Jumat, 17 Oktober 2014

Pengantar Filsafat I Sejarah Filsafat I Zaman Yunani Kuno (600 SM-200 M)


 

Sejarah filsafat merupakan metode yang terkenal dan banyak digunakan orang dalam mempelajari, bahkan merupakan metode yang sangat penting dalam belajar berfilsafat. Tidak sekadar metode belajar berfilsafat, sejarah filsafat pun merupakan subject matter tersendiri. Dengan perkataan lain, sejarah filsafat bukan sekadar suatu wacana dalam rangka membahas sesuatu apa pun. Sejarah filsafat meskipun dianggap sebagai bahan pengetahuan tersendiri, pada dasarnya sejarah filsafat yang disajikan merupakan “alat” untuk mengenai filsafat pada umumnya.

Mengapa sejarah dianggap sebagai suatu metode dalam mempelajari filsafat dan belajar berfilsafat? Untuk menjawabnya, kita perlu melihat sejarah sebagai suatu urutan kejadian yang saling berhubungan, atau memiliki hubungan sebab akibat sehingga suatu kejadian tidak terjadi begitu saja dan diartikan sebagai fenomena yang berdiri sendiri. Hal yang terpenting bukan mengingat urutan kejadiannya, melainkan makna di balik urutan kejadian pemikiran tersebut. Demikian pula halnya pada saat kita melihat dan mempersepsikan kejadian-kejadian dalam sejarah filsafat. Berdasarkan hal tersebut, penulis mengganti “sejarah filsafat” dengan “sejarah perkembangan pemikiran filsafati”.

Pada saat kita mempelajari filsafat melalui sejarah filsafat, berarti bahwa dengan dasar kategori waktu, kita mempermasalahkan segala hal mengenai pemikiran filsafati secara kronologis. Adapun hal-hal yang berhubungan dengan pemikiran filsafati tersebut, antara lain membahas secara terperinci permasalahannya, cara membahasnya, tempat kejadian dan lingkungan sosial budayanya, serta hubungan bahasan suatu waktu dengan waktu lainnya.

Sepanjang sejarah filsafat, filsafat barat mula-mula dikembangkan oleh Thales (600 SM), bentuk penyampaiannya tidak secara langsung melalui tulisan. Filsafat timur dikenal melalui Wedda di India, pada tahun yang sama dengan filsafat barat di Yunani. Demikian juga di Asia Tenggara, filsafat dibangun oleh Sidharta Gautama, di Asia Timur dan Cina dibangun oleh Kong Hu Tzu atau Confucius (551-479 SM).

Sampai saat ini, kita belum dapat mengetahui kapan sebenarnya filsafat mulai muncul. Pada 60.000 tahun yang lalu atau Abad ke-600 SM, manusia pertama, yaitu Nabi Adam dan Siti Hawa mulai menginjakkan kakinya di bumi, dengan tugas sebagai wakil Tuhan di bumi dan memelihara alam semesta. Merekalah orang pertama yang percaya dan yakin, bahwa Tuhan YME memberi mereka “alat” atau “senjata” berupa akal termasuk kalbu. Dengan akalnya, manusia akan berpikir dan menempuh kehidupannya dimuka bumi. Oleh karena itu, bersamaan dengan adanya manusia maka pemikiran filsafat pun ada. Artinya, bahwa berfilsafat merupakan ciri manusia sejak 600 abad SM, bukan 6 abad SM.

Pada 600 SM, ditemukan daerah-daerah sumber filsafat yang hingga saat ini telah diketahui manusia. Pikiran-pikiran sebelumnya disebut sebagai masa pra-filsafat atau pra-nalar. Prakiraan para ahli mengenai hal tersebut, bahwa pada 600 SM itu telah terjadi perubahan besar dalam perkembangan pemikiran dan budaya manusia. Perubahan tersebut lebih diyakini menyangkut adanya penulisan, budaya tulis-menulis dengan berbagai bentuk jenisnya. Setelah 600-an SM, mulai muncul tradisi penulisan buah pikiran tertentu. Oleh sebagian orang, istilah penulisan itu ditempatkan di antara dua tanda kutip karena baru berupa tanda-tanda saja.

Mengapa terjadi periodisasi dalam perkembangan filsafat? Hal ini karena adanya ciri-ciri tertentu, berupa penekanan isi atau cara perbincangannya. Misalnya, pada Abad XIX terdapat pemikiran bahwa manusia dengan daya pikirnya dianggap memiliki kemampuan untuk menyelesaikan semua masalah. Apabila ada masalah yang tidak terselesaikan, penyelesaiannya hanyalah soal waktu. Hal ini berbeda dengan pikiran Abad XX, pada waktu itu terdapat pemikiran umum, bahwa manusia mempunyai akal untuk dapat menyelesaikan berbagai masalah, tetapi terbatas atau hanya untuk hal tertentu. Pada Abad XXI sekarang ini, terdapat kecenderungan pemikiran transpersonal sesuai dengan pikiran Maslow (yang landasan-landasannya diletakkan oleh Jung) atau spiritual, dan kesadaran akan keterbatasan manusia dalam berilmu, namun mulai melirik lebih jelas pada peranan agama atau kerohanian dalam pengertian lebih luas sebagai sumber kekuatan yang selama ini tersisihkan dari ilmu-ilmu yang sekular.

Dalam buku ini, sejarah filsafat dibagi dalam lima periode, yaitu

A.    Zaman Yunai Kuno (600 SM-200 M)

B.     Zaman Patristik dan Pertengahan (200 M-1600 M)

C.     Zaman Modern (1600 M-1800 M)

D.    Zaman Baru (1800-1950)

E.     Zaman Pasca-modernisme (1950-…)

Setiap zaman memiliki ciri khasnya sendiri-sendiri, baik bersangkutan dengan isi atau materi wacana maupun metode dan tokoh-tokoh penggeraknya.

Zaman Yunani Kuno (600 SM-200 M)

Pada Zaman Yunani Kuno terdapat tiga periode masa sejarah filsafat, yaitu Masa Awal, Masa Keemasan, serta Masa Helenitas dan Romawi (Bertens, 1976).

1.      Masa Awal Filsafat Yunani Kuno ditandai oleh tercatatnya tiga nama filsuf yang berasal dari daerah Miletos, yaitu Thales, Anaximandros, dan Anaximenes. Selain ketiga nama tersebut, beberapa nama dari daerah lain, seperti Herakleitos dan Ephesos, Phytagoras di Italia Selatan, Parmenides dari Elena, dan Demokritos dari Abdera.

Pikiran-pikiran Thales ditulis oleh murid-muridnya, yaitu Anaximandros dan Anaximenes. Perhatiannya adalah pada alam dan kejadian alamiah, terutama dalam hubungannya dengan perubahan-perubahan yang terjadi. Namun, mereka yakin bahwa terhadap perubahan-perubahan itu terdapat suatu asas yang menentukan, tetapi di antara mereka menyebut asas yang berbeda. Thales menyebutnya asas air, Anaximandros dengan asas yang tidak terbatas (to apeiron), dan Anaximenes dengan asas udara.

Selanjutnya, Herakleitos berpendapat bahwa asas itu adalah api. Menurut pendapatnya, api adalah lambang perubahan. Ia berpendapat bahwa di dunia ini tidak ada suatu apa pun yang tetap, definitif, dan sempurna, tetapi berubah, seperti kayu karena api dapat menjadi abu. Segala sesuatu berada dalam status “menjadi’, mengalir, panta rhei.

Pemikiran Pythagoras berbeda dengan filosof pada masanya, kecuali dengan Anaximandros. Ia tidak mengganggap perlunya asas pertama yang dapat ditentukan dengan pengenalan indra karena segala hal dapat diterangkan atas dasar bilangan. Ia mengemukakan tangga nada yang sepadan dengan perbandingan antarbilangan. Oleh karena itu, Pythagoras terkenal sebagai pengembang ilmu pasti dengan mengemukakan “Dalil Pythagoras”nya.

Parmenides dari Elea pada masa awal filsafat Yunani Kuno mengemukakan “metafisika”, yaitu bagian filsafat yang mempersoalkan “ada” (being) yang berkembang menjadi “yang ada, sejauh ada” (being as being, being as such). Parmenides juga berpendapat, “yang ada, ada, dan yang tidak ada, tidak ada” mempunyai arti bahwa prulalitas itu tidak ada. (Penjelasan lebih rinci dapat dilihat pada Bertens, 1976).

Filosof berikutnya kembali pada kesaksian indra, antara lain Demokritos yang bernama Leucippus membangun dan mengajukan teori yang dikenal dengan istilah atomisme. Demokritos beserta kawan-kawannya berpendapat, bahwa segala sesuatu yang ada terdiri atas bagian-bagian kecil yang tidak dapat dibagi-bagi lagi (atom-atom, a tomos). Meskipun bentuk atom itu kecil dan tidak dapat dilihat oleh mata, namun ia selalu bergerak sehingga membentuk realitas yang tampak pada indra kita.

2.      Masa Keemasan Yunani Kuno ditandai oleh sejumlah nama besar yang sampai sekarang tidak pernah dilupakan oleh kalangan pemikir, termasuk pemikir masa kini yang berbeda pendapat sekali pun. Nama besar yang pertama dipimpin Perikles yang tinggal di Athena. Athena menjadi pusat dari penganut berbagai aliran filsafat yang ada pada masa itu. Pada masa itu terdapat pula pemikiran sofistik yang penganutnya disebut kaum sofis, yaitu kaum yang pandai berpidato yang tidak lagi menaruh perhatian utama pada alam, tetapi menjadikan manusia sebagai pusat perhatian studinya. Tokohnya adalah Protagoras. Pemahamannya memperlihatkan sifat-sifat relativisme, atau kebenaran bersifat relatif, tidak ada kebenaran yang tetap dan definitif. Benar, baik, dan bagus selalu berhubungan dengan manusia, tidak mandiri sebagai kebenaran yang mutlak.

Tokoh lain adalah Socrates (470 SM-399 SM) yang menentang sofistik dengan mengatakan bahwa benar dan baik adalah nilai objektif yang harus dijunjung tinggi semua orang. Ia seorang filosof yang jujur dan berani, sebagaimana yang pernah dikatakannya, bahwa ia tidak memiliki suatu ajaran sendiri. Sebagai pemikir –seorang filosof, hal yang terpenting adalah mengembangkan pemikiran filosof, seperti seorang bidan yang tidak melahirkan anaknya sendiri, tetapi anak yang lain. Metode belajar yang terkenal dilakukannya adalah bertanya sampai orang yang bersangkutan dapat menemukan sendiri apa yang baik dan benar di dalam dirinya sendiri. Kelak dalam masa modern, metode ini dikenal dengan nama “Metode Sokrates” sebagai suatu jenis metode pendidikan, yaitu seorang pendidik tidak menguliahi siswanya dengan sejumlah informasi, tetapi bertanya secara tajam dan kritis, sampai siswa tersebut menemukan jawaban dan pengetahuan yang dibutuhkannya. Kejujuran dan keberaniannya harus ia bayar mahal dengan meminum racun sebagai hukuman mati di muka hakim.

Jasa Sokrates yang paling besar adalah mempertahankan tradisi filsafat Yunani yang pada saat itu sedang digoyah kaum Sofis.

Seorang murid Sokrates yang terkenal sampai sekarang, lahir di kalangan bangsawan Athena, adalah Plato (427 SM-347 SM). Meskipun ia seorang pengarang, ajaran-ajarannya dilakukan dalam bentuk dialog. Sampai saat ini sudah 24 dialog karya Plato ditemukan. Penting di sini, bahwa pada 387 SM, Plato mendirikan sekolah filsafat yang disebut Akademia. Dalam filsafatnya, Plato menentang realisme karena apa yang dinyatakan benar menurut realisme, ialah yang dapat diindra, sebenarnya adalah bayangan.

Selanjutnya, Plato mengatakan bahwa realitas seluruhnya dibagi dua dunia, ialah dunia gagasan yang hanya terbuka bagi rasio, tidak dapat berubah dan telah sempurna, serta dunia jasmani yang hanya terbuka bagi indra kita yang senantiasa berubah, secara tidak sempurna hanya mengutip dunia gagasan, seperti gambar suatu gagasan di papan tulis yang sewaktu-waktu dapat dihapus.

Pendapat Plato juga diterapkan pada manusia dengan menyatakan bahwa manusia termasuk kedua dunia tadi karena mengenal kedua-duanya, yaitu tubuh dan jiwa. Selanjutnya, Plato menyatakan bahwa sebelum dilahirkan dalam tubuh jasmani, jiwa sudah ada dan memandang gagasan. Sekarang, jiwa merasa terkurung dalam tubuh. Dalam diri manusia masih ada ingatan akan gagasan yang pernah dipandang dan dapat dihidupkan sejak manusia melepaskan diri dari dunia jasmani.

Terhadap pendapat Herakleitos yang menyatakan bahwa hakikat kehidupan adalah perubahan, Plato membenarkannya sepanjang hanya menyangkut dunia jasmani. Adapun terhadap pendapat Parmenides yang menyatakan bahwa yang ada itu sama sekali sempurna dan tidak dapat berubah, Plato pun membenarkannya sepanjang hal itu hanya menyangkut dunia gagasan (ideal).

Murid Plato yang terkenal adalah Aristoteles (384 SM-322 SM) dari Yunani Utara, lulusan Akademia Plato. Banyak gagasan yang kemudian dinilai sebagai gagasan yang bernilai sebagai ilmu pengetahuan. Sebagian orang menjadikan Aristoteles sebagai Bapak Filsafat Ilmu. Ia pernah menjadi guru Alexander Agung selama dua tahun, sebelum Alexander diangkat sebagai raja. Ia mendirikan sekolah yang disebut Lykeion atau dalam bahasa Latin disebut Lyceum. Ia memperlihatkan diri sebagai seorang murid Plato yang baik. Meskipun Aristoteles sangat menghormati dan mengagumi Plato sebagai gurunya, namun ia memiliki pendirian yang berbeda dari gurunya. Sebagai contoh, masalah kegemaran, Plato menyukai matematika, sedangkan Aristoteles menyukai ilmu alam. Menurut Aristoteles yang ada adalah sesuatu yang konkret, benda ini atau benda itu, bukan benda umumnya atau ciri benda. Jadi, yang ada adalah yang konkret, bukan sekedar gagasan atau idea. Ia mengakui adanya dunia idea, namun hal itu terdapat pada materi itu sendiri, dan bermanfaat untuk menjamin adanya pengetahuan alam.

Dari pendapat-pendapat Aristoteles yang paling penting adalah “teori bentuk-materi”. Dalam teori ini ia menyatakan, bahwa setiap benda jasmani terdiri dari bentuk dan materi. Misalnya, patung kuda memperlihatkan bentuk kuda yang tidak terlepas dari bahan kayu. Namun Aristoteles berpikir lebih jauh dengan menyatakan bahwa bentuk dan materi bukanlah yang terlihat oleh mata, melainkan bentuk dan materi sebagai prinsip metafisis. Materi adalah prinsip yang tidak ditentukan yang sama sekali terbuka. Materi adalah kemungkinan untuk menerima bentuk sehingga disebut sebagai materi pertama (hyle prote). Disebut pertama karena tidak ditentukan. Bentuk (morphe) adalah prinsip yang menentukan. Karena materi pertama, suatu benda merupakan benda konkret, misalnya pohon ini. Karena bentuknya, suatu benda konkret mempunyai kodrat tertentu, termasuk jenis tertentu sehingga dapat dikenali oleh rasio.

Menurut Aristoteles, ilmu pengetahuan dimungkinkan atas dasar bentuk yang terdapat dalam setiap benda konkret. Pandangan ini selanjutnya dikenal dengan nama “hilemorfisme”.

3.      Masa Helenitas dan Romawi adalah suatu masa yang tidak dapat dilepaskan dari peranan Raja Alexander Agung. Raja ini telah mampu mendirikan negara besar yang tidak sekadar meliputi seluruh Yunani, tetapi daerah-daerah di sebelah Timurnya. Kebudayaan Yunani menjadi kebudayaan supranasional. Kebudayaan Yunani ini disebut “Kebudayaan Helenitas”. Dalam bidang kebudayaan, selain akademia lykeion dibuka juga sekolah-sekolah baru yang menjadi tekanan pembelajarannya adalah masalah etika, yaitu bagaiaman sebaiknya orang mengatur tingkah lakunya agar dapat hidup bahagia dalam kehidupan bersama. Ada sejumlah aliran pada masa ini, seperti stoisisme, epikurisme, skeptisisme, ekletisisme, dan neoplatonisme.  

Stoisisme merupakan mazhab yang didirikan di Athena oleh Zeno dari Kition, sekitar 300 SM. Nama “Stoa” mengacu pada serambi bertiang empat tempat Zeno memberikan pelajaran. Menurut stoisisme, jagat raya dari dalam ditentukan “logos” yang berarti rasio. Dengan demikian, kejadian alam telah ditentukan dan tidak dapat dielakkan. Jiwa manusia merupakan bagian dari logos sehingga mampu mengenal alam raya. Manusia dapat hidup bahagia dan bijaksana jika mengikuti rasionya sehingga menguasai nafsu-nafsunya dan mengendalikan diri secara sempurna. Mati dan hidup merupakan kejadian berdasarkan keharusan mutlak.

Epikurisme dibangun Epikuros (341-270 SM) yang telah mendirikan sekolah sendiri di Athena, dan membangunkan kembali Demokritos. Menurut aliran ini, bahwa segala hal terdiri atas atom yang senantiasa bergerak dan secara kebetulan bertabrakan. Manusia akan bahagia apabila mengakui susunan dunia ini dan tidak ditakut-takuti dewa. Agar hidup bahagia, manusia seharusnya menggunakan kehendak bebas dengan mencari sedapat mungkin kesenangan itu. Sebaliknya, apabila manusia mendapat kesenangan terlalu banyak, ia akan gelisah. Orang bijaksana akan mendapat kebahagiaan karena mampu membatasi diri, terutama dalam mencati kesenangan rohani.

Di Yunani, Skeptisisme dipelopori oleh Pyrrho (365-275 SM) adalah aliran yang tidak identitasnya pada masa Helenitas. Ajaran dalam aliran ini lebih tampak sebagai sikap umum masyarakat luas yang meyakini bahwa kemampuan manusia tidak akan sampai pada kebenaran mutlak. Isi ajaran mazhab ini adalah kesangsian.

Pada dasarnya, eklektisisme bukanlah sebagai mazhab atau aliran, seperti skeptisisme. Aliran ini merupakan kecenderungan masyarakat luas untuk memetik berbagai unsur filsafat dari berbagai aliran dalam menghadapi berbagai permasalahan, dan tidak sampai pada kesatuan pemikiran. Tokoh yang hidup di Roma dengan aliran ini adalah Ciceo (106-43 SM), seorang ahli berpidato yang termasyhur. Di Alexandria terdapat orang Yahudi yang termasuk eksponen aliran ini, yaitu Philo (25 SM-50 M) yang berusaha mendamaikan agama Yahudi dengan filsafat Yunani, khususnya filsafat Plato.

Neoplatonisme perlu dipandang sebagai puncak terakhir filsafat Yunani. Sesuai dengan namanya, neoplatonisme menghidupkan kembali filsafat Plato, tetapi para pengikutnya dipengaruhi filsafat lain yang lahir sesudah Plato, misalnya Aristoteles dan Stoa, dan tidaklah mengherankan apabila aliran ini ditanggapi sebagai sintesis dari semua aliran pemikiran saat itu. Tokohnya adalah Plotinos (203/4-269/70), lahir di Mesir. Setelah berusia 40 tahun, ia hidup di Roma. Pikiran Plotinos dihimpun dan diterbitkan oleh seorang muridnya, Porphyrios.

Sistem filsafat Plotinos adalah kesatuan yang disebut Allah, atau “yang satu” (to Hen). Artinya, semua berasal dan kembali pada “Yang Satu” itu sehingga menimbulkan gerakan pemikiran dari atas ke bawah dan dari bawah ke atas.

a.       Pada gerakan dari atas ke bawah, “Yang Satu” merupakan puncak hierarki semua makhluk. Suatu taraf berasal dari taraf lain yang lebih tinggi melalui jalan emanasi (Ing, emanation) yang perlu bahkan merupakan keharusan. Taraf lebih tinggi tidak bebas dalam mengeluarkan taraf berikutnya, tetapi tidak berubah, sedangkan kesempurnaannya tidak berkurang. Prosesnya adalah sebagai berikut, dari “Yang Satu” dikeluarkan akal budi (nus) sesuai dengan gagasan utama filsafat Plato. Plotinos mengartikannya sebagai intelek yang memikirkan dirinya sendiri. Dalam akal budi ini terdapat dualitas, ialah pemikiran (yang memikirkan) dan yang dipikirkan. Akal budi melahirkan jiwa dunia (psykhe), dan dari jiwa dunia dikeluarkan materi (hyle) bersama dengan psykhe merupakan jagat raya. Sebagai taraf terendah, materi merupakan yang paling tidak sempurna dan sumber kejahatan.

Pada gerakan dari bawah ke atas, setiap taraf dalam hierarki bertujuan kembali pada taraf yang lebih tinggi yang akhirnya menuju Allah. Karena hanya manusia yang memiliki tiga taraf itu, manusialah yang mampu kembali kepada Allah. Kembalinya manusia kepada Allah dilakukan melalui tiga langkah, yaitu penyucian manusia ketika melepaskan diri dari materi dengan cara bertapa, penyatuan manusia dengan Tuhan melebihi pengetahuan, dan ekstasi (ectasy).

Neoplatonisme merupakan aliran filsafat yang dianggap sebagai filsafat baru dalam filsafat Yunani Kuno, menjadi aliran intelektual yang dominan yang tampak bersainagan dengan dunia Kristen (teologi Kristiani). Seorang filsuf yang sukses dalam mengajarkan neoplatonisme di Athena adalah Proklos (410-485 SM). Berkat keberhasilannya, pada 529 M Kaisar Justinianus dari Byzantium menutup seluruh sekolah filsafat kafir di Athena yang dianggapnya sebagai akhir masa filsafat Yunani Kuno. Kafir di sini maksudnya, adalah dilandasi oleh pikiran-pikiran filosofis manusia bukan dari gereja.         

Sumber : Buku Pengantar Filsafat, Sutardjo A. Wiramihardja

Tidak ada komentar:

Kisah Mata Air Keabadian

Kisah ini diriwayatkan oleh Ats-Tsa’labi dari Imam Ali ra. Pada zaman dahulu hiduplah seorang hamba Allah SWT yang melebihkan kepada d...