Fenomenologi
dan eksistensialisme
Seorang
ahli berpendapat bahwa, fenomenologi hanya suatu gaya berpikir, bukan suatu
mazhab filsafat. Anggapan para ahli tertentu lebih mengartikan fenomenologi
sebagai suatu metode dalam mengamati, memahami, mengartikan, dan memaknakan
suatu daripada sebagai pendirian atau suatu aliran filsafat. Khusus dalam
pengertian aliran filsafat, beberapa ahli berpendapat, bahwa dengan
fenomenologi sebagai mazhab filsafat telah terjadi inkonsistensi, antara lain
anjuran untuk membebaskan diri dari asumsi-asumsi dalam reduksinya. Sebagai
mazhab filsafat, pada kenyataannya fenomenologi memiliki asumsi-asumsi sebagai
dasarnya.
Edmund Husserl
(1859-1936), seorang filosof dan matematikus mengenai intensionalitas atau
pengarahan melahirkan filsafat fenomenologi berdasarkan pemikiran Brentano.
Dalam
pengertian sebagai suatu metode, Kant dan Husserl mengatakan bahwa apa yang
dapat kita amati hanyalah fenomena bukan neumenon atau sumbernya gejala itu
sendiri. Dengan demikian, terhadap hal yang kita amati terdapat hal-hal yang
membuat pengamatannya tidak murni sehingga perlu adanya reduksi. Jadi,
pengamatan biasa (natuerliche Einstellung)
akan menimbulkan bias. Meskipun pengamatannya merupakan hal biasa pada manusia
umumnya, namun tidak memuaskan filosof dan mereka yang menginginkan kebenaran
secara murni (reine wessenschau). Adapun hal yang harus dilakukan adalah
pertama-tama reduksi fenomenologi (phaenomenologische
reduction) atau disebut juga reduksi epochal menjadikan apa yang bukan
bagian saya (das nicht ich) menjadi
bagian saya (das ich). Tiga hal yang
perlu kita sisihkan (eingeklammert)
dalam usaha menginginkan kebenaran yang murni, yaitu
1. Membebaskan
diri dari anasir atau unsur subjektif,
2. Membebaskan
diri dari kungkungan teori-teori, dan hipotesis, serta
3. Membebaskan
diri dari doktrin-doktrin tradisional
Setelah
mengalami reduksi tingkat pertama, yaitu reduksi fenomenologi atau reduksi epochal, fenomena yang kita hadapi
menjadi fenomena yang murni, tetapi belum mencapai hal yang mendasar atau makna
yang sebenarnya. Oleh karena itu, perlu dilakukan reduksi kedua yang disebut
reduksi eiditas (eiditische reduktion). Melalui reduksi kedua, fenomena yang kita
hadapi mampu mencapai inti atau esensi (eidos).
Kedua reduksi tersebut adalah mutlak. Selain kedua reduksi tersebut terdapat
reduksi ketiga dan yang berikutnya dengan maksud mendapatkan pengamatan yang
murni, tidak terkotori oleh unsur apa pun, serta dalam usaha mencari kebenaran
yang tertinggi. Seorang kritikus fenomenologi menyindir reduksi-reduksi
tersebut dengan mengatakan, bahwa fenomenologi itu seperti upaya menajamkan
pisau untuk mencapai taraf ketajaman yang prima. Pengasahan dilakukan
terus-menerus, berulang-ulang hingga tajam, dan akhirnya pisau tersebut habis.
Selain
sebagai metode untuk mencapai kebenaran, fenomenologi juga berkembang sebagai
aliran atau ajaran. Uraian mengenai fenomenologi sebagai aliran ajaran
filsafati. Uraian mengenai fenomenologi sebagai aliran filsafat akan disajikan
singkatan dari tulisan Driyarkara, sebagai berikut.
Selain
fenomenologi Edmund Husserl, beberapa ahli filsafat yang dapat diajukan sebagai
eksponennya di antaranya Max Scheler
dan Edith Stein.
Eksistensialisme
terutama merupakan hasil pemikiran Soren
Kierkegaard yang dikenal banyak orang sebagai perlawanan atas materialisme
ataupun idealisme. Keterangan ini meskipun tidak salah, juga tidak sepenuhnya
benar. Ia memiliki ciri “pribadi”, ialah bahwa manusia mengerti berkehendak dan
berkarsa bebas, serta memiliki paham kesusilaan dan berupaya membangun kebudayaannya
sendiri. Hal tersebut terjadi apabila ia berada di dunia sebagai objek.
Secara
etimologis, eksistensialisme berarti berdiri atau berada di (ke) luar. Eks
berarti di (ke) luar, dan (s)istens berarti menempatkan atau berdiri. Oleh
karena itu, hanya manusialah yang dapat bereksistensi, sedangkan binatang dan
organisasi tidak. Antara manusia dan benda lain jelas terdapat perbedaan.
Eksistensialisme adalah aliran filsafat yang memandang segala hal berpangkal
pada eksistensinya. Artinya, bahwa eksistensialisme merupakan cara manusia
berada, atau lebih tepat mengada di dunia ini.
Uraian
berikut ini dapat memberi penjelasan yang lebih detail untuk memahami kedudukan
eksistensialisme pada situasi filsafati saat-saat awal terbangunnya.
Hal
pertama yang harus dilihat adalah bagaimana eksistensialisme menentang
materialisme. Selain menentang materialisme, ia juga menentang idealisme. Pada
prinsipnya, materialisme dinilai tidak lengkap, demikian pula idealisme. Secara
materialisme, manusia hanyalah resultante
atau akibat dari proses unsur-unsur kimia, sedangkan secara idealisme manusia
cukup diwakili oleh kesadarannya.
Secara
lebih rinci uraian tersebut adalah sebagai berikut.
Pada
prinsipnya, materialisme hanyalah materi sehingga manusia hanya merupakan
resultante dari proses kimiawi. Dalam mengatakannya, senantiasa berhati-hati
karena pemahamannya tidak sesederhana orang awam dalam memikirkannya, misalnya
menyamakan manusia dengan batu atau dengan kerbau. Pada dasarnya, materialisme
melakukan kesalahan berupa detotalisation,
artinya memungkiri kesulurahan. Dengan materialisme, kita hanya memandang
manusia, seperti memandang bahan yang tunduk pada hukum-hukum alam, fisika,
kimia, dan biologi. Sartre
menyebutnya sebagai “en-soi”, sesuatu
badan yang bukan subjek. Menurut filosof Perancis, selain en-soi ada juga yang disebut pour
soi, ialah sesuatu yang sadar akan dirinya sendiri.
Secara
etimologi, idealisme berasal dari kata eidos,
idea yang berarti buah pikiran atau
pikiran. Apabila kita berpikir maka muncullah ide. Jika kita memikirkan, dan kita mengerti mengenai suatu
masalah, lahirlah idea atau gagasan
kita tentang hal itu. Idealisme hanya memandang manusia sebagai idea, subjek yang selanjutnya hanya
menempatkan diri sebagai kesadaran. Berdasarkan idealisme, manusia hanya dapat
berdiri sebagai subjek karena menghadapi objek. Manusia hanya berdiri sebagai
manusia karena bersatu dengan realitas di sekitarnya. Sebaliknya, materialisme
hanya memandang manusia sebagai objek, sedangkan barang-barang di dunia ini
hanyalah menjadi objek karena adanya subjek.
Demikianlah
prinsip perlawanan eksistensialisme terhadap materialisme ataupun idealisme,
manusia bukan hanya objek bukan pula kesadaran. Manusia adalah eksistensi. Pada
kenyataannya, semua tokoh eksistensialisme memiliki pengertian eksistensi
sendiri-sendiri. Sebagai pemahaman dasar, kita hanya akan membicarakan ciri
eksistensi (alisme) dalam pengertian pokok. Pada dasarnya, manusia dapat
menyebut dirinya “aku”. Setiap hal yang berhubungan dengan dirinya melekat nama
“aku”, seperti perbuatanku. Dengan demikian, manusia dapat menentukan apa yang
akan dilakukan, dipilih, diselenggarakan, dan
dipertanggungjawabkannya. Ia adalah ia sendri yang mengalami sendiri
sebagai pribadi.
Meskipun
demikian, manusia tidak berdiri sendiri, senantiasa sibuk dengna pikiran dan
kehendaknya sendiri. Ia mempedulikan dunia luar. Ia berbuat karena berhubungan
dengan dunia luar, memanfaatkan situasi, menghargai alam, dan menggunakan
barang.
Dengan
perbuatannya itu, ia berada di luar dirinya sendiri sehingga dapat menyatakan
saya sedang berbuat ini dan itu. Inilah yang disebut eksistensi, yaitu berdiri
sendiri dengan ke luar dari diri sendiri.
Cara
seperti itu dalam bahasa Jerman disebut Da-sein.
Kata Heidegger, murid Husserl, “Das Wesen des Daseins liegt in seiner
Exiztenz” (inti Dasein terletak
pada eksistensinya). Dasein
menunjukkan tempat, jadi mengada di sana, di suatu tempat, berada, terlibat,
dan bersatu dalam dan dengan alam jasmani. Lantas, Apa bedanya eksistensi
dengan Dasein? Eksistensi adalah
pangkalnya, sedangkan Dasein lebih
menyangkut kehadirannya. Manusia menyatu dalam struktur sehingga selalu mengonstruksi.
Oleh karena itu, manusia selalu berada dalam situasi “werden”, menjadi atau berproses. Menurut Jean Paul Sartre, manusia tidak etre,
tetapi a etre. Heiddegger pun
menyatakan “zu sein”.
Tokoh-tokoh
utama eksistensialisme yang banyak dibicarakan orang adalah Kierkegaard, Sartre, dan Heidegger.
Tokoh lainnya, Albert Camus dan Simon Beauvoir. Beberapa orang
berpendapat, bahwa untuk berbicara eksistensi secara lebih luas, selayaknya
kita mulai sejak vitalis Nietzche. Hal ini dapat dimengerti karena makna
eksistensialisme sangat beragam.
Sumber
: Buku Pengantar Filsafat, Sutardjo A. Wiramihardja
Tidak ada komentar:
Posting Komentar