Masalah lainnya yang
juga penting dalam masalah ilmu pengetahuan adalah sikap terhadap ilmu atau
sikap seorang ilmuwan. Sikap ilmiah yang baik akan melahirkan perilaku berilmu
yang baik pula sesuai dengan hakikat dan tujuan ilmu pengetahuan itu sendiri.
Sebaliknya, para ahli psikologi menyatakan, bahwa sikap tidak selalu dan tidak
dengan sendirinya melahirkan tingkah laku. Tingkah laku baru muncul jika sikap
didukung oleh kesempatan dan adanya penilaian pribadi yang bersesuaian dengan
sikap. Tanpa sikap, meskipun kesempatan dan penilaian bersesuaian, mustahil
tingkah laku terjadi. Oleh karena itu, sikap ilmiah penting menjadi salah satu
pembicaraan dalam epistemologi.
Mendoza
dan Napoli mengajukan sikap ilmiah
dalam enam hal, baik dalam menyikapi ilmu maupun menggunakannya. Para ilmuwan
mendekati investigasinya dengan perspektif terbuka (open-minded) atau pandangan keluar yang dapat direferensikan sebagai
sikap ilmiah.
Satu
di antaranya adalah keinginan untuk berbagi informasi (cooperation). Secara ideal, ilmuwan tidak menyembunyikan informasi
sebagai barang rahasia bagi orang lain. Hasil penelitian, misalnya, selayaknya
dipublikasikan dalam bentuk jurnal atau media lainnya agar dapat dimanfaatkan
atau diperbandingkan dengan apa yang diketahui oleh ilmuwan lainnya.
Dimasyarakat nonbarat, urung rembug
saling berbagi informasi merupakan hal yang tidak biasa dengan berbagai alasan,
tetapi ada juga yang menganggap informasi ilmiah sebagai “kekuatan” untuk
bertahan hidup dan memenangkan persaingan. Padahal, berbagi informasi akan
mengembangkan ilmu secara berlipat ganda daripada dikerjakan masing-masing.
Keinginan
berbagi informasi didukung oleh aspek sikap ilmiah lainnya, yaitu berusaha
secara terbuka atas kegagalan (openes).
Misalnya, jika kita memiliki 50 kunci untuk membuka pintu lemari, tentunya kita
tidak dapat berharap membuka pintu lemari dengan kunci pertama. Boleh jadi
setelah 24 kunci Anda coba pun, tidak ada yang berhasil. Hal itu tidak perlu
dirisaukan karena wajar. Hal itu merupakan eksperimen alamiah. Kegagalan
merupakan hal wajar bagi ilmuwan. Seyogianya, hal itu dikomunikasikan secara
terbuka. Kegagalan itu tidak perlu dianggap sebagai hal memalukan.
Pengomunikasian akan menyebabkan kegagalan, dan hal ini tidak harus ditempuh
orang lain dalam eksperimen yang sama.
Ilmuwan
pun belajar dari pengalaman, bahwa yang ia yakini benar sekarang, boleh jadi
salah di kemudian hari. Oleh karena itu, setiap keputusan ilmiah, seyogianya
dianggap sebagai tentatif sehingga setiap ilmuwan, seyogianya bersikap skeptis
terhadap gejala dan keputusan yang telah diambil berdasarkan bagaimana pun
besarnya suatu penelitian yang melatarbelakangi. Namun, apa yang dimaksudkan
dengan skeptis, hendaknya tidak diartikan negatif. Sebaliknya, positif karena
bermaksud mengembangkan ilmu dengan mendorong ilmuwan lain bersemangat
melakukan penelitian-penelitian dan pemikirannya. Jadi, skeptis bukan diartikan
sebagai tidak percaya sebelum dibuktikan, melainkan percaya, tetapi perlu
dibuktikan.
Selanjutnya,
ilmuwan juga mengusahakan objektivitas dalam riset-risetnya. Artinya, bahwa
mereka berusaha untuk lebih imparsial dan rasional daripada bias dan emosional
dalam melaksanakan investigasinya. 100% objektif, hal ini tidak mungkin dicapai
karena ilmuwan itu pertama-tama adalah manusia yang sedikit banyak melibatkan
emosi dalam apa pun yang ia lakukan. Namun, tugas ilmuwan adalah membatasi
keterlibatan emosional tersebut.
Berdekatan
dengan objektivitas yang diutarakan tadi, terdapat dimensi lain dari sikap
ilmiah, yaitu keterikatan pada apa adanya (amorality)
yang berbeda dengan apa yang seharusnya (ought
to be). Salah satu tugas ilmuwan adalah mengungkap realitas kehidupan.
Dalam hal ini, ilmu adalah sesuatu yang amoral, tidak berkaitan dengan baik
atau buruk, layak atau tidak layak. Ilmuwan, sebagai manusia tidak akan
terlepas dari lingkungan sosialnya, bersifat kultural sehingga setiap
langkahnya tidak bebas dari nilai dan norma sosial. Seyogianya, seorang ilmuwan
memiliki kebijaksanaan dalam memublikasikan pengetahuan dan penemuan
penelitiannya. Hal ini sama dengan pengertian pornografi dan pornoaksi yang
berbeda di antara lingkungan yang berbeda.
Terakhir,
kita perlu mewaspadai terhadap bahayanya (reification),
ialah mengacu pada perlakuan atas konstruk teoretis sebagai entitas konkret.
Kita harus benar-benar membedakan antara mengenal kota dan mengenal peta kota
tersebut. Teori memberi kita arahan untuk memahami fenomena, tetapi fenomena
berbeda dengan teori.
Dalam
kita menuntut ilmu, terdapat pula etika yang berhubungan dengan masalah
penggunaan ilmu dalam kehidupan sehari-hari ataupun dalam menggunakan ilmu
secara khusus. Dalam hal ini, etika berhubungan dengan hakikat, tujuan, dan
manfaat ilmu pengetahuan. Pertanyaan dasarnya, “Mengapa manusia menciptakan
ilmu pengetahuan? Pada dasarnya, jawaban atas pertanyaan ini adalah untuk
meningkatkan taraf hidup kesejahteraan manusia dalam arti yang luas. Misalnya,
dengan ilmu pengetahuan, manusia dapat membangun penyesuaian diri yang tepat
terhadap situasi lingkungan atau permasalahan yang sukar sehingga lingkungan
dan masalah itu tidak akan menjadi hambatan bagi dirinya. Dengan ilmu
pengetahuan itu pula, manusia dapat menciptakan alat dan cara untuk mendapatkan
sesuatu yang diperlukan kehidupannya.
Untuk
hal itu, terdapat cara-cara yang tepat bagi manusia dalam menggunakan ilmu
pengetahuannya. Dalam hal itulah, diperlukan etika menerapkan/menggunakan ilmu
pengetahuan. Berkenaan dengan hal tersebut, terdapat beberapa butir yang perlu
diperhatikan, antara lain sebagai berikut.
1. Penggunaan
ilmu harus bermanfaat untuk tujuan yang lebih jauh dan lebih luhut. Jadi,
penggunaan ilmu tidak sekadar untuk memenuhi kebutuhan sesaat atau jangka
pendek.
2. Ilmu
pengetahuan, selain mengikuti maksud dan tujuan umumnya, hendaknya diterapkan
menuntut maksud khas dan prosedur teknis cabang ataupun subcabang tiap-tiap
ilmu.
3. Kebeneran
ilmiah tidak dapat dipalsukan, tetapi perlu bijaksana disampaikan sesuai dengan
kebutuhan/nilai pentingnya, dan suasana nilai budaya/agama/moralitas, serta
lingkungannya.
4. Kebenaran
ilmiah tidak digunakan untuk mencari keuntungan dengan merugikan pihak lain
atau dengan maksud menguntungkan sebagian pihak.
5. Keterbukaan
ilmiah, seyogianya dilaksanakan dengan memerhatikan pentingnya kerahasiaan jika
dirasakan perlu.
6. Penggunaan
ilmu pengetahuan tertentu harus disertai kesiapan bertanggung jawab terhadap
akibat dan konsekuensinya.
Sumber
: Buku Pengantar Filsafat, Sutardjo A. Wiramihardja
Tidak ada komentar:
Posting Komentar