Senin, 29 September 2014

Ushul Fiqh I PENGERTIAN USHUL FIQH I OBJEK KAJIAN USHUL FIQH DAN FIKIH I MANFAAT MEMPELAJARI USHUL FIQH


PENGERTIAN USHUL FIQH

Definisi Ushul Fiqh Dilihat dari Sisi Dua Kata yang Membentuknya

Untuk mendefinisikan Ushul Fiqh dari sisi ini lebih dulu perlu mengatakan definisi masing-masing dari dua kata yang membentuknya. Kemudian apa yang dimaksud dengan Ushul Fiqh dari sisi ini adalah gabungan dari dua pengertian tersebut.

Ushul Fiqh berasal dari bahasa Arab Ushul al-Fiqh yang terdiri dua kata, yaitu al-ushul dan al-fiqh. Masing-masing kata itu mempunyai pengertian tersendiri.

1.      Al-Ushul

Kata al-ushul, adalah jamak (plural) dari kata al-ashal, menurut bahasa berarti landasan tempat membangun sesuatu. Menurut istilah, seperti dikemukakan Wahbah az-Zuhaili, guru besar Universitas Damaskus, kata al-ashal mengandung beberapa pengertian: (1) bermakna dalil seperti dalam contoh: dalil wajib shalat adalah Al-Qur’an dan Sunnah, (2) bermakna kaidah umum yaitu satu ketentuan yang bersifat umum yang berlaku pada seluruh cakupannya, seperti dalam contoh; Islam dibangun di atas lima kaidah umum, (3) bermakna al-rajih (yang lebih kuat dari beberapa kemungkinan) seperti dalam contoh pengertian yang lebih kuat dari suatu perkataan adalah pengertian hakikatnya, (4) bermakna asal’ tempat menganalogikan sesuatu yang merupakan salah satu dari rukun qiyas. Misalnya, khamar merupakan asal’ (tempat mengkiyaskan) narkotika, dan (5) bermakna sesuatu yang diyakini bilamana terjadi keraguan dalam satu masalah. Misalnya, seseorang yang meyakini bahwa ia telah berwudhu, kemudian ia ragu apakah wudhunya sudah batal, maka dalam hal ini ketetapan fikih mengatakan, yang diyakini adalah keadaan ia dalam keadaan berwudhu. Artinya, dalam hal tersebut yang dipegang adalah sesuatu yang diyakini itu.

Demikianlah beberapa pengertian kata al-ashlu yang populer dalam literatur-literatur keislaman. Pengertian al-ashlu yang dimaksud, bila dihubungkan dengan kata fikih adalah pengertian yang disebut pertama di atas, yaitu dengan makna al-dalil. Dalam pengertian ini, maka kata Ushul al-Fiqh berarti dalil-dalil fikih, seperti Al-Qur’an, Sunnah Rasulullah, ijma’, qiyas, dan lain-lain.

2.      Al-Fiqh

Kata kedua yang membentuk istilah Ushul al-Fiqh adalah kata al-Fiqh. Kata al-Fiqh menurut bahasa berarti pemahaman. Contohnya, firman Allah dalam menceritakan sikap kaum Nabi Syu’aib dalam ayat:   

Mereka berkata: “Hai Syu’aib, kami tidak banyak mengerti tentang apa yang kamu katakan itu dan sesungguhnya kami benar-benar melihat kamu seorang yang lemah di antara kami… (QS. Hud/11: 91)

Menurut istilah, al-fiqh dalam pandangan az-Zuhaili, terdapat beberapa pendapat tentang definisi fiqh. Abu Hanifah mendefinisikan sebagai: Pengetahuan diri seseorang tentang apa yang menjadi haknya, dan apa yang menjadi kewajibannya, atau dengan kata lain, pengetahuan seseorang tentang apa yang menguntungkan dan apa yang merugikannya. Definisi yang diajukan Abu Hanifah ini sejalan dengan keadaan ilmu pengetahuan keislaman di masanya, di mana belum ada pemilihan antara ilmu fikih dalam pengertian yang lebih khusus dengan ilmu-ilmu keislaman lainnya. Oleh sebab itu, sesuai dengan pengertian fikih yang disebutkannya itu, istilah fikih mempunyai pengertian umum, mencakup hukum yang berhubungan dengan akidah seperti kewajiban beriman dan sebagainya, ilmu akhlak, dan hukum-hukum yang berhubungan dengan amal perbuatan manusia, seperti hukum ibadah, dan mu’amalah. Setelah masa Abu hanifah, masing-masing ilmu telah mengambil namanya tersendiri sebagai satu disiplin ilmu. Maka ada yang disebut ilmu tauhid yang membahas masalah akidah, ada pula yang dikenal dengan ilmu akhlak atau ilmu tasawuf, dan ada pula yang disebut ilmu fikih yang khusus membahas hukum-hukum yang berhubungan dengan amal perbuatan manusia. Ketika masing-masing ilmu telah mempunyai disiplin ilmu tersendiri, maka kalangan pengikut Abu Hanifah (kalangan Hanafiyah) menambah kata “amalan” di akhir definisi tersebut, sehingga dengan itu definisi fikih berarti: “Pengetahuan diri seseorang tentang hak dan kewajibannya dari segi amal perbuatan”. Dengan adanya tambahan terebut, maka kata fikih tidak lagi mencakup selain hukum-hukum yang berhubungan dengan amal perbuatan.

Ulama yang datang kemudian, seperti Ilmu Subki dari kalangan Syafi’iyah mendefinisikannya sebagai:

Pengetahuan tentang hukum syara’ yang berhubungan dengan amal perbuatan, yang digali dari satu persatu dalilnya.

Kata al-‘ilmu (pengetahuan) secara umum mencakup pengetahuan secara yakin dan pengetahuan yang sampai ketingkat zhan (perkiraan). Namun yang dimaksud dengan kata al-‘ilmu dalam definisi tersebut ialah pengetahuan yang sampai ke tingkatan zhan atau asumsi. Fikih adalah hukum Islam yang  tingkat kekuatannya hanya sampai ke tingkatan zhan, karena ditarik dari dalil-dalil yang dzanny. Bahwa hukum fikih itu adalah zhanny sejalan dengan pula dengan kata “al-muktasab” dalam definisi tersebut yang berarti “diusahakan” yang mengandung pengertian adanya campur tangan akal pikiran manusia dalam penarikannya dari Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah. Oleh sebab itu, pengetahuan tentang hukum Islam yang tidak dicampuri oleh akal pikiran manusia, dalam Ushul Fiqh tidak disebut sebagai fikih. Misalnya pengetahuan tentang kewajiban melaksanakan shalat lima waktu, kewajiban menunaikan zakat, dan haji. Hal-hal yang sudah pasti seperti itu kekuatan hukumnya bersifat pasti (qath’iy).

Demikianlah pengertian dari masing-masing kata tersebut. Seperti dikemukakan di atas, yang dimaksud dengan kata al-ashl disini adalah dengan makna dalil. Atas dasar itu, istilah Ushul Fiqh berarti dalil-dalil fikih, seperti Al-Qur’an, Sunnah, ijma’, qiyas, dan lain-lain. Namun pengertian seperti ini tidak popular dipakai dalam kajian Ushul Fiqh.

Definisi Ushul al-Fiqh sebagai Satu Disiplin Ilmu

Sebagaimana bagi satu disiplin ilmu, Ushul Fiqh dipandang sebagai satu kesatuan, tanpa melihat kepada pengertian satu-persatu dari dua kata yang membentuknya. Dalam mendefinisikannya terdapat berbagai redaksi di kalangan para ahlinya. ‘Abdullah bin ‘Umar al-Baidawi (w. 685 H), ahli Usul Fiqh dari kalangan Syafi’iyah mendefinisikannya sebagai:

Pengetahuan tentang dalil-dalil fikih secara global, cara mengistimbatkan (menarik) hukum dari dalil-dalil itu, dan tentang hal ihwal pelaku istinbat.

Berbagai hal yang menjadi pembahasan seperti yang ditunjukkan oleh definisi tersebut adalah:

1.      Tentang Dalil-dalil Fikih Secara Global

Apa yang dimaksud dengan dalil dalam definisi tersebut?. Kata al-dalil secara etimologis berarti “sesuatu yang memberi petunjuk kepada suatu hal yang lain”. Menurut istilah Ushul Fiqh, dalil berarti:

Sesuatu yang bilamana dipikirkan secara benar akan menyampaikan seseorang kepada kesimpulan yang dicari.

Misalnya, alam semesta ini bilamana dipikirkan secara benar tentang eksistensi dan sifat-sifatnya yang selalu berubah, dapat diketahui bahwa alam itu baru, dan hal itu akan menyampaikan seseorang kepada sebuah kesimpulan bahwa alam yang baru ini mesti ada penciptanya, sehingga kesimpulannya berbunyi: “Alam ini baru, setiap yang baru ada penciptanya, kesimpulan akhirnya berbunyi: ‘Alam ada penciptanya’ ”. Contoh lain, firman Allah, apabila diamati secara benar akan membawa kepada kesimpulan bahwa perintah yang terdapat dalam ayat tersebut menunjukkan hukum wajib, sehingga dapat dikatakan bahwa shalat hukumnya wajib.

Dalil itu sendiri terdiri dari dua macam, dalil ijmali (global) dan dalil tafsili (terinci). Kemudian, istilah dalil ijmali dan dalil tafsili, masing-masing popular dalam dua pengertian.

Pertama, pengertian dalil ijmali dalam konteks ayat-ayat hukum dalam Al-Qur’an dari segi terinci dan tidak terincinya. Ayat-ayat Al-Qur’an dalam menjelaskan hukum ada yang secara global tanpa merincinya dan ada pula yang secara rinci menjelaskan hubungan. Ayat-ayat yang menjelaskan hukum secara global itu disebut, ayat-ayat mujmal (global). Misalnya, ayat-ayat yang menjelaskan kewajiban melaksanakan shalat lima waktu, ayat-ayat yang mewajibkan zakat, dan haji. Ayat-ayat yang menjelaskan hal-hal tersebut bersifat garis-garis besar, tanpa terinci teknis pelaksanaanya. Sebaliknya, ayat-ayat yang secara rinci menjelaskan tentang sesutu hukum, disebut dalil-dalil tafsili. Misalnya, ayat-ayat yang menjelaskan masalah pembagian harta warisan, dan ayat yang menjelsakan masalah kewajiban membayar denda kifarat atas pelanggar sumpah dan kifarat zhihar.   

Kedua, pengertian dalil ijmali dalam konteks pembicaraan tentang kaidah-kaidah umum Ushul Fiqh seperti yang dimaksud dengan istilah dalil ijmali dalam definisi Ushul Fiqh tersebut di atas. Dalam konteks ini, yang dimaksud dengan dalil ijmali (global) adalah dalil atau kaidah yang bersifat umum yang tidak menunjukkan sesuatu hukum pada masalah tertentu secara langsung. Contohnya kaidah yang mengatakan bahwa “Al-Qur’an adalah sumber hukum pertama dan utama”, “hadis adalah sumber hukum kedua”, dan “kata perintah menunjukkan hukum wajib selama tidak ada indikasi lain yang menunjukkan pengertian selain itu” disebut sebagai kaidah atau dalil-dalil ijmali (global). Dalam konteks ini, yang menjadi lawannya adalah dalil tafsili dalam pengertian dalil-dalil yang langsung menunjukkan hukum tertentu. Misalnya, ayat yang memerintahkan untuk melakukan shalat, zakat, haji, dan pembagian harta warisan.

Kajian Ushul Fiqh membahas dalil-dalil yang bersifat global seperti yang tersebut pada bagian dua di atas, bukan dalil terinci. Dalil terinci menjadi lapangan ilmu fikih. ‘Abd al-Rahim al-Isnawi (w. 773 H), ahli Ushul Fiqh dari kalangan Syafi’iyah, menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan pengetahuan tentang dalil-dalil fikih dalam definisi tersebut mencakup pengetahuan tentang dalil-dalil yang disepakati, seperti Al-Qur’an, Sunnah, ijma’, dan qiyas, dan dalil-dalil yang tidak disepakati, misalnya, istihsan, istislah (maslahah mursalah), syar’u man qablana, fatwa sahabat dan ‘urf (adat kebiasaan). Pengetahuan tentang dalil-dalil tersebut, terdiri dari dua segi yaitu: (1) segi kehujahannya (keabsahannya sebagai landasan pembentukan hukum), seperti kehujahan Sunnah, kehujahan ijma’, qiyas, dan sebagainya, dan (2) segi penunjukkannya terhadap hukum serta metode menarik hukum darinya. Yang disebut terakhir ini, yaitu segi penunjukan dalil terhadap hukum dan metode menarik hukum darinya, adalah kajian tentang berbagai cara Al-Qur’an dan Sunnah menunjukkan hukum baik dari segi kebahasaan seperti suatu perintah menunjukkan hukum wajib dan suatu larangan menunjukkan hukum haram selama tidak ada dalil yang menunjukkan hukum haram selama tidak ada dalil yang menunjukkan pengertian lain, maupun dari segi tujuan syariat (substansinya) seperti dalam praktik qiyas dalam upaya mengembangkan hukum lewat tujuan syariat. Dalam bagian ini dikaji secara rinci metode pemahaman Al-Qur’an dan Sunnah dari segi-segi tersebut. Pengetahuan tentang hal-hal tersebut disajikan dalam bentuk global, tidak terfokus kepada rincian perkasus. Atau dengan kata lain, Ushul Fiqh hanya berbicara tentang kaidah-kaidah atau ketetapan-ketetapan yang bersifat umum, tidak bersifat rinci. Misalnya, seperti dalam contoh di atas dalam kaidah “suatu perintah menunjukkan hukum wajib selama tidak ada dalil yang memalingkannya kepada pengertian lain”. Di sini Ushul Fiqh hanya berbicara tentang kaidah umum seperti itu, tanpa merinci satu per satu perintah yang terdapat dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Rincian dari kaidah-kaidah umum itu bukan kajian Ushul Fiqh, tetapi akan dikaji oleh seorang mujtahid ketika menerapkan kaidah-kaidah umum Usul Fiqh itu lebih kepada satu per satu ayat dalam Al-Qur’an, atau Hadis, atau kasus per kasus dari dalil-dalil lainnya.

2.      Tentang Cara Mengistinbatkan Hukum dari Dalil-dalil-nya

Metode istinbat yang dibahas dalam bagian ini adalah bagian dari metode-metode istinbat secara keseluruhan. Karena, sebagian besar dari metode istinbat, telah tercakup dalam bagian pertama di atas. Bagian ini khusus membicarakan metode istinbat bilamana dalam pandangan mujtahid terjadi pertentangan antara satu dalil dengan dalil yang lain. Misalnya, seperti dikemukakan oleh Abd al-Rahim al-Isnawi, mendahulukan dalil yang tegas atas dalil yang tidak tegas pengertiannya, mendahulukan hadis mutawatir atas hadis yang tidak sampai ke tingkat mutawatir, dan lain-lain yang pada umumnya dibahas dalam kajian ta’arud al-adillah (dalil-dalil yang bertentangan) dan metode tarjih (cara mengetahui mana dalil yang lebih kuat sehingga harus didahulukan).

3.      Tentang Syarat-syarat yang Harus Dipenuhi oleh Seseorang yang Akan Melakukan Ijtihad, tentang Ijtihad itu Sendiri dan Hal-hal yang Menjadi Lapangannya

Kalangan Hanfiyah, Malikiyah, dan Hanabilah, seperti dinukil dan disimpulkan oleh Wahbah az-Zuhaili mendefinisikan Ushul Fiqh sebagai:

Kaidah-kaidah yang akan digunakan seorang mujtahid untuk menyimpulkan hukum fikih dari satu persatu dalilnya.

Yang dimaksud dengan “kaidah-kaidah” dalam definisi tersebut adalah ketentuan-ketentuan yang bersifat umum yang menjadi pedoman bagi mujtahid untuk memahami hukum-hukum lebih rinci yang tercakup di dalam Al-Qur’an dan Sunnah.

Di antara kaidah-kaidah itu ada yang berhubungan dengan keabsahan suatu dalil misalnya keabsahan hadis Rasulullah untuk dijadikan sumber hukum, dan ada pula yang berhubungan dengan metode istinbat. Yang disebut terakhir ini, yaitu metode istinbat ada yang dari segi kebahasaan seperti kaidah yang mengatakan bahwa ayat-ayat yang tegas (qath’i) menunjukkan hukum, wajib diamalkan seadanya dan bukan merupakan lapangan ijtihad, ada yang dari segi substansinya (tujuan hukum atau maqasid syari’ah) seperti cara-cara menetapkan hukum dengan qiyas, istihsan, dan istishlah (maslahah mur-salah), dan ada pula yang berhubungan dengan metode tarjih yaitu metode untuk mengetahui mana yang lebih kuat di antara dalil-dalil yang kelihatan bertentangan di mata seorang mujtahid.

Kedua definisi di atas, sepakat pada satu inti dari Ushul Fiqh, yaitu metode atau kaidah-kaidah yang dipakai untuk meng-istinbat-kan hukum dari Al-Qur’an dan Sunnah. Muhammad Abu Zahrah, seorang ahli Usul Fiqh berkebangsaan Mesir yang hidup pada awal abad kedua puluh, dalam keterangannya menjelaskan bahwa inti ilmu Ushul Fiqh adalah satu ilmu yang menjelaskan metode meng-istinbat-kan hukum dari dalil-dalilnya.

Metode istinbat itu seperti tergambar dalam dua definisi di atas, ada yang berhubungan dengan kaidah-kaidah kebahasaan, ada yang berhubungan dengan tujuan hukum, dan ada pula dalam bentuk penyelesaian dari dalil-dalil yang kelihatan bertentangan. Metode pemahaman kebahasaan diperlukan karena Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab yang dalam memahaminya memerlukan seperangkat aturan. Ayat-ayat hukum dalam Al-Qur’an, dalam pandangan para ahli Ushul Fiqh menunjukkan hukum dari berbagai bentuk, sifat dan dari berbagai sisi. Ada berbentuk perintah (amar), ada berbentuk larangan (nahi) dan ada yang memberi pilih (takhyir). Ada yang bersifat umum dan ada pula yang bersifat khusus. Ada yang bersifat mutlaq dan ada pula yang bersifat muqayyad (dibatasi pengertiannya), ada yang dari sisi mantuq (tersurat), dan menurut mayoritas ulama Ushul Fiqh ada pula yang dari sisi mafhum mukhalafah (kebalikan dari hukum yang tersurat), dan lain-lain yang berhubungan dengan kajian kebahasaan. Ushul Fiqh menjelaskan cara memahami lafal ayat dan hadis dari berbagai sisi dan bentuknya itu.

Metode yang berhubungan dengan penetapan hukum melalui maqasid al-syari’ah (tujuan syariat) diperlukan karena Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah, menurut hasil penelitian para ahli Ushul Fiqh, di samping menunjukkan hukum melalui pengertian bahasanya, juga melalui tujuan hukumnya. Syariat Islam diturunkan bertujuan untuk kemaslahatan umat manusia. Adanya suatu perintah atau anjuran untuk untuk melakukan suatu perbuatan karena di dalamnya terdapat kemaslahatan bagi manusia. Sebaliknya, adanya suatu larangan karena di dalam perbuatan itu terdapat bahaya bagi kehidupan. Melalui substansi hukum ini, ayat-ayat hukum yang terbatas, jumlahnya dapat dikembangkan. Ushul Fiqh menjelaskan kaidah-kaidah atau metode penetapan hukum melalui hal tersebut, misalnya seperti dalam metode qiyas (analogi), istihsan, istishlah (maslahah mursalah), istishab, sadd al-zari’ah, dan ‘urf (adat kebiasaan). Adapun metode yang berhubungan dengan penyelesaian dalil-dalil yang kelihatan bertentangan diperlukan karena dalam pandangan seorang mujtahid, disebabkan keterbatasan kemampuan akal pikirannya dalam menangkap maksud dari suatu dalil, bisa jadi di satu kali maksud suatu dalil kelihatan bertentangan dengan maksud dalil yang lain. Ushul Fiqh menyajikan metode penyelesaiannya secara rinci seperti dalam metode tarjih.

OBJEK KAJIAN USHUL FIQH DAN FIKIH

1.      Objek kajian Ushul Fiqh

Untuk mendalami satu disiplin ilmu, lebih dulu perlu diketahui apa yang menjadi objek pembahasannya dan sisi mana saja dari objek bahasan tersebut yang akan dikaji. Demikian halnya untuk mempelajari Ushul Fiqh, perlu diketahui objek pembahasannya. Objek bahasan setiap ilmu pengetahuan adalah sesuatu yang dibahas dalam ilmu itu tentang sifat-sifat yang berhubungan atau bisa dihubungkan dengan sesuatu itu.

Dari definisi Ushul Fiqh menurut Abdullah bin Umar al-Baidlawi yang dikemukakan di bagian awal pembahasan ini, dapat dipaparkan tiga masalah pokok yang akan dibahas dalam Ushul Fiqh, yaitu tentang sumber dan dalil hukum, tentang metode istinbat, dan tentang ijtihad. Kajian tentang hukum (al-hukm) oleh ‘Abd Allah bin Umar al-Baidlawi di letakkan pada bagian pendahuluan. Sedangkan Imam Abu Hamid Al-Ghazali (450 H-505 H), ahli Ushul Fiqh dari kalangan Syafi’iyah meletakkan pembahasan tentang hukum bukan pada pendahuluan, melainkan pada bagian pertama dari masalah-masalah pokok yang akan dibahas dalam Ushul Fiqh. Berpegang kepada pendapat Al-Ghazali tersebut, maka objek bahasan Ushul Fiqh menjadi 4 (empat) bagian, yaitu: (1) pembahasan tentang hukum syara’ dan yang berhubungan dengannya, seperti hakim, mahkum fih, dan mahkum ‘alaih; (2) pembahasan tentang sumber-sumber dan dalil-dalil hukum; (3) pembahasan tentang cara mengistinbatkan hukum dari sumber-sumber dan dalil-dalil itu; dan (4) pembahasan tentang ijtihad. Secara global muatan kajian Ushul Fiqh seperti dijelaskan di atas menggambarkan objek bahasan Ushul Fiqh dalam berbagai literatur dan aliran, meskipun mungkin terdapat perbedaan tentang sistematika dan jumlah muatan dari masing-masing bagian tersebut.

Meskipun yang menjadi objek bahasan Ushul Fiqh ada empat seperti dikemukakan di atas, namun Wahbah az-Zuhaili dalam bukunya al-Wasith Fi Ushul al-Fiqh menjelaskan bahwa yang menjadi inti dari objek kajian Ushul Fiqh adalah tentang du ahal, yaitu dalil-dalil secara global dan tentang al-ahkam (hukum-hukum syara’). Selain dua hal tersebut, dipaparkan oleh para ulama Ushul Fiqh hanya sebagai pelengkap. Lalu aspek mana saja dari kedua objek bahasan tersebut yang dikaji dalam Ushul Fiqh?. Dalil-dalil syara’ dikaji dari segi tetapnya sifat-sifat esensialnya. Misalnya, Al-Qur’an adalah kitab suci dan menjadi sumber bagi ketetapan hukum syara’. Al-amr (perintah) yang terdapat di dalam Al-Qur’an menunjukkan hukum wajib. Sebuah teks (nash) yang tegas menunjukkan pengertiannya secara pasti (qath’i), Lafal umum yang sudah ditakhshish sebagian cakupannya, sisanya berlalu secara tidak pasti (zhannya). Dalam contoh-contoh di atas, Al-Qur’an dikaji dari segi kompetensinya dalam menetapkan hukum, teks (nash) yang tegas dikaji dari segi kepastian pengertiannya menunjukkan hukum, dan lafal umum yang sudah ditakhshish ketidakpastian penunjukannya terhadap sisa cakupan pengertiannya mengena hukum.

Begitulah setiap teks ayat atau hadis dalam berbagai macam bentuk dan karakteristiknya dikaji sedemikian rupa sehingga akan membuahkan kesimpulan-kesimpulan yang dirumuskan dalam bentuk kaidah-kaidah umum. Kemudian, hukum syara’ dijelaskan secara panjang lebar, baik dari segi konsepnya maupun dari segi bagaimana ia bisa ditetapkan melalui dalil-dalil syara’. Dari sisi ini kelihatan hubungan erat antara hukum dan dalil-dalil syara’. Sebuah ungkapan menarik dalam hal ini adalah apa yang dikemukakan oleh Abu Ishaq al-Syathibi dalam kitabnya al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah. Ia mengatakan: “Setiap kajian yang dirumuskan dalam Ushul Fiqh yang tidak bisa dibangun di atasnya hukum fikih, atau adab sopan santun syara’, atau tidak membantu untuk pembentukan hal-hal tersebut, maka meletakkan hal seperti itu dalam Ushul Fiqh adalah sia-sia”.

Dari keterangan di atas, jelas bahwa yang menjadi objek bahasan Ushul Fiqh adalah sifat-sifat esensial dari berbagai macam dalil dalam kaitannya dengan penetapan sebuah hukum dan sebaliknya segi bagaimana tetapnya suatu huku dengan dalil. Dalil-dalil atau kaidah-kaidah serta hukum itu dikemukakan secara global, tanpa masuk kepada rinciannya, karena rinciannya, seperti dikemukakan sebelumnya, dibahas dalam ilmu fikih olh mujtahid.

2.      Objek Kajian Fikih

Tugas Ushul Fiqh untuk menemukan sifat-sifat esensial dari dalil-dalil syara’ dan sifat-sifat esensial itu dirumuskan dalam bentuk dalil-dalil atau kaidah-kaidah secara global. Dalil-dalil yang secara global telah dirumuskan oleh para ahli Ushul Fiqh ini pada gilirannya akan diterapkan oleh seorang mujtahid kepada dalil-dalil juz’i (terinci) yang terdapat dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah. Dari aktivitas mujtahid dalam ijtihadnya itu akan membuahkan hukum Fikih yang langsung dikaitkan dengan perbuatan mukalaf. Jadi, yang menjadi bahasan Fikih adalah satu persatu dalil dalam Al-Qur’an dan Sunnah dalam kaitannya dengan perbuatan mukalaf, dengan menggunakan kaidah-kaidah Ushul Fiqh.

Adanya pembedaan fungsi tersebut di atas, hanya dapat dilihat dari sisi pandang disiplin ilmu. Dari segi praktiknya, perbedaan tersebut tidak begitu kelihatan, sebab apa yang disebut sebagai ijtihad dalam pembentukan hukum fikih tidak lain dari penerapan dari kaidah-kaidah Ushul Fiqh itu sendiri. Oleh sebab itu, dalam buku ini, ketika telah dilengkapi kaidah-kaidah Ushul Fiqh dengan contoh-contoh penerapannya, tidak akan kelihatan lagi perbedaan tersebut.

MANFAAT MEMPELAJARI USHUL FIQH

Dalam masyarakat muslim di mana berkembang budaya taklid kepada salah seorang imam pendiri mazhab, studi Ushul Fiqh kurang mendapat perhatian. Sebab, dalam mengamalkan hukum Islam, bisa jadi mereka merasa cukup dengan apa yang telah tersedia dalam buku-buku fikih klasik. Studi Ushul Fiqh baru teras penting bilamana dihadapkan kepada masalah-masalah baru yang hukumnya tidak terdapat dalam perbendaharaan fikih lam. Di samping itu, dengan maraknya para peminat hukum Islam melakukan perbandingan mazhab bahkan untuk mengetahui mana pendapat yang lebih kuat, serta adanya upaya untuk memperbarui hukum Islam, akan semakin terasa betapa pentingnya melakukan studi Ushul Fiqh. Gagasan pembaruan Hukum Islam tanpa mengetahui dan mendalami metodologi pembentukan hukum Islam, maka pembaruan itu sendiri akan menjadi boomerang bagi umat Islam karena akan menimbulkan kerancuan berpikir dalam hukum Islam.

Di bawah ini akan dikemukakan beberapa kegunaan penting bagi studi Ushul Fiqh:

1.      Dengan mempelajari Ushul Fiqh akan memungkinkan untuk mengetahui dasar-dasar para mujtahid masa silam dalam membentuk pendapat fikihnya. Dengan demikian, akan dimengerti betul secara mendalam, sehingga dengan itu bisa diketahui sejauh mana kebenaran pendapat-pendapat fikih yang berkembang di dunia Islam. Pengetahuan seperti ini akan mengantarkan kepada ketenangan mengamalkan pendapat-pendapat mereka.

2.      Dengan studi Ushul Fiqh seseorang akan memperoleh kemampuan untuk memahami ayat-ayat hukum dalam Al-Qur’an dan hadis-hadis hukum dalam Sunnah Rasulullah, kemudian meng-istinbat-kan hukum dari dua sumber tersebut. Dalam Ushul Fiqh, seseorang akan memperoleh pengetahuan bagaimana seharusnya memahami sebuah ayat atau hadis, dan bagaimana cara mengembangkannya. Oleh sebab itu, ulama-ulama mujtahid terdahulu, lebih mengutamakan studi Ushul Fiqh dari studi Fikih itu sendiri. Sebab dengan mempelajari Ushul Fiqh seseorang bukan saja mampu memakai tetapi berarti mampu memproduk fikih.

3.      Dengan mendalami Ushul Fiqh seseorang akan mampu secara benar dan lebih baik melakukan muqaranat al-mazahib al-Fiqhiyah, studi komparatif antar pendapat ulama fikih dari berbagai mazhab, sebab Ushul Fiqh merupakan alat untuk melakukan perbandingan mazhab fikih.

Kegunaan Ushul Fiqh terutama baru akan terasa bilamana keyakinan bahwa pintu ijtihad sudah tertutup dapat disingkirkan dari benak umat Islam. Jika benar pintu ijtihad pernah ditutup dalam sejarahnya, hal itu tidak lain dimaksudkan agar ijtihad tidak dimanipulasi oleh orang-orang yang tidak berkompeten untuk melakukannya. Bagi orang-orang yang mampu, pintu ijtihad tidak seorang pun yang berhak menutupnya. Dalam konteks inilah studi Ushul Fiqh menjadi lebih penting. Ia penting didalami, baik oleh seseorang yang akan memberikan fatwa, oleh para hakim di pengadilan di mana hukum Islam diterapkan, dan oleh para mahasiswa yang akan menekuni studi hukum Islam.              

Sumber : Buku Ushul Fiqh, Satria Effendi

Tidak ada komentar:

Kisah Mata Air Keabadian

Kisah ini diriwayatkan oleh Ats-Tsa’labi dari Imam Ali ra. Pada zaman dahulu hiduplah seorang hamba Allah SWT yang melebihkan kepada d...