HUBUNGAN
ILMU AKHLAK DENGAN ILMU JIWA
Dilihat
dari segi bidang garapannya, Ilmu Jiwa membahas tentang gejala-gejala kejiwaan
yang tampak dalam tingkah laku. Melalui Ilmu Jiwa dapat diketahui sifat-sifat
psikologis yang dimiliki seseorang. Jiwa yang bersih dari dosa dan maksiat
serta dekat dengan Tuhan misalnya, akan melahirkan perbuatan dan sikap yang
tenang pula, sebaliknya jiwa yang kotor, banyak berbuat kesalahan dan jauh dari
Tuhan akan melahirkan perbuatan yang jahat, sesat dan menyesatkan orang lain.
Dengan
demikian Ilmu Jiwa mengarahkan pembahasannya pada aspek batin manusia dengan
cara menginterpretasikan perilakunya yang tampak. Di dalam al-Qur’an, aspek
batin yang dimiliki manusia ini diungkap dalam istilah al-Insan. Hasil studi Musa Asy’arie terhadap ayat-ayat al-Qur’an
menginformasikan, bahwa kata insan dipakai al-Qur’an dalam kaitannya dengan
berbagai kegiatan manusia, antara lain untuk kegiatan belajar (QS. 96-15;
55:1-3), tentang musuhnya (QS. 12:5; 17:53), penggunaan waktunya (QS. 103:1-3),
beban amanat yang dipikulnya (QS. 33;72), konsekuensi usaha perbuatannya (QS.
53:39;79:35), keterkaitannya dengan moralitas dan akhlak (QS. 29:8;31:14;
46:15), kepemimpinnaya (QS. 2:124), ibadahnya (QS. 2:21) dan kehidupannya di
akhirat (QS.17:71).
Hasil
Studi tersebut menggambarkan adanya hubungan yang erat antara potensi
psikologis manusia dengan Ilmu Akhlak. Dengan kata lain melalui bantuan
informasi yang diberikan Ilmu Jiwa, atau potensi kejiwaan yang diberikan
al-Qur’an, maka secara teoretis Ilmu Akhlak dapat dibangun dengan kokoh. Hal
ini lebih lanjut dapat kita jumpai dalam uraian mengenai akhlak yang diberikan
Quraish Shihab, dalam buku terbarunya, Wawasan
al-Qur’an. Di situ ia antara lain mengatakan: “Kita dapat berkata bahwa
secara nyata terlihat dan sekaligus kita akui bahwa terdapat manusia yang
berkelakuan baik, dan juga sebaliknya. Ini berarti bahwa manusia memiliki kedua
potensi tersebut”. Ia lebih lanjut mengutip ayat yang berbunyi:
Maka
Kami telah memberi petunjuk (kepada)nya (manusia) dua jalan mendaki (baik dan
buruk). (QS. al-Balad, 90:10).
…dan
(demi) jiwa serta perumpamaan ciptaannya, maka Allah mengilhami (jiwa manusia)
kedurhakaan dan ketakwaan. (QS. al-Syams, 91: 7-8).
Namun
demikian dalam kesimpulannya, Quraish Shihab berpendapat bahwa walaupun kedua
potensi ini (baik dan buruk) terdapat dalam diri manusia, namun ditemukan
isyarat-isyarat dalam al-Qur’an bahwa kebajikan lebih dahulu menghina diri
manusia daripada kejahatan, dan bahwa manusia pada dasarnya cenderung kepada
kebajikan.
Kecenderungan
manusia kepada kebaikan ini terbukti dari adanya persamaan konsep-konsep pokok
moral pada setiap peradaban dan zaman. Perbedaan-jika terjadi-terletak pada
bentuk penerapan, atau pengertian yang tidak sempurna terhadap konsep-konsep
moral yang disebut ma’ruf dalam bahasa al-Qur’an. Tidak ada peradaban yang
menganggap baik kebohongan, penipuan atau keangkuhan. Pun tidak ada manusia
yang menilai bahwa penghormatan kepada kedua orang tua adalah buruk. Tetapi
bagaimana seharusnya bentuk penghormatan itu? Boleh jadi cara penghormatan
kepada keduanya berbeda-beda antara satu masyarakat pada generasi tertentu
dengan masyarakat pada generasi yang lain. Perbedaan-perbedaan itu selama
dinilai baik oleh masyarakat dan masih dalam kerangka prinsip umum, maka ia
tetap dinilai baik (ma’ruf).
Uraian
tersebut memberi kesan bahwa manusia dengan sendirinya dapat menjadi baik atau
buruk, atau mengetahui yang baik dan buruk. Kesan ini ada benarnya dan ada pula
tida benarnya. Benarnya adalah memang ada sejumlah perbuatan moral yang dapat
diketahui manusia bahwa itu baik, dan bahwa itu buruk. Namun pengetahuan
manusia terhadap perbuatan moral yang baik dan buruk itu terbatas. Manusia
masih memerlukan informasi perbuatan moral dalam ajaran Akhlak Islam berasal
dari akal pikiran dan potensi yang dimiliki manusia, yang selanjutnya
disempurnakan oleh petunjuk wahyu. Bukti bahwa akal dan potensi rohaniah yang
dimiliki manusia dapat mengetahui sebagian perbuatan baik dan buruk dapat
dijumpai dalam pemikiran teologi Muktazilah. Menurut aliran teologi ini, tanpa
wahyu manusia sudah dapat mengatakan bahwa mencuri itu perbuatan buruk, karena
merugikan orang lain, dan berbuat baik kepada ibu bapak adalah baik, karena
kedua orang tua itulah yang paling besar jasanya dalam kelangsungan seorang
anak. Namun Muktazilah pun menunjukkan sejumlah perbuatan baik dan buruk yang
tidak diketahui dengan sendirinya oleh manusia. Manusia misalnya tidak tahu
bahwa perbuatan zina itu buruk, dan tidak pula tahu bahwa mengimani adanya
kehidupan akhirat sebagai perbuatan baik. Untuk masalah yang demikian itu
datanglah wahyu. Bahkan Muktazilah mengatakan Tuhan wajib menurunkan wahyu-Nya
untuk melengkapi pengetahuan manusia yang serba terbata. Dan jika Tuhan tetap
membiarkannya berarti Tuhan tidak berbuat baik, dan Tuhan yang tidak berbuat
baik, bukanlah Tuhan yang baik.
Berdasarkan
uraian di atas, maka Quraish Sihab lebih lanjut mengatakan bahwa tolak ukur
kelakuan baik dan buruk mestilah merujuk kepada ketentuan Allah. Apa yang
dinilai baik oleh Allah, pasti baik dalam esensinya. Demikian pula sebaliknya,
tidak mungkin Dia menilai kebohongan sebagai kelakuan baik, karena kebohongan
esensinya buruk.
Uraian
tersebut memberi informasi bahwa dalam diri manusia terdapat potensi rohaniah
yang cenderung kepada kebaikan dan keburukan. Potensi rohaniah ini secara lebih
mendalam dikaji dalam Ilmu Jiwa. Untuk mengembangkan Ilmu Akhlak, kita dapat
memanfaatkan informasi yang diberikan oleh Ilmu Jiwa.
Selain
itu di dalam Ilmu Jiwa juga terdapat infomasi tentang perbedaan psikologis yang
dialami seseorang pada setiap jenjang usianya. Gejala psikologis yang dialami
anak usia dibawah lima tahun (Balita), kanak-kanak (5-6 tahun), anak-anak (7-12
tahun), remaja (13-19 tahun), dewasa (20-40 tahun), orang tua (41-60), lanjut
usia (61-seterusnya) ternyata berlain-lainan. Pada usia Balita misalnya anak
cenderung emosional dan manja. Sedangkan pada usia kanak-kanak anak cenderung
meniru orang tuanya dan bersikap rekreatif. Gejala psikologis seperti ini akan
memberikan informasi tentang perlunya menyampaikan ajaran akhlak sesuai dengan
perkembangan jiwanya. Dalam kaitan ini dapat dirumuskan sejumlah metode dalam
menamkan akhlak yang mulia. Dengan demikian Ilmu Jiwa juga dapat memberikan
masukan dalam rangka merumuskan tentang metode-metode dan pendekatan dalam
pembinaan akhlak.
Banyak
hasil pembinaan akhlak yang telah dilakukan para ahli dengan mempergunakan jasa
yang diberikan Ilmu Jiwa, seperti yang dilakukan para psikolog terhadap
perbaikan anak-anak nakal, berperilaku menyimpang dan lain sebagainya.
HUBUNGAN
ILMU JIWA DENGAN ILMU PENDIDIKAN
Ilmu
pendidikan sebagai dijumpai dalam berbagai literature banyak berbicara mengenai
berbagai aspek yang ada hubungannya dengan tercapainya tujuan pendidikan. Dalam
ilmu ini antara lain dibahas tentang rumusan tujuan pendidikan, meteri
pelajaran (kurikulum), guru, metode, sarana dan prasarana, lingkungan,
bimbingan, proses belajar-mengajar dan lain sebagainya.
Semua
aspek pendidikan tersebut ditujukan pada tercapainya tujuan pendidikan. Tujuan
pendidikan ini dalam pandangan Islam banyak berhubungan dengan kualitas manusia
yang berakhlak. Ahmad D. Marimba misalnya mengatakan bahwa tujuan pendidikan
adalah identik dengan tujuan hidup seorang Muslim, yaitu menjadi hamba Allah
yang mengandung implikasi kepercayaan dan penyerahan diri kepada-Nya. Sementara
itu Mohd. Athiyah al-Abrasyi, mengatakan bahwa pendidikan budi pekerti jiwa
dari pendidikan budi pekerti dan akhlak adalah jiwa pendidikan Islam. Mencapai
suatu akhlak yang sempurna adalah tujuan sebenarnya dari pendidikan.
Selanjutnya al-Attas mengatakan bahwa tujuan pendidikan Islam adalah manusia
yang baik. Kemudian Abdul Fatah Jalal mengatakn bahwa tujuan umum pendidikan
Islam ialah terwujudnya manusia sebagai hamba Allah.
Jika
manusia dari keempat tujuan pendidikan Islam itu dihubungkan antara satu dan
lainnya, maka dapat diketahui bahwa tujuan pendidikan Islam adalah terbentuknya
seorang hamba Allah yang patuh dan tunduk melaksanakan segala perintah-Nya dan
menjauhi larangan-Nya serta memiliki sifat-sifat dan akhlak yang mulia. Rumusan
ini dengan jelas menggambarkan bahwa antara Pendidikan Islam dengan Ilmu Akhlak
ternyata sangat berkaitan erat. Pendidikan Islam merupakan sarana yang
mengantarkan anak didik menjadi orang yang berakhlak.
Bertolak
dari rumusan tujuan pendidikan tersebut, maka seluruh aspek pendidikan lainnya,
yakni materi pelajaran, guru metode, sarana dan sebagainya harus berdasarkan
ajaran Islam. Kajian terhadap masalah ini secara lebih khusus dapat pembaca
jumpai dalam buku yang membahas tentang pendidikan Islam. Menggambarkan secara
keseluruhan dari aspek pendidikan Islam rasanya bukan disini tempatnya.
Pendidikan
dalam pelaksanaannya memerlukan dukungan orang tua di rumah, guru di sekolah
dan pimpinan serta tokoh masyarakat di lingkungan. Kesemua lingkungan ini
merupakan bagian integral dari pelaksanaan pendidikan, yang berarti pula tempat
dilaksanakannya pendidikan akhlak.
HUBUNGAN
ILMU AKHLAK DENGAN FILSAFAT
Filsafat
sebagaimana diketahui adalah suatu upaya berpikir mendalam, radikal, sampai ke
akar-akarnya, universal dan sistematik dalam rangka menemukan inti atau hakikat
mengenai segala sesuatu. Dalam filsafat segala sesuatu dibahas untuk ditemukan
hakikatnya. Kita misalnya melihat berbagai merek kendaraan, lalu kita
memikirkannya, membandingkan antara satu dan lainnya, kemudian kita menemukan
inti atau hakikat kendaraan, yaitu sebagai sarana transportasi, maka seluruh
jenis dan merek mobil apa pun sudah tercakup di dalamnya.
Di antara obyek pemikiran filsafat yang erat
kaitannya dengan Ilmu Akhlak adalah tentang manusia. Para filosof Muslim
seperti Ibn Sina (9980-1037M.) dan al-Ghazali (1059-1111 M) memiliki pemikiran
tentang manusia sebagaimana terlihat dalam pemikirannya tentang jiwa. Ibn Sina
misalnya mengatakan bahwa jiwa manusia merupakan satu unit yang tersendiri dan
mempunyai wujud terlepas dari badan. Jiwa manusia timbul dan tercipta tiap kali
ada badan, yang sesuai dan dapat menerima jiwa, lahir di dunia ini.
Sesungguhnya jiwa manusia tak mempunyai fungsi-fungsi fisik, dan dengan
demikian tak berhajat pada badan namun untuk menjalankan tugasnya sebagai daya
yang berpikir, jiwa masih berhajat pada badan. Karena pada permulaan wujudnya
badanlah yang menolong jiwa manusia untuk dapat berpikir. Pancaindera yang lima
dan daya-daya batin dari jiwa binatanglah seperti indera bersama, estimasi dan
rekoleksi yang menolong jiwa manusia untuk memperoleh konsep-konsep dan ide-ide
dari alam sekelilingnya. Jika jiwa manusia telah mencapai kesempurnaan sebelum
ia berpisah dengan badan, maka ia selamanya akan berada dalam kesenangan, dan
jika ia terpisah dengan badan dalam keadaan tidak sempurna, karena semasa
bersatu dengan badan ia selalu dipengaruhi oleh hawa nafsu badan, maka ia akan
hidup dalam keadaan menyesal dan terkutuk untuk selama-lamanya di akhirat.
Pemikiran
filsafat tentang jiwa yang dikemukakan Ibn Sina tersebut memberi petunjuk bahwa
dalam pemikiran filsafat terdapat bahan-bahan atau sumber yang dapat
dikembangkan lebih lanjut menjadi konsep Ilmu Akhlak.
Dalam
pada itu al-Ghazali membagi umat manusia ke dalam tiga golongan. Pertama kaum awam, yang berpikirnya
sederhana sekali. Kedua kaum pilihan
yang akalnya tajam dan berpikir secara mendalam. Ketiga kaum penengkar. Kaum awam dengan daya akalnya yang sederhana
sekali tidak dapat menangkap hakikat-hakikat. Mereka mempunyai sifat lekas
percaya dan menurut. Golongan ini harus dihadapi dengan sikap memberi nasihat
dan petunjuk. Kaum pilihan yang daya akalnya kuat dan mendalam harus dihadapi
dengan sikap menjelaskan hikmat-hikmat, sedang kaum penengkar dengan sikap
mematahkan argumen-argumen. Pemikiran al-Ghazali ini memberi petunjuk adanya
perbedaan cara dan pendekatan dalam menghadapi seseorang sesuai dengan tingkat
dan daya tangkapnya. Pemikiran yang demikian akan membantu dalam merumuskan
metode dan pendekatan yang tepat dalam mengajarkan akhlak.
Pemikiran
tentang manusia dapat pula kita jumpai pada Ibn Khaldun. Dalam melihat manusia
Ibn Khaldun mendasarkan diri pada asumsi-asumsi kemanusiaan yang sebelumnya
lewat pengetahuan yang ia peroleh dalam ajaran Islam. Ia melihat manusia sebagai
makhluk berpikir. Oleh karena itu manusia mampu melahirkan ilmu pengetahuan dan
teknologi. Sifat-sifat semacam ini tidak dimiliki oleh makhluk lainnya. Lewat
kemampuan berpikirnya itu, manusia tidak hanya membuat kehidupannya, tetapi
juga menaruh perhatian terhadap berbagai cara guna memperoleh makna hidup.
Proses-proses semacam ini melahirkan peradaban.
Tetapi
dalam kacamata Ibn Khaldun, kelengkapan serta kesempurnaan manusia tidak lahir
dengan begitu saja, melainkan melalui suatu proses tertentu. Proses tersebut
dewasa ini dikenal dengan nama evolusi. Berbeda dengan Charles Darwin
(1809-1882M) yang melihat proses kejadian manusia sebagai hasil evolusi
makhluk-makhluk organik. Khaldun menghubungkan kejadian manusia (sempurna)
dalam perkembangan dan pertumbuhan alam semesta.
Dalam
pemikiran Ibn Khaldun tersebut tampak bahwa manusia adalah makhluk budaya yang
kesempunaannya baru akan terwujud manakala ia berinteraksi dengan lingkungan
sosialnya. Ini menunjukkan tentang perlunya pembinaan manusia, termasuk dalam
pembina akhlaknya.
Jauh
sebelum itu, al-Qur’an telah pula menggambarkan manusia dalam sosoknya yang
sempurna melalui istilah basyar, insan dan al-nas. Musa Asy’arie melalui
penelitiannya yang mendalam terhadap al-Qur’an berkesimpulan bahwa melalui aktivitas
basyariahnya manusia dalam kehidupannya sehari-hari yang berkaitan dengan
aktivitas lahiriyahnya yang dipengaruhi oleh dorongan kodrat alamiahnya,
seperti makan, minum, bersetubuh, dan akhirnya mati mengakhiri kegiatannya.
Manusia
dalam konteks insan adalah manusia yang berakal yang memerankan diri sebagai
subyek kebudayaan, dalam pengertian idela. Sementara kata al-nas mengacu kepada
manusia sebagai makhluk sosial.
Gambaran
manusia yang terdapat dalam pemikiran filosofis itu akan memberikan masukan yang
amat berguna dalam merancang dan merencanakan tentang cara-cara membina manusia
dan memperlakukannya, berkomunikasi dengannya dan sebagainya. Dengan cara
demikian akan tercipta pola hubungan yang dapat dilakukan dalam menciptakan
kehidupan yang aman dan damai.
Selain
itu filsafat juga membahas tentang Tuhan, alam dan makhluk lainnya. Dari
pembahasan ini akan dapat diketahui dan dirumuskan tentang cara-cara
berhubungan dengan Tuhan dan memperlakukan makhluk serta alam lainnya. Dengan
demikian akan dapat diwujudkan akhlak yang baik terhadap Tuhan, terhadap
manusia, alam dan makhluk Tuhan lainnya.
Dengan
mengetahui berbagai ilmu yang berhubungan dengan Ilmu Akhlak tersebut, maka
seseorang yang akan memperdalam Ilmu Akhlak, perlu pula melengkapi dirinya
dengan berbagi ilmu pengetahuan yang
disebutkan di atas. Selain itu uraian tersebut di atas menunjukkan dengan jelas
bahwa Ilmu Akhlak adalah ilmu yang sangat akrab atau berdekatan dengan berbagai
permasalahan lainnya yang ada di sekitar kehidupan manusia.
Sumber : Buku Akhlak
Tasawuf, Abuddin Nata
Tidak ada komentar:
Posting Komentar