KEDUDUKAN
MANUSIA
Kesatuan
wujud manusia antara fisik dan psikis serta didukung oleh potensi-potensi yang
ada membuktikan bahwa manusia sebagai ahsan al-taqwin dan menempatkan manusia
pada posisi yang strategis yaitu :
1) Sebagai
Hamba Allah (‘abd Allah) dan
2) Khalifah
Allah (khalifah Alah fi al-ardhi)
1.
Manusia
Sebagai Hamba Allah (‘abd Allah)
Musa
Asy’arie, mengatakan bahwa esensi abd
adalah ketaatan, ketundukan dan kepatuhan yang kesemuanya itu hanya layak
diberikan kepada Tuhan. Ketundukan dan ketaatan pada kodrat alamiah yang
senantiasa berlaku baginya. Ia terikat oleh hukum-hukum Tuhan yang menjadi
kodrat pada setiap ciptaannya, manusia menjadi bagian dari setiap ciptaan-Nya,
ia bergantung pada sesamanya, hidup dan matinya menjadi bagian dari segala yang
hidup dan mati. Sebagai hamba Allah manusia tidak bisa terlepas dari
kekuasannya, karena manusia mempunyai fitrah
(potensi) untuk beragama. Mulai dan manusia purba sampai kepada manusia modern
sekarang, mengakui bahwa di luar dirinya ada kekuasaan transendental (Allah).
Hal
ini disebabkan karena manusia adalah makhluk yang memiliki potensi untuk
beragama sesuai dengan fitrahnya. Pada masa purba, manusia mengasumsikannya
lewat mitos yang melahirkan agama animisme dan dinamisme. Meskipun dengan
pikiran dan kondisi yang cukup sederhana, manusia dahulu telah mengakui bahwa
di luar dirinya ada zat yang lebih berkuasa dan menguasai seluruh kehidupannya.
Namun mereka tidak mengetahui hakikat zat yang berkuasa. Mereka aplikasikan apa
yang mereka yakini dengan berbagai bentuk upacara ritual seperti pemujaan
terhadap batu besar, gunung, matahari dan roh nenek moyang mereka. Kesemuanya
itu menjadi bukti, bahwa ia adalah makhluk yang memiliki potensi untuk beraga.
Allah SWT berfirman :
Artinya
:
Maka hadapkanlah
wajahmu kepada agama (Allah), tetaplah pada fitrah Allah yang telah menciptakan
manusia menurut fitrah (agama) itu tidak ada perubahan pada fitrah Allah.
Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.
(QS. 30:30).
Berdasarkan
ayat di atas, jelaslah bahwa bagaimanapun primitifnya suatu suku bangsa
manusia, mereka akan mengakui adanya Zat Yang Maha Kuasa di luar dirinya.
Selanjutnya Allah SWT berfirman:
Artinya:
Dan Aku tidak
menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku (QS.
51: 56).
Berdasarkan
ayat tersebut terlihat bahwa seluruh tugas manusia dalam hidup ini berakumulasi
pada tanggung jawab mengabdi (beribadah) kepada-Nya.
Pengakuan
manusia akan adanya Tuhan secara naluriah menurut informasi al-Qur’an
disebabkan telah terjadinya dialog antara Allah dan roh manusia tatkala ia
berada di alam arwah. Firman Allah SWT :
Artinya:
“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan
keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian
terhadap jiwa mereka (seraya berfirman) : “Bukankah Aku ini Tuhanmu ?”. Mereka
(anak-anak Adam menjawab : “Betul (Engkau Tuhan Kami) Kami menjadi saksi….
(QS. 7:172).
Dengan
demikian kepercayaan dan ketergantungan manusia dengan Tuhannya, tidak bisa
dipisahkan dari kehidupan manusia itu sendiri. Karena manusia telah berikrar
sejak alam Mitsak bahwa Allah SWT adalah Tuhannya.
Menurut
Realisme Instinktif kepercayaan
manusia kepada Zat Maha Agung yang ada di luar dirinya diiringi tunduk dan
patuh kepada-Nya. Kepatuhan tersebut kemudian dimanifestasikannya lewat
peribadatan-peribadatan ritual sehingga manusia memiliki beban dan tugas
sebagai makhluk pengabdi kepada Tuhannya. Dengan demikian, rasa tunduk dan
kepatuhan manusia kepada Zat Yang Maha Agung, merupakan tabiat asli (fitrah) manusia yang dimiliki oleh
setiap manusia sebagai nilai ubudiyah
kepada-Nya. Pengenalan dan pengabdian yang dilakukan manusia sebagai realisasi
kepatuhan kepada Tuhannya pada mulanya mereka lakukan sesuai dengan
keterbatasan akalnya. Allah tidak ingin manusia berada selalu dalam kesesatan.
Untuk itu, Allah SWT memperkenalkan kepada manusia, tentang dirinya melalui
wahyu-Nya. Sehingga manusia dapat melaksanakan pengabdiannya sesuai aturan yang
dikehendaki Allah.
Dalam
konsep animistic, misalnya manusia
merasakan ketidakmampuannya, dan manusia ingin mendapatkan perlindungan dan
pertolongan kepada Zat Yang Maha Agung tersebut. Namun karena keterbatasan
akalnya ia tidak bisa menemukannya. Akhirnya manusia mengkulturkan benda-benda
alam yang dianggapnya mempunyai kekuatan gaib (mana), dan selanjutnya ia lakukan penyembahan kepada benda-benda
tersebut.
Untuk
itulah Allah mengutus para Rasul-Nya sebagai pemberi petunjuk kepada manusia,
mana yang harus mereka sembah sebenarnya. Lewat instingtif pengakuan akan adanya Zat Yang Menguasainya, akal,
bimbingan wahyu (ajaran agama) yang disampaikan dengan perantaraan Rasul,
manusia diharapkan mampu mengenal Khaliqnya lewat pengabdian yang
ditunjukkannya dalam kehidupan.
2.
Manusia
Sebagai Khalifah Allah fi al-Ardh
Bila
ditinjau, kata khalifah berasal dari
fi’il madi khalafa yang berarti
“mengganti dan melanjutkan. Bila pengertian tersebut ditarik pada pengertian
khalifah, maka dalam konteks ini artinya lebih cenderung kepada pengertian
mengganti yaitu proses penggantian
antara satu individu dengan individu yang lain.
Menurut
Quraish shihab istilah khalifah dalam
bentuk mufrad (tunggal) yang berarti
penguasa politik hanya digunakan untuk nabi-nabi yang dalam hal ini nabi Adam
as. Dan tidak digunakan untuk manusia pada umumnya. Sedangkan untuk manusia
biasa digunakan khala’if yang
didalamnya mengetahui arti yang lebih luas, yaitu bukan hanya sebagai penguasa
politik tapi juga penguasa dalam berbagai bidang kehidupan. Dalam hubungan
pembicaraan dengan kedudukan manusia dalam alam ini, nampaknya lebih cocok
digunakan istilah khala’if dari kata khalifah. Namun demikian yang terjadi
dalam penggunaan sehari-hari adalah bahwa manusia sebagai khalifah di muka
bumi. Pendapat yang demikian memang tidak ada salahnya karena dalam istilah
khala’if sudah terkandung makna istilah khalifah. Sebagai seorang khalifah ia
berfungsi menggantikan orang lain menggantikan kedudukan kepemimpinannya atau
kekuasaannya.
Untuk
lebih menegaskan fungsi kekhalifahan manusia di ala mini, dapat dilihat
misalnya ayat-ayat dibawah ini:
Artinya
:
dan Dial ah yang
menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia meninggikan sebagian kamu
atas sebagian (yang lain) beberapa derajat (QS. al-An’am,
6:165).
Artinya
:
Dialah yang menjadikan
kamu khalifah-khalifah di muka bumi. Barang siapa yang kafir maka (akibat)
kekafirannya menimpa dirinya sendiri (QS. Fathir, 35:39).
Artinya
:
Dan ingatlah oleh kamu
sekalian di waktu Allah menjadikan kamu sebagai pengganti-pengganti (yang
berkuasa) sesudah lenyapnya Nuh, dan Tuhan telah melebihkan kekuatan tubuh dan
perawakan (daripada kaum Nuh itu). (QS al-A’raf, 7:69)
Ayat-ayat
tersebut di samping menjelasakan kedudukan manusia di alam raya ini sebagai
khalifah dalam arti yang lain juga memberi isyarat tentang perlunya sikap moral
atau etika yang harus ditegakkan dalam melaksanakan fungsi kekhalifahannya itu.
Quraisy Shihab, mengatakan bahwa hubungan antara manusia dengan alam atau
hubungan manusia dengan sesamanya, bukan merupakan hubungan antara penakluk
dengan ditaklukan, atau antara tuan dengan hamba, tetapi hubungan kebersamaan
dalam ketundukan kepada Allah SWT. karena kalaupun manusia mampu mengelola
(menguasai), namun hal tersebut bukan akibat kekuatan yang dimilikinya, tetapi
akibat Tuhan menundukkannya untuk manusia.
Oleh
karena itu manusia dalam visi kekhalifahannya, bukan saja sekedar menggantikan,
nama dengan arti yang luas ia harus senantiasa mengikuti perintah yang
digantikan (Allah).
Untuk
melaksanakan tugasnya sebagai khalifah, Allah telah memberikan kepada manusia
seperangkat potensi (fitrah) berupa aql,
qalb, dan nafs. Namun demikian, aktualisasi fitrah itu tidak otomatis
berkembang, melainkan tergantung pada manusia itu sendiri. Untuk itu, Allah
menurunkan wahyu-Nya kepada para Nabi, agar menjadi pedoman bagi manusia dalam
mengaktualisasikan fitrahnya secara utuh selaras dengan tujuan penciptaannya,
sehingga manusia dapat tampil sebagai makhluk Allah yang tinggi martabatnya.
Jika tidak, manusia akan tidak berbeda esensinya dengan hewan.
Dengan
kedudukan dan fungsi, serta kelebihan yang diberikan oleh Allah SWT kepadanya
melebihi makhluk lain, memiliki konsekwensi nilai moral religius. Manusia harus
mempertanggungjawabkan semua aktifitas perbuatannya di hadapan khaliknya.
Rasulullah SAW bersabda:
Artinya:
Dan Ibn Umar ra berkata: “Aku
mendengar Rasulullah SAW, bersabda: “Tiap-tiap kamu adalah pemimpin, dan setiap
pemimpin akan diminta pertanggungjawabannya terhadap apa yang dipimpinnya …….
(HR. Mutafaq ‘Alaih)
Selanjutnya
Ahmad Hasan Firhat, membedakan kedudukan kekhalifahan manusia pada dua bentuk
yaitu: Pertama, khalifah kauniyah:
Dimensi ini mencakup wewenang manusia secara umum yang telah dianugerahkan
Allah SWT untuk mengatur dan memanfaatkan alam semesta beserta isinya bagi
kelangsungan kehidupan umat manusia dalam konteks ini, meliputi pemaknaan yang
bersifat umum, tanpa dibatasi oleh agama apa yang mereka yakini. Artinya, label
kekhalifahan yang dimaksud diberikan kepada semua manusia sebagai penguasa alam
semesta.
Bila
dimensi ini dijadikan standard dalam melihat predikat manusia sebagai khalifah Allah fi-al-ardh, maka akan
berdampak negatif bagi kelangsungan kehidupan manusia dan alam semesta. Manusia
dengan kekuatannya akan mempergunakan alam semesta sebagai konsekwensi
kekhalifahannya tanpa kontrol dan melakukan penyimpangan-penyimpangan dari
nilai Ilahiyah. Akibatnya, keberadaannya di muka bumi, bukan lagi sebagai
pembawa kemakmuran, namun cenderung berbuat kerusakan dan merugikan makhluk
Allah lainnya. Ketiadan nilai kontrol inilah yang dikhawatirkan malaikat
tatkala Allah mengutarakan keinginan-Nya menciptakan makhluk yang bernama
manusia.
Kedua, khalifah
syar’iyat. Dimensi ini wewenang Allah yang diberikan kepada
manusia untuk memakmurkan alam semesta. Hanya saja, untuk melaksanakan tugas
dan tanggung jawab ini, predikat khalifah, secar khusus ditujukan kepada
orang-orang mukmin. Hal ini dimaksudkan, agar dengan keimanan yang dimilikinya,
mampu menjadi pilar dan kontrol dalam mengatur mekanisme alam semesta, sesuai
dengan nilai-nilai ilahiyah yang telah digariskan Allah lewat ajaran-Nya.
Dengan prinsip ini, manusia akan senantiasa berbuat kebaikan dan memanfaatkan
alam semesta demi kemaslahatan umat manusia.
HUBUNGAN
KEDUDUKAN MANUSIA DENGAN PENDIDIKAN ISLAM
Bila
dimensi ini dikembangkan dalam kajian pendidikan, maka dalam proses
mempersiapkan generasi penerus estafet kekhalifahan yang sesuai dengan
nilai-nilai Ilahiyah, maka pendidikan yang ditawarkan harus mampu memberikan
dan membentuk pribadi peserta didiknya dengan acuan nilai-nilai Ilahiyah.
Dengan penanaman ini, akan menjadikan panduan baginya dalam melaksanakan amanat
Allah di muka bumi. Kekosongan akan nilai-nilai ilahiyah, akan mengakibatkan
manusia akan bebas kendali dan berbuat sekehendaknya. Sikap yang demikian akan
berimplikasi timbulnya nilai egoistic
yang bermuara kepada tumbuhnya sikap angkuh dan sombong pada diri manusia.
Sikap ini akan berbias kepada tumbuhnya sikap memandang rendah orang lain.
Berdasarkan
uraian di atas jelaslah bahwa untuk merealisasikan tugas dan kedudukan manusia
tersebut dapat ditempuh manusia lewat pendidikan. Dengan media ini, diharapkan
manusia mampu mengembangkan potensi yang diberikan Allah SWT secara optimal,
untuk merealisasikan kedudukan, tugas, dan fungsinya.
Namun
tidak semua pendidikan dapat mengemban tugas dan fungsi manusia tersebut. Oleh
karena itu, diperlukan penataan ulang konsep pendidikan yang ditawarkan
sehingga lebih berperan bagi pengembangan manusia yang berkualitas, tanpa
menghilangkan nilai-nilai fitri yang dimilikinya.
Dan
nampaknya satu-satunya konsep pendidikan yang dapat dikembangkan adalah konsep
pendidikan Islam. Dengan pendidikan Islam manusia sebagai khalifah tidak akan
berbuat sesuatu yang mencerminkan kemungkaran kepada Allah, dan bahkan ia
bersabda agar segala aktifitasnya sebagai khalifah harus dilaksanakan dalam
rangka ubudiyah kepada Allah SWT.
Sumber
: Buku Ilmu Pendidikan Islam, Ramayulis
Tidak ada komentar:
Posting Komentar