anak seperti, yang diteladankan oleh Rasul, merupakan bagian dari pendidikan Islam yang diteladankan beliau kepada umatnya. Sebagai contoh bagi para orang tua.

Dalam pandangan Islam, sejak dilahirkan, manusia telah dianugerahkan potensi keberagamaan. Potensi ini baru dalam bentuk sederhana, yaitu berupa kecenderungan untuk tunduk dan mengabdi kepada sesuatu. Agar kecendrungan untuk tunduk dan mengabdi ini tidak salah, maka perlu adanya bimbingan dari luar. Secara kodrati orang tua merupakan pembimbing pertama yang mula-mula dikenal anak. Oleh karena itu, Rasul Allah Saw. menekankan bimbingan itu pada tanggung jawab kedua orang tua.

“Setiap bayi dilahirkan dalam fitrahnya (potensi keberagamaan), maka kedua orangtuanyalah yang kan menjadikannya sebagai Majusi, Yahudi, atau Nasrani,” sabda Rasul Allah Saw. pernyataan ini mengindikasikan, bahwa pengaruh bimbingan ibu-bapak memiliki peran strategis dalam membentuk jiwa agama pada diri anak. Demikian pentingnya pengaruh bimbingan itu, hingga dikaitkan dengan akidah. Sebab bila dibiarkan berkembang dengan sendirinya, maka potensi kebaragamaan pada anak akan salah arah. Kecendrungan untuk tunduk kepada sesuatu, dapat saja diarahkan kepada yang salah.

Kajian ilmiah, terutama sejarah, psikologi, maupun antropologi budaya mengungkapkan adanaya kecendrungan untuk tunduk itu pada manusia. Pada suku bangsa primitif ketundukan itu ditujukan kepada benda-benda alam, roh leluhur. Sedangkan pada bangsa modern, ketundukan tersebut disalurkan kepada tokoh yang dikagumi. Kultus individu atau sikap fanatis terhadap isme-isme tertentu, tampaknya tak jauh berbeda dari apa yang dilakukan suku-suku primitif.

Sejarah mencatat, bagaimana orang memuja dan mengkultuskan Adolf Hitler, tokoh Nazi Jerman. Bergitu pula yang dilakukan masyarakat China terhadap Mao Tse Tung di zaman komunis berkuasa di negara ini. Masyarakat Rusia memuja Stalin, sedangkan orang Jepang menganggap Kaisar mereka sebagai titisan Dewa Matahari (Amiterasu Omi Kami). Bahkan secara umum, di zaman modern sekalipun masih tersisa keyakinan terhadap tokoh pujaan ini. Gerakan mesionisme dan ratu adil, merupakan bagian dari kecendrungan (motif) ketundukan ini.

Ternyata manusia akan sesat, bila potensi keberagamaan yang dimilikinya tidak dibimbing ke arah yang benar. Untuk itu pula Tuhan mengutus Rasul-Nya. Risalah kenabian merupakan pedoman bagi manusia, dan bimbingan yang paling absah. Dengan mempedomaninya, manusia akan terbimbing untuk menyalurkan potensi keberagamaannya, yaitu tunduk kepada Tuhan sang Maha Pencipta. Tidak kepada yang lain.

Demikian pentingnya bimbingan itu, hingga Rasul Allah Saw. menegaskan sebagai tanggung jawab kedua orang tua. Para orang tua dibebankan tanggung jawab untuk membimbing potensi keagamaan (fithrah) anak-anak mereka, agar terbentuk menjadi nyata dan benar. Diaharapakan pada diri mereka terbentuk kesadaran agama (religious consciousness) dan pengalaman agama (religious experience). Anak-anak diberi bimbingan agar tahu dan memahami, kepada “siapa” mereka wajib tunduk dan bagaimana tata cara sebagai bentuk penyataan dari sikap tunduk tersebut.

Pembentukan jiwa keagaaman pada anak diawali sejak dilahirkan. Kepadanya diperdengarkan kalimat tauhid, dengan mengumandangkan azan ke telinga kanannya dan iqamat ke telinga kirinya. Lalu pada usia ketujuh hari (sebaiknya) sang bayi diaqiqahkan, dan sekaligus diberi nama yang baik, sebagai doa dan titipan harapan orang tua agar anaknya menjadi anak yang shaleh. Di samping itu, kepada anak diberikan makanan yang bergizi dan halal. Pada periode perkembangan selanjutnya, anak diperlakukan dengan kasih sayang, serta dibiasakan pada perkataan, sikap dan perbuatan yang baik melalui keteladanan kedua orang tuanya.

Rasul Allah Saw. tampaknya sangat paham benar, tentang adanya hubungan timbal balik antara jiwa (psycho) dengan tubuh (soma). Demikian pula mengenai hubungan antara biokimia dengan jiwa dan raga. Juga tentang pengaruh suara dengan pembentukan hati nurani. Semuanya itu terangkai dalam formulasi dan konsep ajaran yang diamanatkan kepada para orang tua, dalam memberi bimbingan kepada anak-anak mereka.

Dalam konsep ajaran Rasul Allah Saw. tampaknya pembentukan kesadaran agama dan pengalaman agama, harus dilakukan secara simultan, sinergis dan utuh. Makan dan minuman yang halal, berkaitan dengan pemurnian unsur biokimia tubuh (soma) agar tetap sejalan dan terpeliharanya fithrah keagamaaan. Kemudian azan dan iqamah, mana yang baik serta aqiqah, berhubungan dengan pembentukan dengan pembentukan nilai-nilai ketauhidan dalam jiwa (psycho). Lalu setelah anak mampu berkomunikasi, mereka diperkenalkan dengan perlakukan kasih sayang (keteladanan).

Lebih lanjut, saat anak menginjak usia tujuh tahun, secara fisik mereka dibiasakan untuk menunaikan shalat (pembiasaan). Kemudian setelah mencapai usia sepuluh tahun, perintah untuk menunaikan shalat secara rutin dan tepat waktu diperketat (disiplin). Pada jenjang usia ini pun anak-anak diperkenalkan kepada nilai-nilai ajaran agamanya. Diajarkan membaca Kitab Suci, sunnah Rasul, maupun cerita-cerita yang bernilai pendidikan.

Bimbingan kejiwaan diarahkan pada pembentukan nilai-nilai imani. Sedangkan keteladanan, pembiasaan, dan disiplin dititikberatkan pada pembentukan nilai-nilai amali. Keduanya memiliki hubungan timbal balik. Dengan demikian, kesadaran agama dan pengalaman agama dibentuk melalui proses bimbingan terpadu. Hasil yang diharapkan adalah sosok manusia yang beriman (kesadaran agama), dan beramal saleh (pengalaman agama).

Anak dibimbing untuk tunduk dan mengabdikan diri hanya kepada Allah, sesuai dengan fithrahnya. Kemudian sebagai pembuktian dari pengabdian itu, direalisasikan dalam bentuk perbuatan dan aktivitas yang bermanfaat, seseuai dengan perintah-Nya. 

Sumber :

Jalaluddin, H. 2010. Psikologi Agama. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.

Psikologi Agama sebagai Disiplin Ilmu I Ruang Lingkup dan Kegunaannya



Sebagai disiplin ilmu yang otonom, psikologi agama memiliki ruang lingkup pembahasannya tersendiri yang dibedakan dari disiplin ilmu yang mempelajari masalah agama yang lainnya. Sebagai contoh, dalam tujuannya psikologi agama dan ilmu perbandingan agama memiliki tujuan yang tak jauh berbeda, yakni mengembangkan pemahamaman terhadao agama dengan mengaplikasikan metode-metode penelitian yang bertipe bukan agama dan bukan teologis. Bedanya adalah, bila ilmu perbandingan agama cenderung memusatkan perhatiannya pada agama-agama primitif dan eksotis tujuannya adalah untuk mengembangkan pemahaman dengan memperbandingkan satu agama dengan agama lainnya. Sebaliknya psikologi agama, seperti pernyataan Robert H. Thouless, memusatkan kajiannya pada agama yang hidup dalam budaya suatu kelompok atau masyarakat itu sendiri. Kajiannya terpusat pada pemahaman terhadap perilaku keagamaan tersebut dengan menggunakan pendekatan psikologi (Robert H. Thouless:25)

Lebih lanjut, Prof. Dr. Zakiah Daradjat menyatakan bahwa lapangan penelitian psikologi agama mencakup peroses beragama, perasaan dan kesadaran beragama dengan pengaruh dan akibat-akibat yang dirasakan sebagai hasil dari keyakinan (terhadap suatu agama, yang dianut-pen.). Oleh karena itu, menurut Zakiah Daradjat, ruang lingkup yang menjadi lapangan kajian psikologi agama meliputi kajian mengenai:

1.      Bermacam-macam emosi yang menjalar diluar kesadaran yang ikut menyertai kehidupan beragam orang biasa (umum), seperti rasa lega dan tenteram sehabis sembahyang, rasa lepas dari ketegangan batin sesudah berdoa atau membaca ayat-ayat suci, persaan tenang, pasrah, dan menyerah setlah berzikir dan ingat kepada Allah ketika mengalami kesedihan dan kekecewaan yang bersangkutan.
2.      Bagaimana perasaan dan pengalaman seseorang secara individual terhadap Tuhannya, misalnya rasa tenteram dan kelegaan batin.
3.      Mempelajari, meneliti dan menganalisis pengaruh kepercayaan akan adanya hidup sesudah mati (akhirat) pada tiap-tiap orang.
4.      Meneliti dan mempelajari kesadaran dan perasaan orang terhadap kepercayaan yang berhubungan dengan surga dan neraka serta dosa dan pahala yang turut memeberi pengaruh terhadap sikap dan tingkah lakunya dalam kehidupan.
5.      Meneliti dan mempelajari bagaimana pengaruh pengahayatan seseorang terhadap ayat-ayat suci kelagaan batinnya.

Semuanya itu menurut Zakiah Daradjat tercakup dalam kesadaran agama (religious counsciusness) dan pengalaman agama (religious experience). Yang dimaksud dengan kesadaran agama adalah bagian/segi agama yang hadir (terasa) dalam pikiran yang merupakan aspek mental dari aktivitas agama. Sedangkan pengalaman agama adalah unsur perasaan dalam kesadaran beragama, yaitu perasaan yang membawa kepada keyakinan yang dihasilkannya oleh tindakan (amaliyah). Karenanya, psikologi agama tidak mencampuri segala bentuk permasalahan yang menyangkut pokok keyakinan suatu agama, termasuk tentang benar salahnya atau masuk akal atau tidaknya keyakinan agama (Zakiah Daradjat:12-15). Tegasnya psikologi agama hanya mempelajari dan meneliti fungsi-fungsi jiwa yang memantul dan memperlihatkan diri dalam perilaku dalam kaitannya dengan kesadaran dan pengalaman agama manusia. Ke dalamnya juga tidak termasuk unsur-unsur keyakinan yang bersifat abstrak (gaib) seperti tentang Tuhan, surga dan neraka, kebenaran sesuatu agama, kebenaran kitab suci dan lainnya, yang tak mungkin teruji secara empiris.

Dengan demikian, psikologi agama menurut Prof. Dr. Zakiah Daradjat adalah mempelajari kesadaran agama pada seseorang yang pengaruhnya terlihat dalam kelakuan dan tindak agama orang itu dalam hidupnya (Zakiah Daradjat: 15). Persoalaan pokok dalam psikologi agama adalah kajian terhadap kesadaran agama dan tingkah laku agama, kata Robert H. Thouless. Atau kajian terhadap tingkah laku agama dan kesadaran agama (Robert H. Thouless: 11).

Seperti diketahui bahwa psikologi agama sebagai salah-satu cabang dari psikologi juga merupakan ilmu terapan. Psikologi agama sejalan dengan ruang lingkup kajiannya telah banyak memberi sumbangan dalam memecahkan persoalan kehidupan manusia dalam kaitannya dengan agama yang dianutnya. Kemudian bagaimana rasa keagamaan itu tumbuh dan berkembang pada diri seseorang dalam tingkat usia tertentu, ataupun bagaimana perasaan keagamaan itu dapat mempengaruhi ketenteraman batinnya, maupun berbagai konflik yang terjadi dalam diri seeorang hingga ia menjadi lebih taat menjalankan ajaran agamanya atau meninggalkan ajaran itu sama sekali.

Hasil kajian psikologi agama tersebut ternyata dapat dimanafaatkan dalam berbagai lapangan kehidupan seperti dalam bidang pendidikan, psikoterapi dan mungkin pula dalam lapangan lainnya dalam kehidupan. Bahkan sudah sejak lama pemerintah kolonial Belanda memanfaatkan hasil kajian psikologi agama untuk kepentingan politik. Pendekatan agama yang dilakuka oleh Snouck Hurgronje terhadap para pemuka agama dalam upaya mempertahankan politik penjajahan Belanda di tanah air, barangkali dapat dijadikan salah-satu contoh kegunaan psikologi agama.

Di bidang industri juga psikologi agama dapat dimanfaatkan. Sekitar tahun 1950-an di perusahaan minyak Stanvac (Plaju dan sungai Gerong) diselenggarakan ceramah agama Islam untuk para buruhnya. Kegiatan berkala ini diselenggarkan didasarkan atas asumsi bahwa ajaran agama mengandung nilai-nilai moral yang dapat menyadarkan para buruh dari perbuatan yang tak terpuji dan merugikan perusahaan. Sebaliknya dari hasil kegiatan tersebut dievaluasi, dan ternyata pengaruh ini dapat mengurangi kebocoran seperti pencurian, manipulasi maupun penjualan barang-barang perusahaan yang sebelumnya sukar dilacak.

Sebaliknya sekitar tahun 1979, perusahaan tekstil di Majalaya pernah melarang buruhnya menunuaikan shalat Jumat. Menurut pimipinan perusahaan waktu istirahat siang dan shalat Jumat mengurangi jumlah jam kerja dan akan mengurangi produksi. Tetapi setelah larangan dilaksanakan, dan buruh tetap dipaksakan bekerja, ternyata produksi menurun secara drastis. Disini terlihat hubungan antara tingkat produksi dan etos kerja yang ada kaitannya dengan kesadaran agama.

Dalam ruang lingkup yang lebih luas, Jepang ternyata menggunakan pendekatan psikologi agama dalam membangun negaranya. Bermula dari mitos bahwa Kaisar Jepang adalah titisan Dewa Matahari (Amiterasu Omikami), mereka dapat menumbuhkan jiwa Bushido, yaitu ketaatan terhadap pemimipin. Mitos ini telah dapat membangkitkan perasaan agama para prajurit Jepang dalam Perang Dunia II untuk melakukan Harakiri (bunuh diri) dan ikut dalam pasukan Kamikaze (pasukan berani mati). Dan setelah usai Perang Dunia II, jiwa Bushido tersebut bergeser menjadi etos kerja dan disiplin serta tanggung jawab moral.

Dalam banyak kasus, pendekatan psikologi agama, baik secara langsung maupun tidak langsung dapat digunakan untuk membangkitkan perasaan dan kesadaran agama. Pengobatan pasien di rumah-rumah sakit, usaha bimbingan dan penyuluhan narapidana di Lembaga Pemasyarakatan banyak dilakukan dengan menggunakan psikologi agama ini. Demikian pula dalam lapangan pendidikan psikologi agama dapat difungsikan pada pembinaan moral dan mental keagamaan peserta didik.

Sumber :
Jalaluddin, H. 2010. Psikologi Agama. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.

Jumat, 05 Oktober 2012

Psikologi Agama sebagai Disiplin Ilmu I Pengertian Psikologi Agama


Psikologi agama menggunakan dua kata yaitu psikologi dan agama. Kedua kata ini memiliki pengertian yang berbeda. Psikologi secara umum diartikan sebagai ilmu yang mempelajari gejala jiwa manusia yang normal, dewasa dan beradab. (Jalaluddin, et al, 1979:77). Menurut Robert H. Thouless, psikologi sekarang dipergunakan secara umum untuk ilmu tentang tingkah laku dan pengalaman manusia (Robert H. Thouless, 1992: 13).

Barangkali masih cukup banyak definisi yang dikemukakan para ahli tentang psikologi. Tetapi dari definisi-definisi yang dikemukakan tersebut secara umum psikologi mencoba meneliti dan mempelajari sikap dan tingkah laku manusia sebagai gambaran dari gejala-gejala kejiwaan yang berada di belakangnya. Karena jiwa itu sendiri bersifat abstrak, maka untuk mempelajari kehidupan kejiwaan manusia hanya mungkin dilihat dari gejala yang tampak, yaitu pada sikap dan tingkah laku yang ditampilkannya.

Memang manusia mungkin saja memanipulasi apa yang dialminya secara kejiawaan, hingga dalam sikap dan tingkah laku terlihat berbeda, bahkan mungkin bertentangan dengan keadaan yang sebenarnya. Mereka yang sebenarnya sedih, dapat berpura-pura tertawa. Ataupun karena perasaan gembira yang bersangatan, dapat membuat seseorang menangis. Namun secara umum, sikap dan perilaku yang terlihat adalah gambaran dari gejala jiwa seseorang. Sikap dan perilaku baik yang tampak dalam perbuatan maupun mimic (air muka) umumnya tak jauh berbeda dari gejolak batinnya, baik cipta, rasa dan karsanya.

Selanjutnya, agama juga menyangkut masalah yang berhubungan dengan kehidupan batin manusia. Agama sebagai bentuk keyakinan, memang sulit diukur secara tepat dan rinci. Hal ini pula barangkali yang menyulitkan para ahli untuk memberikan definisi yang tepat tentang agama. Dan walaupun J.H. Leuba dalam bukunya A Psychological Study of Religion telah memasukkan lampiran yang berisi 48 definisi agama yang diberikan beberapa penulis (Robert H. Thouless: 17), tampaknya juga belum memuaskannya. Bahakan ia sampai pada kesimpulan, bahwa usaha untuk membuat definisi tentang agama tak ada gunanya, karena hanya merupakan kepandaian bersilat lidah (Zakiah Daradjat, 1970: 23). Walter Houston Clark dengan tegas, juga mengakui bahwa tidak ada yang lebih sukar daripada mencari kata-kata yang dapat digunakan untuk membuat definisi agama (Zakiah Dardjat: 12).

Pendapat tersebut bukan berarti agama sama sekali tidak dapat dipahami melalui pendekatan definitive. Karena itu, walaupun mungkin belum disepakati semua pihak, barangkali rangkuman definisi yang dikemukakan Prof. Dr. Harun Nasution dapat memberi gambaran tentang pengertian agama. Beranjak dari pengertian etimologis, Harun Nasution kemudian merangkumkan sejumlah definisi tentang agama dan merumuskan unsur-unsur penting yang terdapat di dalam agama tersebut.

Harun Nasution merunut pengertian agama berdasarkan asal kata, yaitu al-Din, religi (relegere, religare) dan agama al-Din (Semit) berarti undang-undang atau hukum. Kemudian dalam bahasa Arab, kata ini mengandung arti menguasai, menundukkan, patuh, utang, balasan, kebiasaan. Sedangkan dari kata religi (Latin) atau relegere berarti mengumpulkan dan membaca. Kemudian religare berarti mengikat. Adapun kata agama terdiri a= tidak; gam= pergi) mengandung arti tidak pergi, tetap di tempat atau diwarisi turun-temurun. (Harun Nasution,1974:9-10).

Bertitik tolak dari pengertian kata-kata tersebut menurut Harun Nasution, intisarinya adalah ikatan. Karena itu agama mengandung arti ikatan yang harus dipegang dan dipatuhi manusia. Ikatan dimaksud berasal dari suatu kekuatan yang lebih tinggi dari manusia sebagai kekuatan gaib yang tak dapat ditangkap dengan pancaindera, namun mempunyai pengaruh yang besar sekali terhadap kehidupan manusia sehari-hari (Harun Nasution: 10). Secara definitive, menurut Harun Nasution, agama adalah:

1.      Pengakuan terhadap adanya hubungan manusia dengan kekuatan gaib yang harus dipatuhi.
2.      Pengakuan terhadap adanya kekuatan gaib yang menguasai manusia.
3.   Mengikat diri pada suatu bentuk hidup yang mengandung pengakuan pada suatu sumber yang berada di luar diri manusia dan yang mempengaruhi perbuatan-perbuatan manusia.
4.      Kepercayaan pada suatu kekuatan gaib yang menimbulkan cara hidup tertentu.
5.      Suatu sistem tingkah laku (code of conduct) yang berasal dari suatu kekuatan gaib.
6.      Pengakuan terhadap adanya kewajiban-kewajiban yang diyakini bersumber pada suatu kekuatan gaib.
7.   Pemujaan terhadap kekuatan gaib yang timbul dari perasaan lemah dan perasaan takut terhadap kekuatan misterius yang terdapat dalam alam sekitar manusia.
8.    Ajaran-ajaran yang diwahyukan Tuhan kepada manusia melalui seorang Rasul (Harun Nasution: 10).

Selanjutnya Harun Nasution merumuskan ada empat unsur yang terdapat dalam agama, yaitu:

a.   Kekuatan gaib, yang diyakini berada di atas kekuatan manusia. Di dorong oleh kelemahan dan keterbatasannya, manusia merasa berhajat akan pertolongan dengan cara menjaga dan membina hubungan baik dengan kekuatan gaib tersebut. Sebagai realisasinya adalah sikap patuh terhadap perintah dan larangan kekuatan gaib itu.

b.    Keyakinan terhadpa kekuatan gaib sebagai penentu nasib baik dan nasib buruk manusia. Dengan demikian manusia berusaha untuk menjaga hubungan baik ini agar kesejahteraan dan kebahagaiannya terpelihara.

c.  Respons yang bersifat emosional dari manusia. Respons ini dalam realisasinya terlihat dalam bentuk penyembahan karena didorong oleh perasaan takut (agama primitif) atau pemujaan yang didorong oleh perasaan cinta (monoteisme), serta bentuk cara hidup tertentu bagi penganutnya.

d.   Paham akan adanya yang kudus (sacred) dan suci. Sesuatu yang kudus dan suci ini adakalanya berupa kekuatan gaib, kitab yang berisi ajaran agama, maupun tempat-tempat tertentu (Harun Nasution: 11).

Apa pun bentuk kepercayaan yang dianggap sebagai agama, tampaknya memang memiliki ciri umum yang hampir sama, baik dalam agama-agama primitif (nonteistik) maupun agama monoteisme (teistik). Namun menurut Robert H. Thouless menyebutkan sebagai keyakinan (tentang dunia lain). Dan ini membantu Thouless untuk mengajukan definisinya tentang agama. Menurutnya, dalam kaitan dengan psikologi agama, ia menyatakan definisi agama adalah sikap (cara penyesuaian diri) terhadap dunia yang mencakup acuan yang menunjukkan lingkungan lebih luas daripada lingkungan dunia fisik yang terikat ruang dan waktu-the spatio temporal physical world (dalam hal ini, yang dimaksud adalah dunia spiritual). Definisi ini secara empiris lebih cocok untuk membedakan antara sikap-sikap keagamaan (religious) dari yang bukan keagamaan (irreligious), antara lain seperti Komunisme dan Humanisme. Sebab, dapat saja seseorang jadi baik dan rela mengorbankan diri tanpa harus menjadi penganut agama (Robert H. Thouless: 23)

Robert H. Thouless dengan definisi itu ingin membedakan sikap-sikap yang bersumber dari suatu kepercayaan agama terhadap yang bersumber bukan dari agama, walaupun dalam realitasnya terdapat sikap yang sama. Sehubungan dengan hal itu, Thouless berpendapat bahwa psikologi agama adalah cabang dari psikologi yang bertujuan mengembangkan pemahaman terhadap perilaku keagamaan dengan menghasilkan prinsip-prinsip psikologi yang dipungut dari kajian terhadap perilaku bukan keagamaan (Robert H. Thouless:25).

Menurut Prof. Dr. Zakiah Daradjat, psikologi agama meneliti dan menelaah kehidupan beragama pada seseorang dan mempelajari besar pengaruhnya keyakinan agama itu dalam sikap dan tingkah laku serta keadaan hidup pada umumnya. Disamping itu, psikologi agama juga mempelajari pertumbuhan dan perkembangan jiwa agama pada seseorang, serta faktor-faktor yang mempengaruhi keyakinan tersebut (Zakiyah Daradjat, 1970:11).

Psikologi agama dengan demikian merupakan cabang psikologi yang meneliti dan mempelajari tingkah laku manusia dalam hubungan dengan pengaruh keyakinan terhadap agama yang dianutnya serta dalam kaitannya dengan perkembangan usia masing-masing. Upaya untuk mempelajari tingkah laku keagamaan tersebut dilakukan melalui pendekatan psikologi. Jadi penelaahan tersebut merupakan kajian empiris.

Sumber :
Jalaluddin, H. 2010. Psikologi Agama. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.            

Kisah Mata Air Keabadian

Kisah ini diriwayatkan oleh Ats-Tsa’labi dari Imam Ali ra. Pada zaman dahulu hiduplah seorang hamba Allah SWT yang melebihkan kepada d...