Kamis, 16 Oktober 2014

Pengantar Filsafat I Permasalahan Filsafat, Sistematika Filsafat, atau Filsafat Sistematis


Permasalahan Filsafat, Sistematika Filsafat, atau Filsafat Sistematis

Permasalahan filsafat adalah materi (subject matter) yang dibahas dalam filsafa, satu demi satu dan seluruhnya. Inilah yang disebut dengan problematika filsafat karena dibahas menurut susunan tertentu (sistematika fisafat) dan dibahas dalam filsafat sistematis. Seperti telah diutarakan sebelumnya, bahwa sistematika filsafat adalah suatu uraian yang memuat seluruh bagian permasalahan filsafat, termasuk hubungan antarbagian, menurut sistem atau susunan tertentu. Beberapa ahli menyatakan, bahwa sistematika filsafat memuat permasalahan sehingga disebut problematika filsafat. Meskipun tampak sederhana, banyak pandangan berbeda mengenai apa yang dibahas dalam filsafat, bagaimana masalah-masalah itu saling berhubungan, bersifat hierarki atau tidak, serta mana yang pantas mendapat penekanan dan mana yang dinilai tidak penting.

Penulis memandang bahwa sistematika yang diajukan Langeveld (1959) merupakan sistematika yang dinilai cukup lengkap, tetapi tidak terlalu banyak dan kompleks sehingga mudah dipahami. Sistematika, lebih mudah disebut pembagian atau klasifikasi filsafat, atau kandungan masalah-masalah filsafat. Menurut Langeveld, secara garis besarnya filsafat terdiri atas tiga hal utama, yaitu

1)      Masalah tahu, mengetahui, dan pengetahuan (cognitio);

2)      Metafisika, baik metafisika umum (ontologi) maupun metafisika khusus, dan

3)      Nilai serta penilaian (aksiologi).

Berikut ini uraian mengenai tiga hal utama sistematika filsafat menurut Langeveld.

Masalah tahu, mengetahui, dan pengetahuan (cognition)

Pada bagian ini, filsafat berbicara tentang hakikat tahu, mengetahui, dan pengetahuan beserta seluruh kaitannya. Pembahasan hakikat tahu meliputi hal yang dimaksudkan “tahu” atau mengetahui suatu hal. Di sini juga terlibat masalah berpikir dan mengalami, serta kebenaran pengetahuan dan kebenaran apa yang diketahui. Sebagian pihak berpendapat, bahwa inti kegiatan mengetahui atau tahu adalah adanya pemikiran mengenai hal tersebut, tanpa berpikir tentang sesuatu, tidak mungkin seseorang mengetahui sesuatu, sedangkan pihak lain berpendapat bahwa mengetahui atau tahu, seyogianya berintikan pada sesuatu yang pernah dialaminya.

Hakikat tahu menyangkut pula masalah kebenaran karena mengetahui sesuatu secara tidak benar disebut sebagai tidak mengetahui. Dalam hakikat tahu, dibicarakan pula apa yang dimaksud dengan pengetahuan yang benar dan apa yang tidak benar, termasuk mempertanyakan arti atau maksud kebenaran itu sendiri. Berasal dari manakah pengetahuan itu? Apakah dasarnya? Lantas, adakah batas kebenaran pengetahuan itu? Adakah kebenaran yang mutlak, ataukah kebenaran itu semata-mata relatif?

Oleh karena itu, dalam masalah tahu mengetahui, dan pengetahuan terdapat pula logika yang mengatur kelurusan berpikir, serta epistemologi yang mengatur hal kebenarannya. Kedua hal tersebut akan dibahas dalam wacana berikut.

1.      Logika

Logika adalah bagian filsafat yang memperbincangkan hakikat ketepatan, cara menyusun pikiran yang dapat menggambarkan ketepatan berpengetahuan. Tepat belum tentu benar, sedangkan benar selalu mempunyai dasar yang tepat. Logika tidak mempersoalkan kebenaran sesuatu yang dipikirkan, tetapi membatasai diri pada ketetapan susunan berpikir menyangkut pengetahuan. Jadi, logika memprasyaratkan kebenaran, bukan wacana kebenarannya. Hendaknya, kita mampu membedakan ketepatan susunan berpikir dari cara berpikir. Apabila ketepatan susunan pikiran merupakan logika dan bagian filsafat maka cara berpikir menjadi bahan kajian psikologi.

Misalnya, kalimat “Saya berangkat bersama teman ke tempat rekreasi”. Contoh kalimat tersebut adalah kalimat yang memenuhi syarat kelogisan karena susunan berpikirnya tepat, boleh jadi juga benar. Pada kalimat tersebut, misalnya –ternyata benar berangkat ke Jakarta, secara epistemologis boleh jadi benar. Begitu pula pada kalimat “Bulan didiami manusia”. Contoh kalimat ini susunan berpikirnya tepat, tetapi patut dipertanyakan kebenarannya karena harus diuji dengan pengamatan di lapangan. Pada kalimat “Kuda berkaki tujuh”, kalimat tersebut tepat dalam urutannya sehingga memenuhi syarat kelogisan, tetapi tidak benar.

Secara etimologis, logika berasal dari bahasa Yunani, logos yang berarti “kata” atau “pikiran”. Namun, pengertian dasarnya sering disebut sebagai ilmu berkata-kata atau ilmu berpikir benar, bukan tepat melainkan benar.

Sebagaimana telah kita ketahui, bahwa sejak awal keberadaannya, manusia telah memakai logika untuk dapat hidup, terpelihara, dan berkembang dengan baik. Ketepatan dan kebenaran dalam memikirkan sesuatu apa pun akan diperlukan. Merupakan hal yang sangat berbahaya, apabila manusia salah dalam menanggapi hal atau masalah yang penting. Pada awal kelahiran, logika manusia itu sangat sederhana dan digunakan untuk menghadapi hal-hal sederhana dengan hasil yang sederhana pula. Logika demikian bersifat alami atau disebut logika naturalis (natural logics) yang berdasarkan kodrat atau fitrahnya saja, misalnya digunakan untuk membedakan makan dan tidak makan. Suatu buah-buahan dapat atau tidak dapat dimakan, dapat dibedakan dengan logika naturalis berdasarkan pengalaman. Cara membedakannya berdasarkan penelitian laboratorium dengan cara menemukan unsur apa yang berada di dalam tanaman sehingga dapat dimakan dan tanaman yang tidak dapat dimakan akan membutuhkan logika berbeda. Pada hal yang lebih kompleks, logika yang digunakan adalah logika buatan, atau hasil pengembangan yang disebut dengan logika artificial (artificial logics).  

Selanjutnya, logika dibagi atas dua hal yang lebih rinci, yaitu logika formal dan logika material.

1)      Logika formal adalah wacana atau argumentasi yang membicarakan hakikat hukum-hukum ketepatan susunan berpikir. Hal terpenting dalam logika formal adalah masalah pengaturan atau aturannya, rumusan, atau hukum-hukum bagi ketepatan susunan pikiran. Isu tidak dipermasalahkan, demikian juga masalah penggunaannya. Sebagai contoh, dalam matematika terdapat rumus (a + b)2 = a2 + 2ab + b2. Rumusan ini menggambarkan logika, tetapi tidak kita pedulikan isinya, apakah a dan b itu.

2)      Logika material adalah wacana atau argumentasi mengenai hakikat penggunaan ketepatan susunan berpikir terhadap bidang-bidang kegiatan tertentu. Hal ini dinilai perlu karena suatu bidang pengetahuan atau masalah menuntut susunan berpikir yang berbeda dengan bidang masalah lainnya. Logika material ini disebut teori metodologi. Dengan demikian, teori metodologi adalah wacana mengenai cara-cara menyusun pikiran yang tepat untuk bidang masalah tertentu.

Pemahaman esensial bagi logika, ialah bahwa apa yang dibicarakan logika hanya menyangkut ketepatan susunan berpikir. Hal ini akan menimbulkan pertanyaan mengenai kebenaran atas apa yang dipikirkan. Sebagai contoh, Kuda berkaki tujuh”, merupakan kalimat yang susunan berpikirnya tepat sehingga dinilai logis. Menurut logika, kalimat tersebut merupakan kalimat yang tepat. Akan tetapi, dilihat dari isinya, kalimat tersebut tidak benar karena semua kuda –seidaknya, pada umumnya –berkaki empat. Susunan berpikir ini penting dan merupakan persyaratan bagi pernyataan yang benar. Dengan demikian, logika menempatkan diri pada masalah ketepatan susunan berpikir saja, tidak pada kebenarannya. Adapaun suatu pernyataan itu benar atau salah merupakan bagian lain dari masalah mengetahui, yaitu epistemologi.

Selain keterangan-keterangan tersebut, perlu kita pahami pula berbagai pengertian dari istilah logika dan istilah lain yang menggunakan kata logika, setidaknya sebagai wawsan tambahan agar tidak menjadi bingung dalam menghadapi istilah multi makna. Menurut Thomas Maunter (1999), logika merupakan penyelidikan yang memiliki objek berupa prinsip-prinsip bernalar yang benar. Pada masa kini, logika berarti hasil telaah berdasarkan nalar deduktif, misalnya menyimpulkan sesuatu harus berdasarkan premis-premisnya. Pada Abad ke- 19, logika memiliki signifikansi yang luas. Kegiaan logika menurut pengertian Mill, Lotze, dan lain-lain berkaitan dengan epistemologi dan metodologi ilmiah.

Dalam percakapan biasa, logika sering digunakan sebagai kata lain dari nalar atau argumen. Misalnya, “Saya setuju dengan logika ini”. Kalimat ini memiliki arti sederhana, yaitu nalarnya dapat saya terima. Penggunaan logika seperti ini tidak diakui dalam konteks filsafati.

Kita juga mengenal istilah deontik logika yang berarti pernyataan deontik. Deontik merupakan istilah yang dikemukakan G.H. Von Wright, bertalian dengan konsep permisibilitas dan obligatoriness. Konsep ini dinyatakan dalam bentuk boleh, seyogianya, dan seharusnya. Konsep-konsep ini disebut juga modalitas deontik. Logika mereka memperlihatkan analogi-analogi dengan logika keharusan (nesesitas) dan kemungkinan (posibilitas). Konsep deontik dapat dibandingkan dan dikontraskan dengan konsep normatik mengenai kebenaran dan kesalahan di antara konsep-konsep yang paling umum, dan konsep analogis mengenai baik dan buruk.

Istilah baru yang akan kita bahas kali ini adalah jenis logika. Jenis logika ada tiga, yaitu logika induktif, logika deduktif, dan logika dialektis. Logika deduktif merupakan hasil penelitian atau sistem mengenai prinsip-prinsip kesimpulan yang mengarah pada penggunaan suatu prinsip. Adapun logika induktif merupakan hasil penelitian atau teori mengenai prinsip-prinsip kesimpulan dari berbagai kenyataan.

Pengertian logika deduktif dan induktif merupakan wilayah kesimpulan yang sangat penting dalam penggunaan logika. Pengertian induktif adalah mencari prinsip umum berdasarkan kenyataan-kenyataan yang berkembang, atau menyatakan kemungkinan terbesar, sedangkan deduktif adalah penurunan hal umum untuk hal yang khusus, atau pernyataan yang bersifat niscaya, nesesitas, atau pasti.

2.      Epistemologi

Epistemologi mempersoalkan kebenaran engetahuan. Pernyataan tentang kebenaran diperlukan susunan yang tepat. Kebenaran pengetahuan disebut memenuhi syarat-syarat epistemologi karena juga tepat sususnannya, atau disebut logis. Meskipun logika dan epistemologi merupakan dua hal berbeda, keduanya memiliki kata yang sangat kuat, ialah bahwa logika menjadi prasyarat yang mendasari epistemologi.

Dalam epistemologi, secara lebih rinci terdapat perbincangan mengenai dasar, batas, dan objek, pengetahuan. Oleh sebagian orang, epistemologi disebut filsafat ilmu. Secara umum dan mendasar, terdapat perbedaan antara epistemologi dan filsafat ilmu. Secara umum, epistemologi mempersoalkan kebenaran pengetahuan, sedangkan filsafat ilmu (philosophy of science), secara khsus mempersoalkan ilmu atau keilmuan pengetahuan.

Hal yang dibicarakan adalah pengetahuan dan susunannya (sistem). Ilmu atau science adalah pengetahuan-pengetahuan yang gejalanya dapat diamati berulang-ulang melalui eksperimen sehingga dapat diamati secara berulang oleh orang berbeda-beda dalam waktu yang berbeda. Adapun hal yang dibicarakan dalam epistemologi adalah hakikat ketepatan susunan berpikir yang secara tepat pula digunakan untuk masalah-masalah yang bersangkutan dengan maksud menemukan kebenaran isi pernyataannya. Isi pernyataannya adalah sesuatu yang ingin diketahui. Oleh karena itu, epistemologi disebut atau bersesuaian dengan ilmu pengetahuan sehingga pengertiannya untuk sebagian orang sama saja dengan filsafat ilmu.

Dalam hal ini, terdapat empat jenis kebenaran yang secara umum dikenal orang, yaitu kebenaran religius, kebenaran filosofis, kebenaran estetis, dan kebenaran ilmiah. Hal itu merupakan hasil dari aturan berpikirnya masing-masing, seperti telah diutarakan dalam pemabahasan logika material.

Pertama, kebenaran religius adalah kebenaran yang memenuhi atau dibangun berdasarkan kaidah-kaidah agama atau keyakinan tertentu disebut juga kebenaran mutlak yang tidak dapat dibantah lagi. Bentuk pemahamannya adalah dogmatis. Hal yang dimaksud dengan agama adalah ketentuan-ketentuan atau ajaran-ajaran yang diturunkan melalui wahyu Tuhan YME, bukan hasl pemikiran atau perenungan manusia, misalnya Islam, Kristen Protestan, Katolik, dan Yahudi. Sebagian pihak berpendapat, bahwa agama-agama lain, seperti Budha dan Hindu dinilai bukan agama karena merupakan hasil kontemplasi, perenungan, dan pemikiran manusia. Namun, ada pihak lain yang berpendapat bahwa Budha dan Hindu adalah agama karena materinya sama saja dengan agama lainnya yang penting adalah keyakinan mutlak yang melatarbelakangi. Bahan pembicaraan kita dalam buku ini, setiap keyakinan, baik yang datangnya melalui Tuhan YME maupun tidak disebut agama karena berdasarkan keyakinan yang mutlak.

Kedua, kebenaran filosofis ialah kebenaran hasil perenungan dan pemikiran refleksi ahli filsafat yang disebut hakikat atau the nature, meskipun bersifat subjektif dan relatif, namun mendalam karena melalui penghayatan eksistensial bukan hanya pengalaman dan pemikiran intelektual semata. Kebenaran filosofis ini berguna untuk menyadarkan kita pada relatifnya pengetahuan yang kita miliki karena pengetahuan itu terus berubah, dalam arti berkembang. Inti filsafat adalah berpikir, sedangkan dasarnya adalah rasio.

Ketiga, kebenaran estetis ialah kebenaran yang berdasarkan penilaian indah dan buruk, serta cita rasa estetis. Artinya, keindahan yang berdasarkan harmoni dalam pengertian luas yang menimbulkan rasa senang, tenang, dan nyaman. Misalnya, golden section menyebutkan bahwa bentuk dua dimensi yang seimbang adalah dengan skala 2 x 3. Hukum estetika dalam seni rupa ini digunakan dalam ukuran bendera sedunia, misalnya bendera dengan ukuran besar mempunyai lebar 2 meter dan panjang 3 meter, sedangkan ukuran yang kecil lebar 2 cm dan panjang 3 cm.

Keempat, kebenaran ilmiah yang ditandai oleh terpenuhinya syarat-syarat ilmiah, terutama menyangkut adanya teori yang menunjang dan sesuai dengan bukti, kebenaran rasional yang ditunjang hasil uji lapangan yang disebut bukti empiris. Kebenaran teoretis adalah kebenaran yang berdasarkan rasio, atau kebenaran rasional, berdasarkan teori-teori yang menunjangnya. Pengertian bukti di sini adalah bukti empiris, yaitu hasil pengukuran objektif di lapangan. Sifat objektif berlaku umum, dapat diulang melalui eksperimentasi, cenderung amoral –sesuai apa adanya, bukan apa yang seharusnya, dan merupakan ciri-ciri ilmu pengetahuan.

Segala Sesuatu yang Ada (Metafisika)

Pada pembahasa kali ini, filsafat berbicara tentang segala sesuatu atau sarwa sekalian alam. Filsafat mempersoalkan pula hakikat kenyataan, segala sesuatu yang ada, dan materi filsafat, atau dengan kata lain tida ada masalah yang tidak dibicarakan dalam filsafat. Segala hal yang dibicarakan disebut metafisika. Masalah ini dianggap sebagai inti dari filsafat, sekalian alam, tidak ada satu hal pun yang lepas dari perhatian filsafat, atau bersifat universal. Pada perbicangan ini terdapat dua bagian penting dari metafisika, sebagai berikut.

1.      Metafisika umum atau ontologi mempersoalkan hakikat “ada” (being).

2.      Metafisika khusus mempersoalkan hakikat “yang ada”

 

1.      Metafisika umum atau ontologi

Seperti telah diutarakan sebelumnya, bahwa hal yang akan dibicarakan pada bagian filsafat ini adalah tentang ada. Mengapa “ada” dipersoalkan? Pada kenyataannya, kata “ada” mengandung permasalahan. Misalnya, pada kalimat “Rumah itu ada”. Secara sekilas, kalimat itu tidak sukar dipahami. Sebagai contoh, dalam suatu ruang kuliah, kata “ada” atau hadir bermakna adanya tanda tangan dalam daftar hadir, dan secara fisik bahwa orang tersebut ada di ruangan itu. Akan tetapi, lain halnya jika pikiran orang yang bersangkutan ada di mana-mana, tidak di ruang kuliah, tentu tidak menjadi persoalan, tetap dinilai hadir. Seorang anggota DPR dinilai hadir sehingga kehadirannya menjadi bahan untuk menentukan quorum suatu rapat dilihat dari daftar hadir. Secara fisik, mungkin ia ada di kantin atau di mall, hal itu tidak penting. Persoalan yang lebih rumit, “Apakah dengan adanya sesuatu, adakah tidak ada itu?” Apakah istilah ada dalam kalimat tersebut menunjuk pada pengertian yang sama atau tidak?

Jadi, ontologi mempersoalkan adanya segala sesuatu yang ada. Hal ini berbeda dengan metafisika khusus yang mempersoalkan hakikat yang ada.

Apabila kita bertanya, “Apakah ada itu?”. Berdasarkan sudut pandang logika, kita tidak mungkin memperoleh jawaban karena jawabannya tidak memenuhi persyaratan. Sebagaimana kita ketahui, bahwa dalam suatu batasan atau definisi, jawaban atas pertanyaan itu harus ada dua unsur yang menjadi prasyarat, yaitu genus proximum dan differentiae specifiae. Spesifik artinya khas atau unik, dibedakan dari particular yang berarti khusus. Contohnya, “Apakah manusia itu?”. Jawabannya, “Manusia adalah makhluk hidup yang berpikir”. Pada jawaban ini, genus proximum dari manusia adalah “makhluk hidup”, sedangkan differentiae specificeae-nya adalah “yang berpikir”.

Batasan tentang “ada” tidak dapat diberikan karena “ada” tidak memiliki genus proximum atau pengertian yang lebih tinggi. Adapun differentiae specificae adalah ciri khas terhadap hal yang didefinisikan. Jadi, pertanyaan Apakah ada itu?, tidak dapat dijawab karena tidak akan ditemukan genus proximum terhadap “ada” karena “ada” merupakan pengertian yang tertinggi. Oleh karena itu, diperlukan pemahaman tentang “ada”. Selanjutnya, kita akan mengamati masalah “ada” dari sudut kenyataan yang ada. Sudut kenyataan yang ada tersebut adalah segala hal yang ada, termasuk dalam metafisika khusus.

2.      Metafisika khusus

Metafisika ini membicarakan hakikat segala sesuatu yang ada. Secara umum, terdapat tiga kelompok atau hal yang berbeda menurut Langeveld. Karena itu, Langeveld mengemukakan, bahwa dalam membicarakan hakikat segala sesuatu terdapat tiga bagian sebagai berikut.

1)      Kosmologi adalah bagian metafisika khusus yang mempersoalkan hakikat alam semesta segala isinya, kecuali manusia.

2)      Antroplogi adalah bagian metafisika khusus yang mempersoalkan hakikat manusia.

3)      Teologi atau theodecea adalah bagian metafisika khusus yang mempersoalkan hakikat Tuhan. Hal-hal yang dibicarakan di dalamnya menyangkut kebaikan, kesucian, kebenaran, keadilan, dan sifat-sifat baik Tuhan lainnya. Malaikat dibicarakan pula dalam rangka pembicaraan tentang Tuhan, tetapi boleh jadi Nabi dibicarakan dalam antropologia.

Segala sesuatu yang ada, secara khusus dibagi dalam tiga substansi, yaitu kosmos, manusia, dan Tuhan. Pada metafisika khusus, terdapat gagasan atau ide karena meskipun tidak konkret, gagasan atau ide berpengaruh dan menyita banyak waktu serta perhatian para pemikir ataupun kaum awam. Sebagian pihak beranggapan, bahwa epistemologi sebagai bagian dari metafisika karena epistemologi mempersoalkan kepastian atau kebenaran pengetahuan metafisis.

Langeveld berpendapat, bahwa manusia tidak dapat dimasukkan ke dalam bagian kosmologi. Seperti halnya manusia, pohon dan binatang pun memiliki kehidupan. Namun, ia berpendapat bahwa kehidupan manusia tampil dalam wajah yang secara esensial khas dan penting, yaitu menyangkut fungsi luhur, antara lain kebebesan untuk memilih dan berkehendak, serta memiliki nilai spiritual dan keyakinan. Dalam ciri khasnya tersebut, manusia memiliki nilai yang tinggi.

Sebagian pihak ada yang mempersoalkan kedudukan teologi terhadap filsafat karena sebagian orang memandang filsafat sebagai ancilla theologise (budak teologi). Dengan demikian, filsafat dianggap sebagai dasar, pengantar, atau pendahuluan teologi. Pandangan bahwa teologi sebagai bagian dari metafisika khusus, teologi disebut juga sebagai theodecea atau teologi naturalis. Selain itu, sebagian besar pihak ada pula yang beranggapan lebih tepat menyebut theodecea daripada teologi karena teologi menunjuk pada pengertian ilmu pengetahuan mengenai agama atau ajaran agama (tertentu). Teologi ini berbicara pula tentang Tuhan. Namun, Kant berpendapat bahwa adanya Tuhan tidak dapat dibuktikan, tetapi harus berdasarkan keyakinan. Beberapa pihak berpendapat, bahwa Tuhan dapat dibuktikan dari ciptaan-Nya. Pendapat lain menyatakan bahwa pemahaman terhadap ciptaan Tuhan lebih berdasar pada keyakinan bukan hasil wacana.

Antropologi dalam metafisika sering pula menampilkan masalah,”Apakah manusia seyogianya berkedudukan tersendiri atau merupakan bagian dari kosmologi, seperti tanah, air, tumbuh-tumbuhan, dan binatang?”

Kosmologi dan antropologi, apabila tidak dilihat dari perbedaan hakiki antara alam semesta dan manusia, keduanya disatukan dalam pengertian filsafat alam (nature philosophie).

Aksiologi

Aksiologi adalah bagian filsafat yang mempersoalkan penilaian, terutama berhubungan dengan masalah atau teori umum formal mengenai nilai. Tampaknya, gagasan mengenai aksiologi dipelopori oleh Lotze, kemudian Brentano, Husserl, Scheller, dan Nicolai Hatmann. Scheller mengontraskannya dengan praeksologi, yaitu pengertian umum mengenai hakikat tindakan. Secara khusus, bersangkutan dengan deontology, yaitu teori moralitas mengenai tindakan yang benar.

Dalam penilaiannya, terdapat dua bidang yang paling popular saat ini, yaitu yang bersangkutan dengan tingkah laku dan keadaan atau tampilan fisik. Dengan demikian, kita mengenal aksiologi dalam dua jenis, yaitu etika dan estetika.

1.      Etika adalah bagian filsafat yang mempersoalkan penilaian atas perbuatan manusia dari sudut baik dan jahat. Perlu diamati di sini, bahwa perbuatan manusia senantiasa mendapat penilaian baik dan jahat. Tentulah mudah bagi seseorang dalam menilai arti baik, tetapi mengapa yang sebaliknya disebut jahat, bukan buruk atau tidak baik saja. Adapun alasannya adalah bahwa yang dimaksud dengan jahat di sini adalah perbuatan-perbuatan yang akan merendahkan atau merusak kualitan kehidupan orang lain.

Etika dalam bahasa Yunani, ethos yang artinya kebiasaan, habit, atau custom. Maksudnya, hampir tidak ada orang yang tidak memiliki kebiasaan baik atau buruk. Oleh karena itu, istilah etis dan tidak etis dinilai kurang tepat. Adapun istilah yang lebih tepat adalah etika baik dan etika jahat.

2.      Estetika merupakan bagian filsafat yang mempersoalkan penilaian atas sesuatu dari sudut indah dan jelek. Secara umum, estetika disebut sebagai kajian filsafati mengenai apa yang membuat rasa senang. Secara visual dan imajinasi, estetika disebut juga kajian mengenai keindahan, atau teori tentang cita rasa, dan kritik dalam kesenian kreatif serta pementasan. Tokoh paling terkenal dalam bidang ini ialah Alexander Baumgarten (1714-1762) dalam disertasinya pada 1735 yang justru dianggap awal diwacanakannya estetika.

Aksiologi, selain pembagiannya berdasarkan etika dan estetika, para ahli membaginya dalam liputan tentang hakikat penilaian atas kebenaran, kebaikan, keindahan, dan kesucian. Dalam hal ini, setiap ahli mempunyai hak untuk mengajukan pendapatnya sendiri-sendiri, dan pembaca tidak harus mengikuti satu di antara beberapa pendapat itu karena yang terpenting adalah pengakuan atas alasannya.

Sistematika/Klasifikasi Lain

Sepintas lalu, telah diuraikan mengenai klasifikasi filsafat berdasarkan pendapat Langeveld. Namun, klasifikasi filsafat itu dibuat berdasarkan bermacam-macam kategori. Hal ini bergantung pada keperluan ataupun minat pembuatan klasifikasi. Klasifikasi ini dibuat berdasarkan daerah atau lingkungan budaya masing-masing. Sebagai contoh, empirisme Inggris dan Eropa, atau masalah serta sumber persoalan di berbagai daerah, seperti filsafat Eropa, India, dan Tiongkok (Cina, terutama Cina Kuno).

Terdapat klasifikasi filsafat yang menempatkan logika secara khusus, tersendiri, atau di luar filsafat dengan alasan bahwa logika merupakan alat utama dalam berfilsafat. Logika juga merupakan alat untuk membuat klasifikasi dan membahas komponen-komponen filsafat. Artinya, logika merupakan alat untuk berfilsafat, bukan merupakan bagian dari filsafat.

Dalam pembahasan kali ini, kita perlu mengutip klasifikasi lain sebagai bahan perbandingan mengenai cara berpikir atau kategorisasinya. Misalnya, pembagian filsafat berdasrkan pemikiran Plato (427-348 SM), yaitu sebagai berikut.

1.      Dialektika ialah bagian filsafat yang mempersoalkan gagasan-gagasan dan pengertian umum.

2.      Fisika ialah bagian filsafat yang mempersoalkan dunia material.

3.      Etika ialah bagian filsafat yang mempersoalkan perilaku baik manusia.

Sistematika filsafat dari Plato dianggap sebagai awal pembagian filsafat sehingga penting untuk selalu diingat karena hampir seluruh hal dalam alam semesta ini tercakup. Misalnya, masalah abstrak menyangkut pikiran dan gagasan, termasuk kegiatannya tercakup dalam dialektika. Dialektika berkaitan dengan dialog atau logika. Setiap benda, termasuk benda hidup, seperti manusia dan binatang, di samping tumbuh-tumbuhan dan benda-benda mati tercakup dalam fisika. Adapun tingkah laku, perbuatan manusia yang dianggap paling berpengaruh dalam kehidupan tercakup dalam etika. Anggapan lain mengatakan bahwa klasifikasi ini terlalu umum, atau kurang rinci sehingga tidak banyak yang dapat dijadikan rujukan. Misalnya, manusia yang tidak mendapat tempat khusus dalam sistematika itu mempunyai kedudukan dan peranan penting dalam kehidupan dunia. Manusia dalam sitematika itu dibagi dalam dua bagian wacana, yaitu fisika untuk sisi jasmaninya dan tingkah laku untuk sisi jiwa serta perilakunya. Pembagian seperti ini tidak menggambarkan keutuhan manusia.

Aristoteles (382-322 SM), seorang murid Plato dikenal sebagai seorang filosof pertama yang membuat klasifikasi filsafat, sedangkan Plato dianggap sebagai orang pertama yang menemukan klasifikasi. Ia membuat pembagian filsafat secara lebih rinci, konkret, dan sistematik. Dengan demikian, Aristoteles dianggap sebagai acuan pembagian klasifikasi filsafat pada masa-masa berikutnya.

Adapun klasifikasi filsafat berdasarkan Aristoteles adalah sebagai berikut.

1.      Logika adalah bagian filsafat yang mempersoalkan bentuk susunan atau cara penyusunan pikiran. Dalam sistematika filsafat Plato, logika termasuk ke dalam dialektika, namun oleh sebagian ahli, logika ini dipandang kurang spesifik. Logika ini lebih bersifat esensial jika dibandingkan dengan dialektika. Aristoteles sangat menaruh perhatian terhadap bagian filsafat ini, bahkan menganggapnya sebagai ilmu pendahulu filsafat. Ia dianggap sebagai Bapak Logika, terutama dengan buku yang disusun murid-muridnya yang berjudul “Organon” atau instrumen tentang logika formal.

2.      Filsafat teoretis memperbincangkan adanya dan keadaan sesuatu yang meliputi hal-hal sebagai berikut.

a.       Fisika mempersoalkan dunia material.

b.      Matematika mempersoalkan benda-benda berdasarkan kuantitasnya.

c.       Metafisika mempersoalkan tentang ada. Menurut Aristoteles, metafisika adalah bagian utama masalah filsafat. Dalam metafisika ini, selain masalah “ada”, juga masalah “yang ada”.

3.      Filsafat praktis mempersoalkan perbuatan, secara khusus mengenai masalah kesusilaan yang meliputi hal-hal sebagai berikut.

a.       Etika mempersoalkan masalah perbuatan, kesusilaan hidup seseorang.

b.      Ekonomia mempersoalkan perbuatan, kesusilaan hidup kekeluargaan.

c.       Politika mempersoalkan perbuatan, kesusilaan hidup berbangsa dan bernegara.

4.      Filsafat poetika/faktiva/estetika mempersoalkan produk, tindakan, dan keindahan.

Para ahli berpendapat, bahwa kelemahan yang dianggap penting dari sistematika filsafat Aristoteles, ialah menyangkut etika yang dalam filsafat Aristoteles hanya mempersoalkan perbuatan atau kesusilaan hidup seseorang. Oleh karena itu, mereka memperdalam dan merincinya lebih lanjut hingga cabang-cabang etika, seperti etika umum, etika khusus, etika individual, dan etika sosial. Dengan demikian, muncullah etika khusus, seperti etika bisnis.

Eerste Nederkandse Systematisch Ingerichte Encyclopedia (ENSIE), sebuah ensiklopedi yang dihormati di negeri Belanda, seperti kutipan Bakry mengajukan adanya sembilan buah permasalahan dalam filsafat, yaitu

1.      Metafisika,

2.      Logika,

3.      Filsafat mengenal,

4.      Filsafat pengetahuan,

5.      Filsafat alam,

6.      Filsafat kebudayaan,

7.      Etika,

8.      Estetika, dan

9.      Antropologi.

Selain sistematika filsafat seperti diutarakan Plato dan Aristoteles, juga terdapat pembagian atau sistematika filsafat lain yang sering digunakan orang karena dinilai prakatis, sederhana, juga meliputi pemahaman menyeluruh. Adapun sistematika filsafat tersebut adalah sebagai berikut.

1.      Filsafat teoretis, yaitu bagian filsafat yang membicarakan aturan-aturan atau hukum yang bersangkutan dengan masalah-masalah antara lain:

a.       Logika;

b.      Metafisika atau ontologi;

c.       Alam semesta (kosmologi); dan

d.      Filsafat manusia (antropologi).

2.      Filsafat praktis, yaitu bagian filsafat yang membicarakan perbuatan-perbuatan sebagai berikut.

a.       Etika membicarakan hakikat nilai perilaku.

b.      Theodecea membicarakan hakikat agama.

c.       Kultur membicarakan hakikat kebudayaan.

Dengan bervariasinya sistematika filsafat, hal ini memperlihatkan bahwa cakupan filsafat sangatlah luas. Pemikiran para ahli yang saling berbeda itu mempunyai kabsahan tersendiri. Setiap orang mempunyai hak untuk mengemukakan pendapatnya, sebagai akibat dari hakikat keadaan filsafat yang seperti itu. Mereka berpendapat bahwa dalam hal pemahamannya, sudut penekanan tiap-tiap orang berbeda, dan itu beralasan.

Berdasarkan perbedaan tersebut, kita berharap dapat menemukan manfaat dan hikmah yang lebih besar.

Selain istilah sistematika, dikenal pula istilah sistem. Antara sistematika dan sistem memiliki kesamaan karena keduanya berbicara tentang susunan apa yang dibicarakan. Fergilius Ferm dalam bukunya “A History of Philolopical Systems” mengutarakan pengelompokkan berbagai pikiran filsafati berdasarkan masalah, daerah, dan sejarahnya. Misalnya, berbagai filsafat pada masa kuno dan pertengahan (Ancient and Medieval), juga filsafat-filsafat pada zaman renaissance. Berbagai pikiran filsafat selain dikelompokkan berdasarkan hal tersebut, juga dikelompokkan berdasarkan tempat dan budaya, serta pembagian berbagai pendapat mengenai suatu aliran, seperti dalam golongan positivism.

Hal tersebut menggambarkan cara-cara yang dapat digunakan dalam mempelajari filsafat berdasarkan sistematikanya.      

 

Sumber : Buku Pengantar Filsafat, Sutardjo A. Wiramihardja

1 komentar:

Unknown mengatakan...

mas. lain kali kalau bikin artikael di web atau blogspot temanya gak usah muluk2. ga kebaca.

Kisah Mata Air Keabadian

Kisah ini diriwayatkan oleh Ats-Tsa’labi dari Imam Ali ra. Pada zaman dahulu hiduplah seorang hamba Allah SWT yang melebihkan kepada d...