Minggu, 07 September 2014

Psikologi Pendidikan I Definisi Psikologi, Pendidikan, dan Pengajaran


Definisi Psikologi

Psikologi yang dalam istilah lama disebut ilmu jiwa itu berasal dari kata bahasa Inggris psychology. Kata psychology merupakan dua akar kata yang bersumber dari bahasa Greek (Yunani), yaitu: 1) psyche yang berarti jiwa; 2) logos yang berarti ilmu. Jadi, secara harfiah psikologi memang berarti ilmu jiwa. Karena beberapa alasan tertentu (seperti timbulny konotasi/arti lain yang menganggap psikologi sebagai ilmu yang menyelidiki jiwa), sekurang-kurangnya selama dasawarsa terakhir ini menurut hemat penyusun istilah ilmu jiwa itu sudah sangat jarang dipakai orang. Kini berbagai kalangan profesional baik yang berkecimpung dalam dunia pendidikan maupun dalam dunia-dunia profesi lainnya yang menggunakan layanan “jasa kejiwaan” itu lebih terbiasa menyebut psikologi daripada ilmu jiwa.

Membatasi arti psikologi bagi siapa pun sulit, bahkan mengenali ciri khasnya saja tidak mudah. Akibatnya, tidak jarang seorang ahli yang pada suatu saatmendefinisikan psikologi sebagai “X”, pada saat lain mengubahnya menjadi “Y”.

Psikologi pada mulanya digunakan para ilmuwan dan para filosof untuk memenuhi kebutuhan mereka dalam memahami akal pikiran dan tingkah laku aneka ragam makhluk hidup mulai yang primitif sampai yang paling modern. Namun ternyata tidak cocok, lantaran menurut para ilmuwan dan filosof, psikologi memiliki batas-batas tertentu yang berada di luar kaidah keilmuwan dan etika filosofis. Kaidah saintifik dan patokan etika filosofis ini tak dapat dibebankan begitu saja sebagai muatan psikologi (Reber, 1988).

Sebelum menjadi disiplin ilmu yang mandiri, psikologi memiliki akar-akar yang kuat dalam ilmu kedokteran dan filsafat yang hingga sekarang masih tamapak pengaruhnya. Dalam ilmu kedoteran, psikologi berperan menjelaskan apa-apa yang terpikir dan terasa oleh organ-organ biologis (jasmaniah). Sedangkan dalam filsafat—yang sebenarnya “ibu kandung” psikologi itu—psikologi berperan serta dalam memecahkan masalah rumit yang berkaitan dengan akal, kehendak, dan pengetahuan. Karena kontak dengan berbagai disiplin itulah, maka timbul bermacam-macam definisi psikologi yang satu sama lain berbeda, seperti:

1.      psikologi adalah ilmu mengenai kehidupan mental (the science of mental life)

2.      psikologi adalah ilmu mengenai pikiran (the science of mind)

3.      psikologi adalah ilmu mengenai tingkah laku (the science of behavior) dan lain definisi yang sangat bergantung pada sudut pandang pandang yang mendefinisikannya.

Pada asasnya, psikologi menyentuh banyak bidang kehidupan diri organisme baik manusia maupun hewan. Psikologi dalam hal ini berhubungan dengan penyelidikan mengenai bagaimana dan mengapa organisme-organisme itu melakukan apa yang mereka lakukan.

Namun secara lebih spesifik, psikologi lebih banyak dikaitkan dengan kehidupan organisme manusia. Dalam hubungan ini, psikologi didefinisikan sebagai ilmu pengetahuan yang berusaha memahami perilaku manusia alasan dan cara melakukan sesuatu, dan juga memahami cara makhluk tersebut berpikir dan berperasaan (Gleitman, 1986). Hal-hal yang tampak sederhana pun menjadi psikologi, seperti mengapa kita tetap ingat cara mengendarai sepeda meskipun sudah 20 tahun kita tidak memakainya, mengapa kita bicara, mengapa kita cinta, cemburu, benci, dan sebagainya.

Bruno (1987) membagi pengertian psikologi dalam tiga bagian yang pada prinsipnya saling berhubungan. Pertama, psikologi adalah studi (penyelidikan) mengenai “ruh”. Kedua, psikologi adalah ilmu pengetahuan mengenai “kehidupan mental”. Ketiga, psikologi adalah ilmu pengetahuan mengenai “tingkah laku” organisme.

Pengertian pertama merupakan definisi yang paling kuno dan klasik (bercita rasa tinggi dan bersejarah) yang berhubungan dengan filsafat Plato (427-347 SM) dan Aristoteles (384-322 SM). Mereka menganggap kesadarn manusia berhubungan dengan ruhnya. Oleh karena itu, studi mengenai kesadaran dan proses mental manusia merupakan bagian dari studi mengenai ruh.

Ketika psikologi melepaskan diri dari filsafat dan menjadi disiplin yang mandiri pada tahun 1879, saat William Wundi (1832-1920) mendirikan laboratorium psikologinya, ruh dikeluarkan dari studi psikologi. Para ahli, antara lain William James (1842-1910), menganggap psikologi sebagai ilmu pengetahuan mengenai kehidupan mental. Namun, John B. Watson (1878-1958), tokoh aliran behaviorisme yang radikal itu, tidak puas dengan definisi James tersebut lalu mengubahnya menjadi “ilmu pengetahuan tentang tingkah laku (behavior) organisme” dan sekaligus menafikan (menganggap tidak ada) eksistensi ruh dan kehidupan mental. Eksistensi (keberadaan) ruh dan kehidupan internal manusia, menurut B. Watson dan kawan-kawan tak dapat dibuktikan karena tidak ada, kecuali dalam khayalan belaka. Alhasil, dapat kita katakan bahwa psikologi behaviorisme adalah aliran ilmu jiwa yang tidak berjiwa, (lihat halaman 112).

Chaplin (1972) dalam Dictionary of Psychology mendefinisikan psikologi sebagai . . . the science of human and animal behavior, the study of the organism in all its variety and complexity as it responds to the flux and flow of the physical and social events which make up the environment. (Psikologi ialah ilmu pengetahuan mengenai perilaku manusia dan hewan, juga penyelidikan terhadap organisme dalam segala ragam dan kerumitannya ketika mereaksi arus dan perubahan alam sekitar dan peristiwa-peristiwa kemasyarakatan yang mengubah lingkungan). Sementara itu, Edwin G. Boring dan Herbert S. Langfeld seperti dikutip Sarwono (1976) mendefinisikan psikologi jauh lebih sederhana daripada definisi di atas, yakni psikologi ialah studi tentang hakikat manusia.

Selanjutnya, dalam Ensiklopedia Pendidikan, Poerbakawatja dan Harahap (1981) membatasi arti psikologi sebagai “cabang ilmu pengetahuan yang mengadakan penyelidikan atas gejala-gejala dan kegiatan-kegiatan jiwa”. Dalam ensiklopedia ini dibatasi pula bahwa gejala dan kegiatan jiwa tersebut meliputi respons organisme dan hubungannya dengan lingkungan.

Dalam definisi-definisi di atas tampak jelas persamaan-persamaan di samping perbedaan-perbedaan pandangan para ahli. Namun, terlepas dari persamaan dan perbedaan tersebut, pendapat yang lebih relevan (berkaitan dengan kepentingan) untuk dipedomani sehubungan dengan topik-topik pembahasan dalam buku ini adalah pendapat Gleitman dan Boring & Langfeld. Pendapat mereka itu selain singkat dan tidak berbelit-belit, juga menitikberatkan pada kepentingan organisme manusia.

Pendapat-pendapat itu sesuai dengan kenyataan yang ada selama ini, yakni para ahli pada umumnya lebih banyak menekankan penyelidikan terhadap tingkah laku manusia yang bersifat jasmaniah (aspek psikomotor) maupun yang bersifat rohaniah (apek kognitif dan afektif). Tingkah laku psikomotor (ranah karsa) bersifat terbuka. Tingkah laku terbuka meliputi perbuatan berbicara, duduk, berjalan, dan seterusnya, sedangkan tingkah laku tertutup meliputi berpikir, berkeyakinan, berperasaan, dan seterusnya.

Alhasil, secara ringkas dapat kita tarik sebuah simpulan bahwa psikologi adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki dan membahas tingkah laku terbuka dan tertutup pada manusia, baik selaku individu maupun kelompok, dalam hubungannya dengan lingkungan. Lingkungan dalam hal ini meliputi semua orang, barang, keadaan, dan kejadian yang ada di sekitar manusia.

Definisi Pendidikan

Pendidikan berasa dari kata “didik”, lalu kata ini mendapat awalan me sehingga menjadi “mendidik”, artinya memelihara dan memberi latihan. Dalam memlihara dan memberi latihan diperlukan adanya ajaran, tuntunan, dan pimpinan mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran (lihat Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1991: 232). Selanjutnya, pengertian “pendidikan” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia ialah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan.

Dalam bahasa Inggris, education (pendidikan) berasal dari kata educate (mendidik) artinya memberi peningkatan (to elicit, to give rise to), dan mengembangkan (to evolve, to develop). Dalam pengertian yang sempit, education atau pendidikan berarti perbuatan atau proses perbuatan untuk memeroleh pengetahuan (McLeod, 1989).

Dalam pengertian yang agak luas, pendidikan dapat diartikan sebagai sebuah proses dengan metode-metode tertentu sehingga orang memeroleh pengetahuan, pemahaman, dan cara bertingkah laku yang sesuai dengan kebutuhan. Dalam pengertian yang luas dan representative (mewakili/mencerminkan segala segi), pendidikan ialah … the total process of developing human abilities and behavior, drawing on almost all life’s experiences (Tardif, 1987). (Seluruh tahapan pengembangan kemampuan-kemampuan dan perilaku-perilaku manusia, juga proses penggunaan hampir seluruh pengalaman kehidupan.)

Sebagian orang memahami arti pendidikan sebagai pengajaran karena pendidikan pada umumnya selalu membutuhkan pengajaran (lihat definisi dari KBBI di atas). Jika pengertian seperti ini kita pedomani, setiap orang yang berkewajiban mendidik (seperti guru dan orang tua) tentu harus melakukan perbuatan mengajar. Padahal, mengajar pada umumnya diartikan secara sempit dan formal sebagai kegiatan menyampaikan materi pelajaran tersebut, atau dengan kata lain agar siswa tersebut memiliki ilmu pengetahuan.

Dalam Dictionary of Psychology (1972) pendidikan diartikan sebagai . . . the institutional procedures which are employed in accomplishing the development of knowledge, habits, attitudes, etc. Usually the term is applied to formal institution. Jadi, pendidikan berarti tahapan kegiatan yang bersifat kelembagaan (seperti sekolah dan madrasah) yang dipergunakan untuk menyempurnakan perkembangan individu dalam menguasai pengetahuan, kebiasaan, sikap, dan sebagainya. Pendidikan dapat berlangsung secara informal dan nonformal di samping secar formal seperti di sekolah, madrasah, dan institusi-institusi lainnya. Bahkan, menurut definisi di atas, pendidikan juga dapat berlangsung dengan cara mengajar diri sendiri (self-instruction).

Selanjutnya, menurut Poerbakawatja dan Harahap (1981), pendidikan adalah:

… usaha secara sengaja dari orang dewasa untuk dengan pengaruhnya meningkatkan si anak ke kedewasaan yang selalu diartikan mampu menimbulkan tanggung jawab moril dari segala perbuatannya . . . orang dewasa itu adalah orang tua si anak atau orang tua yang atas dasar tugas dan kedudukannya mempunyai kewajiban untuk mendidik misalnya guru sekolah, pendeta atau kiai dalam lingkungan keagamaan, kepala-kepala asrama dan sebagainya.

Dalam definisi yang panjang ini terdapat dua kata kunci yang menurut hemat penyusun perlu disoroti yakni “kedewasaan” dan “tanggungjawab moril”. Kedewasaan, meskipun sudah sangat popular di kalangan para pendidik kita, sebetulnya merupakan istilah yang sangat umum dan hanya bisa digunakan setelah diberi batasan yang tegas. Ada kemungkinan, kedewasaan diartikan sebagai kondisi orang yang sudah akil balig atau sudah cukup tua (entah berapa tahun) atau masih berusia muda tetapi berkecakapan sama dengan orang yang berusia cukup tua.   

Rangkaian kata-kata “yang selalu diartikan mampu menimbulkan tanggung jawab moril dari segala perbuatannya” (mungkin bermaksud: mampu bertanggung jawab atas segala perbuatannya secara moral), juga terasa kurang memadai. Tanggung jawab moral itu bersifat nisbi (dapat begini atau begitu), karenanya perlu pula pembatasan yang tugas, apakah moral kemasyarakatan, moral hukum, ataukah moral keagamaan.

Seorang pejabat, yang sudah tentu terdidik, yang melakukan kolusi (persekongkolan jahat) atau korupsi bisa saja karena ingin disebut memiliki tanggung jawab moral, ia mengundurkan diri dari jabatannya sebelum terjaring hukum. Padahal, seorang yang cukup terdidik seharusnya tidak hanya memiliki tanggun jawab moral yang nisbi seperi pejabat itu, tetapi juga tanggung jawab memikul resiko hukum yang timbul karena ulahnya.

Oleh karena itu, istilah dewasa dan tanggung jawab moral perlu diberi batas-batas yang jelas dan konkret, umpamanya dengan cara mengacu pada tujuan pendidikan nasional, yakni:

“… bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga neara yang demokratis dan bertanggung jawab” (UUSPN/2003 Bab II Pasal 3)  

Definisi Psikologi Pendidikan

Psikologi pendidikan menurut sebagian ahli adalah subdisiplin psikologi bukan psikologi itu sendiri. Mereka menganggap psikologi pendidikan tidak memiliki teori, konsep, dan metode sendiri. Hal ini konon terbukti dengan banyaknya hasil-hasil riset psikologi lain yang diangkat menjadi teori, konsep, dan metode psikologi pendidikan.

Salah seorang ahli menganggap pendidikan sebagai subdisiplin psikologis terapan (applicable) adalah Arthur S. Reber (1988) seorang guru besar psikologi pada Brooklyn College, University of New York City, University of British Columbia Canada, dan juga pada University of Innsbruck Austria. Dalam pandangannya, psikologi pendidikan adalah sebuah subdisiplin ilmu psikologi yang berkaitan dengan teori dan masalah kependidikan yang berguna dalam hal-hal sebagai berikut.

1.      Penarapan prinsip-prinsip belajar dalam kelas.

2.      Pengembangan dan pembaruan kurikulum.

3.      Ujian dan evaluasi bakat dan kemampuan.

4.      Sosialisasi proses-proses dan interaksi proses-proses tersebut dengan pendayagunaan ranah kognitif.

5.      Penyelenggaraan pendidikan keguruan.

Secara lebih sederhana dan praktis, Barlow (1985) mendefinisikan psikologi pendidikan sebagai: … a body of knowledge grounded in psychological research which provides a repertoire of resources to aid you in functioning more effectively in teaching learning process. Psikologi pendidikan adalah sebuah pengetahuan berdasarkan riset psikologis yang menyediakan serangkaian sumber-sumber untuk membantu Anda melaksanakan tugas sebagai guru dalam proses mengajar-belajar secara lebih sefektif. Tekanan definisi ini secara lahiriah hanya berkisar sekitar proses interaksi antaraguru-siswa dalam kelas.

Dalam buku Educational Psychology: The Teaching Learning Process, Daniel Lenox Barlow (1985), seorang professor dan direktur program pascasarjana School of Education pada sebuah perguruan tinggi di Virginia Amerika Serikat, juga menguraikan secara luas hal-hal di luar hal yang telah penyusun kutip di atas seperti proses perkembangan dan proses belajar siswa. Selain itu, dia membahas juga masalah-masalah aktual yang dihadapi guru dan pengembangan profesi kariernya.

Sementara itu, Tardif (1987) mendefinisikan psikologi pendidikan mirip dengan takrif di atas dalam arti cenderung menganggapnya semata-mata sebagai ilmu terapan. Baginya, psikologi pendidikan adalah “. . . sebuah bidang studi yang berhubungan dengan penerapan pengetahuan tentang perilaku manusia untuk usaha-usaha kependidikan”. Adapun ruang lingkupnya, meliputi:

1.      context of teaching and learning (situasi atau tempat yang berhubungan dengan mengajar dan belajar);

2.      process of teaching and learning (tahapan-tahapan dalam mengajar dan belajar); dan

3.      outcomes of teaching and learning (hasil-hasil yang dicapai oleh proses mengajar dan belajar).

Selanjutnya, Witherington dalam bukunya Educational Psychology terjemahan M. Buchori (1978) memberikan definisi psikologi sebagai A systematic study of the process and factors involved in the educational of human being is called educational psychology, yakni bahwa psikologi pendidikan adalah studi sistematis tentang proses-proses dan faktor-faktor yang berhubungan dengan pendidikan manusia.

Istilah “proses” dalam definisi-definisi tersebut terutama proses yang disebutkan dalam definisi Witherington itu sesungguhnya amat sulit dipahami substansinya (watak isinya), karena sifatnya abstrak. Oleh sebab itu, menurut sebagian, definisi yang langsung menyebutkan penyelidikan terhadap proses belajar atau mengajar akan lebih pas jika diganti dengan manusia yang belajar atau mengajar. Apabila Anda sedang mempelajari atau memantau seorang siswa yang sedang berpikir untuk memecahkan masalah matematika misalnya, maka yang Anda pelajari sesungguhnya adalah siswa tersebut, bukan prosesnya karena proses memikirkan soal matematika tersebut tak mungkin dapat anda pelajari lebih-lebih jika secara langsung. Anda hanya bisa menarik simpulan bahwa siswa tersebut sedang berpikir (memecahkan soal-soal matematika) dari fenomena (gejala-gejala) yang tampak pada diri siswa yang sedang Anda pantau itu.

Selanjutnya, perlu penyusun kemukakan bahwa berdasarkan pertimbangan definisi-definisi di atas dan diperkuat kenyataan sehari-hari, dapat dipastikan bahwa disiplin psikologi pendidikan pada dasarnya mencurahkan perhatiannya pada perbuatan atau tindak-tanduk orang-orang yang belajar dan mengajar. Oleh karenanya, psikologi pendidikan mempunyai dua objek riset dan kajian.

1.      Siswa, yaitu orang-orang yang belajar, termasuk pendekatan strategi faktor dan memengaruhi, dan prestasi yang dicapai.

2.      Guru, yaitu orang-orang yang berkewajiban atau bertugas mengajar termasuk metode, model, strategi dan lain-lain yang berhubungan dengan aktivitas penyajian materi pelajaran.  

Apakah psikologi pendidikan termasuk cabang psikologi yang independen (berdiri sendiri), baik secara teoretis maupun praktis? Berikut seorang ahli psikologi pendidikan yang tergolong senior diantara ahli-ahli psikologi pendidikan lainnya, yakni H.C. Witherington. Pakar masa lalu ini masih popular di kalangan para peminat psikologi pendidikan karena bukunya Educatioanl Psychology, yang diterjemahkan M. Buchori telah menyemarakkan kajian psikologi pendidikan di tanah air.

Memang tak dapat dipungkiri bahwa psikologi pendidikan oleh banyak ahli psikologi termasuk ahli psikologi pendidikan sendiri cenderung dianggap sebuah subdisiplin psikologi yang bersifat praktis bukan teoretis. Psikologi-psikologi lain juga yang dianggap sebagai psikologi terapan antara lain psikologi industri dan psikologi klinis. Namun, kedua cabang psikologi ini dipandang telah memiliki konsep-konsep, teori-teori, dan metode-metode sendiri sehingga tidak lagi dianggap sebagai subdisiplin tetapi disiplin (cabang ilmu) yang mandiri.

Ditinjau dari sudut aplikasinya, kecenderungan pandangan terhadap psikologi pendidikan seperti di atas memang cukup beralasan. Kita ambil contoh, misalnya psikologi perkembangan dan psikologi abnormal yang jelas bersifat teoretis dan lebih berguna sebagai alat bantu dan pendukung psikologi-psikologi lainnya. Konsep dan teori psikologi abnormal sangat berguna penting dalam pembahasan aplikasi psikologi pendidikan.

Walaupun begitu, Witherington (Buchori, 1978) menegaskan pendiriannya bahwa psikologi pendidikan itu bukan hanya sebagai psikologi terapan yang seolah-olah tidak memiliki hak hidup sendiri. Alasan yang dikemukakannya adalah psikologi pendidikan sebagai sebuah sains telah memiliki sendiri hal-hal berikut.

1.      Susunan prinsip-prinsip dan kebenaran-kebenaran dasar yang tersendiri.

2.      Faktor-faktor yang bersifat objektif dan dapat diperiksa kebenarannya.

3.      Teknik-teknik khusus yang berguna untuk melakukan penyelidikan dan risetnya sendiri.

Perdebatan mengenai psikologi pendidikan yang bersifat praktis, teoretis, atau praktis-teoretis, sebenarnya tidak begitu penting. Namun menurut hemat penyusun, psikologi pendidikan pada dasarnya adalah sebuah disiplin psikologi (atau boleh juga disebut subdisiplin psikologi) yang menyelidiki masalah-masalah psikologis yang terjadi dalam dunia pendidikan. Lalu, hasil-hasil penyelidikan ini dirumuskan ke dalam bentuk konsep, teori, dan metode yang dapat diterapkan untuk memecahkan masalah-masalah yang berhubungan dengan proses belajar, proses mengajar, dan proses mengajar-belajar. Alhasil, psikologi pendidikan dapat digunakan sebagai pedoman praktis, di samping sebagai kajian teoretis.   

Sumber : Buku Psikologi Pendidikan, Muhibbin Syah.

Tidak ada komentar:

Kisah Mata Air Keabadian

Kisah ini diriwayatkan oleh Ats-Tsa’labi dari Imam Ali ra. Pada zaman dahulu hiduplah seorang hamba Allah SWT yang melebihkan kepada d...