Sumber
dan Dalil Hukum Islam
Sumber
Hukum Islam adalah Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah. Dua sumber tersebut disebut
juga dalil-dalil pokok hukum Islam karena keduanya merupakan petunjuk (dalil)
utama kepada hukum Allah. Ada juga dalil-dalil lain selain Al-Qur’an dan Sunnah
seperti qiyas, istihsan dan istishlah, tetapi tiga dalil disebut terakhir ini
hanya sebagai dalil pendukung yang hanya merupakan alat bantu untuk sampai
kepada hukum-hukum yang dikandung oleh Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah. Karena
hanya sebagai alat bantu untuk memahami Al-Qur’an dan Sunnah, sebagian ulama
menyebutnya sebagai metode istinbat. Imam al-Ghazali misalnya menyebut qiyas
sebagai metode istinbat. Dalam tulisan ini, istilah sumber sekaligus dalil kita
gunakan untuk Al-Qur’an dan Sunnah, sedangkan untuk selain Al-Qur’an dan Sunnah
seperti ijma’, qiyas, istihsan, maslahah mursalah, istishab, ‘urf, dan sadd
az-zari’ah tidak digunakan istilah dalil. Oleh karena yang disebut sebagai
“dalil-dalil pendukung” di atas pada sisi lain disebut juga sebagai metode
istinbat, maka ketika menjelaskan pembahasan mengenai metode istinbat melalui
maqasid syari’ah, akan dijelaskan sepintas kaitan dalil-dalil tersebut dengan
metode istinbat. Dalam kajian Ushul Fiqh terdapat dalil-dalil yang disepakati
dan dalil-dalil yang tidak disepakati seperti dijelaskan dalam pembahasan
berikut ini.
SUMBER
DAN DALIL HUKUM YANG DISEPAKATI
Sumber
atau dalil fikih yang disepakati, seperti dikemukakan ‘Abd al-Majid Muhammad
al-Khafawi, ahli hukum Islam berkebangsaan Mesir, ada 4 (empat), yaitu Al-Qur’an, Sunnah Rasulullah, ijma’, dan qiyas. Mengenai keharusan berpegang
kepada empat sumber tersebut dapat dipahami dari ayat 59 Suran An-Nisa’:
Hai orang-orang yang beriman,
taatilah Allah dan taatilah Rasul(Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian
jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada
Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada
Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya. (QS. an-Nisa’/4: 59)
Perintah
menaati Allah dan Rasul-Nya artinya perintah untuk mengikuti Al-Qur’an dan
Sunnah Rasulullah, sedangkan perintah untuk menaati ulil-amri, menurut Abdul-Wahhab Khallaf, ialah perintah mengikuti ijma’ yaitu hukum-hukum yang telah
disepakati oleh para mujtahidin,
karena mereka itulah ulil-amri (pemimpin)
kaum muslimin dalam hal pembentukan hukum-hukum Islam. Dan perintah untuk
mengembalikan kejadian-kejadian yang diperselisihkan antara umat Islam kepada
Allah dan Rasul-Nya artinya ialah perintah untuk melakukan qiyas, karena dengan qiyas
itulah terlaksana perintah mengembalikan suatu masalah kepada Al-Qur’an dan
Sunnah Rasulullah.
Al-Qur’an
a.
Pengertian
Al-Qur’an
Al-Qur’an
dalam kajian Ushul Fiqh merupakan objek pertama dan utama pada kegiatan
penelitian dalam memecahkan suatu hukum. Al-Qur’an menurut bahasa berarti “kalam (perkataan) Allah yang
diturunkan-Nya dengan perantaraan Malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad SAW.
dengan bahasa Arab serta dianggap beribadah membacanya”.
Al-Qur’an
mulai diturunkan di Mekkah, tepatnya di Gua Hira pada tahun 611 M, dan berakhir
di Madinah pada tahun 633 M, dalam jarak waktu kurang lebih 22 tahun beberapa
bulan. Ayat pertama diturunkan adalah ayat 1 sampai dengan ayat 5 Surat
al-‘Alaq:
1)
Bacalah
dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan, 2) Dia telah menciptakan manusia
dengan segumpal darah. 3) Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah, 4) Yang
mengajar (manusia) dengan perantaraan qalam. 5) Dia mengajarkan kepada manusia
apa yang tidak diketahuinya. (QS. al-‘Alaq/96: 1-5)
Sedangkan
tentang ayat yang terakhir diturunkan ulama berbeda pendapat, dan dari sekian
pendapat ulama, pendapat yang dipilih oleh Jalaluddin As-Suyuti (w. 911 H)
seorang ahli ilmu Al-Qur’an, dalam kitabnya al-Itqan
fi Ulum Al-Qur’an yang dimilikinya dari Ibnu Abbas adalah ayat 281 Surat
al-Baqarah:
Dan
peliharalah dirimu dari (azab yang terjadi pada) hari yang pada waktu itu kamu
semua dikembalikan kepada Allah. Kemudian masing-masing diri diberi balasan
yang sempurna terhadap apa yang telah dikerjakannya, sedang mereka sedikit pun
tidak dianiaya (dirugikan). (QS. al-Baqarah/2: 281)
Menurut
Jalaluddin As-Suyuti, setelah ayat ini diturunkan, Rasulullah masih hidup
sembilan malam kemudian beliau wafat pada hari Senin tanggal 3 Bulan Rabi’ al-awwal. Dengan turunnya ayat
tersebut, berarti berakhirlah turunnya wahyu.
b.
Ayat-ayat
Makkiyah dan Madaniyah
Al-Qur’an
turun dalam dua periode, yaitu pertama periode Mekkah sebelum Rasulullah hijrah
ke Madinah dan ayat yang diturunkan pada periode ini dikenal dengan ayat-ayat Makkiyah, dan periode kedua setelah
Rasulullah hijrah ke Madinah yang dikenal dengan ayat-ayat Madaniyah. Ayat-Ayat yang diturunkan di Mekkah pada umumnya yang
menjadi inti pembicaraannya adalah tentang masalah-masalah keyakinan (akidah), dalam rangka meluruskan keyakinan
umat di masa Jahiliyah dan menanamkan ajaran tauhid. Mengapa masalah akidah
yang harus lebih dulu ditanamkan, karena tapa itu syariat Islam belum akan
diterima oleh umat. Misalnya firman Allah:
Dan
Kami tidak mengutus seorang rasulpun sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan
kepadanya: “Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan Aku, maka sembahlah
olehmu sekalian akan Aku. (QS. al-Anbiya’/21: 25)
Untuk
sampai kepada akidah yang benar ayat-ayat makkiyah
mendorong umat manusia untuk menggunakan akal yang sehat untuk memikirkan alam
nyata di sekitarnya sebagai bukti atas wujud dan kekuasaann-Nya. Misalnya
firman Allah:
Maka
apakah mereka tidak memerhatikan untuk bagaimana dia diciptakan, dan langit
bagaimana ia ditinggikan, dan gunung-gunung bagaimana ia ditegakkan, dan bumi
bagaimana ia dihamparkan? (QS. al-Ghasyiyah/88: 17-20)
Di
samping itu ayat-ayat makkiyah juga
berbicara tentang kisah umat-umat masa lampau sebagai pelajaran bagi umat Nabi
Muhammad SAW. Dalam masalah hukum belum banyak ayat-ayat hukum diturunkan di
Mekkah kecuali beberapa hal, antara lain kewajiban menjaga kehormatan (faraj) kecuali terhadap pasangan
suami-istri seperti firman Allah:
Dan
orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri mereka atau
budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela.
Barangsiapa mencuri yang di balik itu maka mereka itulah orang-orang yang
melampaui batas. (QS. al-Mukminun/23: 5-7)
diharamkan menahan
harta anak yatim, sebagaimana firman Allah:
Sesungguhnya
orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu
menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang
menyala-nyala (neraka). (QS. an-Nisa’ 4: 10)
larangan mubazir
seperti dalam ayat:
dan janganlah kamu
menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. (al-Isra’17:
26)
larangan mengurangi
timbangan, atau mengurangi takaran sebagaimana firman Allah:
Dan
Syu’aib berkata: “Hai kaumku, cukuplah takaran dan timbangan dengan adil, dan
janganlah kamu merugikan manusia terhadap hak-hak mereka dan janganlah kamu
membuat kejahatan di muka bumi dengan membuat kerusakan.
(QS. Hud/11: 85)
larangan membuat
kerusakan di muka bumi, seperti dalam ayat:
Dan janganlah kamu membuat
kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdo’alah
kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan
dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang
berbuat baik. (QS. al-a’raf/7: 56)
dan ayat tentang
kewajiban shalat:
Dan dirikanlah shalat
itu pada kedua tepi siang (pagi dan petang) dan pada bagian permulaan daripada
malam. Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa)
perbuatan-perbuatan yang buruk. Itulah peringatan bagi orang-orang yang ingat.
(QS. Huud/11: 114)
Rahasia
mengapa di Mekkah belum banyak ayat-ayat hukum diturunkan karena waktu sebelum
hijriah, di Mekkah belum terbentuk satu masyarakat atau komunitas Islam seperti
halnya di Madinah setelah Rasulullah hijrah ke negeri itu.
Peristiwa
hijrah Rasulullah ke Madinah adalah garis pemisah anatara dua periode tersebut
di mana pada saat hijrah ini masalah iman telah tertanam ke dalam hati segenap
pribadi yang ikut berhijrah bersama Rasulullah dan dalam hati beberapa orang
yang melakukan janji setia dengan Rasulullah sebelum beliau hijrah ke Madinah.
Mereka ini adalah bibit pertama komunitas Islam di Madinah. Dari kelompok kecil
inilah kemudian berkembang menjadi sebuah komunitas besar masyarakat Islam,
yang dikenal dengan umat. Maka mulailah turun ayat-ayat madaniyah yang banyak terkait dengan hukum dari berbagai aspeknya.
Misalnya tentang perintah membayar zakat, Allah berfirman:
Dan
dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku’lah beserta orang-orang yang
ruku. (QS. al-Baqarah/2: 43)
Tentang puasa Allah menurunkan
ayat:
Hai
orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan
atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.
(QS. al-Baqarah/2: 43)
Berkaitan dengan haji
Allah berfirman:
Dan sempurnakanlah
ibadah haji dan ‘umrah karena Allah. (QS. al-Baqarah/2:196)
Tentang pengharaman
riba Allah menurunkan ayat:
Orang-orang
yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya
orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka
yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya
jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan
mengaharamkan riba. (QS. al-Baqarah/2: 275)
Mengenai
larangan memakan harta orang lain secara tidak sah, Allah berfirman:
Dan
janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan
jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim,
supaya kamu dapat memakan sebagian daripada harta benda orang lain itu dengan
(jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.
(QS. al-Baqarah/2: 188)
Kemudian tentang
wanita-wanita yang haram dinikahi, turun ayat:
Diharamkan
atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu
yang perempuan, saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari
saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu
yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan;
ibu-ibu istrimu (mertua); anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu dari
istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu itu
(dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan
diharamkan bagimu) istri-istri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan
(dalam perkawinan) dan perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi
pada masa lampau; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang
(QS. an-Nisa’/4:23)
Mengenai talak, Allah
menurunkan ayat:
Hai
Nabi, apabila kamu menceraikan istri-istrimu maka hendaklah kamu ceraikan
mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar) dan hitunglah
waktu iddah itu serta bertakwalah kepada Allah Tuhanmu. Janganlah kamu
keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) keluar
kecuali kalau mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang. Itulah hukum-hukum
Allah dan barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah, maka sesungguhnya dia
telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. Kamu tidak mengetahui barangkali
Allah mengadakan sesudah itu suatu hal yang baru. (QS.
at-Talaq/65: 1)
Tentang warisan, Allah
berfirman:
Allah
mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu:
bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan; dan
jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua per tiga
dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia
memperoleh separuh harta. Dan untuk dua orang ibu bapa, bagi masing-masingnya
seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak;
jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu bapanya
(saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai
beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut
di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar
utangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di
antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan
dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (*) Dan
bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh istri-istrimu,
jika mereka tidak mempunyai anak. Jika istri-istrimu itu mempunyai anak, maka
kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi
wasiat yang mereka buat atau (dan) sesudah dibayar utangnya. Para istri
memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai
anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para istri memperoleh seperdelapan dari
harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan)
sesudah dibayar utang-utangmu. Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun
perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai
seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu
saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta.
Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu
dalam yang spertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau
sesudah dibayar utangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris).
(Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syariat yang benar-benar dari
Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun.
(QS. an-Nisa’/4: 11-12)
Mengenai cara pembagian
harta rampasan perang, Allah berfirman:
Mereka
menanyakan kepadamu tentang (pembagian) harta rampasan perang. Katakanlah:
“Harta rampasan perang itu kepunyaan Allah dan Rasul, sebab itu bertakwalah
kepada Allah dan perbaikilah perhubungan di antara sesamamu, dan taatlah kepada
Allah dan Rasul-Nya jika kamu adalah orang-orang yang beriman. (QS. al-Anfal/8:
11)
Kemudian
berkaitan dengan ayat-ayat tentang ‘uqubat (sanksi-sanksi hukum) bagi berbagai
jenis tindak kejahatan yang dipandang menggoncangkan masyarakat, Allah
menurunkan ayat:
Hai
orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan
orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan
hamba dan wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan
dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik,
dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diat) kepada yang memberi maaf
dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari
Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, maka
baginya siksa yang sangat pedih. (al-Baqarah/2: 178)
Tentang larangan
merampok dan mengacau keamanan, Allah menurunkan ayat:
Sesungguhnya
pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat
kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong
tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat
kediamannya). Yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka di
dunia, dan di akhiran mereka peroleh siksaan yang besar.
(QS. al-Maidah/5:33)
Di
samping itu, diturunkan pula ayat-ayat yang berhubungan dengan peradilan antara
lain kewajiban memutuskan hukum secara adil seperti dalam firman Allah:
Sesungguhnya
Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan
(menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu
menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya
kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.
(QS. an-Nisa’/4: 58)
Kemudian tentang
kewajiban untuk berhukum dengan hukum Allah, turunlah ayat:
Sesungguhnya
Kami telah menurunkan Kitab Taurat di dalamnya (ada) petunjuk dan cahaya (yang
menerangi), yang dengan Kitab itu diputuskan perkara orang-orang Yahudi oleh
nabi-nabi yang menyerah diri kepada Allah, oleh orang-orang alim mereka dan
pendeta-pendeta mereka, disebabkan mereka diperintahkan memelihara kitab-kitab
Allah dan mereka menjadi saksi terhadapnya. Karena itu janganlah kamu takut
kepada manusia, (tetapi) takutlah kepada-Ku. Dan janganlah kamu menukar
ayat-ayat-Ku dengan harga yang sedikit. Barangsiapa yang tidak memutuskan
menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang
kafir. (QS. al-Maidah: 44)
c.
Hukum-hukum
yang Terkandung dalam Al-Qur’an
Al-Qur’an
sebagai petunjuk hidup secara umum mengandung tiga ajaran pokok:
1) Ajaran-ajaran
yang berhubungan dengan akidah (keimanan) yang membicarakan tentang hal-hal yang
wajib di yakini, seperti masalah tauhid, masalah kenabian, mengenai Kitab-Nya,
Malaikat, hari Kemudian dan sebagainya yang berhubungan dengan doktrin ‘akidah.
2) Ajaran-ajaran
yang berhubungan dengan akhlak, yaitu hal-hal yang harus dijadikan perhiasan
diri oleh setiap mukalaf berupa sifat-sifat keutamaan dan menghindarkan diri
dari hal-hal yang membawa kepada kehinaan (doktrin
akhlak).
3) Hukum-hukum
amaliyah, yaitu ketentuan-ketentuan yang berhubungan dengan amal perbuatan
mukalaf (doktrin syari’ah/fikih). Dari hukum-hukum amaliyah inilah timbul dan
berkembangnya ilmu fikih. Hukum-hukum amaliyah dalam Al-Qur’an terdiri dari dua
cabang, yaitu hukum-hukum ibadah yang mengatur hubungan manusia dengan Allah,
dan hukum-hukum mu’amalat yang
mengatur hubungan manusia dengan sesamanya.
Abdul
Wahhab Khallaf merinci macam hukum-hukum bidang mu’amalat dan jumlah ayatnya sebagai beriktu:
1) Hukum
keluarga, mulai dari terbentuknya pernikahan, sampai masalah talak, rujuk,
‘iddah, dan sampai ke masalah warisan. Ayat-ayat yang mengatur masalah ini
tercatat sekitar 70 ayat.
2) Hukum
mu’amalat (perdata), yaitu
hukum-hukum yang mengatur hubungan seseorang dengan yang sejenisnya seperti
jual beli, sewa-menyewa, gadai menggadai, syirkah (kongsi dagang), utang
piutang, dan hukum perjanjian. Hukum-hukum jenis ini mengatur hubungan
perorang, masyarakat, hal-hal yang berhubungan dengan harta kekayaan, dan memelihara
hak dan kewajiban masing-masing. Ayat-ayat yang mengatur hal ini terdiri dari
70 ayat.
3) Hukum
jinayat (pidana), yaitu hukum-hukum
yang menyangkut dengan tindakan kejahatan. Hukum-hukum seperti ini bermaksud
untuk memelihara stabilitas masyarakat, seperti larangan membunuh serta sanksi
hukumnya, larangan menganiaya orang lain, berzina, mencuri, larangan merampok,
serta ancaman hukuman atas pelakunya. Ayat-ayat yang mengaur hal ini sekitar 30
ayat.
4) Hukum
al-murafa’at (acara), yaitu
hukum-hukum yang berkaitan dengan peradilan, kesaksian, dan sumpah. Hukum-hukum
seperti ini dimaksudkan agar putusan hakim dapat seobjektif mungkin, dan untuk
itu diatur hal-hal yang memungkinkan untuk menyingkap mana pihak yang benar dan
mana yang salah. Ayat-ayat yang mengatur hal ini berjumlah sekitar 13 ayat.
5) Hukum
ketatanegaraan, yaitu ketentuan-ketentuan yang berhubungan dengan pemerintahan.
Hukum-hukum seperti ini dimaksudkan untuk mengatur hubungan penguasa dengan
rakyat, dan mengatur hak-hak pribadi dan masyarakat. Ayat-ayat yang berhubungan
dengan masalah ini sekitar 10 ayat.
6) Hukum
antara bangsa (internasioanl), yaitu hukum-hukum yang mengatur hubungan antara
negara Islam dengan non-Islam, dan tata cara pergaulan dengan non muslim yang
berada di negara Islam. Ayat-ayat yang mengatur hal ini sekitar 25 ayat.
7) Hukum
ekonomi dan keuangan, yaitu hukum-hukum yang mengatur hak-hak fakir miskin dari
harta orang-orang kaya. Hukum-hukum semacam ini dimaksudkan untuk mengatur
hubungan keuangan antara orang yang berpunya dan orang-orang yang tidak
berpunya, dan antara negara dan perorangan. Ayat-ayat yang mengatur bidang ini
sekitar 10 ayat.
Dari
segi rinci atau tidaknya, ayat-ayat hukum dalam Al-Qur’an, Muhammad Abu Zahrah
menjelaskan sebagai berikut:
a. Ibadah.
Ayat-ayat hukum mengenai ibadah dikemukakan dalam Al-Qur’an dalam bentuk mujmal (global) tanpa merinci kaifiyat-nya, seperti perintah shalat,
zakat, haji, puasa. Kewajiban shalat ditegaskan, namun syarat dan rukunnya
tidak disinggung sama sekali. Demikian pula halnya dengan haji, zakat, dan
puasa. Dalam hal ini untuk menjelakannya dilimpahkan oleh Allah kepada Nabi
Muhammad SAW. dengan sunnahnya.
b. Kaffarat
(denda). Kaffarat adalah semacam
denda yang bermakna ibadah, karena merupakan penghapus bagi sebagian dosa. Ada
tiga bentuk kaffarat yang disinggung
dalam Al-Qur’an, yaitu: Pertama, Kaffarat Zihar. Zihar: adalah bahwa
seorang suami mengatakan kepada istrinya “Engkau bagiku bagaikan punggung
ibuku”. Istri yang sudah di zihar tidak
boleh digauli oleh suaminya itu kecuali setelah membayar kaffarat yaitu memerdekakan hamba sahaya, dan jika tidak didapati,
maka wajib puasa dua bulan berturut-turut, dan jika tidak didapati, maka wajib
puasa dan bulan berturut-turut, dan jika tidak mampu, maka dengan memberi makan
60 (enam puluh) orang miskin, sebagaimana disebutkan dalam ayat:
Orang-orang
yang menzihar istri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang
mereka ucapkan, maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua
suami istri itu bercampur. Demikianlah yang diajarkan kepada kamu, dan Allah
Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. Barangsiapa yang tidak mendapatkan
(budak), maka (wajib atasnya) berpuasa dua bulan berturut-turut sebelun
keduanya bercampur. Maka siapa yang tidak kuasa (wajiblah atasnya) memberi
makan enam puluh orang miskin. Demikianlah supaya kamu beriman kepada Allah dan
Rasul-Nya. Dan itulah hukum-hukum Allah, dan bagi orang-orang kafir ada siksaan
yang sangat pedih. (QS. al-Mujadilah/ 58: 3-4)
Kedua,
Kaffarat karena melanggar sumpah,
yaitu memberi makan sepuluh orang fakir miskin atau pakaian mereka, atau
memerdekakan seorang hamba sahaya, dan jika tidak didapati maka puasa tiga
hari, seperti dalam ayat:
Allah
tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk
bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu
sengaja, maka kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh
orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu,
atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak. Barangsiapa
tidak sanggup melakukan yang demikian, maka kaffaratnya puasa selama tiga hari.
Yang demikian itu adalah kaffarat sumpah-sumpahmu bila kamu bersumpah (dan kamu
langgar). Dan jagalah sumpahmu. Demikianlah Allah menerangkan kepadamu
hukum-hukum-Nya agar kamu bersyukur (kepada-Nya).
(QS. al-Maidah/5: 89)
Ketiga,
Kaffarat karena membunuh orang mukmin
secara tersalah, yang disamping kewajiban membayar diat (denda), juga membayar kaffarat
dengan memerdekakan seorang hamba sahay, dan jika tidak didapati, maka puasa
dua bulan berturut-turut sebagaimana disebut dalam ayat:
Dan
tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin (yang lain), kecuali
karena tersalah (tidak sengaja), dan barangsiapa membunuh seorang mukin karena
tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta
membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali
jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah. Jika ia (si terbunuh) dari kaum
yang memusuhimu, padahal ia mukmin, maka (hendaklah si pembunuh) memerdekakan
hamba sahaya yang mukmin. Dan jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada
perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, maka (hendaklah si pembunuh)
memerdekakan hamba sahaya yang mukmin. Dan jika ia (si terbunuh) dari kaum
(kafir) yang ada perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, maka (hendaklah
si pembunuh) membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh)
serta memerdekakan hamba sahaya yang mukmin. Barangsiapa yang tidak
memperolehnya, maka hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan
berturut-turut sebagai cara taubat kepada Allah. Dan adalah Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (QS. an-Nisa’/3:
92)
Tiga
bentuk kaffarat di atas secara rinci
dijelaskan dalam Al-Qur’an, dan kemungkinan adanya ijtihad hanya pada segi-segi
yang belum dijelaskan dan belum dirinci dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah.
c. Hukum
Mu’amalat. Dalam bidang ini Al-Qur’an
hanya memberikan prinsip-prinsip dasar, seperti larangan memakai harta orang
lain secara tidak sah dan keharusan adanya rela sama rela, seperti dijelaskan
dalam firman Allah:
Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan
jalan yang bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka
sama suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya
Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. (QS. an-Nisa’/3: 29)
larangan
untuk bertindak secara zalim sebagaimana dalam ayat:
Maka
jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa
Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan
riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tida (pula)
dianiaya. (QS. al-Baqarah/2: 279)
dan
larangan memakan riba seperti dalam ayat:
Orang-orang
yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya
yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang
demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual
beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan
mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari
Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang
telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah)
kepada Allah. Orang yang (mengambil riba), maka orang itu adalah
penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.
(QS. al-Baqarah/2:275)
Al-Qur’an
tidak merinci tentang hal-hal ini, dan untuk itu Sunnah Rasulullah berperan
merincinya, dan dalam hal-hal yang tidak dirinci oleh Sunnah Rasulullah,
ijtihad ulama-ulama mujtahid berperan mengambangkan dan merincinya dengan
menggunakan metode istinbat dalam
ilmu Ushul Fiqh.
d. Hukum
Keluarga. Hukum bidang ini mencakup bidang-bidang rumah tangga dan mawaris.
Dalam bidang ini Al-Qur’an berbicara relatif lebih rinci dibandingkan dengan
bidang-bidang yang lain. Secara rinci Al-Qur’an menjelaskan hukum pernikahan,
dari masalah wanita-wanita yang haram dinikahi seperti dalam ayat:
Diharamkan
atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu
yang perempuan, saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari
saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu
yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan;
ibu-ibu istrimu (mertua); anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu dari
istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu itu
(dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan
diharamkan bagimu) istri-istri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan
(dalam perkawinan) dan perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi
pada masa lampau; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang
(QS. an-Nisa’/4:23)
sampai
ke masalah talak yang dijelaskan oleh firman Allah:
Hai
Nabi, apabila kamu menceraikan istri-istrimu maka hendaklah kamu ceraikan
mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar) dan hitunglah
waktu iddah itu serta bertakwalah kepada Allah Tuhanmu. Janganlah kamu
keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) keluar
kecuali kalau mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang. Itulah hukum-hukum
Allah dan barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah, maka sesungguhnya dia
telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. Kamu tidak mengetahui barangkali
Allah mengadakan sesudah itu suatu hal yang baru.
(QS. at-Thalaq/65: 1)
juga
persoalan rujuk yang terdapat dalam ayat:
Wanita-wanita
yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru. Tidak boleh
mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka
beriman kepada Allah dan hari akhirat. Dan suami-suaminya berhak merujukinya
dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) itu menghendaki ishlah. Dan
para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang
ma’ruf. Akan tetapi para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada
istrinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
(QS. al-Baqarah/2: 228)
dan
iddah, baik iddah karena meninggal suami yang disebutkan dalam firman Allah:
Orang-orang
yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan istri-istri (hendaklah
para istri itu) menangguhkan dirinya (beribadah) empat bulan sepuluh hari.
Kemudian apabila telah habis ’iddahnya, maka tiada dosa bagimu (para wali)
membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah
mengetahui apa yang kamu perbuat. (QS. al-Baqarah/2: 234)
atau
‘iddah karena terjadi perceraian, sebagaimana dalam firman Allah:
Wanita-wanita
yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru. Tidak boleh
mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka
beriman kepada Allah dan hari akhirat. Dan suami-suaminya berhak merujukinya
dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) itu menghendaki ishlah. Dan
para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang
ma’ruf. Akan tetapi para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada
istrinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
(QS. al-Baqarah/2: 228)
Demikian
pula dalam masalah warisan, dirinci sedemikian rupa pembagian masing-masing
pihak yang menjadi ahli waris. Masalah nikah, talak, rujuk, dan mawaris
mendapat perhatian khusus dalam Al-Qur’an karena masalah ini sering menimbulkan
pertikaian di rumah tangga/keluarga sehingga bisa mengguncangkan bangunan
masyarakat luas. Namun bukan berarti sama sekali tidak ada peluang untuk
dimasuki ijtihad. Selain yang telah dijelaskan dan dirinci dalam Sunnah
Rasulullah, ijtihad para ahlinya berperan dalam menjelaskannya.
e. Hukum
Pidana. Di samping ada larangan melakukan kejahatan secara umum, bidang ini
juga secara khusus menjelaskan hukum berbagai tindakan kejahatan yang bisa
mengguncang bangunan masyarakat. Misalnya mengenai larangan pembunuhan seperti
dijelaskan oleh Allah dalam firman-Nya:
dan
janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan
sesuatu (sebab) yang benar. Demikian itu yang diperintahkan oleh Tuhanmu
kepadamu supaya kamu memahami (nya). (QS. al-An’am/6: 151)
Mengenai
larangan minum khamar dijelaskan dalam ayat:
Hai
orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban
untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk
perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat
keberuntungan. (QS. al-Maidah/5: 90)
larangan
berzina dijelaskan dalam ayat:
Perempuan
yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari
keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya
mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah,
dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh
sekumpulan dari orang-orang yang beriman. (QS. An-Nur/24:
2)
Mengenai
larangan mencuri Al-Qur’an menjelaskan:
Laki-laki
yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai)
pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan
Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS. al-Maidah/5: 38)
Dalam
Al-Qur’an diadakan antisipasi agar tindakan-tindakan kejahatan jangan sampai
terjadi, misalnya hukum bunh (qishas)
atas pelaku pembunuhan sengaja dan terencana, sebagaimana dijelaskan dalam
ayat:
Hai
orang-orang yang beriman, diwajibakan atas kamu qishaash berkenaan dengan
orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan
hamba, dan wanita dengan wanita. Maka barangsiapa mendapat suatu pemaafan dari
saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan
hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diat) kepada yang memberi maaf dengan
cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan
kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, maka
baginya siksa yang sangat pedih. (QS. al-Baqarah/2: 178)
Mengenai
pembalasan setimpal (qishash) atas
tindakan merusak atau melukai anggota tubuh manusia, Allah berfirman:
Dan
kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At Taurat) bahwasanya jiwa
(dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan
telinga, gigi dengan gigi, dan luka-luka (pun) ada qishashnya. Barangsiapa yang
melepaskan (hak qishash) nya, maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa
baginya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan
Allah, maka mereka itu adalah orang-orang zalim.
(QS. al-Maidah/5: 45)
Mengenai
ancaman hukuman atas pelaku qazaf,
yaitu menuduh orang lain berzina tanpa saksi, Allah jelaskan dalam ayat:
Dan
orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka
tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu)
delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya.
Dan mereka itulah orang-orang yang fasik. (QS. an-Nur/24:
4)
Tentang
sanksi hukum bagi pelaku kejahatan perampokan, disebutkan dalam ayat:
Sesungguhnya
pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat
kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong
tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat
kediamannya). Yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka di
dunia, dan di akhirat mereka peroleh siksaan yang besar.
(QS. al-Maidah/5: 33)
Selain
itu ada pula yang dijelaskan oleh hadis-hadis Nabi sanksi hukumnya, meskipun
asal larangannya telah ditegaskan dalam Al-Qur’an, seperti riddah yaitu seorang muslim keluar dari agama Islam yang dilarang
ayat:
Hai
orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya,
maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan
mereka pun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mukmin
yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah,
dan tidak takut celaan orang.
Sedangkan
sanksi hukuman bunuh atas pelaku riddah
disebutkan dalam hadis riwayat Abu Daud dan Tirmizi dari Ibnu Abbas sebagai
berikut:
Dari
Ibnu Abbas, berkata, Rasulullah SAW. bersabda: “Barangsiapa menggantikan
agamanya maka bunuhlah” (HR. Abu Dawud dan at-Tirmizi)
Di
samping masalah riddah, Al-Qur’an dan
hadis juga menjelaskan tentang minuman yang merusak akal. Minuman ini dilarang
oleh Al-Qur’an dalam ayat:
Hai
orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban
untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk
perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat
keberuntungan. (QS. al-Maidah/5: 90)
Sedangkan
sanksi hukuman dera empat puluh kali atas pelakunya disebutkan dalam hadis
riwayat Muslim di bawah ini:
Dari
Abi ‘Urawah, dari ‘Usman bin Affan berkata Nabi SAW. mencambuk (peminum khamar)
sebanyak 40 kali demikian pula Abu Bakar sedangkan Umar melakukannya sebanyak
80 kali, masing-masing dari keduanya pernah terjadi dan hukuman cambuk sebanyak
40 kali labih aku sukai (HR Muslim)
f. Hukum
yang mengatur hubungan penguasa dengan rakyat jelata. Seperti kewajiban untuk
menegakkan keadilan sebagaimana firman Allah:
Sesungguhnya
Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum
kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan.
Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.
(QS. an-Nahl/16: 90)
Mengenai
anjuran bermusyawarah dalam mengambil keputusan untuk kepentingan bersama Allah
berfirman:
Maka
disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka.
Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan
diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi
mereka, dan bermusayawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila
kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya
Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya. (QS.
Ali’Imran/3: 159)
Kemudian
tentang larangan melakukan kerusakan terdapat sebuah firman Allah:
Dan
apabila ia berpaling (dari kamu), ia berjalan di bumi untuk mengadakan
kerusakan padanya, dan merusak tanam-tanaman dan binatang ternak, dan Allah
tidak menyukai kebinasaan. (QS. al-baqarah/2: 205)
dan
mengenai anjuran bersama-sama dalam mewujudkan kebaikan Allah berfirman:
Hai
orang-orang yang beriman janganlah kamu melanggar syi’ar-syi’ar Allah dan
jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram, dan jangan (mengganggu) hadya
dan binatang-binatang qalaid, dan jangan (pula) mengganggu orang-orang yang
mengunjungi Baitullah sedang mereka mencari karunia dan keridhaan dari
Tuhannya. Dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji maka boleh berburu.
Dan janganlah sekali-kali kebencian (mu) kepada suatu kaum karena mereka
menghalang-halangi kamu dari masjidil haram, mendorongmu berbuat aniaya (kepada
mereka). Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa,
dan janganlah tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan
bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-nya. (QS.
al-Maidah: 2)
g. Hukum
yang mengatur hubungan orang-orang Islam dengan non-muslim. Seperti
hormat-menghormati baik dalam perang atau dalam suasana damai sebagai sesama
manusia, sebagaimana firman Allah:
Hai
manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang
perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu
saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di
sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah
Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (QS. al-Hujurat/49:
13)
Mengenai
petunjuk bahwa tidak boleh memerangi orang-orang kafir kecuali jika mereka
menyerang orang-orang Islam terdapat dalam firman Allah:
Bulan
haram dengan bulan haram, dan pada sesuatu yang patut dihormati, berlaku hukum
qishash. Oleh sebab itu barangsiapa yang menyerang kamu, maka seranglah ia,
seimbang dengan serangannya terhadapmu. Bertakwalah kepada Allah dan
ketahuilah, bahwa Allah beserta orang-orang yang bertakwa.
(QS. al-Baqarah/2: 194)
Tentang
petunjuk untuk tetap bersikap adil meskipun dalam peperangan Allah berfirman:
Hai
orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu
menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah
sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku
tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan
bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu
kerjakan. (QS. al-Maidah/5:8)
Dari
uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa ketentuan-ketentuan hukum dalam
Al-Qur’an sebagian besarnya di sampaikan dalam bentuk prinsip-prinsip dasar,
prinsip-prinsip umum dan bersifat global, kecuali dalam beberapa hal, seperti
dalam masalah kaffarat dan hukum
keluarga serta dan beberapa hal dalam hukum pidana.
Sumber : Buku Ushul
Fiqh, Satria Effendi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar