Senin, 06 Oktober 2014

Ushul Fiqh I Hakim I MAHKUM FIH I MAHKUM ‘ALAIH


HAKIM

1.      Pengertian Hakim

Kata hakim secara etimologi berarti “orang yang memutuskan hukum”. Dalam istilah fikih kata hakim juga dipakai sebagai orang yang memutuskan hukum di pengadilan yang sama maknanya dengan qadhi. Dalam kajian Ushul Fiqh, kata hakim berarti pihak penentu dan pembuat hukum syariat secara hakiki.

Ulama Ushul Fiqh sepakat bahwa yang menjadi sumber atau pembuat hakiki dari hukum syariat adalah Allah. Hal itu ditunjukkan oleh Al-Qur’an dalam Surat al-An’am ayat 57:

…Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia Pemberi keputusan yang paling baik. (QS. al-An’am/6: 57)

Meskipun para ulama Ushul Fiqh sepakat bahwa Pembuat hukum hanya Allah, namun mereka berbeda pendapat dalam masalah apakah hukum-hukum yang dibuat Allah hanya dapat diketahui dengan turunnya wahyu dan datangnya Rasulullah, atau akal secara independen bisa juga mengetahuinya. Perbedaan pendapat ini berpangkal dari perbedaan pendapat tenang fungsi akal dalam mengetahui baik dan buruk suatu hal.

2.      Baik dan Buruk

Perbedaan pendapat tentang baik dan buruk dalam kajian Ushul Fiqh berasal dari perbedaan pendapat di kalangan para ahli ilmu kalam. Hal yang diperbedakan adalah tentang apakah nilai baik dan buruk suatu benda merupakan sifat esensial dari benda itu atau tidak. Dalam hal ini terdapat beberapa pendapat:

a.       Kalangan Mu’tazilah berpendapat bahwa perbuatan dapat dibagi kepada dua kategori:

1)      Perbuatan yang sifat baik atau buruknya bersifat esensial. Berkata benar sepanjang esensinya adalah baik, dan sebaliknya berbohong sepanjang esensinya adalah baik, dan sebaliknya berbohong sepanjang esensinya adalah buruk. Demikianlah halnya sifat-sifat terpuji seperti adil, santun, berani, jujur, dan menolong orang lain, sepanjang esensinya adalah baik sehingga akal pikiran manusia mampu menyatakan bahwa hal itu adalah baik setiap kali menyaksikannya.

Sifat-sifat tercela seperti kezaliman, pengecut, dan pengkhianat sepanjang esensinya adalah buruk sehingga akal pikiran mampu menyatakan bahwa hal itu adalah buruk bila menyaksikannya. Oleh karena baik dan buruk itu merupakan sifat esensi dari suatu perbuatan, maka kekuatan akal pikiran yang sehat secara independen mampu mengetahuinya. Artinya, untuk mengetahui baik dan buruk sebagian dari perbuatan bisa dengan akal pikiran, tidak tergantung kepada wahyu.

Fungsi wahyu untuk memberitahukan kepada manusia mana perbuatan yang menurut esensinya baik dan mana yang buruk, bukan untuk menetapkan baik dan buruknya suatu perbuatan. Wahyu memberitahukan suatu perbuatan adalah baik atau buruk, dikemas dalam bentuk perintah dan larangan. Perbuatan yang baik menurut esensinya akan diperintahkan oleh wahyu, dan sebaliknya wahyu akan melarang suatu perbuatan yang menurut esensinya adalah buruk. Dari situ dapat disimpulkan bahwa menurut aliran ini, fungsi akal untuk mengetahui mana yang esensinya baik dan mana yang buruk, bukan untuk menetapkan baik dan buruk, dan fungsi wahyu seperti dikemukakan di atas, untuk menginformasikan mana yang baik dan mana yang buruk sehingga dapat memastikan apa yang telah ditemukan oleh akal.

Akal pikiran manusia menurut aliran ini mampu mengenal baik dan buruk ada yang tanpa memerlukan renungan (badihy) dan ada yang memerlukan renungan (nadzhary). Sesuatu yang bisa diketahui baik dan buruknya tanpa memerlukan renungan misalnya bahwa menolong orang yang sedang karam di lautan secara mudah dapat diketahui bahwa perbuatan itu adalah baik, dan melakukan kezaliman terhadap orang lain secara mudah dapat diketahui bahwa perbuatan itu adalah baik, dan melakukan kezaliman terhadap orang lain secara mudah dapat diketahui bahwa perbuatan itu adalah buruk. Adapun yang memerlukan renungan, misalnya bahwa kejujuran adalah baik meskipun akan membahayakan dirinya dan kebohongan itu adalah buruk meskipun menguntungkan diri sendiri

Dalam hal yang seperti ini, karena memerlukan renungan, ada kemungkinan orang terkecoh, sehingga berkesimpulan bahwa yang menurut esensinya adalah baik tetapi yang kelihatan nyata adalah buruk.

Sejalan dengan keyakinan tersebut, maka setiap perbuatan yang baik menurut esensinya dan dapat diketahui oleh akal pikiran, hukumnya wajib dilaksanakan dan atas ketaatannya itu, diberi pahala. Kemudian, setiap yang buruk menurut esensinya dan diketahui oleh akal, haram dilakukan dan atas ketaatannya meninggalkan perbuatan seperti itu ia diberi pahala, sedangkan orang yang melanggarnya diancam dengan dosa. Dengan demikian dalam hal-hal yang seperti ini akal mampu mengetahui hukumnya tanpa adanya wahyu. Menurut pandangan ini, hukum Allah mesti sesuai dengan esensi sesuatu dari segi baik dan buruknya.

2)      Perbuatan-perbuatan yang tidak dapat diketahui oleh akal nilai baik dan buruknya, seperti ibadah dan cara-caranya. Dalam hal ini, secara mutlak diperlukan wahyu untuk mengetahui baik dan buruknya.

Sejalan dengan hal di atas, Abu al-Husein al-Bashri (w. 436 H/1044 M), seorang tokoh Mu’tazilah, dalam bukunya al-Mu’tamad (Juz 1/370), membagi amal perbuatan manusia ke dalam dua kategori:

Pertama, perbuatan “aqliyah”, yaitu perbuatan yang hukumnya dapat diketahui dengan akal pikiran.

Kedua, perbuatan “syar’iyah”, yaitu perbuatan di mana syara’ ikut menentukan hukum dan bentuknya. Perbuatan kategori ini terdiri dari dua macam:

a)      Perbuatan di mana hanya dengan syariat dapat di ketahui hukum, bentuk, dan kedudukannya sebagai ibadah bagi pelakunya. Misalnya, ibadah shalat.

b)      Perbuatan di mana syara’ berperan mengubah, menambah, atau mengurangi persyaratan-persyaratannya yang telah diketahui akal pikiran. Dalam hal ini syariat memodifikasi suatu perbuatan, sehingga disebut sebagai perbuatan yang bersifat syar’i.

Atas dasar keyakinan mereka tersebut di atas, maka umat manusia sudah dibebani hukum taklifi pada masa sebelum Rasul diutus oleh Allah, atau sebelum dakwah sampai kepada mereka dalam hal-hal yang dapat diketahui hukum-hukumnya dengan akal. Umat manusia terikat dengan keputusan akal pikiran yang sehat karena apa yang diputuskan akal pikiran dianggap sebagai hukum Allah. Oleh karena itu, menaatinya adalah suatu kewajiban bagi manusia.

Alasan mereka, bahwa banyak macam tindakan yang menurut pertimbangan akal karena baiknya harus dilakukan dan pelakunya terpuji. Perbuatan seperti ini adalah baik menurut zatnya. Misalnya berkata benar adalah baik menurut zatnya, oleh karena itu perbuatan itu harus dilakukan. Sebaliknya banyak pula hal yang menurut akal tidak wajar dilakukan karena akan mengakibatkan celaan dari masyarakat. Perbuata seperti ini buruk menurut zatnya, oleh karena itu perbuatan seperti itu tidak boleh dilakukan. Seseoran yang berakal sehat akan memilih berkata benar daripada berbohong.

b.      Kalangan Maturidiyah berpendapat bahwa sesuatu itu ada yang baik dan ada pula yang buruk menurut esensinya. Di samping itu, ada pula hal-hal yang tidak diketahui oleh akal baik dan buruknya. Menurut pendapat ini, meskipun akal pikiran bisa mengetahui baik dan buruk suatu perbuatan, namun umat manusia tidak wajib dalam arti tidak berpahala mengikuti kesimpulan akal pikirannya itu. Jadi, menurut aliran ini, masalah dosa dan pahala mutlak hanya dapat diketahui dengan wahyu. Menurut aliran ini akal semata tidak dapat dijadikan landasan hukum. Setiap ketetapan hukum haruslah bereferensi kepada wahyu.

c.       Kalangan Asy’ariyah berpendapat tidak ada yang bersifat baik dan buruk menurut esensinya. Baik dan buruk bagi sesuatu adalah sifat yang datang kemudian, bukan bersifat esensial. Yang membuat sesuatu baik atau buruk adalah perintah atau larangan Allah. Akal tidak punya kewenangan untuk menetapkan baik karena wahyu menilainya baik, sebaliknya sesuatu dikatakan buruk karena wahyu menilainya buruk. Oleh sebab itu, sebelum turun wahyu, tidak ada beban taklif bagi manusia dan oleh karena itu belum ada pertimbangan dosa dan pahala bagi suatu tindakan.

Dari keterangan di atas, jelaslah bahwa menurut kalangan Maturidiyah dan Asy’ariyah bahwa yang menjadi sumber hukum hanyalah wahyu Allah semata, dan bahwa akal tidak punya kewenangan dalam hal tersebut. Alasan mereka adalah bahwa Allah tidak akan menghukum seseorang atas suatu perbuatan yang belum ada petunjuk hukum dari pihak-Nya, seperti dijelaskan dalam Al-Qur’an Surat al-Isra’ ayat 15:

dan kami tidak mengazab sebelum Kami mengutus seorang Rasul. (QS. al-Isra’/17: 57)

Meskipun demikian, menurut dua aliran ini bukan berarti akal tidak berfungsi sama sekali dalam hal ini. Akal berfungsi dalam hal-hal yang diberikan Allah kepadanya. Kenyataannya di antara nash-nash wahyu ada yang tidak disebut secara eksplisit dalam wahyu. Akal berperan untuk menarik hukum dari teks-teks yang tidak tegas itu dan melakukan ijtihad yang dilandaskan kepada wahyu hukumnya. Bedanya dengan Kalangan Mu’tazilah adalah, menurut Mu’tazilah akal menjaid sumber hukum dalam hal-hal yang tidak disebutkan dalam Al-Qur’an, sedangkan menurut Maturidiayh dan Asy’ariyah, akal hanya sebagai alat untuk memahami wahyu Allah.

MAHKUM FIH

1.      Pengertian Mahkum Fih

Mahkum fih berarti “perbuatan orang mukalaf sebagai tempat menghubungkan hukum syara”. Misalnya, dalam ayat 1 Surat al-Maidah Allah berfirman:

Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu. Dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (Yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya. (QS. al-Maidah/5: 1)

Yang menjadi objek perintah dalam ayat tersebut adalah perbuatan orang mukalaf yaitu perbuatan menyempurnakan janji yang diwajibkan dengan ayat tersebut.

2.      Syarat-syarat Mahkum Fih

Ada beberapa persyaratan bagi sahnya suatu perbuatan hukum:

a.       Perbuatan itu diketahui secara sempurna dan rinci oleh orang mukalaf sehingga dengan demikian suatu perintah misalnya, dapat dilaksanakan secara lengkap seperti yang dikehendaki oleh Allah atau Rasul-Nya. Oleh karena itu, seperti dikemukakan Abd al-Wahhab Khallaf, ayat-ayat Al-Qur’an yang diturunkan secara global, baru wajib dilaksanakan setelah ada penjelasan dari Rasul-Nya. Misalnya, ayat Al-Qur’an yang mewajibkan shalat secara global tanpa merinci syarat dan rukunnya, baru wajib dilaksanakan setelah ada penjelasan dari Rasul-Nya. Misalnya, ayat Al-Qur’an yang mewajibkan shalat secara global tanpa merinci syarat dan rukunnya, baru wajib dilaksanakan setelah ada penjelasan dari Rasul-Nya. Misalnya, ayat Al-Qur’an yang mewajibkan shalat secara global tanpa merinci syarat dan rukunnya, baru wajib dilaksanakan setelah ada penjelasan secara rinci dari Rasulullah. Demikian pula ayat yang memerintahkan untuk melaksanakan haji, puasa, dan zakat.

b.      Diketahui secara pasti oleh orang mukalaf bahwa perintah itu datang dari pihak yang berwenang membuat perintah yang dalam hal ini adalah Allah dan Rasul-Nya. Itulah sebabnya maka setiap upaya mencari pemecahan hukum, yang paling pertama dilakukan adalah pembahasan tentang validitas suatu dalil sebagai sumber hukum.

c.       Perbuatan yang diperintahkan atau dilarang haruslah berupa perbuatan yang dalam batas kemampuan manusia untuk melakukan atau meninggalkannya. Hal itu disebabkan karena tujuan dari suatu perintah atau larangan adalah untuk ditaati. Oleh sebab itu, tidak mungkin ada dalam Al-Qur’an dan Sunnah sebuah perintah yang mustahil menurut akal untuk dilakukan oleh manusia. Misalnya perintah untuk terbang tanpa memakai alat.

MAHKUM ‘ALAIH

Mahkum ‘alaih berarti “orang mukalaf (orang yang layak dibebani hukum taklifi)”. Seseorang baru dianggap layak dibebani hukum taklifi bilamana pada dirinya terdapat beberapa persyaratan:

1.      Mampu memahami dalil-dalil hukum baik secara mandiri atau dengan bantuan orang lain minimal sebatas memungkinkannya untuk mengamalkan isi dari ayat atau hadis Rasulullah. Adanya kemampuan memahami hukum taklifi itu disebabkan seseorang itu mempunyai akal yang sempurna. Bilamana diukur dengan pertumbuhan fisik, batas baligh berakal bagi wanita dengan mulainya menstruasi dan bagi laki-laki mimpi pertama bersenggama. Namun jika sampai umur lima belas tahun wanita tidak juga haid dan laki-laki tidak mimpi, maka umur lima belas tahun itu dijadikan batas umur minimal baligh berakal.

2.      Mempunyai ahliyat al-ada’, yaitu kecakapan untuk bertindak secara hukum atau memikul beban taklif. Dengan adanya kecakapan seperti itu seseorang disebut mukalaf, artinya segala perbuatannya diperhitungkan oleh hukum Islam, dan ia diperingatkan untuk melaksanakan segala perintah dan menjauhi larangan. Kecakapan seperti ini baru dimiliki seseorang secara sempurna bilaman ia baligh berakal dan bebas dari segala hal yang menjadi penghalang bagi kecakapan tersebut, seperti dalam keadaan gila, tidur, lupa, terpaksa, dan lain-lain lagi yang secara panjang lebar dijelaskan dalam buku-buku Ushul Fiqh. Khusus mengenai harta, kewenangan seseorang baru dianggap sah di samping sudah baligh berakal juga setelah ada rusyd, yaitu kemampuan untuk mengendalikan hartanya. Seseorang yang telah mencapai umur baligh berakal, tetapi tidak mampu mengendalikan hartanya, seperti mubazir, tidak dianggap cakap mengendalikan hartanya, dan oleh karena itu ia perlu dibimbing oleh penanggungjawabnya.   

Sumber : Buku Ushul Fiqh, Satria Effendi

Tidak ada komentar:

Kisah Mata Air Keabadian

Kisah ini diriwayatkan oleh Ats-Tsa’labi dari Imam Ali ra. Pada zaman dahulu hiduplah seorang hamba Allah SWT yang melebihkan kepada d...