Definisi
Psikologi
Psikologi
yang dalam istilah lama disebut ilmu jiwa itu berasal dari kata bahasa Inggris psychology. Kata psychology merupakan dua akar kata yang bersumber dari bahasa Greek (Yunani), yaitu: 1) psyche yang berarti jiwa; 2) logos yang berarti ilmu. Jadi, secara
harfiah psikologi memang berarti ilmu jiwa. Karena beberapa alasan tertentu
(seperti timbulny konotasi/arti lain yang menganggap psikologi sebagai ilmu
yang menyelidiki jiwa), sekurang-kurangnya selama dasawarsa terakhir ini
menurut hemat penyusun istilah ilmu jiwa itu sudah sangat jarang dipakai orang.
Kini berbagai kalangan profesional baik yang berkecimpung dalam dunia
pendidikan maupun dalam dunia-dunia profesi lainnya yang menggunakan layanan
“jasa kejiwaan” itu lebih terbiasa menyebut psikologi daripada ilmu jiwa.
Membatasi
arti psikologi bagi siapa pun sulit, bahkan mengenali ciri khasnya saja tidak
mudah. Akibatnya, tidak jarang seorang ahli yang pada suatu saatmendefinisikan
psikologi sebagai “X”, pada saat lain mengubahnya menjadi “Y”.
Psikologi
pada mulanya digunakan para ilmuwan dan para filosof untuk memenuhi kebutuhan
mereka dalam memahami akal pikiran dan tingkah laku aneka ragam makhluk hidup
mulai yang primitif sampai yang paling modern. Namun ternyata tidak cocok,
lantaran menurut para ilmuwan dan filosof, psikologi memiliki batas-batas
tertentu yang berada di luar kaidah keilmuwan dan etika filosofis. Kaidah
saintifik dan patokan etika filosofis ini tak dapat dibebankan begitu saja
sebagai muatan psikologi (Reber, 1988).
Sebelum
menjadi disiplin ilmu yang mandiri, psikologi memiliki akar-akar yang kuat
dalam ilmu kedokteran dan filsafat yang hingga sekarang masih tamapak
pengaruhnya. Dalam ilmu kedoteran, psikologi berperan menjelaskan apa-apa yang
terpikir dan terasa oleh organ-organ biologis (jasmaniah). Sedangkan dalam
filsafat—yang sebenarnya “ibu kandung” psikologi itu—psikologi berperan serta
dalam memecahkan masalah rumit yang berkaitan dengan akal, kehendak, dan pengetahuan.
Karena kontak dengan berbagai disiplin itulah, maka timbul bermacam-macam
definisi psikologi yang satu sama lain berbeda, seperti:
1. psikologi
adalah ilmu mengenai kehidupan mental (the
science of mental life)
2. psikologi
adalah ilmu mengenai pikiran (the science
of mind)
3. psikologi
adalah ilmu mengenai tingkah laku (the
science of behavior) dan lain definisi yang sangat bergantung pada sudut
pandang pandang yang mendefinisikannya.
Pada
asasnya, psikologi menyentuh banyak bidang kehidupan diri organisme baik
manusia maupun hewan. Psikologi dalam hal ini berhubungan dengan penyelidikan
mengenai bagaimana dan mengapa organisme-organisme itu melakukan apa yang
mereka lakukan.
Namun
secara lebih spesifik, psikologi lebih banyak dikaitkan dengan kehidupan organisme
manusia. Dalam hubungan ini, psikologi didefinisikan sebagai ilmu pengetahuan
yang berusaha memahami perilaku manusia alasan dan cara melakukan sesuatu, dan
juga memahami cara makhluk tersebut berpikir dan berperasaan (Gleitman, 1986).
Hal-hal yang tampak sederhana pun menjadi psikologi, seperti mengapa kita tetap
ingat cara mengendarai sepeda meskipun sudah 20 tahun kita tidak memakainya,
mengapa kita bicara, mengapa kita cinta, cemburu, benci, dan sebagainya.
Bruno
(1987) membagi pengertian psikologi dalam tiga bagian yang pada prinsipnya
saling berhubungan. Pertama,
psikologi adalah studi (penyelidikan) mengenai “ruh”. Kedua, psikologi adalah ilmu pengetahuan mengenai “kehidupan
mental”. Ketiga, psikologi adalah
ilmu pengetahuan mengenai “tingkah laku” organisme.
Pengertian
pertama merupakan definisi yang paling kuno dan klasik (bercita rasa tinggi dan
bersejarah) yang berhubungan dengan filsafat Plato (427-347 SM) dan Aristoteles
(384-322 SM). Mereka menganggap kesadarn manusia berhubungan dengan ruhnya.
Oleh karena itu, studi mengenai kesadaran dan proses mental manusia merupakan
bagian dari studi mengenai ruh.
Ketika
psikologi melepaskan diri dari filsafat dan menjadi disiplin yang mandiri pada
tahun 1879, saat William Wundi (1832-1920) mendirikan laboratorium
psikologinya, ruh dikeluarkan dari studi psikologi. Para ahli, antara lain
William James (1842-1910), menganggap psikologi sebagai ilmu pengetahuan
mengenai kehidupan mental. Namun, John B. Watson (1878-1958), tokoh aliran
behaviorisme yang radikal itu, tidak puas dengan definisi James tersebut lalu
mengubahnya menjadi “ilmu pengetahuan tentang tingkah laku (behavior) organisme” dan sekaligus
menafikan (menganggap tidak ada) eksistensi ruh dan kehidupan mental.
Eksistensi (keberadaan) ruh dan kehidupan internal manusia, menurut B. Watson
dan kawan-kawan tak dapat dibuktikan karena tidak ada, kecuali dalam khayalan
belaka. Alhasil, dapat kita katakan bahwa psikologi behaviorisme adalah aliran
ilmu jiwa yang tidak berjiwa, (lihat halaman 112).
Chaplin
(1972) dalam Dictionary of Psychology mendefinisikan psikologi sebagai . . . the science of human and animal behavior,
the study of the organism in all its variety and complexity as it responds to
the flux and flow of the physical and social events which make up the
environment. (Psikologi ialah ilmu pengetahuan mengenai perilaku manusia
dan hewan, juga penyelidikan terhadap organisme dalam segala ragam dan
kerumitannya ketika mereaksi arus dan perubahan alam sekitar dan
peristiwa-peristiwa kemasyarakatan yang mengubah lingkungan). Sementara itu,
Edwin G. Boring dan Herbert S. Langfeld seperti dikutip Sarwono (1976)
mendefinisikan psikologi jauh lebih sederhana daripada definisi di atas, yakni
psikologi ialah studi tentang hakikat manusia.
Selanjutnya,
dalam Ensiklopedia Pendidikan,
Poerbakawatja dan Harahap (1981) membatasi arti psikologi sebagai “cabang ilmu
pengetahuan yang mengadakan penyelidikan atas gejala-gejala dan
kegiatan-kegiatan jiwa”. Dalam ensiklopedia ini dibatasi pula bahwa gejala dan
kegiatan jiwa tersebut meliputi respons organisme dan hubungannya dengan
lingkungan.
Dalam
definisi-definisi di atas tampak jelas persamaan-persamaan di samping
perbedaan-perbedaan pandangan para ahli. Namun, terlepas dari persamaan dan
perbedaan tersebut, pendapat yang lebih relevan (berkaitan dengan kepentingan)
untuk dipedomani sehubungan dengan topik-topik pembahasan dalam buku ini adalah
pendapat Gleitman dan Boring & Langfeld. Pendapat mereka itu selain singkat
dan tidak berbelit-belit, juga menitikberatkan pada kepentingan organisme
manusia.
Pendapat-pendapat
itu sesuai dengan kenyataan yang ada selama ini, yakni para ahli pada umumnya
lebih banyak menekankan penyelidikan terhadap tingkah laku manusia yang
bersifat jasmaniah (aspek psikomotor) maupun yang bersifat rohaniah (apek
kognitif dan afektif). Tingkah laku psikomotor (ranah karsa) bersifat terbuka.
Tingkah laku terbuka meliputi perbuatan berbicara, duduk, berjalan, dan
seterusnya, sedangkan tingkah laku tertutup meliputi berpikir, berkeyakinan,
berperasaan, dan seterusnya.
Alhasil,
secara ringkas dapat kita tarik sebuah simpulan bahwa psikologi adalah ilmu
pengetahuan yang menyelidiki dan membahas tingkah laku terbuka dan tertutup
pada manusia, baik selaku individu maupun kelompok, dalam hubungannya dengan
lingkungan. Lingkungan dalam hal ini meliputi semua orang, barang, keadaan, dan
kejadian yang ada di sekitar manusia.
Definisi
Pendidikan
Pendidikan
berasa dari kata “didik”, lalu kata ini mendapat awalan me sehingga menjadi
“mendidik”, artinya memelihara dan memberi latihan. Dalam memlihara dan memberi
latihan diperlukan adanya ajaran, tuntunan, dan pimpinan mengenai akhlak dan
kecerdasan pikiran (lihat Kamus Besar
Bahasa Indonesia, 1991: 232). Selanjutnya, pengertian “pendidikan” menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia ialah proses pengubahan sikap dan tata laku
seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya
pengajaran dan pelatihan.
Dalam
bahasa Inggris, education
(pendidikan) berasal dari kata educate
(mendidik) artinya memberi peningkatan (to
elicit, to give rise to), dan mengembangkan (to evolve, to develop). Dalam pengertian yang sempit, education atau pendidikan berarti
perbuatan atau proses perbuatan untuk memeroleh pengetahuan (McLeod, 1989).
Dalam
pengertian yang agak luas, pendidikan dapat diartikan sebagai sebuah proses
dengan metode-metode tertentu sehingga orang memeroleh pengetahuan, pemahaman,
dan cara bertingkah laku yang sesuai dengan kebutuhan. Dalam pengertian yang
luas dan representative (mewakili/mencerminkan segala segi), pendidikan ialah …
the total process of developing human
abilities and behavior, drawing on almost all life’s experiences (Tardif,
1987). (Seluruh tahapan pengembangan kemampuan-kemampuan dan perilaku-perilaku
manusia, juga proses penggunaan hampir seluruh pengalaman kehidupan.)
Sebagian
orang memahami arti pendidikan sebagai pengajaran karena pendidikan pada
umumnya selalu membutuhkan pengajaran (lihat definisi dari KBBI di atas). Jika
pengertian seperti ini kita pedomani, setiap orang yang berkewajiban mendidik
(seperti guru dan orang tua) tentu harus melakukan perbuatan mengajar. Padahal,
mengajar pada umumnya diartikan secara sempit dan formal sebagai kegiatan
menyampaikan materi pelajaran tersebut, atau dengan kata lain agar siswa
tersebut memiliki ilmu pengetahuan.
Dalam
Dictionary of Psychology (1972) pendidikan diartikan sebagai . . . the institutional procedures which are
employed in accomplishing the development of knowledge, habits, attitudes, etc.
Usually the term is applied to formal institution. Jadi, pendidikan berarti
tahapan kegiatan yang bersifat kelembagaan (seperti sekolah dan madrasah) yang
dipergunakan untuk menyempurnakan perkembangan individu dalam menguasai
pengetahuan, kebiasaan, sikap, dan sebagainya. Pendidikan dapat berlangsung
secara informal dan nonformal di samping secar formal seperti di sekolah,
madrasah, dan institusi-institusi lainnya. Bahkan, menurut definisi di atas,
pendidikan juga dapat berlangsung dengan cara mengajar diri sendiri
(self-instruction).
Selanjutnya,
menurut Poerbakawatja dan Harahap (1981), pendidikan adalah:
…
usaha secara sengaja dari orang dewasa untuk dengan pengaruhnya meningkatkan si
anak ke kedewasaan yang selalu diartikan mampu menimbulkan tanggung jawab moril
dari segala perbuatannya . . . orang dewasa itu adalah orang tua si anak atau
orang tua yang atas dasar tugas dan kedudukannya mempunyai kewajiban untuk
mendidik misalnya guru sekolah, pendeta atau kiai dalam lingkungan keagamaan,
kepala-kepala asrama dan sebagainya.
Dalam
definisi yang panjang ini terdapat dua kata kunci yang menurut hemat penyusun
perlu disoroti yakni “kedewasaan” dan “tanggungjawab moril”. Kedewasaan,
meskipun sudah sangat popular di kalangan para pendidik kita, sebetulnya
merupakan istilah yang sangat umum dan hanya bisa digunakan setelah diberi
batasan yang tegas. Ada kemungkinan, kedewasaan diartikan sebagai kondisi orang
yang sudah akil balig atau sudah cukup tua (entah berapa tahun) atau masih
berusia muda tetapi berkecakapan sama dengan orang yang berusia cukup tua.
Rangkaian
kata-kata “yang selalu diartikan mampu menimbulkan tanggung jawab moril dari
segala perbuatannya” (mungkin bermaksud: mampu bertanggung jawab atas segala
perbuatannya secara moral), juga terasa kurang memadai. Tanggung jawab moral
itu bersifat nisbi (dapat begini atau begitu), karenanya perlu pula pembatasan
yang tugas, apakah moral kemasyarakatan, moral hukum, ataukah moral keagamaan.
Seorang
pejabat, yang sudah tentu terdidik, yang melakukan kolusi (persekongkolan
jahat) atau korupsi bisa saja karena ingin disebut memiliki tanggung jawab
moral, ia mengundurkan diri dari jabatannya sebelum terjaring hukum. Padahal,
seorang yang cukup terdidik seharusnya tidak hanya memiliki tanggun jawab moral
yang nisbi seperi pejabat itu, tetapi juga tanggung jawab memikul resiko hukum
yang timbul karena ulahnya.
Oleh
karena itu, istilah dewasa dan tanggung jawab moral perlu diberi batas-batas
yang jelas dan konkret, umpamanya dengan cara mengacu pada tujuan pendidikan
nasional, yakni:
“…
bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga neara yang demokratis dan
bertanggung jawab” (UUSPN/2003 Bab II Pasal 3)
Definisi
Psikologi Pendidikan
Psikologi
pendidikan menurut sebagian ahli adalah subdisiplin psikologi bukan psikologi
itu sendiri. Mereka menganggap psikologi pendidikan tidak memiliki teori,
konsep, dan metode sendiri. Hal ini konon terbukti dengan banyaknya hasil-hasil
riset psikologi lain yang diangkat menjadi teori, konsep, dan metode psikologi
pendidikan.
Salah
seorang ahli menganggap pendidikan sebagai subdisiplin psikologis terapan (applicable) adalah Arthur S. Reber
(1988) seorang guru besar psikologi pada Brooklyn College, University of New
York City, University of British Columbia Canada, dan juga pada University of
Innsbruck Austria. Dalam pandangannya, psikologi pendidikan adalah sebuah
subdisiplin ilmu psikologi yang berkaitan dengan teori dan masalah kependidikan
yang berguna dalam hal-hal sebagai berikut.
1. Penarapan
prinsip-prinsip belajar dalam kelas.
2. Pengembangan
dan pembaruan kurikulum.
3. Ujian
dan evaluasi bakat dan kemampuan.
4. Sosialisasi
proses-proses dan interaksi proses-proses tersebut dengan pendayagunaan ranah
kognitif.
5. Penyelenggaraan
pendidikan keguruan.
Secara
lebih sederhana dan praktis, Barlow (1985) mendefinisikan psikologi pendidikan
sebagai: … a body of knowledge grounded
in psychological research which provides a repertoire of resources to aid you
in functioning more effectively in teaching learning process. Psikologi
pendidikan adalah sebuah pengetahuan berdasarkan riset psikologis yang menyediakan
serangkaian sumber-sumber untuk membantu Anda melaksanakan tugas sebagai guru
dalam proses mengajar-belajar secara lebih sefektif. Tekanan definisi ini
secara lahiriah hanya berkisar sekitar proses interaksi antaraguru-siswa dalam
kelas.
Dalam
buku Educational Psychology: The Teaching
Learning Process, Daniel Lenox Barlow (1985), seorang professor dan
direktur program pascasarjana School of Education pada sebuah perguruan tinggi
di Virginia Amerika Serikat, juga menguraikan secara luas hal-hal di luar hal
yang telah penyusun kutip di atas seperti proses perkembangan dan proses
belajar siswa. Selain itu, dia membahas juga masalah-masalah aktual yang
dihadapi guru dan pengembangan profesi kariernya.
Sementara
itu, Tardif (1987) mendefinisikan psikologi pendidikan mirip dengan takrif di
atas dalam arti cenderung menganggapnya semata-mata sebagai ilmu terapan.
Baginya, psikologi pendidikan adalah “. . . sebuah bidang studi yang
berhubungan dengan penerapan pengetahuan tentang perilaku manusia untuk
usaha-usaha kependidikan”. Adapun ruang lingkupnya, meliputi:
1. context of
teaching and learning (situasi atau tempat yang berhubungan
dengan mengajar dan belajar);
2. process of
teaching and learning (tahapan-tahapan dalam mengajar dan
belajar); dan
3. outcomes of
teaching and learning (hasil-hasil yang dicapai oleh proses
mengajar dan belajar).
Selanjutnya,
Witherington dalam bukunya Educational
Psychology terjemahan M. Buchori (1978) memberikan definisi psikologi
sebagai A systematic study of the process
and factors involved in the educational of human being is called educational
psychology, yakni bahwa psikologi pendidikan adalah studi sistematis
tentang proses-proses dan faktor-faktor yang berhubungan dengan pendidikan manusia.
Istilah
“proses” dalam definisi-definisi tersebut terutama proses yang disebutkan dalam
definisi Witherington itu sesungguhnya amat sulit dipahami substansinya (watak
isinya), karena sifatnya abstrak. Oleh sebab itu, menurut sebagian, definisi
yang langsung menyebutkan penyelidikan terhadap proses belajar atau mengajar
akan lebih pas jika diganti dengan manusia yang belajar atau mengajar. Apabila
Anda sedang mempelajari atau memantau seorang siswa yang sedang berpikir untuk
memecahkan masalah matematika misalnya, maka yang Anda pelajari sesungguhnya
adalah siswa tersebut, bukan prosesnya karena proses memikirkan soal matematika
tersebut tak mungkin dapat anda pelajari lebih-lebih jika secara langsung. Anda
hanya bisa menarik simpulan bahwa siswa tersebut sedang berpikir (memecahkan
soal-soal matematika) dari fenomena (gejala-gejala) yang tampak pada diri siswa
yang sedang Anda pantau itu.
Selanjutnya,
perlu penyusun kemukakan bahwa berdasarkan pertimbangan definisi-definisi di
atas dan diperkuat kenyataan sehari-hari, dapat dipastikan bahwa disiplin
psikologi pendidikan pada dasarnya mencurahkan perhatiannya pada perbuatan atau
tindak-tanduk orang-orang yang belajar dan mengajar. Oleh karenanya, psikologi
pendidikan mempunyai dua objek riset dan kajian.
1. Siswa,
yaitu orang-orang yang belajar, termasuk pendekatan strategi faktor dan
memengaruhi, dan prestasi yang dicapai.
2. Guru,
yaitu orang-orang yang berkewajiban atau bertugas mengajar termasuk metode,
model, strategi dan lain-lain yang berhubungan dengan aktivitas penyajian
materi pelajaran.
Apakah
psikologi pendidikan termasuk cabang psikologi yang independen (berdiri
sendiri), baik secara teoretis maupun praktis? Berikut seorang ahli psikologi
pendidikan yang tergolong senior diantara ahli-ahli psikologi pendidikan
lainnya, yakni H.C. Witherington. Pakar masa lalu ini masih popular di kalangan
para peminat psikologi pendidikan karena bukunya Educatioanl Psychology, yang diterjemahkan M. Buchori telah
menyemarakkan kajian psikologi pendidikan di tanah air.
Memang
tak dapat dipungkiri bahwa psikologi pendidikan oleh banyak ahli psikologi
termasuk ahli psikologi pendidikan sendiri cenderung dianggap sebuah
subdisiplin psikologi yang bersifat praktis bukan teoretis. Psikologi-psikologi
lain juga yang dianggap sebagai psikologi terapan antara lain psikologi
industri dan psikologi klinis. Namun, kedua cabang psikologi ini dipandang
telah memiliki konsep-konsep, teori-teori, dan metode-metode sendiri sehingga
tidak lagi dianggap sebagai subdisiplin tetapi disiplin (cabang ilmu) yang
mandiri.
Ditinjau
dari sudut aplikasinya, kecenderungan pandangan terhadap psikologi pendidikan
seperti di atas memang cukup beralasan. Kita ambil contoh, misalnya psikologi
perkembangan dan psikologi abnormal yang jelas bersifat teoretis dan lebih
berguna sebagai alat bantu dan pendukung psikologi-psikologi lainnya. Konsep
dan teori psikologi abnormal sangat berguna penting dalam pembahasan aplikasi
psikologi pendidikan.
Walaupun
begitu, Witherington (Buchori, 1978) menegaskan pendiriannya bahwa psikologi
pendidikan itu bukan hanya sebagai psikologi terapan yang seolah-olah tidak
memiliki hak hidup sendiri. Alasan yang dikemukakannya adalah psikologi
pendidikan sebagai sebuah sains telah memiliki sendiri hal-hal berikut.
1. Susunan
prinsip-prinsip dan kebenaran-kebenaran dasar yang tersendiri.
2. Faktor-faktor
yang bersifat objektif dan dapat diperiksa kebenarannya.
3. Teknik-teknik
khusus yang berguna untuk melakukan penyelidikan dan risetnya sendiri.
Perdebatan
mengenai psikologi pendidikan yang bersifat praktis, teoretis, atau
praktis-teoretis, sebenarnya tidak begitu penting. Namun menurut hemat
penyusun, psikologi pendidikan pada dasarnya adalah sebuah disiplin psikologi
(atau boleh juga disebut subdisiplin psikologi) yang menyelidiki
masalah-masalah psikologis yang terjadi dalam dunia pendidikan. Lalu,
hasil-hasil penyelidikan ini dirumuskan ke dalam bentuk konsep, teori, dan
metode yang dapat diterapkan untuk memecahkan masalah-masalah yang berhubungan
dengan proses belajar, proses mengajar, dan proses mengajar-belajar. Alhasil,
psikologi pendidikan dapat digunakan sebagai pedoman praktis, di samping
sebagai kajian teoretis.
Sumber
: Buku Psikologi Pendidikan, Muhibbin Syah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar