Mempelajari
Filsafat
Berdasarkan
pengertian filsafat tersebut, boleh jadi ada pihak yang merasa asing dengan
permasalahan ini, terutama di Indonesia. Pada umumnya, sistem pendidikan di
Indonesia menempatkan filsafat sebagai bidang studi pada taraf pendidikan
tinggi, itu pun hanya pada disiplin ilmu tertentu. Boleh jadi, mereka
menginginkan pemahaman yang benar mengenai filsafat dan bertanya-tanya
bagaimana caranya mempelajari filsafat. Dengan pemahaman filsafat seperti itu,
terutama dengan mengaitkannya pada definisi tersebut, terdapat ciri khas, baik
dalam cara berpikir maupun masalah yang dipikirkannya. Hal ini jelas berbeda
dengan cara seseorang saat mempelajari ilmu berhitung atau ilmu bumi yang
sistematikanya sudah umum dan baku yang telah dipelajari sejak di sekolah
dasar. Mengenai caranya, sebagian pihak berpendapat, bahwa antara mempelajari
filsafat dan ilmu pengetahuan lain, pada dasarnya adalah sama.
Secara
umum, Langeveld (1959) mengatakan bahwa apabila seseorang ingin belajar
berfilsafat, mulailah berfilsafat. Caranya, mulailah memikirkan segala hal
secara mendalam, yaitu janganlah berpikir yang tidak terbatas pada
asumsi-asumsi, melainkan sampai pada konsekuensi-konsekuensinya yang terakhir.
Immanuel Kant mengatakan, bahwa seseorang yang datang kepadanya bukanlah untuk
belajar filsafat, melainkan belajar berfilsafat.
Di
pihak lain, Beerling (1959) dalam
bukunya “Filsafat Dewasa ini” menyatakan, bahwa tidak semua manusia berfilsafat
meskipun berpikir. Namun, siapa pun dapat berfilsafat asalkan memiliki minat
dan kecerdasan yang cukup. Jadi, untuk dapat berfilsafat atau mempelajari
filsafat, pada dasarnya dituntut minat dan kecerdasan yang cukup, tidak berbeda
dengan mempelajari masalah atau subject matter yang lain. Untuk mampu menjadi
seorang ahli biologi, siapa pun harus memiliki minat terhadap biologi itu
sendiri dan kecerdasan pada bidang tersebut. Dengan tegas dikatakan, bahwa
untuk belajar filsafat tidak hanya harus dipenuhi kemampuan berpikir yang
memadai, tetapi minat yang memadai pula. Minat yang memadai ini adalah minat
pada bidang kajian filsafat yang berbeda dengan jenis kajian ilmu
pengetahuannya. Bidang kajian filsafat disebut dengan objek material filsafat,
yaitu hakikat segala sesuatu. Seseorang yang mempelajari kajian tertentu,
disebut dengan objek formal, seperti refleksi dan kontemplasi. Jadi, objek
material filsafat adalah segala hal, sedangkan objek formalnya adalah cara
berpikirnya.
Kecerdasan
dan pendalaman minat akan mengantarkan seseorang pada pemahaman filsafat yang
lebih besar, seperti pemahaman yang lebih banyak dan mendalam terhadap biologi
dan ilmu-ilmu lainnya. Sebagai tambahan, apabila kita telah biasa mempelajari
ilmu pengetahuan secara konvensional, lalu kita bertindak dari asumsi tersebut,
untuk mempelajari filsafat, kita harus tertarik memperbincangkan asumsi
tersebut. Sebagai contoh, karya ilmiah untuk mahasiswa tingkat tinggi disebut
S-3 dengan gelar Ph. D. Mahasiswa tersebut disyaratkan menemukan proporsi-proporsi
baru yang tidak lain dari asumsi-asumsi baru, kemudian diperluas menjadi teori
baru. Orang yang sedang mempelajari filsafat, hendaknya tidak berhenti sampai
pada asumsi tetapi melampauinya sampai pada konsekuensi-konsekuensi yang
terakhir.
Dalam
pebincangan ini terdapat hal penting, yaitu mengenai metode yang digunakan
dalam filsafat yang secara prinsipil berbeda dibandingkan dengan metode belajar
ilmu lain. Inti dari metode berfilsafat adalah refleksi. Berfilsafat adalah
berefleksi dan berkontemplasi. Artinya, orang tersebut tidak memikirkan
mengenai apa yang secara konkret ada di hadapannya secara langsung tetapi
memikirkan apa yang mendasarinya. Misalnya, ketika seseorang melihat gunung
yang indah melalui kaca jendela, ia mempertanyakan apa indah itu, mengapa saya
menyebut gejala itu dengan indah dan tidak indah, dan terhadap pemandangan
seperti itu, mengapa kita tidak menggunakan atau mempertanyakan mahal dan
murahnya.
Dikatakan
seseorang bahwa tekanan dalam
berfilsafat diletakkan pada persoalan dan pertanyaan bukan pada jawabannya. Berfilsafat juga mempertanyakan pertanyaan.
Dalam memastikan kebenaran, filsafat mempercayakan pada rasio dan akal budi.
Filsafat merupakan kegiatan rasional yang tidak memerlukan bukti empiris.
Berikut
ini merupakan perbincangan filsafat secara umum dan singkat.
·
Ilmu pengetahuan
diperoleh melalui metode ilmiah dengan membandingkan atau menguji hipotesis
dari perbincangan teoretis (rasional) oleh hasil penelitian di lapangan
(empiris).
·
Religi diperoleh
melalui wahyu Tuhan dan diajarkan para nabi dan rasul Allah, misalnya dalam
agama Islam kebenaran itu didapat dari firman Allah Swt, yaitu dalam Al-Qur’an
dan Hadis.
·
Estetika atau
keindahan didapat dari penghayatan melalui perasaan senang atau tidak, nyaman
atau tidak, ketika kita menghadapi suatu objek. Istilah harmonis menjadi
pegangan utama, meskipun kita juga memasukkan istilah enharmonis di dalamnya.
·
Kebenaran
filsafat didapat dari refleksi atau perenungan atas suatu masalah, semata-mata
dengan rasio secara radikal sehingga ditemukan suatu jawaban atau lebih, berupa
hakikat (the nature). Perlu diingat,
bahwa dalam mempersoalkan asumsi, perbincangan filsafati tidak akan berhenti
sampai ujungnya. Oleh karena itu, asumsi-asumsi akan senantiasa berkembang dan
menjadi dasar dari perkembangan ilmu.
Dalam
mempelajari filsafat, kita memerlukan penjelasan operasional mengenai cara
mempelajari atau memahami filsafat ini. Metode yang lazim digunakan ada dua,
yaitu metode sistematis dan historis.
1.
Metode
sistematis
Metode
sistematis adalah cara mempelajari filsafat mengenai materi atau
masalah-masalah yang dibicarakannya sistematis di sini artinya adanya susunan
dan urutan (hierarki), juga kaitan suatu masalah dengan materi atau masalah
lain yang terdapat dalam filsafat. Lantas, apa yang dimaksud dengan materi atau
permasalahan dalam filsafat dan bagaimana susunan dan hubungan satu masalah
dengan masalah lain terjadi? Hal ini merupakan bahasan dalam metode ini. Setiap
ahli bidang ini dapat saja mengajukan pendapatnya mengenai materi atau masalah
apa saja yang dibicarakan dalam filsafat.
Langeveld
(1959) mengajukan tiga masalah pokok dalam filsafat yang melahirkan jenis-jenis
filsafat, disebut dengan problematika filsafat. Ketiga masalah tersebut antara
lain a) masalah mengenai dan mengetahui atau cognition, b) masalah segala sesuatu atau metafisika, yaitu
metafisika umum, atau ontologi, dan metafisika khusus, serta c) masalah
penilaian, nilai dan aksiologi.
Dalam
pembicaraan sistematis ini terjadi perbandingan pengertian dan masalah
tertentu, misalnya masalah logika antara seorang pemikir dan pemikir lain.
Bahkan, perbandingan antarwaktu, seperti metafisika pada masa Yunani Kuno
dengan Abad Pertengahan dan pendapat Gabriel
Marcel pada Zaman Modern.
Sebagai
bahan perbandingan, sistematika ini sudah ada sejak masa Yunani Kuno yang
terkenal adalah sistematika Aristoteles. Sistematika ini dianggap sebagai
sistematika pertama dalam filsafat, meskipun sebelumnya, guru Aristoteles,
Plato telah mengemukakan tiga cabang filsafat, yaitu dialektika yang
mempersoalkan gagasan atau pengertian umum, fisika yang mempersoalkan gagasan
atau pengertian umum, fisika yang mempersoalkan dunia materi, dan etika yang
mempersoalkan baik serta buruk. Menurut Aristoteles, pembagian atau klasifikasi
filsafat adalah logika yang dianggap sebagai pendahulu filsafat. Adapun
klasifikasi filsafatnya, yaitu filsafat teoretis membicarakan fisika,
matematika, dan metafisika; filsafat fisika praktis membicarakan etika, ekonomi
dan politik; serta filsafat poetika (kesenian)
2.
Metode
historis
Metode
historis adalah cara mempelajari filsafat berdasarkan urutan waktu,
perkembangan pemikiran filsafat yang telah terjadi, sejak kelahirannya sampai
saat ini, sepanjang dapat dicatat dan memenuhi syarat-syarat pencatatan serta
penulisan sejarah. Dalam pencatatan sejarah ini terdapat periodisasi
perkembangan pemikiran mengenai berbagai masalah yang bisa saja berbeda untuk
setiap ahli karena memiliki bahan pertimbangan dan asumsi masing-masing.
Menurut Bertens (1976), sejarah perkembangan filsafat dibagi dalam empat tahap,
yaitu a) Zaman Yunani Kuno dari Abad ke-6 SM sampai dengan 200 M, b) Zaman
Patristik dan Pertengahan dari 200-1500 M, c) Zaman Modern dari 1500-1800, dan
d) Zaman Baru sejak 1880.
Angka-angka
tahun tersebut tidak dapat dijadikan pegangan secara pasti karena sejarah
perkembangan pemikiran tidak memiliki batas waktu yang definitif, seperti
kenaikan pangkat atau kejadian berwujud. Tahun-tahun tersebut hanya berupa perkiraan.
Daerah abu-abu yang menjadi perantara suatu masa dengan masa lainnya merupakan
hal yang biasa sehingga kita menyebut seseorang tokoh cenderung pada masa
sebelumnya. Adapun tokoh lain yang hidup pada masa sesudahnya, cenderung tidak
mengalami banyak perbedaan. Contoh kerelativan yang sangat kuat adalah masa
yang kemudian dikenal sebagai Pasca-modern, yaitu kira-kira setelah 1950. Akan
tetapi, ada pihak yang berpendapat bahwa masa tersebut dapat ditelusuri sejak
Abad Pertengahan, jauh sebelum Zaman Modern, 400 tahun kemudian.
Perlu
kita ketahui bahwa bahan yang dibicarakan adalah hakikat yang dibangun dari
kemampuan nalar para filosof. Hal ini merupakan sesuatu yang wajar apabila pada
beberapa abad yang lalu terdapat suatu pemikiran yang hingga saat ini masih ada
pengikutnya atau bahkan bangkit kembali sebagai filsafat lama dengan “nafas
baru”.
Beberapa
pemikir masa kini mendasarkan pemikirannya pada Sokrates, Plato, dan
Aristoteles yang hidup hampir 26 abad yang lalu. Pemikiran Immanuel Kant atau
Husserl banyak dijadikan acuan pemikir pada abad dua puluh, tentu saja masuk
akal dan dinilai wajar.
Dalam
sejarah perkembangan filsafat, Solomon
dan Higgins membaginya menjadi empat
periode antara lain:
a) Zaman
Filsafat Kuno, kurang lebih sama dengan filsafat Yunani Kuno sampai dengan
stoisisme, skeptisisme, dan epikurenisme;
b) Zaman
Religius dan Abad Pertengahan sampai dengan Renaisans;
c) Zaman
Filsafat Modern dan Pencerahan sampai dengan Feuerbach, Kierkegaard, Darwin,
dan Nietzsche; serta
d) Zaman
Filsafat Abad XX, modernisme, dan pasca-modernisme
Dari
kedua ahli tersebut, penulis menyimpulkan adanya lima zaman dalam sejarah
perkembangan filsafat, yaitu
a) Zaman
Yunani Kuno, tahun 600-an SM sampai dengan tahun 200-an M,
b) Zaman
Patristik dan Pertengahan, tahun 200-an M sampai dengan tahun 1500-an M,
c) Zaman
Modern, tahun 1500-an sampai dengan tahun 1800-an,
d) Zaman
Baru tahun 1800-an sampai dengan 1950-an, dan
e) Pasca-modern
tahun 1950-an sampai saat ini.
Mengenai
pasca-modern, sebagian orang berpendapat, bahwa mazhab itu tidak cukup pantas
untuk dijadikan periode waktu tersendiri. Di Indonesia, pasca-modern merupakan
salah satu periode dalam sejarah perkembangan filsafat yang masih perlu
dipertimbangkan. Pasca-modern sebanding dengan eksistensialisme yang hadir pada
1950-an di Indonesia. Alasan penolakan pasca-modern saat itu adalah bahwa apa
yang menjadi tema dan topik eksistensialisme sama sekali tidak bersentuhan
dengan masalah nyata masyarakat Indonesia saat itu.
Ada
satu hal yang perlu diperhatikan dalam sejarah filsafat, bahwa Abad ke-6 SM
dianggap merupakan awal dari sejarah filsafat. Seperti kita ketahui, bahwa
manusia mulai mendiami dunia pada tahun 60.000 SM atau pada Abad ke-600 SM.
Manusia “datang’ ke bumi dengan berbekal akal dan pikiran. Jadi dapat
dikatakan, bahwa sebenarnya filsafat sudah ada sejak Abad ke-600 SM. Akan
tetapi, sistem pencatatan yang terjadi antara 60.000 SM sampai dengan 600 SM tidak
dianggap memenuhi syarat penulisan sejarah. Dengan perkataan lain, periode
tersebut merupakan periode pra-sejarah filsafat. Dapat pula dikatakan, bahwa
pada 600 SM terdapat pola pikir atau paradigma baru dalam berpikir yang terjadi
secara global atau lebih tepat mondial. Alasannya adalah bahwa di seluruh
daerah sumber filsafat yang dikenal dalam dunia akademis, pada Abad ke-6 SM
itulah, filsafat mulai dikenal. Daerah sumber yang dimaksud adalah Yunani (Thales). India (Wedda), Asia Tenggara (Sidharta
Gautama), dan Cina (Kong Hu Tzu).
3.
Metode-metode
lain
Selain
kedua metode tersebut, dalam mempelajari filsafat terdapat metode lain, tetapi
tidak popular dan tidak umum digunakan. Metode lain yang dimaksud di antaranya metode ikhtisar (ikhtisar = sari,
singkatan) yang secara ringkas mengemukakan inti dari berbagai aliran atau
masalah filsafat yang pernah berkembang baik secara berurutan menurut waktu
maupun tidak. Hal yang diikhtisarkan adalah bagian-bagian permasalahan filsafat
seperti yang dibicarakan dalam sistematika filsafat.
Kritik
terhadap metode ini adalah bahwa metode ikhtisar ini tidak dapat menggambarkan
situasi filsafat pada setiap waktu yang dimaksud. Keadaannya sama dengan
ikhtisar atau inti sari yang terdapat dalam buku-buku sastra yang isi
lengkapnya diperkirakan tidak akan sempat dibaca oleh para siswa. Orang yang
mempelajari sastra dari inti sari cerita buku sastra berbeda dengan orang yang
membaca sendiri buku yang sebenarnya. Orang yang mempelajari buku sastra dari
inti sarinya akan memandang sastra secara rasional. Adapun mereka yang membaca
sendiri buku sastra mampu menghayati keseluruhan nilai sastra tersebut, seperti
yang terdapat dalam kata demi kata sehingga metode membaca cepat pun tidak
dianjurkan.
Sebaga
jalan pembuka bagi orang yang memasuki dunia filsafat secara lebih mendalam,
mempelajari filsafat dari inti sari atau ikhtisarnya, sedikit banyak ada
manfaatnya. Terlebih lagi filsafat berbeda dengan sastra, yaitu menekankan segi
rasionalnya.
Dikenal
pula istilah metode wilayah sumber
filsafat, yaitu mempelajari filsafat berdasarkan perkembangan di
wilayah-wilayah yang dikenal sebagai sumber filsafat, misalnya Yunani dengan
tokoh pertamanya Thales. Secara
umum, metode tersebut membicarakan alam atau kosmos, sedangkan secara khusu,
metode tersebut menyangkut hubungan subjek dan objek, misalnya India dengan
tokoh pertamanya Wedda. Pada metode
tersebut, Wedha membicarakan alam, terutama hubungan makhluk dengan Tuhannya.
Di Asia Tenggara, metode tersebut lebih membicarakan keseimbangan hidup dalam
mengabdi kepada Tuhan, sedangkan di Cina dengan tokoh utamanya Kong Hu Tzu dan Jepang, metode ini
banyak diwarnai oleh masalah-masalah hubungan sosial.
Dalam
mempelajari filsafat, kerap terjadi kelemahan atau kesalahan, seperti
membanding-bandingkan filsafat di suatu daerah dengan daerah lain dan membuat
evaluasi mana yang lebih tinggi daripada yang lain. Dengan demikian, seseorang
yang mempelajari filsafat dengan metode ini akan berhadapan denga dua
perbedaan, yaitu perbedaan horizontal dan vertical. Perbedaan horizontal lebih
bermakna abstrak (yang ini bukan yang itu juga bukan), sedangkan perbedaan vertical
lebih bermakna perbandingan (yang ini lebih tinggi daripada itu).
Dalam
mempelajari filsafat, kita dapat memilih mana yang lebih dahulu atau memilih
satu di antara yang lain, meskipun seharusnya meliputi seluruh jenis filsafat.
Metode yang paling banyak dianut orang adalah Metode Sistematika Filsafat
(Metode Sistematis), kemudian Metode Sejarah Filsafat (Metode Hisoris). Mengapa
cara ini dipilih? Pada umumnya, orang telah terbiasa mempelajari ilmu pengetahuan
secara konvensional, lazimnya diawali dengan pengenalan mengenai apa yang akan
dipelajarinya, setelah itu masalah dan hal-hal lainnya. Misalnya, dalam
mempelajari sejarah, dimulai dengan apa yang disebut ilmu sejarah; dalam
mempelajari geografi, dimulai dengan apa yang disebut ilmu bumi; begitu pula
dalam mempelajari batu-batuan, dimulai dengan mempertanyakan apa yang disebut
(ilmu) batu-batuan. Dengan perkata lain, kita dapat memulainya dalam bentuk
pertanyaan mengenai pengertian dan definisinya. Selanjutnya, kita dapat
melakukan perbandingan terhadap suatu hal di suatu tempat dengan tempat
lainnya, pada suatu masa dengan masa lainnya.
Sebagian
pihak berpendapat sebaliknya bahwa metode yang terlebih dahulu dipelajari
adalah Metode Sejarah Filsafat, kemudian Metode Sistemtika Filsafat. Tujuan
agar siswa dapat mengenal perkembangan filsafat secara menyeluruh terlebih
dahulu. Ada pula pihak yang menganjurkan mempelajari ikhtisar filsafat terlebih
dahulu, tujuannya agar lebih mudah dalam mempelajarinya. Jadi, mereka yang
tidak akan menjadi filosof atau ahli filsafat, cukup mengenalinya saja.
Sebagian pihak ada pula yang menganjurkan, bahwa pemahaman terhadap sumber
filsafat adalah hal yang harus dipelajari terlebih dahulu karena erat kaitannya
dengan kultur masyarakat.
Hampir
dapat dipastikan, bahwa dalam mempelajari metode filsafat terdapat kekuatan dan
kelemahan masing-masing. Pada dasarnya, kita bebas memilih dan menentukan, mana
yang secara metodis lebih menguntungkan atau lebih memberi kemudahan kepada pihak
pengajar, terutama siswa. Terhadap kekuatan dan kelemahannya, sikap kita adalah
bagaimana memanfaatkan kekuatannya serta mewaspadai, menghindari, atau
mengurangi efek buruk kelemahannya.
Pada
perbincangan ini, metode yang akan dipilih adalah Metode Sistematika Filsafat,
kemudian Metode Sejarah Filsafat. Dua metode lainnya dinilai kurang esensial
sehingga tidak akan disampaikan dalam buku yang bersifat pengantar ini.
Manfaat
Filsafat
Studi
filsafat ini kerap kali diabaikan orang karena seolah-olah tidak cukup membumi,
yaitu tidak ada hubungannya dengan masalah-masalah nyata dalam kehidupan
sehari-hari terlebih lagi menyelesaikan masalah dalam kehidupan sehari-hari,
tetapi sekadar “latihan berpikir”, seperti mengisi teka-teki silang.
Berdasarkan
pemahaman dasarnya, persepsi ini tidak tepat, meskipun di dalamnya terkandung
manfaat. Secara khusus, filsafat merupakan perbincangan mencari hakikat sesuatu
gejala atau segala hal yang ada. Artinya, filsafat merupakan landasan dari
sesuatu apapun, tumpuan segala hal, jika salah, tentulah berbahaya, sedikitnya
akan merugikan. Apabila kehidupan berpengetahuan itu diibaratkan sebuah pohon
maka filsafat adalah akarnya, yaitu bagian yang berhubungan langsung dengan
sumber kehidupan pohon itu, sedangkan batang, dahan, ranting, daun, bunga, dan
buah menjadi bahan kajian ilmu pengetahuan. Berdasarkan hasil penelitian, ilmu
pengetahuan berhubungan dengan apa yang terlihat atau yang biasa disebut
menggejala atau mewujud. Terlebih lagi kaum awam, ia hanya dapat melihat
sesuatu secara langsung atau yang berhubungan secara langsung, khususnya
menjawab kebutuhan nyata dirinya sendiri.
Dalam
perbincangan lebih nyata, filsafat mempersoalkan dan membicarakan kembali akar,
baik berdasarkan ilmu pengetahuan maupun pemahaman lain. Jadi, filsafat
menyadarkan manusia terhadap apa yang sudah biasa diyakini, digauli, digunakan,
dan dilakukannya. Hal ini penting! Sebagai contoh pada matematika, “Mengapa 5 x
5 lebih besar daripada 4 x 4?” Umumnya, orang percaya begitu saja, bahkan
mempercayainya apa yang dikatakan orang lain, seperti guru atau orang tua dan
kakaknya. Jawaban yang sebenarnya adalah adanya kesepakatan bahwa sebutan angka
5 lebih tinggi nilainya daripada 4. Dengan catatan, angka berikutnya lebih tinggi
daripada angka sebelumnya. Filsafat mengatakan, “Ingatlah di balik matematika
itu ada suatu kesepakatan, jika kesepakatan tidak demikian, belum tentu 5 x 5
lebih besar daripada 4 x 4.
Dalam
hal ini, ilmu pengetahuan mengenal asumsi yang disebut aksioma, yaitu anggapan
dasar yang merupakan tumpuan atau sumber dari awal kehidupan dan perkembangan
ilmu pengetahuan. Wacana atau perbincangan filsafat melahirkan asumsi tersebut.
Hal tersebut disebut sebagai keyakinan filsafati (philosophical belief). Asumsi tersebut jika terus-menerus ditelaah
ketepatannya, bukan tidak mungkin akan mengalami perubahan, entah itu bertambah
atau berkurang, atau justru berubah. Akhirnya, teori-teori baru dalam bidang
pengetahuan akan bermunculan sehingga lahirlah istilah filsafat ilmu. Filsafat
ilmu berperan fundamental dalam melahirkan, memelihara, dan mengembangkan ilmu
pengetahuan.
Masalah
penting, ialah suatu pandangan filsafati tidak akan hilang atau terganti oleh
pandangan filsafat berikutnya, meskipun hal tersebut bertujuan untuk mengoreksi
pandangan filsafati sebelumnya. Hal itu dapat terjadi karena pandangan atau
pemikiran filsafati adalah perbincangan rasional semata, tetapi mendalam dan
melibatkan seluruh jiwa raga atau eksistensinya. Kebenarannya, selain relatif juga
mendasar. Oleh karena itu, jika ada satu pendapat, kemudian dikoreksi oleh
pendapat baru, bukan berarti yang satu hilang, lalu diganti dengan yang lain,
melainkan menjadi dua pandangan atau pendapat. Jika kedua pendapat yang berbeda
itu kit padukan akan melahirkan tiga pandangan.
Selanjutnya,
perubuhan itu akan terus berkembang tidak henti-hentinya sehingga pandangan
dasar itu akan terus berubah dan berkembang. Dengan demikian, ilmu pengetahuan
yang didasarinya akan berubah pula, khususnya dalam arti berkembang. Begitulah
filsafat, pada saat suatu keyakinan mengenai sesuatu ditetapkan, pada saat itu
pula diragukan. Pada saat kebenaran ditemukan, muncullah keraguan atau
kebenaran itu.
Perlu
diperhatikan, bahwa selain asumsi atau aksioma, dikenal pula istilah lain yang
hampir serupa, yaitu postulat. Perbedaannya adalah, bahwa asumsi merupakan
keyakinan filosofis yang menjadi anggapan dasar ilmu yang diyakini kebenarannya
dan keyakinan itu tidak perlu dipermasalahkan lagi. Adapun postulat merupakan
keyakinan filsafati dan landasan ilmu pengetahuan yang di akhir perbincangan
atau penelitiannya dapat dibicarakan kembali untuk diubah.
Manfaat
lain filsafat adalah didasarkan pada pengertian filsafat sebagai suatu
integrasi atau pengintegrasi sehingga dapat melakukan fungsi integral ilmu
pengetahuan. Sebagian besar orang hanya menyangkutkan apa yang paling dekat dan
apa yang paling dibutuhkannya pada saat dan tempat tertentu. Alam raya, ilmu
pengetahuan, benda-benda, dan manusa hanya dipandangnya dari beberapa bagian
kecil yang penting, serta menurut waktu, tempat, dan keadaan tertentu. Dengan
demikian, pandangannya tentang segala sesuatu adalah sempit dan eksklusif. Alam
raya seolah-olah dibagi-bagi, manusia seolah-olah dipotong-potong menjadi badan
dan jiwa, sedangkan jiwanya dibagi-bagi menjadi emosi, motivasi, inteligensi
dan lain-lain. Masyarakat dikotak-kotak sehingga akan kehilangan arti
menyeluruh dan hakikinya.
Filsafat
memandang segala sesuatu dalam suatu sistem keseluruhan dan dalam segala
aspeknya, sebagai akibat dari pandangan dasar atau akarnya.
Kebenaran Filsafati
Bagaimana
pun manusia bertanya karena heran. Berdasarkan pertanyaan itu, mereka berharap
untuk mendapatkan kebenaran melalui jawaban, yaitu keterangan yang benar
mengenai apa yang dipertanyakannya. Permasalahannya adalah apakah kebenaran
itu? Hal ini merupakan masalah penting dalam filsafat pada umumnya, dan
khususnya dalam epistemologi atau filsafat ilmu. Kebenaran merupakan hasil
penilaian. Permasalah berikutnya, “Apakah yang menjadi dasar dari penilaian
itu?”Boleh jadi subjektif, yaitu berdasarkan norma, nilai, dan keyakinan orang
yang menilainya. Boleh jadi juga objektif, yaitu berdasarkan ukuran-ukuran,
manfaat, dan lain-lain terhadap objeknya sendiri. Kita tidak perlu menyatakan
bahwa subjektif lebih buruk daripada objektif karena yang sebenarnya ada
hanyalah perbedaan yang satu bukan yang lain.
Dalam
menentukan sesuatu itu benar, pada dasarnya kita mengukurnya berdasarkan dua
kemungkinan, yaitu kebenaran apriori atau kebenaran hipotesis dan kebenaran
aposteriori atau kebenaran empiris. Kebenaran apriori adalah kebenaran
berdasarkan akal semata-mata, secara logika tanpa memerlukan bukti empiris,
sedangkan kebenaran aposteriori atau kebenaran setelah pengalaman adalah
kebenaran yang ditemukan di lapangan melalui suatu abstraksi berupa
ukuran-ukuran dari wujud apa yang ingin diketahui. Kebenaran seperti ini adalah
kebenaran ilmu pengetahuan dari Kant, Comte,
dan sebagainya. Kant berpendapat, bahwa ilmu pengetahuan harus berdasarkan
sintesis apriori dan analitis aposteriori. Maksudnya, bahwa kebenaran ilmu
pengetahuan itu harus berdasarkan penggunaan akal atau pemikiran teoretis yang
disebut hipotesis dan teruji oleh bukti faktual yang menguatkan atau
menegakkan, berupa hasil pengukuran objektif. Adapun untuk hipotesis, jika
telah didukung oleh fakta di lapangan maka kebenaran ilmiah dinilai telah sah.
Kebenaran
filsafati tidak demikian karena wacana filsafati semata-mata berdasarkan
penggunaan akal. Pada masa Yunani Kuno sampai dengan Abad Pertengahan, filsafat
dalam mencari kebenaran sama halnya dengan ilmu pengetahuan dalam mencari
kebenaran. Dengan perkataan lain, sampai Abad Pertengahan tidak ada perbedaan
antara wacana ilmu pengetahuan dan perbincangan filsafati karena hanya ada satu
jenis perbincangan ilmu pengetahuan disebut filsafat yang hanya mengandalkan
pemikiran.
Hal
terpenting, bahwa kebenaran filsafati itu adalah kebenaran yang hakiki bersifat
subjektif, hasil pendalaman pemikiran dari berbagai sudut pandang pemikir.
Dengan demikian, hasil pemikiran filsafati tidak dapat dibandingkan dalam arti
baik-buruk dan benar-salahnya. Suatu pemikiran yang mendalam dan jernih sangat
mungkin mencapai kebenaran tertinggi, lebih tinggi daripada hasil pengukuran di
lapangan. Pengukuran di lapangan pun boleh jadi kurang baik nilainya karena
alat ukur yang tidak canggih dan pengukurannya sendiri yang tidak akurat.
Meskipun
berbicara tentang hal yang sama, belum tentu suatu pendapat “baru” menyebabkan
pendapat “lama” gugur. Pendapat Plato, bahkan Socrates, pada masa Yunani Kuno
tidaklah dapat dianggap tidak berlaku lagi ketika pada abad ini ada pendapat
modern, seperti dari Husserl atau Jaspers,
bahkan jika ada pemikiran pasca-modernisme sekali pun. Hal yang dapat
diterapkan dalam memandang pikiran-pikiran filsafati yang tidak sama itu adalah
“lain” atau “beda”.
Adapun
yang dimaksud dengan subjektif adalah suatu pendapat berdasarkan kemampuan atau
keadaan dan sudut pandang subjek, sedangkan objektif adalah sesuai dengan
keadaan objek atau wujudnya.
Filsafat
sebagai Ilmu Pengetahuan
Apakah
filsafat itu ilmu pengetahuan atau bukan merupakan bahasan penting dalam
epistemologi ataupun pengantar filsafat secara umum. Pada bagian ini perlu
sedikit tambahan penjelasan berkenaan dengan segi wawasan awalnya. Filsafati
dan ilmu pengetahuan jelasa berbeda karena filsafat membuat asumsi, sedangkan
ilmu pengetahuan dibangun atas dasar asumsi tersebut. Permasalahannya, “Adakah
peluang filsafat dipelajari sebagai ilmu pengetahuan?”
Dalam
hal ini, ilmu pengetahuan mutlak dibuktikan dalam sebuah ekperimen. Realitas
yang demikian kaya raya akan menuntut berbagai metode dalam kelahiran dan
pengembangannya. Merupakan hal yang wajar apabila ilmu pengetahuan dibangun
oleh eksperimen, tetapi tidak akan dapat menyentuh realitas yang asasi yang
disebut sebagai hakikat. Dengan demikian, ilmu pengetahuan berusaha untuk
menjawab berbagai relaitas yang ada. Oleh karena itu, diperlukan kebebeasan
untuk menggunakan metode-metodenya.
Filsafat
sebagai suatu wacana memiliki peluang untuk diketahui. Untuk sementara waktu,
filsafat dipandang sebagai bahan pembelajarannya yang cukup memenuhi. Filsafat
sebagai sejumlah bahan yang menjadi objek penelaahan tersusun dengan rapi.
Tinggal lagi masalah objektivitas filsafat sebagai ilmu pengetahuan. Objektif
adalah tidak bergantung pada subjek, tetapi pada objek atau sesuai dengan
objeknya. Sebagai contoh, apabila seseorang menyatakan bahwa barang itu berat,
itulah yang disebut subjektif, sedangkan jika barang itu disebut 100 kg,
pernyataan itu disebut objektif. Artinya, nilai objektif filsafat terdapat pada
ciri-ciri tertentu yang ditampilkannya dan karenanya dapat diamati orang.
Pengamatan ini tidak dilakukan oleh kelima indra kita, tetapi dikenali oleh
pikiran. Hal ini sebenarnya telah dipenuhi oleh lima ciri utama filsafat
seperti telah dikemukakan sebelumnya.
Dapatlah
disimpulkan, bahwa ada dua pengertian filsafat, yaitu filsafat sebagai suatu
kegiatan yang berada di luar ilmu pengetahuan sebagaimana dipisahkan pada masa
Renaisans yang merupakan refleksi untuk mencapai suatu hakikat, dan filsafat
sebagai sejumlah pikiran tersusun mengenai berbagai hal. Pengertian filsafat
yang kedua telah menempatkan filsafat sebagai ilmu pengetahuan.
Sumber
: Buku Pengantar Filsafat, Sutardjo A. Wiramihardja
Tidak ada komentar:
Posting Komentar