Rabu, 15 Oktober 2014

Pengantar Filsafat I Pengertian Dasar I Mempelajari Filsafat I Manfaat Filsafat I Kebenaran Filsafat I Filsafat sebagai ilmu Pengetahuan


Mempelajari Filsafat

Berdasarkan pengertian filsafat tersebut, boleh jadi ada pihak yang merasa asing dengan permasalahan ini, terutama di Indonesia. Pada umumnya, sistem pendidikan di Indonesia menempatkan filsafat sebagai bidang studi pada taraf pendidikan tinggi, itu pun hanya pada disiplin ilmu tertentu. Boleh jadi, mereka menginginkan pemahaman yang benar mengenai filsafat dan bertanya-tanya bagaimana caranya mempelajari filsafat. Dengan pemahaman filsafat seperti itu, terutama dengan mengaitkannya pada definisi tersebut, terdapat ciri khas, baik dalam cara berpikir maupun masalah yang dipikirkannya. Hal ini jelas berbeda dengan cara seseorang saat mempelajari ilmu berhitung atau ilmu bumi yang sistematikanya sudah umum dan baku yang telah dipelajari sejak di sekolah dasar. Mengenai caranya, sebagian pihak berpendapat, bahwa antara mempelajari filsafat dan ilmu pengetahuan lain, pada dasarnya adalah sama.

Secara umum, Langeveld (1959) mengatakan bahwa apabila seseorang ingin belajar berfilsafat, mulailah berfilsafat. Caranya, mulailah memikirkan segala hal secara mendalam, yaitu janganlah berpikir yang tidak terbatas pada asumsi-asumsi, melainkan sampai pada konsekuensi-konsekuensinya yang terakhir. Immanuel Kant mengatakan, bahwa seseorang yang datang kepadanya bukanlah untuk belajar filsafat, melainkan belajar berfilsafat.

Di pihak lain, Beerling (1959) dalam bukunya “Filsafat Dewasa ini” menyatakan, bahwa tidak semua manusia berfilsafat meskipun berpikir. Namun, siapa pun dapat berfilsafat asalkan memiliki minat dan kecerdasan yang cukup. Jadi, untuk dapat berfilsafat atau mempelajari filsafat, pada dasarnya dituntut minat dan kecerdasan yang cukup, tidak berbeda dengan mempelajari masalah atau subject matter yang lain. Untuk mampu menjadi seorang ahli biologi, siapa pun harus memiliki minat terhadap biologi itu sendiri dan kecerdasan pada bidang tersebut. Dengan tegas dikatakan, bahwa untuk belajar filsafat tidak hanya harus dipenuhi kemampuan berpikir yang memadai, tetapi minat yang memadai pula. Minat yang memadai ini adalah minat pada bidang kajian filsafat yang berbeda dengan jenis kajian ilmu pengetahuannya. Bidang kajian filsafat disebut dengan objek material filsafat, yaitu hakikat segala sesuatu. Seseorang yang mempelajari kajian tertentu, disebut dengan objek formal, seperti refleksi dan kontemplasi. Jadi, objek material filsafat adalah segala hal, sedangkan objek formalnya adalah cara berpikirnya.

Kecerdasan dan pendalaman minat akan mengantarkan seseorang pada pemahaman filsafat yang lebih besar, seperti pemahaman yang lebih banyak dan mendalam terhadap biologi dan ilmu-ilmu lainnya. Sebagai tambahan, apabila kita telah biasa mempelajari ilmu pengetahuan secara konvensional, lalu kita bertindak dari asumsi tersebut, untuk mempelajari filsafat, kita harus tertarik memperbincangkan asumsi tersebut. Sebagai contoh, karya ilmiah untuk mahasiswa tingkat tinggi disebut S-3 dengan gelar Ph. D. Mahasiswa tersebut disyaratkan menemukan proporsi-proporsi baru yang tidak lain dari asumsi-asumsi baru, kemudian diperluas menjadi teori baru. Orang yang sedang mempelajari filsafat, hendaknya tidak berhenti sampai pada asumsi tetapi melampauinya sampai pada konsekuensi-konsekuensi yang terakhir.

Dalam pebincangan ini terdapat hal penting, yaitu mengenai metode yang digunakan dalam filsafat yang secara prinsipil berbeda dibandingkan dengan metode belajar ilmu lain. Inti dari metode berfilsafat adalah refleksi. Berfilsafat adalah berefleksi dan berkontemplasi. Artinya, orang tersebut tidak memikirkan mengenai apa yang secara konkret ada di hadapannya secara langsung tetapi memikirkan apa yang mendasarinya. Misalnya, ketika seseorang melihat gunung yang indah melalui kaca jendela, ia mempertanyakan apa indah itu, mengapa saya menyebut gejala itu dengan indah dan tidak indah, dan terhadap pemandangan seperti itu, mengapa kita tidak menggunakan atau mempertanyakan mahal dan murahnya.

Dikatakan seseorang bahwa tekanan dalam berfilsafat diletakkan pada persoalan dan pertanyaan bukan pada jawabannya. Berfilsafat juga mempertanyakan pertanyaan. Dalam memastikan kebenaran, filsafat mempercayakan pada rasio dan akal budi. Filsafat merupakan kegiatan rasional yang tidak memerlukan bukti empiris.

Berikut ini merupakan perbincangan filsafat secara umum dan singkat.

·         Ilmu pengetahuan diperoleh melalui metode ilmiah dengan membandingkan atau menguji hipotesis dari perbincangan teoretis (rasional) oleh hasil penelitian di lapangan (empiris).

·         Religi diperoleh melalui wahyu Tuhan dan diajarkan para nabi dan rasul Allah, misalnya dalam agama Islam kebenaran itu didapat dari firman Allah Swt, yaitu dalam Al-Qur’an dan Hadis.

·         Estetika atau keindahan didapat dari penghayatan melalui perasaan senang atau tidak, nyaman atau tidak, ketika kita menghadapi suatu objek. Istilah harmonis menjadi pegangan utama, meskipun kita juga memasukkan istilah enharmonis di dalamnya.

·         Kebenaran filsafat didapat dari refleksi atau perenungan atas suatu masalah, semata-mata dengan rasio secara radikal sehingga ditemukan suatu jawaban atau lebih, berupa hakikat (the nature). Perlu diingat, bahwa dalam mempersoalkan asumsi, perbincangan filsafati tidak akan berhenti sampai ujungnya. Oleh karena itu, asumsi-asumsi akan senantiasa berkembang dan menjadi dasar dari perkembangan ilmu.

Dalam mempelajari filsafat, kita memerlukan penjelasan operasional mengenai cara mempelajari atau memahami filsafat ini. Metode yang lazim digunakan ada dua, yaitu metode sistematis dan historis.

1.      Metode sistematis

Metode sistematis adalah cara mempelajari filsafat mengenai materi atau masalah-masalah yang dibicarakannya sistematis di sini artinya adanya susunan dan urutan (hierarki), juga kaitan suatu masalah dengan materi atau masalah lain yang terdapat dalam filsafat. Lantas, apa yang dimaksud dengan materi atau permasalahan dalam filsafat dan bagaimana susunan dan hubungan satu masalah dengan masalah lain terjadi? Hal ini merupakan bahasan dalam metode ini. Setiap ahli bidang ini dapat saja mengajukan pendapatnya mengenai materi atau masalah apa saja yang dibicarakan dalam filsafat.

Langeveld (1959) mengajukan tiga masalah pokok dalam filsafat yang melahirkan jenis-jenis filsafat, disebut dengan problematika filsafat. Ketiga masalah tersebut antara lain a) masalah mengenai dan mengetahui atau cognition, b) masalah segala sesuatu atau metafisika, yaitu metafisika umum, atau ontologi, dan metafisika khusus, serta c) masalah penilaian, nilai dan aksiologi.

Dalam pembicaraan sistematis ini terjadi perbandingan pengertian dan masalah tertentu, misalnya masalah logika antara seorang pemikir dan pemikir lain. Bahkan, perbandingan antarwaktu, seperti metafisika pada masa Yunani Kuno dengan Abad Pertengahan dan pendapat Gabriel Marcel pada Zaman Modern.

Sebagai bahan perbandingan, sistematika ini sudah ada sejak masa Yunani Kuno yang terkenal adalah sistematika Aristoteles. Sistematika ini dianggap sebagai sistematika pertama dalam filsafat, meskipun sebelumnya, guru Aristoteles, Plato telah mengemukakan tiga cabang filsafat, yaitu dialektika yang mempersoalkan gagasan atau pengertian umum, fisika yang mempersoalkan gagasan atau pengertian umum, fisika yang mempersoalkan dunia materi, dan etika yang mempersoalkan baik serta buruk. Menurut Aristoteles, pembagian atau klasifikasi filsafat adalah logika yang dianggap sebagai pendahulu filsafat. Adapun klasifikasi filsafatnya, yaitu filsafat teoretis membicarakan fisika, matematika, dan metafisika; filsafat fisika praktis membicarakan etika, ekonomi dan politik; serta filsafat poetika (kesenian)

2.      Metode historis

Metode historis adalah cara mempelajari filsafat berdasarkan urutan waktu, perkembangan pemikiran filsafat yang telah terjadi, sejak kelahirannya sampai saat ini, sepanjang dapat dicatat dan memenuhi syarat-syarat pencatatan serta penulisan sejarah. Dalam pencatatan sejarah ini terdapat periodisasi perkembangan pemikiran mengenai berbagai masalah yang bisa saja berbeda untuk setiap ahli karena memiliki bahan pertimbangan dan asumsi masing-masing. Menurut Bertens (1976), sejarah perkembangan filsafat dibagi dalam empat tahap, yaitu a) Zaman Yunani Kuno dari Abad ke-6 SM sampai dengan 200 M, b) Zaman Patristik dan Pertengahan dari 200-1500 M, c) Zaman Modern dari 1500-1800, dan d) Zaman Baru sejak 1880.

Angka-angka tahun tersebut tidak dapat dijadikan pegangan secara pasti karena sejarah perkembangan pemikiran tidak memiliki batas waktu yang definitif, seperti kenaikan pangkat atau kejadian berwujud. Tahun-tahun tersebut hanya berupa perkiraan. Daerah abu-abu yang menjadi perantara suatu masa dengan masa lainnya merupakan hal yang biasa sehingga kita menyebut seseorang tokoh cenderung pada masa sebelumnya. Adapun tokoh lain yang hidup pada masa sesudahnya, cenderung tidak mengalami banyak perbedaan. Contoh kerelativan yang sangat kuat adalah masa yang kemudian dikenal sebagai Pasca-modern, yaitu kira-kira setelah 1950. Akan tetapi, ada pihak yang berpendapat bahwa masa tersebut dapat ditelusuri sejak Abad Pertengahan, jauh sebelum Zaman Modern, 400 tahun kemudian.

Perlu kita ketahui bahwa bahan yang dibicarakan adalah hakikat yang dibangun dari kemampuan nalar para filosof. Hal ini merupakan sesuatu yang wajar apabila pada beberapa abad yang lalu terdapat suatu pemikiran yang hingga saat ini masih ada pengikutnya atau bahkan bangkit kembali sebagai filsafat lama dengan “nafas baru”.

Beberapa pemikir masa kini mendasarkan pemikirannya pada Sokrates, Plato, dan Aristoteles yang hidup hampir 26 abad yang lalu. Pemikiran Immanuel Kant atau Husserl banyak dijadikan acuan pemikir pada abad dua puluh, tentu saja masuk akal dan dinilai wajar.

Dalam sejarah perkembangan filsafat, Solomon dan Higgins membaginya menjadi empat periode antara lain:

a)      Zaman Filsafat Kuno, kurang lebih sama dengan filsafat Yunani Kuno sampai dengan stoisisme, skeptisisme, dan epikurenisme;

b)      Zaman Religius dan Abad Pertengahan sampai dengan Renaisans;

c)      Zaman Filsafat Modern dan Pencerahan sampai dengan Feuerbach, Kierkegaard, Darwin, dan Nietzsche; serta

d)     Zaman Filsafat Abad XX, modernisme, dan pasca-modernisme

Dari kedua ahli tersebut, penulis menyimpulkan adanya lima zaman dalam sejarah perkembangan filsafat, yaitu

a)      Zaman Yunani Kuno, tahun 600-an SM sampai dengan tahun 200-an M,

b)      Zaman Patristik dan Pertengahan, tahun 200-an M sampai dengan tahun 1500-an M,

c)      Zaman Modern, tahun 1500-an sampai dengan tahun 1800-an,

d)     Zaman Baru tahun 1800-an sampai dengan 1950-an, dan

e)      Pasca-modern tahun 1950-an sampai saat ini.

Mengenai pasca-modern, sebagian orang berpendapat, bahwa mazhab itu tidak cukup pantas untuk dijadikan periode waktu tersendiri. Di Indonesia, pasca-modern merupakan salah satu periode dalam sejarah perkembangan filsafat yang masih perlu dipertimbangkan. Pasca-modern sebanding dengan eksistensialisme yang hadir pada 1950-an di Indonesia. Alasan penolakan pasca-modern saat itu adalah bahwa apa yang menjadi tema dan topik eksistensialisme sama sekali tidak bersentuhan dengan masalah nyata masyarakat Indonesia saat itu.

Ada satu hal yang perlu diperhatikan dalam sejarah filsafat, bahwa Abad ke-6 SM dianggap merupakan awal dari sejarah filsafat. Seperti kita ketahui, bahwa manusia mulai mendiami dunia pada tahun 60.000 SM atau pada Abad ke-600 SM. Manusia “datang’ ke bumi dengan berbekal akal dan pikiran. Jadi dapat dikatakan, bahwa sebenarnya filsafat sudah ada sejak Abad ke-600 SM. Akan tetapi, sistem pencatatan yang terjadi antara 60.000 SM sampai dengan 600 SM tidak dianggap memenuhi syarat penulisan sejarah. Dengan perkataan lain, periode tersebut merupakan periode pra-sejarah filsafat. Dapat pula dikatakan, bahwa pada 600 SM terdapat pola pikir atau paradigma baru dalam berpikir yang terjadi secara global atau lebih tepat mondial. Alasannya adalah bahwa di seluruh daerah sumber filsafat yang dikenal dalam dunia akademis, pada Abad ke-6 SM itulah, filsafat mulai dikenal. Daerah sumber yang dimaksud adalah Yunani (Thales). India (Wedda), Asia Tenggara (Sidharta Gautama), dan Cina (Kong Hu Tzu).

3.      Metode-metode lain

Selain kedua metode tersebut, dalam mempelajari filsafat terdapat metode lain, tetapi tidak popular dan tidak umum digunakan. Metode lain yang dimaksud di antaranya metode ikhtisar (ikhtisar = sari, singkatan) yang secara ringkas mengemukakan inti dari berbagai aliran atau masalah filsafat yang pernah berkembang baik secara berurutan menurut waktu maupun tidak. Hal yang diikhtisarkan adalah bagian-bagian permasalahan filsafat seperti yang dibicarakan dalam sistematika filsafat.

Kritik terhadap metode ini adalah bahwa metode ikhtisar ini tidak dapat menggambarkan situasi filsafat pada setiap waktu yang dimaksud. Keadaannya sama dengan ikhtisar atau inti sari yang terdapat dalam buku-buku sastra yang isi lengkapnya diperkirakan tidak akan sempat dibaca oleh para siswa. Orang yang mempelajari sastra dari inti sari cerita buku sastra berbeda dengan orang yang membaca sendiri buku yang sebenarnya. Orang yang mempelajari buku sastra dari inti sarinya akan memandang sastra secara rasional. Adapun mereka yang membaca sendiri buku sastra mampu menghayati keseluruhan nilai sastra tersebut, seperti yang terdapat dalam kata demi kata sehingga metode membaca cepat pun tidak dianjurkan.

Sebaga jalan pembuka bagi orang yang memasuki dunia filsafat secara lebih mendalam, mempelajari filsafat dari inti sari atau ikhtisarnya, sedikit banyak ada manfaatnya. Terlebih lagi filsafat berbeda dengan sastra, yaitu menekankan segi rasionalnya.

Dikenal pula istilah metode wilayah sumber filsafat, yaitu mempelajari filsafat berdasarkan perkembangan di wilayah-wilayah yang dikenal sebagai sumber filsafat, misalnya Yunani dengan tokoh pertamanya Thales. Secara umum, metode tersebut membicarakan alam atau kosmos, sedangkan secara khusu, metode tersebut menyangkut hubungan subjek dan objek, misalnya India dengan tokoh pertamanya Wedda. Pada metode tersebut, Wedha membicarakan alam, terutama hubungan makhluk dengan Tuhannya. Di Asia Tenggara, metode tersebut lebih membicarakan keseimbangan hidup dalam mengabdi kepada Tuhan, sedangkan di Cina dengan tokoh utamanya Kong Hu Tzu dan Jepang, metode ini banyak diwarnai oleh masalah-masalah hubungan sosial.

Dalam mempelajari filsafat, kerap terjadi kelemahan atau kesalahan, seperti membanding-bandingkan filsafat di suatu daerah dengan daerah lain dan membuat evaluasi mana yang lebih tinggi daripada yang lain. Dengan demikian, seseorang yang mempelajari filsafat dengan metode ini akan berhadapan denga dua perbedaan, yaitu perbedaan horizontal dan vertical. Perbedaan horizontal lebih bermakna abstrak (yang ini bukan yang itu juga bukan), sedangkan perbedaan vertical lebih bermakna perbandingan (yang ini lebih tinggi daripada itu).

Dalam mempelajari filsafat, kita dapat memilih mana yang lebih dahulu atau memilih satu di antara yang lain, meskipun seharusnya meliputi seluruh jenis filsafat. Metode yang paling banyak dianut orang adalah Metode Sistematika Filsafat (Metode Sistematis), kemudian Metode Sejarah Filsafat (Metode Hisoris). Mengapa cara ini dipilih? Pada umumnya, orang telah terbiasa mempelajari ilmu pengetahuan secara konvensional, lazimnya diawali dengan pengenalan mengenai apa yang akan dipelajarinya, setelah itu masalah dan hal-hal lainnya. Misalnya, dalam mempelajari sejarah, dimulai dengan apa yang disebut ilmu sejarah; dalam mempelajari geografi, dimulai dengan apa yang disebut ilmu bumi; begitu pula dalam mempelajari batu-batuan, dimulai dengan mempertanyakan apa yang disebut (ilmu) batu-batuan. Dengan perkata lain, kita dapat memulainya dalam bentuk pertanyaan mengenai pengertian dan definisinya. Selanjutnya, kita dapat melakukan perbandingan terhadap suatu hal di suatu tempat dengan tempat lainnya, pada suatu masa dengan masa lainnya.

Sebagian pihak berpendapat sebaliknya bahwa metode yang terlebih dahulu dipelajari adalah Metode Sejarah Filsafat, kemudian Metode Sistemtika Filsafat. Tujuan agar siswa dapat mengenal perkembangan filsafat secara menyeluruh terlebih dahulu. Ada pula pihak yang menganjurkan mempelajari ikhtisar filsafat terlebih dahulu, tujuannya agar lebih mudah dalam mempelajarinya. Jadi, mereka yang tidak akan menjadi filosof atau ahli filsafat, cukup mengenalinya saja. Sebagian pihak ada pula yang menganjurkan, bahwa pemahaman terhadap sumber filsafat adalah hal yang harus dipelajari terlebih dahulu karena erat kaitannya dengan kultur masyarakat.

Hampir dapat dipastikan, bahwa dalam mempelajari metode filsafat terdapat kekuatan dan kelemahan masing-masing. Pada dasarnya, kita bebas memilih dan menentukan, mana yang secara metodis lebih menguntungkan atau lebih memberi kemudahan kepada pihak pengajar, terutama siswa. Terhadap kekuatan dan kelemahannya, sikap kita adalah bagaimana memanfaatkan kekuatannya serta mewaspadai, menghindari, atau mengurangi efek buruk kelemahannya.

Pada perbincangan ini, metode yang akan dipilih adalah Metode Sistematika Filsafat, kemudian Metode Sejarah Filsafat. Dua metode lainnya dinilai kurang esensial sehingga tidak akan disampaikan dalam buku yang bersifat pengantar ini.         

Manfaat Filsafat

Studi filsafat ini kerap kali diabaikan orang karena seolah-olah tidak cukup membumi, yaitu tidak ada hubungannya dengan masalah-masalah nyata dalam kehidupan sehari-hari terlebih lagi menyelesaikan masalah dalam kehidupan sehari-hari, tetapi sekadar “latihan berpikir”, seperti mengisi teka-teki silang.

Berdasarkan pemahaman dasarnya, persepsi ini tidak tepat, meskipun di dalamnya terkandung manfaat. Secara khusus, filsafat merupakan perbincangan mencari hakikat sesuatu gejala atau segala hal yang ada. Artinya, filsafat merupakan landasan dari sesuatu apapun, tumpuan segala hal, jika salah, tentulah berbahaya, sedikitnya akan merugikan. Apabila kehidupan berpengetahuan itu diibaratkan sebuah pohon maka filsafat adalah akarnya, yaitu bagian yang berhubungan langsung dengan sumber kehidupan pohon itu, sedangkan batang, dahan, ranting, daun, bunga, dan buah menjadi bahan kajian ilmu pengetahuan. Berdasarkan hasil penelitian, ilmu pengetahuan berhubungan dengan apa yang terlihat atau yang biasa disebut menggejala atau mewujud. Terlebih lagi kaum awam, ia hanya dapat melihat sesuatu secara langsung atau yang berhubungan secara langsung, khususnya menjawab kebutuhan nyata dirinya sendiri.

Dalam perbincangan lebih nyata, filsafat mempersoalkan dan membicarakan kembali akar, baik berdasarkan ilmu pengetahuan maupun pemahaman lain. Jadi, filsafat menyadarkan manusia terhadap apa yang sudah biasa diyakini, digauli, digunakan, dan dilakukannya. Hal ini penting! Sebagai contoh pada matematika, “Mengapa 5 x 5 lebih besar daripada 4 x 4?” Umumnya, orang percaya begitu saja, bahkan mempercayainya apa yang dikatakan orang lain, seperti guru atau orang tua dan kakaknya. Jawaban yang sebenarnya adalah adanya kesepakatan bahwa sebutan angka 5 lebih tinggi nilainya daripada 4. Dengan catatan, angka berikutnya lebih tinggi daripada angka sebelumnya. Filsafat mengatakan, “Ingatlah di balik matematika itu ada suatu kesepakatan, jika kesepakatan tidak demikian, belum tentu 5 x 5 lebih besar daripada 4 x 4.

Dalam hal ini, ilmu pengetahuan mengenal asumsi yang disebut aksioma, yaitu anggapan dasar yang merupakan tumpuan atau sumber dari awal kehidupan dan perkembangan ilmu pengetahuan. Wacana atau perbincangan filsafat melahirkan asumsi tersebut. Hal tersebut disebut sebagai keyakinan filsafati (philosophical belief). Asumsi tersebut jika terus-menerus ditelaah ketepatannya, bukan tidak mungkin akan mengalami perubahan, entah itu bertambah atau berkurang, atau justru berubah. Akhirnya, teori-teori baru dalam bidang pengetahuan akan bermunculan sehingga lahirlah istilah filsafat ilmu. Filsafat ilmu berperan fundamental dalam melahirkan, memelihara, dan mengembangkan ilmu pengetahuan.

Masalah penting, ialah suatu pandangan filsafati tidak akan hilang atau terganti oleh pandangan filsafat berikutnya, meskipun hal tersebut bertujuan untuk mengoreksi pandangan filsafati sebelumnya. Hal itu dapat terjadi karena pandangan atau pemikiran filsafati adalah perbincangan rasional semata, tetapi mendalam dan melibatkan seluruh jiwa raga atau eksistensinya. Kebenarannya, selain relatif juga mendasar. Oleh karena itu, jika ada satu pendapat, kemudian dikoreksi oleh pendapat baru, bukan berarti yang satu hilang, lalu diganti dengan yang lain, melainkan menjadi dua pandangan atau pendapat. Jika kedua pendapat yang berbeda itu kit padukan akan melahirkan tiga pandangan.

Selanjutnya, perubuhan itu akan terus berkembang tidak henti-hentinya sehingga pandangan dasar itu akan terus berubah dan berkembang. Dengan demikian, ilmu pengetahuan yang didasarinya akan berubah pula, khususnya dalam arti berkembang. Begitulah filsafat, pada saat suatu keyakinan mengenai sesuatu ditetapkan, pada saat itu pula diragukan. Pada saat kebenaran ditemukan, muncullah keraguan atau kebenaran itu.

Perlu diperhatikan, bahwa selain asumsi atau aksioma, dikenal pula istilah lain yang hampir serupa, yaitu postulat. Perbedaannya adalah, bahwa asumsi merupakan keyakinan filosofis yang menjadi anggapan dasar ilmu yang diyakini kebenarannya dan keyakinan itu tidak perlu dipermasalahkan lagi. Adapun postulat merupakan keyakinan filsafati dan landasan ilmu pengetahuan yang di akhir perbincangan atau penelitiannya dapat dibicarakan kembali untuk diubah.

Manfaat lain filsafat adalah didasarkan pada pengertian filsafat sebagai suatu integrasi atau pengintegrasi sehingga dapat melakukan fungsi integral ilmu pengetahuan. Sebagian besar orang hanya menyangkutkan apa yang paling dekat dan apa yang paling dibutuhkannya pada saat dan tempat tertentu. Alam raya, ilmu pengetahuan, benda-benda, dan manusa hanya dipandangnya dari beberapa bagian kecil yang penting, serta menurut waktu, tempat, dan keadaan tertentu. Dengan demikian, pandangannya tentang segala sesuatu adalah sempit dan eksklusif. Alam raya seolah-olah dibagi-bagi, manusia seolah-olah dipotong-potong menjadi badan dan jiwa, sedangkan jiwanya dibagi-bagi menjadi emosi, motivasi, inteligensi dan lain-lain. Masyarakat dikotak-kotak sehingga akan kehilangan arti menyeluruh dan hakikinya.

Filsafat memandang segala sesuatu dalam suatu sistem keseluruhan dan dalam segala aspeknya, sebagai akibat dari pandangan dasar atau akarnya.

Kebenaran Filsafati

Bagaimana pun manusia bertanya karena heran. Berdasarkan pertanyaan itu, mereka berharap untuk mendapatkan kebenaran melalui jawaban, yaitu keterangan yang benar mengenai apa yang dipertanyakannya. Permasalahannya adalah apakah kebenaran itu? Hal ini merupakan masalah penting dalam filsafat pada umumnya, dan khususnya dalam epistemologi atau filsafat ilmu. Kebenaran merupakan hasil penilaian. Permasalah berikutnya, “Apakah yang menjadi dasar dari penilaian itu?”Boleh jadi subjektif, yaitu berdasarkan norma, nilai, dan keyakinan orang yang menilainya. Boleh jadi juga objektif, yaitu berdasarkan ukuran-ukuran, manfaat, dan lain-lain terhadap objeknya sendiri. Kita tidak perlu menyatakan bahwa subjektif lebih buruk daripada objektif karena yang sebenarnya ada hanyalah perbedaan yang satu bukan yang lain.

Dalam menentukan sesuatu itu benar, pada dasarnya kita mengukurnya berdasarkan dua kemungkinan, yaitu kebenaran apriori atau kebenaran hipotesis dan kebenaran aposteriori atau kebenaran empiris. Kebenaran apriori adalah kebenaran berdasarkan akal semata-mata, secara logika tanpa memerlukan bukti empiris, sedangkan kebenaran aposteriori atau kebenaran setelah pengalaman adalah kebenaran yang ditemukan di lapangan melalui suatu abstraksi berupa ukuran-ukuran dari wujud apa yang ingin diketahui. Kebenaran seperti ini adalah kebenaran ilmu pengetahuan dari Kant, Comte, dan sebagainya. Kant berpendapat, bahwa ilmu pengetahuan harus berdasarkan sintesis apriori dan analitis aposteriori. Maksudnya, bahwa kebenaran ilmu pengetahuan itu harus berdasarkan penggunaan akal atau pemikiran teoretis yang disebut hipotesis dan teruji oleh bukti faktual yang menguatkan atau menegakkan, berupa hasil pengukuran objektif. Adapun untuk hipotesis, jika telah didukung oleh fakta di lapangan maka kebenaran ilmiah dinilai telah sah.

Kebenaran filsafati tidak demikian karena wacana filsafati semata-mata berdasarkan penggunaan akal. Pada masa Yunani Kuno sampai dengan Abad Pertengahan, filsafat dalam mencari kebenaran sama halnya dengan ilmu pengetahuan dalam mencari kebenaran. Dengan perkataan lain, sampai Abad Pertengahan tidak ada perbedaan antara wacana ilmu pengetahuan dan perbincangan filsafati karena hanya ada satu jenis perbincangan ilmu pengetahuan disebut filsafat yang hanya mengandalkan pemikiran.

Hal terpenting, bahwa kebenaran filsafati itu adalah kebenaran yang hakiki bersifat subjektif, hasil pendalaman pemikiran dari berbagai sudut pandang pemikir. Dengan demikian, hasil pemikiran filsafati tidak dapat dibandingkan dalam arti baik-buruk dan benar-salahnya. Suatu pemikiran yang mendalam dan jernih sangat mungkin mencapai kebenaran tertinggi, lebih tinggi daripada hasil pengukuran di lapangan. Pengukuran di lapangan pun boleh jadi kurang baik nilainya karena alat ukur yang tidak canggih dan pengukurannya sendiri yang tidak akurat.

Meskipun berbicara tentang hal yang sama, belum tentu suatu pendapat “baru” menyebabkan pendapat “lama” gugur. Pendapat Plato, bahkan Socrates, pada masa Yunani Kuno tidaklah dapat dianggap tidak berlaku lagi ketika pada abad ini ada pendapat modern, seperti dari Husserl atau Jaspers, bahkan jika ada pemikiran pasca-modernisme sekali pun. Hal yang dapat diterapkan dalam memandang pikiran-pikiran filsafati yang tidak sama itu adalah “lain” atau “beda”.

Adapun yang dimaksud dengan subjektif adalah suatu pendapat berdasarkan kemampuan atau keadaan dan sudut pandang subjek, sedangkan objektif adalah sesuai dengan keadaan objek atau wujudnya.

Filsafat sebagai Ilmu Pengetahuan

Apakah filsafat itu ilmu pengetahuan atau bukan merupakan bahasan penting dalam epistemologi ataupun pengantar filsafat secara umum. Pada bagian ini perlu sedikit tambahan penjelasan berkenaan dengan segi wawasan awalnya. Filsafati dan ilmu pengetahuan jelasa berbeda karena filsafat membuat asumsi, sedangkan ilmu pengetahuan dibangun atas dasar asumsi tersebut. Permasalahannya, “Adakah peluang filsafat dipelajari sebagai ilmu pengetahuan?”

Dalam hal ini, ilmu pengetahuan mutlak dibuktikan dalam sebuah ekperimen. Realitas yang demikian kaya raya akan menuntut berbagai metode dalam kelahiran dan pengembangannya. Merupakan hal yang wajar apabila ilmu pengetahuan dibangun oleh eksperimen, tetapi tidak akan dapat menyentuh realitas yang asasi yang disebut sebagai hakikat. Dengan demikian, ilmu pengetahuan berusaha untuk menjawab berbagai relaitas yang ada. Oleh karena itu, diperlukan kebebeasan untuk menggunakan metode-metodenya.

Filsafat sebagai suatu wacana memiliki peluang untuk diketahui. Untuk sementara waktu, filsafat dipandang sebagai bahan pembelajarannya yang cukup memenuhi. Filsafat sebagai sejumlah bahan yang menjadi objek penelaahan tersusun dengan rapi. Tinggal lagi masalah objektivitas filsafat sebagai ilmu pengetahuan. Objektif adalah tidak bergantung pada subjek, tetapi pada objek atau sesuai dengan objeknya. Sebagai contoh, apabila seseorang menyatakan bahwa barang itu berat, itulah yang disebut subjektif, sedangkan jika barang itu disebut 100 kg, pernyataan itu disebut objektif. Artinya, nilai objektif filsafat terdapat pada ciri-ciri tertentu yang ditampilkannya dan karenanya dapat diamati orang. Pengamatan ini tidak dilakukan oleh kelima indra kita, tetapi dikenali oleh pikiran. Hal ini sebenarnya telah dipenuhi oleh lima ciri utama filsafat seperti telah dikemukakan sebelumnya.

Dapatlah disimpulkan, bahwa ada dua pengertian filsafat, yaitu filsafat sebagai suatu kegiatan yang berada di luar ilmu pengetahuan sebagaimana dipisahkan pada masa Renaisans yang merupakan refleksi untuk mencapai suatu hakikat, dan filsafat sebagai sejumlah pikiran tersusun mengenai berbagai hal. Pengertian filsafat yang kedua telah menempatkan filsafat sebagai ilmu pengetahuan.  

     

Sumber : Buku Pengantar Filsafat, Sutardjo A. Wiramihardja

Tidak ada komentar:

Kisah Mata Air Keabadian

Kisah ini diriwayatkan oleh Ats-Tsa’labi dari Imam Ali ra. Pada zaman dahulu hiduplah seorang hamba Allah SWT yang melebihkan kepada d...