Minggu, 19 Oktober 2014

Pengantar Filsafat I Sejarah Filsafat I Zaman Baru (1800 M-1950 M)


 

Fenomenologi dan eksistensialisme

Seorang ahli berpendapat bahwa, fenomenologi hanya suatu gaya berpikir, bukan suatu mazhab filsafat. Anggapan para ahli tertentu lebih mengartikan fenomenologi sebagai suatu metode dalam mengamati, memahami, mengartikan, dan memaknakan suatu daripada sebagai pendirian atau suatu aliran filsafat. Khusus dalam pengertian aliran filsafat, beberapa ahli berpendapat, bahwa dengan fenomenologi sebagai mazhab filsafat telah terjadi inkonsistensi, antara lain anjuran untuk membebaskan diri dari asumsi-asumsi dalam reduksinya. Sebagai mazhab filsafat, pada kenyataannya fenomenologi memiliki asumsi-asumsi sebagai dasarnya.

Edmund Husserl (1859-1936), seorang filosof dan matematikus mengenai intensionalitas atau pengarahan melahirkan filsafat fenomenologi berdasarkan pemikiran Brentano.

Dalam pengertian sebagai suatu metode, Kant dan Husserl mengatakan bahwa apa yang dapat kita amati hanyalah fenomena bukan neumenon atau sumbernya gejala itu sendiri. Dengan demikian, terhadap hal yang kita amati terdapat hal-hal yang membuat pengamatannya tidak murni sehingga perlu adanya reduksi. Jadi, pengamatan biasa (natuerliche Einstellung) akan menimbulkan bias. Meskipun pengamatannya merupakan hal biasa pada manusia umumnya, namun tidak memuaskan filosof dan mereka yang menginginkan kebenaran secara murni (reine wessenschau). Adapun hal yang harus dilakukan adalah pertama-tama reduksi fenomenologi (phaenomenologische reduction) atau disebut juga reduksi epochal menjadikan apa yang bukan bagian saya (das nicht ich) menjadi bagian saya (das ich). Tiga hal yang perlu kita sisihkan (eingeklammert) dalam usaha menginginkan kebenaran yang murni, yaitu

1.      Membebaskan diri dari anasir atau unsur subjektif,

2.      Membebaskan diri dari kungkungan teori-teori, dan hipotesis, serta

3.      Membebaskan diri dari doktrin-doktrin tradisional

Setelah mengalami reduksi tingkat pertama, yaitu reduksi fenomenologi atau reduksi epochal, fenomena yang kita hadapi menjadi fenomena yang murni, tetapi belum mencapai hal yang mendasar atau makna yang sebenarnya. Oleh karena itu, perlu dilakukan reduksi kedua yang disebut reduksi eiditas (eiditische reduktion). Melalui reduksi kedua, fenomena yang kita hadapi mampu mencapai inti atau esensi (eidos). Kedua reduksi tersebut adalah mutlak. Selain kedua reduksi tersebut terdapat reduksi ketiga dan yang berikutnya dengan maksud mendapatkan pengamatan yang murni, tidak terkotori oleh unsur apa pun, serta dalam usaha mencari kebenaran yang tertinggi. Seorang kritikus fenomenologi menyindir reduksi-reduksi tersebut dengan mengatakan, bahwa fenomenologi itu seperti upaya menajamkan pisau untuk mencapai taraf ketajaman yang prima. Pengasahan dilakukan terus-menerus, berulang-ulang hingga tajam, dan akhirnya pisau tersebut habis.

Selain sebagai metode untuk mencapai kebenaran, fenomenologi juga berkembang sebagai aliran atau ajaran. Uraian mengenai fenomenologi sebagai aliran ajaran filsafati. Uraian mengenai fenomenologi sebagai aliran filsafat akan disajikan singkatan dari tulisan Driyarkara, sebagai berikut.

Selain fenomenologi Edmund Husserl, beberapa ahli filsafat yang dapat diajukan sebagai eksponennya di antaranya Max Scheler dan Edith Stein.

Eksistensialisme terutama merupakan hasil pemikiran Soren Kierkegaard yang dikenal banyak orang sebagai perlawanan atas materialisme ataupun idealisme. Keterangan ini meskipun tidak salah, juga tidak sepenuhnya benar. Ia memiliki ciri “pribadi”, ialah bahwa manusia mengerti berkehendak dan berkarsa bebas, serta memiliki paham kesusilaan dan berupaya membangun kebudayaannya sendiri. Hal tersebut terjadi apabila ia berada di dunia sebagai objek.

Secara etimologis, eksistensialisme berarti berdiri atau berada di (ke) luar. Eks berarti di (ke) luar, dan (s)istens berarti menempatkan atau berdiri. Oleh karena itu, hanya manusialah yang dapat bereksistensi, sedangkan binatang dan organisasi tidak. Antara manusia dan benda lain jelas terdapat perbedaan. Eksistensialisme adalah aliran filsafat yang memandang segala hal berpangkal pada eksistensinya. Artinya, bahwa eksistensialisme merupakan cara manusia berada, atau lebih tepat mengada di dunia ini.

Uraian berikut ini dapat memberi penjelasan yang lebih detail untuk memahami kedudukan eksistensialisme pada situasi filsafati saat-saat awal terbangunnya.

Hal pertama yang harus dilihat adalah bagaimana eksistensialisme menentang materialisme. Selain menentang materialisme, ia juga menentang idealisme. Pada prinsipnya, materialisme dinilai tidak lengkap, demikian pula idealisme. Secara materialisme, manusia hanyalah resultante atau akibat dari proses unsur-unsur kimia, sedangkan secara idealisme manusia cukup diwakili oleh kesadarannya.          

Secara lebih rinci uraian tersebut adalah sebagai berikut.

Pada prinsipnya, materialisme hanyalah materi sehingga manusia hanya merupakan resultante dari proses kimiawi. Dalam mengatakannya, senantiasa berhati-hati karena pemahamannya tidak sesederhana orang awam dalam memikirkannya, misalnya menyamakan manusia dengan batu atau dengan kerbau. Pada dasarnya, materialisme melakukan kesalahan berupa detotalisation, artinya memungkiri kesulurahan. Dengan materialisme, kita hanya memandang manusia, seperti memandang bahan yang tunduk pada hukum-hukum alam, fisika, kimia, dan biologi. Sartre menyebutnya sebagai “en-soi”, sesuatu badan yang bukan subjek. Menurut filosof Perancis, selain en-soi ada juga yang disebut pour soi, ialah sesuatu yang sadar akan dirinya sendiri.

Secara etimologi, idealisme berasal dari kata eidos, idea yang berarti buah pikiran atau pikiran. Apabila kita berpikir maka muncullah ide. Jika kita memikirkan, dan kita mengerti mengenai suatu masalah, lahirlah idea atau gagasan kita tentang hal itu. Idealisme hanya memandang manusia sebagai idea, subjek yang selanjutnya hanya menempatkan diri sebagai kesadaran. Berdasarkan idealisme, manusia hanya dapat berdiri sebagai subjek karena menghadapi objek. Manusia hanya berdiri sebagai manusia karena bersatu dengan realitas di sekitarnya. Sebaliknya, materialisme hanya memandang manusia sebagai objek, sedangkan barang-barang di dunia ini hanyalah menjadi objek karena adanya subjek.

Demikianlah prinsip perlawanan eksistensialisme terhadap materialisme ataupun idealisme, manusia bukan hanya objek bukan pula kesadaran. Manusia adalah eksistensi. Pada kenyataannya, semua tokoh eksistensialisme memiliki pengertian eksistensi sendiri-sendiri. Sebagai pemahaman dasar, kita hanya akan membicarakan ciri eksistensi (alisme) dalam pengertian pokok. Pada dasarnya, manusia dapat menyebut dirinya “aku”. Setiap hal yang berhubungan dengan dirinya melekat nama “aku”, seperti perbuatanku. Dengan demikian, manusia dapat menentukan apa yang akan dilakukan, dipilih, diselenggarakan, dan  dipertanggungjawabkannya. Ia adalah ia sendri yang mengalami sendiri sebagai pribadi.

Meskipun demikian, manusia tidak berdiri sendiri, senantiasa sibuk dengna pikiran dan kehendaknya sendiri. Ia mempedulikan dunia luar. Ia berbuat karena berhubungan dengan dunia luar, memanfaatkan situasi, menghargai alam, dan menggunakan barang.

Dengan perbuatannya itu, ia berada di luar dirinya sendiri sehingga dapat menyatakan saya sedang berbuat ini dan itu. Inilah yang disebut eksistensi, yaitu berdiri sendiri dengan ke luar dari diri sendiri.

Cara seperti itu dalam bahasa Jerman disebut Da-sein. Kata Heidegger, murid Husserl, “Das Wesen des Daseins liegt in seiner Exiztenz” (inti Dasein terletak pada eksistensinya). Dasein menunjukkan tempat, jadi mengada di sana, di suatu tempat, berada, terlibat, dan bersatu dalam dan dengan alam jasmani. Lantas, Apa bedanya eksistensi dengan Dasein? Eksistensi adalah pangkalnya, sedangkan Dasein lebih menyangkut kehadirannya. Manusia menyatu dalam struktur sehingga selalu mengonstruksi. Oleh karena itu, manusia selalu berada dalam situasi “werden”, menjadi atau berproses. Menurut Jean Paul Sartre, manusia tidak etre, tetapi a etre. Heiddegger pun menyatakan “zu sein”.

Tokoh-tokoh utama eksistensialisme yang banyak dibicarakan orang adalah Kierkegaard, Sartre, dan Heidegger. Tokoh lainnya, Albert Camus dan Simon Beauvoir. Beberapa orang berpendapat, bahwa untuk berbicara eksistensi secara lebih luas, selayaknya kita mulai sejak vitalis Nietzche. Hal ini dapat dimengerti karena makna eksistensialisme sangat beragam.

Sumber : Buku Pengantar Filsafat, Sutardjo A. Wiramihardja

Tidak ada komentar:

Kisah Mata Air Keabadian

Kisah ini diriwayatkan oleh Ats-Tsa’labi dari Imam Ali ra. Pada zaman dahulu hiduplah seorang hamba Allah SWT yang melebihkan kepada d...