Minggu, 01 Mei 2011

Karakteristik Perkembangan Sosial dan Kepribadian Setiap Fase

C.

1. Fase Kanak-kanak

Anak usia prasekolah merupakanfase perkembangan individu sekitar 2-6 tahun, ketika anak mulai memiliki kesadaran tentang dirinya sebagai pria atau wanita, dapat mengatur diri dalam buang air dan beberapa hal yang dianggap bernahaya (mencelakakan dirinya).

a. Perkembangan Sosial

Pada usia prasekolah (terutama mulai usia 4 tahun), perkembangan sosial anak sudah tampak jelas, karena mereka sudah mulai aktif berhubungan dengan teman sebayanya. Tanda-tanda perkembangan sosial pada tahap ini adalah :

1) Anak mulai mengetahui aturan-aturan, baik lingkungan keluarga maupun dalam lingkungan bermain.

2) Sedikit demi sedikit anak sudah mulai patuh pad peraturan.

3) Anak suah muli menyadari hak atau kepentingan orang lain.

4) Anak sudah m ulai dapat bermain bersama anak-anak lain atau teman sebayanya (peer group).

Perkembangan sosial anak sangat dipengaruhi oleh iklim sosio-psikologis keluarganya. Apabila lingkungan keluarga tercipta suasana yang harmonis, saling memperhatikan, saling membantu (bekerja sama) dalam menyelesaikan tugas-tugas keluarga atau anggota keluarga, terjalin komunikasi antar anggota keluarga, dan konsisten dalam melaksanakan aturan, maka anak akan memiliki kemampuan atau penyesuaian sosial dalam hubungan dengan orang lain.

Kematangan penyesuaian sosial anak akan sangat terbantu, apabila anak dimasukkan ke Taman Kanak-kanak. TK sebagai “jembatan bergaul” merupakan tempat yang memberikan peluang kepada anak untuk belajar memperluas pergaulan sosialnya, dan menaati peratura (kedisiplinan). TK dipandang mempunyai kontribusi yang baik bagi perkembangan sosial anak, karena alasan-alasan berikut.

1) Suasana TK sebagian masih seperti suasana keluarga.

2) Tata tertibnya masih longgar, tidak terlalu mengikat kebebasan anak.

3) Anak berkesempatan untuk aktif bergerak, bermain, dan riang gembira yang kesemuanya mempunyai nilai pedagogis.

4) Anak dapat mengenal dan bergaul dengan teman sebaya yang beragam (multi budaya), baik etnis, agama, dan budaya.

Untuk memfasilitasi perkembangan sosial anak, maka guru-guru TK hendaknya melakukan hal-hal berikut:

1) Membantu anak agar memahami alasan tentang diterapkannya aturan, seperti keharusan memelihara ketertiban di dalam kelas, dan larangan masuk atau keluar kelas saling mendahului.

2) Membantu anak untuk memahami, dan membiasakan mereka untuk memelihara persahabatan, kerja sama, saling membantu, dan saling menghargai/ menghormati.

b. Perkembangan Kepribadian

Masa ini lazim disebut masa Trotzalter, periode perlawanan atau masa krisis pertama. Krisis ini terjadi karena ada perubahan yang hebat dalam dirinya, yaitu dia mulai sadar akan Aku-nya, dia menyadari bahwa dirinya terpisah dari lingkungan atau orang lain, dia suka menyebut nama dirinya apabila berbicara dengan orang lain. Dengan kesadaran ini anak menemukan bahwa ada dua pihak yang berhadapan, yaitu (Aku-nya) dan orang lain (orangtua, saudara, guru, dan teman sebaya). Dia mulai menemukan bahwa tidak setiap keinginannya dipenuhi orang lain, memperhatikan kepentingannya. Pertentangan antara kemauan diri dan tujuan lingkungannya, dapat mengakibatkan ketegangan dalam diri anak, sehingga tidak jarang anak meresponsnya dengan sikap membandel atau keras kepala. Bagi usia anak, sikap membandel ini merupakan suatu kewajaran, karena perkembangan pribadi mereka sedang bergerak dari sikap dependen ke independen.

Pada masa ini, berkembang kesadaran dan kemampuan untuk memenuhi tuntutan dan tanggung jawab (Ambron, 1981). Oleh karena itu, agar tidak berkembang sikap membandel anak yang kurang terkontrol, pihak orangtua perlu menghadapinya secara bijaksana, penuh kasih sayang, dan tidak bersikap keras. Meskipun mereka mulai menampakkan keinginan untuk bebas (independen) dari tuntutan orangtua, namun pada dasarnya mereka masih sangat membutuhkan perawatan, asuhan, bimbingan, atau curahan kasih sayang orangtua (dependen).

Aspek-aspek perkembangan kepribadian anak itu meliputi hal-hal berikut:

1) Dependency and Self – Image

Konsep anak prasekolah tentang dirinya sulit dipahami dan dianalisis, karena keterampilan bahasanya belum jelas, dan pandangannya terhadap orang lain masih egosentris. Mereka memiliki sistem pandangan dan persepsi yang kompleks, tetapi belum dapat menyatakan. Perkembangan sikap “independensi” dan kepercayaan diri (self confidence) anak amat terkait dengan cara perlakuan orangtuanya. Sebagai orangtua, mereka memberikan perlindungan kepada anak dari sesuatu yang membahayakan, dan dari kefrustrasian. Gaya perlakuan orangtua kepada anak, ternyata sangat beragam, ada yang terlalu memanjakan, bersikap keras, penerimaan dan kasih sayang, dan acuh tak acuh (permisif). Masing-masing perlakuan itu cenderung memberikan dampak yang beragam bagi kepribadian anak.

Anak yang biasa dihukum karena palanggaran biasanya dengan tidak memberikan kasih sayang atau perhatian padanya, maka anak tersebut cenderung lebih dependen daripada anak yang diikuti keinginannya dengan pengasuhan yang penuh kasih sayang . anak yang kurang mendapat pengasuhan atau perhatian yang cukup dari orangtuanya di rumah, maka dia akan menuntut perhatian dari guru-guru pada saat dia sudah masuk TK.

Namun apabila/ perlindungan orangtua itu terlalu berlebihan (terlalu memanjakan) maka anak cenderung kurang bertanggung jawab dan kurang mandiri ( senan tiasa meminta bantuan kepada orang lain). Salah satu penelitian Braumrind (Ambron, 1981) menemukan bahwa anak yang orangtuanya memberikan pengasuhan atau perawatan yang penuh kehangatan dan pemahaman serta memberikan arahan atau tuntunan (pemberian tugas yang sesuai dengan umurnya), maka anak akan memiliki rasa percaya diri (self condifence), bersikap ramah, mempunyai tujuan yang jelas, dan mampu mengontrol (mengendalikan) diri. Sementara anak yang dikembangkan dalam keluarga yang memperturutkan semua keinginan anak dan bersikap permisif, cenderung mengembangkan pribadi anak yang kurang memiliki arah hidup yang jelas dan kurang percaya diri.

2) Initiative vs Guilt

Erik Erikson mengemukakan suatu teori bahwa anak prasekolah mengalami satu krisis perkembangan, karena mereka menjadi kurang dependen, dan mengalami konflik antara “initiatife dan guilt”. Anak berkembang, baik secara fisik maupun kemampuan intelektual serta berkembangnya rasa percaya diri untuk melakukan sesuatu. Mereka menjadi lebih mampu mengontrol lingkungan fisik sebagai mana dia mampu mengontrol tubuhnya. Anak mulai memehami bahwa orang lain memiliki perbedaan dengan dirinya, baik menyangkut persepsi maupun motivasi (keinginan). Dan mereka menyenangi kemampuan dirinya untuk melakukan sesuatu.

Perkembangan ini semua mendorong lahirnya apa yang disebut Erikson dengan initiative (inisiatif). Pada tahap ini, anak sudah siap dan berkeinginan untuk belajar dan bekerja sama dengan orang lain untuk mencapai tujuannya. Yang berbahaya pada tahap ini, adalah tidak tersalurkannya energi yang mendorong anak untuk aktif (dalam rangka memenuhi keinginannya), karena mengalami hambatan atau kegagalan, sehingga anak mengalami guilt (rasa bersalah). Perasaan bersalah ini berdampak kurang baik bagi perkembangan kepribadian anak, dia bisa menjadi nakal atau pendiam (kurang bergairah).

Faktor external yang mungkin menghambat perkembangan inisiatif anak, diantaranya (1) tuntutan kepada anak diluar kemampuannya, (2) sikap keras orangtua / guru dalam memperlakukan anak, (3) terlalu banyak larangan, dan (4) anak kurang mendapat dorongan atau peluang untuk berani mengungkapkan perasaanya, pendapatnya atau keinginannya.

2. Fase Anak

Pada masa ini mereka mulai sekolah dan kebanyakan anak-anak sudah mempelajari mengenai sesuatu yang berhubungan dengan manusia, serta mulai mempelajari berbagai keterampilan praktis. Relasi dengan keluarga dan teman sebaya terus memainkan peranan penting. Sekolah dan relasi dengan para guru menjadai aspek kehidupan anak yang semakin terstruktur.

a. Perkembangan Sosial

Maksud perkembangan sosial ini adalah pencapaian kematangan dalam hubungan sosial. Dapat juga dikatakan sebagai proses belajar untuk meyesuaikan diri dengan norma-norma kelompok, tadisi dan moral (agama). Perkembangan sosial pada anak-anak sekolah dasar ditandai dengan perluasan hubungan, disamping dengan keluarga juga dia mulai membentuk ikatan baru dengan teman sebaya (peer group) atau teman sekelas, sehingga ruang gerak hubungan sosialnya telah bertambah luas.

Pada usia ini, anak mulai memiliki kesanggupan menyesuaikan diri sendiri (egosentris) kepada sikap yang kooperatif (bekerja sama) atau sosiosentris (mau memperhatikan kepentingan orang lain). Anak dapat berminat terhadap kegiatan-kegiatan teman sebayanya dan bertambah kuat keinginannya untuk diterima menjadi anggota kelompok (gang), dia merasa tidak senang apabila tidak diterima dalam kelompoknya.

Berkat perkembangan sosial anak dapat menyesuaikan dirinya dengan kelompok teman sebaya maupun dengan lingkungan masyarakat sekitarnya. Dalam proses belajar di sekolah, kematangan perkembangan sosial ini dapat dimanfaatkan atau dimaknai dengan memberikan tugas-tugas kelompok, baik yang membutuhkan tenaga fisik (seperti, membersihkan kelas dan halaman sekolah), maupun tugas yang membutuhkan pikiran (seperti merencanakan kegiatan camping, membuat laporan study tour).

Tugas-tugas kelompok ini harus memberikan kesempatan kepada setiap peserta didik untuk menunjukan prestasinya, tetapi juga diarahkan untuk mencapai tujuan bersama. Dengan melaksanakan tugas kelompok, peserta didik dapat belajar tentang sikap dan kebiasaan dalam bekerja sama, saling menghormati, bertenggang rasa dan bertanggung jawab.

b. Perkembangan Kepribadian

Emosi merupakan salah satu aspek perkembangan yang melekat pada diri anak-anak. Kondisi emosi itu sendiri dapat diklasifikasikan menjadi dua jenis yaitu positif (misalnya, gembira) dan negatif (misalnya sedih). Konsep emosi cukup penting bila dikaitkan dengan fungsinya dalam hubungan interpersonal. Dalam hal ini, ekspresi emosi akan menjadi fasilitasi bagi seorang anak untuk dapat mengungkapkan perasaannya, perilakunya, serta keinginan-keinginannya. Pada hubungan antara anak dan orangtua, ekspresi emosi merupakan bahasa pertama kali dalam berkomunikasi. Seorang bayi telah mampu bereaksi terhadap ekspresi wajah dan nada suara orang tuanya.

Aspek lain dalam perkembangan kepribadian anak adalah pemahaman atau konsep diri. Pada masa kanak-kanak awal, anak biasanya memiliki pemahaman diri yang bersifat fisik ataupun aktivitas yang mereka lakukan. Ketika anak ditanya tentang siapa mereka, maka jawaban yang muncul biasanya berkisar pada ukuran tubuh atau aktivitas yang disenanginya. Konsep pemahaman diri ini menjadi lebih bersifat internal pada masa kanak-kanak menengah dan akhir. Anak-anak yang berada pada tingkat Sekolah Dasar telah mampu menyebutkan sifat-sifat psikologis dalam mendeskripsikan dirinya. Di samping itu, aspek sosial cukup memegang peranan besar dalam memahami konsep dirinya. Pada saat ini, anak mulai membandingkan keadaannya dengan keadaan orang-orang di sekelilingnya, terutama dengan teman sebayanya.

3. Fase Remaja

Fase remaja merupakan segmen perkembangan individu yang sangat penting, yang diawali dengan matangnya organ-organ fisik (seksual) sehingga mampu bereproduks. Menurut Konopka (Pikunas, 1976) masa remaja meliputi (a)remaja awal 12-15 tahun, (b)remaja madya 15-18 tahun, (c)remaja akhir 19-22 tahun. Sementara Salzman mengemukakan, bahwa remaja merupakan masa perkembangan sikap tergantung (dependence) terhadap orangtua ke arah kemandirian (independence), minat-minat seksual, perenungan diri dan perhatian terhadap nilai-nilai estetika dan isu-isu moral.

Adapun dalam budaya Amerika, periode remaja ini dipandang sebagai masa “Strom & Stress”, frustrasi dan , konflik dan krisis penyesuaian, mimpi dan melamun tentang cinta, dan perasaan teralineasi (tersisihkan) dari kehidupan sosial budaya orang dewasa (Lustin Pikunas, 1976).

a. Perkembangan Sosial

Pada masa remaja berkembang “social cognition”, yaitu kemapuan untuk memahami orang lain. Remaja memahami orang lain sebagai individu yang unik, baik menyangkut sifat-sifat pribadi, minat nilai-nilai maupun perasaannya. Pemahamannya ini, mendorong remaja untuk menjalin hubungan sosial yang lebih akrab dengan mereka (terutama teman sebaya), baik melalui jalinan persahabatan maupun percintaan (pacaran)

Dalam hubungan persahabatan, remaja memilih teman yang memiliki psikologis yang relatif sama dengan dirinya, baik menyangkut interes, sikap, nilai dan kepribadian.

Pada masa ini juga berkembang sikap “conformity”, yaitu kecenderungan untuk menyerah atau mengikuti opini, pendapat, nilai kebiasaan, kegemaran (hobby) atau keinginan orang lain (teman sebaya). Perkembangan sikap konformitas pada remaja dapat memberikan dampak yang positif maupun yang negatif bagi dirinya.

Apabila kelompok teman sebaya yang diikuti atau diimitasinya itu menampilkan sikap dan perilaku yang secara moral atau agama dapat dipertanggun jawabkan, seperti kelompok remaja yang taat beribadah, memilki budi pekerti yang luhur, rajin belajar dan aktif dalam kegiatan-kegiatan sosial, maka kemungkinan besar remaja tersebut akan menampilkan pribadinya yang baik. Sebaliknya, apabila kelompoknya itu menampilkan sikap dan prilaku malasuay atau melecehkan nilai-nilai moral, maka sangat dimungkinkan renaja akan menampilkan prilaku seperti kelompoknya tersebut. Contohnya, tidak sedikit remaja (terutama di kota-kota besar ) yang menjadi pengindap narkotika, ecstasy, shabu-shabu, minuman keras dan bahkan free sex, karena mereka bergaul dengan kelompok sebaya yang sudah biasa melakukan hal-hal tersebut.

Remaja sebagai bunga dan harapan bangsa serta peminpin di masa depan sangat diharapkan dapat mencapai perkembangan sosial secara matang, dalam arti dia memiliki penyesuaian sosial (social adjustment) yang tepat.

Penyesuaian sosial dapat diartikan sebagai “kemampuan untuk mereaksi secara tepat terhadap realitas sosial, situasi, dan relasi”. Remaja dituntut untuk memiliki kemampuan penyesuaian sosial ini, baik dalam lingkungan keluarga, sekolah dam masyarakat.

Karakterisik penyesuaian sosial remaja di tiga lingkungan tersebut adalah sebagai berikut.

1.) Di lingkungan keluarga

a) Menjalin hubungan yang baik dengan para anggota keluara (orangtua dan saudara).

b) Menerima otoritas orangtua (mau menaati peraturan yang di tetapkan orangtua).

c) Menerima tanggung jawab dan batasan-batasan (norma) keluarga.

d) Berusaha untuk membantu anggota keluarga, sebagai individu maupun kelompok dalam mencapai tujuannya.

2.) Di lingkungan sekolah

a) Bersikap respek dan mau menerima peraturan sekolah.

b) Berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan sekolah.

c) Menjalin persahabatan dengan teman-teman di sekolah.

d) Bersikap hormat terhadap guru, peminpin sekolah, dan staf lainnya.

e) Membantu sekolah dalam merealisasikan tujuan-tujuannya.

3.) Di lingkungan masyarakat

a) Mengakui dan respek terhadap hak-hak orang lain.

b) Memelihara jalinan persahabatan dengan orang lain.

c) Bersikap simpati dan altruis terhadap kesejahteraan orang lain.

d) Bersikap respek terhadap nilai-nilai hukum, tradisi , dan kebijakan-kebijakan masyarakat (Alexander A. Schneiders, 1964:452-450).

b. Perkembangan Kepribadian

Kepribadian merupakan sistem yang yang dinamis dari sifat, sikap dan kebiasaan yang menghasilkan tingkat konsistensi respons individu yang beragam (pikunas, 1976, dikutip dari buku Psikologi Pendidikan, 2007). Sifat-sifat kepribadian mencerminkan perkembangan fisik, seksual, emosional, sosial, kognitif, dan nilai-nilai.

Fase remaja merupakan saat yang paling penting bagi perkembangan dan intregrasi kepribadian. faktor-faktor dan pengalaman baru yang tampak terjadinya perubahan kepribadian pada masa remaja, meliputi (1) perolehan pertumbuhan fisik yang menyerupai masa dewasa; (2) kematangan seksual yang disertai dengan dorongan-dorongan dan emosi baru; (3) kesadaran terhadap diri sendiri, keinginan untuk mengarahkan diri dan mengevaluasi kembali tentang standar (norma), tujuan, dan cita-cita; (4) kebutuhan akan persahabatan yang bersipat heteroseksual, berteman dengan pria atau wanita, dan; (5) munculnya konflik sebagai dampak dari masa transisi antara masa anak dan masa dewasa.

Masa remaja merupakan saat berkembangnya identity (jati diri). Perkembangan ini merupakan isu sentral pada masa remaja yang memberikan dasar bagi masa dewasa. Dapat juga dikatakan sebagai aspek sentral bagi kepribadiaan yang sehat yang merefleksikan kesadaran diri, kemampuan mengindentifikasi orang lain dan mempelajari tujuan-tujuan agar dapat berpartisipasi dalam kebudayaannya. Erikson meyakini bahwa perkembangan identity pada masa remaja berkaitan erat dengan komitmennya terhadap okupasi masa depan, peran-peran masa dewasa dan sistem keyakinan pribadi (Nancy J. Cobb, 1992: 75). Sejak masa anak, sudah berkembang kesadaran akan diri dan masa remaja merupakan saat pertama berkembang usahanya yang sadar untuk menjawab pertanyaan “who am I?” (siapa saya?).

Ada empat alternatif bagi remaja dalam menguji diri dan pilihan-pilihannya (teori Erikson dan James Marcia) tentang identity remaja, yaitu sebagai berikut :

1) “Identity Achievement”, yang berarti bahwa setelah remaja memahami pilihan yang realistis, maka dia harus membuat pilihan dan berperilaku sesuai dengan pilihannya.

2) “Identity Foreclosure”, yang berarti menerima pilihan orangtua tanpa mempertimbangkan pilihan-pilihan.

3) “Identity Diffusion”, yang berarti kebingungan dengan siapa dirinya, dan mau apa dalam hidupnya.

4) Moraturium, yang menurut Erikson berarti penundaan dalam komitmen remaja terhadap pilihan-pilihan aspek pribadi atau okupasi. Marcia memperluas pengertiannya, yaitu meliputi usaha-usaha yang aktif remaja untuk menghadapi krisis pembentukan identitas diri.

Perkembangan identitas ini dipengaruhi oleh berbagai faktor, diantaranya sebagai berikut:

1) Iklim keluarga, yaitu yang berkaitan dengan interaksi sosio-emosional anataranggota keluarga (ibu-ayah, orangtua-anak dan anak-anak) sikap dan perlakuan terhadap anak.

2) Tokoh Idola, yaitu orang-orang yang dipersepsi oleh remaja sebagai figur yang menjadi idola atau pujaan remaja berasal dari kalangan selebritis seperti para penyanyi, bintang film, dan olah ragawan.

3) Peluang pengembangan diri, yaitu kesempatan untuk melihat kedepan dan menguji dirinya dalam setting (adegan) kehidupan yang beragam.

Pengalaman sejak masa kecil yang penuh konflik atau frustasi dan kurang mendapat bimbingan keagamaan (akhlaqul-karimah) akan berdampak kurang baik bagi perkembangan remaja. Remaja cenderung akan mengalami kegagalan dalam mengikuti program sekolah dan cenderung memiliki sifat pribadi: tidak jujur, rasionalisasi (suka memberi alasan-alasan untuk menutupi kelemahan dirinya) dan meremehkan otoritas atau norma. Sebaliknya, pengalaman yang menyenangkan akan mempengaruhi sifat-sifat pribadi yang taat hukum dan tidak melampaui batas.

Masa remaja akhir sudah mampu memahami dan mengarahkan diri untuk mengembangkan dan memelihara identitas dirinya. Dalam proses perkembangan idependensi sebagai antisipasi mendekati masa dewasa yang matang, remaja (1) berusaha untuk bersikap hati-hati dalam berprilaku, memahami kemampuan dan kelemahan dirinya; (2) meneliti dan mengkaji makna, tujuan, dan keputusan tentang jenis manusia seperti apa yang dia inginkan; (3) memperhatikan etika masyarakat, keinginan orangtua dan sikap teman-temannya; dan (4) mengembangkan sifat-sifat pribadi yang diinginkannya.

Berdasarkan paparan di atas, dapat dikemukakan bahwa remaja dapat dipandang telah memiliki identity yang matang (sehat), apabila sudah memilki pemahaman dan kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan diri sendiri, peran-perannya dalam kehidupan sosial (di lingkungan keluarga, sekolah, atau masyarakat), dunia kerja , dan nilai-nilai agama.

Dalam upaya membantu remaja atau siswa (SLTP/SLTA) menemukan identitas dirinya, woolfolk (1995:73) menyarankan sebagai berikut :

1) Berilah para siswa informasi tentang pilihan-pilihan karier dan peran-peran orang dewasa.

2) Membantu siswa untuk menemukan sumber-sumber untuk memecahkan masalah pribadinya.

3) Bersikap toleran terhadap tingkah laku remaja yang di pandang aneh, seperti dalam berpakaian.

4. Memberi umpan yang balik yang realistis terhadap siswa tentang dirinya.

Perkembangan Kepribadian

A.

1. Pengertian Kepribadian

a. Pengertian secara etimologis

Istilah kepribadian merupakan terjemahan dari Bahasa Inggris “personality”. Sedangkan istilah personality secara etimologis berasal dari bahasa latin “person” (kedok) dan “personare” (menembus). Person biasanya dipakai oleh para pemain sandiwara pada zaman kuno untuk memerankan satu bentuk tingkah laku dan karakter pribadi tertentu. Sedangkan yang dimaksud dengan personare adalah bahwa para pemain sandiwara itu dengan melalui kedoknya berusa menembus keluar untuk mengekspresikan satu bentuk gambaran manusia tertentu. Misalnya: seorang pemurung, pendiam, periang, peramah, pemarah, dan sebagainya. Jadi, persona itu bukan pribadi pemain itu sendiri, tetapi gambaran pribadi dari tipe manusia tertentu dengan melalui kedok yang dipakainya.

b. Pengertian secara termologis

1) MAY mengartikan kepribadian sebagai “ a sosial stimus value”. Jadi menurutnya cara orang lain mereaksi, itulah kepribadian individu. Dalam kata lain, pendapat orang lainlah yang menentukan kepribadian individu itu.

2) McDougal dan kawan-kawannya berpendapa, bahwa kepribadian adalah “tingkatan sifat-sifat di mana biasanya sifat yang tang tinggi tingkatannnya mempunyai pengaruh yang menentukan”.

3) Gordon W.Allport mengemukakan, “Personality is dynamic organization within the individual of those psychophysycal system, than determines his unique adjusment this environment”. (Kepribadian adalah organisasi dinamis dalam diri individu sebagai sistem psikofisis yang menentukan caranya yang khas dalam menyesuaikan diri terhadap lingkungan).

Dari definisi tersebut ada beberapa unsur yang perlu dijelaskan, yaitu sebagai berikut.

1) Organisasi dinamis, maksudnya adalah bahwa kepribadian itu selalu berkembang dan berubah walaupun ada organisasi sistem yang mengikat dan menghubungkan sebagai komponen kepribadian.

2) Psikofisis, ini menunjukan bahwa kepribadian bukanlah semata-mata neural (fisik), tetapi merupakan perpaduan kerja antara aspek psikis dan fisik dalam kesatuan kepribadian.

3) Istilah menentukan, berarti bahwa kepribadian mengandung kecenderungan-kecenderungan menentukan (determinasi) yang memainkan peranan aktif dalam tingkah laku individu. Kepribadian adalah sesuatu dan melakukan sesuatu. Kepribadian terletak di belakang perbuatan-perbuatan khusus dan di dalam individu. Dalam arti kepribadian itu bukan hanya ada selama ada orang lain bereaksi terhadapnya, tetapi lebih jauh dari itu mempunyai eksistensi real (keadaan nyata), yang termasuk juga segi-segi neural dan fisiologis.

4) Unique (khas), ini menunjukan bahwa tidak ada dua orang yang mempunyai kepribadian yang sama.

5) Menyesuaikan diri terhadap lingkungan, ini menunjukan bahwa kepribadian mengantarai individu dengan lingkungan fisik dan lingkungan psikologisnya, kadang-kadang menguasainya. Jadi kepribadian adalah sesuatu yang mempunyai fungsi atau arti adaptasi dan menentukan.

Kepribadian dapat juga diartikan sebagai “kualitas perilaku individu yang tampak dalam melakukan penyesuaian dirinya terhadap lingkungan secara unik” (Abin Syamsuddin Makmun, 1996, dikutif dari buku Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja, 2010). Keunikan penyesuaian tersebut sangat berkaitan dengan aspek-aspek kepribadian itu sendiri, yaitu meliputi hal-hal berikut.

1) Karakter, yaitu konsekuen tidaknya dalam mematuhi etika perilaku, konsisten atau teguh tidaknya dalam memegang pendirian atau pendapat.

2) Terperamen, yaitu disposisi reaktif seseorang, atau cepat/ lambatnya mereaksi terhadap rangsangan-rangsangan yang datang dari lingkungan.

3) Sikap, sambutan , objek (orang, benda, peristiwa, norma dan sebagainya) yang brsifat positif, negatif atau ambivalen (ragu-ragu).

4) Stabilitas emosional, yaitu kadar kestabilan reaksi emosional terhadap rangsangan dari lingkungan. Seperti: mudah tidaknya tersinggung, marah, sedih atau putus asa.

5) Responsibilitas (tanggung jawab), kesiapan untuk menerima risiko dari tindakan atau perbuatan yang dilakukan. Seperti: mau menerima risiko secara wajar, cuci tangan, atau melahirkan diri dari risiko yang dihadapi.

6) Sosialisasi, yaitu disposisi pribadi yang berkaitan dengan hubungan interpersonal. Disposisi ini seperti tampak dalam sifat pribadi yang tertutup atau terbuka dan kemampuan berkomunikasi dengan orang lain.

2. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Kepribadianan

Kepribadian dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik hereditas (pembawaan) maupun lingkungan (seperti: fisik, sosial, kebudayaan, spiritual).

a. Fisik. Faktor fisik yang dipandang mempengaruhi perkembangan kepribadiaan adalah postur tubuh (langsing, gemuk, pendek atau tinggi), kecantikan (cantik atau tidak cantik), kesehatan (sehat atau sakit-sakitan), keutuhan tubuh (utuh atau cacat), dan keberfungsian organ tubuh.

b. Inteligensi. Tingkah intelegensi individu dapat mempengaruhi perkembangan kepribadiannya. Individu yag intelegensinya tinggi atau normal biasa mampu menyesuaikan diri dengan lingkungannya secara wajar, sedangkan yang rendah biasanya sering mengalami hambatan atau kendala dalam menyesuaikan diri dengan lingkungannya.

c. Keluarga. Suasana atau iklim keluarga sangat penting bagi perkembangan kepribadian anak. Seorang anak yang dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang harmonis dan agamis, dalam arti, orangtua memberikan curahan kasih sayang, perhatian serta bimbingan dalam kehidupan berkeluarga, maka perkembangan kepribadian anak tersebut cenderung positif. Adapun anak yang dikembangkan dalam lingkungan keluarga yang broken home, kurang harmonis, orangtua bersikap keras terhadap anak atau tidak memperhatikan nilai-nilai agama dalam keluarga, maka perkembangan kepribadiaannya cenderung akan mengalami distorsi atau mengalami kelainan dalam penyesuaian dirinya (maladjustment).

d. Teman sebaya (peer group). Setelah masuk sekolah, anak mulai bergaul dengan teman sebayanya dan menjadi anggota dari kelompoknya. Pada saat inilah dia mulai mengalihkan perhatiannya untuk mengembangkan sifat-sifat atau perilaku yang cocok atau dikagumi oleh teman-temannya, walaupun mungkin tidak sesuai dengan harapan orangtuanya. Melalui hubungan interpersonal dengan teman sebaya, anak belajar menilai dirinya sendiri dan kedudukannya dalam kelompok. Bagi anak yang kurang mendapatkan kasih sayang dan bimbingan keagamaan atau etika dari orangtuanya, biasanya kurang memiliki kemampuan selektif dalam memilih teman dan mudah sekali terpengaruh aleh sikap dan perilaku kelompoknya. Berdasarkan pengamatan dilapangan, ternyata tidak sedikit anak yang menjadi perokok berat, peminum minuman keras atau bergaul bebas, karena pengaruh perilaku teman sebaya.

e. Kebudayaan. Setiap kelompok masyarakat (bangsa, ras atau suku bangsa) memiliki tradisi, adat atau kebudayaan yang khas. Tradisi atau kebudayaan suatu masyarakat memberikan pengaruh terhadap kepribadian setiap anggotanya, baik yang menyangkut cara berfikir (seperti cara memandang sesuatu), bersikap atau cara berperilaku. Pengaruh kebudayaan terhadap kepribadian itu , dapat dilihat dari adanya perbedaan antara masyarakat modern yang budayanya relatif maju (khususnya IPTEK) dengan masyarakat primitif yang budayanya relatif masih sederhana seperti dalam cara makan, berpakaian, hubungan interpersonal atau cara memandang waktu.

3. Perubahan Kepribadian

Meskipun kepribadian seseorang itu relatif konstan, namun dalam kenyataan sering ditemukan bahwa perubahan kepribadian itu dapat dan mungkin terjadi. Perubahan itu terjadi pada umumnya lebih dipengaruhi oleh faktor lingkungan daripada faktor fisik. Disamping itu, perubahan ini lebih sering dialami oleh anak daripada orang dewasa.

Fenton (E. Hurloch, 1956, dikutip dari buku Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja, tahun 2010) mengklasifikasikan faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya perubahan kepribadian kedalam tiga kategori, yaitu:

a. Faktor organik, seperti: makanan, obat, infeksi, dan gangguan organik.

b. Faktor lingkungan sosial budaya, seperti: pendidikan, rekreasi dan partisipasi sosial.

c. Faktor dari dalam individu itu sendiri, seperti: tekanan emosional, identifikasi terhadap oarang lain, imitasi.

4. Karakteristik Kepribadian

Salah satu kata kunci dari definisi kepribadian adalah penyesuaian (adjusment). Menurut Alexander A. Schneisders (1964, dikutip dari buku Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja, tahun 2010), penyesuaian itu dapat diartikan sebagai “suatu proses respons individu baik yang bersifat behavioral maupun mental dalam upaya mengatasi kebutuhan-kebutuhan dari dalam diri, tegangan emosional, frustrasi dan konflik dan memelihara keharmonisan antara pemenuhan kebutuhan tersebut dengan tuntutan (norma) lingkungan”.

Dalam upaya memenuhi kebutuhan atau memecahkan masalah yang dihadapi, ternyata tidak semua individu mampu menampilkannya secara wajar, normal atau sehat (well adjustment), diantara mereka banyak juga yang mengalami tidak sehat (maladjustment).

E. B. Hurlock (1986, dikutip dari buku Psikologi Pendidikan, 2007) mengemukakan bahwa penyesuaian yang sehat atau kepribadian yang sehat (healty personality) ditandai dengan karakteristik sebagai berikut:

a. Mampu menilai diri secara realistik. Individu yang berkepribadiannya sehat mampu menilai dirinya sebagaimana apa adanya, baik kelebihan maupun kekurangan/ kelemahannya, yang menyangkut fisik (postur tubuh, wajah, keutuhan dan kesehatan) dan kemampuan.

b. Mampu menilai situasi secara realistik. Individu dapat menghadapi situasi atau kondisi kehidupan yang dihadapi secara realistik dan mau menerimanya secara wajar. Dia tidak mengharapkan kondisi kehidupan itu sebagai suatu yang harus sempurna.

c. Mampu menilai prestasi yang diperoleh secara realistik. Individu dapat menilai prestasinya (keberhasilan yang diperolehnya) secara realistik dan mereaksinya secara rasional. Dia tidak menjadi sombong, angkuh atau mengalami “superiority complex” , apabila memperoleh prestasi yang tinggi, atau kesuksesan dalam hidupnya. Apabila mengalami kegagalan, dia tidak mereaksinya dengan frustrasi, tetapi dengan sikap optimistik (penuh harapan).

d. Menerima tanggung jawab. Individu yang sehat adalah individu yang bertanggung jawab. Dia mempunyai keyakinan terhadap kemampuannya untuk mengatasi masalah-masalah kehidupan yang dihadapinya.

e. Kemandirian (autonomi). Individu memiliki sikap mandiri dalam cara berfikir dan bertindak, mampu mengambil keputusan, mengarahkan dan mengembangkan diri serta menyesuaikan diri secara konstruktif dengan norma yang berlaku dilingkungannya.

f. Dapat mengontrol emosi. Individu merasa nyaman dengan emosinya. Dia dapat menghadapi situasi frustrasi, depresi atau sters secara positif atau konstruktif, tidak destruktif (merusak).

g. Berorientasi tujuan. Setiap orang mempunyai tujuan yang ingin realistik dan ada yang tidak realistik. Individu yang sehat kepribadiannya dapat merumuskan tujuannya berdasarkan pertimbangan secara matang (rasional), tidak atas dasar paksaan dari luar. Dia berupa untuk mencapai tujuan tersebut dengan cara mengembangkan kepribadian (wawasan) dan keterampilan .

h. Berorientasi keluar. Individu yang sehat memiliki orientasi ke luar (ekstrovert). Dia bersikap respek, empati terhadap orang lain mempunyai kepedulian terhadap situasi, atau masalah-masalah lingkungannya dan bersifat fleksibel dalam berpikirannya. Barret Leonard mengemukakan sifat-sifat individu yang berorientasi keluar, yaitu (a) menghargai dan menilai oramg lain seperti dirinya sendiri; (b) merasa nyaman dan terbuka terhadap orang lain; (c) tidak membiarkan dirinya dimanfaatkan untuk menjadi korban orang lain dan tidak mengorbankan orang lain karena kekecewaan dirinya.

i. Penerimaan sosial. Individu dinilai positif oleh orang lain, mau berpatisipasi aktif dalam kegiatan sosial, dan memiliki sikap bersahabat dalam berhubungan dengan orang lain.

j. Memiliki Filsafat hidup. Dia mengarahkan hidupnya berdasarkan filsafat hidup yang berakar dari keyakinan agama.

k. Berbahagia. Individu yang sehat, situasi kehidupannya diwarnai kebahagiaan. Kebahagiaan ini didukung oleh faktor-faktor achievement (pencapaian prestasi), acceptance (penerimaan dari orang lain), dan affection (perasaan dicintai atau disayangi orang lain).

Adapun kepribadian yang tidak sehat itu ditandai dengan karakteristik seperti berikut.

a. Mudah marah (tersinggung).

b. Menunjukan kekhawatiran dan kecemasan.

c. Sering merasa tertekan (stress atau depresi).

d. Bersikap kejam atau senang mengganggu orang lain yang usianya lebih muda atau terhadap binatang (hewan).

e. Ketidakmampuan untuk menghindar dari perilaku menyimpang meskipun sudah diperingati atau dihukum.

f. Mempunyai kebiasaan berbohong.

g. Hiperaktif.

h. Bersikap memusuhi semua bentuk otoritas.

i. Senang mengkritik/ mencemooh orang lain.

j. Sulit tidur.

k. Kurang memiliki rasa tanggung jawab.

l. Sering mengalami pusing kepala (meskipun penyebabnya bukan bersifat organis).

m. Kurang memiliki kesadaran untuk menaati ajaran agama.

n. Bersikap pesimis dalam menghadapi kehidupan.

o. Kurang bergairah (bermuram durja) dalam menjalani kehidupan.

Kelainan tingkah laku diatas berkembang, apabila anak hidup dalam lingkungan yang tidak kondusif dalam perkembangannya. Seperti lingkungan keluarga yang tidak berfungsi (dysfunction family)yang bercirikan: “broken home”, hubungan antar anggota keluarga kurang harmonis, kurang memperhatikan nilai-nilai agama dan orangtua bersikap keras atau kurang memberikan curahan kasih sayang kepada anak.

Oleh karena kelainan kepribadian itu berkembang pada umumnya disebabkan oleh faktor lingkungan yang kurang baik, maka sebagai upaya pencegahan (preventif), seyogianya pihak keluarga (orangtua), sekolah (guru dan staf lainnya) dan pemerintah perlu senantiasa bekerja sama untuk menciptakan iklim lingkungan yang memfasilitasi atau memberi kemudahan kepada anak untuk mengembangkan potensi atau tugas-tugas perkembangan secara optimal.

Kisah Mata Air Keabadian

Kisah ini diriwayatkan oleh Ats-Tsa’labi dari Imam Ali ra. Pada zaman dahulu hiduplah seorang hamba Allah SWT yang melebihkan kepada d...