Rabu, 08 Oktober 2014

Ushul Fiqh I Sumber dan Dalil Hukum Islam I SUMBER DAN DALIL HUKUM YANG DISEPAKATI I Al-Qur’an


Sumber dan Dalil Hukum Islam

Sumber Hukum Islam adalah Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah. Dua sumber tersebut disebut juga dalil-dalil pokok hukum Islam karena keduanya merupakan petunjuk (dalil) utama kepada hukum Allah. Ada juga dalil-dalil lain selain Al-Qur’an dan Sunnah seperti qiyas, istihsan dan istishlah, tetapi tiga dalil disebut terakhir ini hanya sebagai dalil pendukung yang hanya merupakan alat bantu untuk sampai kepada hukum-hukum yang dikandung oleh Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah. Karena hanya sebagai alat bantu untuk memahami Al-Qur’an dan Sunnah, sebagian ulama menyebutnya sebagai metode istinbat. Imam al-Ghazali misalnya menyebut qiyas sebagai metode istinbat. Dalam tulisan ini, istilah sumber sekaligus dalil kita gunakan untuk Al-Qur’an dan Sunnah, sedangkan untuk selain Al-Qur’an dan Sunnah seperti ijma’, qiyas, istihsan, maslahah mursalah, istishab, ‘urf, dan sadd az-zari’ah tidak digunakan istilah dalil. Oleh karena yang disebut sebagai “dalil-dalil pendukung” di atas pada sisi lain disebut juga sebagai metode istinbat, maka ketika menjelaskan pembahasan mengenai metode istinbat melalui maqasid syari’ah, akan dijelaskan sepintas kaitan dalil-dalil tersebut dengan metode istinbat. Dalam kajian Ushul Fiqh terdapat dalil-dalil yang disepakati dan dalil-dalil yang tidak disepakati seperti dijelaskan dalam pembahasan berikut ini.

SUMBER DAN DALIL HUKUM YANG DISEPAKATI

Sumber atau dalil fikih yang disepakati, seperti dikemukakan ‘Abd al-Majid Muhammad al-Khafawi, ahli hukum Islam berkebangsaan Mesir, ada 4 (empat), yaitu Al-Qur’an, Sunnah Rasulullah, ijma’, dan qiyas. Mengenai keharusan berpegang kepada empat sumber tersebut dapat dipahami dari ayat 59 Suran An-Nisa’:

Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul(Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (QS. an-Nisa’/4: 59)

Perintah menaati Allah dan Rasul-Nya artinya perintah untuk mengikuti Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah, sedangkan perintah untuk menaati ulil-amri, menurut Abdul-Wahhab Khallaf, ialah perintah mengikuti ijma’ yaitu hukum-hukum yang telah disepakati oleh para mujtahidin, karena mereka itulah ulil-amri (pemimpin) kaum muslimin dalam hal pembentukan hukum-hukum Islam. Dan perintah untuk mengembalikan kejadian-kejadian yang diperselisihkan antara umat Islam kepada Allah dan Rasul-Nya artinya ialah perintah untuk melakukan qiyas, karena dengan qiyas itulah terlaksana perintah mengembalikan suatu masalah kepada Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah.

Al-Qur’an

a.      Pengertian Al-Qur’an

Al-Qur’an dalam kajian Ushul Fiqh merupakan objek pertama dan utama pada kegiatan penelitian dalam memecahkan suatu hukum. Al-Qur’an menurut bahasa berarti “kalam (perkataan) Allah yang diturunkan-Nya dengan perantaraan Malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad SAW. dengan bahasa Arab serta dianggap beribadah membacanya”.

Al-Qur’an mulai diturunkan di Mekkah, tepatnya di Gua Hira pada tahun 611 M, dan berakhir di Madinah pada tahun 633 M, dalam jarak waktu kurang lebih 22 tahun beberapa bulan. Ayat pertama diturunkan adalah ayat 1 sampai dengan ayat 5 Surat al-‘Alaq:

1)                  Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan, 2) Dia telah menciptakan manusia dengan segumpal darah. 3) Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah, 4) Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan qalam. 5) Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya. (QS. al-‘Alaq/96: 1-5) 

Sedangkan tentang ayat yang terakhir diturunkan ulama berbeda pendapat, dan dari sekian pendapat ulama, pendapat yang dipilih oleh Jalaluddin As-Suyuti (w. 911 H) seorang ahli ilmu Al-Qur’an, dalam kitabnya al-Itqan fi Ulum Al-Qur’an yang dimilikinya dari Ibnu Abbas adalah ayat 281 Surat al-Baqarah:

Dan peliharalah dirimu dari (azab yang terjadi pada) hari yang pada waktu itu kamu semua dikembalikan kepada Allah. Kemudian masing-masing diri diberi balasan yang sempurna terhadap apa yang telah dikerjakannya, sedang mereka sedikit pun tidak dianiaya (dirugikan). (QS. al-Baqarah/2: 281)

Menurut Jalaluddin As-Suyuti, setelah ayat ini diturunkan, Rasulullah masih hidup sembilan malam kemudian beliau wafat pada hari Senin tanggal 3 Bulan Rabi’ al-awwal. Dengan turunnya ayat tersebut, berarti berakhirlah turunnya wahyu.

b.      Ayat-ayat Makkiyah dan Madaniyah

Al-Qur’an turun dalam dua periode, yaitu pertama periode Mekkah sebelum Rasulullah hijrah ke Madinah dan ayat yang diturunkan pada periode ini dikenal dengan ayat-ayat Makkiyah, dan periode kedua setelah Rasulullah hijrah ke Madinah yang dikenal dengan ayat-ayat Madaniyah. Ayat-Ayat yang diturunkan di Mekkah pada umumnya yang menjadi inti pembicaraannya adalah tentang masalah-masalah keyakinan (akidah), dalam rangka meluruskan keyakinan umat di masa Jahiliyah dan menanamkan ajaran tauhid. Mengapa masalah akidah yang harus lebih dulu ditanamkan, karena tapa itu syariat Islam belum akan diterima oleh umat. Misalnya firman Allah:

Dan Kami tidak mengutus seorang rasulpun sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya: “Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku. (QS. al-Anbiya’/21: 25)

Untuk sampai kepada akidah yang benar ayat-ayat makkiyah mendorong umat manusia untuk menggunakan akal yang sehat untuk memikirkan alam nyata di sekitarnya sebagai bukti atas wujud dan kekuasaann-Nya. Misalnya firman Allah:

Maka apakah mereka tidak memerhatikan untuk bagaimana dia diciptakan, dan langit bagaimana ia ditinggikan, dan gunung-gunung bagaimana ia ditegakkan, dan bumi bagaimana ia dihamparkan? (QS. al-Ghasyiyah/88: 17-20)

Di samping itu ayat-ayat makkiyah juga berbicara tentang kisah umat-umat masa lampau sebagai pelajaran bagi umat Nabi Muhammad SAW. Dalam masalah hukum belum banyak ayat-ayat hukum diturunkan di Mekkah kecuali beberapa hal, antara lain kewajiban menjaga kehormatan (faraj) kecuali terhadap pasangan suami-istri seperti firman Allah:

Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. Barangsiapa mencuri yang di balik itu maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas. (QS. al-Mukminun/23: 5-7)

diharamkan menahan harta anak yatim, sebagaimana firman Allah:

Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka). (QS. an-Nisa’ 4: 10)

larangan mubazir seperti dalam ayat:

dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. (al-Isra’17: 26)

larangan mengurangi timbangan, atau mengurangi takaran sebagaimana firman Allah:

Dan Syu’aib berkata: “Hai kaumku, cukuplah takaran dan timbangan dengan adil, dan janganlah kamu merugikan manusia terhadap hak-hak mereka dan janganlah kamu membuat kejahatan di muka bumi dengan membuat kerusakan. (QS. Hud/11: 85)

larangan membuat kerusakan di muka bumi, seperti dalam ayat:

Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdo’alah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik. (QS. al-a’raf/7: 56)

dan ayat tentang kewajiban shalat:

Dan dirikanlah shalat itu pada kedua tepi siang (pagi dan petang) dan pada bagian permulaan daripada malam. Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk. Itulah peringatan bagi orang-orang yang ingat. (QS. Huud/11: 114)

Rahasia mengapa di Mekkah belum banyak ayat-ayat hukum diturunkan karena waktu sebelum hijriah, di Mekkah belum terbentuk satu masyarakat atau komunitas Islam seperti halnya di Madinah setelah Rasulullah hijrah ke negeri itu.

Peristiwa hijrah Rasulullah ke Madinah adalah garis pemisah anatara dua periode tersebut di mana pada saat hijrah ini masalah iman telah tertanam ke dalam hati segenap pribadi yang ikut berhijrah bersama Rasulullah dan dalam hati beberapa orang yang melakukan janji setia dengan Rasulullah sebelum beliau hijrah ke Madinah. Mereka ini adalah bibit pertama komunitas Islam di Madinah. Dari kelompok kecil inilah kemudian berkembang menjadi sebuah komunitas besar masyarakat Islam, yang dikenal dengan umat. Maka mulailah turun ayat-ayat madaniyah yang banyak terkait dengan hukum dari berbagai aspeknya. Misalnya tentang perintah membayar zakat, Allah berfirman:

Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku’lah beserta orang-orang yang ruku. (QS. al-Baqarah/2: 43)

Tentang puasa Allah menurunkan ayat:

Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa. (QS. al-Baqarah/2: 43)

Berkaitan dengan haji Allah berfirman:

Dan sempurnakanlah ibadah haji dan ‘umrah karena Allah. (QS. al-Baqarah/2:196)

Tentang pengharaman riba Allah menurunkan ayat:

Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengaharamkan riba. (QS. al-Baqarah/2: 275)

Mengenai larangan memakan harta orang lain secara tidak sah, Allah berfirman:

Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui. (QS. al-Baqarah/2: 188)

Kemudian tentang wanita-wanita yang haram dinikahi, turun ayat:

Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu istrimu (mertua); anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) istri-istri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dan perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (QS. an-Nisa’/4:23) 

Mengenai talak, Allah menurunkan ayat:

Hai Nabi, apabila kamu menceraikan istri-istrimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar) dan hitunglah waktu iddah itu serta bertakwalah kepada Allah Tuhanmu. Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) keluar kecuali kalau mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang. Itulah hukum-hukum Allah dan barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah, maka sesungguhnya dia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. Kamu tidak mengetahui barangkali Allah mengadakan sesudah itu suatu hal yang baru. (QS. at-Talaq/65: 1)

Tentang warisan, Allah berfirman:

Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua per tiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separuh harta. Dan untuk dua orang ibu bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu bapanya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar utangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (*) Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh istri-istrimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika istri-istrimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) sesudah dibayar utangnya. Para istri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para istri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar utang-utangmu. Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang spertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar utangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syariat yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun. (QS. an-Nisa’/4: 11-12)

Mengenai cara pembagian harta rampasan perang, Allah berfirman:

Mereka menanyakan kepadamu tentang (pembagian) harta rampasan perang. Katakanlah: “Harta rampasan perang itu kepunyaan Allah dan Rasul, sebab itu bertakwalah kepada Allah dan perbaikilah perhubungan di antara sesamamu, dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya jika kamu adalah orang-orang yang beriman. (QS. al-Anfal/8: 11)

Kemudian berkaitan dengan ayat-ayat tentang ‘uqubat (sanksi-sanksi hukum) bagi berbagai jenis tindak kejahatan yang dipandang menggoncangkan masyarakat, Allah menurunkan ayat:

Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba dan wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih. (al-Baqarah/2: 178)

Tentang larangan merampok dan mengacau keamanan, Allah menurunkan ayat:

Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). Yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka di dunia, dan di akhiran mereka peroleh siksaan yang besar. (QS. al-Maidah/5:33)

Di samping itu, diturunkan pula ayat-ayat yang berhubungan dengan peradilan antara lain kewajiban memutuskan hukum secara adil seperti dalam firman Allah:

Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. (QS. an-Nisa’/4: 58)

Kemudian tentang kewajiban untuk berhukum dengan hukum Allah, turunlah ayat:

Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab Taurat di dalamnya (ada) petunjuk dan cahaya (yang menerangi), yang dengan Kitab itu diputuskan perkara orang-orang Yahudi oleh nabi-nabi yang menyerah diri kepada Allah, oleh orang-orang alim mereka dan pendeta-pendeta mereka, disebabkan mereka diperintahkan memelihara kitab-kitab Allah dan mereka menjadi saksi terhadapnya. Karena itu janganlah kamu takut kepada manusia, (tetapi) takutlah kepada-Ku. Dan janganlah kamu menukar ayat-ayat-Ku dengan harga yang sedikit. Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir. (QS. al-Maidah: 44)

c.       Hukum-hukum yang Terkandung dalam Al-Qur’an

Al-Qur’an sebagai petunjuk hidup secara umum mengandung tiga ajaran pokok:

1)      Ajaran-ajaran yang berhubungan dengan akidah (keimanan) yang membicarakan tentang hal-hal yang wajib di yakini, seperti masalah tauhid, masalah kenabian, mengenai Kitab-Nya, Malaikat, hari Kemudian dan sebagainya yang berhubungan dengan doktrin ‘akidah.

2)      Ajaran-ajaran yang berhubungan dengan akhlak, yaitu hal-hal yang harus dijadikan perhiasan diri oleh setiap mukalaf berupa sifat-sifat keutamaan dan menghindarkan diri dari hal-hal yang membawa kepada kehinaan (doktrin akhlak).

3)      Hukum-hukum amaliyah, yaitu ketentuan-ketentuan yang berhubungan dengan amal perbuatan mukalaf (doktrin syari’ah/fikih). Dari hukum-hukum amaliyah inilah timbul dan berkembangnya ilmu fikih. Hukum-hukum amaliyah dalam Al-Qur’an terdiri dari dua cabang, yaitu hukum-hukum ibadah yang mengatur hubungan manusia dengan Allah, dan hukum-hukum mu’amalat yang mengatur hubungan manusia dengan sesamanya.

Abdul Wahhab Khallaf merinci macam hukum-hukum bidang mu’amalat dan jumlah ayatnya sebagai beriktu:

1)      Hukum keluarga, mulai dari terbentuknya pernikahan, sampai masalah talak, rujuk, ‘iddah, dan sampai ke masalah warisan. Ayat-ayat yang mengatur masalah ini tercatat sekitar 70 ayat.

2)      Hukum mu’amalat (perdata), yaitu hukum-hukum yang mengatur hubungan seseorang dengan yang sejenisnya seperti jual beli, sewa-menyewa, gadai menggadai, syirkah (kongsi dagang), utang piutang, dan hukum perjanjian. Hukum-hukum jenis ini mengatur hubungan perorang, masyarakat, hal-hal yang berhubungan dengan harta kekayaan, dan memelihara hak dan kewajiban masing-masing. Ayat-ayat yang mengatur hal ini terdiri dari 70 ayat.

3)      Hukum jinayat (pidana), yaitu hukum-hukum yang menyangkut dengan tindakan kejahatan. Hukum-hukum seperti ini bermaksud untuk memelihara stabilitas masyarakat, seperti larangan membunuh serta sanksi hukumnya, larangan menganiaya orang lain, berzina, mencuri, larangan merampok, serta ancaman hukuman atas pelakunya. Ayat-ayat yang mengaur hal ini sekitar 30 ayat.

4)      Hukum al-murafa’at (acara), yaitu hukum-hukum yang berkaitan dengan peradilan, kesaksian, dan sumpah. Hukum-hukum seperti ini dimaksudkan agar putusan hakim dapat seobjektif mungkin, dan untuk itu diatur hal-hal yang memungkinkan untuk menyingkap mana pihak yang benar dan mana yang salah. Ayat-ayat yang mengatur hal ini berjumlah sekitar 13 ayat.

5)      Hukum ketatanegaraan, yaitu ketentuan-ketentuan yang berhubungan dengan pemerintahan. Hukum-hukum seperti ini dimaksudkan untuk mengatur hubungan penguasa dengan rakyat, dan mengatur hak-hak pribadi dan masyarakat. Ayat-ayat yang berhubungan dengan masalah ini sekitar 10 ayat.

6)      Hukum antara bangsa (internasioanl), yaitu hukum-hukum yang mengatur hubungan antara negara Islam dengan non-Islam, dan tata cara pergaulan dengan non muslim yang berada di negara Islam. Ayat-ayat yang mengatur hal ini sekitar 25 ayat.

7)      Hukum ekonomi dan keuangan, yaitu hukum-hukum yang mengatur hak-hak fakir miskin dari harta orang-orang kaya. Hukum-hukum semacam ini dimaksudkan untuk mengatur hubungan keuangan antara orang yang berpunya dan orang-orang yang tidak berpunya, dan antara negara dan perorangan. Ayat-ayat yang mengatur bidang ini sekitar 10 ayat.

Dari segi rinci atau tidaknya, ayat-ayat hukum dalam Al-Qur’an, Muhammad Abu Zahrah menjelaskan sebagai berikut:

a.       Ibadah. Ayat-ayat hukum mengenai ibadah dikemukakan dalam Al-Qur’an dalam bentuk mujmal (global) tanpa merinci kaifiyat-nya, seperti perintah shalat, zakat, haji, puasa. Kewajiban shalat ditegaskan, namun syarat dan rukunnya tidak disinggung sama sekali. Demikian pula halnya dengan haji, zakat, dan puasa. Dalam hal ini untuk menjelakannya dilimpahkan oleh Allah kepada Nabi Muhammad SAW. dengan sunnahnya.

b.      Kaffarat (denda). Kaffarat adalah semacam denda yang bermakna ibadah, karena merupakan penghapus bagi sebagian dosa. Ada tiga bentuk kaffarat yang disinggung dalam Al-Qur’an, yaitu: Pertama, Kaffarat Zihar. Zihar: adalah bahwa seorang suami mengatakan kepada istrinya “Engkau bagiku bagaikan punggung ibuku”. Istri yang sudah di zihar tidak boleh digauli oleh suaminya itu kecuali setelah membayar kaffarat yaitu memerdekakan hamba sahaya, dan jika tidak didapati, maka wajib puasa dua bulan berturut-turut, dan jika tidak didapati, maka wajib puasa dan bulan berturut-turut, dan jika tidak mampu, maka dengan memberi makan 60 (enam puluh) orang miskin, sebagaimana disebutkan dalam ayat:

Orang-orang yang menzihar istri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami istri itu bercampur. Demikianlah yang diajarkan kepada kamu, dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. Barangsiapa yang tidak mendapatkan (budak), maka (wajib atasnya) berpuasa dua bulan berturut-turut sebelun keduanya bercampur. Maka siapa yang tidak kuasa (wajiblah atasnya) memberi makan enam puluh orang miskin. Demikianlah supaya kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan itulah hukum-hukum Allah, dan bagi orang-orang kafir ada siksaan yang sangat pedih. (QS. al-Mujadilah/ 58: 3-4)

Kedua, Kaffarat karena melanggar sumpah, yaitu memberi makan sepuluh orang fakir miskin atau pakaian mereka, atau memerdekakan seorang hamba sahaya, dan jika tidak didapati maka puasa tiga hari, seperti dalam ayat:

Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja, maka kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak. Barangsiapa tidak sanggup melakukan yang demikian, maka kaffaratnya puasa selama tiga hari. Yang demikian itu adalah kaffarat sumpah-sumpahmu bila kamu bersumpah (dan kamu langgar). Dan jagalah sumpahmu. Demikianlah Allah menerangkan kepadamu hukum-hukum-Nya agar kamu bersyukur (kepada-Nya). (QS. al-Maidah/5: 89)

Ketiga, Kaffarat karena membunuh orang mukmin secara tersalah, yang disamping kewajiban membayar diat (denda), juga membayar kaffarat dengan memerdekakan seorang hamba sahay, dan jika tidak didapati, maka puasa dua bulan berturut-turut sebagaimana disebut dalam ayat:

Dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja), dan barangsiapa membunuh seorang mukin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah. Jika ia (si terbunuh) dari kaum yang memusuhimu, padahal ia mukmin, maka (hendaklah si pembunuh) memerdekakan hamba sahaya yang mukmin. Dan jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, maka (hendaklah si pembunuh) memerdekakan hamba sahaya yang mukmin. Dan jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, maka (hendaklah si pembunuh) membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang mukmin. Barangsiapa yang tidak memperolehnya, maka hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut sebagai cara taubat kepada Allah. Dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (QS. an-Nisa’/3: 92)    

Tiga bentuk kaffarat di atas secara rinci dijelaskan dalam Al-Qur’an, dan kemungkinan adanya ijtihad hanya pada segi-segi yang belum dijelaskan dan belum dirinci dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah.

c.       Hukum Mu’amalat. Dalam bidang ini Al-Qur’an hanya memberikan prinsip-prinsip dasar, seperti larangan memakai harta orang lain secara tidak sah dan keharusan adanya rela sama rela, seperti dijelaskan dalam firman Allah:

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. (QS. an-Nisa’/3: 29)

larangan untuk bertindak secara zalim sebagaimana dalam ayat:

Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tida (pula) dianiaya. (QS. al-Baqarah/2: 279)

dan larangan memakan riba seperti dalam ayat:

Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya. (QS. al-Baqarah/2:275)

Al-Qur’an tidak merinci tentang hal-hal ini, dan untuk itu Sunnah Rasulullah berperan merincinya, dan dalam hal-hal yang tidak dirinci oleh Sunnah Rasulullah, ijtihad ulama-ulama mujtahid berperan mengambangkan dan merincinya dengan menggunakan metode istinbat dalam ilmu Ushul Fiqh.

d.      Hukum Keluarga. Hukum bidang ini mencakup bidang-bidang rumah tangga dan mawaris. Dalam bidang ini Al-Qur’an berbicara relatif lebih rinci dibandingkan dengan bidang-bidang yang lain. Secara rinci Al-Qur’an menjelaskan hukum pernikahan, dari masalah wanita-wanita yang haram dinikahi seperti dalam ayat:

Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu istrimu (mertua); anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) istri-istri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dan perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (QS. an-Nisa’/4:23) 

sampai ke masalah talak yang dijelaskan oleh firman Allah:

Hai Nabi, apabila kamu menceraikan istri-istrimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar) dan hitunglah waktu iddah itu serta bertakwalah kepada Allah Tuhanmu. Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) keluar kecuali kalau mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang. Itulah hukum-hukum Allah dan barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah, maka sesungguhnya dia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. Kamu tidak mengetahui barangkali Allah mengadakan sesudah itu suatu hal yang baru. (QS. at-Thalaq/65: 1)

juga persoalan rujuk yang terdapat dalam ayat:

Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) itu menghendaki ishlah. Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf. Akan tetapi para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada istrinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS. al-Baqarah/2: 228)

dan iddah, baik iddah karena meninggal suami yang disebutkan dalam firman Allah:

Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan istri-istri (hendaklah para istri itu) menangguhkan dirinya (beribadah) empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila telah habis ’iddahnya, maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat. (QS. al-Baqarah/2: 234)

atau ‘iddah karena terjadi perceraian, sebagaimana dalam firman Allah:

Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) itu menghendaki ishlah. Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf. Akan tetapi para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada istrinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS. al-Baqarah/2: 228)

Demikian pula dalam masalah warisan, dirinci sedemikian rupa pembagian masing-masing pihak yang menjadi ahli waris. Masalah nikah, talak, rujuk, dan mawaris mendapat perhatian khusus dalam Al-Qur’an karena masalah ini sering menimbulkan pertikaian di rumah tangga/keluarga sehingga bisa mengguncangkan bangunan masyarakat luas. Namun bukan berarti sama sekali tidak ada peluang untuk dimasuki ijtihad. Selain yang telah dijelaskan dan dirinci dalam Sunnah Rasulullah, ijtihad para ahlinya berperan dalam menjelaskannya.

e.       Hukum Pidana. Di samping ada larangan melakukan kejahatan secara umum, bidang ini juga secara khusus menjelaskan hukum berbagai tindakan kejahatan yang bisa mengguncang bangunan masyarakat. Misalnya mengenai larangan pembunuhan seperti dijelaskan oleh Allah dalam firman-Nya:

dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar. Demikian itu yang diperintahkan oleh Tuhanmu kepadamu supaya kamu memahami (nya). (QS. al-An’am/6: 151)

Mengenai larangan minum khamar dijelaskan dalam ayat:

Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. (QS. al-Maidah/5: 90)

larangan berzina dijelaskan dalam ayat:

Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang yang beriman. (QS. An-Nur/24: 2)

Mengenai larangan mencuri Al-Qur’an menjelaskan:

Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS. al-Maidah/5: 38)

Dalam Al-Qur’an diadakan antisipasi agar tindakan-tindakan kejahatan jangan sampai terjadi, misalnya hukum bunh (qishas) atas pelaku pembunuhan sengaja dan terencana, sebagaimana dijelaskan dalam ayat:

Hai orang-orang yang beriman, diwajibakan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka barangsiapa mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih. (QS. al-Baqarah/2: 178)

Mengenai pembalasan setimpal (qishash) atas tindakan merusak atau melukai anggota tubuh manusia, Allah berfirman:

Dan kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka-luka (pun) ada qishashnya. Barangsiapa yang melepaskan (hak qishash) nya, maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang zalim. (QS. al-Maidah/5: 45)

Mengenai ancaman hukuman atas pelaku qazaf, yaitu menuduh orang lain berzina tanpa saksi, Allah jelaskan dalam ayat:

Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang fasik. (QS. an-Nur/24: 4)

Tentang sanksi hukum bagi pelaku kejahatan perampokan, disebutkan dalam ayat:

Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). Yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka di dunia, dan di akhirat mereka peroleh siksaan yang besar. (QS. al-Maidah/5: 33)       

Selain itu ada pula yang dijelaskan oleh hadis-hadis Nabi sanksi hukumnya, meskipun asal larangannya telah ditegaskan dalam Al-Qur’an, seperti riddah yaitu seorang muslim keluar dari agama Islam yang dilarang ayat:

Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mukmin yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan tidak takut celaan orang.

Sedangkan sanksi hukuman bunuh atas pelaku riddah disebutkan dalam hadis riwayat Abu Daud dan Tirmizi dari Ibnu Abbas sebagai berikut:

Dari Ibnu Abbas, berkata, Rasulullah SAW. bersabda: “Barangsiapa menggantikan agamanya maka bunuhlah” (HR. Abu Dawud dan at-Tirmizi)

Di samping masalah riddah, Al-Qur’an dan hadis juga menjelaskan tentang minuman yang merusak akal. Minuman ini dilarang oleh Al-Qur’an dalam ayat:

Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. (QS. al-Maidah/5: 90)

Sedangkan sanksi hukuman dera empat puluh kali atas pelakunya disebutkan dalam hadis riwayat Muslim di bawah ini:

Dari Abi ‘Urawah, dari ‘Usman bin Affan berkata Nabi SAW. mencambuk (peminum khamar) sebanyak 40 kali demikian pula Abu Bakar sedangkan Umar melakukannya sebanyak 80 kali, masing-masing dari keduanya pernah terjadi dan hukuman cambuk sebanyak 40 kali labih aku sukai (HR Muslim)

f.       Hukum yang mengatur hubungan penguasa dengan rakyat jelata. Seperti kewajiban untuk menegakkan keadilan sebagaimana firman Allah:

Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran. (QS. an-Nahl/16: 90)

Mengenai anjuran bermusyawarah dalam mengambil keputusan untuk kepentingan bersama Allah berfirman:

Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusayawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya. (QS. Ali’Imran/3: 159)

Kemudian tentang larangan melakukan kerusakan terdapat sebuah firman Allah:

Dan apabila ia berpaling (dari kamu), ia berjalan di bumi untuk mengadakan kerusakan padanya, dan merusak tanam-tanaman dan binatang ternak, dan Allah tidak menyukai kebinasaan. (QS. al-baqarah/2: 205)    

dan mengenai anjuran bersama-sama dalam mewujudkan kebaikan Allah berfirman:

Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu melanggar syi’ar-syi’ar Allah dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram, dan jangan (mengganggu) hadya dan binatang-binatang qalaid, dan jangan (pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah sedang mereka mencari karunia dan keridhaan dari Tuhannya. Dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji maka boleh berburu. Dan janganlah sekali-kali kebencian (mu) kepada suatu kaum karena mereka menghalang-halangi kamu dari masjidil haram, mendorongmu berbuat aniaya (kepada mereka). Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan janganlah tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-nya. (QS. al-Maidah: 2)

g.      Hukum yang mengatur hubungan orang-orang Islam dengan non-muslim. Seperti hormat-menghormati baik dalam perang atau dalam suasana damai sebagai sesama manusia, sebagaimana firman Allah:

Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (QS. al-Hujurat/49: 13)

Mengenai petunjuk bahwa tidak boleh memerangi orang-orang kafir kecuali jika mereka menyerang orang-orang Islam terdapat dalam firman Allah:

Bulan haram dengan bulan haram, dan pada sesuatu yang patut dihormati, berlaku hukum qishash. Oleh sebab itu barangsiapa yang menyerang kamu, maka seranglah ia, seimbang dengan serangannya terhadapmu. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah, bahwa Allah beserta orang-orang yang bertakwa. (QS. al-Baqarah/2: 194)

Tentang petunjuk untuk tetap bersikap adil meskipun dalam peperangan Allah berfirman:

Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. al-Maidah/5:8)

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa ketentuan-ketentuan hukum dalam Al-Qur’an sebagian besarnya di sampaikan dalam bentuk prinsip-prinsip dasar, prinsip-prinsip umum dan bersifat global, kecuali dalam beberapa hal, seperti dalam masalah kaffarat dan hukum keluarga serta dan beberapa hal dalam hukum pidana.
 
Sumber : Buku Ushul Fiqh, Satria Effendi

Tidak ada komentar:

Kisah Mata Air Keabadian

Kisah ini diriwayatkan oleh Ats-Tsa’labi dari Imam Ali ra. Pada zaman dahulu hiduplah seorang hamba Allah SWT yang melebihkan kepada d...