HAKEKAT
MANUSIA
Pengetahuan
tentang hakekat dan kedudukan manusia merupakan bagian amat esensial, karena
dengan pengetahuan tersebut dapat diketahui tentang hakekat manusia, kedudukan
dan peranannya di alam semesta ini. Pengetahuan ini sangat penting karena dalam
proses pendidikan manusia bukan saja objek tetapi juga sebagai subjek, sehingga
pendekatan yang harus dilakukan dan aspek yang diperlukan dapat direncanakan
secara matang.
Para
ahli dalam berbagai bidang memberikan penafsiran tentang hakekat manusia.
Sastraprateja, mengatakan bahwa manusia adalah makhluk yang historis. Hakekat
manusia sendiri adalah sejarah, suatu peristiwa yang bukan semata-mata datum.
Hakekat manusia hanya dapat dilihat dalam perjalanan sejarah dalam sejarah
bangsa manusia. Sastraprateja lebih lanjut mengatakan, bahwa apa yang kita
peroleh dari pengamatan kita atas pengalaman manusia adalah suatu rangkaian anthropological constants yaitu
dorongan-dorongan dan orientasi yang tetap dimiliki manusia. Lebih lanjut ia
menambahkan ada sekurang-kurangnya enam anthropological
constants yang dapat ditarik dari pengalaman sejarah umat manusia yaitu :
1) Relasi
manusia dengan kejasmanian, alam dan lingkungan ekologis
2) Ketertiban
dengan sesama
3) Keterikatan
dengan struktur sosial institusional
4) Ketergantungan
masyarakat dan kebudayaan pada waktu dan tempat
5) Hubungan
timbal balik antara teori dan praktek
6) Kesadaran
religius dan para pemeluk agama
Keenam
anthropological constants ini merupakan satu sintesis dan masing-masing saling
berpengaruh satu dengan lainnya.
Kalangan
pemikir di abad modern, juga membahas tentang hakikat manusia yang dapat
dijumpai. Alexis Carrel misalnya (seorang peletak dasar-dasar humaniora di
Barat), misalnya, mengatakan bahwa manusia adalah makhluk yang misterius,
karena derajat keterpisahan manusia dari dirinya berbanding terbalik dengan
perhatiannya yang demikian tinggi terhadap dunia yang ada di luar dirinya.
Dalam
pada itu Ibn ‘Arabi melukiskan hakekat manusia dengan mengatakan bahwa, tak ada
makhluk Allah yang lebih bagus dari pada manusia. Allah SWT membuatnya hidup,
mengetahui, berkuasa, berkehendak, berbicara, mendengar, melihat dan
memutuskan, dan ini adalah merupakan sifat-sifat rahbaniyah.
Murthada
Mutahhari melukiskan gambaran al-Qur’an tentang manusia sebagai berikut :
Al-Qur’an menggambarkan
manusia sebagai suatu makhluk pilihan Tuhan, sebagai khalifah-Nya di bumi,
serta sebagai makhluk yang semi samawi dan semi duniawi yang dalam dirinya
ditanamkan sifat mengakui Tuhan, bebas terpercaya, rasa tanggung jawab terhadap
dirinya maupun alam semesta, serta dikarunia keunggulan untuk menguasai alam
semesta, langit dan bumi. Manusia dipusakai ke arah kecenderungan kepada
kebaikan dan kejahatan. Kemajuan mereka dimulai dengan kelemahan dan ketidakmampuan
yang kemudian bergerak kearah kekuatan, tetapi itu tidak akan menghapuskan
kegelisahan mereka, kecuali kalau mereka dekat dengan Tuhan dan mengingat-Nya.
Kapasitas mereka tidak terbatas, baik dalam kemampuan belajar maupun dalam
menerapkan ilmu. Mereka memiliki keluhuran dan martabat naluriah. Motivasi dan
pendorong mereka dalam banyak hal, tidak bersifat keberadaan. Akhirnya mereka
dapat secara leluasa memanfaatkan nikmat dan karunia yang dilimpahkan Allah
kepada mereka namun pada saat yang sama, mereka menunaikan kewajiban mereka
kepada Tuhan.
Tetapi
dengan kedudukan yang demikian, manusia sering melupakan hakikat dirinya
sebagai hamba Allah. Manusia sering bertindak sewenang-wenang, tidak mematuhi
aturan yang mengikat dirinya, dan sering merasa congkak dan takabur terhadap
Allah SWT.
Dalam
rangka menyadarkan manusia akan kedudukan sebagai hamba Allah, dalam al-Qu’an
terdapat pernyataan agar manusia mau berfikir tentang asal kejadiannya.
Berdasarkan
pandangan para ahli di atas terlihat betapa sulitnya untuk mencari definisi
yang representative dalam mengenal manusia, setidaknya disebabkan berbedanya
sudut pandang dan kepentingan manusia, serta pemahaman religius yang dianut oleh manusia. Kacaunya pengetahuan mengenal
hakekat manusia, akhirnya menyebabkan gagalnya usaha-usaha ilmiah, ideologi dan
tatanan sosial untuk memberikan kebahagiaan kepada manusia di zaman modern ini.
Semua itu disebabkan karena ketidaktahuan manusia mengenal dirinya, atau
terlupakannya bahagian-bahagian tertentu dari seluruh totalitas manusia sebagai
makhluk yang misterius yang tak mampu untuk menjelajahi seluruh dimensi dari
manusia.
Dengan
demikian, manusia sadar akan ketidakmampuan dan keterbatasannya dalam mengenai
dirinya sendiri, dan fenomena alam lainnya. Pada saat itulah manusia sadar akan
kekurangan dan ketidak berdayaannya dan menyerahkan diri pada kemahakuasaan
Allah sebagai Zat yang menguasai alam semesta. Disini manusia memiliki suatu
perasaan keagamaan yang patuh pada kekuatan supernatural, yang dalam bahasa
agama Islam disebut Allah SWT. Dari sini pula akhirnya para agamawan
mendefinisikan manusia sebagai makhluk beragama. Meskipun demikian, definisi
itu belum bisa mewakili pengertian hakikat manusia secar utuh. Untuk itu harus
pula dilihat pengertian manusia dari segi kata yang digunakan :
1. Ditinjau
dari segi kata (istilah) yang digunakan
Selanjutnya
bagaimana hakekat manusia, untuk itu al-Qur’an memperkenalkan tiga kata
(istilah) yang bisa digunakan untuk menunjuk pengertian manusia. Ketiga kata
tersebut adalah : al-Basyar, al-Insan, dan al-Nas. Meskipun kenyataannya menunjukkan arti pada manusia, akan
tetapi secara khusus memiliki pengertian yang berbeda :
a. Al-Insan
terbentuk dari akar kata nasiya yang berarti lupa. Kata al-Insan dinyatakan
dalam al-Qur’an sebanyak 73 kali yang disebut dalam 43 surat. Penggunaan kata
al-Insan pada umumnya digunakan menggambarkan pada keistimewaan manusia
penyandang predikat khalifah di muka bumi, sekaligus dihubungkan dengan proses
penciptaannya. Keistimewaan tersebut karena manusia merupakan makhluk psikis
disamping makhluk fisik yang memiliki potensi dasar, yaitu fitrah akal dan
kalbu. Potensi ini menempatkan manusia sebagai makhluk Allah yang mulia dan
tertinggi disbanding makhluk-Nya yang lain. Nilai psikisnya sebagai al-Insan al-bayan yang dipadu wahyu
Ilahiyah akan membantu manusia dalam membentuk dirinya sesuai dengan
nilai-nilai insaniah yang terwujud dalam perpaduan iman dan amalnya. Dengan
pengembangan nilai-nilai tersebut, akhirnya manusia mampu mengemban amanah
Allah dimuka bumi.
Kata al-Insan
juga menunjukkan pada proses kejadian manusia, baik proses penciptaan Adam
maupun proses manusia Pasca Adam di alam rahim yang berlangsung secara utuh dan
berproses.
Bila
proses penciptaan manusia sebagai mana dimaksud di atas dianalisa lebih
mendalam, maka penggunaan kata al-Insan
pada ayat di atas mengandung dua dimensi. Pertama,
dimensi tubuh (dengan berbagai unsurnya). Kedua
dimensi spiritual (ditiupkan-Nya roh-Nya kepada manusia).
Dengan
demikian kedua dimensi tersebut, memberikan suatu penegasan, bahwa kata al-Insan mengandung makna akan ke unikan
manusia. Sebab, disamping memiliki kelebihan dan keistimewaan, ia juga memiliki
sifat-sifat keterbatasan, seperti tergesa-gesa, kikir, suka membantah, resah
dan gelisah dan lain sebagainya. Untuk itu, agar manusia hidup sesuai dengan
nilai-nilai Ilahiyah, maka hendaklah manusia senantiasa tetap menggunakan akal
dan seluruh potensi yang dimilikinya secara optimal, dengan tetap berpedoman
kepada ajaran ilahi. Dengan tetap mengacu pada nila-nilai inilah manusia dapat
mewujudkan dirinya sebagai makhluk Allah yang mulia. Jika tidak, manusia akan
tergelincir dan terjerumus pada kehinaan, bahkan lebih hina dari binatang.
b. Kata
al-Basyar dinyatakan dalam al-Qur’an
sebanyak 36 kali yang tersebar dalam 26 surat. Secara etimologi, al-Basyar merupakan bentuk jamak dan
kata al-Basyarat yang berarti kulit
kepala, wajah dan tubuh menjadi tempat tumbuhnya rambut. Pemaknaan manusia
dengan al-Basyar memberikan
pengertian bahwa manusia adalah makhluk biologis serta memiliki sifat-sifat
yang ada di dalamnya, seperti makan, minum, perlu hiburan, seks dan lain
sebagainya. Kata al-Basyar
ditunjukkan kepada seluruh manusia tanpa terkecuali. Ini berarti Nabi dan Rasul
pun memiliki dimensi al-Basyar
seperti yang diungkapkan firman Allah SWT dalam al-Qur’an.
Katakanlah:
“Sesungguhnya Aku (Muhammad) hanyalah
seorang manusia seperti kamu ……..” (QS. 18 : 10)
Ayat
tersebut mengisyaratkan kepada kita, bahwa Nabi pun memiliki sifat basyariah. Penggunaan kata al-basyar mempunyai makna bahwa manusia
secara umum mempunyai persamaan dengan ciri pokok dari makhluk Allah lainnya
secara umum seperti hewan dan tumbuh-tumbuhan umpamanya. Ciri pokok yang umum
tersebut diantaranya adalah persamaan, dalam dunia ini memerlukan ruang dan
waktu, serta tunduk terhadap sunnatullah. Secara biologis manusia memiliki
ketergantungan yang sama dengan hewan dan tumbuh-tumbuhan terhadap alam,
seperti makan, minum dan lain sebagainya. Dengan demikian penggunaan kata al-Basyar pada manusia hanya menunjukkan
persamaan dengan makhluk Allah SWT lainnya aspek material atau dimensi
alamiahnya saja.
Selanjunya
al-Ghazali menyatakan, bahwa manusia merupakan ciptaan Allah SWT yang terdiri
atas dan unsur jasmani dan rohani. Namun jika manusia ingin hidup sesuai dengan
fitrahnya, sehingga akan membedakan dirinya dengan makhluk Allah lainnya, maka
hendaklah ia mempergunakan unsur psikisnya secara dominan. Jika tidak, manusia
akan kehilangan esensinya sebagai manusia.
c. Kata
al-Nas. Kata ini dinyatakan dalam
al-Qur’an sebanyak 240 kali yang terbesar dalam 53 surat. Kata al-Nas menunjukkan pada hakekat manusia
sebagai makhluk sosial dan ditunjukkan kepada seluruh manusia secara umum tanpa
melihat statusnya apakah beriman atau kafir. Penggunaan kata ini lebih bersifat
umum dalam mendefinisikan hakikat manusia, disbanding dengan kata al-Insan.
Selain
pengertian di atas, kata al-Nas juga
dipakaikan dalam al-Qur’an untuk menunjukkan bahwa karakterisitk manusia
senantiasa berada dalam keadaan labil. Meskipun telah dianugerahkan Allah SWT
dengan berbagai potensi yang bisa digunakan untuk mengenal Tuhannya, namun
hanya sebagian manusia yang mau mempergunakannya sesuai dengan ajaran Tuhannya.
Sedangkan sebagian yang lain tidak menggunakan potensi tersebut bahkan ada yang
mempergunakan untuk menentang ke Mahakuasaan Tuhan. Penunjukkan sifat ini
dikatakan Allah SWT dengan menggunakan kata wa
min al-Nas. Dengan berpijak pada pemaknaan tersebut, dapat dikategorikan
manusia sebagai makhluk yang berdimensi ganda, yaitu sebagai makhluk yang mulia
dan tercela.
Kata
al-Nas juga dipergunakan al-Qur’an
yaitu untuk penunjukan kepada makna lawan dari binatang buas. Ia diasumsikan
sebagai makhluk yang senantiasa tunduk pada alam dimana ia berada. Kata al-Ins, selalu dipertentangkan dengan
kata al Jin yang diartikan kepada
makhluk yang senantiasa melakukan mafsadah di muka bumi.
Pendefinisian
yang dinyatakan Allah SWT dalam al-Qur’an dengan menyebut manusia dengan
istilah al-Basyar, Al-Insan dan al-Nas, memberikan gambaran akan keunikan serta kesempurnaan
manusia sebagai makhluk ciptaan Allah SWT. Referensi ini memperlihatkan bahwa
manusia merupakan satu kesatuan yang utuh, antara aspek material (fisik) im
materil (psikis) yang dipandu oleh ruh Ilahiah. Antara aspek fisik dan aspek
psikis saling berhubungan.
Dan
seluruh uraian tersebut di atas kiranya dapat diperoleh gambaran yang jelas
bahwa manusia adalah makhluk yang memiliki kelengkapan fisik dan psikis. Dengan
kelengkapan fisik, ia dapat melaksanakan tugas-tugas yang memerlukan dukungan
fisik dan dengan kelengkapan psikis ia dapat melaksanakan tugas-tugas yang
memerlukan dukungan mental. Selanjutnya agar kedua unsur tersebut dapat
berfungsi dengan baik dan produktif, maka perlu dibina dan diberikan pendidikan
yang seimbang, harmonis dan integral.
Sumber
: Buku Ilmu Pendidikan Islam, Ramayulis
Tidak ada komentar:
Posting Komentar