Permasalahan
Filsafat, Sistematika Filsafat, atau Filsafat Sistematis
Permasalahan
filsafat adalah materi (subject matter)
yang dibahas dalam filsafa, satu demi satu dan seluruhnya. Inilah yang disebut
dengan problematika filsafat karena dibahas menurut susunan tertentu
(sistematika fisafat) dan dibahas dalam filsafat sistematis. Seperti telah
diutarakan sebelumnya, bahwa sistematika filsafat adalah suatu uraian yang
memuat seluruh bagian permasalahan filsafat, termasuk hubungan antarbagian,
menurut sistem atau susunan tertentu. Beberapa ahli menyatakan, bahwa
sistematika filsafat memuat permasalahan sehingga disebut problematika
filsafat. Meskipun tampak sederhana, banyak pandangan berbeda mengenai apa yang
dibahas dalam filsafat, bagaimana masalah-masalah itu saling berhubungan,
bersifat hierarki atau tidak, serta mana yang pantas mendapat penekanan dan
mana yang dinilai tidak penting.
Penulis
memandang bahwa sistematika yang diajukan Langeveld
(1959) merupakan sistematika yang dinilai cukup lengkap, tetapi tidak terlalu
banyak dan kompleks sehingga mudah dipahami. Sistematika, lebih mudah disebut
pembagian atau klasifikasi filsafat, atau kandungan masalah-masalah filsafat.
Menurut Langeveld, secara garis besarnya filsafat terdiri atas tiga hal utama,
yaitu
1) Masalah
tahu, mengetahui, dan pengetahuan (cognitio);
2) Metafisika,
baik metafisika umum (ontologi) maupun metafisika khusus, dan
3) Nilai
serta penilaian (aksiologi).
Berikut
ini uraian mengenai tiga hal utama sistematika filsafat menurut Langeveld.
Masalah
tahu, mengetahui, dan pengetahuan (cognition)
Pada
bagian ini, filsafat berbicara tentang hakikat tahu, mengetahui, dan
pengetahuan beserta seluruh kaitannya. Pembahasan hakikat tahu meliputi hal
yang dimaksudkan “tahu” atau mengetahui suatu hal. Di sini juga terlibat
masalah berpikir dan mengalami, serta kebenaran pengetahuan dan kebenaran apa
yang diketahui. Sebagian pihak berpendapat, bahwa inti kegiatan mengetahui atau
tahu adalah adanya pemikiran mengenai hal tersebut, tanpa berpikir tentang
sesuatu, tidak mungkin seseorang mengetahui sesuatu, sedangkan pihak lain
berpendapat bahwa mengetahui atau tahu, seyogianya berintikan pada sesuatu yang
pernah dialaminya.
Hakikat
tahu menyangkut pula masalah kebenaran karena mengetahui sesuatu secara tidak
benar disebut sebagai tidak mengetahui. Dalam hakikat tahu, dibicarakan pula
apa yang dimaksud dengan pengetahuan yang benar dan apa yang tidak benar,
termasuk mempertanyakan arti atau maksud kebenaran itu sendiri. Berasal dari
manakah pengetahuan itu? Apakah dasarnya? Lantas, adakah batas kebenaran
pengetahuan itu? Adakah kebenaran yang mutlak, ataukah kebenaran itu
semata-mata relatif?
Oleh
karena itu, dalam masalah tahu mengetahui, dan pengetahuan terdapat pula logika yang mengatur kelurusan
berpikir, serta epistemologi yang
mengatur hal kebenarannya. Kedua hal tersebut akan dibahas dalam wacana
berikut.
1.
Logika
Logika
adalah bagian filsafat yang memperbincangkan hakikat ketepatan, cara menyusun
pikiran yang dapat menggambarkan ketepatan berpengetahuan. Tepat belum tentu
benar, sedangkan benar selalu mempunyai dasar yang tepat. Logika tidak
mempersoalkan kebenaran sesuatu yang dipikirkan, tetapi membatasai diri pada ketetapan
susunan berpikir menyangkut pengetahuan. Jadi, logika memprasyaratkan
kebenaran, bukan wacana kebenarannya. Hendaknya, kita mampu membedakan
ketepatan susunan berpikir dari cara berpikir. Apabila ketepatan susunan
pikiran merupakan logika dan bagian filsafat maka cara berpikir menjadi bahan
kajian psikologi.
Misalnya,
kalimat “Saya berangkat bersama teman ke tempat rekreasi”. Contoh kalimat
tersebut adalah kalimat yang memenuhi syarat kelogisan karena susunan
berpikirnya tepat, boleh jadi juga benar. Pada kalimat tersebut, misalnya
–ternyata benar berangkat ke Jakarta, secara epistemologis boleh jadi benar.
Begitu pula pada kalimat “Bulan didiami manusia”. Contoh kalimat ini susunan
berpikirnya tepat, tetapi patut dipertanyakan kebenarannya karena harus diuji
dengan pengamatan di lapangan. Pada kalimat “Kuda berkaki tujuh”, kalimat
tersebut tepat dalam urutannya sehingga memenuhi syarat kelogisan, tetapi tidak
benar.
Secara
etimologis, logika berasal dari bahasa Yunani, logos yang berarti “kata” atau “pikiran”. Namun, pengertian
dasarnya sering disebut sebagai ilmu berkata-kata atau ilmu berpikir benar,
bukan tepat melainkan benar.
Sebagaimana
telah kita ketahui, bahwa sejak awal keberadaannya, manusia telah memakai
logika untuk dapat hidup, terpelihara, dan berkembang dengan baik. Ketepatan
dan kebenaran dalam memikirkan sesuatu apa pun akan diperlukan. Merupakan hal
yang sangat berbahaya, apabila manusia salah dalam menanggapi hal atau masalah
yang penting. Pada awal kelahiran, logika manusia itu sangat sederhana dan
digunakan untuk menghadapi hal-hal sederhana dengan hasil yang sederhana pula. Logika
demikian bersifat alami atau disebut logika naturalis (natural logics) yang berdasarkan kodrat atau fitrahnya saja,
misalnya digunakan untuk membedakan makan dan tidak makan. Suatu buah-buahan
dapat atau tidak dapat dimakan, dapat dibedakan dengan logika naturalis
berdasarkan pengalaman. Cara membedakannya berdasarkan penelitian laboratorium
dengan cara menemukan unsur apa yang berada di dalam tanaman sehingga dapat
dimakan dan tanaman yang tidak dapat dimakan akan membutuhkan logika berbeda.
Pada hal yang lebih kompleks, logika yang digunakan adalah logika buatan, atau
hasil pengembangan yang disebut dengan logika artificial (artificial logics).
Selanjutnya,
logika dibagi atas dua hal yang lebih rinci, yaitu logika formal dan logika
material.
1) Logika
formal adalah wacana atau argumentasi yang membicarakan hakikat hukum-hukum
ketepatan susunan berpikir. Hal terpenting dalam logika formal adalah masalah
pengaturan atau aturannya, rumusan, atau hukum-hukum bagi ketepatan susunan
pikiran. Isu tidak dipermasalahkan, demikian juga masalah penggunaannya.
Sebagai contoh, dalam matematika terdapat rumus (a + b)2 = a2
+ 2ab + b2. Rumusan ini menggambarkan logika, tetapi tidak kita
pedulikan isinya, apakah a dan b itu.
2) Logika
material adalah wacana atau argumentasi mengenai hakikat penggunaan ketepatan
susunan berpikir terhadap bidang-bidang kegiatan tertentu. Hal ini dinilai
perlu karena suatu bidang pengetahuan atau masalah menuntut susunan berpikir
yang berbeda dengan bidang masalah lainnya. Logika material ini disebut teori
metodologi. Dengan demikian, teori metodologi adalah wacana mengenai cara-cara
menyusun pikiran yang tepat untuk bidang masalah tertentu.
Pemahaman
esensial bagi logika, ialah bahwa apa yang dibicarakan logika hanya menyangkut
ketepatan susunan berpikir. Hal ini akan menimbulkan pertanyaan mengenai
kebenaran atas apa yang dipikirkan. Sebagai contoh, Kuda berkaki tujuh”,
merupakan kalimat yang susunan berpikirnya tepat sehingga dinilai logis.
Menurut logika, kalimat tersebut merupakan kalimat yang tepat. Akan tetapi,
dilihat dari isinya, kalimat tersebut tidak benar karena semua kuda –seidaknya,
pada umumnya –berkaki empat. Susunan berpikir ini penting dan merupakan
persyaratan bagi pernyataan yang benar. Dengan demikian, logika menempatkan
diri pada masalah ketepatan susunan berpikir saja, tidak pada kebenarannya.
Adapaun suatu pernyataan itu benar atau salah merupakan bagian lain dari
masalah mengetahui, yaitu epistemologi.
Selain
keterangan-keterangan tersebut, perlu kita pahami pula berbagai pengertian dari
istilah logika dan istilah lain yang menggunakan kata logika, setidaknya
sebagai wawsan tambahan agar tidak menjadi bingung dalam menghadapi istilah
multi makna. Menurut Thomas Maunter
(1999), logika merupakan penyelidikan yang memiliki objek berupa
prinsip-prinsip bernalar yang benar. Pada masa kini, logika berarti hasil
telaah berdasarkan nalar deduktif, misalnya menyimpulkan sesuatu harus
berdasarkan premis-premisnya. Pada Abad ke- 19, logika memiliki signifikansi
yang luas. Kegiaan logika menurut pengertian Mill, Lotze, dan
lain-lain berkaitan dengan epistemologi dan metodologi ilmiah.
Dalam
percakapan biasa, logika sering digunakan sebagai kata lain dari nalar atau
argumen. Misalnya, “Saya setuju dengan logika ini”. Kalimat ini memiliki arti
sederhana, yaitu nalarnya dapat saya terima. Penggunaan logika seperti ini
tidak diakui dalam konteks filsafati.
Kita
juga mengenal istilah deontik logika yang berarti pernyataan deontik. Deontik
merupakan istilah yang dikemukakan G.H.
Von Wright, bertalian dengan konsep permisibilitas dan obligatoriness.
Konsep ini dinyatakan dalam bentuk boleh, seyogianya, dan seharusnya.
Konsep-konsep ini disebut juga modalitas deontik. Logika mereka memperlihatkan
analogi-analogi dengan logika keharusan (nesesitas) dan kemungkinan
(posibilitas). Konsep deontik dapat dibandingkan dan dikontraskan dengan konsep
normatik mengenai kebenaran dan kesalahan di antara konsep-konsep yang paling
umum, dan konsep analogis mengenai baik dan buruk.
Istilah
baru yang akan kita bahas kali ini adalah jenis logika. Jenis logika ada tiga,
yaitu logika induktif, logika deduktif, dan logika dialektis. Logika deduktif
merupakan hasil penelitian atau sistem mengenai prinsip-prinsip kesimpulan yang
mengarah pada penggunaan suatu prinsip. Adapun logika induktif merupakan hasil
penelitian atau teori mengenai prinsip-prinsip kesimpulan dari berbagai
kenyataan.
Pengertian
logika deduktif dan induktif merupakan wilayah kesimpulan yang sangat penting
dalam penggunaan logika. Pengertian induktif adalah mencari prinsip umum
berdasarkan kenyataan-kenyataan yang berkembang, atau menyatakan kemungkinan
terbesar, sedangkan deduktif adalah penurunan hal umum untuk hal yang khusus,
atau pernyataan yang bersifat niscaya, nesesitas, atau pasti.
2.
Epistemologi
Epistemologi
mempersoalkan kebenaran engetahuan. Pernyataan tentang kebenaran diperlukan
susunan yang tepat. Kebenaran pengetahuan disebut memenuhi syarat-syarat
epistemologi karena juga tepat sususnannya, atau disebut logis. Meskipun logika
dan epistemologi merupakan dua hal berbeda, keduanya memiliki kata yang sangat
kuat, ialah bahwa logika menjadi prasyarat yang mendasari epistemologi.
Dalam
epistemologi, secara lebih rinci terdapat perbincangan mengenai dasar, batas,
dan objek, pengetahuan. Oleh sebagian orang, epistemologi disebut filsafat
ilmu. Secara umum dan mendasar, terdapat perbedaan antara epistemologi dan
filsafat ilmu. Secara umum, epistemologi mempersoalkan kebenaran pengetahuan,
sedangkan filsafat ilmu (philosophy of
science), secara khsus mempersoalkan ilmu
atau keilmuan pengetahuan.
Hal
yang dibicarakan adalah pengetahuan dan susunannya (sistem). Ilmu atau science adalah pengetahuan-pengetahuan
yang gejalanya dapat diamati berulang-ulang melalui eksperimen sehingga dapat
diamati secara berulang oleh orang berbeda-beda dalam waktu yang berbeda.
Adapun hal yang dibicarakan dalam epistemologi adalah hakikat ketepatan susunan
berpikir yang secara tepat pula digunakan untuk masalah-masalah yang
bersangkutan dengan maksud menemukan kebenaran isi pernyataannya. Isi
pernyataannya adalah sesuatu yang ingin diketahui. Oleh karena itu,
epistemologi disebut atau bersesuaian dengan ilmu pengetahuan sehingga
pengertiannya untuk sebagian orang sama saja dengan filsafat ilmu.
Dalam
hal ini, terdapat empat jenis kebenaran yang secara umum dikenal orang, yaitu
kebenaran religius, kebenaran filosofis, kebenaran estetis, dan kebenaran
ilmiah. Hal itu merupakan hasil dari aturan berpikirnya masing-masing, seperti
telah diutarakan dalam pemabahasan logika material.
Pertama,
kebenaran religius adalah kebenaran
yang memenuhi atau dibangun berdasarkan kaidah-kaidah agama atau keyakinan
tertentu disebut juga kebenaran mutlak yang tidak dapat dibantah lagi. Bentuk
pemahamannya adalah dogmatis. Hal yang dimaksud dengan agama adalah
ketentuan-ketentuan atau ajaran-ajaran yang diturunkan melalui wahyu Tuhan YME,
bukan hasl pemikiran atau perenungan manusia, misalnya Islam, Kristen
Protestan, Katolik, dan Yahudi. Sebagian pihak berpendapat, bahwa agama-agama
lain, seperti Budha dan Hindu dinilai bukan agama karena merupakan hasil
kontemplasi, perenungan, dan pemikiran manusia. Namun, ada pihak lain yang
berpendapat bahwa Budha dan Hindu adalah agama karena materinya sama saja
dengan agama lainnya yang penting adalah keyakinan mutlak yang
melatarbelakangi. Bahan pembicaraan kita dalam buku ini, setiap keyakinan, baik
yang datangnya melalui Tuhan YME maupun tidak disebut agama karena berdasarkan
keyakinan yang mutlak.
Kedua,
kebenaran filosofis ialah kebenaran
hasil perenungan dan pemikiran refleksi ahli filsafat yang disebut hakikat atau
the nature, meskipun bersifat
subjektif dan relatif, namun mendalam karena melalui penghayatan eksistensial
bukan hanya pengalaman dan pemikiran intelektual semata. Kebenaran filosofis
ini berguna untuk menyadarkan kita pada relatifnya pengetahuan yang kita miliki
karena pengetahuan itu terus berubah, dalam arti berkembang. Inti filsafat
adalah berpikir, sedangkan dasarnya adalah rasio.
Ketiga,
kebenaran estetis ialah kebenaran
yang berdasarkan penilaian indah dan buruk, serta cita rasa estetis. Artinya,
keindahan yang berdasarkan harmoni dalam pengertian luas yang menimbulkan rasa
senang, tenang, dan nyaman. Misalnya, golden
section menyebutkan bahwa bentuk dua dimensi yang seimbang adalah dengan
skala 2 x 3. Hukum estetika dalam seni rupa ini digunakan dalam ukuran bendera
sedunia, misalnya bendera dengan ukuran besar mempunyai lebar 2 meter dan
panjang 3 meter, sedangkan ukuran yang kecil lebar 2 cm dan panjang 3 cm.
Keempat,
kebenaran ilmiah yang ditandai oleh
terpenuhinya syarat-syarat ilmiah, terutama menyangkut adanya teori yang
menunjang dan sesuai dengan bukti, kebenaran rasional yang ditunjang hasil uji
lapangan yang disebut bukti empiris. Kebenaran teoretis adalah kebenaran yang
berdasarkan rasio, atau kebenaran rasional, berdasarkan teori-teori yang
menunjangnya. Pengertian bukti di sini adalah bukti empiris, yaitu hasil
pengukuran objektif di lapangan. Sifat objektif berlaku umum, dapat diulang
melalui eksperimentasi, cenderung amoral –sesuai apa adanya, bukan apa yang
seharusnya, dan merupakan ciri-ciri ilmu pengetahuan.
Segala
Sesuatu yang Ada (Metafisika)
Pada
pembahasa kali ini, filsafat berbicara tentang segala sesuatu atau sarwa
sekalian alam. Filsafat mempersoalkan pula hakikat kenyataan, segala sesuatu
yang ada, dan materi filsafat, atau dengan kata lain tida ada masalah yang
tidak dibicarakan dalam filsafat. Segala hal yang dibicarakan disebut
metafisika. Masalah ini dianggap sebagai inti dari filsafat, sekalian alam,
tidak ada satu hal pun yang lepas dari perhatian filsafat, atau bersifat
universal. Pada perbicangan ini terdapat dua bagian penting dari metafisika,
sebagai berikut.
1. Metafisika
umum atau ontologi mempersoalkan hakikat “ada” (being).
2. Metafisika
khusus mempersoalkan hakikat “yang ada”
1.
Metafisika
umum atau ontologi
Seperti
telah diutarakan sebelumnya, bahwa hal yang akan dibicarakan pada bagian
filsafat ini adalah tentang ada. Mengapa “ada” dipersoalkan? Pada kenyataannya,
kata “ada” mengandung permasalahan. Misalnya, pada kalimat “Rumah itu ada”.
Secara sekilas, kalimat itu tidak sukar dipahami. Sebagai contoh, dalam suatu
ruang kuliah, kata “ada” atau hadir bermakna adanya tanda tangan dalam daftar
hadir, dan secara fisik bahwa orang tersebut ada di ruangan itu. Akan tetapi,
lain halnya jika pikiran orang yang bersangkutan ada di mana-mana, tidak di
ruang kuliah, tentu tidak menjadi persoalan, tetap dinilai hadir. Seorang
anggota DPR dinilai hadir sehingga kehadirannya menjadi bahan untuk menentukan quorum suatu rapat dilihat dari daftar
hadir. Secara fisik, mungkin ia ada di kantin atau di mall, hal itu tidak penting. Persoalan yang lebih rumit, “Apakah
dengan adanya sesuatu, adakah tidak ada itu?” Apakah istilah ada dalam kalimat
tersebut menunjuk pada pengertian yang sama atau tidak?
Jadi,
ontologi mempersoalkan adanya segala sesuatu yang ada. Hal ini berbeda dengan
metafisika khusus yang mempersoalkan hakikat yang ada.
Apabila
kita bertanya, “Apakah ada itu?”. Berdasarkan sudut pandang logika, kita tidak
mungkin memperoleh jawaban karena jawabannya tidak memenuhi persyaratan.
Sebagaimana kita ketahui, bahwa dalam suatu batasan atau definisi, jawaban atas
pertanyaan itu harus ada dua unsur yang menjadi prasyarat, yaitu genus proximum dan differentiae specifiae. Spesifik artinya khas atau unik, dibedakan
dari particular yang berarti khusus. Contohnya, “Apakah manusia itu?”.
Jawabannya, “Manusia adalah makhluk hidup yang berpikir”. Pada jawaban ini,
genus proximum dari manusia adalah “makhluk hidup”, sedangkan differentiae specificeae-nya adalah
“yang berpikir”.
Batasan
tentang “ada” tidak dapat diberikan karena “ada” tidak memiliki genus proximum atau pengertian yang
lebih tinggi. Adapun differentiae
specificae adalah ciri khas terhadap hal yang didefinisikan. Jadi,
pertanyaan Apakah ada itu?, tidak dapat dijawab karena tidak akan ditemukan genus proximum terhadap “ada” karena
“ada” merupakan pengertian yang tertinggi. Oleh karena itu, diperlukan
pemahaman tentang “ada”. Selanjutnya, kita akan mengamati masalah “ada” dari
sudut kenyataan yang ada. Sudut kenyataan yang ada tersebut adalah segala hal
yang ada, termasuk dalam metafisika khusus.
2.
Metafisika
khusus
Metafisika
ini membicarakan hakikat segala sesuatu yang ada. Secara umum, terdapat tiga
kelompok atau hal yang berbeda menurut Langeveld. Karena itu, Langeveld
mengemukakan, bahwa dalam membicarakan hakikat segala sesuatu terdapat tiga
bagian sebagai berikut.
1) Kosmologi
adalah bagian metafisika khusus yang mempersoalkan hakikat alam semesta segala
isinya, kecuali manusia.
2) Antroplogi
adalah bagian metafisika khusus yang mempersoalkan hakikat manusia.
3) Teologi
atau theodecea adalah bagian
metafisika khusus yang mempersoalkan hakikat Tuhan. Hal-hal yang dibicarakan di
dalamnya menyangkut kebaikan, kesucian, kebenaran, keadilan, dan sifat-sifat
baik Tuhan lainnya. Malaikat dibicarakan pula dalam rangka pembicaraan tentang
Tuhan, tetapi boleh jadi Nabi dibicarakan dalam antropologia.
Segala
sesuatu yang ada, secara khusus dibagi dalam tiga substansi, yaitu kosmos,
manusia, dan Tuhan. Pada metafisika khusus, terdapat gagasan atau ide karena
meskipun tidak konkret, gagasan atau ide berpengaruh dan menyita banyak waktu
serta perhatian para pemikir ataupun kaum awam. Sebagian pihak beranggapan,
bahwa epistemologi sebagai bagian dari metafisika karena epistemologi
mempersoalkan kepastian atau kebenaran pengetahuan metafisis.
Langeveld
berpendapat, bahwa manusia tidak dapat dimasukkan ke dalam bagian kosmologi.
Seperti halnya manusia, pohon dan binatang pun memiliki kehidupan. Namun, ia
berpendapat bahwa kehidupan manusia tampil dalam wajah yang secara esensial
khas dan penting, yaitu menyangkut fungsi luhur, antara lain kebebesan untuk
memilih dan berkehendak, serta memiliki nilai spiritual dan keyakinan. Dalam
ciri khasnya tersebut, manusia memiliki nilai yang tinggi.
Sebagian
pihak ada yang mempersoalkan kedudukan teologi terhadap filsafat karena
sebagian orang memandang filsafat sebagai ancilla
theologise (budak teologi). Dengan demikian, filsafat dianggap sebagai
dasar, pengantar, atau pendahuluan teologi. Pandangan bahwa teologi sebagai
bagian dari metafisika khusus, teologi disebut juga sebagai theodecea atau teologi naturalis. Selain
itu, sebagian besar pihak ada pula yang beranggapan lebih tepat menyebut theodecea daripada teologi karena
teologi menunjuk pada pengertian ilmu pengetahuan mengenai agama atau ajaran
agama (tertentu). Teologi ini berbicara pula tentang Tuhan. Namun, Kant
berpendapat bahwa adanya Tuhan tidak dapat dibuktikan, tetapi harus berdasarkan
keyakinan. Beberapa pihak berpendapat, bahwa Tuhan dapat dibuktikan dari
ciptaan-Nya. Pendapat lain menyatakan bahwa pemahaman terhadap ciptaan Tuhan
lebih berdasar pada keyakinan bukan hasil wacana.
Antropologi
dalam metafisika sering pula menampilkan masalah,”Apakah manusia seyogianya
berkedudukan tersendiri atau merupakan bagian dari kosmologi, seperti tanah,
air, tumbuh-tumbuhan, dan binatang?”
Kosmologi
dan antropologi, apabila tidak dilihat dari perbedaan hakiki antara alam
semesta dan manusia, keduanya disatukan dalam pengertian filsafat alam (nature
philosophie).
Aksiologi
Aksiologi
adalah bagian filsafat yang mempersoalkan penilaian, terutama berhubungan
dengan masalah atau teori umum formal mengenai nilai. Tampaknya, gagasan
mengenai aksiologi dipelopori oleh Lotze,
kemudian Brentano, Husserl, Scheller, dan Nicolai
Hatmann. Scheller mengontraskannya dengan praeksologi, yaitu pengertian
umum mengenai hakikat tindakan. Secara khusus, bersangkutan dengan deontology,
yaitu teori moralitas mengenai tindakan yang benar.
Dalam
penilaiannya, terdapat dua bidang yang paling popular saat ini, yaitu yang
bersangkutan dengan tingkah laku dan keadaan atau tampilan fisik. Dengan
demikian, kita mengenal aksiologi dalam dua jenis, yaitu etika dan estetika.
1. Etika
adalah bagian filsafat yang mempersoalkan penilaian atas perbuatan manusia dari
sudut baik dan jahat. Perlu diamati di sini, bahwa perbuatan manusia senantiasa
mendapat penilaian baik dan jahat. Tentulah mudah bagi seseorang dalam menilai
arti baik, tetapi mengapa yang sebaliknya disebut jahat, bukan buruk atau tidak
baik saja. Adapun alasannya adalah bahwa yang dimaksud dengan jahat di sini
adalah perbuatan-perbuatan yang akan merendahkan atau merusak kualitan
kehidupan orang lain.
Etika
dalam bahasa Yunani, ethos yang
artinya kebiasaan, habit, atau custom.
Maksudnya, hampir tidak ada orang yang tidak memiliki kebiasaan baik atau
buruk. Oleh karena itu, istilah etis dan tidak etis dinilai kurang tepat.
Adapun istilah yang lebih tepat adalah etika baik dan etika jahat.
2. Estetika
merupakan bagian filsafat yang mempersoalkan penilaian atas sesuatu dari sudut
indah dan jelek. Secara umum, estetika disebut sebagai kajian filsafati
mengenai apa yang membuat rasa senang. Secara visual dan imajinasi, estetika
disebut juga kajian mengenai keindahan, atau teori tentang cita rasa, dan
kritik dalam kesenian kreatif serta pementasan. Tokoh paling terkenal dalam
bidang ini ialah Alexander Baumgarten
(1714-1762) dalam disertasinya pada 1735 yang justru dianggap awal
diwacanakannya estetika.
Aksiologi,
selain pembagiannya berdasarkan etika dan estetika, para ahli membaginya dalam
liputan tentang hakikat penilaian atas kebenaran, kebaikan, keindahan, dan
kesucian. Dalam hal ini, setiap ahli mempunyai hak untuk mengajukan pendapatnya
sendiri-sendiri, dan pembaca tidak harus mengikuti satu di antara beberapa
pendapat itu karena yang terpenting adalah pengakuan atas alasannya.
Sistematika/Klasifikasi
Lain
Sepintas
lalu, telah diuraikan mengenai klasifikasi filsafat berdasarkan pendapat
Langeveld. Namun, klasifikasi filsafat itu dibuat berdasarkan bermacam-macam
kategori. Hal ini bergantung pada keperluan ataupun minat pembuatan
klasifikasi. Klasifikasi ini dibuat berdasarkan daerah atau lingkungan budaya
masing-masing. Sebagai contoh, empirisme Inggris dan Eropa, atau masalah serta
sumber persoalan di berbagai daerah, seperti filsafat Eropa, India, dan
Tiongkok (Cina, terutama Cina Kuno).
Terdapat
klasifikasi filsafat yang menempatkan logika secara khusus, tersendiri, atau di
luar filsafat dengan alasan bahwa logika merupakan alat utama dalam
berfilsafat. Logika juga merupakan alat untuk membuat klasifikasi dan membahas
komponen-komponen filsafat. Artinya, logika merupakan alat untuk berfilsafat,
bukan merupakan bagian dari filsafat.
Dalam
pembahasan kali ini, kita perlu mengutip klasifikasi lain sebagai bahan
perbandingan mengenai cara berpikir atau kategorisasinya. Misalnya, pembagian
filsafat berdasrkan pemikiran Plato
(427-348 SM), yaitu sebagai berikut.
1. Dialektika
ialah bagian filsafat yang mempersoalkan gagasan-gagasan dan pengertian umum.
2. Fisika
ialah bagian filsafat yang mempersoalkan dunia material.
3. Etika
ialah bagian filsafat yang mempersoalkan perilaku baik manusia.
Sistematika
filsafat dari Plato dianggap sebagai awal pembagian filsafat sehingga penting
untuk selalu diingat karena hampir seluruh hal dalam alam semesta ini tercakup.
Misalnya, masalah abstrak menyangkut pikiran dan gagasan, termasuk kegiatannya
tercakup dalam dialektika. Dialektika berkaitan dengan dialog atau logika.
Setiap benda, termasuk benda hidup, seperti manusia dan binatang, di samping
tumbuh-tumbuhan dan benda-benda mati tercakup dalam fisika. Adapun tingkah
laku, perbuatan manusia yang dianggap paling berpengaruh dalam kehidupan
tercakup dalam etika. Anggapan lain mengatakan bahwa klasifikasi ini terlalu
umum, atau kurang rinci sehingga tidak banyak yang dapat dijadikan rujukan.
Misalnya, manusia yang tidak mendapat tempat khusus dalam sistematika itu
mempunyai kedudukan dan peranan penting dalam kehidupan dunia. Manusia dalam
sitematika itu dibagi dalam dua bagian wacana, yaitu fisika untuk sisi
jasmaninya dan tingkah laku untuk sisi jiwa serta perilakunya. Pembagian
seperti ini tidak menggambarkan keutuhan manusia.
Aristoteles
(382-322 SM), seorang murid Plato dikenal sebagai seorang filosof pertama yang
membuat klasifikasi filsafat, sedangkan Plato dianggap sebagai orang pertama
yang menemukan klasifikasi. Ia membuat pembagian filsafat secara lebih rinci,
konkret, dan sistematik. Dengan demikian, Aristoteles dianggap sebagai acuan
pembagian klasifikasi filsafat pada masa-masa berikutnya.
Adapun
klasifikasi filsafat berdasarkan Aristoteles adalah sebagai berikut.
1. Logika
adalah bagian filsafat yang mempersoalkan bentuk susunan atau cara penyusunan
pikiran. Dalam sistematika filsafat Plato, logika termasuk ke dalam dialektika,
namun oleh sebagian ahli, logika ini dipandang kurang spesifik. Logika ini
lebih bersifat esensial jika dibandingkan dengan dialektika. Aristoteles sangat
menaruh perhatian terhadap bagian filsafat ini, bahkan menganggapnya sebagai
ilmu pendahulu filsafat. Ia dianggap sebagai Bapak Logika, terutama dengan buku
yang disusun murid-muridnya yang berjudul “Organon” atau instrumen tentang
logika formal.
2. Filsafat
teoretis memperbincangkan adanya dan keadaan sesuatu yang
meliputi hal-hal sebagai berikut.
a. Fisika
mempersoalkan dunia material.
b. Matematika
mempersoalkan benda-benda berdasarkan kuantitasnya.
c. Metafisika
mempersoalkan tentang ada. Menurut Aristoteles, metafisika adalah bagian utama
masalah filsafat. Dalam metafisika ini, selain masalah “ada”, juga masalah
“yang ada”.
3. Filsafat praktis
mempersoalkan perbuatan, secara khusus mengenai masalah kesusilaan yang
meliputi hal-hal sebagai berikut.
a. Etika
mempersoalkan masalah perbuatan, kesusilaan hidup seseorang.
b. Ekonomia
mempersoalkan perbuatan, kesusilaan hidup kekeluargaan.
c. Politika
mempersoalkan perbuatan, kesusilaan hidup berbangsa dan bernegara.
4. Filsafat
poetika/faktiva/estetika mempersoalkan produk, tindakan,
dan keindahan.
Para
ahli berpendapat, bahwa kelemahan yang dianggap penting dari sistematika
filsafat Aristoteles, ialah menyangkut etika yang dalam filsafat Aristoteles
hanya mempersoalkan perbuatan atau kesusilaan hidup seseorang. Oleh karena itu,
mereka memperdalam dan merincinya lebih lanjut hingga cabang-cabang etika,
seperti etika umum, etika khusus, etika individual, dan etika sosial. Dengan
demikian, muncullah etika khusus, seperti etika bisnis.
Eerste Nederkandse Systematisch
Ingerichte Encyclopedia (ENSIE), sebuah ensiklopedi yang
dihormati di negeri Belanda, seperti kutipan Bakry mengajukan adanya sembilan buah permasalahan dalam filsafat,
yaitu
1. Metafisika,
2. Logika,
3. Filsafat
mengenal,
4. Filsafat
pengetahuan,
5. Filsafat
alam,
6. Filsafat
kebudayaan,
7. Etika,
8. Estetika,
dan
9. Antropologi.
Selain
sistematika filsafat seperti diutarakan Plato dan Aristoteles, juga terdapat
pembagian atau sistematika filsafat lain yang sering digunakan orang karena
dinilai prakatis, sederhana, juga meliputi pemahaman menyeluruh. Adapun
sistematika filsafat tersebut adalah sebagai berikut.
1. Filsafat
teoretis, yaitu bagian filsafat yang membicarakan
aturan-aturan atau hukum yang bersangkutan dengan masalah-masalah antara lain:
a. Logika;
b. Metafisika
atau ontologi;
c. Alam
semesta (kosmologi); dan
d. Filsafat
manusia (antropologi).
2. Filsafat praktis,
yaitu bagian filsafat yang membicarakan perbuatan-perbuatan sebagai berikut.
a. Etika
membicarakan hakikat nilai perilaku.
b. Theodecea membicarakan
hakikat agama.
c. Kultur
membicarakan hakikat kebudayaan.
Dengan
bervariasinya sistematika filsafat, hal ini memperlihatkan bahwa cakupan
filsafat sangatlah luas. Pemikiran para ahli yang saling berbeda itu mempunyai
kabsahan tersendiri. Setiap orang mempunyai hak untuk mengemukakan pendapatnya,
sebagai akibat dari hakikat keadaan filsafat yang seperti itu. Mereka
berpendapat bahwa dalam hal pemahamannya, sudut penekanan tiap-tiap orang
berbeda, dan itu beralasan.
Berdasarkan
perbedaan tersebut, kita berharap dapat menemukan manfaat dan hikmah yang lebih
besar.
Selain
istilah sistematika, dikenal pula istilah sistem. Antara sistematika dan sistem
memiliki kesamaan karena keduanya berbicara tentang susunan apa yang
dibicarakan. Fergilius Ferm dalam
bukunya “A History of Philolopical
Systems” mengutarakan pengelompokkan berbagai pikiran filsafati berdasarkan
masalah, daerah, dan sejarahnya. Misalnya, berbagai filsafat pada masa kuno dan
pertengahan (Ancient and Medieval),
juga filsafat-filsafat pada zaman renaissance. Berbagai pikiran filsafat selain
dikelompokkan berdasarkan hal tersebut, juga dikelompokkan berdasarkan tempat
dan budaya, serta pembagian berbagai pendapat mengenai suatu aliran, seperti
dalam golongan positivism.
Hal
tersebut menggambarkan cara-cara yang dapat digunakan dalam mempelajari
filsafat berdasarkan sistematikanya.
Sumber
: Buku Pengantar Filsafat, Sutardjo A. Wiramihardja
1 komentar:
mas. lain kali kalau bikin artikael di web atau blogspot temanya gak usah muluk2. ga kebaca.
Posting Komentar