Rabu, 26 September 2012

Problema Pendidikan Umat Islam Kontemporer


1. Pendahuluan

Masalah pendidikan tidak akan pernah selesai untuk dibicarakan, karena soal ini akan selalu terkait dengan kontekstualitas kehidupan umat manusia sepanjang zaman. Setiap perkembangan peradaban manusia sudah barang tentu selalu diikuti oleh berbagai dimensi kehidupan manusia itu sendiri, termasuk di dalamnya dimensi pendidikan. Berbagai pemikiran telah dikembangkan oleh para pakar tentang hakikat, makna, dan tujuan pendidikan.

2. Pendidikan sebagai Kegiatan dan Pendidikan sebagai Fenomena

Dalam perspektif lain, pendidikan juga dapat diartikan sebagai kegiatan dan sebagai fenomena. Sebagai kegiatan, pendidikan adalah setiap upaya yang secara sadar dirancang untuk membantu seseorang atau sekelompok orang mengembangkan suatu pandangan hidup, sikap hidup, atau keterampilan hidup. Sebagai fenomena, pendidikan adalah suatu perjumpaan antara dua orang atau lebih yang berdampak pada berkembangnya suatu pandangan hidup atau sikap hidup atas salah satu atau beberapa pihak. Jadi, pendidikan dapat diartikan sebagai suatu upaya yang dilakukan secara sadar, juga dapat berarti suatu peristiwa. Kalau berupa sebuah upaya, ia disebut pendidikan formal atau pendidikan nonformal, sedangkan kalau berupa peristiwa, ia disebut pendidikan informal

Dalam khazanah keilmuan, dikenal dua istilah yang cukup populer, yaitu pendidikan dan pengajaran. Umumnya, para pemerhati ilmu menyatakan bahwa pendidikan lebih menekankan aspek dalam  dari kedirian manusia. Adapun pengajaran lebih banyak bersentuhan dengan aspek luar. Dengan perkataan lain, bila pendidikan berkaitan erat dengan dimensi rohani, maka pengajaran lebih banyak berbicara tentang sarana dan prasarana dalam upaya memanusiakan manusia. 

Dalam kenyataannya, dunia pendidikan atau keilmuan kita lebih banyak memusatkan perhatiannya pada dimensi pengajaran, terutama yang menyangkut dengan administrasi dan kurikulum pengajaran. Adapun aspek mendasar dari sistem pendidikan itu sendiri, yakni upaya melahirkan manusia yang cerdas, terampil dan memiliki akhlak mulia, agak terabaikan. Oleh karena itu, kata Syafii Maarif, tidaklah heran apabila dunia pendidikan kita sekarang ini sedang diombang-ambingkan oleh tarikan gelombang materialisme dan ateisme yang kasar dan ganas (Maarif, 1999).

3. Pendidikan Barat versus Pendidikan Islam

Munculnya gejala mengabaikan dimensi pendidikan, dalam arti akhlak mulia, di negara kita disebabkan beberapa hal. Pertama, landasan pendidikan kita lebih mengacu pada filsafat materialisme dan positivisme sehingga hasil pendidikan lebih dilihat dan dinilai dari aspek materi dan lahiriah saja. Kedua, dasar filosofi pendidikan kita telah menyimpang dari jiwa kemanusiaan yang hakiki. Proses dan hasil pendidikan tidak banyak menampakkan wajah kemanusiaannya, tetapi justru sebaliknya, yang muncul adalah perilaku-perilaku yang menyerupai serigala, yaitu yang kuat memangsa yang lemah. Ketiga, kuatnya intervensi negara dalam dunia pendidikan sehingga banyak mereduksi ruang-ruang kreativitas dan imajinasi kemanusiaan. Akibatnya, produk pendidikan lebih banyak melahirkan manusia-manusia robot dan mekanis ketimbang manusia yang imajinatif, kreatif, dan berbudaya.

Umat Islam yang mengaku mengimani Al-Quran, tapi mayoritas mereka masih tertinggal di Dunia Ketiga dengan segala keterbelakangan, kemiskinan, dan kebodohan itu, tampaknya masih terlalu jauh untuk dapat ditampilkan sebagai pencipta dan pembawa obor peradaban baru yang segar, yang mungkin menjadi alternatif  bagi umat manusia. Kita mungkin sepakat bahwa peradaban yang akan datang itu haruslah sebuah peradaban yang ramah, yang menempatkan fitrah manusia pada posisi yang wajar, tidak pada posisi yang tanpa daya, dan tidak pula pada posisi yang congkak antroposentrik, yaitu tipe manusia yang dihasilkan oleh peradaban renaissance Eropa. Dalam peradaban Barat (renaissance Eropa), pola pikir dan nalar telah mendominasi dunia pendidikan, sementara pola zikir dan cinta (hubb) menjadi sangat telantar. Manusia fikir dan nalar memang telah berhasil menaklukan alam secara spektakuler, tetapi ia semakin kehilangan orientasi spritual. Pada abad modern, peradaban renaissance Eropa telah melahirkan orang-orang seperti Nietzsche, Bertrand Russell, Sartre, dan lain-lain.

4. Pendidikan Memanusiakan Manusia

Diskusi mengenai fenomena kemanusiaan dan pemanusiaan tidak dapat terhindar dari pembicaraan mengenai pendidikan, baik dalam makna persekolahan, pendidikan nonformal, maupun pendidikan sebagai jaringan-jaringan kemasyarakatan. Definisi umum mengatakan bahwa pendidikan merupakan proses pemanusiaan menuju lahirnya insan yang bernilai kemanusiaan. Agenda utama pendidikan adalah proses memanusiakan manusia menjadi manusia. Proses inilah yang disebut dengan pemanusiaan, yaitu proses membentuk manusia menjadi insan sejati. 

Memanusiakan manusia merupakan agenda utama pendidikan dan tujuan paling dasar dari perbuatan mendidik. Proses pendidikan mengandung makna adanya subjek dewasa yang menciptakan wacana bagi yang belum dewasa untuk keluar dari situasi ketidakdewasaan. Proses mengangkat subjek didik keluar dari situasi itu hanya akan berhasil, manakala para pendidik memiliki pengetahuan dasar mengenai citra dan pemuliaan manusia. Jika para pendidik memiliki citra dan citarasa mendalam mengenai manusia, maka mereka akan menjalankan proses pendidikan menuju pembentukan insan sejati.

5. Teori Taut dan Padan dalam Sistem Pendidikan Kita

Sebagai sebuah agenda proses kemanusiaan dan pemanusiaan, pendidikan dapat dipandang dari dua sisi, yaitu a) sebagai proses pendewasaan peserta didik untuk hidup pada alam demokrasi, dan b) sebagai wahana untuk memasuki sektor ekonomi produktif. Dikatakan oleh John Dewey bahwa agenda utama pendidikan  secara fungsional adalah membentuk komunitas-komunitas sosial yang ideal sebagai bagian dari proses transformasi pendewasaan peserta didik, apa pun bentuk dan seperti apa pun ragam pendidikan itu dikemas. Pemikiran John Dewey ini sangat bertolak belakang dengan sistem pendidikan yang dikembangkan di negara-negara Eropa Timur, yang menekankan pada konsep tata ekonomi berencana (planned economic order). Konsep ini mengatakan bahwa perencanaan pendidikan diupayakan taut dan padan (link and match) dengan perencanaan ekonomi, sehingga proses dan isi pendidikan dikendalikan oleh kebutuhan pasar kerja.

Memuncaknya angka pengangguran terdidik di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, bahkan juga di negara-negara maju, terutama sejak tahun 1980-an, membuat infrastruktur pendidikan harus ditata ulang dengan ancangan terpadu. Dalam hal ini, keterpaduan perencanaan pendidikan dengan perencanaan ketenagakerjaan nasional harus menjadi prioritas utama. Lembaga pendidikan juga harus menanamkan kepada peserta didik agar tidak terjebak pada tatanan pranata sosial dan ekonomi yang mapan, sehingga mereka secara kreatif dapat menciptakan lapangan kerja baru yang produktif. Dengan demikian, dapat terhindar dari peringatan Max Blaug (1970) bahwa pendidikan kekinian cukup potensial sebagai wahana meningkatkan angka pengangguran, mengingat makin banyaknya masyarakat terdidik yang tercabut dari akar kulturalnya (Danim, 2003). Dalam hal ini, struktur dan mekanisme praktik pendidikan di negara kita telah menghasilkan suatu sistem pendidikan yang tidak sensitif  terhadap ide-ide baru dan perkembangan masyarakat, khususnya perkembangan dunia kerja (Zamroni, 2000).

6. Empat Kelemahan Mendasar dalam Sistem Pendidikan Kita

Setidak-tidaknya ada empat kelemahan mendasar dunia pendidikan kita di Indonesia. Pertama, bidang manajemen dan ketatalaksanaan sekolah, termasuk perguruan tinggi. Kelemahan ini mencakup dimensi proses dan substansi. Pada tataran proses, seperti perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi belum dilakukan dengan prosedur kerja yang ketat. Pada tataran substansi, seperti personalia, keuangan, sarana dan prasarana, instrumen pembelajaran, layanan bantu, layanan perpustakaan, dan sebagainya, tidak hanya substansinya belum komprehensif, melainkan kriteria keberhasilan untuk masing-masing unsurnya juga belum ditetapkan secara taat asas. Kemampuan pendekatan proses operasional menuju capaian substantif sering mengalami hambatan, karena masalah perilaku birokrasi, apatisme, disiplin rendah, biaya yang kurang, instrumen pendukung yang tidak valid, sifat kompetitif yang belum tumbuh, dan dukungan masyarakat yang rendah. 

Kedua, komitmen pemerintah Indonesia yang lama dalam mengalokasikan dana pendidikan dinilai belum memadai. Mudah-mudahan pemerintahan baru sekarang ini, secara bertahap, akan menaikkan anggaran pendidikan dalam APBN menuju angka ideal 20 %. Ketiga, masalah kultural yang muncul pada dunia pendidikan kita adalah reformasi pendidikan akan sangat ditentukan oleh masyarakat pendidikan yang ada di lembaga pendidikan tersebut. Biasanya dalam lembaga pendidikan mana pun terdapat tiga kelompok yang berbeda : pertama adalah kelompok antusias, kedua adalah kelompok apatis, dan ketiga adalah kelompok status quo. Dalam reformasi pendidikan di tingkat mana pun, ketiga kelompok ini akan selalu ada. 

Keempat, faktor geografis yang menjadi kendala dalam mobilitas tenaga edukatif, kerjasama kelembagaan, kedekatan dengan sumber informasi, jaringan teknologi informasi, dan sebagainya. Faktor geografis inilah yang menyebabkan sulitnya menyusun kebijakan pendidikan yang bermutu, karena peserta didik menyebar mulai dari Jakarta hingga Lembah Baliem di Irian dan Suku Kubu di Jambi (Danim, 2003).

7. Basis Pendidikan Menuju Masa Depan
Dilihat dari aspek ekonomi, format dasar pemanusiawian pendidikan adalah terpenuhinya keunggulan akademik, keterampilan vokasional, dan keunggulan pribadi sebagai wirausaha yang fungsional bagi kehidupan lulusan. Dengan format dasar ini, kehadiran praksis pendidikan yang manusiawi akan menggeser paradigma kinerja sekolah dari back to basics ke forward to future basics. Paradigma ini menekankan pada lima titik tekan utama dalam memanusiawikan pendidikan, yaitu a) bagaimana berpikir (how to think), b) bagaimana belajar (how to learn), c) bagaimana menjadi manusia (how to be), d) bagaimana berkreasi (how to create), dan e) bagaimana menjalani kehidupan bersama (how to living together)

Jadi, praksis pendidikan yang manusiawi amat sarat dengan muatan demokrasi pendidikan, sehingga ia menjadi semacam pendidikan alternatif. Pendidikan model ini diorganisasikan dengan pola pendidikan yang kurikulumnya bersifat desentralistik, yaitu peserta didik dapat memilih materi pembelajaran sesuai dengan minatnya. Selain itu, materi yang disajikan harus sesuai dengan kebutuhan dan lingkungan, biayanya murah, sederhana, luwes birokrasinya, dan menempatkan peserta didik sebagai subjek. Inti demokrasi pendidikan adalah menempatkan manusia pada spektrum keberagaman, bukan keseragaman, baik potensi vokasional maupun bakatnya.
Sumber :

Peran dan Tanggung Jawab Masyarakat dan Pemerintah dalam Pendidikan



    A.    Peran dan Tanggung Jawab Masyarakat dalam Pendidikan Menurut Islam
                 Dalam perspektif Islam, peranan dan tanggung jawab pendidikan oleh masyarakat juga merupakan sebuah keharusan. Masyarakat Islam menjunjung nilai-nilai di antaranya adalah nilai ketuhanan, persaudaraan, keadilan, amar ma`ruf nahi munkar, dan solidaritas. Sebagaimana dinyatakan dalam Al Qur`an,

Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara…”(QS. Al Hujurat 10). 

                 Dari ayat tersebut amat jelas bahwa Islam menjunjung nilai persaudaraan, dimana ada unsur saling mengingatkan, memberi contoh, agar tercipta lingkungan madani. Oleh karena itu, jelaslah bahwa Islam juga memandang bahwa sebuah masyarakat yang dijiwai nilai-nilai Islam harus berperan dan bertanggung jawab dalam penyelenggaraan pendidikan.

                 Masyarakat turut serta memikul tanggung jawab pendidikan yang secara sederhana dapat diartikan sebagai kumpulan individu dan kelompok yang diikat oleh kesatuan Negara, kebudayaan dan agama. Setiap masyarakat mempunyai cita-cita,peraturan-peraturan dan system kekuasaan tertentu.Masyarakat , besar pengaruhnya dalam memberi arah terhadap pendidikan anak, terutama para pemimpin masyarakat atau peguasa yang ada didalamnya. Pemimimpin masyarakat musilim tentu saja meghendaki agar setiap anak didik menjadi anggota yang taat dan patuh menjalankan agamanya, baik dalam lingkungan keluarganya, anggota sepermainannya, kelompok kelasnya dan sekolahnya. Bila anak telah besar diharapkan menjadi anggota yang baik pula sebagai warga desa,kota, dan warga Negara.

                 Dengan demikian, dipundak mereka (masyarakat) terpikul keikitsertaan membimbing pertumbuhan dan perkembangan anak. Ini berarti bahwa pemimpin dan penguasa dari masyarakat ikut bertanggung jawab terhadap penyalenggaraan pendidikan. Sebab tanggung jawab pendidikan pada hakikatnya merupakan tanggug jawab moral dari setiap orang dawasa baik segi perseorangan maupun sebagai kelompok social. Tanggung jawab ini ditinjau dari segi ajara islam, secara implicit mengandung pula tanggung jawab pendidikan.Sebetulnya banyak sekali jenis-jenis dukungan masyarakat pada sekolah. Namun sampai sekarang dukungan tersebut lebih banyak pada bidang fisik dan materi, seperti membantu pembangunan gedung, merehab sekolah, memperbaiki genting, dan lain sebagainya. Masyarakat juga dapat membantu dalam bidang teknis edukatif antara lain menjadi guru bantu, sumber informasi lain, guru pengganti, mengajar kebudayaan setempat, ketrampilan tertentu, atau sebagai pengajar tradisi tertentu. Namun demikian, hal tersebut belumlah terwujud karena berbagai alasan.

                 Pada dasarnya masyarakat baik yang mampu maupun yang tidak mampu, golongan atas, menengah maupun yang bawah, memiliki potensi yang sama dalam membantu sekolah yang memberikan pembelajaran bagi anak-anak mereka. Akan tetapi hal ini bergantung pada bagaimana cara sekolah mendekati masyarakat tersebut. Oleh karena itu, sekolah harus memahami cara mendorong peran serta masyarakat agar mereka mau membantu sekolah. Tiga hal antara lain; pentingnya peran serta masyarakat utamanya peran stakeholder bagi pengembangan madrasah; jenis-jenis peran serta masyarakat, serta cara mendorong peran serta masyarakat. Dari sini diharapkan muncul pokok-pokok gagasan setelah melalui proses diskusi dan simulasi yang mencakup munculnya identifikasi stakeholder (kelompok masyarakat) dalam dalam membantu pendidikan; terinventarisasinya jenis-jenis PSM serta teridentifikasinya beberapa cara mendorong peran serta masyarakat.

     B.     Peran dan Tanggung Jawab Pemerintah dalam Pendidikan menurut Islam
                 Pendidikan adalah tanggungjawab bersama antara pemerintah, orangtua, dan masyarakat. Tanpa dukungan masyarakat, pendidikan tidak akan berhasil dengan maksimal. Sekarang hampir semua sekolah telah mempunyai komite sekolah yang merupakan wakil masyarakat dalam membantu sekolah, sebab masyarakat dari berbagai lapisan sosial ekonomi sudah sadar betapa pentingnya dukungan mereka untuk keberhasilan pembelajaran di sekolah.

                 Undang-undang BHP bisa menjadi landasan bagi pemerintah untuk melepaskan diri dari tanggung jawabnya terhadap pembiayaan pendidikan. Sebagaimana diatur dalam UU tersebut lembaga pendidikan yang berstatus badan hukum pendidikan (BHP) harus menanggung seluruh biaya operasional sendiri tanpa subsidi dari negara. UU BHP ini dibuat hanya untuk mengalihkan tanggung jawab pemerintah dari besarnya biaya pendidikan. Ditambahkan, dengan berlakunya UU No 9/2009 tentang Badan Hukum Pendidikan, potensi meningkatnya biaya pendidikan yang harus ditanggung orang tua dan peserta didik cukup terbuka. Pasalnya, dalam pasal 41 ayat 7 disebutkan bahwa peserta didik yang ikut menanggung biaya penyelenggaraan pendidikan harus menanggung biaya tersebut sesuai dengan kemampuan peserta didik, orang tua atau pihak yang bertanggung jawab membiayainya. UU BHP juga mengatur pembatasan kuota bagi pelajar berprestasi yang berhak memperoleh beasiswa pendidikan, yakni sebesar 20% dari total jumlah peserta didik pada sebuah lembaga pendidikan yang berstatus badan hukum. “Pemerintah memang tidak melepas (tanggung jawabnya) langsung, namun bantuan yang diberikan hanya untuk kuota 20%, diluar kota itu pemerintah tidak bertanggung jawab atas pendidikan rakyatnya”.[1]


[1] http://www.jebidal.com/01/2012/peran-penting-keluarga-masyarakat-dan-pemerintah-dalam-program-pendidikan/

Kedudukan dan Peranan Guru dalam Pandangan Islam



            A.    Pengertian dan Fungsi Guru dalam Pendidikan
          Secara etimologis, guru sering disebut pendidik. Dalam bahasa arab, ada beberapa kata yang menunjukan profesi ini seperti, mudarris, mua’allim, murabbi dan mu’addib, yang meski memiliki makna yang sama, namun masing-masing mempunyai karakteristik  yang berbeda. Disamping kata-kata tersebut, juga sering digunakan kata ustadz atau syaikh. Penyebutan ini tidak terlepas dari rekomendasi Konferensi Pendidikan Internasional di Makkah pada tahun 1977, yang antara lain merekomendaikan bahwa pengertian pendidikan mencakup tiga pengertian, yaitu tarbiyah, ta’lim dan ta’dib. Maka pengertian guru atau pendidik mencakup murabbi, mu’allim dan mu’addib. (Muhaimin dan Abdul Mujib, 1993: 164).

                      Pengertian Murabbi mengisyaratkan bahwa guru adalah orang yang memiliki sifat rabbani, artinya orang yang bijaksana, bertanggungjawab, berkasih sayang terhadap siswa dan mempunyai pengetahuan tentang rabb. Dalam pengertian mu’allim, ia mengandung arti bahwa guru adalah orang berilmu yang tidak hanya menguasai ilmu secara teoretik tetapi mempunyai komitmen yang tinggi dalam mengembangkan ilmu yang dimilikinya. Sedangkan dalam konsep ta’dib, terkandung pengertian integrasi antara ilmu dan amal sekaligus (Muhaimin dan Abdul Mujib, 1993: 164)

                    Secara terminologi, guru sering diartikan sebagai orang yang bertanggungjawab terhadap perkembangan siswa dengan mengupayakan perkembangan seluruh potensi (fithrah) siswa, baik potensi kignitif, potensi apektif, maupun potensi psikomotorik (Ramayulis, 2004: 86). Guru juga berarti orang dewasa yang bertanggung jawab memberikan pertolongan pada siswa dalam perkembangan jasmani dan rohaninya agar mencapai tingkat kedewasaan, mampu berdiri sendiri memenuhi tugasnya sebagai hamba (‘abd) dan khalifah Allah (khalifatullah) dan mampu sebagai makhluk sosial dan sebagai makhluk individual yang mandiri (Ahmad Zayadi, 2005: 25).[1]

          Peran dan fungsi yang cukup berat untuk diemban ini tentu saja membutuhkan sosok seorang guru atau pendidik yang utuh dan tahu dengan kewajiban dan tanggung jawab sebagai seorang pendidik. Pendidik itu harus mengenal Allah dalam arti yang luas dan Rasul serta memahami risalah yang dibawanya serta mengamalkannya.Fungsi pendidik :

1.      Sebagai pengajar (instruksional) yang bertugas merencanakan program pengjaran dan melaksnakan program yang telah disusun dan penialain setelah program itu dilaksnakan
2.      Sebagai pendidik (edukator) yang mengarahkan peserta didik pada tingkat kedewasaan yang berkepribadian insan kamil,  seiring dengan tujuan Allah menciptakan manusia
3.      Sebagai pemimpin (managerial) yang memimpin dan mengendalikan diri sendiri, peserta didik dan masyarakat yang terkait. Menyangkut upaya pengarhan, pengawasan, pengorganisasian, pengontrolan, partisipasi atas program yang dilakukan itu.[2]

     B.     Kedudukan dan Fungsi Guru Menurut Ajaran Islam
                 Agama islam memposisikan guru atau pendidik pada kedudukan yang mulia. Para pendidik diposisikan sebagai bapak ruhani (spiritual father) bagi anak didiknya. Ia memberikan santapan ruhani dengan ilmu dan pembinaan akhlak mulia (al-akhlaq al-karimah) dan meluruskannya. Oleh karena itu, pendidik mempunyai kedudukan yang sangat tinggi, bahkan tinta seorang alim (guru) lebih berharga dari pada darah para syuhada. Keutamaan seorang guru atau pendidik disebabkan oleh tugas mulia yang diembannya. Tugas yang diemban guru (dalam ajaran islam) hampir sama dengan tugas seorang Rasul. Hal ini, misalnya, tertera dalam sebuah syair karya Syauqi: Berdiri dan hormatilah guru dan berdirilah penghargaan, seorang guru itu hampir saja merupakan seorang Raasul (Al-Abrasy, 1987: 135).

                 Dari pandangan itu, dipahami bahwa tugas guru merupakan pewaris Nabi (warasat al-anbiya), yang pada hakikatnya mengemban misi rahmatan lil ‘alamin(membawa rahmat bagi seluruh alam), yakni suatu misi yang mengajak manusia untuk tunduk dan patuh pada hukum-hukum Allah guna memperoleh keselamatan dunia dan akhirat. Kemudian misi ini dikembangkan kepada pembentukan kepribadian yang berjiwa tauhid, kreatif, beramal sholeh dan bermoral tinggi.

                 Untuk melaksnakan tugas sebagai warasat al-anbiya , gur hendaklah bertolak pada amar ma’ruf (memerintah kepada yang baik) yang diimbangi dengan nahi an al-munkar (mencegah kemunkaran/kejelekan), menjadikan prinsip tauhid sebagai pusat kegiatan penyebaran misi Iman, Islam dan Ihsan. Dengan demikian, menurut Al-ghazali, tugas utama guru adalah menyempurnakan, membersihkan dan menyucikan hati manusia untuk mendekatkan diri kepada Allah. Sejalan dengan pendapat ini, An-Nahlawi mengatakan bahwa ada dua tugas utama guru, yaitu pertama, fungsi penyucian, yakni berfungsi sebagai pembersih, pemelihara dan pengembang fitrah manusia. Kedua, fungsi pengajaran, yakni menginternalisasikan kepada manusia.

     C.     Kompetensi Guru Menurut Ajaran Islam
                 Dalam Undang- Undang nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, dinyatakan bahwa guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan ruhani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Kualifikasi pendidik pada satuan pendidikan dasar dan menengah sekurang-kurangnya strata satu (S1) atau diploma empat (D IV). Kemudian, dalam ayat 10 dinyatakan bahwa kompetensi guru adalah seperangkat pengetahuan, keterampilan dan perilaku yang harus dimiliki, dihayati, dan dikuasai oleh guru dalam melaksanakan tugas keprofesionalan. Kompetensi guru meliputi:

a.       Kompetensi pedagogik adalah kemampuan mengelola pembelajaran peserta didik yang meliputi, pemahaman, evaluasi hasil belajar dan pengembangan siswa untuk mengaktualisasikan potensi yang dimilikinya.
b.      Kompetensi kepribadi adalah kemampuan kepribadian yang mantap, stabil dan dewasa, arif dan berwibawa, menjadi teladan bagi siswa dan berakhlak mulia.
c.       Kompetensi profesional adalah kemampuan penguasaan materi pembelajaran secara lua dan mendalam yang memungkinkan membimbing siswa memenuhi standar kompetensi yang ditetapkan dalam SNP.
d.      Kompetensi sosial adalah kemampuan pendidik sebagai bagian dari masyarakat untuk berkomnukasi dan bergaul secara efektif dengan siswa, sesama pendidik, tenaga kependidikan, orangtua/wali dan masyarakat sekitar.


[1] Chaerul Rochman dan Heri Gunawan, Pengembangan Kompetensi Kepribadian Guru, (Bandung:  Nuansa Cendekia, 2011) Cet. Ke-I , h. 23-24
[2] Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2010) Cet.Ke-8, h. 63

Kisah Mata Air Keabadian

Kisah ini diriwayatkan oleh Ats-Tsa’labi dari Imam Ali ra. Pada zaman dahulu hiduplah seorang hamba Allah SWT yang melebihkan kepada d...