Rabu, 22 Oktober 2014

Filsafat dan Ilmu Pengetahuan


 

Pertama-tama, perlu kita ingat bahwa sampai tahun 1500-an, dalam hal wacana yang mendalam dan bersungguh-sungguh, di luar wacana keagamaan, tidak dibedakan antara filsafat dan ilmu pengetahuan karena setiap wacana mengenai apa pun disebut filsafat. Ada alasan-alasan yang masuk akal mengenai itu. Pertama, bahwa pada umumnya, wacana itu berdasarkan logika, kemampuan orang untuk berpikir secara lurus. Meskipun berpikir dengan menggunakan logika yang dijamin lurusnya, tetapi untuk bidang ilmu pengetahuan, wacana tersebut dapat dinilai tidak memadai. Kedua, wacana tersebut dilakukan secara mendalam dan mendasar sehingga dapat melampaui pembicaraan ilmiah yang berdasarkan asumsi-asumsi.

Pertanyaan atau masalahnya sekarang adalah “Apakah yang dimaksud dengan pengetahuan itu? Mengapa ada pengetahuan dan mengapa pula ada ilmu pengetahuan? Apa yang dimaksud dengan ilmu itu? “Secara bahasa, ilmu pengetahuan dan ilmu tidak ada perbedaan secara prinisp karena ilmu pengetahuan hanya memberikan tekanan pada ilmu, ialah dalam sisi sistematika dan reliabilitas dan validitas. Akan tetapi, memang perlu untuk membedakan pengetahuan dari ilmu pengetahuan? Syarat-syarat apakah yang harus dipenuhi oleh ilmu pengetahuan? Apakah yang disebut ilmiah? Untuk mencapai kebenaran yang tertinggi, Adakah batas kemampuan (ilmu) pengetahuan? Sebagai pertanyaan terakhir, pada intinya adalah “Sampai berapa jauh kebenaran ilmu pengetahuan itu dapat dipercaya?” Untuk dapat menjawab pertanyaan itu, ilmu pengetahuan perlu dikonfrontasikan dengan filsafat.

Pertama, adakah perbedaan dan persamaan antara filsafat dan ilmu pengetahuan? Lalu, adakah perkembangan di antara keduanya? Atau, adakah perubahan pada orang yang melihat dan menanggapi, bukan ilmu, bukan pula filsafat itu sendiri? Bagaimanakah hubungan di antara kedua disiplin itu?

Pengertian ilmu pengetahuan meliputi pengertian “tahu”, “mengetahui”, dan “pengetahuan”. Pertama, ilmu pengetahuan merupakan suatu keadaan seseorang. Kedua, ilmu pengetahuan merupakan kecakapan untuk mengetahui secara tersusun (sistematis). Segi kedua mencakup suatu aksi atau tindakan, dan suatu usaha. Seorang ahli dalam ilmu tertentu harus sanggup menggunakan pengertian-pengertian ilmu pengetahuan. Ia harus sanggup berpikir dan berbuat atas dasar ilmu pengetahuan tersebut. Penelitian atau riset menuntut kecakapan tersebut. Ketiga, ilmu pengetahuan merupakan pengetahuan tersusun, yaitu susunan dari rumusan pendapat-pendapat tertentu.

Segi pertama merupakan suatu usaha, sedangkan segi kedua tertuju pada hasil usaha. Adapun usaha serta hasilnya tersusun. Telah kita ketahui, pengetahaun timbul berdasarkan persoalan. Setiap ilmu menghadapi pokok persoalan tertentu sehingga melahirkan sekelompok persoalan. Kelompok persoalan itu merupakan suatu keseluruhan berdasarkan pokok persoalan tersebut. Sesuatu disebut keseluruhan jika tersusun, yaitu menunjukkan struktur atau hubungan-hubungan tertentu.

Berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan batasan-batasan sebagai berikut. Ilmu pengetahuan ialah usaha mencapai serta merumuskan sejumlah pendapat yang tersusun sekitar keseluruhan persoalan. Dalam meneliti batasan tersebut, tampak adanya persesuaian antara ilmu pengetahuan dan filsafat. Baik ilmu, maupun filsafat menghadapi suatu keseluruhan persoalan atau problematika. Adapun usaha untuk menyelesaikan masalah-maslah tersebut merupakan usaha yang dirumuskan dalam metode tertentu. Kelak, kita akan melihat bagaimana metode itu memegang peranan penting. Berdasarkan batasan tersebut, filsafat dipandang sebagai ilmu pengetahuan.

Di samping persesuaian, dapat pula dikemukakan perbedaannya. Sesungguhnya, usaha untuk mengetahui sesuatu menyangkut seluruh kepribadian kita. Artinya, bahwa mengetahui itu tidak terbatas pada kecerdasan akal dan alat indra, tetapi kecerdasan manusia sebagai keseluruhan. Menuntut ilmu merupakan usaha atau kecerdasan intelektual, sedangkan filsafat menuntut penghayatan eksistensial, yaitu keyakinan yang didukung segenap jiwa dan raga orang yang berfilsafat.

Selanjutnya, jika ilmu itu menunjukkan kemajuan dalam jumlah pendapat yang terumus, kemajuan filsafat bersifat relatif. Perumusan masalah ataupun jawaban pada masa lampau belum tentu bertaraf lebih rendah daripada perumusan dewasa ini. Demikian pula cara kita berfilsafat, belum tentu lebih unggul daripada pemikiran Plato. Hal ini berhubungan dengan kenyataan, bahwa setiap orang yang berfilsafat harus menyatukan filsafat ke dalam kehidupan pribadinya. Berfilsafat itu menuntut penentuan sikap terhadap masalah-masalah pokok. Hal ini harus dilakukan oleh orang yang berfilsafat, tidak dapat digantikan oleh orang lain. Inilah yang disebut penghayatan eksistensial.

Kemajuan relatif dalam filsafat dapat disimpulkan dari kenyataan, bahwa dewasa ini, kita lebih sadar akan masalah serta penyelesaiannya berkat perumusan tokoh-tokoh pada masa lampau. Baik ilmu, maupun filsafat menghasilkan pengetahuan. Apakah filsafat itu merupakan suatu disiplin ilmu di samping berbagai ilmu pengetahuan? Kerap kali, filsafat disebut “ibu segenap ilmu”. Berdasarkan kenyataan, bahwa pada masa Yunani Purba, hanya dikenal satu ilmu, yakni filsafat. Lambat laun, ilmu pengetahuan dalam berbagai bidang melepaskan diri dari filsafat. Misalnya, metafisika khusus karena di dalamnya membicarakan hakikat fisik (sesuatu yang ada). Selanjutnya, metafisika melahirkan berbagai asumsi mengenai fisika sehingga lahirlah fisika. Fisika mempersoalkan alam semesta. Dari sinilah timbul ilmu kimia, ilmu hayat, dan sebagainya.

Sebagaimana telah kita ketahui, sebagian orang memandang filsafat sebagai suatu ilmu yang mencakup segenap ilmu lainnya. Dewasa ini, pandangan tersebut tidak dapat dibenarkan. Dari sudut objek material, pandangan tersebut memang benar, bahwa filsafat mencakup segala sesuatu. Akan tetapi, objek formal filsafat dan berbagai ilmu pengetahuan jelas berbeda. Ilmu alam, ilmu kimia, dan ilmu hayat mempelajari alam, namun hakikat alam itu sendiri tidak dipersoalkan. Itulah yang menjadi objek filsafat. Psikologi, sosiologi, dan sejarah mempelajari manusia dari berbagai sudut, tetapi tidak mempersoalkan hakikat manusia yang menjadi tugas filsafat.

Meskipun demikian, hakikat alam dan hakikat manusia, pada asasnya merupakan hakikat segala sesuatu yang tidak dipelajari berbagai ilmu pengetahuan. Akan tetapi, pandangan tentang hakikat sesuatu mendasari pendapat dalam berbagai bidang ilmu. Misalnya, ilmu alam mendasarkan segenap pendapatnya atas adanya kausalitas atau sebab-akibat. Dalam filsafat, hakikat kausalitas itu sendiri menjadi masalah. Demikian anggapan dasar yang  secara logis mendahului pendapat-pendapat dalam ilmu pengetahuan. Hal itu acap kali disebut pra-ilmiah.

Mengapa batasan ilmu pengetahuan sebagaimana telah dikemukakan, pada asasnya tidak melihat perbedaan hakiki antara ilmu dan filsafat sehingga pengertian pra-ilmiah terhadap filsafat kurang dapat dipertanggungjawabakan? Oleh karena itu, masalah pra-ilmiah lebih tepat disebut masalah filsafat yang menghasilkan anggapan dasar atau postulat terhadap ilmu pengetahuan. Manusia sebagai kesatuan psikofisis merupakan suatu postulat bagi psikologi, yakni bahwa pendapat tersebut bukan pendapat psikologis dan bukan hasil pembuktian psikologis, melainkan pendapat filsafat yang mendasari psikologi.

Ternyata, banyak orang dalam berbagai ilmu pengetahuan menyandarkan dirinya pada postulat yang tidak atau kurang mereka sadari. Perkembangan, baik filsafat maupun ilmu pengetahuan dewasa ini mengarah pada kepentingan penyadaran akan postulat-postulat itu. Sebagai pengingat, bahwa postulat adalah anggapan dasar terhadap ilmu pengetahuan yang dibahasnya, hampir sama dengan asumsi. Asumsi merupakan anggapan dasar yang memiliki evidensi apodkitis, ialah kebenaran yang tidak perlu dibuktikan dan dibicarakan lagi, sedangkan postulat masih dapat dibicarakan lagi setelah perbincangan selesai.     

Sumber : Buku Pengantar Filsafat, Sutardjo A. Wiramihardja

Tidak ada komentar:

Kisah Mata Air Keabadian

Kisah ini diriwayatkan oleh Ats-Tsa’labi dari Imam Ali ra. Pada zaman dahulu hiduplah seorang hamba Allah SWT yang melebihkan kepada d...