Minggu, 21 September 2014

Ilmu Pendidikan Islam I KEDUDUKAN MANUSIA I HUBUNGAN KEDUDUKAN MANUSIA DENGAN PENDIDIKAN ISLAM


KEDUDUKAN MANUSIA

Kesatuan wujud manusia antara fisik dan psikis serta didukung oleh potensi-potensi yang ada membuktikan bahwa manusia sebagai ahsan al-taqwin dan menempatkan manusia pada posisi yang strategis yaitu :

1)      Sebagai Hamba Allah (‘abd Allah) dan

2)      Khalifah Allah (khalifah Alah fi al-ardhi)

 

1.      Manusia Sebagai Hamba Allah (‘abd Allah)

Musa Asy’arie, mengatakan bahwa esensi abd adalah ketaatan, ketundukan dan kepatuhan yang kesemuanya itu hanya layak diberikan kepada Tuhan. Ketundukan dan ketaatan pada kodrat alamiah yang senantiasa berlaku baginya. Ia terikat oleh hukum-hukum Tuhan yang menjadi kodrat pada setiap ciptaannya, manusia menjadi bagian dari setiap ciptaan-Nya, ia bergantung pada sesamanya, hidup dan matinya menjadi bagian dari segala yang hidup dan mati. Sebagai hamba Allah manusia tidak bisa terlepas dari kekuasannya, karena manusia mempunyai fitrah (potensi) untuk beragama. Mulai dan manusia purba sampai kepada manusia modern sekarang, mengakui bahwa di luar dirinya ada kekuasaan transendental (Allah).

Hal ini disebabkan karena manusia adalah makhluk yang memiliki potensi untuk beragama sesuai dengan fitrahnya. Pada masa purba, manusia mengasumsikannya lewat mitos yang melahirkan agama animisme dan dinamisme. Meskipun dengan pikiran dan kondisi yang cukup sederhana, manusia dahulu telah mengakui bahwa di luar dirinya ada zat yang lebih berkuasa dan menguasai seluruh kehidupannya. Namun mereka tidak mengetahui hakikat zat yang berkuasa. Mereka aplikasikan apa yang mereka yakini dengan berbagai bentuk upacara ritual seperti pemujaan terhadap batu besar, gunung, matahari dan roh nenek moyang mereka. Kesemuanya itu menjadi bukti, bahwa ia adalah makhluk yang memiliki potensi untuk beraga. Allah SWT berfirman :

Artinya :

Maka hadapkanlah wajahmu kepada agama (Allah), tetaplah pada fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah (agama) itu tidak ada perubahan pada fitrah Allah. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. (QS. 30:30).

Berdasarkan ayat di atas, jelaslah bahwa bagaimanapun primitifnya suatu suku bangsa manusia, mereka akan mengakui adanya Zat Yang Maha Kuasa di luar dirinya. Selanjutnya Allah SWT berfirman:

Artinya:

Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku (QS. 51: 56).

Berdasarkan ayat tersebut terlihat bahwa seluruh tugas manusia dalam hidup ini berakumulasi pada tanggung jawab mengabdi (beribadah) kepada-Nya.

Pengakuan manusia akan adanya Tuhan secara naluriah menurut informasi al-Qur’an disebabkan telah terjadinya dialog antara Allah dan roh manusia tatkala ia berada di alam arwah. Firman Allah SWT :

Artinya:

Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman) : “Bukankah Aku ini Tuhanmu ?”. Mereka (anak-anak Adam menjawab : “Betul (Engkau Tuhan Kami) Kami menjadi saksi…. (QS. 7:172).

Dengan demikian kepercayaan dan ketergantungan manusia dengan Tuhannya, tidak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia itu sendiri. Karena manusia telah berikrar sejak alam Mitsak bahwa Allah SWT adalah Tuhannya.

Menurut Realisme Instinktif kepercayaan manusia kepada Zat Maha Agung yang ada di luar dirinya diiringi tunduk dan patuh kepada-Nya. Kepatuhan tersebut kemudian dimanifestasikannya lewat peribadatan-peribadatan ritual sehingga manusia memiliki beban dan tugas sebagai makhluk pengabdi kepada Tuhannya. Dengan demikian, rasa tunduk dan kepatuhan manusia kepada Zat Yang Maha Agung, merupakan tabiat asli (fitrah) manusia yang dimiliki oleh setiap manusia sebagai nilai ubudiyah kepada-Nya. Pengenalan dan pengabdian yang dilakukan manusia sebagai realisasi kepatuhan kepada Tuhannya pada mulanya mereka lakukan sesuai dengan keterbatasan akalnya. Allah tidak ingin manusia berada selalu dalam kesesatan. Untuk itu, Allah SWT memperkenalkan kepada manusia, tentang dirinya melalui wahyu-Nya. Sehingga manusia dapat melaksanakan pengabdiannya sesuai aturan yang dikehendaki Allah.

Dalam konsep animistic, misalnya manusia merasakan ketidakmampuannya, dan manusia ingin mendapatkan perlindungan dan pertolongan kepada Zat Yang Maha Agung tersebut. Namun karena keterbatasan akalnya ia tidak bisa menemukannya. Akhirnya manusia mengkulturkan benda-benda alam yang dianggapnya mempunyai kekuatan gaib (mana), dan selanjutnya ia lakukan penyembahan kepada benda-benda tersebut.

Untuk itulah Allah mengutus para Rasul-Nya sebagai pemberi petunjuk kepada manusia, mana yang harus mereka sembah sebenarnya. Lewat instingtif pengakuan akan adanya Zat Yang Menguasainya, akal, bimbingan wahyu (ajaran agama) yang disampaikan dengan perantaraan Rasul, manusia diharapkan mampu mengenal Khaliqnya lewat pengabdian yang ditunjukkannya dalam kehidupan.    

2.      Manusia Sebagai Khalifah Allah fi al-Ardh

Bila ditinjau, kata khalifah berasal dari fi’il madi khalafa yang berarti “mengganti dan melanjutkan. Bila pengertian tersebut ditarik pada pengertian khalifah, maka dalam konteks ini artinya lebih cenderung kepada pengertian mengganti  yaitu proses penggantian antara satu individu dengan individu yang lain.

Menurut Quraish shihab istilah khalifah dalam bentuk mufrad (tunggal) yang berarti penguasa politik hanya digunakan untuk nabi-nabi yang dalam hal ini nabi Adam as. Dan tidak digunakan untuk manusia pada umumnya. Sedangkan untuk manusia biasa digunakan khala’if yang didalamnya mengetahui arti yang lebih luas, yaitu bukan hanya sebagai penguasa politik tapi juga penguasa dalam berbagai bidang kehidupan. Dalam hubungan pembicaraan dengan kedudukan manusia dalam alam ini, nampaknya lebih cocok digunakan istilah khala’if dari kata khalifah. Namun demikian yang terjadi dalam penggunaan sehari-hari adalah bahwa manusia sebagai khalifah di muka bumi. Pendapat yang demikian memang tidak ada salahnya karena dalam istilah khala’if sudah terkandung makna istilah khalifah. Sebagai seorang khalifah ia berfungsi menggantikan orang lain menggantikan kedudukan kepemimpinannya atau kekuasaannya.

Untuk lebih menegaskan fungsi kekhalifahan manusia di ala mini, dapat dilihat misalnya ayat-ayat dibawah ini:

Artinya :

dan Dial ah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia meninggikan sebagian kamu atas sebagian (yang lain) beberapa derajat (QS. al-An’am, 6:165).

Artinya :

Dialah yang menjadikan kamu khalifah-khalifah di muka bumi. Barang siapa yang kafir maka (akibat) kekafirannya menimpa dirinya sendiri (QS. Fathir, 35:39).

Artinya :

Dan ingatlah oleh kamu sekalian di waktu Allah menjadikan kamu sebagai pengganti-pengganti (yang berkuasa) sesudah lenyapnya Nuh, dan Tuhan telah melebihkan kekuatan tubuh dan perawakan (daripada kaum Nuh itu). (QS al-A’raf, 7:69)

Ayat-ayat tersebut di samping menjelasakan kedudukan manusia di alam raya ini sebagai khalifah dalam arti yang lain juga memberi isyarat tentang perlunya sikap moral atau etika yang harus ditegakkan dalam melaksanakan fungsi kekhalifahannya itu. Quraisy Shihab, mengatakan bahwa hubungan antara manusia dengan alam atau hubungan manusia dengan sesamanya, bukan merupakan hubungan antara penakluk dengan ditaklukan, atau antara tuan dengan hamba, tetapi hubungan kebersamaan dalam ketundukan kepada Allah SWT. karena kalaupun manusia mampu mengelola (menguasai), namun hal tersebut bukan akibat kekuatan yang dimilikinya, tetapi akibat Tuhan menundukkannya untuk manusia. 

Oleh karena itu manusia dalam visi kekhalifahannya, bukan saja sekedar menggantikan, nama dengan arti yang luas ia harus senantiasa mengikuti perintah yang digantikan (Allah).

Untuk melaksanakan tugasnya sebagai khalifah, Allah telah memberikan kepada manusia seperangkat potensi (fitrah) berupa aql, qalb, dan nafs. Namun demikian, aktualisasi fitrah itu tidak otomatis berkembang, melainkan tergantung pada manusia itu sendiri. Untuk itu, Allah menurunkan wahyu-Nya kepada para Nabi, agar menjadi pedoman bagi manusia dalam mengaktualisasikan fitrahnya secara utuh selaras dengan tujuan penciptaannya, sehingga manusia dapat tampil sebagai makhluk Allah yang tinggi martabatnya. Jika tidak, manusia akan tidak berbeda esensinya dengan hewan.

Dengan kedudukan dan fungsi, serta kelebihan yang diberikan oleh Allah SWT kepadanya melebihi makhluk lain, memiliki konsekwensi nilai moral religius. Manusia harus mempertanggungjawabkan semua aktifitas perbuatannya di hadapan khaliknya. Rasulullah SAW bersabda:

Artinya:

Dan Ibn Umar ra berkata: “Aku mendengar Rasulullah SAW, bersabda: “Tiap-tiap kamu adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan diminta pertanggungjawabannya terhadap apa yang dipimpinnya ……. (HR. Mutafaq ‘Alaih)

Selanjutnya Ahmad Hasan Firhat, membedakan kedudukan kekhalifahan manusia pada dua bentuk yaitu: Pertama, khalifah kauniyah: Dimensi ini mencakup wewenang manusia secara umum yang telah dianugerahkan Allah SWT untuk mengatur dan memanfaatkan alam semesta beserta isinya bagi kelangsungan kehidupan umat manusia dalam konteks ini, meliputi pemaknaan yang bersifat umum, tanpa dibatasi oleh agama apa yang mereka yakini. Artinya, label kekhalifahan yang dimaksud diberikan kepada semua manusia sebagai penguasa alam semesta.

Bila dimensi ini dijadikan standard dalam melihat predikat manusia sebagai khalifah Allah fi-al-ardh, maka akan berdampak negatif bagi kelangsungan kehidupan manusia dan alam semesta. Manusia dengan kekuatannya akan mempergunakan alam semesta sebagai konsekwensi kekhalifahannya tanpa kontrol dan melakukan penyimpangan-penyimpangan dari nilai Ilahiyah. Akibatnya, keberadaannya di muka bumi, bukan lagi sebagai pembawa kemakmuran, namun cenderung berbuat kerusakan dan merugikan makhluk Allah lainnya. Ketiadan nilai kontrol inilah yang dikhawatirkan malaikat tatkala Allah mengutarakan keinginan-Nya menciptakan makhluk yang bernama manusia.

Kedua, khalifah syar’iyat. Dimensi ini wewenang Allah yang diberikan kepada manusia untuk memakmurkan alam semesta. Hanya saja, untuk melaksanakan tugas dan tanggung jawab ini, predikat khalifah, secar khusus ditujukan kepada orang-orang mukmin. Hal ini dimaksudkan, agar dengan keimanan yang dimilikinya, mampu menjadi pilar dan kontrol dalam mengatur mekanisme alam semesta, sesuai dengan nilai-nilai ilahiyah yang telah digariskan Allah lewat ajaran-Nya. Dengan prinsip ini, manusia akan senantiasa berbuat kebaikan dan memanfaatkan alam semesta demi kemaslahatan umat manusia.

HUBUNGAN KEDUDUKAN MANUSIA DENGAN PENDIDIKAN ISLAM

Bila dimensi ini dikembangkan dalam kajian pendidikan, maka dalam proses mempersiapkan generasi penerus estafet kekhalifahan yang sesuai dengan nilai-nilai Ilahiyah, maka pendidikan yang ditawarkan harus mampu memberikan dan membentuk pribadi peserta didiknya dengan acuan nilai-nilai Ilahiyah. Dengan penanaman ini, akan menjadikan panduan baginya dalam melaksanakan amanat Allah di muka bumi. Kekosongan akan nilai-nilai ilahiyah, akan mengakibatkan manusia akan bebas kendali dan berbuat sekehendaknya. Sikap yang demikian akan berimplikasi timbulnya nilai egoistic yang bermuara kepada tumbuhnya sikap angkuh dan sombong pada diri manusia. Sikap ini akan berbias kepada tumbuhnya sikap memandang rendah orang lain.

Berdasarkan uraian di atas jelaslah bahwa untuk merealisasikan tugas dan kedudukan manusia tersebut dapat ditempuh manusia lewat pendidikan. Dengan media ini, diharapkan manusia mampu mengembangkan potensi yang diberikan Allah SWT secara optimal, untuk merealisasikan kedudukan, tugas, dan fungsinya.

Namun tidak semua pendidikan dapat mengemban tugas dan fungsi manusia tersebut. Oleh karena itu, diperlukan penataan ulang konsep pendidikan yang ditawarkan sehingga lebih berperan bagi pengembangan manusia yang berkualitas, tanpa menghilangkan nilai-nilai fitri yang dimilikinya.

Dan nampaknya satu-satunya konsep pendidikan yang dapat dikembangkan adalah konsep pendidikan Islam. Dengan pendidikan Islam manusia sebagai khalifah tidak akan berbuat sesuatu yang mencerminkan kemungkaran kepada Allah, dan bahkan ia bersabda agar segala aktifitasnya sebagai khalifah harus dilaksanakan dalam rangka ubudiyah kepada Allah SWT.

Sumber : Buku Ilmu Pendidikan Islam, Ramayulis

Tidak ada komentar:

Kisah Mata Air Keabadian

Kisah ini diriwayatkan oleh Ats-Tsa’labi dari Imam Ali ra. Pada zaman dahulu hiduplah seorang hamba Allah SWT yang melebihkan kepada d...