1. Pendahuluan
Masalah pendidikan tidak
akan pernah selesai untuk dibicarakan, karena soal ini akan selalu terkait
dengan kontekstualitas kehidupan umat manusia sepanjang zaman. Setiap
perkembangan peradaban manusia sudah barang tentu selalu diikuti oleh berbagai
dimensi kehidupan manusia itu sendiri, termasuk di dalamnya dimensi pendidikan.
Berbagai pemikiran telah dikembangkan oleh para pakar tentang hakikat, makna,
dan tujuan pendidikan.
2. Pendidikan sebagai Kegiatan dan Pendidikan sebagai Fenomena
Dalam perspektif lain,
pendidikan juga dapat diartikan sebagai kegiatan dan sebagai fenomena. Sebagai
kegiatan, pendidikan adalah setiap upaya yang secara sadar dirancang untuk
membantu seseorang atau sekelompok orang mengembangkan suatu pandangan hidup,
sikap hidup, atau keterampilan hidup. Sebagai fenomena, pendidikan adalah suatu
perjumpaan antara dua orang atau lebih yang berdampak pada berkembangnya suatu
pandangan hidup atau sikap hidup atas salah satu atau beberapa pihak. Jadi,
pendidikan dapat diartikan sebagai suatu upaya yang dilakukan secara sadar,
juga dapat berarti suatu peristiwa. Kalau berupa sebuah upaya, ia disebut pendidikan
formal atau pendidikan nonformal, sedangkan kalau berupa peristiwa,
ia disebut pendidikan informal.
Dalam khazanah
keilmuan, dikenal dua istilah yang cukup populer, yaitu pendidikan dan
pengajaran. Umumnya, para pemerhati ilmu menyatakan bahwa pendidikan lebih
menekankan aspek dalam dari kedirian manusia. Adapun pengajaran
lebih banyak bersentuhan dengan aspek luar. Dengan perkataan lain, bila
pendidikan berkaitan erat dengan dimensi rohani, maka pengajaran lebih banyak
berbicara tentang sarana dan prasarana dalam upaya memanusiakan manusia.
Dalam kenyataannya,
dunia pendidikan atau keilmuan kita lebih banyak memusatkan perhatiannya pada
dimensi pengajaran, terutama yang menyangkut dengan administrasi dan kurikulum
pengajaran. Adapun aspek mendasar dari sistem pendidikan itu sendiri, yakni
upaya melahirkan manusia yang cerdas, terampil dan memiliki akhlak mulia, agak
terabaikan. Oleh karena itu, kata Syafii Maarif, tidaklah heran apabila dunia
pendidikan kita sekarang ini sedang diombang-ambingkan oleh tarikan gelombang
materialisme dan ateisme yang kasar dan ganas (Maarif, 1999).
3. Pendidikan Barat versus Pendidikan Islam
Munculnya gejala
mengabaikan dimensi pendidikan, dalam arti akhlak mulia, di negara kita
disebabkan beberapa hal. Pertama, landasan pendidikan kita lebih mengacu
pada filsafat materialisme dan positivisme sehingga hasil pendidikan lebih
dilihat dan dinilai dari aspek materi dan lahiriah saja. Kedua, dasar
filosofi pendidikan kita telah menyimpang dari jiwa kemanusiaan yang hakiki.
Proses dan hasil pendidikan tidak banyak menampakkan wajah kemanusiaannya,
tetapi justru sebaliknya, yang muncul adalah perilaku-perilaku yang menyerupai
serigala, yaitu yang kuat memangsa yang lemah. Ketiga, kuatnya
intervensi negara dalam dunia pendidikan sehingga banyak mereduksi ruang-ruang
kreativitas dan imajinasi kemanusiaan. Akibatnya, produk pendidikan lebih
banyak melahirkan manusia-manusia robot dan mekanis ketimbang manusia yang
imajinatif, kreatif, dan berbudaya.
Umat Islam yang mengaku
mengimani Al-Quran, tapi mayoritas mereka masih tertinggal di Dunia Ketiga
dengan segala keterbelakangan, kemiskinan, dan kebodohan itu, tampaknya masih
terlalu jauh untuk dapat ditampilkan sebagai pencipta dan pembawa obor
peradaban baru yang segar, yang mungkin menjadi alternatif bagi umat
manusia. Kita mungkin sepakat bahwa peradaban yang akan datang itu haruslah
sebuah peradaban yang ramah, yang menempatkan fitrah manusia pada posisi yang
wajar, tidak pada posisi yang tanpa daya, dan tidak pula pada posisi yang
congkak antroposentrik, yaitu tipe manusia yang dihasilkan oleh peradaban renaissance
Eropa. Dalam peradaban Barat (renaissance Eropa), pola pikir dan nalar
telah mendominasi dunia pendidikan, sementara pola zikir dan cinta (hubb)
menjadi sangat telantar. Manusia fikir dan nalar memang telah berhasil
menaklukan alam secara spektakuler, tetapi ia semakin kehilangan orientasi
spritual. Pada abad modern, peradaban renaissance Eropa telah melahirkan
orang-orang seperti Nietzsche, Bertrand Russell, Sartre, dan lain-lain.
4. Pendidikan Memanusiakan Manusia
Diskusi mengenai
fenomena kemanusiaan dan pemanusiaan tidak dapat terhindar dari pembicaraan
mengenai pendidikan, baik dalam makna persekolahan, pendidikan nonformal,
maupun pendidikan sebagai jaringan-jaringan kemasyarakatan. Definisi umum
mengatakan bahwa pendidikan merupakan proses pemanusiaan menuju lahirnya insan
yang bernilai kemanusiaan. Agenda utama pendidikan adalah proses memanusiakan
manusia menjadi manusia. Proses inilah yang disebut dengan pemanusiaan, yaitu
proses membentuk manusia menjadi insan sejati.
Memanusiakan manusia
merupakan agenda utama pendidikan dan tujuan paling dasar dari perbuatan
mendidik. Proses pendidikan mengandung makna adanya subjek dewasa yang
menciptakan wacana bagi yang belum dewasa untuk keluar dari situasi
ketidakdewasaan. Proses mengangkat subjek didik keluar dari situasi itu hanya
akan berhasil, manakala para pendidik memiliki pengetahuan dasar mengenai citra
dan pemuliaan manusia. Jika para pendidik memiliki citra dan citarasa mendalam
mengenai manusia, maka mereka akan menjalankan proses pendidikan menuju
pembentukan insan sejati.
5. Teori Taut dan Padan dalam Sistem Pendidikan Kita
Sebagai sebuah agenda
proses kemanusiaan dan pemanusiaan, pendidikan dapat dipandang dari dua sisi,
yaitu a) sebagai proses pendewasaan peserta didik untuk hidup pada alam
demokrasi, dan b) sebagai wahana untuk memasuki sektor ekonomi produktif. Dikatakan
oleh John Dewey bahwa agenda utama pendidikan secara fungsional adalah
membentuk komunitas-komunitas sosial yang ideal sebagai bagian dari proses
transformasi pendewasaan peserta didik, apa pun bentuk dan seperti apa pun
ragam pendidikan itu dikemas. Pemikiran John Dewey ini sangat bertolak belakang
dengan sistem pendidikan yang dikembangkan di negara-negara Eropa Timur, yang
menekankan pada konsep tata ekonomi berencana (planned economic order).
Konsep ini mengatakan bahwa perencanaan pendidikan diupayakan taut dan padan (link
and match) dengan perencanaan ekonomi, sehingga proses dan isi
pendidikan dikendalikan oleh kebutuhan pasar kerja.
Memuncaknya angka
pengangguran terdidik di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, bahkan
juga di negara-negara maju, terutama sejak tahun 1980-an, membuat infrastruktur
pendidikan harus ditata ulang dengan ancangan terpadu. Dalam hal ini,
keterpaduan perencanaan pendidikan dengan perencanaan ketenagakerjaan nasional
harus menjadi prioritas utama. Lembaga pendidikan juga harus menanamkan kepada
peserta didik agar tidak terjebak pada tatanan pranata sosial dan ekonomi yang
mapan, sehingga mereka secara kreatif dapat menciptakan lapangan kerja baru
yang produktif. Dengan demikian, dapat terhindar dari peringatan Max Blaug
(1970) bahwa pendidikan kekinian cukup potensial sebagai wahana meningkatkan
angka pengangguran, mengingat makin banyaknya masyarakat terdidik yang tercabut
dari akar kulturalnya (Danim, 2003). Dalam hal ini, struktur dan mekanisme
praktik pendidikan di negara kita telah menghasilkan suatu sistem pendidikan
yang tidak sensitif terhadap ide-ide baru dan perkembangan masyarakat,
khususnya perkembangan dunia kerja (Zamroni, 2000).
6. Empat Kelemahan Mendasar dalam Sistem Pendidikan Kita
Setidak-tidaknya ada
empat kelemahan mendasar dunia pendidikan kita di Indonesia. Pertama,
bidang manajemen dan ketatalaksanaan sekolah, termasuk perguruan tinggi.
Kelemahan ini mencakup dimensi proses dan substansi. Pada tataran proses,
seperti perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi belum dilakukan dengan prosedur
kerja yang ketat. Pada tataran substansi, seperti personalia, keuangan, sarana
dan prasarana, instrumen pembelajaran, layanan bantu, layanan perpustakaan, dan
sebagainya, tidak hanya substansinya belum komprehensif, melainkan kriteria
keberhasilan untuk masing-masing unsurnya juga belum ditetapkan secara taat
asas. Kemampuan pendekatan proses operasional menuju capaian substantif sering
mengalami hambatan, karena masalah perilaku birokrasi, apatisme, disiplin
rendah, biaya yang kurang, instrumen pendukung yang tidak valid, sifat
kompetitif yang belum tumbuh, dan dukungan masyarakat yang rendah.
Kedua, komitmen
pemerintah Indonesia yang lama dalam mengalokasikan dana pendidikan dinilai
belum memadai. Mudah-mudahan pemerintahan baru sekarang ini, secara bertahap,
akan menaikkan anggaran pendidikan dalam APBN menuju angka ideal 20 %. Ketiga,
masalah kultural yang muncul pada dunia pendidikan kita adalah reformasi
pendidikan akan sangat ditentukan oleh masyarakat pendidikan yang ada di
lembaga pendidikan tersebut. Biasanya dalam lembaga pendidikan mana pun
terdapat tiga kelompok yang berbeda : pertama adalah kelompok antusias, kedua
adalah kelompok apatis, dan ketiga adalah kelompok status quo. Dalam
reformasi pendidikan di tingkat mana pun, ketiga kelompok ini akan selalu ada.
Keempat, faktor
geografis yang menjadi kendala dalam mobilitas tenaga edukatif, kerjasama
kelembagaan, kedekatan dengan sumber informasi, jaringan teknologi informasi,
dan sebagainya. Faktor geografis inilah yang menyebabkan sulitnya menyusun
kebijakan pendidikan yang bermutu, karena peserta didik menyebar mulai dari
Jakarta hingga Lembah Baliem di Irian dan Suku Kubu di Jambi (Danim, 2003).
7. Basis Pendidikan Menuju Masa Depan
Dilihat dari aspek
ekonomi, format dasar pemanusiawian pendidikan adalah terpenuhinya keunggulan
akademik, keterampilan vokasional, dan keunggulan pribadi sebagai wirausaha
yang fungsional bagi kehidupan lulusan. Dengan format dasar ini, kehadiran
praksis pendidikan yang manusiawi akan menggeser paradigma kinerja sekolah dari
back to basics ke forward to future basics. Paradigma ini
menekankan pada lima titik tekan utama dalam memanusiawikan pendidikan, yaitu
a) bagaimana berpikir (how to think), b) bagaimana belajar (how to
learn), c) bagaimana menjadi manusia (how to be), d) bagaimana
berkreasi (how to create), dan e) bagaimana menjalani kehidupan bersama (how
to living together).
Jadi, praksis
pendidikan yang manusiawi amat sarat dengan muatan demokrasi pendidikan, sehingga
ia menjadi semacam pendidikan alternatif. Pendidikan model ini diorganisasikan
dengan pola pendidikan yang kurikulumnya bersifat desentralistik, yaitu peserta
didik dapat memilih materi pembelajaran sesuai dengan minatnya. Selain itu,
materi yang disajikan harus sesuai dengan kebutuhan dan lingkungan, biayanya
murah, sederhana, luwes birokrasinya, dan menempatkan peserta didik sebagai
subjek. Inti demokrasi pendidikan adalah menempatkan manusia pada spektrum
keberagaman, bukan keseragaman, baik potensi vokasional maupun bakatnya.
Sumber :