a.
Pengertian
Sunnah
Kata
sunnah secara bahasa berarti
“perilaku seseorang tertentu, baik perilaku yang baik atau perilaku yang
buruk”. Dalam pengertian inilah dipahami kata sunnah dalam sebuah hadis
Rasulullah:
Dari al-Munzir bin Jarir, dari
bapaknya, dari Nabi SAW. bersabda: “Barangsiapa yang melakukan perilaku
(sunnah) yang baik dalam Islam ini, maka ia akan mendapat pahalanya dan pahala
orang yang menirunya dan sedikit pun tidak dikurangi, dan barangsiapa yang
melakukan perilaku (sunnah) yang buruk dalam Islam, maka ia akan mendapat
dosanya dan dosa orang yang menirunya dan sedikit pun tidak dikurangi.
(HR. Muslim)
Menurut
istilah Ushul Fiqh, Sunnah Rasulullah, seperti dikemukakan oleh Muhammad ‘Ajjaj
al-Khatib (Guru Besar Hadis Universitas Damaskus), berarti “Segala perilaku
Rasulullah yang berhubungan dengan hukum, baik berupa ucapan (Sunnah qaulyyiah), perbuatan (Sunnah fii’liyyah), atau pengakuan (Sunnah taqririyah)”.
Contoh Sunnah qawliyah
(ucapan) sabda Rasulullah SAW:
Dari Ubadah bin Samit, sesungguhnya
Rasulullah SAW. menetapkan bahwa tidak boleh melakukan kemudaratan, dan tidak
pula boleh membalas kemudarata dengan kemudaratan”.
(HR. Ibnu Majah)
Sementara contoh Sunnah
fi’liyyah ialah tentang rincian tata cara shalat sebagai berikut:
Dari Ibnu Umar berkata,
sesungguhnya Rasulullah SAW. bersabda: “Saya shalat sperti sahabat-sahabatku
melaksanakan shalat, aku tidak melarang seseorang di antara mereka shalat, baik
siang maupun malam sesuai yang dikehendakinya, kecuali mereka sengaja shalat
pada saat terbit dan tenggelamnya matahari. (HR. Bukhari)
Demikian
juga dengan masalah-masalah yang berkaitan dengan ibadah haji, di mana dalam
Al-Qur’an hanya disebutkan kewajiban melakukan shalat dan kewajiban melakukan
haji tanpa ada penjelasannya secara terperinci.
Sedangkan
contoh Sunnah taqririyah (pengakuan)
ialah pengakuan Rasulullah atas perilaku para sahabat. Contohnya, di masa
Rasulullah ada dua orang sahabat dalam suatu perjalanan, ketika akan shalat
tidak mendapatkan air, lalu mereka bertayamum dan mengerjakan shalat. Kemudian
mereka menemukan air sedangkan waktu shalat masih berlanjut. Lalu salah seorang
di antara keduanya mengulangi shalatnya dan yang lain tidak. Ketika mereka melaporkan
hal itu kepada Rasulullah, Beliau membenarkan kedua praktik tersebut. Kepada
yang tidak mengulangi shalatnya beliau berkata: “Engkau telah melakukan sunnah,
dan telah cukup bagimu shalatmu itu”. Dan kepada yang mengulangi shalatnya
beliau berkata pula: “Bagimu pahala dua kali lipat ganda”. Hadis tersebut
sebagai berikut:
Dari Atha’ bin Yasar dari Abi
Sa’id, sesungguhnya ada dua orang lelaki yang bertayamum dan keduanya
melaksanakan shalat, kemudian keduanya mendapatkan air, pada saat waktu belum
habis, maka salah seorang dari keluarga berwudhu dan mengulang shalatnya karena
waktu belum sedangkan seorang yang lain tidak melakukannya, maka keduanya
bertanya kepada nabi SAW. Dan beliau bersabda kepada yang tidak mengulang
shalatnya.” Engkau telah melakukan sunnah, dan telah cukup bagimu shalatmu itu
“Dan kepada yang mengulangi shalatnya beliau bersabda:” Bagimu pahala dua kali
lipat ganda”. (HR. Abu Daud dan Nasai)
Sunnah
dalam pengertian tersebut di atas, seperti ditegaskan Shubi Saleh, ahli hadis
berkebangsaan Libanon, identik dengan istilah hadis.
b.
Dalil
Keabsahan Sunnah sebagai Sumber Hukum
Al-Qur’an
memerintahkan kamu muslimin untuk menaati Rasulullah seperti dalam ayat:
Hai orang-orang yang beriman,
taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian
jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada
Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada
Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya (QS. an-Nisa’/4: 59)
Ada
juga ayat yang menjelaskan bahwa pada diri Rasulullah terdapat keteladanan yang
baik sebagaimana firman Allah:
Sesungguhnya tela ada pada (diri)
Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap
(rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah. (QS.
al-Ahzab/33: 21)
Bahkan dalam ayat lain
Allah memuji Rasulullah sebagai seorang yang agung akhlaknya:
Dan sesungguhnya kamu benar-benar
berbudi pekerti yang agung. (QS. al-Qalam/68: 4)
Di
samping itu, Allah menilai bahwa orang yang menaati Rasul adalah sama dengan
menaati Allah seperti dalam ayat:
Barangsiapa yang menaati Rasul itu,
sesungguhnya ia telah menaati Allah. Dan barangsiapa yang berpaling (dari
ketaatan itu), maka Kami tidak mengutuskan untuk menjadi pemelihara bagi
mereka. (QS. an-Nisa’/4: 80)
dan Allah menganggap
tidak ideal iman seseorang yang tidak menyerah kepada keputusan Rasulullah
sebagaimana firman Allah:
Maka demi Tuhanmu, mereka (pada
hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara
yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati
mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.
(QS. an-Nisa’/4: 65)
Dengan
demikian, walaupun otoritas pokok bagi hukum Islam adalah Al-Qur’an, namun Al-Qur’an
mengatakan bahwa Rasulullah adalah sebagai penafsir dari ayat-ayat Al-Qur’an,
seperti disebutkan dalam sebuah ayat:
Dan Kami turunkan kepadamu
Al-Qur’an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan
kepada mereka dan supaya mereka memikirkan. (QS.
an-Nahl/16: 44)
Ayat-ayat
diatas secara tegas menunjukkan wajibnya mengikuti Rasulullah, yang tidak lain
adalah mengikuti sunnahnya. Berdasarkan beberapa ayat tersebut, para sahabat
semasa hidup nabi dan setelah wafatnya telah sepakat atas keharusan menjadikan
Sunnah Rasulullah sebagai sumber hukum.
c.
Pembagian
Sunnah atau Hadis
Sunnah
atau hadis dari segi sanadnya atau periwayatannya dalam kajian Ushul Fiqh
dibagi kepada dua macam, yaitu hadis mutawatir
dan hadis ahad.
Hadis Mutawatir
ialah hadis yang diriwayatkan dari Rasulullah oleh sekelompok perawi yang menurut kebiasaan
individu-individunya jauh dari kemungkinan berbuat bohong, karena banyak jumlah
mereka dan diketahui sifat masing-masing mereka yang jujur serta berjauhan
tempat antara yang satu dengan yang lain. Dari kelompok ini diriwayatkan pula
selanjutnya oleh kelompok berikutnya yang jumlahnya tidak kurang dari kelompok
pertama, dan begitulah selanjutnya sampai dibukukan oleh pentadwin (orang yang membukukan) hadis, dan pada masing-masing
tingkatan itu sama sekali tidak ada kecurigaan bahwa mereka akan berbuat bohong
atas Rasulullah. Contohnya Sunnah fi’liyyah
(perbuatan) tentang rincian cara melakukan shalat, rincian haji, dan lain-lain
yang merupakan syiar agama Islam yang secara berturut-turut diwarisi dari satu
generasi ke generasi berikutnya sehingga sampai kepada kita. Sunnah fi’liyyah seperti ini telah diterima
oleh sekelompok sahabat dari Rasulullah. Kemudian diwarisi pula generasi
berikutnya sehingga sampai ke masa kita sekarang ini.
Hadis
Mutawatir terbagi dua macam; hadis mutawatir lafzy dan hadis mutawatir ma’nawy. Hadis mutawatir lafzy ialah hadis yang
diriwayatkan oleh orang banyak yang bersamaan arti dan lafalnya. Contoh:
Dari
Abu Sa’id al-Khudriy, sesungguhnya Rasulullah SAW. Bersabda Janganlah Anda
tulis apa yang aku ucapkan, barang siapa yang menulis sesuatu dariku selain
Al-Qur’an maka hapuslah dan ceritakanlah hadis dariku serta jangan berbuat
dosa. Barangsiapa yang berbuat dusta atas diriku dengan sengaja maka hendaklah
ia mengambil tempatnya di neraka. (HR. Muslim)
Menurut
Imam Zakariya Muhyiddin ibn Syaraf al-Nawawi (w. 676 H), ahli hadis dan ahli
fiqh dari kalangan Syafi’iyah, hadis tersebut diriwayatkan oleh tidak kurang
dari dua ratus orang sahabat.
Sedangkan
Hadis mutawatir ma’nawy ialah
beberapa hadis yang beragam redaksinya tetapi maknanya sama. Misalnya hadis
yang menjelaskan bahwa Rasulullah mengangkat tangannya dalam setiap berdoa.
Hadis tersebut diriwayatkan dalam berbagai peristiwa dan dalam berbagai redaksi
antara lain diriwayatkan oleh Tirmzi.
Hadis Ahad
ialah hadis yang diriwayatkan oleh seorang atau lebih tetapi tidak sampai ke
batas hadis mutawatir. Hadis Ahad terbagi kepada tiga macam. Pertama, hadis masyhur, yaitu hadis yang pada masa sahabat diriwayatkan oleh tiga
orang perawi, tetapi kemudian pada
masa tabi’in dan seterusnya hadis itu
menjadi hadis mutawatir dilihat dari
segi jumlah perawinya. Contoh:
Dari ‘Umar bin Khattab:
“Sesungguhnya amalan-amalah itu tergantung kepada niat, dan bagi seseorang
adalah menurut apa yang diniatkannya, Barangsiapa yang hijrahnya karena Allah
dan Rasul-Nya, maka hijrahnya akan sesuai dengan yang telah diniatkannya dan
barangsiapa yang hijrahnya karena dunia yang akan digapainya atau karena wanita
yang akan dinikahinya, maka nilai hijrahnya akan sesuai dengan apa yang
diniatkannya. (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Kedua,
hadis ‘aziz, yaitu hadis yang pada
satu periode diriwayatkan oleh dua orang meskipun pada periode-periode yang
lain diriwayatkan oleh banyak orang. Contoh:
Menuntut ilmu itu adalah merupakan
kewajiban bagi tiap-tiap orang Islam baik laki-laki atau perempuan.
(HR. al-Baihaqi)
Ketiga,
hadis gharib yaitu hadis yang
diriwayatkan orang perorangan pada setiap periode sampai hadis itu dibukukan.
Contohnya hadis riwayat Bukhari dan Muslim dari Anas:
Dari Qatadah, dari Anas berkata
Rasulullah SAW. bersabda: “Belum dianggap sempurna iman seseorang di antara
kamu sehingga aku lebih disukai olehnya daripada orang tuanya, anaknya, dan seluruh
manusia”. (HR. al-Bukahri Muslim)
Dari
kedua pembagian hadis di atas, para ulama Ushul Fiqh sepakat bahwa hadis mutawatir adalah sah dijadikan sumber
hukum, namun mereka berbeda pendapat tentang keabsahan hadis ahad sebagai sumber hukum.
Aliran
Mu’tazilah dan Khawarij menolak hadis ahad
untuk dijadikan sumber hukum. Alasannya. Hadis ahad tidak diyakini datangnya
dari Rasulullah, dan ada kemungkinan palsu, dan oleh karena itu tidak layak
untuk dijadikan sumber hukum. Berbeda dengan pendapat ini, jumhur ulama sepakat
bahwa hadis ahad bilamana dinilai sahih, secara sah dapat dijadikan sumber
hukum. Alasan mereka antara lain firman Allah:
Tidak sepatutnya bagi oang-orang
yang mukmin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari
tiap-tiap golongan di antaran mereka beberapa orang untuk memperdalam
pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya
apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga
dirinya. (QS. at-Taubah/9:122)
Menurut
jumhur ulama ayat tersebut menunjukkan bolehnya menerima ilmu agama dari
perorangan, karena kata “taifah”
dalam ayat tersebut dalam pemakaian bahasa Arab bisa bermakna beberapa orang
dan bisa juga untuk orang seorang.
Alasan
lain adalah ijma’ sahabat. Para
sahabat sering memutuskan hukum berdasarkan sunnah atau hadis yang diriwayatkan
oleh perorangan. Misalnya, menjawab pertanyaan putranya ‘Abdullah bin ‘Umar
mengenai apa yang didengarnya dari Sa’ad bin Abi Waqqas yaitu bahwa Rasulullah
menyapu sepatu (dalam berwudhu) baginya atasnya, Umar menjawab: “Ya, betul.
Kalau sudah diceritakan Sa’ad dari Rasulullah, tidak lagi perlu engkau tanyakan
kepada orang lain”. Dengan beberapa alasan di atas, jumhur ulama sepakat bahwa
hadis ahad bilamana sampai ke tingkat
shahih dapat dijadikan sumber huku.
Selain itu, para ulama hadis secara ketat membuat persyaratan-persyaratan yang
akan menjamin kesahihan hadis, sehingga kekhawatiran bahwa hadis itu palsu,
adalah tipis sekali.
d.
Fungsi
Sunnah Terhadap Ayat-ayat Hukum
Secara
umum fungsi sunnah adalah sebagai bayan
(penjelasan) atau tabyiin
(menjelaskan ayat-ayat hukum dalam Al-Qur’an) seperti ditunjukkan oleh ayat 44
Surat al-Nahl:
Kami telah menurunkan kepadamu
Al-Qur’an agar kamu menjelaskannya kepada manusia apa yang diturunkan kepada
mereka, dan supaya kamu memikirkannya. (QS. an-Nahl/16: 44)
Ada
beberapa bentuk fungsi sunnah terhadap Al-Qur’an:
1) Menjelaskan isi
Al-Qur’an, antara lain dengan merinci ayat-ayat global.
Misalnya hadis fi’liyah (dalam bentuk
perbuatan) Rasulullah yang menjelaskan cara melakukan shalat yang diwajibkan
dalam Al-Qur’an dalam hadis riwayat Bukhari dari Abu Hurairah, dan demikian
pula tentang penjelasannya mengenai masalah haji seperti dalam hadis riwayat
Muslim dari Jabir. Di samping itu juga Sunnah Rasulullah berfungsi untuk
mentakhsis ayat-ayat umum dalam Al-Qur’an yaitu menjelaskan bahwa yang dimaksud
oleh Allah adalah sebagian dari cakupan lafal umum itu, bukan seluruhnya.
Contoh:
Dari Abu Hurairah berkata,
Rasulullah SAW. melarang memadu antara seorang wanita dengan bibinya saudara
ayah atau ibu. (HR al-Bukhari dan Muslim)
Hadis
tersebut mentakhsis keumuman 24 Surat an-Nisa’ sebagai berikut:
dan (diharamkan juga kamu
mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah
telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. Dan dihalalkan
bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari istri-istri dengan hartamu untuk
dikawini bukan untuk berzina. Maka istri-istri yang telah kamu campuri di
antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai
suatu kewajiban; dan tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu
telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu. Sesungguhnya Allah
Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (QS. an-Nisa’/3: 24)
Ayat
ini menegaskan boleh mengawini selain wanita-wanita yang telah disebutkan
sebelumnya, seperti ibu, saudara perempuan, anak saudara dan lain-lainnya yang
tersebut dalam ayat ke 23 sebelumnya. Sebelum datang hadis tersebut,
berdasarkan kepada keumuman ayat 24 surat an-Nisa’, boleh memadu seorang wanita
dengan bibinya. Persepsi beginilah yang dihilangkan oleh datangnya hadis
pentakhsis tersebut, sehingga maksud ayat tersebut tidak lagi mencakup masalah
poligami antara seorang wanita dengan bibinya.
2) Membuat aturan
tambahan yang bersifat teknis atas sesuatu kewajiban yang disebutkan
pokok-pokoknya di dalam Al-Qur’an. Misalnya masalah li’an, bilamana seorang suami menuduh
istrinya berzina tetapi tidak mampu mengajukan empat orang saksi padahal istrinya
itu tidak mengakuinya, maka jalan keluarnya adalah dengan li’an. Li’an adalah
sumpah empat kali dari pihak suami bahwa tuduhannya adalah benar dan pada kali
yang kelima ia berkata: “La’nat
(kutukan) Allah atasku jika aku termasuk kedalam orang-orang yang berdusta”.
Setelah itu istri pula mengadakan lima kali sumpah membantah tuduhan tersebut
sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah:
Dan orang-orang yang menuduh
istrinya (berzina), padahal mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi selain diri
mereka sendiri, maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan
nama Allah, sesungguhnya dia adalah termasuk orang-orang yang benar. Dan
(sumpah) yang kelima: bahwa laknat Allah atasnya, jika dia termasuk orang-orang
yang berdusta. Istrinya itu dihindarkan dari hukuman oleh sumpahnya empat kali
atas nama Allah sesungguhnya suaminya itu benar-benar termasuk orang-orang yang
dusta, dan (sumpah) yang kelima: bahwa laknat Allah atasnya jika suaminya itu
termasuk orang-orang yang benar. (QS. an-Nur/24: 6-9)
Sehingga
dengan li’an yang dialkukannya, suami
lepas dari hukuman qazaf (delapan
puluh kali dera atas orang yang menuduh oran lain berzina tanpa saksi) dan
istri pun bebas dari tuduhan berzina itu. Namun dalam ayat tersebut tidak dijelaskan
apakah hubungan suami istri antara keduanya masih lanjut atau terputus. Sunnah
Rasulullah menjelaskan hal itu yaitu bahwa di antara keduanya di pisahkan buat
selamanya (HR. Ahmad dan Abu Daud).
3) Menetapkan hukum
yang belum disinggung dalam Al-Qur’an. Contohnya: hadis
riwayat al-Nasa’i dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda mengenai
keharaman memakan binatang buruan yang mempunyai taring dan burung yang
mempunyai cakar sebagaimana disebutkan dalam hadis:
Dari Abu Hurairah, dari Nabi SAW.
bersabda semua jenis binatang buruan yang mempunyai taring dan burung yang
mempunyai cakar, maka hukum memakannya adalah haram.
(HR. an-Nasa’i)
Sumber
: Buku Ushul Fiqh, Satria Effendi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar