Jumat, 24 Oktober 2014

Sikap Ilmiah


 

Masalah lainnya yang juga penting dalam masalah ilmu pengetahuan adalah sikap terhadap ilmu atau sikap seorang ilmuwan. Sikap ilmiah yang baik akan melahirkan perilaku berilmu yang baik pula sesuai dengan hakikat dan tujuan ilmu pengetahuan itu sendiri. Sebaliknya, para ahli psikologi menyatakan, bahwa sikap tidak selalu dan tidak dengan sendirinya melahirkan tingkah laku. Tingkah laku baru muncul jika sikap didukung oleh kesempatan dan adanya penilaian pribadi yang bersesuaian dengan sikap. Tanpa sikap, meskipun kesempatan dan penilaian bersesuaian, mustahil tingkah laku terjadi. Oleh karena itu, sikap ilmiah penting menjadi salah satu pembicaraan dalam epistemologi.

Mendoza dan Napoli mengajukan sikap ilmiah dalam enam hal, baik dalam menyikapi ilmu maupun menggunakannya. Para ilmuwan mendekati investigasinya dengan perspektif terbuka (open-minded) atau pandangan keluar yang dapat direferensikan sebagai sikap ilmiah.

Satu di antaranya adalah keinginan untuk berbagi informasi (cooperation). Secara ideal, ilmuwan tidak menyembunyikan informasi sebagai barang rahasia bagi orang lain. Hasil penelitian, misalnya, selayaknya dipublikasikan dalam bentuk jurnal atau media lainnya agar dapat dimanfaatkan atau diperbandingkan dengan apa yang diketahui oleh ilmuwan lainnya. Dimasyarakat nonbarat, urung rembug saling berbagi informasi merupakan hal yang tidak biasa dengan berbagai alasan, tetapi ada juga yang menganggap informasi ilmiah sebagai “kekuatan” untuk bertahan hidup dan memenangkan persaingan. Padahal, berbagi informasi akan mengembangkan ilmu secara berlipat ganda daripada dikerjakan masing-masing.

Keinginan berbagi informasi didukung oleh aspek sikap ilmiah lainnya, yaitu berusaha secara terbuka atas kegagalan (openes). Misalnya, jika kita memiliki 50 kunci untuk membuka pintu lemari, tentunya kita tidak dapat berharap membuka pintu lemari dengan kunci pertama. Boleh jadi setelah 24 kunci Anda coba pun, tidak ada yang berhasil. Hal itu tidak perlu dirisaukan karena wajar. Hal itu merupakan eksperimen alamiah. Kegagalan merupakan hal wajar bagi ilmuwan. Seyogianya, hal itu dikomunikasikan secara terbuka. Kegagalan itu tidak perlu dianggap sebagai hal memalukan. Pengomunikasian akan menyebabkan kegagalan, dan hal ini tidak harus ditempuh orang lain dalam eksperimen yang sama.

Ilmuwan pun belajar dari pengalaman, bahwa yang ia yakini benar sekarang, boleh jadi salah di kemudian hari. Oleh karena itu, setiap keputusan ilmiah, seyogianya dianggap sebagai tentatif sehingga setiap ilmuwan, seyogianya bersikap skeptis terhadap gejala dan keputusan yang telah diambil berdasarkan bagaimana pun besarnya suatu penelitian yang melatarbelakangi. Namun, apa yang dimaksudkan dengan skeptis, hendaknya tidak diartikan negatif. Sebaliknya, positif karena bermaksud mengembangkan ilmu dengan mendorong ilmuwan lain bersemangat melakukan penelitian-penelitian dan pemikirannya. Jadi, skeptis bukan diartikan sebagai tidak percaya sebelum dibuktikan, melainkan percaya, tetapi perlu dibuktikan.

Selanjutnya, ilmuwan juga mengusahakan objektivitas dalam riset-risetnya. Artinya, bahwa mereka berusaha untuk lebih imparsial dan rasional daripada bias dan emosional dalam melaksanakan investigasinya. 100% objektif, hal ini tidak mungkin dicapai karena ilmuwan itu pertama-tama adalah manusia yang sedikit banyak melibatkan emosi dalam apa pun yang ia lakukan. Namun, tugas ilmuwan adalah membatasi keterlibatan emosional tersebut.

Berdekatan dengan objektivitas yang diutarakan tadi, terdapat dimensi lain dari sikap ilmiah, yaitu keterikatan pada apa adanya (amorality) yang berbeda dengan apa yang seharusnya (ought to be). Salah satu tugas ilmuwan adalah mengungkap realitas kehidupan. Dalam hal ini, ilmu adalah sesuatu yang amoral, tidak berkaitan dengan baik atau buruk, layak atau tidak layak. Ilmuwan, sebagai manusia tidak akan terlepas dari lingkungan sosialnya, bersifat kultural sehingga setiap langkahnya tidak bebas dari nilai dan norma sosial. Seyogianya, seorang ilmuwan memiliki kebijaksanaan dalam memublikasikan pengetahuan dan penemuan penelitiannya. Hal ini sama dengan pengertian pornografi dan pornoaksi yang berbeda di antara lingkungan yang berbeda.     

Terakhir, kita perlu mewaspadai terhadap bahayanya (reification), ialah mengacu pada perlakuan atas konstruk teoretis sebagai entitas konkret. Kita harus benar-benar membedakan antara mengenal kota dan mengenal peta kota tersebut. Teori memberi kita arahan untuk memahami fenomena, tetapi fenomena berbeda dengan teori.

Dalam kita menuntut ilmu, terdapat pula etika yang berhubungan dengan masalah penggunaan ilmu dalam kehidupan sehari-hari ataupun dalam menggunakan ilmu secara khusus. Dalam hal ini, etika berhubungan dengan hakikat, tujuan, dan manfaat ilmu pengetahuan. Pertanyaan dasarnya, “Mengapa manusia menciptakan ilmu pengetahuan? Pada dasarnya, jawaban atas pertanyaan ini adalah untuk meningkatkan taraf hidup kesejahteraan manusia dalam arti yang luas. Misalnya, dengan ilmu pengetahuan, manusia dapat membangun penyesuaian diri yang tepat terhadap situasi lingkungan atau permasalahan yang sukar sehingga lingkungan dan masalah itu tidak akan menjadi hambatan bagi dirinya. Dengan ilmu pengetahuan itu pula, manusia dapat menciptakan alat dan cara untuk mendapatkan sesuatu yang diperlukan kehidupannya.

Untuk hal itu, terdapat cara-cara yang tepat bagi manusia dalam menggunakan ilmu pengetahuannya. Dalam hal itulah, diperlukan etika menerapkan/menggunakan ilmu pengetahuan. Berkenaan dengan hal tersebut, terdapat beberapa butir yang perlu diperhatikan, antara lain sebagai berikut.

1.      Penggunaan ilmu harus bermanfaat untuk tujuan yang lebih jauh dan lebih luhut. Jadi, penggunaan ilmu tidak sekadar untuk memenuhi kebutuhan sesaat atau jangka pendek.

2.      Ilmu pengetahuan, selain mengikuti maksud dan tujuan umumnya, hendaknya diterapkan menuntut maksud khas dan prosedur teknis cabang ataupun subcabang tiap-tiap ilmu.

3.      Kebeneran ilmiah tidak dapat dipalsukan, tetapi perlu bijaksana disampaikan sesuai dengan kebutuhan/nilai pentingnya, dan suasana nilai budaya/agama/moralitas, serta lingkungannya.

4.      Kebenaran ilmiah tidak digunakan untuk mencari keuntungan dengan merugikan pihak lain atau dengan maksud menguntungkan sebagian pihak.

5.      Keterbukaan ilmiah, seyogianya dilaksanakan dengan memerhatikan pentingnya kerahasiaan jika dirasakan perlu.

6.      Penggunaan ilmu pengetahuan tertentu harus disertai kesiapan bertanggung jawab terhadap akibat dan konsekuensinya.       

 

Sumber : Buku Pengantar Filsafat, Sutardjo A. Wiramihardja

Tidak ada komentar:

Kisah Mata Air Keabadian

Kisah ini diriwayatkan oleh Ats-Tsa’labi dari Imam Ali ra. Pada zaman dahulu hiduplah seorang hamba Allah SWT yang melebihkan kepada d...