Belajar
adalah kegiatan yang berproses dan merupakan unsur yang sangat fundamental
dalam penyelenggaraan setiap jenis dan jenjang pendidikan. Ini berarti bahwa
berhasil atau gagalnya pencapaian tujuan pendidikan itu amat bergantung pada
proses belajar yang dialami siswa, baik ketika ia berada di sekolah maupun
lingkungan rumah atau keluarganya sendiri.
Oleh
karenanya, pemahaman yang benar mengenai arti belajar dengan segala aspek,
bentuk, dan manifestasinya mutlak diperlukan oleh para pendidik khususnya para
guru. Kekeliruan atau ketidaklengkapan persepsi mereka terhadap proses belajar
dan hal-hal yang berkaitan dengannya mungkin akan mengakibatkan kurang
bermutunya hasil pembelajaran yang dicapai peserta didik.
1.
Definisi
Belajar
Sebagian
orang beranggapan bahwa belajar adalah semata-mata mengumpulkan atau
menghafalkan fakta-fakta yang tersaji dalam bentuk informasi/materi pelajaran.
Orang yang beranggapan demikian biasanya akan segera merasa bangga ketika
anak-anaknya telah mampu menyebutkan kembali secara lisan (verbal) sebagian
besar informasi yang terdapat dalam buku teks atau yang diajarkan oleh guru.
Di
samping itu, ada pula sebagian orang yang memandang belajar sebagai pelatihan
belaka seperti yang tampak pada pelatihan membaca dan menulis. Berdasarkan
persepsi semacam ini, biasanya mereka akan
merasa cukup puas bila anak-anak mereka telah mampu memperlihatkan
keterampilan jasmaniah tertentu walaupun tanpa pengetahuan mengenai arti,
hakikat, dan tujuan keterampilan tersebut.
Untuk
menghindari ketidaklengkapan persepsi tersebut, penyusun akan melengkapi
sebagian definisi mereka dengan komentar dan interpretasi seperlunya.
Skinner,
seperti yang dikutip Barlow (1985) dalam bukunya Educational Psychology: The Teaching-Learning Process, berpendapat
bahwa belajar adalah suatu proses adaptasi atau penyesuaian tingkah laku yang
berlangsung secara progresif. Pendapat ini diungkapkan dalam pernyataan
ringkasnya, bahwa belajar adalah . . . a
process of progressive behavior adaptation. Berdasarkan eksperimennya, B.F.
Skinner percaya bahwa proses adaptasi tersebut akan mendatangkan hasil yang
optimal apabila ia diberi penguat (reinforce).
Skinner,
seperti juga Pavlov dan Guthrie, adalah seorang pakar teori belajar berdasarkan
proses conditioning yang pada prinsipnya memperkuat dugaan bahwa timbulnya
tingkah laku itu lantaran adanya hubungan antara stimulus (rangsangan) dengan
respons. Namun, patut dicatat bahwa definisi yang bersifat behavioristik ini
dibuat berdasarkan hasil eksperimen dengan menggunakan hewan, sehingga tidak
sedikit pakar yang menentangnya.
Chaplin
dalam Dictionary of Psychology
membatasi belajar dengan dua macam rumusan. Rumusan pertama berbunyi: …. acquisition of any relatively permanent
change in behavior as a result of practice and experience. Belajar adalah
perolehan perubahan tingkah laku yang relatif menetap sebagai akibat praktik
dan pengalaman. Rumusan keduanya Process
of acquiring responses as a result of special practice, belajar ialah
proses memperoleh respons-respons sebagai akibat adanya pelatihan khusus.
Hintzman
dalam bukunya The Psychology of Learning
and Memory berpendapat Learning is a
change in organism due to experience which can affect the organism’s behavior.
Artinya, belajar adalah suatu perubahan yang terjadi dalam diri organisme
(manusia atau hewan) disebabkan oleh pengalaman yang dapat memengaruhi tingkah
laku organisme tersebut. Jadi, dalam pandangan Hintzman, perubahan yang
ditimbulkan oleh pengalaman tersebut baru dapat dikatakan belajar apabila
memengaruhi organisme.
Dalam
penjelasan lanjutannya, pakar psikologi belajar itu menambahkan bahwa
pengalaman hidup sehari-hari dalam bentuk apa pun sangat memungkinkan untuk
diartikan sebagai belajar. Sebab, sampai batas tertentu pengalaman hidup juga
berpengaruh besar terhadap pembentukan kepribadian organisme yang bersangkutan.
Mungkin, inilah dasar pemikiran yang mengilhami gagasan everyday learning (belajar sehari-hari) yang dipopulerkan oleh
Profesor John B. Biggs.
Wittig
dalam bukunya Psychology of Learning
mendefinisikan belajar sebagai: any
relatively permanent change in a organism’s behavioral repertoire that occurs
as a result of experience. Belajar ialah perubahan yang relatif menetap
yang terjadi dalam segala macam/keseluruhan tingkah laku suatu organisme
sebagai hasil pengalaman.
Perlu
kiranya dicatat, bahwa definisi Wittig tidak menekankan perubahan yang disebut
behavioral change tetapi behavioral
repertoire change, yakni perubahan yang menyangkut seluruh aspek
psiko-fisik organisme. Penekanan yang berbeda ini didasarkan pada kepercayaan
bahwa tingkah laku lahiriah organisme itu sendiri bukan indikator adanya
peristiwa belajar, karena proses belajar itu tidak dapar diobservasi secara
langsung.
Reber
dalam kamus susunannya yang tergolong modern, Dictionary of Psychology membatasi belajar dengan dua macam
definisi. Pertama, belajar adalah The
process of acquiring knowledge, yakni proses memeroleh pengetahuan.
Pengertian ini biasanya lebih sering dipakai dalam pembahasan psikologi
kognitif yang oleh sebagian ahli dipandang kurang representatif karena tidak
mengikutsertakan perolehan keterampilan nonkognitif.
Kedua,
belajar adalah A relatively permanent change
in respons potentiality which occurs as a result of reinforced practice,
yaitu suatu perubahan kemampuan bereaksi yang relatif langgeng sebagai hasil
praktik yang diperkuat. Dalam definisi ini terdapat empat macam istilah yang
esensial dan perlu disoroti untuk memahami proses belajar.
1. Relatively
permanent, yang secara umum menetap.
2. Response
potentiality, kemampuan bereaksi.
3. Reinforced,
yang diperkuat.
4. Practice,
praktik atau latihan.
Istilah
1) konotasinya ialah bahwa perubahan yang bersifat sementara seperti perubahan
karena mabuk, lelah, jenuh, dan perubahan karena kematangan fisk tidak termasuk
belajar. Istilah 2) berarti menunjukkan pengakuan terhadap adanya perbedaan
antara belajar dengan penampilan atau kinerja hasil-hasil belajar. Hal ini
merefleksikan keyakinan bahwa belajar itu merupakan peristiwa hipotesis yang
hanya dapat dikenali melalui perubahan kinerja akademik yang dapat diukur.
Istilah 3) konotasinya ialah bahwa kemajuan yang didapat dari proses belajar
mungkin akan musnah atau sangat lemah apabila tidak diberi penguatan. Adapun
istilah yang terakhir, yakni practice, menunjukkan bahwa proses belajar itu
membutuhkan latihan yang berulang-ulang untuk menjamin kelestarian kinerja
akademik yang telah dicapai siswa.
Biggs
dalam pendahuluan Teaching for Learning
mendefinisikan belajar dalam tiga macam rumusan, yaitu: rumusan kuantitatif;
rumusan institusioanl; rumusan kualitatif. Dalam rumusan-rumusan ini, kata-kata
seperti perubahan dan tingkah laku tidak lagi disebut secara eksplisit mengingat
kedua istilah ini sudah menjadi kebenaran umum yang diketahui semua orang yang
terlibat dalam proses pendidikan.
Secara
kuantitatif (ditinjau dari sudut jumlah), belajar berarti kegiatan pengisian
atau pengembangan kemampuan kognitif dengan fakta sebanyak-banyaknya. Jadi,
belajar dalam hal ini dipandang dari sudut banyaknya materi yang dikuasai
siswa.
Secara
institusional (tinjauan kelembagaan), belajar dipandang sebagai proses
“validitas” atau pengabsahan terhadap penguasaan siswa atas materi-materi yang
telah ia pelajari. Bukti institusional yang menunjukkan siswa telah belajar
dapat diketahui sesuai proses mengajar. Ukurannya, semakin baik mutu guru
mengajar akan semakin baik pula mutu perolehan siswa yang kemudian dinyatakan
dalam bentuk skor.
Adapun
pengertian belajar secara kualitatif (tinjauan mutu) ialah proses memeroleh
arti-arti dan pemahaman-pemahaman serta cara-cara menafsirkan dunia di
sekeliling siswa. Belajar dalam pengertian ini difokuskan pada tercapainya daya
pikir dan tindakan yang berkualitas untuk memecahkan masalah-masalah yang kini
dan nanti dihadapi siswa.
Timbulnya
keanekaragaman pendapat para ahli tersebut adalah fenomena perselisihan yang wajar
karena adanya perbedaan titik pandang. Selain itu, perbedaan antara satu
situasi belajar dengan situasi belajar lainnya yang diamati oleh para ahli juga
dapat menimbulkan perbedaan pandanga. Situasi belajar menulis, misalnya, tentu
tidak sama dengan situasi belajar matematika. Namun demikian, dalam beberapa
hal tertentu yang mendasar, mereka sepakat seperti dalam penggunaan istilah
“berubah” dan “tingkah laku”.
Bertolak
dari berbagai definisi yang telah diutarakan tadi, secara umum belajar dapat
dipahami sebagai tahapan perubahan seluruh tingkah laku individu yang relatif
menetap sebagai hasil pengalaman dan interaksi dengan lingkungan yang
melibatkan proses kognitif. Sehubungan dengan pengertian ini perlu diutarakan
sekali lagi bahwa perubahan tingkah laku yang timbul akibat proses kematangan,
keadaan gila, mabuk, lelah, dan jenuh tidak dapat dipandang sebagai proses
belajar.
2.
Contoh
Belajar
Dalam
mempermudah pemahaman Anda mengenai cara sebenarnya proses belajar itu
berlangsung, berikut ini akan penyusun kemukakan dua contoh sederhana sebagai
gambaran. Setelah itu, akan penyusun kemukakan pula sebuah contoh tandingan
yang disertai komentar seperlunya.
Seorang
anak balita memeroleh mobil-mobilan dari ayahnya. Lalu ia mencoba mainan ini
dengan cara memutar kuncinya dan meletakkannya pada suatu permukaan atau
dataran. Perilaku “memutar” dan “meletakkan” tersebut merupakan respons atau
reaksi atas rangsangan yang timbul/ada pada mainan itu (misalnya, kunci dan
roda mobil-mobilan tersebut).
Pada
tahap permulaan, respons anak terhadap stimulus yang ada pada mainan tadi
biasanya tidak tepat atau setidak-tidaknya tidak teratur. Namun, berkat praktik
dan pengalaman berulang-ulang, lambat laun ia menguasai dan akhirnya dapat
memainkan mobil-mobilan dengan baik dan sempurna. Sehubungan dengan contoh ini,
belajar dapat kita pahami sebagai proses yang dengan proses itu sebuah tingkah
laku ditimbulkan atau diperbaiki melalui serentetan reaksi atas situasi atau
rangsangan yang ada.
Contoh
lainnya, bayangkanlah bahwa Anda sedang berada dalam sebuah ruangan yang pintu
dan jendelanya terkunci rapat. Anda sangat lapar, tetapi tidak tahu cara
mengatasi kelaparan itu. Apakah yang dapat Anda lakukan? Mungkin Anda akan
berteriak meminta pertolongan, tetapi Anda tidak melakukannya. Daripada
berteriak-teriak Anda merasa lebih baik mengelilingi ruangan itu,
mengamati-amati seluruh bagiannya, bahkan meraba-raba sambil mencari sesuatu
berkali-kali.
Akhirnya
Anda menemukan sebuah tombol kecil dekat sebuah lubang tipis yang lebarnya kira-kira
10 cm. Anda menekan tombol itu, lalu terdengar bunyi “tit-tit-tit” diiringi
suara laksana jatuhnya sebuah benda ringan. Namun Anda tidak melihat apa-apa.
Menghadapi situasi seperti ini mungkin Anda akan mundur untuk menghindari
sesuatu yang mencelakakan. Tapi ketika suara aneh tadi berhenti, tiba-tiba
sebuah benda tipis dan bulat muncul dari lubang. Kue mari! Kemudian kue ini
Anda makan. Selanjutnya, karena Anda masih merasa lapar, tombol itu Anda tekan
lagi berkali-kali untuk menghasilkan kue mari sebanyak-banyaknya, hingga Anda
akhirnya merasa kenyang.
Dalam
situasi seperti tersebut di atas, tombol dan lubang tadi merupakan stimulus,
sedangkan rasa lapar yang Anda alami adalah motivasi. Kedua unsur ini lalu
menimbulkan respons khusus (penekanan tombol) yang akan terus meningkat dan
lebih teratur, karena adanya penguat (reinforcer)
yakni kue mari. Peristiwa seperti ini dalam psikologi belajar dikenal dengan
istilah instrumental conditioning atau operant conditioning. Menurut Houston
(1986), respons-respons stimuli itulah yang disebut instrumental (penolong) yang berguna untuk memeroleh sesuatu atau
perubahan yang diharapkan.
Namun
perlu dipertanyakan, apakah belajar itu benar-benar hanya ditandai oleh adanya
interaksi antara stimulus itu bukan semata-mata masalah respons terhadap
rangsangan yang ada, melainkan (yang terpenting) karena adanya self-direction, pengaturan dan
pengarahan diri yang dikontrol oleh otak. Fungsi otak sebagai pengendali
seluruh aktivitas mental dan behavioral, menurut tinjauan cognitivitas (para
ahli kognitif) sangat menentukan proses belajar manusia (Syah, 1992).
Ambilah
sebuah contoh, seorang anak balita sedang mempelajari kata “kucing” dari
ibunya. Ketika anak itu melihat kucing jantan, kecil, dan berbulu hitam di
rumahnya, ibunya berkata, “Itu kucing,” lalu anak itu menirukan, “Itu kucing”.
Citra kucing yang ia lihat menjadi echoic
memory yang semuanya terserap oleh sensory
register dan tersimpan dalam gudang sementara ini selama kurang dari satu
detik. Kemudian informasi dalam bentuk citra dan gema tersebut (iconic dan echoic) diserap oleh short
term memory (subsistem akal jangka pendek) untuk diproses menjadi arti-arti
selama kurang dari satu detik, lalu diserap oleh subsistem memori/akal
permanen. Dalam subsistem akal permanen anak balita tadi, telah tersimpan juga
item-item informasi lain seperti kata “bagus”, kata “suka”, dan item-item
lainnya yang pernah ia lihat atau dengar sebelumnya.
Kemudian,
keesokan harinya anak balita tadi melihat kucing lain di luar rumahnya, dan
ibunya bertanya, “Apa itu? Saat pertanyaan ini diterima, sistem akal anak
tersebut kembali berproses mencari jawaban, dan hasilnya di luar dugaan.
Ternyata bukan hanya kata “kucing” yang ia peroleh melainkan juga kata “bagus”
dan kata “suka” dalam tatanan kalimat yang logis. Ia menjawab, “Itu kucing
bagus, Bu! Saya suka”. Padahal, struktur kalimat yang melibatkan tiga kata itu
(kucing, bagus, dan suka) tak pernah ia pelajari. Bahkan, kucing yang ia lihat
di luar rumahnya itu pun jenis kelamin dan warnanya berbeda dengan kucing yang
ia lihat di rumahnya kemarin.
Alhasil,
belajar pada hakikatnya merupkan proses kognitif yang mendapat dukungan dari
fungsi ranah psikomotor. Fungsi psikomotor dalam hal ini meliputi: mendengar,
melihat, mengucapkan. Apapun jenis dan manifestasi belajar yang dilakukan siswa
Anda, hampir dapat dipastikan selalu melibatkan fungsi ranah akalnya yang
intensitas penggunaannya tentu berbeda dengan peristiwa lainnya. Tugas Anda
dalam hal ini memberi contoh penggunaan strategi kognitif yang tepat dalam arti
sesuai dengan kapasitas umum siswa-siswa Anda dan selaras dengan kebutuhan dan
tingkat kesulitan materi yang Anda ajarkan kepada mereka.
Sumber
: Buku Psikologi Pendidikan, Muhibbin Syah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar