Pertama-tama,
perlu kita ingat bahwa sampai tahun 1500-an, dalam hal wacana yang mendalam dan
bersungguh-sungguh, di luar wacana keagamaan, tidak dibedakan antara filsafat
dan ilmu pengetahuan karena setiap wacana mengenai apa pun disebut filsafat.
Ada alasan-alasan yang masuk akal mengenai itu. Pertama, bahwa pada umumnya,
wacana itu berdasarkan logika, kemampuan orang untuk berpikir secara lurus.
Meskipun berpikir dengan menggunakan logika yang dijamin lurusnya, tetapi untuk
bidang ilmu pengetahuan, wacana tersebut dapat dinilai tidak memadai. Kedua,
wacana tersebut dilakukan secara mendalam dan mendasar sehingga dapat melampaui
pembicaraan ilmiah yang berdasarkan asumsi-asumsi.
Pertanyaan
atau masalahnya sekarang adalah “Apakah yang dimaksud dengan pengetahuan itu?
Mengapa ada pengetahuan dan mengapa pula ada ilmu pengetahuan? Apa yang
dimaksud dengan ilmu itu? “Secara bahasa, ilmu pengetahuan dan ilmu tidak ada
perbedaan secara prinisp karena ilmu pengetahuan hanya memberikan tekanan pada
ilmu, ialah dalam sisi sistematika dan reliabilitas dan validitas. Akan tetapi,
memang perlu untuk membedakan pengetahuan dari ilmu pengetahuan? Syarat-syarat
apakah yang harus dipenuhi oleh ilmu pengetahuan? Apakah yang disebut ilmiah?
Untuk mencapai kebenaran yang tertinggi, Adakah batas kemampuan (ilmu)
pengetahuan? Sebagai pertanyaan terakhir, pada intinya adalah “Sampai berapa
jauh kebenaran ilmu pengetahuan itu dapat dipercaya?” Untuk dapat menjawab
pertanyaan itu, ilmu pengetahuan perlu dikonfrontasikan dengan filsafat.
Pertama,
adakah perbedaan dan persamaan antara filsafat dan ilmu pengetahuan? Lalu,
adakah perkembangan di antara keduanya? Atau, adakah perubahan pada orang yang
melihat dan menanggapi, bukan ilmu, bukan pula filsafat itu sendiri?
Bagaimanakah hubungan di antara kedua disiplin itu?
Pengertian
ilmu pengetahuan meliputi pengertian “tahu”, “mengetahui”, dan “pengetahuan”.
Pertama, ilmu pengetahuan merupakan suatu keadaan seseorang. Kedua, ilmu
pengetahuan merupakan kecakapan untuk mengetahui secara tersusun (sistematis).
Segi kedua mencakup suatu aksi atau tindakan, dan suatu usaha. Seorang ahli
dalam ilmu tertentu harus sanggup menggunakan pengertian-pengertian ilmu
pengetahuan. Ia harus sanggup berpikir dan berbuat atas dasar ilmu pengetahuan
tersebut. Penelitian atau riset menuntut kecakapan tersebut. Ketiga, ilmu
pengetahuan merupakan pengetahuan tersusun, yaitu susunan dari rumusan
pendapat-pendapat tertentu.
Segi
pertama merupakan suatu usaha, sedangkan segi kedua tertuju pada hasil usaha.
Adapun usaha serta hasilnya tersusun. Telah kita ketahui, pengetahaun timbul
berdasarkan persoalan. Setiap ilmu menghadapi pokok persoalan tertentu sehingga
melahirkan sekelompok persoalan. Kelompok persoalan itu merupakan suatu
keseluruhan berdasarkan pokok persoalan tersebut. Sesuatu disebut keseluruhan
jika tersusun, yaitu menunjukkan struktur atau hubungan-hubungan tertentu.
Berdasarkan
uraian tersebut, dapat disimpulkan batasan-batasan sebagai berikut. Ilmu
pengetahuan ialah usaha mencapai serta merumuskan sejumlah pendapat yang tersusun
sekitar keseluruhan persoalan. Dalam meneliti batasan tersebut, tampak adanya
persesuaian antara ilmu pengetahuan dan filsafat. Baik ilmu, maupun filsafat
menghadapi suatu keseluruhan persoalan atau problematika. Adapun usaha untuk
menyelesaikan masalah-maslah tersebut merupakan usaha yang dirumuskan dalam
metode tertentu. Kelak, kita akan melihat bagaimana metode itu memegang peranan
penting. Berdasarkan batasan tersebut, filsafat dipandang sebagai ilmu
pengetahuan.
Di
samping persesuaian, dapat pula dikemukakan perbedaannya. Sesungguhnya, usaha
untuk mengetahui sesuatu menyangkut seluruh kepribadian kita. Artinya, bahwa
mengetahui itu tidak terbatas pada kecerdasan akal dan alat indra, tetapi
kecerdasan manusia sebagai keseluruhan. Menuntut ilmu merupakan usaha atau
kecerdasan intelektual, sedangkan filsafat menuntut penghayatan eksistensial,
yaitu keyakinan yang didukung segenap jiwa dan raga orang yang berfilsafat.
Selanjutnya,
jika ilmu itu menunjukkan kemajuan dalam jumlah pendapat yang terumus, kemajuan
filsafat bersifat relatif. Perumusan masalah ataupun jawaban pada masa lampau
belum tentu bertaraf lebih rendah daripada perumusan dewasa ini. Demikian pula
cara kita berfilsafat, belum tentu lebih unggul daripada pemikiran Plato. Hal
ini berhubungan dengan kenyataan, bahwa setiap orang yang berfilsafat harus
menyatukan filsafat ke dalam kehidupan pribadinya. Berfilsafat itu menuntut
penentuan sikap terhadap masalah-masalah pokok. Hal ini harus dilakukan oleh
orang yang berfilsafat, tidak dapat digantikan oleh orang lain. Inilah yang
disebut penghayatan eksistensial.
Kemajuan
relatif dalam filsafat dapat disimpulkan dari kenyataan, bahwa dewasa ini, kita
lebih sadar akan masalah serta penyelesaiannya berkat perumusan tokoh-tokoh
pada masa lampau. Baik ilmu, maupun filsafat menghasilkan pengetahuan. Apakah
filsafat itu merupakan suatu disiplin ilmu di samping berbagai ilmu
pengetahuan? Kerap kali, filsafat disebut “ibu segenap ilmu”. Berdasarkan
kenyataan, bahwa pada masa Yunani Purba, hanya dikenal satu ilmu, yakni
filsafat. Lambat laun, ilmu pengetahuan dalam berbagai bidang melepaskan diri
dari filsafat. Misalnya, metafisika khusus karena di dalamnya membicarakan
hakikat fisik (sesuatu yang ada). Selanjutnya, metafisika melahirkan berbagai
asumsi mengenai fisika sehingga lahirlah fisika. Fisika mempersoalkan alam
semesta. Dari sinilah timbul ilmu kimia, ilmu hayat, dan sebagainya.
Sebagaimana
telah kita ketahui, sebagian orang memandang filsafat sebagai suatu ilmu yang
mencakup segenap ilmu lainnya. Dewasa ini, pandangan tersebut tidak dapat
dibenarkan. Dari sudut objek material, pandangan tersebut memang benar, bahwa
filsafat mencakup segala sesuatu. Akan tetapi, objek formal filsafat dan
berbagai ilmu pengetahuan jelas berbeda. Ilmu alam, ilmu kimia, dan ilmu hayat
mempelajari alam, namun hakikat alam itu sendiri tidak dipersoalkan. Itulah
yang menjadi objek filsafat. Psikologi, sosiologi, dan sejarah mempelajari
manusia dari berbagai sudut, tetapi tidak mempersoalkan hakikat manusia yang
menjadi tugas filsafat.
Meskipun
demikian, hakikat alam dan hakikat manusia, pada asasnya merupakan hakikat
segala sesuatu yang tidak dipelajari berbagai ilmu pengetahuan. Akan tetapi,
pandangan tentang hakikat sesuatu mendasari pendapat dalam berbagai bidang
ilmu. Misalnya, ilmu alam mendasarkan segenap pendapatnya atas adanya
kausalitas atau sebab-akibat. Dalam filsafat, hakikat kausalitas itu sendiri
menjadi masalah. Demikian anggapan dasar yang
secara logis mendahului pendapat-pendapat dalam ilmu pengetahuan. Hal itu
acap kali disebut pra-ilmiah.
Mengapa
batasan ilmu pengetahuan sebagaimana telah dikemukakan, pada asasnya tidak
melihat perbedaan hakiki antara ilmu dan filsafat sehingga pengertian
pra-ilmiah terhadap filsafat kurang dapat dipertanggungjawabakan? Oleh karena
itu, masalah pra-ilmiah lebih tepat disebut masalah filsafat yang menghasilkan
anggapan dasar atau postulat terhadap ilmu pengetahuan. Manusia sebagai
kesatuan psikofisis merupakan suatu postulat bagi psikologi, yakni bahwa
pendapat tersebut bukan pendapat psikologis dan bukan hasil pembuktian
psikologis, melainkan pendapat filsafat yang mendasari psikologi.
Ternyata,
banyak orang dalam berbagai ilmu pengetahuan menyandarkan dirinya pada postulat
yang tidak atau kurang mereka sadari. Perkembangan, baik filsafat maupun ilmu
pengetahuan dewasa ini mengarah pada kepentingan penyadaran akan
postulat-postulat itu. Sebagai pengingat, bahwa postulat adalah anggapan dasar
terhadap ilmu pengetahuan yang dibahasnya, hampir sama dengan asumsi. Asumsi
merupakan anggapan dasar yang memiliki evidensi apodkitis, ialah kebenaran yang
tidak perlu dibuktikan dan dibicarakan lagi, sedangkan postulat masih dapat
dibicarakan lagi setelah perbincangan selesai.
Sumber
: Buku Pengantar Filsafat, Sutardjo A. Wiramihardja
Tidak ada komentar:
Posting Komentar