Sabtu, 27 September 2014

Akhlak Tasawuf I Hubungan Ilmu Akhlak dengan Ilmu Lainnya


 

Pada dasarnya setiap ilmu pengetahuan satu dan lainnya saling berhubungan. Namun hubungan tersebut ada yang sifatnya berdekatan, yang pertengahan, dan ada pula yang agak jauh.

Ilmu-ilmu yang hubungannya dengan Ilmu Akhlak dapat dikategorikan berdekatan antara lain Ilmu Tasawuf, Ilmu Tauhid, Ilmu Pendidikan, Ilmu Jiwa dan Filsafat. Sedangkan ilmu-ilmu yang hubungannya dengan Ilmu Akhlak dapat dikategorikan pertengahan adalah Ilmu Hukum, Ilmu Sosial, Ilmu Sejarah, dan Ilmu Antropologi. Dan ilmu-ilmu yang agak jauh hubungannya dengan Ilmu Akhlak adalah ilmu fisika, biologi, dan ilmu politik.

Dalam uraian ini hubungan Ilmu Akhlak hanya akan dibatasi pada ilmu-ilmu yang memiliki hubungan yang erat sebagaimana tersebut di atas. Ilmu-ilmu yang erat hubungannya dengan Ilmu Akhlak tersebut dapat dikemukakan sebagai berikut.

HUBUNGAN ILMU AKHLAK DENGAN ILMU TASAWUF

Para ahli Ilmu Tasawuf pada umumnya membagi tasawuf kepada tiga bagian. Pertama tasawuf falsafi, kedua tasawuf akhlaki, dan ketiga tasawuf amali. Ketiga macam tasawuf ini tujuannya sama, yaitu mendekatkan diri kepada Allah dengan cara membersihkan diri dari perbuatan yang tercela dan menghias diri dengan perbuatan yang terpuji. Dengan demikian dalam proses pencapaian tujuan bertasawuf seseorang harus terlebih dahulu berakhlak mulia. Ketiga macam tasawuf ini berbeda dalam hal pendekatan yang digunakan adalah pendekatan rasio atau akal pikiran, karena dalam tasawuf ini menggunakan bahan-bahan kajian atau pemikiran yang terdapat di kalangan para filosof, seperti filsafat tentang Tuhan, manusia, hubungan manusia dengan Tuhan dan lain sebagainya. Selanjutnya pada tasawuf akhlaki pendekatan yang digunakan adalah pendekatan akhlak yang tahapannya terdiri dari takhali (mengosongkan diri dari akhlak yang buruk), tahali (menghiasinya dengan akhlak yang terpuji), dan tajalli (terbukanya dinding penghalang (hijab)) yang membatasi manusia dengan Tuhan, sehingga Nur Ilahi tampak jelas padanya. Sedangkan pada tasawuf amali pendekatan yang digunakan adalah pendekatan amaliyah atau wirid, yang selanjutnya mengambil bentuk tarikat. Dengan mengamalkan tasawuf baik yang bersifat falsafi, akhlaki atau amali, seseorang dengan sendirinya berakhlak baik. Perbuatan yang demikian itu ia lakukan dengan sengaja, sadar, pilihan sendiri, dan bukan karena terpaksa.

Hubungan antara Ilmu Akhlak dengan Ilmu Tasawuf lebih lanjut dapat kita ikuti uraian yang diberikan Harun Nasution. Menurutnya ketika mempelajari tasawuf ternyata pula bahwa al-Qur’an dan al-hadis mementingkan akhlak. Al-Qur’an dan al-hadis menekankan nilai-nilai kejujuran, kesetiakawanan, persaudaraan, rasa kesosialan, keadilan, tolong-menolong, murah hati, suka memberi maaf, sabar, baik sangka, berkata benar, pemurah, keramahan, bersih hati, berani, kesucian, hemat, menepati janji, disiplin, mencintai ilmu dan berpikir lurus. Nilai-nilai serupa ini yang harus dimiliki oleh seorang Muslim, dan dimasukkan ke dalam dirinya dari semasa ia kecil.

Sebagaimana diketahui bahwa dalam tasawuf masalah ibadah amat menonjol, karena bertasawuf itu pada hakikatnya melakukan serangkaian ibadah seperti shalat, puasa, haji, zikir, dan lain sebagainya, yang semuanya itu dilakukan dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah. Ibadah yang dilakukan dalam rangka bertasawuf itu ternyata erat hubungannya dengan akhlak. Dalam hubungan ini Harun Nasution lebih lanjut mengatakan, bahwa ibadah dalam Islam erat sekali hubungannya dengan pendidikan akhlak. Ibadah dalam al-Qur’an dikaitkan dengan takwa, dan takwa berarti melaksanakan perintah Tuhan dan menjauhi larangan-Nya, yaitu orang yang berbuat baik dan jauh dari yang tidak baik. Inilah yang dimaksud dengan ajaran amar ma’ruf nahi munkar, mengajak orang pada kebaikan dan mencegah orang dari hal-hal yang tidak baik. Tegasnya orang yang bertakwa adalah orang-orang yang berakhlak mulia. Harun Nasution lebih lanjut mengatakan, kaum sufilah, terutama yang pelaksanaan ibadahnya membawa kepada pembinaan akhlak mulia dalam diri mereka. Hal itu, dalam istilah sufi disebut dengan al-takhalluq bi akhlaqillah, yaitu berbudi pekerti dengan budi pekerti Allah, atau al-ittishaf bi shifatillah, yaitu mensifati diri dengan sifat-sifat yang dimilki Allah.

HUBUNGAN ILMU AKHLAK DENGAN ILMU TAUHID

Ilmu Tauhid sebagaimana dikemukakan Harun Nasution mengandung arti sebagai ilmu yang membahas tentang cara-cara meng-Esakan Tuhan, sebagai salah satu yang terpenting di antara sifat-sifat Tuhan lainnya. Selain itu ilmu ini juga disebut sebagai Ilmu Ushul al-Din dan oleh karena itu buku yang membahas soal-soal teologi dalam Islam selalu diberi nama Kitab Ushul al-Din. Dinamakan demikian, karena masalah tauhid termasuk masalah yang pokok dalam ajaran Islam. Selain itu ilmu ini disebut juga ilmu ‘aqa’id, credo atau keyakinan-keyakinan, dan buku-buku yang mengupas keyakinan-keyakinan itu diberi judul al-‘Aqaid. Ilmu ini dinamai ilmu ‘aqa’id (ikatan yang kokoh), karena keyakinan kepada Tuhan harus merupakan ikatan yang kokoh yang tidak boleh dibuka atau dilepaskan begitu saja, karena bahayanya amat besar bagi kehidupan manusia. Orang yang tidak memiliki ikatan yang kokoh dengan Tuhan, menyebabkan ia dengan mudah tergoda pada ikatan-ikatan lainnya yang membahayakn dirinya.

Selanjutnya ilmu tauhid disebut pula Ilmu Kalam yang secara harfiah berarti ilmu tentang kata-kata. Kalau yang dimaksud dengan kalam adalah sabda Tuhan, maka yang dimaksud adalah kalam Tuhan yang ada di dalam al-Qur’an, dan masalah ini pernah menimbulkan perbincangan bahkan pertentangan keras di kalangan ummat Islam di abad kesembilan dan kesepuluh Masehi sehingga menimbulkan pertentangn dan penganiayaan terhadap sesama Muslim. Sebagian dari mereka ada yang mengatakan bahwa kalam Tuhan itu baharu, makhluk dan diciptakan, sedangkan sebagian yang lain mengatakan bahwa kalam Tuhan itu bersifat qadim, dalam arti tidak diciptakan sebagaimana halnya makhluk. Pendapat yang pertama dianut oleh aliran Muktazilah, sedangkan pendapat yang kedua dianut oleh golongan Asy’ariyah dan lainnya.   

Selanjutnya kalau yang dimaksud kalam adalah kata-kata manusia, maka yang dimaksud dengan ilmu-ilmu adalah ilmu yang membahas tentang kata-kata atau silat lidah dalam rangka mempertahankan pendapat dan pendirian masing-masing.

Dari berbagai istilah yang berkaitan dengan Ilmu Tauhid itu kita dapat memperoleh kesan yang mendalam bahwa Ilmu Tauhid itu pada intinya berkaitan dengan upaya memahami dan meyakini adanya Tuhan dengan segala sifat dan perbuatan-Nya. Termasuk pula dalam pembahasan dalam Ilmu Tauhid ini adalah mengenai rukun iman yang enam, yaitu iman kepada Allah, para malaikat, kitab-kitab yang diturunkan-Nya, para rasul, hari kiamat, dan ketentuannya atau qada dan qadar-Nya. Selain itu dalam ilmu ini dibahas pula tentang keimanan terhadap hal-hal yang akan terjadi di akhirat nanti.

Hubungan Ilmu Akhlak dengan Ilmu Tauhid ini sekurang-kurangnya dapat dilihat melalui empat analisis sebagai berikut.

Pertama, dilihat dari segi obyek pembahasannya, Ilmu Tauhid sebagaimana diuraikan di atas membahas masalah Tuhan baik dari segi zat, sifat dan perbuatan-Nya. Kepercayaan yang mantap kepada Tuhan yang demikian itu, akan menjadi landasan untuk mengarahkan amal perbuatan yang dilakukan manusia, sehingga perbuatan yang dilakukan manusia itu akan tertuju semata-mata karena Allah SWT. Dengan demikian Ilmu Tauhid akan mengarahkan perbuatan manusia menjadi ikhlas, dan keikhlasan ini merupakan salah satu akhlak yang mulia. Allah SWT. berfirman,

Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus. (QS. al-Bayyinah, 98: 5).

Kedua, dilihat dari segi fungsinya, Ilmu Tauhid menghendaki agar seseorang yang bertauhid tidak hanya cukup dengan menghafal rukun iman yang enam dengan dalil-dalilnya saja, tetapi yang terpenting adalah agar orang yang bertauhid itu meniru dan mencontoh terhadap subyek yang terdapat dalam rukun iman itu. Jika kita percaya bahwa Allah memiliki sifat-sifat yang mulia, maka sebaiknya manusia yang bertauhid meniru sifat-sifat Tuhan itu. Allah SWT. misalnya bersifat al-rahman dan al-rahim, (Maha Pengasih dan Maha Penyayang), maka sebaiknya manusia meniru sifat tersebut dengan mengembangkan sikap kasih sayang di muka bumi. Demikian juga jika Allah bersifat dengan Asma’ul Husna yang jumlahnya ada sembilan puluh sembilan, maka Asma’ul Husna itu harus dipraktekkan dalam kehidupan. Dengan cara demikian beriman kepada Allah akan memberi pengaruh terhadap pembentukan akhlak yang mulia.

Demikian juga jika seseorang beriman kepada para malaikat, maka yang dimaksudkan antara lain adalah agar manusia meniru sifat-sifat yang terdapat pada malaikat, seperti sifat jujur, amanah, tidak pernah durhaka dan patuh melaksanakan segala yang diperintahkan Tuhan. Percaya kepada malaikat juga dimaksudkan agar manusia merasa diperhatikan dan diawasi oleh para malaikat, sehingga ia tidak berani melanggar larangan Tuhan. Dengan cara demikian percaya kepada malaikat akan membawa kepada perbaikan akhlak yang mulia Allah SWT. berfirman,

(Malaikat-malaikat) itu tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan. (QS. al-Tahrim, 66: 6)

Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir. (QS. Qaaf, 50: 18).

Demikian pula beriman kepada kitab-kitab yang diturunkan Tuhan, khususnya al-Qur’an, maa secara akhlaki harus diikuti dengan upaya menjadikan al-Qur’an sebagai wasit, hakim sera imam dalam kehidupan. Selanjutnya diikuti pula dengan mengamalkan segala perintah yang ada dalam al-Qur’an dan menjauhi apa yang dilarangnya. Dengan kata lain beriman kepada kitab-kitab, khususnya al-Qur’an, sebagaimana hal ini dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW. Hal yang demikian dinyatakan dalam hadisnya yang berbunyi,

Ada akhlak nabi itu adalah al-Qur’an. (HR. Ahmad dan Aisyah).

Dengan cara demikian iman kepada kitab erat kaitannya dengan pembinaan akhlak yang mulia.

Selanjutnya beriman kepada para rasul, khususnya pada Nabi Muhammad SAW. juga harus disertai dengan upaya mencontoh akhlak Rasulullah dan mencintainya. Di dalam al-Qur’an dinyatakan oleh Allah bahwa Nabi Muhammad SAW. itu, berakhlak mulia. Di dalam al-Qur’an dinyatakan,

Sesungguhnya engkau Muhammad benar-benar berbudi pekerti mulia. (QS. al-Qalam, 68: 4).

Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang-orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah (QS. al-Ahzab, 33: 21)

Ayat-ayat tersebut memberi petunjuk dan mengingatkan kepada manusia bahwa pada diri Rasulullah itu sudah terdapat contoh akhlak yang mulia. Jika hal tersebut dinyatakan di dalam al-Qur’an maka maksudnya adalah agar diamalkan. Caranya antara lain dengan mengikuti perintahnya dan mencintainya. Dalam salah satu hadisnya, beliau menyatakan,

Tidak sempurna iman salah seorang kamu sekalian, sehingga aku (Nabi Muhammad) lebih dicintainya daripada harta bendanya, orang tuanya, anak-anaknya dan manusia lainnya. (HR. Muslim).

Mengikuti dan mencintai Rasulullah oleh Allah dinilai sama dengan mencintai dan mentaati-Nya. Dengan cara demikian beriman kepada para rasul akan menimbulkan akhlak yang mulia. Hal ini dapat diperkuat lagi dengan cara meniru sifat-sifat yang wajib pada Rasul, yaitu sifat shidik (jujur), amanah (terpercaya), tabligh (menyampaikan ajaran sesuai dengan perintah Allah), dan fathanah (cerdas). Jika semua itu ditiru oleh manusia yang mengimaninya, maka akan dapat menimbulkan akhlak yang mulia, dan di sinilah letaknya hubungan Ilmu Akhlak dengan Ilmu Tauhid.

Demikian pula beriman kepada hari akhir, dari sisi akhlaki harus disertai dengan upaya menyadari bahwa segala amal perbuatan yang dilakukan selama di dunia ini akan dimintakan pertanggungan jawabnya di akhirat nanti. Amal perbuatan yang dilakukan manusia selama di dunia akan ditimbang dan dihitung serta diputuskan dengan seadilnya. Mereka yang amalnya lebih banyak yang buruk dan ingkar kepada Tuhan akan dimasukkan ke dalam neraka jahanam, sedangkan mereka yang amalnya lebih banyak yang baik dan bertakwa kepada Tuhan akan dimasukkan ke dalam surge. Keimanan kepada hari akhir yang demikian itu diharapkannya dapat memotivasi seseorang agar selama hidupnya di dunia ini banyak melakukan amal yang baik, menjauhi perbuatan dosa atau ingkar kepada Tuhan. Orang yang demikian selanjutnya akan menjadi orang yang selalu takwa kepada Allah.

Kebahagiaan hidup di akhirat yang ditentukan oleh amal perbuatan yang baik dan sebanyak-banyaknya akan mendorong seseorang memiliki etos kerja untuk selalu melakukan amal perbuatan yang baik selama hidupnya di dunia ini. Di sinilah letaknya hubungan iman kepada hari akhir dengan akhlak yang mulia. Allah SWT. berfirman,

Orang-orang kafir dibawa ke neraka Jahannam berombong-rombongan (QS. al-Zumar, 39: 71).

Dan orang-orang yang bertakwa kepada Tuhan dibawa ke dalam surge berombong-rombongan (pula). (QS. al-Zumar, 39: 73).     

Selanjutnya beriman kepada qada dan qadar Tuhan juga erat kaitannya dengan akhlak, yaitu agar orang yang percaya kepada qada dan qadar Tuhan itu senantiasa mau bersyukur terhadap keputusan Tuhan dan rela menerima segala keputusan-Nya. Perbuatan yang demikian termasuk kedalam akhlak yang mulia. Hal ini termasuk salah satu perbuatan yang berat, karena pada umumnya manusia merasa sukar menerima keadaan-keadaan yang biasa menimpa dirinya, seperti kemiskinan, kerugian, kehilangan barang, pangkat, kedudukan, kematian dan lain-lain yang dapat mengurangi kesenangannya.

Yang dapat bertahan dalam menerima keputusan-keputusan Tuhan seperti itu hanyalah orang-orang yang telah mempunyai sifat ridla artinya rela menerima dengan apa yang telah ditentukan dan ditakdirkan Tuhannya. Rela berjuang atas jalan Allah rela menghadapi segala kesuakaran, rela membela kebenaran, rela berkorban harta, pikiran, jiwa sekalipun. Semua itu bagi orang yang ridla sebagaimana dilakukan sufi dipandang sebagai sifat-sifat terpuji dan akhlak yang bernilai tinggi bahkan dianggap sebagai ibadat yang semata-semata menuntut keridlaan Allah. Karena kerelaan mereka semata-semata karena Allah, maka mereka enggan berbuat maksiat.

Orang-orang yang telah memiliki sifat ridla itu tidak akan mudah bimbang atau kecewa atas pengorbanan yang dialaminya, tidak merasa menyesal dalam hidup kekurangan, tidak iri hati atas kelebihan-kelebihan yang telah didapat orang lain, karena mereka kuat berpegang kepada akidah iman kepada qada dan qadar yang semuanya itu datang dari Tuhan. Dalam salah-satu hadis qudsinya, Rasulullah SAW. menegaskan,

Allah berfirman: sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan yang sebenarnya selain Aku, maka barangsiapa tidak sabar terhadap cobaan-Ku, tidak bersyukur terhadap nikmat-Ku dan tidak rela terhadap keputusan-Ku, maka hendaklah ia keluar dari kolong langit-Ku dan carilah Tuhan selain Aku. (HR. Muslim).

Berdasarkan analisis yang sederhana ini, tampak jelas bahwa rukun iman yang enam ternyata erat kaitannya dengan pembinaan akhlak yang mulia. Dengan demikian dalam rangka pengembangan Ilmu Akhlak, bahan-bahannya dapat digali dari ajaran tauhid atau keimanan tersebut.

Hubungan Ilmu Tauhid dengan Ilmu Akhlak dapat pula dilihat dari eratnya kaitan antara iman dan amal salih. Baik di dalam al-Qur’an maupun hadis banyak sekali disebutkan secara beriringan antara iman dan amal salih. Misalnya kita baca ayat yang berbunyi:

Maka demi Tuhan engkau, mereka belumlah dinamakan beriman keputusan kepada engkau (Muhammad) dalam perkara yang menjadi perselisihan di antara mereka, kemudian itu mereka tidak merasa keberataan dalam hati mereka terhadap apa yang engkau putuskan dan mereka menerima dengan senang hati. (QS. al-Nisa, 4: 65).

Ucapan orang yang beriman itu, apabila mereka dipanggil kepada Allah dan Rasul-Nya untuk diputuskan perkara di antara mereka, hanyalah mengatakan: “Kami dengar dan kami patuh”, dan itulah orang yang beruntung. (QS. al-Nur, 24: 51).

Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu apabila disebut nama Allah, hati mereka penuh ketakutan, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat (keterangan) Allah, keimanan mereka bertambah karenanya dan mereka menyerahkan diri kepada Tuhannya. Mereka mengerjakan sembahyang dan menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka. Itulah orang-orang yang sebenarnya beriman. (QS. al-Anfal, 8: 2-4).

Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, yaitu mereka yang khusyu dalam sembahyangnya, dan menjauhkan diri dari (perkataan dan perbuatan) yang tidak berguna. Dan yang mengerjakan perbuatan suci (membayar zakat) dan mereka yang menjaga kesopanan (QS. al-Mukminun, 23: 1-5).

Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu ialah mereka yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian itu mereka tidak ragu-ragu dan senantiasa berjuang dengan harta dan dirinya di jalan Allah. Itulah orang-orang yang benar (keimananya). (QS. al-Hujurat, 49: 15).

Jika kita perhatikan ayat-ayat tersebut secara seksama akan tampak bahwa ayat-ayat tersebut seluruhnya bertemakan keimanan dalam hubungannya dengan akhlak yang mulia. Ayat-ayat tersebut memberi petunjuk dengan jelas bahwa keimanan harus dimanifestasikan dalam perbuatan akhlak dalam bentuk kerelaan dalam menerima keputusan yang diberikan nabi terhadap perkara yang diperselisihkan di antara manusia, patuh dan tunduk terhadap keputusan Allah dan Rasul-Nya, bergetar hatinya jika mendengar ayat-ayat Allah dibacakan, bertawakkal, melakasanakan shalat dengan khusyu’, berinfak di jalan Allah, menjauhi perbuatan yang tidak ada gunanya, menjaga farjinya, dan tidak ragu-ragu dalam berjuang di jalan Allah. Di sinilah letaknya hubungan antara keimanan dengan pembentukan Ilmu Akhlak.

Hubungan antara keimanan yang dibahas dalam Ilmu Tauhid dengan Ilmu Akhlak banyak pula dijumpai dalam hadits. Misalnya kita membaca hadis yang berikut ini:

Tidak sempurna iman seseorang sehingga ia mau mencintai saudaranya, sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri. (HR. Bukhari dan Muslim).

Seseorang belum dianggap total (sempurna) keimanannya, kecuali ia mau meninggalkan kedustaan dari senda gurau (percakapan)-nya dan meninggalkan pertengkaran walaupun ia termasuk orang yang benar. (HR. Ahmad).

Bukanlah termasuk mukmin (yang baik) yaitu orang yang merasa kenyang (sendiri) sementara tetangganya yang dekat menderita kelaparan, (HR. Ahmad).

Bukanlah termasuk akhlak dari seorang mukmin, yaitu orang yang tidak pernah merasa cukup dan bersikap iri, kecuali dalam hal mencari ilmu. (HR. Baihaqi dari Mu’az).

Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah ia berbuat baik kepada tetangganya, dan barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah ia memuliakan tamunya, dan barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah ia berkata yang baik atau sebaiknya diam saja. (HR. Bukhari Muslim).

Hadis-hadis tersebut di atas bertemakan iman dalam hubungannya dengan akhlak yang baik. Menurut hadis-hadis tersebut bahwa keimanan yang dimiliki seseorang hendaknya disertai dengan penampilan akhlak yang mulia seperti mencintai sesama manusia, berkata benar dan baik, tidak berlebih-lebihan, berbuat baik kepada tetangga dan tamu, serta menjauhi ucapan-ucapan yang tidak berfaedah.

Gambaran kuatnya hubungan iman dengan akhlak atau perbuatan yang baik lebih lanjut dapat dijumpai pada pemikiran kalangan golongan Khawarij dan Muktazilah. Orang yang berbuat dosa besar menurut golongan Khawarij dapat menyebabkan imannya hilang. Sementara menurut Muktazilah orang beriman yang berbuat dosa besar dan meninggal sebelum taubat menyebabkan ia tidak dapat masuk surga, karena dosanya, dan tidak pula dapat dimasukkan neraka, karena di hatinya masih ada iman. Bagi Muktazilah iman digambarkan bukan hanya oleh pengakuan dan ucapan lisan, tetapi juga oleh perbuatan-perbuatan.

Berdasarkan uraian tersebut di atas, tampak bahwa keimanan dalam Islam, sebagaimana dijelaskan Maulana Muhammad Ali bukanlah bersikap dogmatis, yakni bukan hanya dengan mengakui adanya rukun iman lantas yang bersangkutan masuk surga dan dihapuskan segala dosanya. Iman dalam Islam itu sebenarnya menerima suatu ajaran sebagai landasan untuk melakukan perbuatan.

Dari uraian yang agak panjang lebar ini dapat dilihat dengan jelas adanya hubungan yang erat antara keimanan yang dibahas dalam Ilmu Tauhid dengan perbuatan baik yang dibahas dalam Ilmu Akhlak. Ilmu Tauhid tampil dalam memberikan landasan terhadap Ilmu Akhlak, dan Ilmu Akhlak tampil memberikan penjabaran dan pengamalan dari Ilmu Tauhid. Tauhid tanpa akhlak yang mulia tidak akan kokoh. Selain itu Tauhid memberikan arah terhadap akhlak, dan akhlak memberi isi terhadap akhlak, dan akhlak memberi isi terhadap arahan tersebut. Di sinilah letaknya hubungan yang erat dan dekat antara tahid dan akhlak.            

Sumber : Buku Akhlak Tasawuf, Abuddin Nata

Tidak ada komentar:

Kisah Mata Air Keabadian

Kisah ini diriwayatkan oleh Ats-Tsa’labi dari Imam Ali ra. Pada zaman dahulu hiduplah seorang hamba Allah SWT yang melebihkan kepada d...