C.
1. Fase Kanak-kanak
Anak usia prasekolah merupakanfase perkembangan individu sekitar 2-6 tahun, ketika anak mulai memiliki kesadaran tentang dirinya sebagai pria atau wanita, dapat mengatur diri dalam buang air dan beberapa hal yang dianggap bernahaya (mencelakakan dirinya).
a. Perkembangan Sosial
Pada usia prasekolah (terutama mulai usia 4 tahun), perkembangan sosial anak sudah tampak jelas, karena mereka sudah mulai aktif berhubungan dengan teman sebayanya. Tanda-tanda perkembangan sosial pada tahap ini adalah :
1) Anak mulai mengetahui aturan-aturan, baik lingkungan keluarga maupun dalam lingkungan bermain.
2) Sedikit demi sedikit anak sudah mulai patuh pad peraturan.
3) Anak suah muli menyadari hak atau kepentingan orang lain.
4) Anak sudah m ulai dapat bermain bersama anak-anak lain atau teman sebayanya (peer group).
Perkembangan sosial anak sangat dipengaruhi oleh iklim sosio-psikologis keluarganya. Apabila lingkungan keluarga tercipta suasana yang harmonis, saling memperhatikan, saling membantu (bekerja sama) dalam menyelesaikan tugas-tugas keluarga atau anggota keluarga, terjalin komunikasi antar anggota keluarga, dan konsisten dalam melaksanakan aturan, maka anak akan memiliki kemampuan atau penyesuaian sosial dalam hubungan dengan orang lain.
Kematangan penyesuaian sosial anak akan sangat terbantu, apabila anak dimasukkan ke Taman Kanak-kanak. TK sebagai “jembatan bergaul” merupakan tempat yang memberikan peluang kepada anak untuk belajar memperluas pergaulan sosialnya, dan menaati peratura (kedisiplinan). TK dipandang mempunyai kontribusi yang baik bagi perkembangan sosial anak, karena alasan-alasan berikut.
1) Suasana TK sebagian masih seperti suasana keluarga.
2) Tata tertibnya masih longgar, tidak terlalu mengikat kebebasan anak.
3) Anak berkesempatan untuk aktif bergerak, bermain, dan riang gembira yang kesemuanya mempunyai nilai pedagogis.
4) Anak dapat mengenal dan bergaul dengan teman sebaya yang beragam (multi budaya), baik etnis, agama, dan budaya.
Untuk memfasilitasi perkembangan sosial anak, maka guru-guru TK hendaknya melakukan hal-hal berikut:
1) Membantu anak agar memahami alasan tentang diterapkannya aturan, seperti keharusan memelihara ketertiban di dalam kelas, dan larangan masuk atau keluar kelas saling mendahului.
2) Membantu anak untuk memahami, dan membiasakan mereka untuk memelihara persahabatan, kerja sama, saling membantu, dan saling menghargai/ menghormati.
b. Perkembangan Kepribadian
Masa ini lazim disebut masa Trotzalter, periode perlawanan atau masa krisis pertama. Krisis ini terjadi karena ada perubahan yang hebat dalam dirinya, yaitu dia mulai sadar akan Aku-nya, dia menyadari bahwa dirinya terpisah dari lingkungan atau orang lain, dia suka menyebut nama dirinya apabila berbicara dengan orang lain. Dengan kesadaran ini anak menemukan bahwa ada dua pihak yang berhadapan, yaitu (Aku-nya) dan orang lain (orangtua, saudara, guru, dan teman sebaya). Dia mulai menemukan bahwa tidak setiap keinginannya dipenuhi orang lain, memperhatikan kepentingannya. Pertentangan antara kemauan diri dan tujuan lingkungannya, dapat mengakibatkan ketegangan dalam diri anak, sehingga tidak jarang anak meresponsnya dengan sikap membandel atau keras kepala. Bagi usia anak, sikap membandel ini merupakan suatu kewajaran, karena perkembangan pribadi mereka sedang bergerak dari sikap dependen ke independen.
Pada masa ini, berkembang kesadaran dan kemampuan untuk memenuhi tuntutan dan tanggung jawab (Ambron, 1981). Oleh karena itu, agar tidak berkembang sikap membandel anak yang kurang terkontrol, pihak orangtua perlu menghadapinya secara bijaksana, penuh kasih sayang, dan tidak bersikap keras. Meskipun mereka mulai menampakkan keinginan untuk bebas (independen) dari tuntutan orangtua, namun pada dasarnya mereka masih sangat membutuhkan perawatan, asuhan, bimbingan, atau curahan kasih sayang orangtua (dependen).
Aspek-aspek perkembangan kepribadian anak itu meliputi hal-hal berikut:
1) Dependency and Self – Image
Konsep anak prasekolah tentang dirinya sulit dipahami dan dianalisis, karena keterampilan bahasanya belum jelas, dan pandangannya terhadap orang lain masih egosentris. Mereka memiliki sistem pandangan dan persepsi yang kompleks, tetapi belum dapat menyatakan. Perkembangan sikap “independensi” dan kepercayaan diri (self confidence) anak amat terkait dengan cara perlakuan orangtuanya. Sebagai orangtua, mereka memberikan perlindungan kepada anak dari sesuatu yang membahayakan, dan dari kefrustrasian. Gaya perlakuan orangtua kepada anak, ternyata sangat beragam, ada yang terlalu memanjakan, bersikap keras, penerimaan dan kasih sayang, dan acuh tak acuh (permisif). Masing-masing perlakuan itu cenderung memberikan dampak yang beragam bagi kepribadian anak.
Anak yang biasa dihukum karena palanggaran biasanya dengan tidak memberikan kasih sayang atau perhatian padanya, maka anak tersebut cenderung lebih dependen daripada anak yang diikuti keinginannya dengan pengasuhan yang penuh kasih sayang . anak yang kurang mendapat pengasuhan atau perhatian yang cukup dari orangtuanya di rumah, maka dia akan menuntut perhatian dari guru-guru pada saat dia sudah masuk TK.
Namun apabila/ perlindungan orangtua itu terlalu berlebihan (terlalu memanjakan) maka anak cenderung kurang bertanggung jawab dan kurang mandiri ( senan tiasa meminta bantuan kepada orang lain). Salah satu penelitian Braumrind (Ambron, 1981) menemukan bahwa anak yang orangtuanya memberikan pengasuhan atau perawatan yang penuh kehangatan dan pemahaman serta memberikan arahan atau tuntunan (pemberian tugas yang sesuai dengan umurnya), maka anak akan memiliki rasa percaya diri (self condifence), bersikap ramah, mempunyai tujuan yang jelas, dan mampu mengontrol (mengendalikan) diri. Sementara anak yang dikembangkan dalam keluarga yang memperturutkan semua keinginan anak dan bersikap permisif, cenderung mengembangkan pribadi anak yang kurang memiliki arah hidup yang jelas dan kurang percaya diri.
2) Initiative vs Guilt
Erik Erikson mengemukakan suatu teori bahwa anak prasekolah mengalami satu krisis perkembangan, karena mereka menjadi kurang dependen, dan mengalami konflik antara “initiatife dan guilt”. Anak berkembang, baik secara fisik maupun kemampuan intelektual serta berkembangnya rasa percaya diri untuk melakukan sesuatu. Mereka menjadi lebih mampu mengontrol lingkungan fisik sebagai mana dia mampu mengontrol tubuhnya. Anak mulai memehami bahwa orang lain memiliki perbedaan dengan dirinya, baik menyangkut persepsi maupun motivasi (keinginan). Dan mereka menyenangi kemampuan dirinya untuk melakukan sesuatu.
Perkembangan ini semua mendorong lahirnya apa yang disebut Erikson dengan initiative (inisiatif). Pada tahap ini, anak sudah siap dan berkeinginan untuk belajar dan bekerja sama dengan orang lain untuk mencapai tujuannya. Yang berbahaya pada tahap ini, adalah tidak tersalurkannya energi yang mendorong anak untuk aktif (dalam rangka memenuhi keinginannya), karena mengalami hambatan atau kegagalan, sehingga anak mengalami guilt (rasa bersalah). Perasaan bersalah ini berdampak kurang baik bagi perkembangan kepribadian anak, dia bisa menjadi nakal atau pendiam (kurang bergairah).
Faktor external yang mungkin menghambat perkembangan inisiatif anak, diantaranya (1) tuntutan kepada anak diluar kemampuannya, (2) sikap keras orangtua / guru dalam memperlakukan anak, (3) terlalu banyak larangan, dan (4) anak kurang mendapat dorongan atau peluang untuk berani mengungkapkan perasaanya, pendapatnya atau keinginannya.
2. Fase Anak
Pada masa ini mereka mulai sekolah dan kebanyakan anak-anak sudah mempelajari mengenai sesuatu yang berhubungan dengan manusia, serta mulai mempelajari berbagai keterampilan praktis. Relasi dengan keluarga dan teman sebaya terus memainkan peranan penting. Sekolah dan relasi dengan para guru menjadai aspek kehidupan anak yang semakin terstruktur.
a. Perkembangan Sosial
Maksud perkembangan sosial ini adalah pencapaian kematangan dalam hubungan sosial. Dapat juga dikatakan sebagai proses belajar untuk meyesuaikan diri dengan norma-norma kelompok, tadisi dan moral (agama). Perkembangan sosial pada anak-anak sekolah dasar ditandai dengan perluasan hubungan, disamping dengan keluarga juga dia mulai membentuk ikatan baru dengan teman sebaya (peer group) atau teman sekelas, sehingga ruang gerak hubungan sosialnya telah bertambah luas.
Pada usia ini, anak mulai memiliki kesanggupan menyesuaikan diri sendiri (egosentris) kepada sikap yang kooperatif (bekerja sama) atau sosiosentris (mau memperhatikan kepentingan orang lain). Anak dapat berminat terhadap kegiatan-kegiatan teman sebayanya dan bertambah kuat keinginannya untuk diterima menjadi anggota kelompok (gang), dia merasa tidak senang apabila tidak diterima dalam kelompoknya.
Berkat perkembangan sosial anak dapat menyesuaikan dirinya dengan kelompok teman sebaya maupun dengan lingkungan masyarakat sekitarnya. Dalam proses belajar di sekolah, kematangan perkembangan sosial ini dapat dimanfaatkan atau dimaknai dengan memberikan tugas-tugas kelompok, baik yang membutuhkan tenaga fisik (seperti, membersihkan kelas dan halaman sekolah), maupun tugas yang membutuhkan pikiran (seperti merencanakan kegiatan camping, membuat laporan study tour).
Tugas-tugas kelompok ini harus memberikan kesempatan kepada setiap peserta didik untuk menunjukan prestasinya, tetapi juga diarahkan untuk mencapai tujuan bersama. Dengan melaksanakan tugas kelompok, peserta didik dapat belajar tentang sikap dan kebiasaan dalam bekerja sama, saling menghormati, bertenggang rasa dan bertanggung jawab.
b. Perkembangan Kepribadian
Emosi merupakan salah satu aspek perkembangan yang melekat pada diri anak-anak. Kondisi emosi itu sendiri dapat diklasifikasikan menjadi dua jenis yaitu positif (misalnya, gembira) dan negatif (misalnya sedih). Konsep emosi cukup penting bila dikaitkan dengan fungsinya dalam hubungan interpersonal. Dalam hal ini, ekspresi emosi akan menjadi fasilitasi bagi seorang anak untuk dapat mengungkapkan perasaannya, perilakunya, serta keinginan-keinginannya. Pada hubungan antara anak dan orangtua, ekspresi emosi merupakan bahasa pertama kali dalam berkomunikasi. Seorang bayi telah mampu bereaksi terhadap ekspresi wajah dan nada suara orang tuanya.
Aspek lain dalam perkembangan kepribadian anak adalah pemahaman atau konsep diri. Pada masa kanak-kanak awal, anak biasanya memiliki pemahaman diri yang bersifat fisik ataupun aktivitas yang mereka lakukan. Ketika anak ditanya tentang siapa mereka, maka jawaban yang muncul biasanya berkisar pada ukuran tubuh atau aktivitas yang disenanginya. Konsep pemahaman diri ini menjadi lebih bersifat internal pada masa kanak-kanak menengah dan akhir. Anak-anak yang berada pada tingkat Sekolah Dasar telah mampu menyebutkan sifat-sifat psikologis dalam mendeskripsikan dirinya. Di samping itu, aspek sosial cukup memegang peranan besar dalam memahami konsep dirinya. Pada saat ini, anak mulai membandingkan keadaannya dengan keadaan orang-orang di sekelilingnya, terutama dengan teman sebayanya.
3. Fase Remaja
Fase remaja merupakan segmen perkembangan individu yang sangat penting, yang diawali dengan matangnya organ-organ fisik (seksual) sehingga mampu bereproduks. Menurut Konopka (Pikunas, 1976) masa remaja meliputi (a)remaja awal 12-15 tahun, (b)remaja madya 15-18 tahun, (c)remaja akhir 19-22 tahun. Sementara Salzman mengemukakan, bahwa remaja merupakan masa perkembangan sikap tergantung (dependence) terhadap orangtua ke arah kemandirian (independence), minat-minat seksual, perenungan diri dan perhatian terhadap nilai-nilai estetika dan isu-isu moral.
Adapun dalam budaya Amerika, periode remaja ini dipandang sebagai masa “Strom & Stress”, frustrasi dan , konflik dan krisis penyesuaian, mimpi dan melamun tentang cinta, dan perasaan teralineasi (tersisihkan) dari kehidupan sosial budaya orang dewasa (Lustin Pikunas, 1976).
a. Perkembangan Sosial
Pada masa remaja berkembang “social cognition”, yaitu kemapuan untuk memahami orang lain. Remaja memahami orang lain sebagai individu yang unik, baik menyangkut sifat-sifat pribadi, minat nilai-nilai maupun perasaannya. Pemahamannya ini, mendorong remaja untuk menjalin hubungan sosial yang lebih akrab dengan mereka (terutama teman sebaya), baik melalui jalinan persahabatan maupun percintaan (pacaran)
Dalam hubungan persahabatan, remaja memilih teman yang memiliki psikologis yang relatif sama dengan dirinya, baik menyangkut interes, sikap, nilai dan kepribadian.
Pada masa ini juga berkembang sikap “conformity”, yaitu kecenderungan untuk menyerah atau mengikuti opini, pendapat, nilai kebiasaan, kegemaran (hobby) atau keinginan orang lain (teman sebaya). Perkembangan sikap konformitas pada remaja dapat memberikan dampak yang positif maupun yang negatif bagi dirinya.
Apabila kelompok teman sebaya yang diikuti atau diimitasinya itu menampilkan sikap dan perilaku yang secara moral atau agama dapat dipertanggun jawabkan, seperti kelompok remaja yang taat beribadah, memilki budi pekerti yang luhur, rajin belajar dan aktif dalam kegiatan-kegiatan sosial, maka kemungkinan besar remaja tersebut akan menampilkan pribadinya yang baik. Sebaliknya, apabila kelompoknya itu menampilkan sikap dan prilaku malasuay atau melecehkan nilai-nilai moral, maka sangat dimungkinkan renaja akan menampilkan prilaku seperti kelompoknya tersebut. Contohnya, tidak sedikit remaja (terutama di kota-kota besar ) yang menjadi pengindap narkotika, ecstasy, shabu-shabu, minuman keras dan bahkan free sex, karena mereka bergaul dengan kelompok sebaya yang sudah biasa melakukan hal-hal tersebut.
Remaja sebagai bunga dan harapan bangsa serta peminpin di masa depan sangat diharapkan dapat mencapai perkembangan sosial secara matang, dalam arti dia memiliki penyesuaian sosial (social adjustment) yang tepat.
Penyesuaian sosial dapat diartikan sebagai “kemampuan untuk mereaksi secara tepat terhadap realitas sosial, situasi, dan relasi”. Remaja dituntut untuk memiliki kemampuan penyesuaian sosial ini, baik dalam lingkungan keluarga, sekolah dam masyarakat.
Karakterisik penyesuaian sosial remaja di tiga lingkungan tersebut adalah sebagai berikut.
1.) Di lingkungan keluarga
a) Menjalin hubungan yang baik dengan para anggota keluara (orangtua dan saudara).
b) Menerima otoritas orangtua (mau menaati peraturan yang di tetapkan orangtua).
c) Menerima tanggung jawab dan batasan-batasan (norma) keluarga.
d) Berusaha untuk membantu anggota keluarga, sebagai individu maupun kelompok dalam mencapai tujuannya.
2.) Di lingkungan sekolah
a) Bersikap respek dan mau menerima peraturan sekolah.
b) Berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan sekolah.
c) Menjalin persahabatan dengan teman-teman di sekolah.
d) Bersikap hormat terhadap guru, peminpin sekolah, dan staf lainnya.
e) Membantu sekolah dalam merealisasikan tujuan-tujuannya.
3.) Di lingkungan masyarakat
a) Mengakui dan respek terhadap hak-hak orang lain.
b) Memelihara jalinan persahabatan dengan orang lain.
c) Bersikap simpati dan altruis terhadap kesejahteraan orang lain.
d) Bersikap respek terhadap nilai-nilai hukum, tradisi , dan kebijakan-kebijakan masyarakat (Alexander A. Schneiders, 1964:452-450).
b. Perkembangan Kepribadian
Kepribadian merupakan sistem yang yang dinamis dari sifat, sikap dan kebiasaan yang menghasilkan tingkat konsistensi respons individu yang beragam (pikunas, 1976, dikutip dari buku Psikologi Pendidikan, 2007). Sifat-sifat kepribadian mencerminkan perkembangan fisik, seksual, emosional, sosial, kognitif, dan nilai-nilai.
Fase remaja merupakan saat yang paling penting bagi perkembangan dan intregrasi kepribadian. faktor-faktor dan pengalaman baru yang tampak terjadinya perubahan kepribadian pada masa remaja, meliputi (1) perolehan pertumbuhan fisik yang menyerupai masa dewasa; (2) kematangan seksual yang disertai dengan dorongan-dorongan dan emosi baru; (3) kesadaran terhadap diri sendiri, keinginan untuk mengarahkan diri dan mengevaluasi kembali tentang standar (norma), tujuan, dan cita-cita; (4) kebutuhan akan persahabatan yang bersipat heteroseksual, berteman dengan pria atau wanita, dan; (5) munculnya konflik sebagai dampak dari masa transisi antara masa anak dan masa dewasa.
Masa remaja merupakan saat berkembangnya identity (jati diri). Perkembangan ini merupakan isu sentral pada masa remaja yang memberikan dasar bagi masa dewasa. Dapat juga dikatakan sebagai aspek sentral bagi kepribadiaan yang sehat yang merefleksikan kesadaran diri, kemampuan mengindentifikasi orang lain dan mempelajari tujuan-tujuan agar dapat berpartisipasi dalam kebudayaannya. Erikson meyakini bahwa perkembangan identity pada masa remaja berkaitan erat dengan komitmennya terhadap okupasi masa depan, peran-peran masa dewasa dan sistem keyakinan pribadi (Nancy J. Cobb, 1992: 75). Sejak masa anak, sudah berkembang kesadaran akan diri dan masa remaja merupakan saat pertama berkembang usahanya yang sadar untuk menjawab pertanyaan “who am I?” (siapa saya?).
Ada empat alternatif bagi remaja dalam menguji diri dan pilihan-pilihannya (teori Erikson dan James Marcia) tentang identity remaja, yaitu sebagai berikut :
1) “Identity Achievement”, yang berarti bahwa setelah remaja memahami pilihan yang realistis, maka dia harus membuat pilihan dan berperilaku sesuai dengan pilihannya.
2) “Identity Foreclosure”, yang berarti menerima pilihan orangtua tanpa mempertimbangkan pilihan-pilihan.
3) “Identity Diffusion”, yang berarti kebingungan dengan siapa dirinya, dan mau apa dalam hidupnya.
4) Moraturium, yang menurut Erikson berarti penundaan dalam komitmen remaja terhadap pilihan-pilihan aspek pribadi atau okupasi. Marcia memperluas pengertiannya, yaitu meliputi usaha-usaha yang aktif remaja untuk menghadapi krisis pembentukan identitas diri.
Perkembangan identitas ini dipengaruhi oleh berbagai faktor, diantaranya sebagai berikut:
1) Iklim keluarga, yaitu yang berkaitan dengan interaksi sosio-emosional anataranggota keluarga (ibu-ayah, orangtua-anak dan anak-anak) sikap dan perlakuan terhadap anak.
2) Tokoh Idola, yaitu orang-orang yang dipersepsi oleh remaja sebagai figur yang menjadi idola atau pujaan remaja berasal dari kalangan selebritis seperti para penyanyi, bintang film, dan olah ragawan.
3) Peluang pengembangan diri, yaitu kesempatan untuk melihat kedepan dan menguji dirinya dalam setting (adegan) kehidupan yang beragam.
Pengalaman sejak masa kecil yang penuh konflik atau frustasi dan kurang mendapat bimbingan keagamaan (akhlaqul-karimah) akan berdampak kurang baik bagi perkembangan remaja. Remaja cenderung akan mengalami kegagalan dalam mengikuti program sekolah dan cenderung memiliki sifat pribadi: tidak jujur, rasionalisasi (suka memberi alasan-alasan untuk menutupi kelemahan dirinya) dan meremehkan otoritas atau norma. Sebaliknya, pengalaman yang menyenangkan akan mempengaruhi sifat-sifat pribadi yang taat hukum dan tidak melampaui batas.
Masa remaja akhir sudah mampu memahami dan mengarahkan diri untuk mengembangkan dan memelihara identitas dirinya. Dalam proses perkembangan idependensi sebagai antisipasi mendekati masa dewasa yang matang, remaja (1) berusaha untuk bersikap hati-hati dalam berprilaku, memahami kemampuan dan kelemahan dirinya; (2) meneliti dan mengkaji makna, tujuan, dan keputusan tentang jenis manusia seperti apa yang dia inginkan; (3) memperhatikan etika masyarakat, keinginan orangtua dan sikap teman-temannya; dan (4) mengembangkan sifat-sifat pribadi yang diinginkannya.
Berdasarkan paparan di atas, dapat dikemukakan bahwa remaja dapat dipandang telah memiliki identity yang matang (sehat), apabila sudah memilki pemahaman dan kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan diri sendiri, peran-perannya dalam kehidupan sosial (di lingkungan keluarga, sekolah, atau masyarakat), dunia kerja , dan nilai-nilai agama.
Dalam upaya membantu remaja atau siswa (SLTP/SLTA) menemukan identitas dirinya, woolfolk (1995:73) menyarankan sebagai berikut :
1) Berilah para siswa informasi tentang pilihan-pilihan karier dan peran-peran orang dewasa.
2) Membantu siswa untuk menemukan sumber-sumber untuk memecahkan masalah pribadinya.
3) Bersikap toleran terhadap tingkah laku remaja yang di pandang aneh, seperti dalam berpakaian.
4. Memberi umpan yang balik yang realistis terhadap siswa tentang dirinya.