Sabtu, 11 Oktober 2014

Ushul Fiqh I Sumber Dan Dalil Hukum Yang Disepakati I Sunnah Rasulullah


 
a.      Pengertian Sunnah

Kata sunnah secara bahasa berarti “perilaku seseorang tertentu, baik perilaku yang baik atau perilaku yang buruk”. Dalam pengertian inilah dipahami kata sunnah dalam sebuah hadis Rasulullah:

Dari al-Munzir bin Jarir, dari bapaknya, dari Nabi SAW. bersabda: “Barangsiapa yang melakukan perilaku (sunnah) yang baik dalam Islam ini, maka ia akan mendapat pahalanya dan pahala orang yang menirunya dan sedikit pun tidak dikurangi, dan barangsiapa yang melakukan perilaku (sunnah) yang buruk dalam Islam, maka ia akan mendapat dosanya dan dosa orang yang menirunya dan sedikit pun tidak dikurangi. (HR. Muslim)

Menurut istilah Ushul Fiqh, Sunnah Rasulullah, seperti dikemukakan oleh Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib (Guru Besar Hadis Universitas Damaskus), berarti “Segala perilaku Rasulullah yang berhubungan dengan hukum, baik berupa ucapan (Sunnah qaulyyiah), perbuatan (Sunnah fii’liyyah), atau pengakuan (Sunnah taqririyah)”.

Contoh Sunnah qawliyah (ucapan) sabda Rasulullah SAW:

Dari Ubadah bin Samit, sesungguhnya Rasulullah SAW. menetapkan bahwa tidak boleh melakukan kemudaratan, dan tidak pula boleh membalas kemudarata dengan kemudaratan”. (HR. Ibnu Majah)

Sementara contoh Sunnah fi’liyyah ialah tentang rincian tata cara shalat sebagai berikut:

Dari Ibnu Umar berkata, sesungguhnya Rasulullah SAW. bersabda: “Saya shalat sperti sahabat-sahabatku melaksanakan shalat, aku tidak melarang seseorang di antara mereka shalat, baik siang maupun malam sesuai yang dikehendakinya, kecuali mereka sengaja shalat pada saat terbit dan tenggelamnya matahari. (HR. Bukhari)

Demikian juga dengan masalah-masalah yang berkaitan dengan ibadah haji, di mana dalam Al-Qur’an hanya disebutkan kewajiban melakukan shalat dan kewajiban melakukan haji tanpa ada penjelasannya secara terperinci.

Sedangkan contoh Sunnah taqririyah (pengakuan) ialah pengakuan Rasulullah atas perilaku para sahabat. Contohnya, di masa Rasulullah ada dua orang sahabat dalam suatu perjalanan, ketika akan shalat tidak mendapatkan air, lalu mereka bertayamum dan mengerjakan shalat. Kemudian mereka menemukan air sedangkan waktu shalat masih berlanjut. Lalu salah seorang di antara keduanya mengulangi shalatnya dan yang lain tidak. Ketika mereka melaporkan hal itu kepada Rasulullah, Beliau membenarkan kedua praktik tersebut. Kepada yang tidak mengulangi shalatnya beliau berkata: “Engkau telah melakukan sunnah, dan telah cukup bagimu shalatmu itu”. Dan kepada yang mengulangi shalatnya beliau berkata pula: “Bagimu pahala dua kali lipat ganda”. Hadis tersebut sebagai berikut:

Dari Atha’ bin Yasar dari Abi Sa’id, sesungguhnya ada dua orang lelaki yang bertayamum dan keduanya melaksanakan shalat, kemudian keduanya mendapatkan air, pada saat waktu belum habis, maka salah seorang dari keluarga berwudhu dan mengulang shalatnya karena waktu belum sedangkan seorang yang lain tidak melakukannya, maka keduanya bertanya kepada nabi SAW. Dan beliau bersabda kepada yang tidak mengulang shalatnya.” Engkau telah melakukan sunnah, dan telah cukup bagimu shalatmu itu “Dan kepada yang mengulangi shalatnya beliau bersabda:” Bagimu pahala dua kali lipat ganda”. (HR. Abu Daud dan Nasai)

Sunnah dalam pengertian tersebut di atas, seperti ditegaskan Shubi Saleh, ahli hadis berkebangsaan Libanon, identik dengan istilah hadis.

b.      Dalil Keabsahan Sunnah sebagai Sumber Hukum

Al-Qur’an memerintahkan kamu muslimin untuk menaati Rasulullah seperti dalam ayat:

Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya (QS. an-Nisa’/4: 59)

Ada juga ayat yang menjelaskan bahwa pada diri Rasulullah terdapat keteladanan yang baik sebagaimana firman Allah:

Sesungguhnya tela ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah. (QS. al-Ahzab/33: 21)

Bahkan dalam ayat lain Allah memuji Rasulullah sebagai seorang yang agung akhlaknya:

Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung. (QS. al-Qalam/68: 4)

Di samping itu, Allah menilai bahwa orang yang menaati Rasul adalah sama dengan menaati Allah seperti dalam ayat:

Barangsiapa yang menaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah menaati Allah. Dan barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan itu), maka Kami tidak mengutuskan untuk menjadi pemelihara bagi mereka. (QS. an-Nisa’/4: 80)

dan Allah menganggap tidak ideal iman seseorang yang tidak menyerah kepada keputusan Rasulullah sebagaimana firman Allah:

Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya. (QS. an-Nisa’/4: 65)

Dengan demikian, walaupun otoritas pokok bagi hukum Islam adalah Al-Qur’an, namun Al-Qur’an mengatakan bahwa Rasulullah adalah sebagai penafsir dari ayat-ayat Al-Qur’an, seperti disebutkan dalam sebuah ayat:

Dan Kami turunkan kepadamu Al-Qur’an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan. (QS. an-Nahl/16: 44)

Ayat-ayat diatas secara tegas menunjukkan wajibnya mengikuti Rasulullah, yang tidak lain adalah mengikuti sunnahnya. Berdasarkan beberapa ayat tersebut, para sahabat semasa hidup nabi dan setelah wafatnya telah sepakat atas keharusan menjadikan Sunnah Rasulullah sebagai sumber hukum.

c.       Pembagian Sunnah atau Hadis

Sunnah atau hadis dari segi sanadnya atau periwayatannya dalam kajian Ushul Fiqh dibagi kepada dua macam, yaitu hadis mutawatir dan hadis ahad.

Hadis Mutawatir ialah hadis yang diriwayatkan dari Rasulullah oleh sekelompok perawi yang menurut kebiasaan individu-individunya jauh dari kemungkinan berbuat bohong, karena banyak jumlah mereka dan diketahui sifat masing-masing mereka yang jujur serta berjauhan tempat antara yang satu dengan yang lain. Dari kelompok ini diriwayatkan pula selanjutnya oleh kelompok berikutnya yang jumlahnya tidak kurang dari kelompok pertama, dan begitulah selanjutnya sampai dibukukan oleh pentadwin (orang yang membukukan) hadis, dan pada masing-masing tingkatan itu sama sekali tidak ada kecurigaan bahwa mereka akan berbuat bohong atas Rasulullah. Contohnya Sunnah fi’liyyah (perbuatan) tentang rincian cara melakukan shalat, rincian haji, dan lain-lain yang merupakan syiar agama Islam yang secara berturut-turut diwarisi dari satu generasi ke generasi berikutnya sehingga sampai kepada kita. Sunnah fi’liyyah seperti ini telah diterima oleh sekelompok sahabat dari Rasulullah. Kemudian diwarisi pula generasi berikutnya sehingga sampai ke masa kita sekarang ini.

Hadis Mutawatir terbagi dua macam; hadis mutawatir lafzy dan hadis mutawatir ma’nawy. Hadis mutawatir lafzy ialah hadis yang diriwayatkan oleh orang banyak yang bersamaan arti dan lafalnya. Contoh:

Dari Abu Sa’id al-Khudriy, sesungguhnya Rasulullah SAW. Bersabda Janganlah Anda tulis apa yang aku ucapkan, barang siapa yang menulis sesuatu dariku selain Al-Qur’an maka hapuslah dan ceritakanlah hadis dariku serta jangan berbuat dosa. Barangsiapa yang berbuat dusta atas diriku dengan sengaja maka hendaklah ia mengambil tempatnya di neraka. (HR. Muslim)

Menurut Imam Zakariya Muhyiddin ibn Syaraf al-Nawawi (w. 676 H), ahli hadis dan ahli fiqh dari kalangan Syafi’iyah, hadis tersebut diriwayatkan oleh tidak kurang dari dua ratus orang sahabat.

Sedangkan Hadis mutawatir ma’nawy ialah beberapa hadis yang beragam redaksinya tetapi maknanya sama. Misalnya hadis yang menjelaskan bahwa Rasulullah mengangkat tangannya dalam setiap berdoa. Hadis tersebut diriwayatkan dalam berbagai peristiwa dan dalam berbagai redaksi antara lain diriwayatkan oleh Tirmzi.

Hadis Ahad ialah hadis yang diriwayatkan oleh seorang atau lebih tetapi tidak sampai ke batas hadis mutawatir. Hadis Ahad terbagi kepada tiga macam. Pertama, hadis masyhur, yaitu hadis yang pada masa sahabat diriwayatkan oleh tiga orang perawi, tetapi kemudian pada masa tabi’in dan seterusnya hadis itu menjadi hadis mutawatir dilihat dari segi jumlah perawinya. Contoh:

Dari ‘Umar bin Khattab: “Sesungguhnya amalan-amalah itu tergantung kepada niat, dan bagi seseorang adalah menurut apa yang diniatkannya, Barangsiapa yang hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya akan sesuai dengan yang telah diniatkannya dan barangsiapa yang hijrahnya karena dunia yang akan digapainya atau karena wanita yang akan dinikahinya, maka nilai hijrahnya akan sesuai dengan apa yang diniatkannya. (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Kedua, hadis ‘aziz, yaitu hadis yang pada satu periode diriwayatkan oleh dua orang meskipun pada periode-periode yang lain diriwayatkan oleh banyak orang. Contoh:

Menuntut ilmu itu adalah merupakan kewajiban bagi tiap-tiap orang Islam baik laki-laki atau perempuan. (HR. al-Baihaqi)

Ketiga, hadis gharib yaitu hadis yang diriwayatkan orang perorangan pada setiap periode sampai hadis itu dibukukan. Contohnya hadis riwayat Bukhari dan Muslim dari Anas:

Dari Qatadah, dari Anas berkata Rasulullah SAW. bersabda: “Belum dianggap sempurna iman seseorang di antara kamu sehingga aku lebih disukai olehnya daripada orang tuanya, anaknya, dan seluruh manusia”. (HR. al-Bukahri Muslim)

Dari kedua pembagian hadis di atas, para ulama Ushul Fiqh sepakat bahwa hadis mutawatir adalah sah dijadikan sumber hukum, namun mereka berbeda pendapat tentang keabsahan hadis ahad sebagai sumber hukum.

Aliran Mu’tazilah dan Khawarij menolak hadis ahad untuk dijadikan sumber hukum. Alasannya. Hadis ahad tidak diyakini datangnya dari Rasulullah, dan ada kemungkinan palsu, dan oleh karena itu tidak layak untuk dijadikan sumber hukum. Berbeda dengan pendapat ini, jumhur ulama sepakat bahwa hadis ahad bilamana dinilai sahih, secara sah dapat dijadikan sumber hukum. Alasan mereka antara lain firman Allah:

Tidak sepatutnya bagi oang-orang yang mukmin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antaran mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya. (QS. at-Taubah/9:122)

Menurut jumhur ulama ayat tersebut menunjukkan bolehnya menerima ilmu agama dari perorangan, karena kata “taifah” dalam ayat tersebut dalam pemakaian bahasa Arab bisa bermakna beberapa orang dan bisa juga untuk orang seorang.

Alasan lain adalah ijma’ sahabat. Para sahabat sering memutuskan hukum berdasarkan sunnah atau hadis yang diriwayatkan oleh perorangan. Misalnya, menjawab pertanyaan putranya ‘Abdullah bin ‘Umar mengenai apa yang didengarnya dari Sa’ad bin Abi Waqqas yaitu bahwa Rasulullah menyapu sepatu (dalam berwudhu) baginya atasnya, Umar menjawab: “Ya, betul. Kalau sudah diceritakan Sa’ad dari Rasulullah, tidak lagi perlu engkau tanyakan kepada orang lain”. Dengan beberapa alasan di atas, jumhur ulama sepakat bahwa hadis ahad bilamana sampai ke tingkat shahih dapat dijadikan sumber huku. Selain itu, para ulama hadis secara ketat membuat persyaratan-persyaratan yang akan menjamin kesahihan hadis, sehingga kekhawatiran bahwa hadis itu palsu, adalah tipis sekali. 

d.      Fungsi Sunnah Terhadap Ayat-ayat Hukum

Secara umum fungsi sunnah adalah sebagai bayan (penjelasan) atau tabyiin (menjelaskan ayat-ayat hukum dalam Al-Qur’an) seperti ditunjukkan oleh ayat 44 Surat al-Nahl:

Kami telah menurunkan kepadamu Al-Qur’an agar kamu menjelaskannya kepada manusia apa yang diturunkan kepada mereka, dan supaya kamu memikirkannya. (QS. an-Nahl/16: 44)

Ada beberapa bentuk fungsi sunnah terhadap Al-Qur’an:

1)      Menjelaskan isi Al-Qur’an, antara lain dengan merinci ayat-ayat global. Misalnya hadis fi’liyah (dalam bentuk perbuatan) Rasulullah yang menjelaskan cara melakukan shalat yang diwajibkan dalam Al-Qur’an dalam hadis riwayat Bukhari dari Abu Hurairah, dan demikian pula tentang penjelasannya mengenai masalah haji seperti dalam hadis riwayat Muslim dari Jabir. Di samping itu juga Sunnah Rasulullah berfungsi untuk mentakhsis ayat-ayat umum dalam Al-Qur’an yaitu menjelaskan bahwa yang dimaksud oleh Allah adalah sebagian dari cakupan lafal umum itu, bukan seluruhnya. Contoh:

Dari Abu Hurairah berkata, Rasulullah SAW. melarang memadu antara seorang wanita dengan bibinya saudara ayah atau ibu. (HR al-Bukhari dan Muslim)

Hadis tersebut mentakhsis keumuman 24 Surat an-Nisa’ sebagai berikut:

dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari istri-istri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka istri-istri yang telah kamu campuri di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (QS. an-Nisa’/3: 24)

Ayat ini menegaskan boleh mengawini selain wanita-wanita yang telah disebutkan sebelumnya, seperti ibu, saudara perempuan, anak saudara dan lain-lainnya yang tersebut dalam ayat ke 23 sebelumnya. Sebelum datang hadis tersebut, berdasarkan kepada keumuman ayat 24 surat an-Nisa’, boleh memadu seorang wanita dengan bibinya. Persepsi beginilah yang dihilangkan oleh datangnya hadis pentakhsis tersebut, sehingga maksud ayat tersebut tidak lagi mencakup masalah poligami antara seorang wanita dengan bibinya.

2)      Membuat aturan tambahan yang bersifat teknis atas sesuatu kewajiban yang disebutkan pokok-pokoknya di dalam Al-Qur’an. Misalnya masalah li’an, bilamana seorang suami menuduh istrinya berzina tetapi tidak mampu mengajukan empat orang saksi padahal istrinya itu tidak mengakuinya, maka jalan keluarnya adalah dengan li’an. Li’an adalah sumpah empat kali dari pihak suami bahwa tuduhannya adalah benar dan pada kali yang kelima ia berkata: “La’nat (kutukan) Allah atasku jika aku termasuk kedalam orang-orang yang berdusta”. Setelah itu istri pula mengadakan lima kali sumpah membantah tuduhan tersebut sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah:

Dan orang-orang yang menuduh istrinya (berzina), padahal mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, sesungguhnya dia adalah termasuk orang-orang yang benar. Dan (sumpah) yang kelima: bahwa laknat Allah atasnya, jika dia termasuk orang-orang yang berdusta. Istrinya itu dihindarkan dari hukuman oleh sumpahnya empat kali atas nama Allah sesungguhnya suaminya itu benar-benar termasuk orang-orang yang dusta, dan (sumpah) yang kelima: bahwa laknat Allah atasnya jika suaminya itu termasuk orang-orang yang benar. (QS. an-Nur/24: 6-9)

Sehingga dengan li’an yang dialkukannya, suami lepas dari hukuman qazaf (delapan puluh kali dera atas orang yang menuduh oran lain berzina tanpa saksi) dan istri pun bebas dari tuduhan berzina itu. Namun dalam ayat tersebut tidak dijelaskan apakah hubungan suami istri antara keduanya masih lanjut atau terputus. Sunnah Rasulullah menjelaskan hal itu yaitu bahwa di antara keduanya di pisahkan buat selamanya (HR. Ahmad dan Abu Daud).

3)      Menetapkan hukum yang belum disinggung dalam Al-Qur’an. Contohnya: hadis riwayat al-Nasa’i dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda mengenai keharaman memakan binatang buruan yang mempunyai taring dan burung yang mempunyai cakar sebagaimana disebutkan dalam hadis:

Dari Abu Hurairah, dari Nabi SAW. bersabda semua jenis binatang buruan yang mempunyai taring dan burung yang mempunyai cakar, maka hukum memakannya adalah haram. (HR. an-Nasa’i)

Sumber : Buku Ushul Fiqh, Satria Effendi

Tidak ada komentar:

Kisah Mata Air Keabadian

Kisah ini diriwayatkan oleh Ats-Tsa’labi dari Imam Ali ra. Pada zaman dahulu hiduplah seorang hamba Allah SWT yang melebihkan kepada d...