Senin, 27 Oktober 2014

Definisi dan Contoh Belajar


 

Belajar adalah kegiatan yang berproses dan merupakan unsur yang sangat fundamental dalam penyelenggaraan setiap jenis dan jenjang pendidikan. Ini berarti bahwa berhasil atau gagalnya pencapaian tujuan pendidikan itu amat bergantung pada proses belajar yang dialami siswa, baik ketika ia berada di sekolah maupun lingkungan rumah atau keluarganya sendiri.

Oleh karenanya, pemahaman yang benar mengenai arti belajar dengan segala aspek, bentuk, dan manifestasinya mutlak diperlukan oleh para pendidik khususnya para guru. Kekeliruan atau ketidaklengkapan persepsi mereka terhadap proses belajar dan hal-hal yang berkaitan dengannya mungkin akan mengakibatkan kurang bermutunya hasil pembelajaran yang dicapai peserta didik.

1.      Definisi Belajar

Sebagian orang beranggapan bahwa belajar adalah semata-mata mengumpulkan atau menghafalkan fakta-fakta yang tersaji dalam bentuk informasi/materi pelajaran. Orang yang beranggapan demikian biasanya akan segera merasa bangga ketika anak-anaknya telah mampu menyebutkan kembali secara lisan (verbal) sebagian besar informasi yang terdapat dalam buku teks atau yang diajarkan oleh guru.

Di samping itu, ada pula sebagian orang yang memandang belajar sebagai pelatihan belaka seperti yang tampak pada pelatihan membaca dan menulis. Berdasarkan persepsi semacam ini, biasanya mereka akan  merasa cukup puas bila anak-anak mereka telah mampu memperlihatkan keterampilan jasmaniah tertentu walaupun tanpa pengetahuan mengenai arti, hakikat, dan tujuan keterampilan tersebut.

Untuk menghindari ketidaklengkapan persepsi tersebut, penyusun akan melengkapi sebagian definisi mereka dengan komentar dan interpretasi seperlunya.

Skinner, seperti yang dikutip Barlow (1985) dalam bukunya Educational Psychology: The Teaching-Learning Process, berpendapat bahwa belajar adalah suatu proses adaptasi atau penyesuaian tingkah laku yang berlangsung secara progresif. Pendapat ini diungkapkan dalam pernyataan ringkasnya, bahwa belajar adalah . . . a process of progressive behavior adaptation. Berdasarkan eksperimennya, B.F. Skinner percaya bahwa proses adaptasi tersebut akan mendatangkan hasil yang optimal apabila ia diberi penguat (reinforce).

Skinner, seperti juga Pavlov dan Guthrie, adalah seorang pakar teori belajar berdasarkan proses conditioning yang pada prinsipnya memperkuat dugaan bahwa timbulnya tingkah laku itu lantaran adanya hubungan antara stimulus (rangsangan) dengan respons. Namun, patut dicatat bahwa definisi yang bersifat behavioristik ini dibuat berdasarkan hasil eksperimen dengan menggunakan hewan, sehingga tidak sedikit pakar yang menentangnya.

Chaplin dalam Dictionary of Psychology membatasi belajar dengan dua macam rumusan. Rumusan pertama berbunyi: …. acquisition of any relatively permanent change in behavior as a result of practice and experience. Belajar adalah perolehan perubahan tingkah laku yang relatif menetap sebagai akibat praktik dan pengalaman. Rumusan keduanya Process of acquiring responses as a result of special practice, belajar ialah proses memperoleh respons-respons sebagai akibat adanya pelatihan khusus.

Hintzman dalam bukunya The Psychology of Learning and Memory berpendapat Learning is a change in organism due to experience which can affect the organism’s behavior. Artinya, belajar adalah suatu perubahan yang terjadi dalam diri organisme (manusia atau hewan) disebabkan oleh pengalaman yang dapat memengaruhi tingkah laku organisme tersebut. Jadi, dalam pandangan Hintzman, perubahan yang ditimbulkan oleh pengalaman tersebut baru dapat dikatakan belajar apabila memengaruhi organisme.

Dalam penjelasan lanjutannya, pakar psikologi belajar itu menambahkan bahwa pengalaman hidup sehari-hari dalam bentuk apa pun sangat memungkinkan untuk diartikan sebagai belajar. Sebab, sampai batas tertentu pengalaman hidup juga berpengaruh besar terhadap pembentukan kepribadian organisme yang bersangkutan. Mungkin, inilah dasar pemikiran yang mengilhami gagasan everyday learning (belajar sehari-hari) yang dipopulerkan oleh Profesor John B. Biggs.

Wittig dalam bukunya Psychology of Learning mendefinisikan belajar sebagai: any relatively permanent change in a organism’s behavioral repertoire that occurs as a result of experience. Belajar ialah perubahan yang relatif menetap yang terjadi dalam segala macam/keseluruhan tingkah laku suatu organisme sebagai hasil pengalaman.

Perlu kiranya dicatat, bahwa definisi Wittig tidak menekankan perubahan yang disebut behavioral change tetapi behavioral repertoire change, yakni perubahan yang menyangkut seluruh aspek psiko-fisik organisme. Penekanan yang berbeda ini didasarkan pada kepercayaan bahwa tingkah laku lahiriah organisme itu sendiri bukan indikator adanya peristiwa belajar, karena proses belajar itu tidak dapar diobservasi secara langsung.

Reber dalam kamus susunannya yang tergolong modern, Dictionary of Psychology membatasi belajar dengan dua macam definisi. Pertama, belajar adalah The process of acquiring knowledge, yakni proses memeroleh pengetahuan. Pengertian ini biasanya lebih sering dipakai dalam pembahasan psikologi kognitif yang oleh sebagian ahli dipandang kurang representatif karena tidak mengikutsertakan perolehan keterampilan nonkognitif.

Kedua, belajar adalah A relatively permanent change in respons potentiality which occurs as a result of reinforced practice, yaitu suatu perubahan kemampuan bereaksi yang relatif langgeng sebagai hasil praktik yang diperkuat. Dalam definisi ini terdapat empat macam istilah yang esensial dan perlu disoroti untuk memahami proses belajar.

1.      Relatively permanent, yang secara umum menetap.

2.      Response potentiality, kemampuan bereaksi.

3.      Reinforced, yang diperkuat.

4.      Practice, praktik atau latihan.

Istilah 1) konotasinya ialah bahwa perubahan yang bersifat sementara seperti perubahan karena mabuk, lelah, jenuh, dan perubahan karena kematangan fisk tidak termasuk belajar. Istilah 2) berarti menunjukkan pengakuan terhadap adanya perbedaan antara belajar dengan penampilan atau kinerja hasil-hasil belajar. Hal ini merefleksikan keyakinan bahwa belajar itu merupakan peristiwa hipotesis yang hanya dapat dikenali melalui perubahan kinerja akademik yang dapat diukur. Istilah 3) konotasinya ialah bahwa kemajuan yang didapat dari proses belajar mungkin akan musnah atau sangat lemah apabila tidak diberi penguatan. Adapun istilah yang terakhir, yakni practice, menunjukkan bahwa proses belajar itu membutuhkan latihan yang berulang-ulang untuk menjamin kelestarian kinerja akademik yang telah dicapai siswa.

Biggs dalam pendahuluan Teaching for Learning mendefinisikan belajar dalam tiga macam rumusan, yaitu: rumusan kuantitatif; rumusan institusioanl; rumusan kualitatif. Dalam rumusan-rumusan ini, kata-kata seperti perubahan dan tingkah laku tidak lagi disebut secara eksplisit mengingat kedua istilah ini sudah menjadi kebenaran umum yang diketahui semua orang yang terlibat dalam proses pendidikan.

Secara kuantitatif (ditinjau dari sudut jumlah), belajar berarti kegiatan pengisian atau pengembangan kemampuan kognitif dengan fakta sebanyak-banyaknya. Jadi, belajar dalam hal ini dipandang dari sudut banyaknya materi yang dikuasai siswa.

Secara institusional (tinjauan kelembagaan), belajar dipandang sebagai proses “validitas” atau pengabsahan terhadap penguasaan siswa atas materi-materi yang telah ia pelajari. Bukti institusional yang menunjukkan siswa telah belajar dapat diketahui sesuai proses mengajar. Ukurannya, semakin baik mutu guru mengajar akan semakin baik pula mutu perolehan siswa yang kemudian dinyatakan dalam bentuk skor.

Adapun pengertian belajar secara kualitatif (tinjauan mutu) ialah proses memeroleh arti-arti dan pemahaman-pemahaman serta cara-cara menafsirkan dunia di sekeliling siswa. Belajar dalam pengertian ini difokuskan pada tercapainya daya pikir dan tindakan yang berkualitas untuk memecahkan masalah-masalah yang kini dan nanti dihadapi siswa.

Timbulnya keanekaragaman pendapat para ahli tersebut adalah fenomena perselisihan yang wajar karena adanya perbedaan titik pandang. Selain itu, perbedaan antara satu situasi belajar dengan situasi belajar lainnya yang diamati oleh para ahli juga dapat menimbulkan perbedaan pandanga. Situasi belajar menulis, misalnya, tentu tidak sama dengan situasi belajar matematika. Namun demikian, dalam beberapa hal tertentu yang mendasar, mereka sepakat seperti dalam penggunaan istilah “berubah” dan “tingkah laku”.

Bertolak dari berbagai definisi yang telah diutarakan tadi, secara umum belajar dapat dipahami sebagai tahapan perubahan seluruh tingkah laku individu yang relatif menetap sebagai hasil pengalaman dan interaksi dengan lingkungan yang melibatkan proses kognitif. Sehubungan dengan pengertian ini perlu diutarakan sekali lagi bahwa perubahan tingkah laku yang timbul akibat proses kematangan, keadaan gila, mabuk, lelah, dan jenuh tidak dapat dipandang sebagai proses belajar.

2.      Contoh Belajar

Dalam mempermudah pemahaman Anda mengenai cara sebenarnya proses belajar itu berlangsung, berikut ini akan penyusun kemukakan dua contoh sederhana sebagai gambaran. Setelah itu, akan penyusun kemukakan pula sebuah contoh tandingan yang disertai komentar seperlunya.

Seorang anak balita memeroleh mobil-mobilan dari ayahnya. Lalu ia mencoba mainan ini dengan cara memutar kuncinya dan meletakkannya pada suatu permukaan atau dataran. Perilaku “memutar” dan “meletakkan” tersebut merupakan respons atau reaksi atas rangsangan yang timbul/ada pada mainan itu (misalnya, kunci dan roda mobil-mobilan tersebut).

Pada tahap permulaan, respons anak terhadap stimulus yang ada pada mainan tadi biasanya tidak tepat atau setidak-tidaknya tidak teratur. Namun, berkat praktik dan pengalaman berulang-ulang, lambat laun ia menguasai dan akhirnya dapat memainkan mobil-mobilan dengan baik dan sempurna. Sehubungan dengan contoh ini, belajar dapat kita pahami sebagai proses yang dengan proses itu sebuah tingkah laku ditimbulkan atau diperbaiki melalui serentetan reaksi atas situasi atau rangsangan yang ada.

Contoh lainnya, bayangkanlah bahwa Anda sedang berada dalam sebuah ruangan yang pintu dan jendelanya terkunci rapat. Anda sangat lapar, tetapi tidak tahu cara mengatasi kelaparan itu. Apakah yang dapat Anda lakukan? Mungkin Anda akan berteriak meminta pertolongan, tetapi Anda tidak melakukannya. Daripada berteriak-teriak Anda merasa lebih baik mengelilingi ruangan itu, mengamati-amati seluruh bagiannya, bahkan meraba-raba sambil mencari sesuatu berkali-kali.

Akhirnya Anda menemukan sebuah tombol kecil dekat sebuah lubang tipis yang lebarnya kira-kira 10 cm. Anda menekan tombol itu, lalu terdengar bunyi “tit-tit-tit” diiringi suara laksana jatuhnya sebuah benda ringan. Namun Anda tidak melihat apa-apa. Menghadapi situasi seperti ini mungkin Anda akan mundur untuk menghindari sesuatu yang mencelakakan. Tapi ketika suara aneh tadi berhenti, tiba-tiba sebuah benda tipis dan bulat muncul dari lubang. Kue mari! Kemudian kue ini Anda makan. Selanjutnya, karena Anda masih merasa lapar, tombol itu Anda tekan lagi berkali-kali untuk menghasilkan kue mari sebanyak-banyaknya, hingga Anda akhirnya merasa kenyang.

Dalam situasi seperti tersebut di atas, tombol dan lubang tadi merupakan stimulus, sedangkan rasa lapar yang Anda alami adalah motivasi. Kedua unsur ini lalu menimbulkan respons khusus (penekanan tombol) yang akan terus meningkat dan lebih teratur, karena adanya penguat (reinforcer) yakni kue mari. Peristiwa seperti ini dalam psikologi belajar dikenal dengan istilah instrumental conditioning atau operant conditioning. Menurut Houston (1986), respons-respons stimuli itulah yang disebut instrumental (penolong) yang berguna untuk memeroleh sesuatu atau perubahan yang diharapkan.

Namun perlu dipertanyakan, apakah belajar itu benar-benar hanya ditandai oleh adanya interaksi antara stimulus itu bukan semata-mata masalah respons terhadap rangsangan yang ada, melainkan (yang terpenting) karena adanya self-direction, pengaturan dan pengarahan diri yang dikontrol oleh otak. Fungsi otak sebagai pengendali seluruh aktivitas mental dan behavioral, menurut tinjauan cognitivitas (para ahli kognitif) sangat menentukan proses belajar manusia (Syah, 1992).

Ambilah sebuah contoh, seorang anak balita sedang mempelajari kata “kucing” dari ibunya. Ketika anak itu melihat kucing jantan, kecil, dan berbulu hitam di rumahnya, ibunya berkata, “Itu kucing,” lalu anak itu menirukan, “Itu kucing”. Citra kucing yang ia lihat menjadi echoic memory yang semuanya terserap oleh sensory register dan tersimpan dalam gudang sementara ini selama kurang dari satu detik. Kemudian informasi dalam bentuk citra dan gema tersebut (iconic dan echoic) diserap oleh short term memory (subsistem akal jangka pendek) untuk diproses menjadi arti-arti selama kurang dari satu detik, lalu diserap oleh subsistem memori/akal permanen. Dalam subsistem akal permanen anak balita tadi, telah tersimpan juga item-item informasi lain seperti kata “bagus”, kata “suka”, dan item-item lainnya yang pernah ia lihat atau dengar sebelumnya.

Kemudian, keesokan harinya anak balita tadi melihat kucing lain di luar rumahnya, dan ibunya bertanya, “Apa itu? Saat pertanyaan ini diterima, sistem akal anak tersebut kembali berproses mencari jawaban, dan hasilnya di luar dugaan. Ternyata bukan hanya kata “kucing” yang ia peroleh melainkan juga kata “bagus” dan kata “suka” dalam tatanan kalimat yang logis. Ia menjawab, “Itu kucing bagus, Bu! Saya suka”. Padahal, struktur kalimat yang melibatkan tiga kata itu (kucing, bagus, dan suka) tak pernah ia pelajari. Bahkan, kucing yang ia lihat di luar rumahnya itu pun jenis kelamin dan warnanya berbeda dengan kucing yang ia lihat di rumahnya kemarin.

Alhasil, belajar pada hakikatnya merupkan proses kognitif yang mendapat dukungan dari fungsi ranah psikomotor. Fungsi psikomotor dalam hal ini meliputi: mendengar, melihat, mengucapkan. Apapun jenis dan manifestasi belajar yang dilakukan siswa Anda, hampir dapat dipastikan selalu melibatkan fungsi ranah akalnya yang intensitas penggunaannya tentu berbeda dengan peristiwa lainnya. Tugas Anda dalam hal ini memberi contoh penggunaan strategi kognitif yang tepat dalam arti sesuai dengan kapasitas umum siswa-siswa Anda dan selaras dengan kebutuhan dan tingkat kesulitan materi yang Anda ajarkan kepada mereka.

Sumber : Buku Psikologi Pendidikan, Muhibbin Syah.

Tidak ada komentar:

Kisah Mata Air Keabadian

Kisah ini diriwayatkan oleh Ats-Tsa’labi dari Imam Ali ra. Pada zaman dahulu hiduplah seorang hamba Allah SWT yang melebihkan kepada d...