Sabtu, 27 September 2014

Akhlak Tasawuf I Hubungan Ilmu Akhlak dengan Ilmu Lainnya (2)


HUBUNGAN ILMU AKHLAK DENGAN ILMU JIWA

Dilihat dari segi bidang garapannya, Ilmu Jiwa membahas tentang gejala-gejala kejiwaan yang tampak dalam tingkah laku. Melalui Ilmu Jiwa dapat diketahui sifat-sifat psikologis yang dimiliki seseorang. Jiwa yang bersih dari dosa dan maksiat serta dekat dengan Tuhan misalnya, akan melahirkan perbuatan dan sikap yang tenang pula, sebaliknya jiwa yang kotor, banyak berbuat kesalahan dan jauh dari Tuhan akan melahirkan perbuatan yang jahat, sesat dan menyesatkan orang lain.

Dengan demikian Ilmu Jiwa mengarahkan pembahasannya pada aspek batin manusia dengan cara menginterpretasikan perilakunya yang tampak. Di dalam al-Qur’an, aspek batin yang dimiliki manusia ini diungkap dalam istilah al-Insan. Hasil studi Musa Asy’arie terhadap ayat-ayat al-Qur’an menginformasikan, bahwa kata insan dipakai al-Qur’an dalam kaitannya dengan berbagai kegiatan manusia, antara lain untuk kegiatan belajar (QS. 96-15; 55:1-3), tentang musuhnya (QS. 12:5; 17:53), penggunaan waktunya (QS. 103:1-3), beban amanat yang dipikulnya (QS. 33;72), konsekuensi usaha perbuatannya (QS. 53:39;79:35), keterkaitannya dengan moralitas dan akhlak (QS. 29:8;31:14; 46:15), kepemimpinnaya (QS. 2:124), ibadahnya (QS. 2:21) dan kehidupannya di akhirat (QS.17:71).

Hasil Studi tersebut menggambarkan adanya hubungan yang erat antara potensi psikologis manusia dengan Ilmu Akhlak. Dengan kata lain melalui bantuan informasi yang diberikan Ilmu Jiwa, atau potensi kejiwaan yang diberikan al-Qur’an, maka secara teoretis Ilmu Akhlak dapat dibangun dengan kokoh. Hal ini lebih lanjut dapat kita jumpai dalam uraian mengenai akhlak yang diberikan Quraish Shihab, dalam buku terbarunya, Wawasan al-Qur’an. Di situ ia antara lain mengatakan: “Kita dapat berkata bahwa secara nyata terlihat dan sekaligus kita akui bahwa terdapat manusia yang berkelakuan baik, dan juga sebaliknya. Ini berarti bahwa manusia memiliki kedua potensi tersebut”. Ia lebih lanjut mengutip ayat yang berbunyi:

Maka Kami telah memberi petunjuk (kepada)nya (manusia) dua jalan mendaki (baik dan buruk). (QS. al-Balad, 90:10).

…dan (demi) jiwa serta perumpamaan ciptaannya, maka Allah mengilhami (jiwa manusia) kedurhakaan dan ketakwaan. (QS. al-Syams, 91: 7-8).

Namun demikian dalam kesimpulannya, Quraish Shihab berpendapat bahwa walaupun kedua potensi ini (baik dan buruk) terdapat dalam diri manusia, namun ditemukan isyarat-isyarat dalam al-Qur’an bahwa kebajikan lebih dahulu menghina diri manusia daripada kejahatan, dan bahwa manusia pada dasarnya cenderung kepada kebajikan.

Kecenderungan manusia kepada kebaikan ini terbukti dari adanya persamaan konsep-konsep pokok moral pada setiap peradaban dan zaman. Perbedaan-jika terjadi-terletak pada bentuk penerapan, atau pengertian yang tidak sempurna terhadap konsep-konsep moral yang disebut ma’ruf dalam bahasa al-Qur’an. Tidak ada peradaban yang menganggap baik kebohongan, penipuan atau keangkuhan. Pun tidak ada manusia yang menilai bahwa penghormatan kepada kedua orang tua adalah buruk. Tetapi bagaimana seharusnya bentuk penghormatan itu? Boleh jadi cara penghormatan kepada keduanya berbeda-beda antara satu masyarakat pada generasi tertentu dengan masyarakat pada generasi yang lain. Perbedaan-perbedaan itu selama dinilai baik oleh masyarakat dan masih dalam kerangka prinsip umum, maka ia tetap dinilai baik (ma’ruf).

Uraian tersebut memberi kesan bahwa manusia dengan sendirinya dapat menjadi baik atau buruk, atau mengetahui yang baik dan buruk. Kesan ini ada benarnya dan ada pula tida benarnya. Benarnya adalah memang ada sejumlah perbuatan moral yang dapat diketahui manusia bahwa itu baik, dan bahwa itu buruk. Namun pengetahuan manusia terhadap perbuatan moral yang baik dan buruk itu terbatas. Manusia masih memerlukan informasi perbuatan moral dalam ajaran Akhlak Islam berasal dari akal pikiran dan potensi yang dimiliki manusia, yang selanjutnya disempurnakan oleh petunjuk wahyu. Bukti bahwa akal dan potensi rohaniah yang dimiliki manusia dapat mengetahui sebagian perbuatan baik dan buruk dapat dijumpai dalam pemikiran teologi Muktazilah. Menurut aliran teologi ini, tanpa wahyu manusia sudah dapat mengatakan bahwa mencuri itu perbuatan buruk, karena merugikan orang lain, dan berbuat baik kepada ibu bapak adalah baik, karena kedua orang tua itulah yang paling besar jasanya dalam kelangsungan seorang anak. Namun Muktazilah pun menunjukkan sejumlah perbuatan baik dan buruk yang tidak diketahui dengan sendirinya oleh manusia. Manusia misalnya tidak tahu bahwa perbuatan zina itu buruk, dan tidak pula tahu bahwa mengimani adanya kehidupan akhirat sebagai perbuatan baik. Untuk masalah yang demikian itu datanglah wahyu. Bahkan Muktazilah mengatakan Tuhan wajib menurunkan wahyu-Nya untuk melengkapi pengetahuan manusia yang serba terbata. Dan jika Tuhan tetap membiarkannya berarti Tuhan tidak berbuat baik, dan Tuhan yang tidak berbuat baik, bukanlah Tuhan yang baik.

Berdasarkan uraian di atas, maka Quraish Sihab lebih lanjut mengatakan bahwa tolak ukur kelakuan baik dan buruk mestilah merujuk kepada ketentuan Allah. Apa yang dinilai baik oleh Allah, pasti baik dalam esensinya. Demikian pula sebaliknya, tidak mungkin Dia menilai kebohongan sebagai kelakuan baik, karena kebohongan esensinya buruk.

Uraian tersebut memberi informasi bahwa dalam diri manusia terdapat potensi rohaniah yang cenderung kepada kebaikan dan keburukan. Potensi rohaniah ini secara lebih mendalam dikaji dalam Ilmu Jiwa. Untuk mengembangkan Ilmu Akhlak, kita dapat memanfaatkan informasi yang diberikan oleh Ilmu Jiwa.

Selain itu di dalam Ilmu Jiwa juga terdapat infomasi tentang perbedaan psikologis yang dialami seseorang pada setiap jenjang usianya. Gejala psikologis yang dialami anak usia dibawah lima tahun (Balita), kanak-kanak (5-6 tahun), anak-anak (7-12 tahun), remaja (13-19 tahun), dewasa (20-40 tahun), orang tua (41-60), lanjut usia (61-seterusnya) ternyata berlain-lainan. Pada usia Balita misalnya anak cenderung emosional dan manja. Sedangkan pada usia kanak-kanak anak cenderung meniru orang tuanya dan bersikap rekreatif. Gejala psikologis seperti ini akan memberikan informasi tentang perlunya menyampaikan ajaran akhlak sesuai dengan perkembangan jiwanya. Dalam kaitan ini dapat dirumuskan sejumlah metode dalam menamkan akhlak yang mulia. Dengan demikian Ilmu Jiwa juga dapat memberikan masukan dalam rangka merumuskan tentang metode-metode dan pendekatan dalam pembinaan akhlak.

Banyak hasil pembinaan akhlak yang telah dilakukan para ahli dengan mempergunakan jasa yang diberikan Ilmu Jiwa, seperti yang dilakukan para psikolog terhadap perbaikan anak-anak nakal, berperilaku menyimpang dan lain sebagainya.

HUBUNGAN ILMU JIWA DENGAN ILMU PENDIDIKAN

Ilmu pendidikan sebagai dijumpai dalam berbagai literature banyak berbicara mengenai berbagai aspek yang ada hubungannya dengan tercapainya tujuan pendidikan. Dalam ilmu ini antara lain dibahas tentang rumusan tujuan pendidikan, meteri pelajaran (kurikulum), guru, metode, sarana dan prasarana, lingkungan, bimbingan, proses belajar-mengajar dan lain sebagainya.

Semua aspek pendidikan tersebut ditujukan pada tercapainya tujuan pendidikan. Tujuan pendidikan ini dalam pandangan Islam banyak berhubungan dengan kualitas manusia yang berakhlak. Ahmad D. Marimba misalnya mengatakan bahwa tujuan pendidikan adalah identik dengan tujuan hidup seorang Muslim, yaitu menjadi hamba Allah yang mengandung implikasi kepercayaan dan penyerahan diri kepada-Nya. Sementara itu Mohd. Athiyah al-Abrasyi, mengatakan bahwa pendidikan budi pekerti jiwa dari pendidikan budi pekerti dan akhlak adalah jiwa pendidikan Islam. Mencapai suatu akhlak yang sempurna adalah tujuan sebenarnya dari pendidikan. Selanjutnya al-Attas mengatakan bahwa tujuan pendidikan Islam adalah manusia yang baik. Kemudian Abdul Fatah Jalal mengatakn bahwa tujuan umum pendidikan Islam ialah terwujudnya manusia sebagai hamba Allah.

Jika manusia dari keempat tujuan pendidikan Islam itu dihubungkan antara satu dan lainnya, maka dapat diketahui bahwa tujuan pendidikan Islam adalah terbentuknya seorang hamba Allah yang patuh dan tunduk melaksanakan segala perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya serta memiliki sifat-sifat dan akhlak yang mulia. Rumusan ini dengan jelas menggambarkan bahwa antara Pendidikan Islam dengan Ilmu Akhlak ternyata sangat berkaitan erat. Pendidikan Islam merupakan sarana yang mengantarkan anak didik menjadi orang yang berakhlak.

Bertolak dari rumusan tujuan pendidikan tersebut, maka seluruh aspek pendidikan lainnya, yakni materi pelajaran, guru metode, sarana dan sebagainya harus berdasarkan ajaran Islam. Kajian terhadap masalah ini secara lebih khusus dapat pembaca jumpai dalam buku yang membahas tentang pendidikan Islam. Menggambarkan secara keseluruhan dari aspek pendidikan Islam rasanya bukan disini tempatnya.

Pendidikan dalam pelaksanaannya memerlukan dukungan orang tua di rumah, guru di sekolah dan pimpinan serta tokoh masyarakat di lingkungan. Kesemua lingkungan ini merupakan bagian integral dari pelaksanaan pendidikan, yang berarti pula tempat dilaksanakannya pendidikan akhlak.

HUBUNGAN ILMU AKHLAK DENGAN FILSAFAT

Filsafat sebagaimana diketahui adalah suatu upaya berpikir mendalam, radikal, sampai ke akar-akarnya, universal dan sistematik dalam rangka menemukan inti atau hakikat mengenai segala sesuatu. Dalam filsafat segala sesuatu dibahas untuk ditemukan hakikatnya. Kita misalnya melihat berbagai merek kendaraan, lalu kita memikirkannya, membandingkan antara satu dan lainnya, kemudian kita menemukan inti atau hakikat kendaraan, yaitu sebagai sarana transportasi, maka seluruh jenis dan merek mobil apa pun sudah tercakup di dalamnya.

 Di antara obyek pemikiran filsafat yang erat kaitannya dengan Ilmu Akhlak adalah tentang manusia. Para filosof Muslim seperti Ibn Sina (9980-1037M.) dan al-Ghazali (1059-1111 M) memiliki pemikiran tentang manusia sebagaimana terlihat dalam pemikirannya tentang jiwa. Ibn Sina misalnya mengatakan bahwa jiwa manusia merupakan satu unit yang tersendiri dan mempunyai wujud terlepas dari badan. Jiwa manusia timbul dan tercipta tiap kali ada badan, yang sesuai dan dapat menerima jiwa, lahir di dunia ini. Sesungguhnya jiwa manusia tak mempunyai fungsi-fungsi fisik, dan dengan demikian tak berhajat pada badan namun untuk menjalankan tugasnya sebagai daya yang berpikir, jiwa masih berhajat pada badan. Karena pada permulaan wujudnya badanlah yang menolong jiwa manusia untuk dapat berpikir. Pancaindera yang lima dan daya-daya batin dari jiwa binatanglah seperti indera bersama, estimasi dan rekoleksi yang menolong jiwa manusia untuk memperoleh konsep-konsep dan ide-ide dari alam sekelilingnya. Jika jiwa manusia telah mencapai kesempurnaan sebelum ia berpisah dengan badan, maka ia selamanya akan berada dalam kesenangan, dan jika ia terpisah dengan badan dalam keadaan tidak sempurna, karena semasa bersatu dengan badan ia selalu dipengaruhi oleh hawa nafsu badan, maka ia akan hidup dalam keadaan menyesal dan terkutuk untuk selama-lamanya di akhirat.

Pemikiran filsafat tentang jiwa yang dikemukakan Ibn Sina tersebut memberi petunjuk bahwa dalam pemikiran filsafat terdapat bahan-bahan atau sumber yang dapat dikembangkan lebih lanjut menjadi konsep Ilmu Akhlak.

Dalam pada itu al-Ghazali membagi umat manusia ke dalam tiga golongan. Pertama kaum awam, yang berpikirnya sederhana sekali. Kedua kaum pilihan yang akalnya tajam dan berpikir secara mendalam. Ketiga kaum penengkar. Kaum awam dengan daya akalnya yang sederhana sekali tidak dapat menangkap hakikat-hakikat. Mereka mempunyai sifat lekas percaya dan menurut. Golongan ini harus dihadapi dengan sikap memberi nasihat dan petunjuk. Kaum pilihan yang daya akalnya kuat dan mendalam harus dihadapi dengan sikap menjelaskan hikmat-hikmat, sedang kaum penengkar dengan sikap mematahkan argumen-argumen. Pemikiran al-Ghazali ini memberi petunjuk adanya perbedaan cara dan pendekatan dalam menghadapi seseorang sesuai dengan tingkat dan daya tangkapnya. Pemikiran yang demikian akan membantu dalam merumuskan metode dan pendekatan yang tepat dalam mengajarkan akhlak.

Pemikiran tentang manusia dapat pula kita jumpai pada Ibn Khaldun. Dalam melihat manusia Ibn Khaldun mendasarkan diri pada asumsi-asumsi kemanusiaan yang sebelumnya lewat pengetahuan yang ia peroleh dalam ajaran Islam. Ia melihat manusia sebagai makhluk berpikir. Oleh karena itu manusia mampu melahirkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sifat-sifat semacam ini tidak dimiliki oleh makhluk lainnya. Lewat kemampuan berpikirnya itu, manusia tidak hanya membuat kehidupannya, tetapi juga menaruh perhatian terhadap berbagai cara guna memperoleh makna hidup. Proses-proses semacam ini melahirkan peradaban.

Tetapi dalam kacamata Ibn Khaldun, kelengkapan serta kesempurnaan manusia tidak lahir dengan begitu saja, melainkan melalui suatu proses tertentu. Proses tersebut dewasa ini dikenal dengan nama evolusi. Berbeda dengan Charles Darwin (1809-1882M) yang melihat proses kejadian manusia sebagai hasil evolusi makhluk-makhluk organik. Khaldun menghubungkan kejadian manusia (sempurna) dalam perkembangan dan pertumbuhan alam semesta.

Dalam pemikiran Ibn Khaldun tersebut tampak bahwa manusia adalah makhluk budaya yang kesempunaannya baru akan terwujud manakala ia berinteraksi dengan lingkungan sosialnya. Ini menunjukkan tentang perlunya pembinaan manusia, termasuk dalam pembina akhlaknya.

Jauh sebelum itu, al-Qur’an telah pula menggambarkan manusia dalam sosoknya yang sempurna melalui istilah basyar, insan dan al-nas. Musa Asy’arie melalui penelitiannya yang mendalam terhadap al-Qur’an berkesimpulan bahwa melalui aktivitas basyariahnya manusia dalam kehidupannya sehari-hari yang berkaitan dengan aktivitas lahiriyahnya yang dipengaruhi oleh dorongan kodrat alamiahnya, seperti makan, minum, bersetubuh, dan akhirnya mati mengakhiri kegiatannya.

Manusia dalam konteks insan adalah manusia yang berakal yang memerankan diri sebagai subyek kebudayaan, dalam pengertian idela. Sementara kata al-nas mengacu kepada manusia sebagai makhluk sosial.

Gambaran manusia yang terdapat dalam pemikiran filosofis itu akan memberikan masukan yang amat berguna dalam merancang dan merencanakan tentang cara-cara membina manusia dan memperlakukannya, berkomunikasi dengannya dan sebagainya. Dengan cara demikian akan tercipta pola hubungan yang dapat dilakukan dalam menciptakan kehidupan yang aman dan damai.

Selain itu filsafat juga membahas tentang Tuhan, alam dan makhluk lainnya. Dari pembahasan ini akan dapat diketahui dan dirumuskan tentang cara-cara berhubungan dengan Tuhan dan memperlakukan makhluk serta alam lainnya. Dengan demikian akan dapat diwujudkan akhlak yang baik terhadap Tuhan, terhadap manusia, alam dan makhluk Tuhan lainnya.

Dengan mengetahui berbagai ilmu yang berhubungan dengan Ilmu Akhlak tersebut, maka seseorang yang akan memperdalam Ilmu Akhlak, perlu pula melengkapi dirinya dengan berbagi ilmu pengetahuan  yang disebutkan di atas. Selain itu uraian tersebut di atas menunjukkan dengan jelas bahwa Ilmu Akhlak adalah ilmu yang sangat akrab atau berdekatan dengan berbagai permasalahan lainnya yang ada di sekitar kehidupan manusia.          
Sumber : Buku Akhlak Tasawuf, Abuddin Nata

Tidak ada komentar:

Kisah Mata Air Keabadian

Kisah ini diriwayatkan oleh Ats-Tsa’labi dari Imam Ali ra. Pada zaman dahulu hiduplah seorang hamba Allah SWT yang melebihkan kepada d...