Sabtu, 25 Oktober 2014

Berbagai Aliran (Mazhab) dalam Antropologi Filsafati


 

Antropologi falsafiah berbeda dengan antropologi ilmiah. Antropologi ilmiah meliputi antropologi fisikal, sosial, dan kultural yang mempersoalkan data empiris tertentu sesuai dengan jenisnya, ialah data empiris fisikal, data empiris sosial, dan data empiris kultural.

Antropologi falsafiah berusaha menyingkap hakikat manusia sebagai keseluruhan, sebagai suatu totalitas dalam bentuk hakikatnya. Namun, tidak berarti bahwa antropologi filsafati menyampingkan data empiris tentang manusia. Sebaliknya, antropologi filsafati mengikuti dengan saksama pertautan ilmu-ilmu empiris tentang manusia, untuk merefleksikan data empiris itu dalam hubungannya dengan hakikat manusia. Penyadaran tentang hakikat manusia dapat memengaruhi penafsiran data empiris tersebut. Antropologi merupakan bagian dari metafisika. Metafisika terdiri atas dua, yaitu

1.      metafisika umum – general metaphysic atau ontologi, dan

2.      metafisika khusus – specific metaphysic

Metafisika khusus terdiri atas:

a.       kosmologia;

b.      antropologia; dan

c.       teologia/theodecea.

Kosmologi merupakan bagian metafisika khusus yang membicarakan hakikat alam semesta, sedangkan teologi atau theodeceae merupakan bagian metafisika khusus yang membicarakan hakikat Tuhan dan ketuhanan Antropologi membicarakan hakikat manusia.

Sebagai disiplin filsafati, C.Wolf mengajukan kosmologi rasional sebagai cabang yang disebut metafisika khusus, yaitu cabang yang memberikan gambaran umum univers fisikal yang dapat dikenal secara apriori. Dua bidang lainnya adalah psikologi rasional dan teologi rasioanl. Wolf membedakan kosmologi rasional daripada kosmologi empirikal yang bersifat a posteriori.

Theodecea (theodicy) merupakan pembicaraan mengenai kebaikan, keadilan, kebijaksanaan, serta kesucian lainnya yang tidak tertandingi. Theodecea dihadapkan dengan apa yang dilakukan oleh setan atau keburukan dunia. Dari ketiga masalah metafisika khusus tersebut yang paling banyak dan menarik untuk dibicarkan adalah antropologi, ialah filsafat tentang hakikat manusia. Sampai saat ini terdapat tiga mazhab utama yang secara mendasar membicarakan mengenai hakikat manusia, yaitu Idealisme, Materialisme, dan Vitalisme. Semakin lama semakin banyak isme lainnya tentang manusia, namun secara mendasar bertumpu pada satu dari ketiga isme tersebut, atau mensintesiskan dua di antaranya atau ketiga-tiganya.

1.      Idealisme

Berbicara idealisme saat ini, orang sering mengingatnya dalam hubungannya dengan idealisme Jerman. Hal demikian masuk akal karena idealisme Jerman pernah mendominasi filsafat Jerman yang berusaha melengkapi projek revolusioner Kant: derivasi prinsip pengetahuan dan etika dari sprutanitas dan otonomi pikiran atau spirit. Misalnya idealisme Hegel. Namun, sebenarnya idealisme sudah ada sejak masa Yunani kuno, setidaknya dari Plato. Idealisme memandang roh sebagai kenyataan sejati. Dengan demikian, aliran ini disebut juga spiritualisme. Manusia primer dipandang sebagai makhluk rohani. Manusia dapat pula disebut sebagai makhluk rasional (animal rationale). Artinya, makhluk berbudi atau dipersempit lagi sebagai makhluk berakal. Dengan perkataan lain, bahwa manusia disebut juga sebagai makhluk berakal. Dengan perkataan lain, bahwa manusia disebut juga sebagai makhluk berbudi atau rohani yang berbudaya, atau lebih menunjuk pada intelektualisme. Pada dasarnya, manusia memandang idealisme sebagai makhluk berbudi atau rohani yang membudaya.

Sejarah merupakan suatu proses rohaniah khuluk (nature). Dengan demikian, natur manusia menjadi kultur, atau sesuatu yang rohaniah. Itulah pendirian humanisme (= idealisme). Selanjutnya, kenyataan sejati yang rohaniah bersifat impersonalitas atau personalitas. Impersonalisme menunjuk pada kenyataan rohani yang tida sadar terhadap dirinya, sedangkan personalisme bercirikan kesadaran terhadap diri.

Sebagian orang memandang, bahwa seluruh kenyataan terdiri atas kesatuan-kesatuan psikis atau immaterialistis. Pandangan ini disebut Pan-psikisme atau monadisme sesuai dengan teori Leibnitz (1646-1716) tentang monade. Jika materialisme menekankan yang beruang (berkeluasan) yang sensual, tergambarkan a normatif, dan faktual, idealisme meletakkan tekanan pada yang tidak beruang, suprasensual, tidak tergambarkan, normatif, dan bertujuan. Oleh karena itu idealisme mempersoalkan roh, jiwa (psyche), dan idea pribadi (persona).

Manusia sebagai makhluk budaya ialah pendukung kenyataan ideal, seperti dunia norma atau nilai; dan roh yang meliputi norma-norma itu menunjukkan aspek-aspek rasionalitas, estetis, dan religius. Oleh karena itu, dapat dibedakan antara idealisme rasional, idealisme etis, idealisme estetis, dan idealisme religius.

Menurut idealisme rasional, hakikat manusia adalah kesanggupan untuk berpikir. Aristoteles (380-322 SM) menggolongkan jiwa vegatatif, animal, dan human ke dalam jiwa manusia. Jiwa manusia menunjukkan ciri-ciri yang khas. Kesanggupan manusia untuk berpikir disebut nous (budi).

Pada asasnya, ucapan Descartes (1596-1650), “cogito ergo sum” berarti bahwa hakikat saya sebagai manusia adalah berpikir. Pemikir Perancis yang dikenal sebagai seorang arsitek abad pemikiran modern ini mengajukan dua doktrin prinsip dunia filsafat. Doktrin pertama adalah reduksionisme fisiko-matematis yang komprehensif yang menyatakan bahwa semua gejala yang terobservasi terutama harus diterangkan dengan referensi terhadap interaksi partikel-partikel yang dapat diuraikan tersendiri dalam hal ukuran, bentuk, dan gerakan. Doktrin kedua adalah konsepsi tentang jiwa yang berada di luar pandangan murni (purview fisika – suatu gejala sui generis yang pada hakikatnya hanya dapat dikuasai dari dalam melalui refleksi introspeksi. Pada masa pencerahan, pendirian tersebut diperuncing menjadi pemujaan terhadap akal.

Menurut Hegel (1770-1831), arti, makna, atau nous bukanlah sesuatu yang dimiliki tiap-tiap manusia, melainkan manusia menjadi alat nous yang meliputi seluruh alam semesta. Perbuatan seseorang bukan berdasarkan kecakapannya sebagai individu, melainkan merupakan perbuatan nous yang mempergunakannya sebagai alat. Filosof yang meniti karir berfilsafatnya dimulai dari seminari, yaitu suatu pendidikan tinggi keagamaan. Dalam karya-karya pertamanya, Hegel berusaha untuk mendampingkan filsafat dengan kristianitas.

Hakikat manusia menurut idealisme etis, ialah kemauannya. Manusia primer dipandang sebagai makhluk sosial. Kant (1724-1804) pernah mengatakan bahwa segala sesuatu di alam semesta ini dapat diperalat, kecuali manusia sebagai makhluk berbudi merupakan tujuan terhadap dirinya sendiri. Dengan perkataan lain, manusia bukan diperalat, melainkan memperalat. Menurut Kant, hukum kesusilaan tidak datang dari luat diri manusia, tetapi datang dari budinya sendiri.

Idealisme estetis memandang perasaan sebagai hakikat manusia. Menurut Goethe (1749-1832), kenyataan merupakan karya kesenian, demikian pula kehidupan manusia. Berdasarkan pembawaanya yang wajar, manusia harus menjadi kepribadian yang selaras dengan seluruh kosmos.

Akhirnya, idealisme religius memandang kepercayaan sebagai hakikat manusia. Menurut Plato (427-347 SM), manusia dengan erosnya, senantiasa menuju pada idea-idea yang bersifat rohani. Sebenarnya, kehidupan di dunia adalah maya. Kehidupan yang sejati hanya ditemukan di dalam alam idea, yaitu Tuhan merupakan idea teritinggi. Agustinus (354-430) memandang Tuhan sebagai roh yang menciptakan idea-idea itu.

Dewasa ini, idealisme tidak memegang peranan yang demikian penting, seperti pada Abad ke- 19. Kini, idealisme hidup dalam aliran neo-Kantianisme dan Neo Hegelianisme. Neo Kantianisme merupakan gerakan di Jerman yang bangkit sebagai reaksi terhadap dua kecendrungan yang berkembang pada Abad ke-19, ialah materialisme metafisika yang ilmiah dan materialisme yang dogmatis.

2.      Materialisme

Dalam filsafat Yunani Kuno terdapat tiga aliran filsafat yang tidak sekadar mamandang manusia, tetapi manusia sebagai kajian utama, yaitu materialisme (Demokritos), idealisme (Plato), dan vitalisme (Aristoteles). Aliran lain yang juga berkembang, ialah psikomonisme, tetapi karena batas-batasnya dengan idealisme tidak tegas, banyak orang tidak memandangnya sebagai suatu aliran tersendiri. Aliran yang paling tua dan paling banyak berpengaruh adalah idealisme. Pada Abad ke-18 dan ke-19, materialisme mulai berpengaruh, sedangkan akhir Abad ke-19 muncul pula vitalisme.

Materialisme sudah kita temukan dalam filsafat Yunani Purba. Menurut Demokritos (460-370 SM), kenyataan itu terdiri atas atom, yakni benda kecil yang tidak dapat dibagi, tidak dapat diamati, serta bersifat menetap. Atom-atom senantiasa bergerak tanpa tujuan. Namun, kenyataan itu berdasarkan hukum-hukum yang bersifat mutlak. Terdapat perbedaan antara Demokritos dan Aristoteles. Menurut Demokritos, benda-benda itu tunduk pada hukum alam, sedangkan menurut Aristoteles, benda-benda itu bergerak menurut causa finalis, digerakkan oleh intellechie. Meskipun demikian, Aristoteles kerap disebut sebagai tokoh materialisme pada Zaman Yunani Kuno, sedangkan Plato dikenal sebagai peletak dasar idealisme.

Segala perubahan dalam dunia gejala berdasarkan perbedaan-perbedaan dan gerak. Menurut Demokritos, hakiki yang berubah, sedangkan menurut Perminides, hakiki yang tetap.

Aliran materialisme membatasi kenyataan sejati pada daerah ontis dunia anorganis (dunia materi). Segala sesuatu, yaitu kehidupan, jiwa, dan roh dikembalikan pada materi. Aliran ini disebut materimonisme, yaitu materi yang terdiri atas bagian-bagian yang disebut molekul. Dengan kata lain, materi itu tunduk pada hukum-hukum tertentu sehingga kenyataan itu dipandang sebagai suatu mesin (mekanisme).

Menurut August Comte, orang harus memandang pandangan itu sebagai materialisme apabila yang lebih luhur, yakni yang lebih kompleks dijabarkan daripada yang lebih rendah atau bersahaja. Dengan demikian, pikiran dikembalikan pada gerak sel otot, dan kesenian pada ekonomi, yaitu keadaan material.

Suatu biologisme yang mengembalikan manusia pada keadaan fisiknya, tergolong materialisme. Biologisme dapat juga merupakan vitalisme.

Pandangan-pandangan Demokritos sebagai ahli filsafat tergolong pandangan yang pertama dalam materialisme yang mengambarkan sifat mekanis serta deterministis. Determinisme adalah alirang berpikir yang berpendapat, bahwa segala sesuatu itu telah dan dapat ditentukan sebelumnya. Oleh karena itu, pada determinisme tidak ada kemungkinan, tetapi keharusan.

Menurut Demokritos, jiwa itu terdiri atas yang halus dan bulat, serta merupakan jenis atom yang paling banyak dan mudah bergerak, juga meliputi seluruh tubuh. Ia memasukkan suatu unsur dualistis ke dalam pandangannya.

Pada Abad XVII, XVIII, terutama XIX, materialisme mengalami perkembangan yang besar, sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan alam.

De La Mettrie (1709-1751) yang bernama lengkap Julian Offroy De La Mettrie adalah seorang dokter yang membuat tulisan dalam sebuah buku yang berjudul “L’homme –machine”. Dalam tulisannya, ia menolak pandangan Descartes tentang res extensial dan res cogitans (res,jamak; re,tunggal = hal). Extensial berarti memenuhi ruangan, sedangkan res cogitans adalah hal yang dipikirkan. Menurutnya, hanya ada materi yang bergerak dengan sendirinya sehingga tidak diperlukan Tuhan sebagai penggerak. Jiwa atau roh sebagai institusi berpikir ditolaknya. Berpikir merupakan fungsi wajar dari badan. Pada hakikatnya, manusia merupakan mesin, serupa dengan hewan (Descartes), tidak ada perbedaan hakiki antara hewan dan manusia.

Holbach (1751-1771), dalam tulisannya “Systeme de la Nature” (susunan alam), menolak dualisme Descartes dan menuntut materimonisme. Kenyataan sejati adalah materi yang bergerak. Segenap gejala bergerak menurut keharusan mekanis. Manusia sebagai bagian dari alam merupakan bagian mekanisme. Dalam sistem ini, tidak ada tempat bagi Tuhan, kehidupan kekal, kemauan bebas, serta kesusilaan.

Feuerbach (1804-1872) terkenal karena kecamannya terhadap agama dan ungkapannya “Der Mensch is war es isst” (manusia adalah yang dimakannya), yaitu materi. Jika yang dimakan adalah materi, manusia itu tidak lebih dari materi itu sendiri. Karya yang paling penting dari filosof ini, “Das Wesen des Christentums” terbit lebih dahulu daripada buku tersebut yaitu pada 1841. Isi buku tersebut menyatakan tentang perbedaan esensial antara manusia dan makhluk binatang lainnya. Menurut Feuerbach, manusia dan binatang tidak bersedia atas satu jenis. Binatang yang terakhir itu hanya digerakkan oleh naluri, sementara manusia juga memiliki kekuatan untuk berefleksi yang memungkinkan mereka menguasai alat kelengkapan dirinya yang esensial. Ia berpendapat, bahwa pikiran kita berasal dari semua perfeksi. Manusia berasal dari bukan makhluk manusia.

Vogt (1817-1895), seorang ahli ilmu hayat yang berpendapat, bahwa pikir sama dengan otak, empedu sama dengan hati, dan air seni sama dengan ginjal. Ia mengembalikan sesuatu menurut gerak alam.

Jacob Molleschott (1822-1893), seorang guru besar dalam ilmu faal berpendapat, bahwa pikiran itu suatu gerak, yaitu suatu perubahan zat otak. Ia mengajar di Heidelberg. Zurich, dan Roma. Ucapannya, “Ohne Phasphor keine Gedanken” (tanpa fosfor tidak ada pikiran). Materi otak ini sangat penting sebab tanpa otak, kita tidak mungkin dapat berpikir. Ia merupakan wakil utama materialisme ilmiah yang popular untuk Abad ke- 19.

Buechner (1824-1899), seorang dokter yang mengemukakan dalam bukunya “Kraft und Stoft (gaya dan materi), yaitu tidak ada gaya tanpa materi, dan sebaliknya. Jiwa, kesadaran, dan pikiran merupakan suatu gaya, yaitu suatu curahan zat, terutama otak. Berpikir itu sama dengan gerak otak. Pemikiran manusia dipandangnya sebagai suatu hasil alamiah yang wajar. Alam pikiran ini sangat sesuai dengan teori evolusi Darwin (1804-1882). Dalam tulisannya “The origin of species on the descent of Man”, ia mengemukakan bahwa dunia organis menunjukkan suatu evolusi atau perkembangan dari jenis yang rendah ke jenis yang tinggi. Manusia merupakan hasil terakhir evolusi itu. Adapun evolusi itu berlangsung menurut hukum mekanis yang wajar. Dengan demikian, tidak terlihat adanya perbedaan hakiki antara manusia dan hewan. Artinya, bahwa manusia, pada hakikatnya sama dengan hewan. Dengan perkataan lain, bahwa manusia dapat berevolusi pada taraf yang melampaui manusia dewasa ini. Perlu ditegaskan di sini, bahwa Darwin hanya bermaksud mengemukakan suatu hipotesis untuk menerangkan gejala alam. Buechner dikenal sebagai seorang penganjur etika utiltranisme. Ia menolak religius supernaturalis dan doktrin-doktrin moral yang ia sebut sebagai sesuatu yang salah dan berbahaya.

Herbert Spencer (1820-1903), dalam tulisan utamanya “System of Synthetic Philosophy”, asas evolusi itu dimasukkannya ke dalam jenis ilmu pengetahuan “Darwinisme” dan “evolusionisme” menjadi slogan terhadap suatu pandangan dunia yang melampuai maksud Darwin. Dengan meyakini kebenaran Darwin disertai keyakinannya sendiri, Haeckel merupakan seorang yang sangat berhasil mengembangkan pikiran Darwin.

Spencer adalah ahli sosiologi dan psikologi yang terkenal pada akhir Abad ke-19.

Dalam “First Principles”, ia menyatakan bahwa yang dapat kita ketahui hanyalah fenomena luar, meskipun melalui argumentasi kita dapat menduga yang tidak dapat diamati. Melalui argumennya, ia meyakini bahwa di balik fenomena luar. Dan itu adalah evolusi, ialah hukum yang mengatur proses saling menyempurnakan antara materi dan gerakan. Masalah hubungan saling memengaruhi antara potensi dan lingkungan, ia tulis sebagai prinsip biologi dan psikologi.

Haeckel (1834-1919), dalam tulisannya “Die Weltraetzel” (Teka-Teki Dunia), darwinisme menjadi populer. Haeckel menolak pandangan dunia Kristen yang menimbulkan dualisme antara materi dan roh. Tulisannya yang termasyhur merupakan ajaran materi monisme yang konsekuen serta sistematis.

Haeckel terkenal dengan hukum biologis yang disebut rekapitulasi. Hukum itu menyatakan, bahwa ontojenis – perkembangan individual – merekapitulasikan filojeni (perkembangan jenis, species). Ia adalah pendiri/penemu Monistenbund (Liga Monist) dengan tujuan mengembangkan etika dan metafisika ilmiah baru.

Pada asasnya, pandangan materialisme ini memutlakkan hasil-hasil ilmu pengetahuan alam atau Naturwissenschaft sehingga muncullah pandangan dunia atas dasar ilmu-ilmu tersebut, yaitu naturalisme yang menolak segala jenis instansi supernatural.

Pandangan ini sangat menarik perhatian banyak orang, terutama karena sebagian dari mereka sudah jemu terhadap spekulasi yang metafisis, abstrak serta kabur. Sebaliknya, orang ingin kembali pada yang konkret, real, dan nyata.

Pandanga ini telah menunjukkan jasa-jasanya yang harus diakui, namun menurut Langeveld (1959), para pengikutnya kurang menyadari terhadap dua hal, yaitu sebagai berikut.

1.      Pada asasnya, pandangan ini justru berdasarkan pandangan metafisis tertentu.

2.      Ilmu pengetahuan alam tidak memberikan gambaran kenyataan yang konkret, tetapi hanya memberikan aspek tertentu atas dasar lambang-lambang tertentu. Suatu fakta tidak pernah merupakan kenyataan yang konkret, tetapi hanya suatu aspek berdasarkan pertanyaan yang dikemukakan terhadap kenyataan yang konkret.

 

3.      Positivisme

Ada tiga pengertian umum positivism. Pertama, positivisme legal ialah suatu teori yang menyatakan, bahwa hukum negara berdasar pada keinginan pemiliki kekuasaan negara tersebut. Pertama-tama, pendapat ini menyatakan, bahwa legislasi dan pengakuan otoritatif atas keputusan yudisial. Kedua, positivisme moral atau positivisme moral teologis, dikenal dengan nama voluntarisme teologis ialah suatu teori yang menyatakan bahwa perintah-perintah arbitrer  Tuhan melakukan tindakan-tindakan tertentu tentang benar atau salan. Ketiga, filsafat positivis dimulai dengan Auguste Comte dengan filsafat positif dan positivismenya digunakan untuk merancang pandangan dunia yang merangkung masalah-masalah dalam kehidupan ilmu modern, serta menolak superstisi, religi dan metafisika sebagai bentuk pikiran pra-ilmiah yang akan menyerahkan pada ilmu positif sebagai kemanusiaan meneruskan kemajuannya.

Suatu aliran yang berorientasi pada ilmu pengetahuan alam, tetapi menolak metafisika, yaitu positivisme sebagaimana dikemukakannya oleh August Comte (1798-1857) dalam tulisannya “Cours du philosophie Positives”. Menurut Comte, hendaknya kita memandang phenomenon atau gejala itu sebagai sesuatu yang tunduk pada hukum alamiah yang menetap atau yang mutlak (= tidak bergantung pada apa pun).

Perkembangan alam pikiran manusia berjalan melalui tiga stadium. Pada stadium teologis, orang mencoba menerangkan gejala-gejala itu atas dasar gaya-gaya supernatural. Pada stadium metafisis, keterangan itu berdasarkan gaya-gaya abstrak hasil spekulasi. Pada stadium positif, orang berusaha menemukan hukum-hukum yang menguasai gejala-gejala itu atas dasar pengamatan yang tertib.

Saat ini, positivisme hidup dalam aliran positivisme sebagaimana dikembangkan oleh sekelompok sarjana yang tergabung dalam Werner Kreise (1929-1939). Tokoh-tokohnya yang utama, antara lain Mauritz Slick (1882-1936) dan Rudolf Carnap (1891-1970). Neo positivisme menentang pandangan eksistensialisme yang anti scienticism.

Tokoh-tokoh positivisme lain

Mereka berpendapat, bahwa pengetahuan alam hendaknya menjadi satu-satunya sumber terhadap pengetahuan. Pada masa yang lampau, dalam merumuskan pengetahuan, orang kurang tertib dalam menggunakan istilah-istilah. Mereka menuntut suatu analisis terhadap istilah-istilah itu atau penertiban penggunaan bahasa.

Suatu aliran yang tidak seluruhnya digolongkan pada materialisme, ialah materialisme historis yang disebut juga materialisme dialektis.

Marx (1818-1883) dikenal sebagai bapak aliran materialisme modern yang sangat dipengaruhi oleh Hegel dan Feuerbach. Ia dianggap sebagai Bapak Matrialisme modern yang melahirkan komunisme. Komunisme merupakan aliran berpikir berdasarkan pikiran materialisme yang secara tegas memasuki dunia politik atau politik ekonomi dalam rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat. Pikiran ini kemudian berkembang sebagai faham politik yang berkembang di Uni Soviet terutama di bawah Stalin dan Republik Rakyat Cina, terutama di bawa Mao Tse Tung.            

Marxisme itu sendiri sering disebut sebagai teori “social analysis” yang berdasar pada ekonomi. Semua gerakan sosial didasarkan pada sebab ekonomis. Marx sangat tersinggung oleh keadaan sosialnya yang buruk sebagai akibat eksploitasi kelompok mapan di pemerintahan, bisnis, dan pula penguasa gereja. Ia bertujuan mengubahnya sehingga diperlukan gaya-gaya yang menentukan perkembangan masyarakat yang kemudian dikenal sebagai analisis sosial. Demikian, Mark menyusun filsafat sejarah yang mencapai kesimpulan akhir, bahwa untuk mengetahui gerakan sosial, sumbernya adalah ekonomi. Aliran ini disebut “Materialisme Historis” yang mengingatkan kita pada historisme dialektis sebagaimana dikemukakan Hegel. Pendahulunya adalah Marx.

Menurut Hegel, gaya-gaya itu berupa idea (roh). Marx melihatnya pada materi, yakni alat-alat produksi yang menjadi kunci masalah masyarakat itu. Selanjutnya, Marx menghadapkan kelas kapitalis (pemilik alat-alat produksi) dan kelas proletar sebagai thesis dan antithesis (thesis = pendapat, antithesis = pendapat yang berbeda, menentang).

Menurut hukum sejarah, keadaan tersebut diakhiri dengan suatu revolusi yang menghasilkan sintesis masyarakat yang tidak berkelas dan tidak mengenal milik pribadi. Alat produksi ditanggung dan dimiliki negara yang meliputi seluruh dunia. Metode dialektika Hegel, yakni thesis – antithesissinthesis menimbulkan mania “Materialisme dialektis”. Artinya, bahwa yang menentukan manusia dan kebudayaanya adalah materi, yakni alat-alat produksi. Misalnya, dalam masyarakat kapitalis diperlukan agama sebagai hiburan bagi mereka (kaum proletar) yang mengalami kesengsaraan masyarakat sebagai konsekuensi logis pelaksanaan sistem itu.

Dalam masyarakat yang tidak berkelas, “hiburan” semacam itu tidak diperlukan lagi. Menurut Marx, agama ialah sebagai hiburan ialah meninabobokan masyarakat miskin karena harus bekerja keras dengan imbalan yang rendah, mengabdi pada kaum borjuis. Tujuannya agar masyarakat tidak memberontak atas kesengsaraannya yang merupakan candu bagi kaum proletar. Dengan demikian, agama harus dimusnahkan.

4.      Vitalisme

Sehubungan dengan pendapat dasarnya, vitalisme menolak materialisme. Pada abad sekarang, aliran yang berkembang adalah neopositivisme dan eksistensialisme yang mengembangkan perbedaan pemikiran. Eksistensialisme tumbuh dan berkembang di Perancis, sedangkan neopositivisme yang semula tumbuh dan berkembang di Eropa, kemudian menyebar ke Inggris dan Amerika Serikat.

Vitalisme secara umum diartikan sebagai pandangan bahwa pemahaman terhadap kehidupan menuntut keterangan dasar yang menyangkut perbedaan dari apa yang terjadi pada ilmu-ilmu alam. Sebagai tambahan terhadap substansi dan kekuatan-kekuatan yang dikenal dalam ilmu-ilmu fisik terdapat kekuatan hidup yang khusus. Pandangan ini dikemukakan Hans Driesch (1967-1941), seorang filososf alam yang beraliran romantik. Ia mengajukan istilah entelechy. Tokoh vitalisme yang lain adalah Henri Bergson, seorang filosof Perancis (1859-1941) yang menyebut kekuatan itu dengan istilah elan vital, impuls hidup. Bergson menyatakan bahwa kehidupan itu tampil dalam dua ciri semangat atau moral. Ada yang didasari moral tertekan (morale de la pression) dan yang didasari moral bercita-cita (moral de l’Aspiration).

Vitalisme adalah aliran metafisika yang mengharuskan daerah ontis dunia organis (alam hidup) yang memandang kehidupan sebagai kenyataan sejati satu-satunya. Vitalisme dikenal juga dengan nama filsafat hidup (vitalisme, philosophy of life) suatu aliran yang lahir pada akhir Abad IX.

Berdasarkan sejarah perkembangan filsafat, filsafat hidup merupakan suatu proses terhadap kedua aliran yang menguasai alam pikiran Abad ke-19, yaitu materialisme dan idealisme. Materialisme dalam berbagai bentuk dan seginya mencakup mekanisme dalam ilmu hayat, metode monisme dalam psikologi, sosiologi dan ilmu pengetahuan rohani lainnya.

Menurut vitalisme, materialisme tidak memerhatikan ciri-ciri totalitas, spontanitas, dan finalitas dunia organis. Vitalisme menolak pendirian idealisme yang menolak kenyataan sejati primer yang bersifat rohani. Bukan roh yang primer, melainkan kehidupan. Kehidupan itu mendasari roh. Tanpa kehidupan tidak ada roh. Idealisme kerap kali menimbulkan pemujaan terhadap akal budi dan rasio. Oleh karena itu, vitalisme anti intelektualitas, serta menekankan segi-segi irrasional pada manusia. Vitalisme dapat berorientasi pada biologi (biologisme dari Driesch), juga pada histori (historisme dari Dilthey). Sebagai reaksi atas materialisme dan idealisme yang bersifat monistis, vitalisme kerap kali menunjukkan sifat pluralitas.

Schopenhauer (1788-1860) dalam karyanya “Die Welt als Will und Verstellung” (Dunia sebagai kemauan dan Tanggapan), pertama-tama membenarkan Kant yang membedakan neumenon dan fenomenon. Dunia sebagai tanggapan menuju pengertian fenomenon, namun Schopenhauer menolak pendirian Kant bahwa neumenon tidak dapat dikenal. Menurut Schopenhauer, kita dapat mengenalnya melalui diri kita sendiri. Ia akan menemukan pada dirinya, kemauan yang berakar pada dorongan hidup yang buta. Dorongan ini ialah hal tidak sadar, sedangkan yang menjadi hal sadar ialah kemauan.

Pada asasnya, kecerdasan jasmani adalah objektivitas perkuatan kemauan. Dorongan hidup yang buta merupakan hakikat segala sesuatu yang tidak pernah sampai pada perhentian sehingga tidak akan tercapai kepuasan karena hidup merupakan kesengsaraan. Pelepasan atas kesengsaraan hanya mungkin dilakukan dengan cara meniadakan dorongan hidup. Dalam hal ini, pengaruh Budhisme sangat jelas ada dalam ajarannya. Pikiran-pikirannya dikenal sebagai filsafat pesimis atas kemauan yang bertentangan dengan sistem pikiran optimistic dari Hegel. Sistem filsafat Arthur Schopenhauer merupakan sintesis indigenus dari Platonisme, Kantianisme, dan filsafat ketimuran, terutama Budha. Dalam hal ini, Schopenhauer telah berjasa, bahwa ia telah membuka mata kita terhadap ketidaksadaran yang mendasari kesadaran.

Berdasarkan pendapat Schopenhauer, Edward von Hartmann (1842-1906) menulis sebuah buku yang berjudul “Philosophie des Unbewusten” dan Sigmund Freud (1856-1939) mengembangkan psikologi yang menekankan pada kepentingan ketidaksadaran yang kemudian dikenal dengan nama psikoanalisis. Psikoanalisis dapat disebut teori, teknik psikodiagnostik, dan sekaligus teknik psikoterapi yang didasari pandangan, bahwa perilaku manusia termasuk perilaku sakit, jauh lebih banyak ditemukan oleh kekuatan yang ada di bawah sadar, tidak disadari.

Nietzsche (1844-1900) pernah disebut sebagai Bapak vitalisme. Menurut Nietzsche, kenyataan sejati adalah kehidupan. Adapun jika menurut Schopenhauer untuk mencapai kebahagiaan, orang harus meniadakan nafsunya. Ia berpendapat bahwa manusia hendaknya menerima kenyataan itu dan tidak melarikan diri dari kenyataan dengan cara meniadakan dorongan hidup. Hal ini disebut dengan amorfati, yaitu kerinduan terhadap hasil.

Pada saat itu, Nietzsche yang sedang belajar di Leipzig menentang pesimisme Schopenhauer.

Nietzsche menolak adanya dunia yang lebih luhur sebagaimana dikemukakan dalam berbagai agama. Sesuatu yang benar ada adalah dunia tempat kita hidup. Di situlah letaknya tugas kita dan hendaknya kita menemukan kepuasan. Pada hakikatnya, dorongan hidup adalah kemauan terhadap kekuasaan (Der Wille zur Macht). Nietzsche membedakan sikap hidup dionysis yang dikuasai dorongan hidup yang buta yang tidak sadar serta tidak mengenal batas, dan sikap hidup apollinis yang menunjukkan keseimbangan rasional (sophrosyne).

Berdasarkan hal tersebut, Nietzsche memihak pada sikap hidup yang pertama. Nietzsche mencita-citakan Uebermenschen (superman), yaitu manusia dengan dorongan hidup serta kemauan terhadap kekuasaan yang kuat yang tidak mengekor pada masa, seperti pada manusia umumnya yang ditemuinya pada sikap hidup kaum borjuis. Ia menolak agama Kristen yang memberikan manusia moral budak (Sklavenmoral), dan menuntut moral tuan (Herrenmoral). Manusia berkuasa hidup atas dasar dorongan-dorongan, tanpa mengenal batas dan tidak menyembunyikan diri di belakang moral yang ditentukan roh. Tuhan itu mati, demikian kata Nietzsche.

Sebagaimana dikembangkan Freud, Adler, dan Jung, psikologi berdasarkan penelitian empiris sampai pada kesimpulan-kesimpulan yang lebih dahulu telah dikemukakan oleh Schopenhauer dan Nietzsche. Pada hakikatnya, manusia merupakan suatu bekas dorongan-dorongan. Kebudayaan berpangkal pada dorongan-dorongan tersebut (sublimasi). Adler mempersoalkan tentang dorongan kekuasaan, Uebermensch yang dicita-citakan Nietzsche dilihatnya tercapai oleh bangsa Arya. Namun, Nietzsche tidak memandangnya tidak terbatas pada bangsa Jerman, seperti dalam Naziisme, sebagaimana tercantum dalam karangan Alfred RosenbergDer Mythos des Zwanzigsten jahrhundrets”. Rosenberg semacam author intelektualisme, menyatakan bahwa manusia dikembalikan pada faktor bangsa, yaitu faktor biologis.

Seorang tokoh terkemuka di kalangan filsafat hidup adalah Henri Bergson (1859-1941), berpendapat bahwa, baik materialisme maupun idealisme gagal dalam menjangkau kenyataan hidup. Hal ini disebabkan terhadap kedua aliran itu, orang ingin menjangkaunya dengan akal, sedangkan menurut Bergson, hal itu harus dilakukan dengan intuis.

Kenyataan hidup seperti itu menunjukkan dua aspek, yaitu aspek material dan aspek spiritual. Dengan akal, kita akan berpegangan pada aspek material, lalu mengembalikan gejala hidup itu pada gerak materi, seperti mesin (determinisme), atau berpegangan pada aspek spiritual, lalu mengembalikan gejala hidup itu pada gerak rohani yang tertuju pada kenyataan ideal (finalisme). Dengan intuisi, kita dapat berusaha menjangkau kedua aspek itu sebagai satu kesatuan. Akal hanya sanggup menyusun pengertian terhadap sesuatu yang discontinue serta tidak bergerak. Sebaliknya, kehidupan adalah continue dan bergerak. Suatu perjanjian (proses) bersifat menciptakan (evalution creatrice). Dengan perkataan lain, kehidupan bukan merupakan evolusi yang serba tentu, baik deterministis maupun finalistis. Kehidpan menunjukkan spontanitas yang tidak dapat diramalkan sebelumnya. Perkembangan kehidupan didasarkan atas dorongan hidup atau elanvital yang dapat bergerak ke berbagai arah, serta menciptakan sesuatu yang baru.

Orang yang berpikir secara deterministis, tidak mengenal kebebasan. Pada asasnya, ia menyalahtafsirkan motif-motif yang dipandangnya sebagai gejala psikis yang discontinue. Seseorang berpendapat, bahwa ada motif yang lebih kuat. Hal ini menyebabkan lahirnya perbuatan tertentu. Namun, kehidupan psikis itu bersifat continue yang bermakna, bahwa apa yang akan terjadi ditentukan sambil berjalan. Di sinilah letaknya kebebasan manusia.

Catatan:

1.      Akal adalah kesanggupan untuk berpikir diskursif.

2.      Diskursif adalah ilmu menyusun pikiran yang satu dihubungkan dengan yang lainnya, dan seterusnya. Intuisi adalah kecakapan untuk menyelesaikan suatu masalah tanpa memakai pemikiran diskursif -loncatan.

3.      Predestinasi, bahwa Tuhan telah menentukan kehidupan kita sebelumnya.

4.      Determinisme adalah keadaan yang serba tentu yang disebabkan oleh keadaan.

Pertama-tama, Bergson sangat terpengaruh oleh filsafat Herbert Spencer, namun ia segera meninggalkannya karena menolak pandangan dan asumsi mekanistik Spencer. Dalam kehidupannya, Bergson membeda-bedakan antara kehidupan dengan morale de la pression (kehidupan dengan semangat yang ditentukan oleh tekanan) dan kehidupan dengan morale de l’aspiration (kehidupan yang didasari semangat beraspirasi).

Vitalisme yang lebih berorientasi pada biologi dapat ditemukan dalam karya Driesch (1867-1941). Mula-mula, ia mengabdikan diri pada zoologi. Berdasarkan eksperimen-eksperimennya, ia menyimpulkan bahwa kehidupan tidak mungkin diterangkan secara mekanistis. Serupa dengan Aristoteles, ia sampai pada pengertian intellechie, yakni gaya dari keseluruhan sesuatu yang menentukan bagian-bagiannya.

Seorang filosof yang juga berorientasi pada biologi adalah Ludwig Klages (1872-1949). Ia seorang filosof Jerman penganjur dan representatif vitalisme dan irasionalisme yang sangat dipengaruhi oleh filsafat romantik dan Nietzsche. Dalam karyanya “Der Geist als wiederschaer der Seele”, ia mengemukakan bahwa Geist (roh) yang bekerja secara rasional itu menjadi perintang bagi pertautan kehidupan naluraiah, jiwa (Seele) yang sewajarnya. Dalam hal ini, kita melihat sifat intelektualitas dari vitalisme serta penekanannya pada segi irrasional. Klages dikenal sebagai seorang yang membuat dasar-dasar graphologie yang menjadi tulisan tangan sebagai alat untuk menentukan karakter seseorang.

Lain halnya dengan Wilhelm Dilthey (1833-1912), ia tidak lagi berorientasi pada biologi, tetapi pada sejarah, ialah yang mula-mula bergerak di alam positivisme yang intelektualistis serta rasional itu. Serupa dengan Kant, Dilthey membedakan alam dan kebebasan (fenomena dan neumenon).

Gejala-gejala alam dapat didekati secara rasional dengan metode ilmu pengetahuan alam, tetapi gejala kehidupan manusia yang menunjukkan kebebasan yang bersifat irrasional menuntut metode lain, yaitu verstehen (pemahaman).

Berbeda dengan Klages, kehidupan manusia tidak dipandangnya secara biologi, tetapi secara histori. Menurut Dilthey, kehidupan adalah pengalaman histori. Manusia dipengaruhi dan memengaruhi sejarah. Maksudnya ialah manusia menghasilkan serta merupakan sejarah, merupakan subjek dan objek atas sejarah. Berdasarkan pengalaman histori, manusia akan mengenal dirinya sebagai manusia. Demikian pandangan manusia terhadap kehidupan dan dunia. Hal tersebut bergantung pada tempat di dalam sejarah. Dengan demikian, pandangan manusia menuju pada relativisme dan pada dirinya sendiri.

Berdasarkan hal tersebut, Dilthey membedakan tiga tipe pandangan hidup yang kemudian membedakan tipe manusia, yaitu manusia akal, manusia rasa, dan manusia karsa.

1.      Manusia akal cenderung pada positivisme materialisme (Demokritos, des Comte).

2.      Manusia rasa cenderung pada idealisme objektif (Hegel).

3.      Manusia karsa cenderung pada idealisme kebebasan (Kant dan Dilthey).

Suatu aliran vitalitas yang kini sangat berpengaruh di AS dan Inggris, ialah pragmatisme. Menurut aliran ini, sesuatu itu disebut benar jika berguna bagi kehidupan. Pelopornya ialah Pierce (1839-1914), sedangkan tokoh utamanya William James (1842-1910).

James menolak idealisme ataupun materi monisme. Ia juga anti intelektualistis. Menurut James, pragmatisme tidak mempersoalkan asas-asas, kategori-kategori, pokok-pokok primer, dan keharusan, tetapi mempersoalkan hasil, akibat, fakta, hal-hal terakhir, kegunaan, nilai, dan kesuksesan merupakan kriteria kebenaran. Menurutnya, sesuatu itu benar jika menunjukkan cash-value.

Seorang tokoh Inggris yang terkenal ialah FCS Schiller (1864-1952) menolak kebenaran mutlak. Sebaliknya, ia berpendapat bahwa kebenaran itu dinamis, sesuatu yang menjadi.

Tokoh Amerika Serikat yang sangat terkenal yang tergolong eksponen terhadap aliran ini, adalah John Dewey (1859-1952). Pandangannya merupakan paduan antara ajaran James dan naturalisme. Ia berpendapat, bahwa pengetahuan yang benar hanya mungkin dicapai melalui metode ilmu pengetahuan yang benar hanya mungkin dicapai melalui metode ilmu pengetahuan alam. Ia mendukung “behaviorism” ala Watson yang berpendirian bahwa objek psikologi bukanlah kesadaran, melainkan perilaku. Jiwa dan roh tidak lain berasal dari gerakan badan yang dapat diteliti secara objektif. Menurut Dewey, pikiran merupakan alat bagi perbuatan kita. Dalam ilmu pengetahuan alam, hipotesis kerja merupakan alat bagi perbuatan kita. Dalam ilmu pengetahuan alam, hipotesis kerja merupakan alat untuk membimbing penelitian, maka ajaran Dewey disebut juga instrumentalisme.        

Sumber : Buku Pengantar Filsafat, Sutardjo A. Wiramihardja

Tidak ada komentar:

Kisah Mata Air Keabadian

Kisah ini diriwayatkan oleh Ats-Tsa’labi dari Imam Ali ra. Pada zaman dahulu hiduplah seorang hamba Allah SWT yang melebihkan kepada d...