Sejarah
filsafat merupakan metode yang terkenal dan banyak digunakan orang dalam
mempelajari, bahkan merupakan metode yang sangat penting dalam belajar
berfilsafat. Tidak sekadar metode belajar berfilsafat, sejarah filsafat pun
merupakan subject matter tersendiri.
Dengan perkataan lain, sejarah filsafat bukan sekadar suatu wacana dalam rangka
membahas sesuatu apa pun. Sejarah filsafat meskipun dianggap sebagai bahan
pengetahuan tersendiri, pada dasarnya sejarah filsafat yang disajikan merupakan
“alat” untuk mengenai filsafat pada umumnya.
Mengapa
sejarah dianggap sebagai suatu metode dalam mempelajari filsafat dan belajar
berfilsafat? Untuk menjawabnya, kita perlu melihat sejarah sebagai suatu urutan
kejadian yang saling berhubungan, atau memiliki hubungan sebab akibat sehingga
suatu kejadian tidak terjadi begitu saja dan diartikan sebagai fenomena yang
berdiri sendiri. Hal yang terpenting bukan mengingat urutan kejadiannya,
melainkan makna di balik urutan kejadian pemikiran tersebut. Demikian pula
halnya pada saat kita melihat dan mempersepsikan kejadian-kejadian dalam
sejarah filsafat. Berdasarkan hal tersebut, penulis mengganti “sejarah
filsafat” dengan “sejarah perkembangan pemikiran filsafati”.
Pada
saat kita mempelajari filsafat melalui sejarah filsafat, berarti bahwa dengan
dasar kategori waktu, kita mempermasalahkan segala hal mengenai pemikiran
filsafati secara kronologis. Adapun hal-hal yang berhubungan dengan pemikiran
filsafati tersebut, antara lain membahas secara terperinci permasalahannya,
cara membahasnya, tempat kejadian dan lingkungan sosial budayanya, serta
hubungan bahasan suatu waktu dengan waktu lainnya.
Sepanjang
sejarah filsafat, filsafat barat mula-mula dikembangkan oleh Thales (600 SM), bentuk penyampaiannya
tidak secara langsung melalui tulisan. Filsafat timur dikenal melalui Wedda di India, pada tahun yang sama
dengan filsafat barat di Yunani. Demikian juga di Asia Tenggara, filsafat
dibangun oleh Sidharta Gautama, di
Asia Timur dan Cina dibangun oleh Kong
Hu Tzu atau Confucius (551-479
SM).
Sampai
saat ini, kita belum dapat mengetahui kapan sebenarnya filsafat mulai muncul.
Pada 60.000 tahun yang lalu atau Abad ke-600 SM, manusia pertama, yaitu Nabi
Adam dan Siti Hawa mulai menginjakkan kakinya di bumi, dengan tugas sebagai
wakil Tuhan di bumi dan memelihara alam semesta. Merekalah orang pertama yang
percaya dan yakin, bahwa Tuhan YME memberi mereka “alat” atau “senjata” berupa
akal termasuk kalbu. Dengan akalnya, manusia akan berpikir dan menempuh
kehidupannya dimuka bumi. Oleh karena itu, bersamaan dengan adanya manusia maka
pemikiran filsafat pun ada. Artinya, bahwa berfilsafat merupakan ciri manusia
sejak 600 abad SM, bukan 6 abad SM.
Pada
600 SM, ditemukan daerah-daerah sumber filsafat yang hingga saat ini telah diketahui
manusia. Pikiran-pikiran sebelumnya disebut sebagai masa pra-filsafat atau
pra-nalar. Prakiraan para ahli mengenai hal tersebut, bahwa pada 600 SM itu
telah terjadi perubahan besar dalam perkembangan pemikiran dan budaya manusia.
Perubahan tersebut lebih diyakini menyangkut adanya penulisan, budaya
tulis-menulis dengan berbagai bentuk jenisnya. Setelah 600-an SM, mulai muncul
tradisi penulisan buah pikiran tertentu. Oleh sebagian orang, istilah penulisan
itu ditempatkan di antara dua tanda kutip karena baru berupa tanda-tanda saja.
Mengapa
terjadi periodisasi dalam perkembangan filsafat? Hal ini karena adanya
ciri-ciri tertentu, berupa penekanan isi atau cara perbincangannya. Misalnya,
pada Abad XIX terdapat pemikiran bahwa manusia dengan daya pikirnya dianggap
memiliki kemampuan untuk menyelesaikan semua masalah. Apabila ada masalah yang
tidak terselesaikan, penyelesaiannya hanyalah soal waktu. Hal ini berbeda
dengan pikiran Abad XX, pada waktu itu terdapat pemikiran umum, bahwa manusia
mempunyai akal untuk dapat menyelesaikan berbagai masalah, tetapi terbatas atau
hanya untuk hal tertentu. Pada Abad XXI sekarang ini, terdapat kecenderungan
pemikiran transpersonal sesuai dengan pikiran Maslow (yang landasan-landasannya diletakkan oleh Jung) atau spiritual, dan kesadaran
akan keterbatasan manusia dalam berilmu, namun mulai melirik lebih jelas pada
peranan agama atau kerohanian dalam pengertian lebih luas sebagai sumber
kekuatan yang selama ini tersisihkan dari ilmu-ilmu yang sekular.
Dalam
buku ini, sejarah filsafat dibagi dalam lima periode, yaitu
A. Zaman
Yunai Kuno (600 SM-200 M)
B. Zaman
Patristik dan Pertengahan (200 M-1600 M)
C. Zaman
Modern (1600 M-1800 M)
D. Zaman
Baru (1800-1950)
E. Zaman
Pasca-modernisme (1950-…)
Setiap
zaman memiliki ciri khasnya sendiri-sendiri, baik bersangkutan dengan isi atau
materi wacana maupun metode dan tokoh-tokoh penggeraknya.
Zaman
Yunani Kuno (600 SM-200 M)
Pada
Zaman Yunani Kuno terdapat tiga periode masa sejarah filsafat, yaitu Masa Awal,
Masa Keemasan, serta Masa Helenitas dan Romawi (Bertens, 1976).
1. Masa
Awal Filsafat Yunani Kuno ditandai oleh tercatatnya tiga nama filsuf yang
berasal dari daerah Miletos, yaitu Thales,
Anaximandros, dan Anaximenes. Selain ketiga nama
tersebut, beberapa nama dari daerah lain, seperti Herakleitos dan Ephesos, Phytagoras
di Italia Selatan, Parmenides dari
Elena, dan Demokritos dari Abdera.
Pikiran-pikiran
Thales ditulis oleh murid-muridnya, yaitu Anaximandros dan Anaximenes.
Perhatiannya adalah pada alam dan kejadian alamiah, terutama dalam hubungannya
dengan perubahan-perubahan yang terjadi. Namun, mereka yakin bahwa terhadap
perubahan-perubahan itu terdapat suatu asas yang menentukan, tetapi di antara
mereka menyebut asas yang berbeda. Thales menyebutnya asas air, Anaximandros
dengan asas yang tidak terbatas (to apeiron), dan Anaximenes dengan asas udara.
Selanjutnya,
Herakleitos berpendapat bahwa asas itu adalah api. Menurut pendapatnya, api
adalah lambang perubahan. Ia berpendapat bahwa di dunia ini tidak ada suatu apa
pun yang tetap, definitif, dan sempurna, tetapi berubah, seperti kayu karena
api dapat menjadi abu. Segala sesuatu berada dalam status “menjadi’, mengalir, panta rhei.
Pemikiran
Pythagoras berbeda dengan filosof pada masanya, kecuali dengan Anaximandros. Ia
tidak mengganggap perlunya asas pertama yang dapat ditentukan dengan pengenalan
indra karena segala hal dapat diterangkan atas dasar bilangan. Ia mengemukakan
tangga nada yang sepadan dengan perbandingan antarbilangan. Oleh karena itu,
Pythagoras terkenal sebagai pengembang ilmu pasti dengan mengemukakan “Dalil
Pythagoras”nya.
Parmenides
dari Elea pada masa awal filsafat Yunani Kuno mengemukakan “metafisika”, yaitu
bagian filsafat yang mempersoalkan “ada” (being) yang berkembang menjadi “yang
ada, sejauh ada” (being as being, being as such). Parmenides juga berpendapat,
“yang ada, ada, dan yang tidak ada, tidak ada” mempunyai arti bahwa prulalitas
itu tidak ada. (Penjelasan lebih rinci dapat dilihat pada Bertens, 1976).
Filosof
berikutnya kembali pada kesaksian indra, antara lain Demokritos yang bernama Leucippus membangun dan mengajukan
teori yang dikenal dengan istilah atomisme. Demokritos beserta kawan-kawannya
berpendapat, bahwa segala sesuatu yang ada terdiri atas bagian-bagian kecil
yang tidak dapat dibagi-bagi lagi (atom-atom, a tomos). Meskipun bentuk atom
itu kecil dan tidak dapat dilihat oleh mata, namun ia selalu bergerak sehingga
membentuk realitas yang tampak pada indra kita.
2. Masa
Keemasan Yunani Kuno ditandai oleh sejumlah nama besar yang sampai sekarang tidak
pernah dilupakan oleh kalangan pemikir, termasuk pemikir masa kini yang berbeda
pendapat sekali pun. Nama besar yang pertama dipimpin Perikles yang tinggal di Athena. Athena menjadi pusat dari penganut
berbagai aliran filsafat yang ada pada masa itu. Pada masa itu terdapat pula
pemikiran sofistik yang penganutnya disebut kaum sofis, yaitu kaum yang pandai
berpidato yang tidak lagi menaruh perhatian utama pada alam, tetapi menjadikan
manusia sebagai pusat perhatian studinya. Tokohnya adalah Protagoras. Pemahamannya memperlihatkan sifat-sifat relativisme,
atau kebenaran bersifat relatif, tidak ada kebenaran yang tetap dan definitif.
Benar, baik, dan bagus selalu berhubungan dengan manusia, tidak mandiri sebagai
kebenaran yang mutlak.
Tokoh
lain adalah Socrates (470 SM-399 SM) yang menentang sofistik dengan mengatakan
bahwa benar dan baik adalah nilai objektif yang harus dijunjung tinggi semua
orang. Ia seorang filosof yang jujur dan berani, sebagaimana yang pernah
dikatakannya, bahwa ia tidak memiliki suatu ajaran sendiri. Sebagai pemikir
–seorang filosof, hal yang terpenting adalah mengembangkan pemikiran filosof,
seperti seorang bidan yang tidak melahirkan anaknya sendiri, tetapi anak yang
lain. Metode belajar yang terkenal dilakukannya adalah bertanya sampai orang
yang bersangkutan dapat menemukan sendiri apa yang baik dan benar di dalam
dirinya sendiri. Kelak dalam masa modern, metode ini dikenal dengan nama
“Metode Sokrates” sebagai suatu jenis metode pendidikan, yaitu seorang pendidik
tidak menguliahi siswanya dengan sejumlah informasi, tetapi bertanya secara
tajam dan kritis, sampai siswa tersebut menemukan jawaban dan pengetahuan yang
dibutuhkannya. Kejujuran dan keberaniannya harus ia bayar mahal dengan meminum
racun sebagai hukuman mati di muka hakim.
Jasa
Sokrates yang paling besar adalah mempertahankan tradisi filsafat Yunani yang
pada saat itu sedang digoyah kaum Sofis.
Seorang
murid Sokrates yang terkenal sampai sekarang, lahir di kalangan bangsawan
Athena, adalah Plato (427 SM-347 SM). Meskipun ia seorang pengarang,
ajaran-ajarannya dilakukan dalam bentuk dialog. Sampai saat ini sudah 24 dialog
karya Plato ditemukan. Penting di sini, bahwa pada 387 SM, Plato mendirikan
sekolah filsafat yang disebut Akademia. Dalam filsafatnya, Plato menentang
realisme karena apa yang dinyatakan benar menurut realisme, ialah yang dapat
diindra, sebenarnya adalah bayangan.
Selanjutnya,
Plato mengatakan bahwa realitas seluruhnya dibagi dua dunia, ialah dunia
gagasan yang hanya terbuka bagi rasio, tidak dapat berubah dan telah sempurna,
serta dunia jasmani yang hanya terbuka bagi indra kita yang senantiasa berubah,
secara tidak sempurna hanya mengutip dunia gagasan, seperti gambar suatu
gagasan di papan tulis yang sewaktu-waktu dapat dihapus.
Pendapat
Plato juga diterapkan pada manusia dengan menyatakan bahwa manusia termasuk
kedua dunia tadi karena mengenal kedua-duanya, yaitu tubuh dan jiwa.
Selanjutnya, Plato menyatakan bahwa sebelum dilahirkan dalam tubuh jasmani,
jiwa sudah ada dan memandang gagasan. Sekarang, jiwa merasa terkurung dalam
tubuh. Dalam diri manusia masih ada ingatan akan gagasan yang pernah dipandang
dan dapat dihidupkan sejak manusia melepaskan diri dari dunia jasmani.
Terhadap
pendapat Herakleitos yang menyatakan bahwa hakikat kehidupan adalah perubahan,
Plato membenarkannya sepanjang hanya menyangkut dunia jasmani. Adapun terhadap
pendapat Parmenides yang menyatakan bahwa yang ada itu sama sekali sempurna dan
tidak dapat berubah, Plato pun membenarkannya sepanjang hal itu hanya
menyangkut dunia gagasan (ideal).
Murid
Plato yang terkenal adalah Aristoteles (384 SM-322 SM) dari Yunani Utara,
lulusan Akademia Plato. Banyak gagasan yang kemudian dinilai sebagai gagasan
yang bernilai sebagai ilmu pengetahuan. Sebagian orang menjadikan Aristoteles
sebagai Bapak Filsafat Ilmu. Ia pernah menjadi guru Alexander Agung selama dua tahun, sebelum Alexander diangkat
sebagai raja. Ia mendirikan sekolah yang disebut Lykeion atau dalam bahasa Latin disebut Lyceum. Ia memperlihatkan diri sebagai seorang murid Plato yang
baik. Meskipun Aristoteles sangat menghormati dan mengagumi Plato sebagai
gurunya, namun ia memiliki pendirian yang berbeda dari gurunya. Sebagai contoh,
masalah kegemaran, Plato menyukai matematika, sedangkan Aristoteles menyukai
ilmu alam. Menurut Aristoteles yang ada adalah sesuatu yang konkret, benda ini
atau benda itu, bukan benda umumnya atau ciri benda. Jadi, yang ada adalah yang
konkret, bukan sekedar gagasan atau idea.
Ia mengakui adanya dunia idea, namun
hal itu terdapat pada materi itu sendiri, dan bermanfaat untuk menjamin adanya
pengetahuan alam.
Dari
pendapat-pendapat Aristoteles yang paling penting adalah “teori bentuk-materi”.
Dalam teori ini ia menyatakan, bahwa setiap benda jasmani terdiri dari bentuk
dan materi. Misalnya, patung kuda memperlihatkan bentuk kuda yang tidak
terlepas dari bahan kayu. Namun Aristoteles berpikir lebih jauh dengan
menyatakan bahwa bentuk dan materi bukanlah yang terlihat oleh mata, melainkan
bentuk dan materi sebagai prinsip metafisis. Materi adalah prinsip yang tidak
ditentukan yang sama sekali terbuka. Materi adalah kemungkinan untuk menerima
bentuk sehingga disebut sebagai materi pertama (hyle prote). Disebut pertama karena tidak ditentukan. Bentuk (morphe) adalah prinsip yang menentukan.
Karena materi pertama, suatu benda merupakan benda konkret, misalnya pohon ini.
Karena bentuknya, suatu benda konkret mempunyai kodrat tertentu, termasuk jenis
tertentu sehingga dapat dikenali oleh rasio.
Menurut
Aristoteles, ilmu pengetahuan dimungkinkan atas dasar bentuk yang terdapat
dalam setiap benda konkret. Pandangan ini selanjutnya dikenal dengan nama
“hilemorfisme”.
3. Masa Helenitas
dan Romawi adalah suatu masa yang tidak dapat dilepaskan dari
peranan Raja Alexander Agung. Raja ini telah mampu mendirikan negara besar yang
tidak sekadar meliputi seluruh Yunani, tetapi daerah-daerah di sebelah
Timurnya. Kebudayaan Yunani menjadi kebudayaan supranasional. Kebudayaan Yunani
ini disebut “Kebudayaan Helenitas”. Dalam bidang kebudayaan, selain akademia lykeion dibuka juga sekolah-sekolah baru
yang menjadi tekanan pembelajarannya adalah masalah etika, yaitu bagaiaman
sebaiknya orang mengatur tingkah lakunya agar dapat hidup bahagia dalam
kehidupan bersama. Ada sejumlah aliran pada masa ini, seperti stoisisme,
epikurisme, skeptisisme, ekletisisme, dan neoplatonisme.
Stoisisme
merupakan mazhab yang didirikan di Athena oleh Zeno dari Kition, sekitar 300 SM. Nama “Stoa” mengacu pada serambi
bertiang empat tempat Zeno memberikan pelajaran. Menurut stoisisme, jagat raya
dari dalam ditentukan “logos” yang
berarti rasio. Dengan demikian, kejadian alam telah ditentukan dan tidak dapat
dielakkan. Jiwa manusia merupakan bagian dari logos sehingga mampu mengenal
alam raya. Manusia dapat hidup bahagia dan bijaksana jika mengikuti rasionya
sehingga menguasai nafsu-nafsunya dan mengendalikan diri secara sempurna. Mati
dan hidup merupakan kejadian berdasarkan keharusan mutlak.
Epikurisme
dibangun Epikuros (341-270 SM) yang telah mendirikan sekolah sendiri di Athena,
dan membangunkan kembali Demokritos. Menurut aliran ini, bahwa segala hal
terdiri atas atom yang senantiasa bergerak dan secara kebetulan bertabrakan.
Manusia akan bahagia apabila mengakui susunan dunia ini dan tidak
ditakut-takuti dewa. Agar hidup bahagia, manusia seharusnya menggunakan
kehendak bebas dengan mencari sedapat mungkin kesenangan itu. Sebaliknya,
apabila manusia mendapat kesenangan terlalu banyak, ia akan gelisah. Orang
bijaksana akan mendapat kebahagiaan karena mampu membatasi diri, terutama dalam
mencati kesenangan rohani.
Di
Yunani, Skeptisisme dipelopori oleh Pyrrho (365-275 SM) adalah aliran yang
tidak identitasnya pada masa Helenitas. Ajaran dalam aliran ini lebih tampak
sebagai sikap umum masyarakat luas yang meyakini bahwa kemampuan manusia tidak
akan sampai pada kebenaran mutlak. Isi ajaran mazhab ini adalah kesangsian.
Pada
dasarnya, eklektisisme bukanlah
sebagai mazhab atau aliran, seperti skeptisisme. Aliran ini merupakan
kecenderungan masyarakat luas untuk memetik berbagai unsur filsafat dari
berbagai aliran dalam menghadapi berbagai permasalahan, dan tidak sampai pada
kesatuan pemikiran. Tokoh yang hidup di Roma dengan aliran ini adalah Ciceo (106-43 SM), seorang ahli
berpidato yang termasyhur. Di Alexandria terdapat orang Yahudi yang termasuk
eksponen aliran ini, yaitu Philo (25
SM-50 M) yang berusaha mendamaikan agama Yahudi dengan filsafat Yunani,
khususnya filsafat Plato.
Neoplatonisme
perlu dipandang sebagai puncak terakhir filsafat Yunani. Sesuai dengan namanya,
neoplatonisme menghidupkan kembali filsafat Plato, tetapi para pengikutnya
dipengaruhi filsafat lain yang lahir sesudah Plato, misalnya Aristoteles dan
Stoa, dan tidaklah mengherankan apabila aliran ini ditanggapi sebagai sintesis
dari semua aliran pemikiran saat itu. Tokohnya adalah Plotinos (203/4-269/70), lahir di Mesir. Setelah berusia 40 tahun,
ia hidup di Roma. Pikiran Plotinos dihimpun dan diterbitkan oleh seorang
muridnya, Porphyrios.
Sistem
filsafat Plotinos adalah kesatuan yang disebut Allah, atau “yang satu” (to Hen). Artinya, semua berasal dan
kembali pada “Yang Satu” itu sehingga menimbulkan gerakan pemikiran dari atas
ke bawah dan dari bawah ke atas.
a. Pada
gerakan dari atas ke bawah, “Yang Satu” merupakan puncak hierarki semua
makhluk. Suatu taraf berasal dari taraf lain yang lebih tinggi melalui jalan
emanasi (Ing, emanation) yang perlu
bahkan merupakan keharusan. Taraf lebih tinggi tidak bebas dalam mengeluarkan
taraf berikutnya, tetapi tidak berubah, sedangkan kesempurnaannya tidak
berkurang. Prosesnya adalah sebagai berikut, dari “Yang Satu” dikeluarkan akal
budi (nus) sesuai dengan gagasan
utama filsafat Plato. Plotinos mengartikannya sebagai intelek yang memikirkan dirinya
sendiri. Dalam akal budi ini terdapat dualitas, ialah pemikiran (yang
memikirkan) dan yang dipikirkan. Akal budi melahirkan jiwa dunia (psykhe), dan dari jiwa dunia dikeluarkan
materi (hyle) bersama dengan psykhe merupakan jagat raya. Sebagai
taraf terendah, materi merupakan yang paling tidak sempurna dan sumber
kejahatan.
Pada
gerakan dari bawah ke atas, setiap taraf dalam hierarki bertujuan kembali pada
taraf yang lebih tinggi yang akhirnya menuju Allah. Karena hanya manusia yang
memiliki tiga taraf itu, manusialah yang mampu kembali kepada Allah. Kembalinya
manusia kepada Allah dilakukan melalui tiga langkah, yaitu penyucian manusia
ketika melepaskan diri dari materi dengan cara bertapa, penyatuan manusia
dengan Tuhan melebihi pengetahuan, dan ekstasi (ectasy).
Neoplatonisme
merupakan aliran filsafat yang dianggap sebagai filsafat baru dalam filsafat
Yunani Kuno, menjadi aliran intelektual yang dominan yang tampak bersainagan
dengan dunia Kristen (teologi Kristiani). Seorang filsuf yang sukses dalam
mengajarkan neoplatonisme di Athena adalah Proklos
(410-485 SM). Berkat keberhasilannya, pada 529 M Kaisar Justinianus dari Byzantium menutup seluruh sekolah filsafat kafir
di Athena yang dianggapnya sebagai akhir masa filsafat Yunani Kuno. Kafir di
sini maksudnya, adalah dilandasi oleh pikiran-pikiran filosofis manusia bukan
dari gereja.
Sumber
: Buku Pengantar Filsafat, Sutardjo A. Wiramihardja
Tidak ada komentar:
Posting Komentar