PENGERTIAN
USHUL FIQH
Definisi
Ushul Fiqh Dilihat dari Sisi Dua Kata yang Membentuknya
Untuk
mendefinisikan Ushul Fiqh dari sisi ini lebih dulu perlu mengatakan definisi
masing-masing dari dua kata yang membentuknya. Kemudian apa yang dimaksud
dengan Ushul Fiqh dari sisi ini adalah gabungan dari dua pengertian tersebut.
Ushul
Fiqh berasal dari bahasa Arab Ushul
al-Fiqh yang terdiri dua kata, yaitu al-ushul
dan al-fiqh. Masing-masing kata itu
mempunyai pengertian tersendiri.
1.
Al-Ushul
Kata
al-ushul, adalah jamak (plural) dari
kata al-ashal, menurut bahasa berarti
landasan tempat membangun sesuatu.
Menurut istilah, seperti dikemukakan Wahbah az-Zuhaili, guru besar Universitas
Damaskus, kata al-ashal mengandung
beberapa pengertian: (1) bermakna dalil seperti dalam contoh: dalil wajib shalat adalah Al-Qur’an dan Sunnah, (2) bermakna kaidah umum yaitu satu
ketentuan yang bersifat umum yang berlaku pada seluruh cakupannya, seperti
dalam contoh; Islam dibangun di atas lima
kaidah umum, (3) bermakna al-rajih
(yang lebih kuat dari beberapa kemungkinan) seperti dalam contoh pengertian yang lebih kuat dari suatu
perkataan adalah pengertian hakikatnya, (4) bermakna asal’ tempat menganalogikan sesuatu yang merupakan salah satu dari
rukun qiyas. Misalnya, khamar
merupakan asal’ (tempat mengkiyaskan)
narkotika, dan (5) bermakna sesuatu yang diyakini bilamana terjadi keraguan
dalam satu masalah. Misalnya, seseorang yang meyakini bahwa ia telah berwudhu,
kemudian ia ragu apakah wudhunya sudah batal, maka dalam hal ini ketetapan
fikih mengatakan, yang diyakini adalah
keadaan ia dalam keadaan berwudhu. Artinya, dalam hal tersebut yang
dipegang adalah sesuatu yang diyakini itu.
Demikianlah
beberapa pengertian kata al-ashlu
yang populer dalam literatur-literatur keislaman. Pengertian al-ashlu yang dimaksud, bila dihubungkan
dengan kata fikih adalah pengertian yang disebut pertama di atas, yaitu dengan
makna al-dalil. Dalam pengertian ini,
maka kata Ushul al-Fiqh berarti dalil-dalil fikih, seperti Al-Qur’an, Sunnah
Rasulullah, ijma’, qiyas, dan lain-lain.
2.
Al-Fiqh
Kata
kedua yang membentuk istilah Ushul al-Fiqh adalah kata al-Fiqh. Kata al-Fiqh menurut bahasa berarti pemahaman. Contohnya, firman Allah dalam menceritakan sikap kaum
Nabi Syu’aib dalam ayat:
Mereka berkata: “Hai Syu’aib, kami
tidak banyak mengerti tentang apa yang kamu katakan itu dan sesungguhnya kami
benar-benar melihat kamu seorang yang lemah di antara kami…
(QS. Hud/11: 91)
Menurut
istilah, al-fiqh dalam pandangan
az-Zuhaili, terdapat beberapa pendapat tentang definisi fiqh. Abu Hanifah
mendefinisikan sebagai: Pengetahuan diri
seseorang tentang apa yang menjadi haknya, dan apa yang menjadi kewajibannya,
atau dengan kata lain, pengetahuan seseorang tentang apa yang menguntungkan dan
apa yang merugikannya. Definisi yang diajukan Abu Hanifah ini sejalan dengan
keadaan ilmu pengetahuan keislaman di masanya, di mana belum ada pemilihan
antara ilmu fikih dalam pengertian yang lebih khusus dengan ilmu-ilmu keislaman
lainnya. Oleh sebab itu, sesuai dengan pengertian fikih yang disebutkannya itu,
istilah fikih mempunyai pengertian umum, mencakup hukum yang berhubungan dengan
akidah seperti kewajiban beriman dan sebagainya, ilmu akhlak, dan hukum-hukum
yang berhubungan dengan amal perbuatan manusia, seperti hukum ibadah, dan mu’amalah. Setelah masa Abu hanifah,
masing-masing ilmu telah mengambil namanya tersendiri sebagai satu disiplin
ilmu. Maka ada yang disebut ilmu tauhid yang membahas masalah akidah, ada pula
yang dikenal dengan ilmu akhlak atau ilmu tasawuf, dan ada pula yang disebut
ilmu fikih yang khusus membahas hukum-hukum yang berhubungan dengan amal
perbuatan manusia. Ketika masing-masing ilmu telah mempunyai disiplin ilmu
tersendiri, maka kalangan pengikut Abu Hanifah (kalangan Hanafiyah) menambah
kata “amalan” di akhir definisi
tersebut, sehingga dengan itu definisi fikih berarti: “Pengetahuan diri
seseorang tentang hak dan kewajibannya dari segi amal perbuatan”. Dengan adanya
tambahan terebut, maka kata fikih tidak lagi mencakup selain hukum-hukum yang
berhubungan dengan amal perbuatan.
Ulama
yang datang kemudian, seperti Ilmu Subki dari kalangan Syafi’iyah
mendefinisikannya sebagai:
Pengetahuan tentang hukum syara’
yang berhubungan dengan amal perbuatan, yang digali dari satu persatu dalilnya.
Kata
al-‘ilmu (pengetahuan) secara umum
mencakup pengetahuan secara yakin dan pengetahuan yang sampai ketingkat zhan (perkiraan). Namun yang dimaksud
dengan kata al-‘ilmu dalam definisi
tersebut ialah pengetahuan yang sampai ke tingkatan zhan atau asumsi. Fikih adalah hukum Islam yang tingkat kekuatannya hanya sampai ke tingkatan
zhan, karena ditarik dari dalil-dalil
yang dzanny. Bahwa hukum fikih itu
adalah zhanny sejalan dengan pula dengan kata “al-muktasab” dalam definisi tersebut yang berarti “diusahakan” yang
mengandung pengertian adanya campur tangan akal pikiran manusia dalam
penarikannya dari Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah. Oleh sebab itu, pengetahuan
tentang hukum Islam yang tidak dicampuri oleh akal pikiran manusia, dalam Ushul
Fiqh tidak disebut sebagai fikih. Misalnya pengetahuan tentang kewajiban
melaksanakan shalat lima waktu, kewajiban menunaikan zakat, dan haji. Hal-hal
yang sudah pasti seperti itu kekuatan hukumnya bersifat pasti (qath’iy).
Demikianlah
pengertian dari masing-masing kata tersebut. Seperti dikemukakan di atas, yang
dimaksud dengan kata al-ashl disini
adalah dengan makna dalil. Atas dasar
itu, istilah Ushul Fiqh berarti dalil-dalil fikih, seperti Al-Qur’an, Sunnah, ijma’, qiyas, dan lain-lain. Namun pengertian seperti ini tidak popular
dipakai dalam kajian Ushul Fiqh.
Definisi
Ushul al-Fiqh sebagai Satu Disiplin Ilmu
Sebagaimana
bagi satu disiplin ilmu, Ushul Fiqh dipandang sebagai satu kesatuan, tanpa
melihat kepada pengertian satu-persatu dari dua kata yang membentuknya. Dalam
mendefinisikannya terdapat berbagai redaksi di kalangan para ahlinya. ‘Abdullah
bin ‘Umar al-Baidawi (w. 685 H), ahli Usul Fiqh dari kalangan Syafi’iyah mendefinisikannya sebagai:
Pengetahuan tentang dalil-dalil
fikih secara global, cara mengistimbatkan (menarik) hukum dari dalil-dalil itu,
dan tentang hal ihwal pelaku istinbat.
Berbagai
hal yang menjadi pembahasan seperti yang ditunjukkan oleh definisi tersebut
adalah:
1.
Tentang
Dalil-dalil Fikih Secara Global
Apa
yang dimaksud dengan dalil dalam definisi tersebut?. Kata al-dalil secara etimologis berarti “sesuatu yang memberi petunjuk
kepada suatu hal yang lain”. Menurut istilah Ushul Fiqh, dalil berarti:
Sesuatu yang bilamana dipikirkan
secara benar akan menyampaikan seseorang kepada kesimpulan yang dicari.
Misalnya,
alam semesta ini bilamana dipikirkan secara benar tentang eksistensi dan
sifat-sifatnya yang selalu berubah, dapat diketahui bahwa alam itu baru, dan
hal itu akan menyampaikan seseorang kepada sebuah kesimpulan bahwa alam yang
baru ini mesti ada penciptanya, sehingga kesimpulannya berbunyi: “Alam ini
baru, setiap yang baru ada penciptanya, kesimpulan akhirnya berbunyi: ‘Alam ada
penciptanya’ ”. Contoh lain, firman Allah, apabila diamati secara benar akan
membawa kepada kesimpulan bahwa perintah yang terdapat dalam ayat tersebut
menunjukkan hukum wajib, sehingga dapat dikatakan bahwa shalat hukumnya wajib.
Dalil
itu sendiri terdiri dari dua macam, dalil
ijmali (global) dan dalil tafsili
(terinci). Kemudian, istilah dalil ijmali
dan dalil tafsili, masing-masing
popular dalam dua pengertian.
Pertama,
pengertian dalil ijmali dalam konteks
ayat-ayat hukum dalam Al-Qur’an dari segi terinci dan tidak terincinya.
Ayat-ayat Al-Qur’an dalam menjelaskan hukum ada yang secara global tanpa
merincinya dan ada pula yang secara rinci menjelaskan hubungan. Ayat-ayat yang
menjelaskan hukum secara global itu disebut, ayat-ayat mujmal (global). Misalnya, ayat-ayat yang menjelaskan kewajiban
melaksanakan shalat lima waktu, ayat-ayat yang mewajibkan zakat, dan haji.
Ayat-ayat yang menjelaskan hal-hal tersebut bersifat garis-garis besar, tanpa
terinci teknis pelaksanaanya. Sebaliknya, ayat-ayat yang secara rinci
menjelaskan tentang sesutu hukum, disebut dalil-dalil tafsili. Misalnya, ayat-ayat yang menjelaskan masalah pembagian
harta warisan, dan ayat yang menjelsakan masalah kewajiban membayar denda kifarat atas pelanggar sumpah dan kifarat zhihar.
Kedua,
pengertian dalil ijmali dalam konteks
pembicaraan tentang kaidah-kaidah umum Ushul Fiqh seperti yang dimaksud dengan
istilah dalil ijmali dalam definisi
Ushul Fiqh tersebut di atas. Dalam konteks ini, yang dimaksud dengan dalil ijmali (global) adalah dalil atau
kaidah yang bersifat umum yang tidak menunjukkan sesuatu hukum pada masalah
tertentu secara langsung. Contohnya kaidah yang mengatakan bahwa “Al-Qur’an
adalah sumber hukum pertama dan utama”, “hadis adalah sumber hukum kedua”, dan
“kata perintah menunjukkan hukum wajib selama tidak ada indikasi lain yang
menunjukkan pengertian selain itu” disebut sebagai kaidah atau dalil-dalil ijmali (global). Dalam
konteks ini, yang menjadi lawannya adalah dalil
tafsili dalam pengertian dalil-dalil yang langsung menunjukkan hukum
tertentu. Misalnya, ayat yang memerintahkan untuk melakukan shalat, zakat,
haji, dan pembagian harta warisan.
Kajian
Ushul Fiqh membahas dalil-dalil yang bersifat global seperti yang tersebut pada
bagian dua di atas, bukan dalil terinci. Dalil terinci menjadi lapangan ilmu
fikih. ‘Abd al-Rahim al-Isnawi (w. 773 H), ahli Ushul Fiqh dari kalangan Syafi’iyah, menjelaskan bahwa yang
dimaksud dengan pengetahuan tentang dalil-dalil fikih dalam definisi tersebut
mencakup pengetahuan tentang dalil-dalil yang disepakati, seperti Al-Qur’an,
Sunnah, ijma’, dan qiyas, dan
dalil-dalil yang tidak disepakati, misalnya, istihsan, istislah (maslahah mursalah), syar’u man qablana, fatwa sahabat dan ‘urf (adat kebiasaan).
Pengetahuan tentang dalil-dalil tersebut, terdiri dari dua segi yaitu: (1) segi
kehujahannya (keabsahannya sebagai landasan pembentukan hukum), seperti
kehujahan Sunnah, kehujahan ijma’, qiyas, dan sebagainya, dan (2) segi
penunjukkannya terhadap hukum serta metode menarik hukum darinya. Yang disebut
terakhir ini, yaitu segi penunjukan dalil terhadap hukum dan metode menarik
hukum darinya, adalah kajian tentang berbagai cara Al-Qur’an dan Sunnah
menunjukkan hukum baik dari segi kebahasaan seperti suatu perintah menunjukkan
hukum wajib dan suatu larangan menunjukkan hukum haram selama tidak ada dalil
yang menunjukkan hukum haram selama tidak ada dalil yang menunjukkan pengertian
lain, maupun dari segi tujuan syariat (substansinya) seperti dalam praktik qiyas dalam upaya mengembangkan hukum
lewat tujuan syariat. Dalam bagian ini dikaji secara rinci metode pemahaman
Al-Qur’an dan Sunnah dari segi-segi tersebut. Pengetahuan tentang hal-hal
tersebut disajikan dalam bentuk global, tidak terfokus kepada rincian perkasus.
Atau dengan kata lain, Ushul Fiqh hanya berbicara tentang kaidah-kaidah atau
ketetapan-ketetapan yang bersifat umum, tidak bersifat rinci. Misalnya, seperti
dalam contoh di atas dalam kaidah “suatu perintah menunjukkan hukum wajib
selama tidak ada dalil yang memalingkannya kepada pengertian lain”. Di sini Ushul
Fiqh hanya berbicara tentang kaidah umum seperti itu, tanpa merinci satu per
satu perintah yang terdapat dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Rincian dari
kaidah-kaidah umum itu bukan kajian Ushul Fiqh, tetapi akan dikaji oleh seorang
mujtahid ketika menerapkan kaidah-kaidah umum Usul Fiqh itu lebih kepada satu
per satu ayat dalam Al-Qur’an, atau Hadis, atau kasus per kasus dari
dalil-dalil lainnya.
2.
Tentang
Cara Mengistinbatkan Hukum dari Dalil-dalil-nya
Metode istinbat
yang dibahas dalam bagian ini adalah bagian dari metode-metode istinbat secara keseluruhan. Karena,
sebagian besar dari metode istinbat,
telah tercakup dalam bagian pertama di atas. Bagian ini khusus membicarakan
metode istinbat bilamana dalam pandangan mujtahid terjadi pertentangan antara
satu dalil dengan dalil yang lain. Misalnya, seperti dikemukakan oleh Abd
al-Rahim al-Isnawi, mendahulukan dalil yang tegas atas dalil yang tidak tegas
pengertiannya, mendahulukan hadis mutawatir
atas hadis yang tidak sampai ke tingkat mutawatir,
dan lain-lain yang pada umumnya dibahas dalam kajian ta’arud al-adillah (dalil-dalil yang bertentangan) dan metode tarjih (cara mengetahui mana dalil yang
lebih kuat sehingga harus didahulukan).
3.
Tentang
Syarat-syarat yang Harus Dipenuhi oleh Seseorang yang Akan Melakukan Ijtihad,
tentang Ijtihad itu Sendiri dan Hal-hal yang Menjadi Lapangannya
Kalangan
Hanfiyah, Malikiyah, dan Hanabilah, seperti dinukil dan disimpulkan oleh Wahbah
az-Zuhaili mendefinisikan Ushul Fiqh sebagai:
Kaidah-kaidah yang akan digunakan
seorang mujtahid untuk menyimpulkan hukum fikih dari satu persatu dalilnya.
Yang
dimaksud dengan “kaidah-kaidah” dalam definisi tersebut adalah
ketentuan-ketentuan yang bersifat umum yang menjadi pedoman bagi mujtahid untuk
memahami hukum-hukum lebih rinci yang tercakup di dalam Al-Qur’an dan Sunnah.
Di
antara kaidah-kaidah itu ada yang berhubungan dengan keabsahan suatu dalil
misalnya keabsahan hadis Rasulullah untuk dijadikan sumber hukum, dan ada pula
yang berhubungan dengan metode istinbat.
Yang disebut terakhir ini, yaitu metode istinbat
ada yang dari segi kebahasaan seperti kaidah yang mengatakan bahwa ayat-ayat
yang tegas (qath’i) menunjukkan
hukum, wajib diamalkan seadanya dan bukan merupakan lapangan ijtihad, ada yang
dari segi substansinya (tujuan hukum atau maqasid
syari’ah) seperti cara-cara menetapkan hukum dengan qiyas, istihsan, dan istishlah (maslahah mur-salah), dan ada pula yang berhubungan dengan metode tarjih yaitu metode untuk mengetahui
mana yang lebih kuat di antara dalil-dalil yang kelihatan bertentangan di mata
seorang mujtahid.
Kedua
definisi di atas, sepakat pada satu inti dari Ushul Fiqh, yaitu metode atau
kaidah-kaidah yang dipakai untuk meng-istinbat-kan
hukum dari Al-Qur’an dan Sunnah. Muhammad Abu Zahrah, seorang ahli Usul Fiqh
berkebangsaan Mesir yang hidup pada awal abad kedua puluh, dalam keterangannya
menjelaskan bahwa inti ilmu Ushul Fiqh adalah satu ilmu yang menjelaskan metode
meng-istinbat-kan hukum dari
dalil-dalilnya.
Metode
istinbat itu seperti tergambar dalam
dua definisi di atas, ada yang berhubungan dengan kaidah-kaidah kebahasaan, ada
yang berhubungan dengan tujuan hukum, dan ada pula dalam bentuk penyelesaian
dari dalil-dalil yang kelihatan bertentangan. Metode pemahaman kebahasaan
diperlukan karena Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab yang dalam memahaminya
memerlukan seperangkat aturan. Ayat-ayat hukum dalam Al-Qur’an, dalam pandangan
para ahli Ushul Fiqh menunjukkan hukum dari berbagai bentuk, sifat dan dari
berbagai sisi. Ada berbentuk perintah (amar),
ada berbentuk larangan (nahi) dan ada
yang memberi pilih (takhyir). Ada
yang bersifat umum dan ada pula yang bersifat khusus. Ada yang bersifat mutlaq dan ada pula yang bersifat muqayyad (dibatasi pengertiannya), ada
yang dari sisi mantuq (tersurat), dan
menurut mayoritas ulama Ushul Fiqh ada pula yang dari sisi mafhum mukhalafah (kebalikan dari hukum yang tersurat), dan
lain-lain yang berhubungan dengan kajian kebahasaan. Ushul Fiqh menjelaskan
cara memahami lafal ayat dan hadis dari berbagai sisi dan bentuknya itu.
Metode
yang berhubungan dengan penetapan hukum melalui maqasid al-syari’ah (tujuan syariat) diperlukan karena Al-Qur’an
dan Sunnah Rasulullah, menurut hasil penelitian para ahli Ushul Fiqh, di
samping menunjukkan hukum melalui pengertian bahasanya, juga melalui tujuan
hukumnya. Syariat Islam diturunkan bertujuan untuk kemaslahatan umat manusia.
Adanya suatu perintah atau anjuran untuk untuk melakukan suatu perbuatan karena
di dalamnya terdapat kemaslahatan bagi manusia. Sebaliknya, adanya suatu
larangan karena di dalam perbuatan itu terdapat bahaya bagi kehidupan. Melalui
substansi hukum ini, ayat-ayat hukum yang terbatas, jumlahnya dapat
dikembangkan. Ushul Fiqh menjelaskan kaidah-kaidah atau metode penetapan hukum
melalui hal tersebut, misalnya seperti dalam metode qiyas (analogi), istihsan,
istishlah (maslahah mursalah), istishab,
sadd al-zari’ah, dan ‘urf (adat kebiasaan). Adapun metode yang berhubungan dengan
penyelesaian dalil-dalil yang kelihatan bertentangan diperlukan karena dalam
pandangan seorang mujtahid, disebabkan keterbatasan kemampuan akal pikirannya
dalam menangkap maksud dari suatu dalil, bisa jadi di satu kali maksud suatu
dalil kelihatan bertentangan dengan maksud dalil yang lain. Ushul Fiqh
menyajikan metode penyelesaiannya secara rinci seperti dalam metode tarjih.
OBJEK
KAJIAN USHUL FIQH DAN FIKIH
1.
Objek
kajian Ushul Fiqh
Untuk
mendalami satu disiplin ilmu, lebih dulu perlu diketahui apa yang menjadi objek
pembahasannya dan sisi mana saja dari objek bahasan tersebut yang akan dikaji.
Demikian halnya untuk mempelajari Ushul Fiqh, perlu diketahui objek
pembahasannya. Objek bahasan setiap ilmu pengetahuan adalah sesuatu yang
dibahas dalam ilmu itu tentang sifat-sifat yang berhubungan atau bisa
dihubungkan dengan sesuatu itu.
Dari
definisi Ushul Fiqh menurut Abdullah bin Umar al-Baidlawi yang dikemukakan di
bagian awal pembahasan ini, dapat dipaparkan tiga masalah pokok yang akan
dibahas dalam Ushul Fiqh, yaitu tentang sumber dan dalil hukum, tentang metode
istinbat, dan tentang ijtihad. Kajian
tentang hukum (al-hukm) oleh ‘Abd
Allah bin Umar al-Baidlawi di letakkan pada bagian pendahuluan. Sedangkan Imam
Abu Hamid Al-Ghazali (450 H-505 H), ahli Ushul Fiqh dari kalangan Syafi’iyah
meletakkan pembahasan tentang hukum bukan pada pendahuluan, melainkan pada
bagian pertama dari masalah-masalah pokok yang akan dibahas dalam Ushul Fiqh.
Berpegang kepada pendapat Al-Ghazali tersebut, maka objek bahasan Ushul Fiqh
menjadi 4 (empat) bagian, yaitu: (1) pembahasan tentang hukum syara’ dan yang
berhubungan dengannya, seperti hakim,
mahkum fih, dan mahkum ‘alaih; (2) pembahasan tentang sumber-sumber dan
dalil-dalil hukum; (3) pembahasan tentang cara mengistinbatkan hukum dari
sumber-sumber dan dalil-dalil itu; dan (4) pembahasan tentang ijtihad. Secara global muatan kajian
Ushul Fiqh seperti dijelaskan di atas menggambarkan objek bahasan Ushul Fiqh
dalam berbagai literatur dan aliran, meskipun mungkin terdapat perbedaan
tentang sistematika dan jumlah muatan dari masing-masing bagian tersebut.
Meskipun
yang menjadi objek bahasan Ushul Fiqh ada empat seperti dikemukakan di atas,
namun Wahbah az-Zuhaili dalam bukunya al-Wasith
Fi Ushul al-Fiqh menjelaskan bahwa yang menjadi inti dari objek kajian
Ushul Fiqh adalah tentang du ahal, yaitu dalil-dalil secara global dan tentang al-ahkam (hukum-hukum syara’). Selain
dua hal tersebut, dipaparkan oleh para ulama Ushul Fiqh hanya sebagai
pelengkap. Lalu aspek mana saja dari kedua objek bahasan tersebut yang dikaji
dalam Ushul Fiqh?. Dalil-dalil syara’
dikaji dari segi tetapnya sifat-sifat esensialnya. Misalnya, Al-Qur’an adalah
kitab suci dan menjadi sumber bagi ketetapan hukum syara’. Al-amr (perintah) yang terdapat di dalam Al-Qur’an
menunjukkan hukum wajib. Sebuah teks (nash)
yang tegas menunjukkan pengertiannya secara pasti (qath’i), Lafal umum yang sudah ditakhshish
sebagian cakupannya, sisanya berlalu secara tidak pasti (zhannya). Dalam contoh-contoh di atas, Al-Qur’an dikaji dari segi
kompetensinya dalam menetapkan hukum, teks (nash)
yang tegas dikaji dari segi kepastian pengertiannya menunjukkan hukum, dan
lafal umum yang sudah ditakhshish ketidakpastian
penunjukannya terhadap sisa cakupan pengertiannya mengena hukum.
Begitulah
setiap teks ayat atau hadis dalam berbagai macam bentuk dan karakteristiknya
dikaji sedemikian rupa sehingga akan membuahkan kesimpulan-kesimpulan yang
dirumuskan dalam bentuk kaidah-kaidah umum. Kemudian, hukum syara’ dijelaskan secara panjang lebar,
baik dari segi konsepnya maupun dari segi bagaimana ia bisa ditetapkan melalui
dalil-dalil syara’. Dari sisi ini
kelihatan hubungan erat antara hukum dan dalil-dalil syara’. Sebuah ungkapan menarik dalam hal ini adalah apa yang
dikemukakan oleh Abu Ishaq al-Syathibi dalam kitabnya al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah. Ia mengatakan: “Setiap kajian
yang dirumuskan dalam Ushul Fiqh yang tidak bisa dibangun di atasnya hukum
fikih, atau adab sopan santun syara’,
atau tidak membantu untuk pembentukan hal-hal tersebut, maka meletakkan hal
seperti itu dalam Ushul Fiqh adalah sia-sia”.
Dari
keterangan di atas, jelas bahwa yang menjadi objek bahasan Ushul Fiqh adalah
sifat-sifat esensial dari berbagai macam dalil dalam kaitannya dengan penetapan
sebuah hukum dan sebaliknya segi bagaimana tetapnya suatu huku dengan dalil.
Dalil-dalil atau kaidah-kaidah serta hukum itu dikemukakan secara global, tanpa
masuk kepada rinciannya, karena rinciannya, seperti dikemukakan sebelumnya,
dibahas dalam ilmu fikih olh mujtahid.
2.
Objek
Kajian Fikih
Tugas
Ushul Fiqh untuk menemukan sifat-sifat esensial dari dalil-dalil syara’ dan sifat-sifat esensial itu
dirumuskan dalam bentuk dalil-dalil atau kaidah-kaidah secara global.
Dalil-dalil yang secara global telah dirumuskan oleh para ahli Ushul Fiqh ini
pada gilirannya akan diterapkan oleh seorang mujtahid kepada dalil-dalil juz’i (terinci) yang terdapat dalam
Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah. Dari aktivitas mujtahid dalam ijtihadnya itu
akan membuahkan hukum Fikih yang langsung dikaitkan dengan perbuatan mukalaf.
Jadi, yang menjadi bahasan Fikih adalah satu persatu dalil dalam Al-Qur’an dan
Sunnah dalam kaitannya dengan perbuatan mukalaf, dengan menggunakan
kaidah-kaidah Ushul Fiqh.
Adanya
pembedaan fungsi tersebut di atas, hanya dapat dilihat dari sisi pandang
disiplin ilmu. Dari segi praktiknya, perbedaan tersebut tidak begitu kelihatan,
sebab apa yang disebut sebagai ijtihad dalam pembentukan hukum fikih tidak lain
dari penerapan dari kaidah-kaidah Ushul Fiqh itu sendiri. Oleh sebab itu, dalam
buku ini, ketika telah dilengkapi kaidah-kaidah Ushul Fiqh dengan contoh-contoh
penerapannya, tidak akan kelihatan lagi perbedaan tersebut.
MANFAAT
MEMPELAJARI USHUL FIQH
Dalam
masyarakat muslim di mana berkembang budaya taklid kepada salah seorang imam
pendiri mazhab, studi Ushul Fiqh kurang mendapat perhatian. Sebab, dalam
mengamalkan hukum Islam, bisa jadi mereka merasa cukup dengan apa yang telah
tersedia dalam buku-buku fikih klasik. Studi Ushul Fiqh baru teras penting
bilamana dihadapkan kepada masalah-masalah baru yang hukumnya tidak terdapat
dalam perbendaharaan fikih lam. Di samping itu, dengan maraknya para peminat
hukum Islam melakukan perbandingan mazhab bahkan untuk mengetahui mana pendapat
yang lebih kuat, serta adanya upaya untuk memperbarui hukum Islam, akan semakin
terasa betapa pentingnya melakukan studi Ushul Fiqh. Gagasan pembaruan Hukum
Islam tanpa mengetahui dan mendalami metodologi pembentukan hukum Islam, maka
pembaruan itu sendiri akan menjadi boomerang bagi umat Islam karena akan
menimbulkan kerancuan berpikir dalam hukum Islam.
Di
bawah ini akan dikemukakan beberapa kegunaan penting bagi studi Ushul Fiqh:
1.
Dengan
mempelajari Ushul Fiqh akan memungkinkan untuk mengetahui dasar-dasar para
mujtahid masa silam dalam membentuk pendapat fikihnya. Dengan demikian, akan
dimengerti betul secara mendalam, sehingga dengan itu bisa diketahui sejauh
mana kebenaran pendapat-pendapat fikih yang berkembang di dunia Islam.
Pengetahuan seperti ini akan mengantarkan kepada ketenangan mengamalkan
pendapat-pendapat mereka.
2.
Dengan studi
Ushul Fiqh seseorang akan memperoleh kemampuan untuk memahami ayat-ayat hukum
dalam Al-Qur’an dan hadis-hadis hukum dalam Sunnah Rasulullah, kemudian meng-istinbat-kan hukum dari dua sumber
tersebut. Dalam Ushul Fiqh, seseorang akan memperoleh pengetahuan bagaimana
seharusnya memahami sebuah ayat atau hadis, dan bagaimana cara
mengembangkannya. Oleh sebab itu, ulama-ulama mujtahid terdahulu, lebih
mengutamakan studi Ushul Fiqh dari studi Fikih itu sendiri. Sebab dengan
mempelajari Ushul Fiqh seseorang bukan saja mampu memakai tetapi berarti mampu
memproduk fikih.
3.
Dengan mendalami
Ushul Fiqh seseorang akan mampu secara benar dan lebih baik melakukan muqaranat al-mazahib al-Fiqhiyah, studi
komparatif antar pendapat ulama fikih dari berbagai mazhab, sebab Ushul Fiqh
merupakan alat untuk melakukan perbandingan mazhab fikih.
Kegunaan
Ushul Fiqh terutama baru akan terasa bilamana keyakinan bahwa pintu ijtihad sudah tertutup dapat
disingkirkan dari benak umat Islam. Jika benar pintu ijtihad pernah ditutup
dalam sejarahnya, hal itu tidak lain dimaksudkan agar ijtihad tidak dimanipulasi oleh orang-orang yang tidak berkompeten
untuk melakukannya. Bagi orang-orang yang mampu, pintu ijtihad tidak seorang
pun yang berhak menutupnya. Dalam konteks inilah studi Ushul Fiqh menjadi lebih
penting. Ia penting didalami, baik oleh seseorang yang akan memberikan fatwa,
oleh para hakim di pengadilan di mana hukum Islam diterapkan, dan oleh para
mahasiswa yang akan menekuni studi hukum Islam.
Sumber
: Buku Ushul Fiqh, Satria Effendi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar