HAKIM
1.
Pengertian
Hakim
Kata
hakim secara etimologi berarti “orang
yang memutuskan hukum”. Dalam istilah fikih kata hakim juga dipakai sebagai
orang yang memutuskan hukum di pengadilan yang sama maknanya dengan qadhi. Dalam kajian Ushul Fiqh, kata
hakim berarti pihak penentu dan pembuat hukum syariat secara hakiki.
Ulama
Ushul Fiqh sepakat bahwa yang menjadi sumber atau pembuat hakiki dari hukum
syariat adalah Allah. Hal itu ditunjukkan oleh Al-Qur’an dalam Surat al-An’am
ayat 57:
…Menetapkan hukum itu hanyalah hak
Allah. Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia Pemberi keputusan yang paling
baik. (QS. al-An’am/6: 57)
Meskipun
para ulama Ushul Fiqh sepakat bahwa Pembuat hukum hanya Allah, namun mereka
berbeda pendapat dalam masalah apakah hukum-hukum yang dibuat Allah hanya dapat
diketahui dengan turunnya wahyu dan datangnya Rasulullah, atau akal secara
independen bisa juga mengetahuinya. Perbedaan pendapat ini berpangkal dari
perbedaan pendapat tenang fungsi akal dalam mengetahui baik dan buruk suatu
hal.
2.
Baik
dan Buruk
Perbedaan
pendapat tentang baik dan buruk dalam kajian Ushul Fiqh berasal dari perbedaan
pendapat di kalangan para ahli ilmu kalam. Hal yang diperbedakan adalah tentang
apakah nilai baik dan buruk suatu benda merupakan sifat esensial dari benda itu
atau tidak. Dalam hal ini terdapat beberapa pendapat:
a. Kalangan
Mu’tazilah berpendapat bahwa perbuatan dapat dibagi kepada dua kategori:
1)
Perbuatan yang sifat baik atau buruknya
bersifat esensial. Berkata benar sepanjang esensinya adalah baik, dan sebaliknya
berbohong sepanjang esensinya adalah baik, dan sebaliknya berbohong sepanjang
esensinya adalah buruk. Demikianlah halnya sifat-sifat terpuji seperti adil,
santun, berani, jujur, dan menolong orang lain, sepanjang esensinya adalah baik
sehingga akal pikiran manusia mampu menyatakan bahwa hal itu adalah baik setiap
kali menyaksikannya.
Sifat-sifat
tercela seperti kezaliman, pengecut, dan pengkhianat sepanjang esensinya adalah
buruk sehingga akal pikiran mampu menyatakan bahwa hal itu adalah buruk bila
menyaksikannya. Oleh karena baik dan buruk itu merupakan sifat esensi dari
suatu perbuatan, maka kekuatan akal pikiran yang sehat secara independen mampu
mengetahuinya. Artinya, untuk mengetahui baik dan buruk sebagian dari perbuatan
bisa dengan akal pikiran, tidak tergantung kepada wahyu.
Fungsi
wahyu untuk memberitahukan kepada manusia mana perbuatan yang menurut esensinya
baik dan mana yang buruk, bukan untuk menetapkan baik dan buruknya suatu
perbuatan. Wahyu memberitahukan suatu perbuatan adalah baik atau buruk, dikemas
dalam bentuk perintah dan larangan. Perbuatan yang baik menurut esensinya akan
diperintahkan oleh wahyu, dan sebaliknya wahyu akan melarang suatu perbuatan
yang menurut esensinya adalah buruk. Dari situ dapat disimpulkan bahwa menurut
aliran ini, fungsi akal untuk mengetahui mana yang esensinya baik dan mana yang
buruk, bukan untuk menetapkan baik dan buruk, dan fungsi wahyu seperti
dikemukakan di atas, untuk menginformasikan mana yang baik dan mana yang buruk
sehingga dapat memastikan apa yang telah ditemukan oleh akal.
Akal
pikiran manusia menurut aliran ini mampu mengenal baik dan buruk ada yang tanpa
memerlukan renungan (badihy) dan ada
yang memerlukan renungan (nadzhary).
Sesuatu yang bisa diketahui baik dan buruknya tanpa memerlukan renungan
misalnya bahwa menolong orang yang sedang karam di lautan secara mudah dapat
diketahui bahwa perbuatan itu adalah baik, dan melakukan kezaliman terhadap
orang lain secara mudah dapat diketahui bahwa perbuatan itu adalah baik, dan
melakukan kezaliman terhadap orang lain secara mudah dapat diketahui bahwa
perbuatan itu adalah buruk. Adapun yang memerlukan renungan, misalnya bahwa
kejujuran adalah baik meskipun akan membahayakan dirinya dan kebohongan itu
adalah buruk meskipun menguntungkan diri sendiri
Dalam
hal yang seperti ini, karena memerlukan renungan, ada kemungkinan orang
terkecoh, sehingga berkesimpulan bahwa yang menurut esensinya adalah baik
tetapi yang kelihatan nyata adalah buruk.
Sejalan
dengan keyakinan tersebut, maka setiap perbuatan yang baik menurut esensinya
dan dapat diketahui oleh akal pikiran, hukumnya wajib dilaksanakan dan atas
ketaatannya itu, diberi pahala. Kemudian, setiap yang buruk menurut esensinya
dan diketahui oleh akal, haram dilakukan dan atas ketaatannya meninggalkan
perbuatan seperti itu ia diberi pahala, sedangkan orang yang melanggarnya
diancam dengan dosa. Dengan demikian dalam hal-hal yang seperti ini akal mampu
mengetahui hukumnya tanpa adanya wahyu. Menurut pandangan ini, hukum Allah
mesti sesuai dengan esensi sesuatu dari segi baik dan buruknya.
2)
Perbuatan-perbuatan yang tidak dapat
diketahui oleh akal nilai baik dan buruknya, seperti ibadah dan cara-caranya.
Dalam hal ini, secara mutlak diperlukan wahyu untuk mengetahui baik dan
buruknya.
Sejalan
dengan hal di atas, Abu al-Husein al-Bashri (w. 436 H/1044 M), seorang tokoh
Mu’tazilah, dalam bukunya al-Mu’tamad
(Juz 1/370), membagi amal perbuatan manusia ke dalam dua kategori:
Pertama,
perbuatan “aqliyah”, yaitu perbuatan
yang hukumnya dapat diketahui dengan akal pikiran.
Kedua,
perbuatan “syar’iyah”, yaitu
perbuatan di mana syara’ ikut
menentukan hukum dan bentuknya. Perbuatan kategori ini terdiri dari dua macam:
a)
Perbuatan di mana hanya dengan syariat
dapat di ketahui hukum, bentuk, dan kedudukannya sebagai ibadah bagi pelakunya.
Misalnya, ibadah shalat.
b)
Perbuatan di mana syara’ berperan mengubah, menambah, atau mengurangi
persyaratan-persyaratannya yang telah diketahui akal pikiran. Dalam hal ini
syariat memodifikasi suatu perbuatan, sehingga disebut sebagai perbuatan yang
bersifat syar’i.
Atas
dasar keyakinan mereka tersebut di atas, maka umat manusia sudah dibebani hukum
taklifi pada masa sebelum Rasul
diutus oleh Allah, atau sebelum dakwah sampai kepada mereka dalam hal-hal yang
dapat diketahui hukum-hukumnya dengan akal. Umat manusia terikat dengan
keputusan akal pikiran yang sehat karena apa yang diputuskan akal pikiran
dianggap sebagai hukum Allah. Oleh karena itu, menaatinya adalah suatu
kewajiban bagi manusia.
Alasan
mereka, bahwa banyak macam tindakan yang menurut pertimbangan akal karena
baiknya harus dilakukan dan pelakunya terpuji. Perbuatan seperti ini adalah
baik menurut zatnya. Misalnya berkata benar adalah baik menurut zatnya, oleh
karena itu perbuatan itu harus dilakukan. Sebaliknya banyak pula hal yang
menurut akal tidak wajar dilakukan karena akan mengakibatkan celaan dari
masyarakat. Perbuata seperti ini buruk menurut zatnya, oleh karena itu
perbuatan seperti itu tidak boleh dilakukan. Seseoran yang berakal sehat akan memilih
berkata benar daripada berbohong.
b. Kalangan
Maturidiyah berpendapat bahwa sesuatu itu ada yang baik dan ada pula yang buruk
menurut esensinya. Di samping itu, ada pula hal-hal yang tidak diketahui oleh
akal baik dan buruknya. Menurut pendapat ini, meskipun akal pikiran bisa
mengetahui baik dan buruk suatu perbuatan, namun umat manusia tidak wajib dalam
arti tidak berpahala mengikuti kesimpulan akal pikirannya itu. Jadi, menurut
aliran ini, masalah dosa dan pahala mutlak hanya dapat diketahui dengan wahyu.
Menurut aliran ini akal semata tidak dapat dijadikan landasan hukum. Setiap
ketetapan hukum haruslah bereferensi kepada wahyu.
c. Kalangan
Asy’ariyah berpendapat tidak ada yang bersifat baik dan buruk menurut
esensinya. Baik dan buruk bagi sesuatu adalah sifat yang datang kemudian, bukan
bersifat esensial. Yang membuat sesuatu baik atau buruk adalah perintah atau
larangan Allah. Akal tidak punya kewenangan untuk menetapkan baik karena wahyu
menilainya baik, sebaliknya sesuatu dikatakan buruk karena wahyu menilainya
buruk. Oleh sebab itu, sebelum turun wahyu, tidak ada beban taklif bagi manusia
dan oleh karena itu belum ada pertimbangan dosa dan pahala bagi suatu tindakan.
Dari
keterangan di atas, jelaslah bahwa menurut kalangan Maturidiyah dan Asy’ariyah
bahwa yang menjadi sumber hukum hanyalah wahyu Allah semata, dan bahwa akal
tidak punya kewenangan dalam hal tersebut. Alasan mereka adalah bahwa Allah
tidak akan menghukum seseorang atas suatu perbuatan yang belum ada petunjuk
hukum dari pihak-Nya, seperti dijelaskan dalam Al-Qur’an Surat al-Isra’ ayat
15:
dan kami tidak mengazab sebelum
Kami mengutus seorang Rasul. (QS. al-Isra’/17: 57)
Meskipun
demikian, menurut dua aliran ini bukan berarti akal tidak berfungsi sama sekali
dalam hal ini. Akal berfungsi dalam hal-hal yang diberikan Allah kepadanya.
Kenyataannya di antara nash-nash
wahyu ada yang tidak disebut secara eksplisit dalam wahyu. Akal berperan untuk
menarik hukum dari teks-teks yang tidak tegas itu dan melakukan ijtihad yang
dilandaskan kepada wahyu hukumnya. Bedanya dengan Kalangan Mu’tazilah adalah,
menurut Mu’tazilah akal menjaid sumber hukum dalam hal-hal yang tidak
disebutkan dalam Al-Qur’an, sedangkan menurut Maturidiayh dan Asy’ariyah, akal
hanya sebagai alat untuk memahami wahyu Allah.
MAHKUM
FIH
1.
Pengertian
Mahkum Fih
Mahkum fih
berarti “perbuatan orang mukalaf sebagai tempat menghubungkan hukum syara”. Misalnya, dalam ayat 1 Surat
al-Maidah Allah berfirman:
Hai orang-orang yang beriman,
penuhilah aqad-aqad itu. Dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan
dibacakan kepadamu. (Yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu
ketika kamu sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum
menurut yang dikehendaki-Nya. (QS. al-Maidah/5: 1)
Yang
menjadi objek perintah dalam ayat tersebut adalah perbuatan orang mukalaf yaitu
perbuatan menyempurnakan janji yang diwajibkan dengan ayat tersebut.
2.
Syarat-syarat
Mahkum Fih
Ada
beberapa persyaratan bagi sahnya suatu perbuatan hukum:
a. Perbuatan
itu diketahui secara sempurna dan rinci oleh orang mukalaf sehingga dengan
demikian suatu perintah misalnya, dapat dilaksanakan secara lengkap seperti
yang dikehendaki oleh Allah atau Rasul-Nya. Oleh karena itu, seperti
dikemukakan Abd al-Wahhab Khallaf, ayat-ayat Al-Qur’an yang diturunkan secara
global, baru wajib dilaksanakan setelah ada penjelasan dari Rasul-Nya.
Misalnya, ayat Al-Qur’an yang mewajibkan shalat secara global tanpa merinci
syarat dan rukunnya, baru wajib dilaksanakan setelah ada penjelasan dari
Rasul-Nya. Misalnya, ayat Al-Qur’an yang mewajibkan shalat secara global tanpa
merinci syarat dan rukunnya, baru wajib dilaksanakan setelah ada penjelasan
dari Rasul-Nya. Misalnya, ayat Al-Qur’an yang mewajibkan shalat secara global
tanpa merinci syarat dan rukunnya, baru wajib dilaksanakan setelah ada
penjelasan secara rinci dari Rasulullah. Demikian pula ayat yang memerintahkan
untuk melaksanakan haji, puasa, dan zakat.
b. Diketahui
secara pasti oleh orang mukalaf bahwa perintah itu datang dari pihak yang berwenang
membuat perintah yang dalam hal ini adalah Allah dan Rasul-Nya. Itulah sebabnya
maka setiap upaya mencari pemecahan hukum, yang paling pertama dilakukan adalah
pembahasan tentang validitas suatu dalil sebagai sumber hukum.
c. Perbuatan
yang diperintahkan atau dilarang haruslah berupa perbuatan yang dalam batas
kemampuan manusia untuk melakukan atau meninggalkannya. Hal itu disebabkan
karena tujuan dari suatu perintah atau larangan adalah untuk ditaati. Oleh
sebab itu, tidak mungkin ada dalam Al-Qur’an dan Sunnah sebuah perintah yang
mustahil menurut akal untuk dilakukan oleh manusia. Misalnya perintah untuk
terbang tanpa memakai alat.
MAHKUM
‘ALAIH
Mahkum ‘alaih
berarti “orang mukalaf (orang yang layak dibebani hukum taklifi)”. Seseorang baru dianggap layak dibebani hukum taklifi bilamana pada dirinya terdapat
beberapa persyaratan:
1. Mampu
memahami dalil-dalil hukum baik secara mandiri atau dengan bantuan orang lain
minimal sebatas memungkinkannya untuk mengamalkan isi dari ayat atau hadis
Rasulullah. Adanya kemampuan memahami hukum taklifi
itu disebabkan seseorang itu mempunyai akal yang sempurna. Bilamana diukur
dengan pertumbuhan fisik, batas baligh berakal bagi wanita dengan mulainya
menstruasi dan bagi laki-laki mimpi pertama bersenggama. Namun jika sampai umur
lima belas tahun wanita tidak juga haid dan laki-laki tidak mimpi, maka umur
lima belas tahun itu dijadikan batas umur minimal baligh berakal.
2. Mempunyai
ahliyat al-ada’, yaitu kecakapan
untuk bertindak secara hukum atau memikul beban taklif. Dengan adanya kecakapan seperti itu seseorang disebut
mukalaf, artinya segala perbuatannya diperhitungkan oleh hukum Islam, dan ia
diperingatkan untuk melaksanakan segala perintah dan menjauhi larangan.
Kecakapan seperti ini baru dimiliki seseorang secara sempurna bilaman ia baligh
berakal dan bebas dari segala hal yang menjadi penghalang bagi kecakapan
tersebut, seperti dalam keadaan gila, tidur, lupa, terpaksa, dan lain-lain lagi
yang secara panjang lebar dijelaskan dalam buku-buku Ushul Fiqh. Khusus mengenai
harta, kewenangan seseorang baru dianggap sah di samping sudah baligh berakal
juga setelah ada rusyd, yaitu
kemampuan untuk mengendalikan hartanya. Seseorang yang telah mencapai umur
baligh berakal, tetapi tidak mampu mengendalikan hartanya, seperti mubazir,
tidak dianggap cakap mengendalikan hartanya, dan oleh karena itu ia perlu
dibimbing oleh penanggungjawabnya.
Sumber
: Buku Ushul Fiqh, Satria Effendi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar