Pada
dasarnya setiap ilmu pengetahuan satu dan lainnya saling berhubungan. Namun
hubungan tersebut ada yang sifatnya berdekatan, yang pertengahan, dan ada pula
yang agak jauh.
Ilmu-ilmu
yang hubungannya dengan Ilmu Akhlak dapat dikategorikan berdekatan antara lain
Ilmu Tasawuf, Ilmu Tauhid, Ilmu Pendidikan, Ilmu Jiwa dan Filsafat. Sedangkan
ilmu-ilmu yang hubungannya dengan Ilmu Akhlak dapat dikategorikan pertengahan
adalah Ilmu Hukum, Ilmu Sosial, Ilmu Sejarah, dan Ilmu Antropologi. Dan
ilmu-ilmu yang agak jauh hubungannya dengan Ilmu Akhlak adalah ilmu fisika,
biologi, dan ilmu politik.
Dalam
uraian ini hubungan Ilmu Akhlak hanya akan dibatasi pada ilmu-ilmu yang
memiliki hubungan yang erat sebagaimana tersebut di atas. Ilmu-ilmu yang erat
hubungannya dengan Ilmu Akhlak tersebut dapat dikemukakan sebagai berikut.
HUBUNGAN
ILMU AKHLAK DENGAN ILMU TASAWUF
Para
ahli Ilmu Tasawuf pada umumnya membagi tasawuf kepada tiga bagian. Pertama
tasawuf falsafi, kedua tasawuf akhlaki, dan ketiga tasawuf amali. Ketiga macam
tasawuf ini tujuannya sama, yaitu mendekatkan diri kepada Allah dengan cara
membersihkan diri dari perbuatan yang tercela dan menghias diri dengan
perbuatan yang terpuji. Dengan demikian dalam proses pencapaian tujuan
bertasawuf seseorang harus terlebih dahulu berakhlak mulia. Ketiga macam
tasawuf ini berbeda dalam hal pendekatan yang digunakan adalah pendekatan rasio
atau akal pikiran, karena dalam tasawuf ini menggunakan bahan-bahan kajian atau
pemikiran yang terdapat di kalangan para filosof, seperti filsafat tentang
Tuhan, manusia, hubungan manusia dengan Tuhan dan lain sebagainya. Selanjutnya
pada tasawuf akhlaki pendekatan yang digunakan adalah pendekatan akhlak yang
tahapannya terdiri dari takhali (mengosongkan diri dari akhlak yang buruk),
tahali (menghiasinya dengan akhlak yang terpuji), dan tajalli (terbukanya
dinding penghalang (hijab)) yang membatasi manusia dengan Tuhan, sehingga Nur
Ilahi tampak jelas padanya. Sedangkan pada tasawuf amali pendekatan yang
digunakan adalah pendekatan amaliyah atau wirid, yang selanjutnya mengambil
bentuk tarikat. Dengan mengamalkan tasawuf baik yang bersifat falsafi, akhlaki
atau amali, seseorang dengan sendirinya berakhlak baik. Perbuatan yang demikian
itu ia lakukan dengan sengaja, sadar, pilihan sendiri, dan bukan karena
terpaksa.
Hubungan
antara Ilmu Akhlak dengan Ilmu Tasawuf lebih lanjut dapat kita ikuti uraian
yang diberikan Harun Nasution. Menurutnya ketika mempelajari tasawuf ternyata
pula bahwa al-Qur’an dan al-hadis mementingkan akhlak. Al-Qur’an dan al-hadis
menekankan nilai-nilai kejujuran, kesetiakawanan, persaudaraan, rasa kesosialan,
keadilan, tolong-menolong, murah hati, suka memberi maaf, sabar, baik sangka,
berkata benar, pemurah, keramahan, bersih hati, berani, kesucian, hemat,
menepati janji, disiplin, mencintai ilmu dan berpikir lurus. Nilai-nilai serupa
ini yang harus dimiliki oleh seorang Muslim, dan dimasukkan ke dalam dirinya
dari semasa ia kecil.
Sebagaimana
diketahui bahwa dalam tasawuf masalah ibadah amat menonjol, karena bertasawuf
itu pada hakikatnya melakukan serangkaian ibadah seperti shalat, puasa, haji, zikir,
dan lain sebagainya, yang semuanya itu dilakukan dalam rangka mendekatkan diri
kepada Allah. Ibadah yang dilakukan dalam rangka bertasawuf itu ternyata erat
hubungannya dengan akhlak. Dalam hubungan ini Harun Nasution lebih lanjut
mengatakan, bahwa ibadah dalam Islam erat sekali hubungannya dengan pendidikan
akhlak. Ibadah dalam al-Qur’an dikaitkan dengan takwa, dan takwa berarti
melaksanakan perintah Tuhan dan menjauhi larangan-Nya, yaitu orang yang berbuat
baik dan jauh dari yang tidak baik. Inilah yang dimaksud dengan ajaran amar ma’ruf nahi munkar, mengajak orang
pada kebaikan dan mencegah orang dari hal-hal yang tidak baik. Tegasnya orang
yang bertakwa adalah orang-orang yang berakhlak mulia. Harun Nasution lebih
lanjut mengatakan, kaum sufilah, terutama yang pelaksanaan ibadahnya membawa
kepada pembinaan akhlak mulia dalam diri mereka. Hal itu, dalam istilah sufi
disebut dengan al-takhalluq bi
akhlaqillah, yaitu berbudi pekerti dengan budi pekerti Allah, atau al-ittishaf bi shifatillah, yaitu mensifati
diri dengan sifat-sifat yang dimilki Allah.
HUBUNGAN
ILMU AKHLAK DENGAN ILMU TAUHID
Ilmu
Tauhid sebagaimana dikemukakan Harun Nasution mengandung arti sebagai ilmu yang
membahas tentang cara-cara meng-Esakan Tuhan, sebagai salah satu yang
terpenting di antara sifat-sifat Tuhan lainnya. Selain itu ilmu ini juga
disebut sebagai Ilmu Ushul al-Din dan
oleh karena itu buku yang membahas soal-soal teologi dalam Islam selalu diberi
nama Kitab Ushul al-Din. Dinamakan
demikian, karena masalah tauhid termasuk masalah yang pokok dalam ajaran Islam.
Selain itu ilmu ini disebut juga ilmu ‘aqa’id, credo atau keyakinan-keyakinan,
dan buku-buku yang mengupas keyakinan-keyakinan itu diberi judul al-‘Aqaid.
Ilmu ini dinamai ilmu ‘aqa’id (ikatan yang kokoh), karena keyakinan kepada
Tuhan harus merupakan ikatan yang kokoh yang tidak boleh dibuka atau dilepaskan
begitu saja, karena bahayanya amat besar bagi kehidupan manusia. Orang yang
tidak memiliki ikatan yang kokoh dengan Tuhan, menyebabkan ia dengan mudah
tergoda pada ikatan-ikatan lainnya yang membahayakn dirinya.
Selanjutnya
ilmu tauhid disebut pula Ilmu Kalam yang secara harfiah berarti ilmu tentang
kata-kata. Kalau yang dimaksud dengan kalam adalah sabda Tuhan, maka yang
dimaksud adalah kalam Tuhan yang ada di dalam al-Qur’an, dan masalah ini pernah
menimbulkan perbincangan bahkan pertentangan keras di kalangan ummat Islam di
abad kesembilan dan kesepuluh Masehi sehingga menimbulkan pertentangn dan
penganiayaan terhadap sesama Muslim. Sebagian dari mereka ada yang mengatakan
bahwa kalam Tuhan itu baharu, makhluk dan diciptakan, sedangkan sebagian yang lain
mengatakan bahwa kalam Tuhan itu bersifat qadim, dalam arti tidak diciptakan
sebagaimana halnya makhluk. Pendapat yang pertama dianut oleh aliran
Muktazilah, sedangkan pendapat yang kedua dianut oleh golongan Asy’ariyah dan
lainnya.
Selanjutnya
kalau yang dimaksud kalam adalah kata-kata manusia, maka yang dimaksud dengan
ilmu-ilmu adalah ilmu yang membahas tentang kata-kata atau silat lidah dalam
rangka mempertahankan pendapat dan pendirian masing-masing.
Dari
berbagai istilah yang berkaitan dengan Ilmu Tauhid itu kita dapat memperoleh
kesan yang mendalam bahwa Ilmu Tauhid itu pada intinya berkaitan dengan upaya
memahami dan meyakini adanya Tuhan dengan segala sifat dan perbuatan-Nya.
Termasuk pula dalam pembahasan dalam Ilmu Tauhid ini adalah mengenai rukun iman
yang enam, yaitu iman kepada Allah, para malaikat, kitab-kitab yang
diturunkan-Nya, para rasul, hari kiamat, dan ketentuannya atau qada dan
qadar-Nya. Selain itu dalam ilmu ini dibahas pula tentang keimanan terhadap
hal-hal yang akan terjadi di akhirat nanti.
Hubungan
Ilmu Akhlak dengan Ilmu Tauhid ini sekurang-kurangnya dapat dilihat melalui
empat analisis sebagai berikut.
Pertama,
dilihat dari segi obyek pembahasannya, Ilmu Tauhid sebagaimana diuraikan di
atas membahas masalah Tuhan baik dari segi zat, sifat dan perbuatan-Nya.
Kepercayaan yang mantap kepada Tuhan yang demikian itu, akan menjadi landasan
untuk mengarahkan amal perbuatan yang dilakukan manusia, sehingga perbuatan
yang dilakukan manusia itu akan tertuju semata-mata karena Allah SWT. Dengan
demikian Ilmu Tauhid akan mengarahkan perbuatan manusia menjadi ikhlas, dan
keikhlasan ini merupakan salah satu akhlak yang mulia. Allah SWT. berfirman,
Padahal
mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan
kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus.
(QS. al-Bayyinah, 98: 5).
Kedua,
dilihat dari segi fungsinya, Ilmu Tauhid menghendaki agar seseorang yang
bertauhid tidak hanya cukup dengan menghafal rukun iman yang enam dengan
dalil-dalilnya saja, tetapi yang terpenting adalah agar orang yang bertauhid
itu meniru dan mencontoh terhadap subyek yang terdapat dalam rukun iman itu.
Jika kita percaya bahwa Allah memiliki sifat-sifat yang mulia, maka sebaiknya
manusia yang bertauhid meniru sifat-sifat Tuhan itu. Allah SWT. misalnya
bersifat al-rahman dan al-rahim, (Maha Pengasih dan Maha Penyayang), maka
sebaiknya manusia meniru sifat tersebut dengan mengembangkan sikap kasih sayang
di muka bumi. Demikian juga jika Allah bersifat dengan Asma’ul Husna yang
jumlahnya ada sembilan puluh sembilan, maka Asma’ul Husna itu harus
dipraktekkan dalam kehidupan. Dengan cara demikian beriman kepada Allah akan
memberi pengaruh terhadap pembentukan akhlak yang mulia.
Demikian
juga jika seseorang beriman kepada para malaikat, maka yang dimaksudkan antara
lain adalah agar manusia meniru sifat-sifat yang terdapat pada malaikat,
seperti sifat jujur, amanah, tidak pernah durhaka dan patuh melaksanakan segala
yang diperintahkan Tuhan. Percaya kepada malaikat juga dimaksudkan agar manusia
merasa diperhatikan dan diawasi oleh para malaikat, sehingga ia tidak berani
melanggar larangan Tuhan. Dengan cara demikian percaya kepada malaikat akan
membawa kepada perbaikan akhlak yang mulia Allah SWT. berfirman,
(Malaikat-malaikat)
itu tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka
dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.
(QS. al-Tahrim, 66: 6)
Tiada
suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas
yang selalu hadir. (QS. Qaaf, 50: 18).
Demikian
pula beriman kepada kitab-kitab yang diturunkan Tuhan, khususnya al-Qur’an, maa
secara akhlaki harus diikuti dengan upaya menjadikan al-Qur’an sebagai wasit,
hakim sera imam dalam kehidupan. Selanjutnya diikuti pula dengan mengamalkan
segala perintah yang ada dalam al-Qur’an dan menjauhi apa yang dilarangnya.
Dengan kata lain beriman kepada kitab-kitab, khususnya al-Qur’an, sebagaimana
hal ini dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW. Hal yang demikian dinyatakan dalam
hadisnya yang berbunyi,
Ada akhlak nabi itu
adalah al-Qur’an. (HR. Ahmad dan Aisyah).
Dengan
cara demikian iman kepada kitab erat kaitannya dengan pembinaan akhlak yang
mulia.
Selanjutnya
beriman kepada para rasul, khususnya pada Nabi Muhammad SAW. juga harus
disertai dengan upaya mencontoh akhlak Rasulullah dan mencintainya. Di dalam
al-Qur’an dinyatakan oleh Allah bahwa Nabi Muhammad SAW. itu, berakhlak mulia.
Di dalam al-Qur’an dinyatakan,
Sesungguhnya
engkau Muhammad benar-benar berbudi pekerti mulia.
(QS. al-Qalam, 68: 4).
Sesungguhnya
telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi
orang-orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia
banyak menyebut Allah (QS. al-Ahzab, 33: 21)
Ayat-ayat
tersebut memberi petunjuk dan mengingatkan kepada manusia bahwa pada diri
Rasulullah itu sudah terdapat contoh akhlak yang mulia. Jika hal tersebut
dinyatakan di dalam al-Qur’an maka maksudnya adalah agar diamalkan. Caranya
antara lain dengan mengikuti perintahnya dan mencintainya. Dalam salah satu
hadisnya, beliau menyatakan,
Tidak sempurna iman
salah seorang kamu sekalian, sehingga aku (Nabi Muhammad) lebih dicintainya
daripada harta bendanya, orang tuanya, anak-anaknya dan manusia lainnya. (HR.
Muslim).
Mengikuti
dan mencintai Rasulullah oleh Allah dinilai sama dengan mencintai dan
mentaati-Nya. Dengan cara demikian beriman kepada para rasul akan menimbulkan
akhlak yang mulia. Hal ini dapat diperkuat lagi dengan cara meniru sifat-sifat
yang wajib pada Rasul, yaitu sifat shidik
(jujur), amanah (terpercaya), tabligh (menyampaikan ajaran sesuai
dengan perintah Allah), dan fathanah
(cerdas). Jika semua itu ditiru oleh manusia yang mengimaninya, maka akan dapat
menimbulkan akhlak yang mulia, dan di sinilah letaknya hubungan Ilmu Akhlak
dengan Ilmu Tauhid.
Demikian
pula beriman kepada hari akhir, dari sisi akhlaki harus disertai dengan upaya
menyadari bahwa segala amal perbuatan yang dilakukan selama di dunia ini akan
dimintakan pertanggungan jawabnya di akhirat nanti. Amal perbuatan yang
dilakukan manusia selama di dunia akan ditimbang dan dihitung serta diputuskan
dengan seadilnya. Mereka yang amalnya lebih banyak yang buruk dan ingkar kepada
Tuhan akan dimasukkan ke dalam neraka jahanam, sedangkan mereka yang amalnya
lebih banyak yang baik dan bertakwa kepada Tuhan akan dimasukkan ke dalam
surge. Keimanan kepada hari akhir yang demikian itu diharapkannya dapat
memotivasi seseorang agar selama hidupnya di dunia ini banyak melakukan amal
yang baik, menjauhi perbuatan dosa atau ingkar kepada Tuhan. Orang yang
demikian selanjutnya akan menjadi orang yang selalu takwa kepada Allah.
Kebahagiaan
hidup di akhirat yang ditentukan oleh amal perbuatan yang baik dan
sebanyak-banyaknya akan mendorong seseorang memiliki etos kerja untuk selalu
melakukan amal perbuatan yang baik selama hidupnya di dunia ini. Di sinilah
letaknya hubungan iman kepada hari akhir dengan akhlak yang mulia. Allah SWT.
berfirman,
Orang-orang
kafir dibawa ke neraka Jahannam berombong-rombongan
(QS. al-Zumar, 39: 71).
Dan
orang-orang yang bertakwa kepada Tuhan dibawa ke dalam surge
berombong-rombongan (pula). (QS. al-Zumar, 39: 73).
Selanjutnya
beriman kepada qada dan qadar Tuhan juga erat kaitannya dengan akhlak, yaitu
agar orang yang percaya kepada qada dan qadar Tuhan itu senantiasa mau bersyukur
terhadap keputusan Tuhan dan rela menerima segala keputusan-Nya. Perbuatan yang
demikian termasuk kedalam akhlak yang mulia. Hal ini termasuk salah satu
perbuatan yang berat, karena pada umumnya manusia merasa sukar menerima
keadaan-keadaan yang biasa menimpa dirinya, seperti kemiskinan, kerugian,
kehilangan barang, pangkat, kedudukan, kematian dan lain-lain yang dapat
mengurangi kesenangannya.
Yang
dapat bertahan dalam menerima keputusan-keputusan Tuhan seperti itu hanyalah
orang-orang yang telah mempunyai sifat ridla artinya rela menerima dengan apa
yang telah ditentukan dan ditakdirkan Tuhannya. Rela berjuang atas jalan Allah
rela menghadapi segala kesuakaran, rela membela kebenaran, rela berkorban
harta, pikiran, jiwa sekalipun. Semua itu bagi orang yang ridla sebagaimana
dilakukan sufi dipandang sebagai sifat-sifat terpuji dan akhlak yang bernilai
tinggi bahkan dianggap sebagai ibadat yang semata-semata menuntut keridlaan
Allah. Karena kerelaan mereka semata-semata karena Allah, maka mereka enggan
berbuat maksiat.
Orang-orang
yang telah memiliki sifat ridla itu tidak akan mudah bimbang atau kecewa atas
pengorbanan yang dialaminya, tidak merasa menyesal dalam hidup kekurangan,
tidak iri hati atas kelebihan-kelebihan yang telah didapat orang lain, karena
mereka kuat berpegang kepada akidah iman kepada qada dan qadar yang semuanya
itu datang dari Tuhan. Dalam salah-satu hadis qudsinya, Rasulullah SAW.
menegaskan,
Allah berfirman:
sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan yang sebenarnya selain Aku,
maka barangsiapa tidak sabar terhadap cobaan-Ku, tidak bersyukur terhadap
nikmat-Ku dan tidak rela terhadap keputusan-Ku, maka hendaklah ia keluar dari
kolong langit-Ku dan carilah Tuhan selain Aku. (HR. Muslim).
Berdasarkan
analisis yang sederhana ini, tampak jelas bahwa rukun iman yang enam ternyata
erat kaitannya dengan pembinaan akhlak yang mulia. Dengan demikian dalam rangka
pengembangan Ilmu Akhlak, bahan-bahannya dapat digali dari ajaran tauhid atau
keimanan tersebut.
Hubungan
Ilmu Tauhid dengan Ilmu Akhlak dapat pula dilihat dari eratnya kaitan antara
iman dan amal salih. Baik di dalam al-Qur’an maupun hadis banyak sekali
disebutkan secara beriringan antara iman dan amal salih. Misalnya kita baca
ayat yang berbunyi:
Maka
demi Tuhan engkau, mereka belumlah dinamakan beriman keputusan kepada engkau
(Muhammad) dalam perkara yang menjadi perselisihan di antara mereka, kemudian
itu mereka tidak merasa keberataan dalam hati mereka terhadap apa yang engkau
putuskan dan mereka menerima dengan senang hati. (QS.
al-Nisa, 4: 65).
Ucapan
orang yang beriman itu, apabila mereka dipanggil kepada Allah dan Rasul-Nya
untuk diputuskan perkara di antara mereka, hanyalah mengatakan: “Kami dengar
dan kami patuh”, dan itulah orang yang beruntung.
(QS. al-Nur, 24: 51).
Sesungguhnya
orang-orang yang beriman itu apabila disebut nama Allah, hati mereka penuh
ketakutan, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat (keterangan) Allah,
keimanan mereka bertambah karenanya dan mereka menyerahkan diri kepada
Tuhannya. Mereka mengerjakan sembahyang dan menafkahkan sebagian dari rezeki
yang Kami berikan kepada mereka. Itulah orang-orang yang sebenarnya beriman.
(QS. al-Anfal, 8: 2-4).
Sesungguhnya
beruntunglah orang-orang yang beriman, yaitu mereka yang khusyu dalam
sembahyangnya, dan menjauhkan diri dari (perkataan dan perbuatan) yang tidak
berguna. Dan yang mengerjakan perbuatan suci (membayar zakat) dan mereka yang
menjaga kesopanan (QS. al-Mukminun, 23: 1-5).
Sesungguhnya
orang-orang yang beriman itu ialah mereka yang beriman kepada Allah dan
Rasul-Nya, kemudian itu mereka tidak ragu-ragu dan senantiasa berjuang dengan
harta dan dirinya di jalan Allah. Itulah orang-orang yang benar (keimananya).
(QS. al-Hujurat, 49: 15).
Jika
kita perhatikan ayat-ayat tersebut secara seksama akan tampak bahwa ayat-ayat
tersebut seluruhnya bertemakan keimanan dalam hubungannya dengan akhlak yang
mulia. Ayat-ayat tersebut memberi petunjuk dengan jelas bahwa keimanan harus
dimanifestasikan dalam perbuatan akhlak dalam bentuk kerelaan dalam menerima keputusan
yang diberikan nabi terhadap perkara yang diperselisihkan di antara manusia,
patuh dan tunduk terhadap keputusan Allah dan Rasul-Nya, bergetar hatinya jika
mendengar ayat-ayat Allah dibacakan, bertawakkal, melakasanakan shalat dengan
khusyu’, berinfak di jalan Allah, menjauhi perbuatan yang tidak ada gunanya,
menjaga farjinya, dan tidak ragu-ragu dalam berjuang di jalan Allah. Di sinilah
letaknya hubungan antara keimanan dengan pembentukan Ilmu Akhlak.
Hubungan
antara keimanan yang dibahas dalam Ilmu Tauhid dengan Ilmu Akhlak banyak pula
dijumpai dalam hadits. Misalnya kita membaca hadis yang berikut ini:
Tidak sempurna iman
seseorang sehingga ia mau mencintai saudaranya, sebagaimana ia mencintai
dirinya sendiri. (HR. Bukhari dan Muslim).
Seseorang belum
dianggap total (sempurna) keimanannya, kecuali ia mau meninggalkan kedustaan
dari senda gurau (percakapan)-nya dan meninggalkan pertengkaran walaupun ia
termasuk orang yang benar. (HR. Ahmad).
Bukanlah termasuk
mukmin (yang baik) yaitu orang yang merasa kenyang (sendiri) sementara
tetangganya yang dekat menderita kelaparan, (HR. Ahmad).
Bukanlah termasuk
akhlak dari seorang mukmin, yaitu orang yang tidak pernah merasa cukup dan
bersikap iri, kecuali dalam hal mencari ilmu. (HR. Baihaqi dari Mu’az).
Barangsiapa yang
beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah ia berbuat baik kepada
tetangganya, dan barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah
ia memuliakan tamunya, dan barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir
hendaklah ia berkata yang baik atau sebaiknya diam saja. (HR. Bukhari Muslim).
Hadis-hadis
tersebut di atas bertemakan iman dalam hubungannya dengan akhlak yang baik.
Menurut hadis-hadis tersebut bahwa keimanan yang dimiliki seseorang hendaknya
disertai dengan penampilan akhlak yang mulia seperti mencintai sesama manusia,
berkata benar dan baik, tidak berlebih-lebihan, berbuat baik kepada tetangga
dan tamu, serta menjauhi ucapan-ucapan yang tidak berfaedah.
Gambaran
kuatnya hubungan iman dengan akhlak atau perbuatan yang baik lebih lanjut dapat
dijumpai pada pemikiran kalangan golongan Khawarij dan Muktazilah. Orang yang
berbuat dosa besar menurut golongan Khawarij dapat menyebabkan imannya hilang.
Sementara menurut Muktazilah orang beriman yang berbuat dosa besar dan meninggal
sebelum taubat menyebabkan ia tidak dapat masuk surga, karena dosanya, dan
tidak pula dapat dimasukkan neraka, karena di hatinya masih ada iman. Bagi
Muktazilah iman digambarkan bukan hanya oleh pengakuan dan ucapan lisan, tetapi
juga oleh perbuatan-perbuatan.
Berdasarkan
uraian tersebut di atas, tampak bahwa keimanan dalam Islam, sebagaimana
dijelaskan Maulana Muhammad Ali bukanlah bersikap dogmatis, yakni bukan hanya
dengan mengakui adanya rukun iman lantas yang bersangkutan masuk surga dan
dihapuskan segala dosanya. Iman dalam Islam itu sebenarnya menerima suatu
ajaran sebagai landasan untuk melakukan perbuatan.
Dari
uraian yang agak panjang lebar ini dapat dilihat dengan jelas adanya hubungan
yang erat antara keimanan yang dibahas dalam Ilmu Tauhid dengan perbuatan baik
yang dibahas dalam Ilmu Akhlak. Ilmu Tauhid tampil dalam memberikan landasan
terhadap Ilmu Akhlak, dan Ilmu Akhlak tampil memberikan penjabaran dan
pengamalan dari Ilmu Tauhid. Tauhid tanpa akhlak yang mulia tidak akan kokoh.
Selain itu Tauhid memberikan arah terhadap akhlak, dan akhlak memberi isi
terhadap akhlak, dan akhlak memberi isi terhadap arahan tersebut. Di sinilah
letaknya hubungan yang erat dan dekat antara tahid dan akhlak.
Sumber
: Buku Akhlak Tasawuf, Abuddin Nata
Tidak ada komentar:
Posting Komentar