Antropologi falsafiah
berbeda dengan antropologi ilmiah. Antropologi ilmiah meliputi antropologi
fisikal, sosial, dan kultural yang mempersoalkan data empiris tertentu sesuai
dengan jenisnya, ialah data empiris fisikal, data empiris sosial, dan data
empiris kultural.
Antropologi
falsafiah berusaha menyingkap hakikat manusia sebagai keseluruhan, sebagai
suatu totalitas dalam bentuk hakikatnya. Namun, tidak berarti bahwa antropologi
filsafati menyampingkan data empiris tentang manusia. Sebaliknya, antropologi
filsafati mengikuti dengan saksama pertautan ilmu-ilmu empiris tentang manusia,
untuk merefleksikan data empiris itu dalam hubungannya dengan hakikat manusia.
Penyadaran tentang hakikat manusia dapat memengaruhi penafsiran data empiris
tersebut. Antropologi merupakan bagian dari metafisika. Metafisika terdiri atas
dua, yaitu
1. metafisika
umum – general metaphysic atau
ontologi, dan
2. metafisika
khusus – specific metaphysic
Metafisika
khusus terdiri atas:
a. kosmologia;
b. antropologia;
dan
c. teologia/theodecea.
Kosmologi
merupakan bagian metafisika khusus yang membicarakan hakikat alam semesta,
sedangkan teologi atau theodeceae
merupakan bagian metafisika khusus yang membicarakan hakikat Tuhan dan
ketuhanan Antropologi membicarakan hakikat manusia.
Sebagai
disiplin filsafati, C.Wolf
mengajukan kosmologi rasional sebagai cabang yang disebut metafisika khusus,
yaitu cabang yang memberikan gambaran umum univers fisikal yang dapat dikenal
secara apriori. Dua bidang lainnya adalah psikologi rasional dan teologi rasioanl.
Wolf membedakan kosmologi rasional daripada kosmologi empirikal yang bersifat a
posteriori.
Theodecea (theodicy) merupakan pembicaraan mengenai kebaikan, keadilan,
kebijaksanaan, serta kesucian lainnya yang tidak tertandingi. Theodecea dihadapkan dengan apa yang
dilakukan oleh setan atau keburukan dunia. Dari ketiga masalah metafisika
khusus tersebut yang paling banyak dan menarik untuk dibicarkan adalah
antropologi, ialah filsafat tentang hakikat manusia. Sampai saat ini terdapat
tiga mazhab utama yang secara mendasar membicarakan mengenai hakikat manusia,
yaitu Idealisme, Materialisme, dan Vitalisme. Semakin lama semakin banyak isme
lainnya tentang manusia, namun secara mendasar bertumpu pada satu dari ketiga
isme tersebut, atau mensintesiskan dua di antaranya atau ketiga-tiganya.
1.
Idealisme
Berbicara idealisme
saat ini, orang sering mengingatnya dalam hubungannya dengan idealisme Jerman.
Hal demikian masuk akal karena idealisme Jerman pernah mendominasi filsafat
Jerman yang berusaha melengkapi projek revolusioner Kant: derivasi prinsip
pengetahuan dan etika dari sprutanitas dan otonomi pikiran atau spirit.
Misalnya idealisme Hegel. Namun, sebenarnya idealisme sudah ada sejak masa
Yunani kuno, setidaknya dari Plato. Idealisme memandang roh sebagai kenyataan
sejati. Dengan demikian, aliran ini disebut juga spiritualisme. Manusia primer
dipandang sebagai makhluk rohani. Manusia dapat pula disebut sebagai makhluk
rasional (animal rationale). Artinya,
makhluk berbudi atau dipersempit lagi sebagai makhluk berakal. Dengan perkataan
lain, bahwa manusia disebut juga sebagai makhluk berakal. Dengan perkataan
lain, bahwa manusia disebut juga sebagai makhluk berbudi atau rohani yang
berbudaya, atau lebih menunjuk pada intelektualisme. Pada dasarnya, manusia
memandang idealisme sebagai makhluk berbudi atau rohani yang membudaya.
Sejarah
merupakan suatu proses rohaniah khuluk (nature).
Dengan demikian, natur manusia menjadi kultur, atau sesuatu yang rohaniah.
Itulah pendirian humanisme (= idealisme). Selanjutnya, kenyataan sejati yang
rohaniah bersifat impersonalitas atau personalitas. Impersonalisme menunjuk
pada kenyataan rohani yang tida sadar terhadap dirinya, sedangkan personalisme
bercirikan kesadaran terhadap diri.
Sebagian
orang memandang, bahwa seluruh kenyataan terdiri atas kesatuan-kesatuan psikis
atau immaterialistis. Pandangan ini disebut Pan-psikisme atau monadisme sesuai
dengan teori Leibnitz (1646-1716)
tentang monade. Jika materialisme menekankan yang beruang (berkeluasan) yang
sensual, tergambarkan a normatif, dan faktual, idealisme meletakkan tekanan
pada yang tidak beruang, suprasensual, tidak tergambarkan, normatif, dan
bertujuan. Oleh karena itu idealisme mempersoalkan roh, jiwa (psyche), dan idea
pribadi (persona).
Manusia
sebagai makhluk budaya ialah pendukung kenyataan ideal, seperti dunia norma
atau nilai; dan roh yang meliputi norma-norma itu menunjukkan aspek-aspek
rasionalitas, estetis, dan religius. Oleh karena itu, dapat dibedakan antara
idealisme rasional, idealisme etis, idealisme estetis, dan idealisme religius.
Menurut
idealisme rasional, hakikat manusia adalah kesanggupan untuk berpikir. Aristoteles (380-322 SM) menggolongkan
jiwa vegatatif, animal, dan human ke dalam jiwa manusia. Jiwa manusia
menunjukkan ciri-ciri yang khas. Kesanggupan manusia untuk berpikir disebut
nous (budi).
Pada
asasnya, ucapan Descartes
(1596-1650), “cogito ergo sum” berarti bahwa hakikat saya sebagai manusia
adalah berpikir. Pemikir Perancis yang dikenal sebagai seorang arsitek abad
pemikiran modern ini mengajukan dua doktrin prinsip dunia filsafat. Doktrin
pertama adalah reduksionisme fisiko-matematis yang komprehensif yang menyatakan
bahwa semua gejala yang terobservasi terutama harus diterangkan dengan
referensi terhadap interaksi partikel-partikel yang dapat diuraikan tersendiri
dalam hal ukuran, bentuk, dan gerakan. Doktrin kedua adalah konsepsi tentang
jiwa yang berada di luar pandangan murni (purview
fisika – suatu gejala sui generis
yang pada hakikatnya hanya dapat dikuasai dari dalam melalui refleksi
introspeksi. Pada masa pencerahan, pendirian tersebut diperuncing menjadi
pemujaan terhadap akal.
Menurut
Hegel (1770-1831), arti, makna, atau
nous bukanlah sesuatu yang dimiliki tiap-tiap manusia, melainkan manusia
menjadi alat nous yang meliputi
seluruh alam semesta. Perbuatan seseorang bukan berdasarkan kecakapannya
sebagai individu, melainkan merupakan perbuatan nous yang mempergunakannya
sebagai alat. Filosof yang meniti karir berfilsafatnya dimulai dari seminari,
yaitu suatu pendidikan tinggi keagamaan. Dalam karya-karya pertamanya, Hegel
berusaha untuk mendampingkan filsafat dengan kristianitas.
Hakikat
manusia menurut idealisme etis, ialah kemauannya. Manusia primer dipandang
sebagai makhluk sosial. Kant
(1724-1804) pernah mengatakan bahwa segala sesuatu di alam semesta ini dapat
diperalat, kecuali manusia sebagai makhluk berbudi merupakan tujuan terhadap dirinya
sendiri. Dengan perkataan lain, manusia bukan diperalat, melainkan memperalat.
Menurut Kant, hukum kesusilaan tidak datang dari luat diri manusia, tetapi
datang dari budinya sendiri.
Idealisme
estetis memandang perasaan sebagai hakikat manusia. Menurut Goethe (1749-1832), kenyataan merupakan
karya kesenian, demikian pula kehidupan manusia. Berdasarkan pembawaanya yang
wajar, manusia harus menjadi kepribadian yang selaras dengan seluruh kosmos.
Akhirnya,
idealisme religius memandang kepercayaan sebagai hakikat manusia. Menurut Plato (427-347 SM), manusia dengan
erosnya, senantiasa menuju pada idea-idea
yang bersifat rohani. Sebenarnya, kehidupan di dunia adalah maya. Kehidupan
yang sejati hanya ditemukan di dalam alam idea,
yaitu Tuhan merupakan idea teritinggi.
Agustinus (354-430) memandang Tuhan
sebagai roh yang menciptakan idea-idea
itu.
Dewasa
ini, idealisme tidak memegang peranan yang demikian penting, seperti pada Abad
ke- 19. Kini, idealisme hidup dalam aliran neo-Kantianisme
dan Neo Hegelianisme. Neo Kantianisme
merupakan gerakan di Jerman yang bangkit sebagai reaksi terhadap dua
kecendrungan yang berkembang pada Abad ke-19, ialah materialisme metafisika
yang ilmiah dan materialisme yang dogmatis.
2.
Materialisme
Dalam
filsafat Yunani Kuno terdapat tiga aliran filsafat yang tidak sekadar mamandang
manusia, tetapi manusia sebagai kajian utama, yaitu materialisme (Demokritos), idealisme (Plato), dan vitalisme (Aristoteles). Aliran lain yang juga
berkembang, ialah psikomonisme, tetapi karena batas-batasnya dengan idealisme
tidak tegas, banyak orang tidak memandangnya sebagai suatu aliran tersendiri.
Aliran yang paling tua dan paling banyak berpengaruh adalah idealisme. Pada
Abad ke-18 dan ke-19, materialisme mulai berpengaruh, sedangkan akhir Abad
ke-19 muncul pula vitalisme.
Materialisme
sudah kita temukan dalam filsafat Yunani Purba. Menurut Demokritos (460-370
SM), kenyataan itu terdiri atas atom, yakni benda kecil yang tidak dapat
dibagi, tidak dapat diamati, serta bersifat menetap. Atom-atom senantiasa
bergerak tanpa tujuan. Namun, kenyataan itu berdasarkan hukum-hukum yang
bersifat mutlak. Terdapat perbedaan antara Demokritos dan Aristoteles. Menurut
Demokritos, benda-benda itu tunduk pada hukum alam, sedangkan menurut
Aristoteles, benda-benda itu bergerak menurut causa finalis, digerakkan oleh intellechie.
Meskipun demikian, Aristoteles kerap disebut sebagai tokoh materialisme pada
Zaman Yunani Kuno, sedangkan Plato dikenal sebagai peletak dasar idealisme.
Segala
perubahan dalam dunia gejala berdasarkan perbedaan-perbedaan dan gerak. Menurut
Demokritos, hakiki yang berubah, sedangkan menurut Perminides, hakiki yang tetap.
Aliran
materialisme membatasi kenyataan sejati pada daerah ontis dunia anorganis
(dunia materi). Segala sesuatu, yaitu kehidupan, jiwa, dan roh dikembalikan
pada materi. Aliran ini disebut materimonisme, yaitu materi yang terdiri atas
bagian-bagian yang disebut molekul. Dengan kata lain, materi itu tunduk pada
hukum-hukum tertentu sehingga kenyataan itu dipandang sebagai suatu mesin (mekanisme).
Menurut
August Comte, orang harus memandang
pandangan itu sebagai materialisme apabila yang lebih luhur, yakni yang lebih
kompleks dijabarkan daripada yang lebih rendah atau bersahaja. Dengan demikian,
pikiran dikembalikan pada gerak sel otot, dan kesenian pada ekonomi, yaitu
keadaan material.
Suatu
biologisme yang mengembalikan manusia pada keadaan fisiknya, tergolong
materialisme. Biologisme dapat juga merupakan vitalisme.
Pandangan-pandangan
Demokritos sebagai ahli filsafat tergolong pandangan yang pertama dalam
materialisme yang mengambarkan sifat mekanis serta deterministis. Determinisme
adalah alirang berpikir yang berpendapat, bahwa segala sesuatu itu telah dan
dapat ditentukan sebelumnya. Oleh karena itu, pada determinisme tidak ada kemungkinan,
tetapi keharusan.
Menurut
Demokritos, jiwa itu terdiri atas yang halus dan bulat, serta merupakan jenis
atom yang paling banyak dan mudah bergerak, juga meliputi seluruh tubuh. Ia
memasukkan suatu unsur dualistis ke dalam pandangannya.
Pada
Abad XVII, XVIII, terutama XIX, materialisme mengalami perkembangan yang besar,
sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan alam.
De La Mettrie
(1709-1751) yang bernama lengkap Julian
Offroy De La Mettrie adalah seorang dokter yang membuat tulisan dalam
sebuah buku yang berjudul “L’homme
–machine”. Dalam tulisannya, ia menolak pandangan Descartes tentang res
extensial dan res cogitans
(res,jamak; re,tunggal = hal). Extensial
berarti memenuhi ruangan, sedangkan res
cogitans adalah hal yang dipikirkan. Menurutnya, hanya ada materi yang
bergerak dengan sendirinya sehingga tidak diperlukan Tuhan sebagai penggerak.
Jiwa atau roh sebagai institusi berpikir ditolaknya. Berpikir merupakan fungsi
wajar dari badan. Pada hakikatnya, manusia merupakan mesin, serupa dengan hewan
(Descartes), tidak ada perbedaan hakiki antara hewan dan manusia.
Holbach
(1751-1771), dalam tulisannya “Systeme de
la Nature” (susunan alam), menolak dualisme Descartes dan menuntut
materimonisme. Kenyataan sejati adalah materi yang bergerak. Segenap gejala
bergerak menurut keharusan mekanis. Manusia sebagai bagian dari alam merupakan
bagian mekanisme. Dalam sistem ini, tidak ada tempat bagi Tuhan, kehidupan
kekal, kemauan bebas, serta kesusilaan.
Feuerbach
(1804-1872) terkenal karena kecamannya terhadap agama dan ungkapannya “Der Mensch is war es isst” (manusia
adalah yang dimakannya), yaitu materi. Jika yang dimakan adalah materi, manusia
itu tidak lebih dari materi itu sendiri. Karya yang paling penting dari filosof
ini, “Das Wesen des Christentums”
terbit lebih dahulu daripada buku tersebut yaitu pada 1841. Isi buku tersebut
menyatakan tentang perbedaan esensial antara manusia dan makhluk binatang
lainnya. Menurut Feuerbach, manusia dan binatang tidak bersedia atas satu
jenis. Binatang yang terakhir itu hanya digerakkan oleh naluri, sementara
manusia juga memiliki kekuatan untuk berefleksi yang memungkinkan mereka
menguasai alat kelengkapan dirinya yang esensial. Ia berpendapat, bahwa pikiran
kita berasal dari semua perfeksi. Manusia berasal dari bukan makhluk manusia.
Vogt
(1817-1895), seorang ahli ilmu hayat yang berpendapat, bahwa pikir sama dengan
otak, empedu sama dengan hati, dan air seni sama dengan ginjal. Ia
mengembalikan sesuatu menurut gerak alam.
Jacob Molleschott
(1822-1893), seorang guru besar dalam ilmu faal berpendapat, bahwa pikiran itu
suatu gerak, yaitu suatu perubahan zat otak. Ia mengajar di Heidelberg. Zurich,
dan Roma. Ucapannya, “Ohne Phasphor keine
Gedanken” (tanpa fosfor tidak ada pikiran). Materi otak ini sangat penting
sebab tanpa otak, kita tidak mungkin dapat berpikir. Ia merupakan wakil utama
materialisme ilmiah yang popular untuk Abad ke- 19.
Buechner
(1824-1899), seorang dokter yang mengemukakan dalam bukunya “Kraft und Stoft (gaya dan materi), yaitu
tidak ada gaya tanpa materi, dan sebaliknya. Jiwa, kesadaran, dan pikiran
merupakan suatu gaya, yaitu suatu curahan zat, terutama otak. Berpikir itu sama
dengan gerak otak. Pemikiran manusia dipandangnya sebagai suatu hasil alamiah
yang wajar. Alam pikiran ini sangat sesuai dengan teori evolusi Darwin (1804-1882). Dalam tulisannya “The origin of species on the descent of Man”,
ia mengemukakan bahwa dunia organis menunjukkan suatu evolusi atau perkembangan
dari jenis yang rendah ke jenis yang tinggi. Manusia merupakan hasil terakhir
evolusi itu. Adapun evolusi itu berlangsung menurut hukum mekanis yang wajar.
Dengan demikian, tidak terlihat adanya perbedaan hakiki antara manusia dan
hewan. Artinya, bahwa manusia, pada hakikatnya sama dengan hewan. Dengan
perkataan lain, bahwa manusia dapat berevolusi pada taraf yang melampaui
manusia dewasa ini. Perlu ditegaskan di sini, bahwa Darwin hanya bermaksud
mengemukakan suatu hipotesis untuk menerangkan gejala alam. Buechner dikenal
sebagai seorang penganjur etika utiltranisme. Ia menolak religius
supernaturalis dan doktrin-doktrin moral yang ia sebut sebagai sesuatu yang
salah dan berbahaya.
Herbert Spencer
(1820-1903), dalam tulisan utamanya “System
of Synthetic Philosophy”, asas evolusi itu dimasukkannya ke dalam jenis
ilmu pengetahuan “Darwinisme” dan “evolusionisme” menjadi slogan terhadap suatu
pandangan dunia yang melampuai maksud Darwin. Dengan meyakini kebenaran Darwin
disertai keyakinannya sendiri, Haeckel merupakan seorang yang sangat berhasil
mengembangkan pikiran Darwin.
Spencer
adalah ahli sosiologi dan psikologi yang terkenal pada akhir Abad ke-19.
Dalam
“First Principles”, ia menyatakan
bahwa yang dapat kita ketahui hanyalah fenomena luar, meskipun melalui argumentasi
kita dapat menduga yang tidak dapat diamati. Melalui argumennya, ia meyakini
bahwa di balik fenomena luar. Dan itu adalah evolusi, ialah hukum yang mengatur
proses saling menyempurnakan antara materi dan gerakan. Masalah hubungan saling
memengaruhi antara potensi dan lingkungan, ia tulis sebagai prinsip biologi dan
psikologi.
Haeckel
(1834-1919), dalam tulisannya “Die
Weltraetzel” (Teka-Teki Dunia), darwinisme menjadi populer. Haeckel menolak
pandangan dunia Kristen yang menimbulkan dualisme antara materi dan roh.
Tulisannya yang termasyhur merupakan ajaran materi monisme yang konsekuen serta
sistematis.
Haeckel
terkenal dengan hukum biologis yang disebut rekapitulasi. Hukum itu menyatakan,
bahwa ontojenis – perkembangan individual – merekapitulasikan filojeni
(perkembangan jenis, species). Ia adalah pendiri/penemu Monistenbund (Liga Monist) dengan tujuan mengembangkan etika dan
metafisika ilmiah baru.
Pada
asasnya, pandangan materialisme ini memutlakkan hasil-hasil ilmu pengetahuan
alam atau Naturwissenschaft sehingga
muncullah pandangan dunia atas dasar ilmu-ilmu tersebut, yaitu naturalisme yang
menolak segala jenis instansi supernatural.
Pandangan
ini sangat menarik perhatian banyak orang, terutama karena sebagian dari mereka
sudah jemu terhadap spekulasi yang metafisis, abstrak serta kabur. Sebaliknya,
orang ingin kembali pada yang konkret, real, dan nyata.
Pandanga
ini telah menunjukkan jasa-jasanya yang harus diakui, namun menurut Langeveld
(1959), para pengikutnya kurang menyadari terhadap dua hal, yaitu sebagai
berikut.
1. Pada
asasnya, pandangan ini justru berdasarkan pandangan metafisis tertentu.
2. Ilmu
pengetahuan alam tidak memberikan gambaran kenyataan yang konkret, tetapi hanya
memberikan aspek tertentu atas dasar lambang-lambang tertentu. Suatu fakta
tidak pernah merupakan kenyataan yang konkret, tetapi hanya suatu aspek
berdasarkan pertanyaan yang dikemukakan terhadap kenyataan yang konkret.
3.
Positivisme
Ada tiga pengertian
umum positivism. Pertama, positivisme
legal ialah suatu teori yang menyatakan, bahwa hukum negara berdasar pada
keinginan pemiliki kekuasaan negara tersebut. Pertama-tama, pendapat ini
menyatakan, bahwa legislasi dan pengakuan otoritatif atas keputusan yudisial.
Kedua, positivisme moral atau positivisme
moral teologis, dikenal dengan nama voluntarisme teologis ialah suatu teori
yang menyatakan bahwa perintah-perintah arbitrer Tuhan melakukan tindakan-tindakan tertentu
tentang benar atau salan. Ketiga, filsafat
positivis dimulai dengan Auguste Comte dengan filsafat positif dan
positivismenya digunakan untuk merancang pandangan dunia yang merangkung
masalah-masalah dalam kehidupan ilmu modern, serta menolak superstisi, religi
dan metafisika sebagai bentuk pikiran pra-ilmiah yang akan menyerahkan pada
ilmu positif sebagai kemanusiaan meneruskan kemajuannya.
Suatu
aliran yang berorientasi pada ilmu pengetahuan alam, tetapi menolak metafisika,
yaitu positivisme sebagaimana dikemukakannya oleh August Comte (1798-1857)
dalam tulisannya “Cours du philosophie
Positives”. Menurut Comte, hendaknya kita memandang phenomenon atau gejala
itu sebagai sesuatu yang tunduk pada hukum alamiah yang menetap atau yang
mutlak (= tidak bergantung pada apa pun).
Perkembangan
alam pikiran manusia berjalan melalui tiga stadium. Pada stadium teologis, orang mencoba menerangkan gejala-gejala itu atas
dasar gaya-gaya supernatural. Pada stadium
metafisis, keterangan itu berdasarkan gaya-gaya abstrak hasil spekulasi.
Pada stadium positif, orang berusaha
menemukan hukum-hukum yang menguasai gejala-gejala itu atas dasar pengamatan
yang tertib.
Saat
ini, positivisme hidup dalam aliran positivisme sebagaimana dikembangkan oleh
sekelompok sarjana yang tergabung dalam Werner
Kreise (1929-1939). Tokoh-tokohnya yang utama, antara lain Mauritz Slick (1882-1936) dan Rudolf Carnap (1891-1970). Neo positivisme menentang pandangan
eksistensialisme yang anti scienticism.
Tokoh-tokoh
positivisme lain
Mereka berpendapat,
bahwa pengetahuan alam hendaknya menjadi satu-satunya sumber terhadap pengetahuan.
Pada masa yang lampau, dalam merumuskan pengetahuan, orang kurang tertib dalam
menggunakan istilah-istilah. Mereka menuntut suatu analisis terhadap
istilah-istilah itu atau penertiban penggunaan bahasa.
Suatu
aliran yang tidak seluruhnya digolongkan pada materialisme, ialah materialisme
historis yang disebut juga materialisme dialektis.
Marx
(1818-1883) dikenal sebagai bapak aliran materialisme modern yang sangat
dipengaruhi oleh Hegel dan Feuerbach. Ia dianggap sebagai Bapak Matrialisme
modern yang melahirkan komunisme. Komunisme merupakan aliran berpikir
berdasarkan pikiran materialisme yang secara tegas memasuki dunia politik atau
politik ekonomi dalam rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat. Pikiran ini
kemudian berkembang sebagai faham politik yang berkembang di Uni Soviet
terutama di bawah Stalin dan
Republik Rakyat Cina, terutama di bawa Mao
Tse Tung.
Marxisme
itu sendiri sering disebut sebagai teori “social
analysis” yang berdasar pada ekonomi. Semua gerakan sosial didasarkan pada
sebab ekonomis. Marx sangat tersinggung oleh keadaan sosialnya yang buruk
sebagai akibat eksploitasi kelompok mapan di pemerintahan, bisnis, dan pula
penguasa gereja. Ia bertujuan mengubahnya sehingga diperlukan gaya-gaya yang
menentukan perkembangan masyarakat yang kemudian dikenal sebagai analisis
sosial. Demikian, Mark menyusun filsafat sejarah yang mencapai kesimpulan
akhir, bahwa untuk mengetahui gerakan sosial, sumbernya adalah ekonomi. Aliran
ini disebut “Materialisme Historis” yang mengingatkan kita pada historisme
dialektis sebagaimana dikemukakan Hegel. Pendahulunya adalah Marx.
Menurut
Hegel, gaya-gaya itu berupa idea (roh). Marx melihatnya pada materi, yakni
alat-alat produksi yang menjadi kunci masalah masyarakat itu. Selanjutnya, Marx
menghadapkan kelas kapitalis (pemilik alat-alat produksi) dan kelas proletar
sebagai thesis dan antithesis (thesis = pendapat, antithesis = pendapat
yang berbeda, menentang).
Menurut
hukum sejarah, keadaan tersebut diakhiri dengan suatu revolusi yang menghasilkan
sintesis masyarakat yang tidak berkelas dan tidak mengenal milik pribadi. Alat
produksi ditanggung dan dimiliki negara yang meliputi seluruh dunia. Metode
dialektika Hegel, yakni thesis – antithesis – sinthesis menimbulkan mania “Materialisme dialektis”. Artinya,
bahwa yang menentukan manusia dan kebudayaanya adalah materi, yakni alat-alat
produksi. Misalnya, dalam masyarakat kapitalis diperlukan agama sebagai hiburan
bagi mereka (kaum proletar) yang mengalami kesengsaraan masyarakat sebagai
konsekuensi logis pelaksanaan sistem itu.
Dalam
masyarakat yang tidak berkelas, “hiburan” semacam itu tidak diperlukan lagi.
Menurut Marx, agama ialah sebagai hiburan ialah meninabobokan masyarakat miskin
karena harus bekerja keras dengan imbalan yang rendah, mengabdi pada kaum
borjuis. Tujuannya agar masyarakat tidak memberontak atas kesengsaraannya yang
merupakan candu bagi kaum proletar. Dengan demikian, agama harus dimusnahkan.
4.
Vitalisme
Sehubungan
dengan pendapat dasarnya, vitalisme menolak materialisme. Pada abad sekarang,
aliran yang berkembang adalah neopositivisme dan eksistensialisme yang
mengembangkan perbedaan pemikiran. Eksistensialisme tumbuh dan berkembang di
Perancis, sedangkan neopositivisme yang semula tumbuh dan berkembang di Eropa,
kemudian menyebar ke Inggris dan Amerika Serikat.
Vitalisme
secara umum diartikan sebagai pandangan bahwa pemahaman terhadap kehidupan
menuntut keterangan dasar yang menyangkut perbedaan dari apa yang terjadi pada
ilmu-ilmu alam. Sebagai tambahan terhadap substansi dan kekuatan-kekuatan yang
dikenal dalam ilmu-ilmu fisik terdapat kekuatan hidup yang khusus. Pandangan
ini dikemukakan Hans Driesch
(1967-1941), seorang filososf alam yang beraliran romantik. Ia mengajukan
istilah entelechy. Tokoh vitalisme yang lain adalah Henri Bergson, seorang filosof Perancis (1859-1941) yang menyebut
kekuatan itu dengan istilah elan vital,
impuls hidup. Bergson menyatakan bahwa kehidupan itu tampil dalam dua ciri
semangat atau moral. Ada yang didasari moral tertekan (morale de la pression) dan yang didasari moral bercita-cita (moral de l’Aspiration).
Vitalisme
adalah aliran metafisika yang mengharuskan daerah ontis dunia organis (alam
hidup) yang memandang kehidupan sebagai kenyataan sejati satu-satunya.
Vitalisme dikenal juga dengan nama filsafat hidup (vitalisme, philosophy of life) suatu aliran yang
lahir pada akhir Abad IX.
Berdasarkan
sejarah perkembangan filsafat, filsafat hidup merupakan suatu proses terhadap
kedua aliran yang menguasai alam pikiran Abad ke-19, yaitu materialisme dan
idealisme. Materialisme dalam berbagai bentuk dan seginya mencakup mekanisme
dalam ilmu hayat, metode monisme dalam psikologi, sosiologi dan ilmu
pengetahuan rohani lainnya.
Menurut
vitalisme, materialisme tidak memerhatikan ciri-ciri totalitas, spontanitas,
dan finalitas dunia organis. Vitalisme menolak pendirian idealisme yang menolak
kenyataan sejati primer yang bersifat rohani. Bukan roh yang primer, melainkan
kehidupan. Kehidupan itu mendasari roh. Tanpa kehidupan tidak ada roh.
Idealisme kerap kali menimbulkan pemujaan terhadap akal budi dan rasio. Oleh
karena itu, vitalisme anti intelektualitas, serta menekankan segi-segi
irrasional pada manusia. Vitalisme dapat berorientasi pada biologi (biologisme
dari Driesch), juga pada histori (historisme dari Dilthey). Sebagai reaksi atas
materialisme dan idealisme yang bersifat monistis, vitalisme kerap kali
menunjukkan sifat pluralitas.
Schopenhauer
(1788-1860) dalam karyanya “Die Welt als
Will und Verstellung” (Dunia sebagai kemauan dan Tanggapan), pertama-tama
membenarkan Kant yang membedakan neumenon dan fenomenon. Dunia sebagai
tanggapan menuju pengertian fenomenon, namun Schopenhauer menolak pendirian
Kant bahwa neumenon tidak dapat dikenal. Menurut Schopenhauer, kita dapat
mengenalnya melalui diri kita sendiri. Ia akan menemukan pada dirinya, kemauan
yang berakar pada dorongan hidup yang buta. Dorongan ini ialah hal tidak sadar,
sedangkan yang menjadi hal sadar ialah kemauan.
Pada
asasnya, kecerdasan jasmani adalah objektivitas perkuatan kemauan. Dorongan
hidup yang buta merupakan hakikat segala sesuatu yang tidak pernah sampai pada
perhentian sehingga tidak akan tercapai kepuasan karena hidup merupakan
kesengsaraan. Pelepasan atas kesengsaraan hanya mungkin dilakukan dengan cara
meniadakan dorongan hidup. Dalam hal ini, pengaruh Budhisme sangat jelas ada
dalam ajarannya. Pikiran-pikirannya dikenal sebagai filsafat pesimis atas
kemauan yang bertentangan dengan sistem pikiran optimistic dari Hegel. Sistem
filsafat Arthur Schopenhauer merupakan sintesis indigenus dari Platonisme,
Kantianisme, dan filsafat ketimuran, terutama Budha. Dalam hal ini,
Schopenhauer telah berjasa, bahwa ia telah membuka mata kita terhadap
ketidaksadaran yang mendasari kesadaran.
Berdasarkan
pendapat Schopenhauer, Edward von
Hartmann (1842-1906) menulis sebuah buku yang berjudul “Philosophie des Unbewusten” dan Sigmund Freud (1856-1939) mengembangkan
psikologi yang menekankan pada kepentingan ketidaksadaran yang kemudian dikenal
dengan nama psikoanalisis. Psikoanalisis dapat disebut teori, teknik
psikodiagnostik, dan sekaligus teknik psikoterapi yang didasari pandangan, bahwa
perilaku manusia termasuk perilaku sakit, jauh lebih banyak ditemukan oleh
kekuatan yang ada di bawah sadar, tidak disadari.
Nietzsche
(1844-1900) pernah disebut sebagai Bapak vitalisme. Menurut Nietzsche,
kenyataan sejati adalah kehidupan. Adapun jika menurut Schopenhauer untuk
mencapai kebahagiaan, orang harus meniadakan nafsunya. Ia berpendapat bahwa
manusia hendaknya menerima kenyataan itu dan tidak melarikan diri dari
kenyataan dengan cara meniadakan dorongan hidup. Hal ini disebut dengan
amorfati, yaitu kerinduan terhadap hasil.
Pada
saat itu, Nietzsche yang sedang belajar di Leipzig menentang pesimisme
Schopenhauer.
Nietzsche
menolak adanya dunia yang lebih luhur sebagaimana dikemukakan dalam berbagai
agama. Sesuatu yang benar ada adalah dunia tempat kita hidup. Di situlah
letaknya tugas kita dan hendaknya kita menemukan kepuasan. Pada hakikatnya,
dorongan hidup adalah kemauan terhadap kekuasaan (Der Wille zur Macht). Nietzsche membedakan sikap hidup dionysis yang dikuasai dorongan hidup
yang buta yang tidak sadar serta tidak mengenal batas, dan sikap hidup
apollinis yang menunjukkan keseimbangan rasional (sophrosyne).
Berdasarkan
hal tersebut, Nietzsche memihak pada sikap hidup yang pertama. Nietzsche
mencita-citakan Uebermenschen
(superman), yaitu manusia dengan dorongan hidup serta kemauan terhadap
kekuasaan yang kuat yang tidak mengekor pada masa, seperti pada manusia umumnya
yang ditemuinya pada sikap hidup kaum borjuis. Ia menolak agama Kristen yang
memberikan manusia moral budak (Sklavenmoral),
dan menuntut moral tuan (Herrenmoral).
Manusia berkuasa hidup atas dasar dorongan-dorongan, tanpa mengenal batas dan
tidak menyembunyikan diri di belakang moral yang ditentukan roh. Tuhan itu
mati, demikian kata Nietzsche.
Sebagaimana
dikembangkan Freud, Adler, dan Jung, psikologi berdasarkan penelitian
empiris sampai pada kesimpulan-kesimpulan yang lebih dahulu telah dikemukakan
oleh Schopenhauer dan Nietzsche. Pada hakikatnya, manusia merupakan suatu bekas
dorongan-dorongan. Kebudayaan berpangkal pada dorongan-dorongan tersebut
(sublimasi). Adler mempersoalkan tentang dorongan kekuasaan, Uebermensch yang dicita-citakan
Nietzsche dilihatnya tercapai oleh bangsa Arya. Namun, Nietzsche tidak
memandangnya tidak terbatas pada bangsa Jerman, seperti dalam Naziisme,
sebagaimana tercantum dalam karangan Alfred
Rosenberg “Der Mythos des Zwanzigsten
jahrhundrets”. Rosenberg semacam author intelektualisme, menyatakan bahwa
manusia dikembalikan pada faktor bangsa, yaitu faktor biologis.
Seorang
tokoh terkemuka di kalangan filsafat hidup adalah Henri Bergson (1859-1941), berpendapat bahwa, baik materialisme
maupun idealisme gagal dalam menjangkau kenyataan hidup. Hal ini disebabkan
terhadap kedua aliran itu, orang ingin menjangkaunya dengan akal, sedangkan
menurut Bergson, hal itu harus dilakukan dengan intuis.
Kenyataan
hidup seperti itu menunjukkan dua aspek, yaitu aspek material dan aspek
spiritual. Dengan akal, kita akan berpegangan pada aspek material, lalu
mengembalikan gejala hidup itu pada gerak materi, seperti mesin (determinisme),
atau berpegangan pada aspek spiritual, lalu mengembalikan gejala hidup itu pada
gerak rohani yang tertuju pada kenyataan ideal (finalisme). Dengan intuisi,
kita dapat berusaha menjangkau kedua aspek itu sebagai satu kesatuan. Akal
hanya sanggup menyusun pengertian terhadap sesuatu yang discontinue serta tidak bergerak. Sebaliknya, kehidupan adalah
continue dan bergerak. Suatu perjanjian (proses) bersifat menciptakan (evalution creatrice). Dengan perkataan
lain, kehidupan bukan merupakan evolusi yang serba tentu, baik deterministis
maupun finalistis. Kehidpan menunjukkan spontanitas yang tidak dapat diramalkan
sebelumnya. Perkembangan kehidupan didasarkan atas dorongan hidup atau
elanvital yang dapat bergerak ke berbagai arah, serta menciptakan sesuatu yang
baru.
Orang
yang berpikir secara deterministis, tidak mengenal kebebasan. Pada asasnya, ia
menyalahtafsirkan motif-motif yang dipandangnya sebagai gejala psikis yang discontinue. Seseorang berpendapat,
bahwa ada motif yang lebih kuat. Hal ini menyebabkan lahirnya perbuatan
tertentu. Namun, kehidupan psikis itu bersifat continue yang bermakna, bahwa apa yang akan terjadi ditentukan
sambil berjalan. Di sinilah letaknya kebebasan manusia.
Catatan:
1.
Akal
adalah kesanggupan untuk berpikir diskursif.
2.
Diskursif
adalah ilmu menyusun pikiran yang satu dihubungkan dengan yang lainnya, dan
seterusnya. Intuisi adalah kecakapan untuk menyelesaikan suatu masalah tanpa
memakai pemikiran diskursif -loncatan.
3.
Predestinasi,
bahwa Tuhan telah menentukan kehidupan kita sebelumnya.
4.
Determinisme
adalah keadaan yang serba tentu yang disebabkan oleh keadaan.
Pertama-tama,
Bergson sangat terpengaruh oleh
filsafat Herbert Spencer, namun ia segera meninggalkannya karena menolak pandangan
dan asumsi mekanistik Spencer. Dalam kehidupannya, Bergson membeda-bedakan
antara kehidupan dengan morale de la
pression (kehidupan dengan semangat yang ditentukan oleh tekanan) dan
kehidupan dengan morale de l’aspiration
(kehidupan yang didasari semangat beraspirasi).
Vitalisme
yang lebih berorientasi pada biologi dapat ditemukan dalam karya Driesch (1867-1941). Mula-mula, ia
mengabdikan diri pada zoologi. Berdasarkan eksperimen-eksperimennya, ia
menyimpulkan bahwa kehidupan tidak mungkin diterangkan secara mekanistis.
Serupa dengan Aristoteles, ia sampai pada pengertian intellechie, yakni gaya
dari keseluruhan sesuatu yang menentukan bagian-bagiannya.
Seorang
filosof yang juga berorientasi pada biologi adalah Ludwig Klages (1872-1949). Ia seorang filosof Jerman penganjur dan
representatif vitalisme dan irasionalisme yang sangat dipengaruhi oleh filsafat
romantik dan Nietzsche. Dalam karyanya “Der
Geist als wiederschaer der Seele”, ia mengemukakan bahwa Geist (roh) yang bekerja secara rasional
itu menjadi perintang bagi pertautan kehidupan naluraiah, jiwa (Seele) yang sewajarnya. Dalam hal ini,
kita melihat sifat intelektualitas dari vitalisme serta penekanannya pada segi
irrasional. Klages dikenal sebagai seorang yang membuat dasar-dasar graphologie
yang menjadi tulisan tangan sebagai alat untuk menentukan karakter seseorang.
Lain
halnya dengan Wilhelm Dilthey
(1833-1912), ia tidak lagi berorientasi pada biologi, tetapi pada sejarah,
ialah yang mula-mula bergerak di alam positivisme yang intelektualistis serta
rasional itu. Serupa dengan Kant, Dilthey membedakan alam dan kebebasan
(fenomena dan neumenon).
Gejala-gejala
alam dapat didekati secara rasional dengan metode ilmu pengetahuan alam, tetapi
gejala kehidupan manusia yang menunjukkan kebebasan yang bersifat irrasional
menuntut metode lain, yaitu verstehen
(pemahaman).
Berbeda
dengan Klages, kehidupan manusia tidak dipandangnya secara biologi, tetapi
secara histori. Menurut Dilthey, kehidupan adalah pengalaman histori. Manusia
dipengaruhi dan memengaruhi sejarah. Maksudnya ialah manusia menghasilkan serta
merupakan sejarah, merupakan subjek dan objek atas sejarah. Berdasarkan
pengalaman histori, manusia akan mengenal dirinya sebagai manusia. Demikian
pandangan manusia terhadap kehidupan dan dunia. Hal tersebut bergantung pada
tempat di dalam sejarah. Dengan demikian, pandangan manusia menuju pada
relativisme dan pada dirinya sendiri.
Berdasarkan
hal tersebut, Dilthey membedakan tiga tipe pandangan hidup yang kemudian membedakan
tipe manusia, yaitu manusia akal, manusia rasa, dan manusia karsa.
1. Manusia
akal cenderung pada positivisme materialisme (Demokritos, des Comte).
2. Manusia
rasa cenderung pada idealisme objektif (Hegel).
3. Manusia
karsa cenderung pada idealisme kebebasan (Kant dan Dilthey).
Suatu
aliran vitalitas yang kini sangat berpengaruh di AS dan Inggris, ialah
pragmatisme. Menurut aliran ini, sesuatu itu disebut benar jika berguna bagi
kehidupan. Pelopornya ialah Pierce
(1839-1914), sedangkan tokoh utamanya William
James (1842-1910).
James
menolak idealisme ataupun materi monisme. Ia juga anti intelektualistis.
Menurut James, pragmatisme tidak mempersoalkan asas-asas, kategori-kategori,
pokok-pokok primer, dan keharusan, tetapi mempersoalkan hasil, akibat, fakta,
hal-hal terakhir, kegunaan, nilai, dan kesuksesan merupakan kriteria kebenaran.
Menurutnya, sesuatu itu benar jika menunjukkan cash-value.
Seorang
tokoh Inggris yang terkenal ialah FCS
Schiller (1864-1952) menolak kebenaran mutlak. Sebaliknya, ia berpendapat bahwa
kebenaran itu dinamis, sesuatu yang menjadi.
Tokoh
Amerika Serikat yang sangat terkenal yang tergolong eksponen terhadap aliran
ini, adalah John Dewey (1859-1952).
Pandangannya merupakan paduan antara ajaran James dan naturalisme. Ia
berpendapat, bahwa pengetahuan yang benar hanya mungkin dicapai melalui metode
ilmu pengetahuan yang benar hanya mungkin dicapai melalui metode ilmu
pengetahuan alam. Ia mendukung “behaviorism”
ala Watson yang berpendirian bahwa objek psikologi bukanlah kesadaran, melainkan
perilaku. Jiwa dan roh tidak lain berasal dari gerakan badan yang dapat
diteliti secara objektif. Menurut Dewey, pikiran merupakan alat bagi perbuatan
kita. Dalam ilmu pengetahuan alam, hipotesis kerja merupakan alat bagi
perbuatan kita. Dalam ilmu pengetahuan alam, hipotesis kerja merupakan alat
untuk membimbing penelitian, maka ajaran Dewey disebut juga instrumentalisme.
Sumber
: Buku Pengantar Filsafat, Sutardjo A. Wiramihardja
Tidak ada komentar:
Posting Komentar