Minggu, 21 September 2014

Ilmu Pendidikan Islam I Pandangan Islam Terhadap Manusia


 

HAKEKAT MANUSIA

Pengetahuan tentang hakekat dan kedudukan manusia merupakan bagian amat esensial, karena dengan pengetahuan tersebut dapat diketahui tentang hakekat manusia, kedudukan dan peranannya di alam semesta ini. Pengetahuan ini sangat penting karena dalam proses pendidikan manusia bukan saja objek tetapi juga sebagai subjek, sehingga pendekatan yang harus dilakukan dan aspek yang diperlukan dapat direncanakan secara matang.

Para ahli dalam berbagai bidang memberikan penafsiran tentang hakekat manusia. Sastraprateja, mengatakan bahwa manusia adalah makhluk yang historis. Hakekat manusia sendiri adalah sejarah, suatu peristiwa yang bukan semata-mata datum. Hakekat manusia hanya dapat dilihat dalam perjalanan sejarah dalam sejarah bangsa manusia. Sastraprateja lebih lanjut mengatakan, bahwa apa yang kita peroleh dari pengamatan kita atas pengalaman manusia adalah suatu rangkaian anthropological constants yaitu dorongan-dorongan dan orientasi yang tetap dimiliki manusia. Lebih lanjut ia menambahkan ada sekurang-kurangnya enam anthropological constants yang dapat ditarik dari pengalaman sejarah umat manusia yaitu :

1)      Relasi manusia dengan kejasmanian, alam dan lingkungan ekologis

2)      Ketertiban dengan sesama

3)      Keterikatan dengan struktur sosial institusional

4)      Ketergantungan masyarakat dan kebudayaan pada waktu dan tempat

5)      Hubungan timbal balik antara teori dan praktek

6)      Kesadaran religius dan para pemeluk agama

Keenam anthropological constants ini merupakan satu sintesis dan masing-masing saling berpengaruh satu dengan lainnya.

Kalangan pemikir di abad modern, juga membahas tentang hakikat manusia yang dapat dijumpai. Alexis Carrel misalnya (seorang peletak dasar-dasar humaniora di Barat), misalnya, mengatakan bahwa manusia adalah makhluk yang misterius, karena derajat keterpisahan manusia dari dirinya berbanding terbalik dengan perhatiannya yang demikian tinggi terhadap dunia yang ada di luar dirinya.

Dalam pada itu Ibn ‘Arabi melukiskan hakekat manusia dengan mengatakan bahwa, tak ada makhluk Allah yang lebih bagus dari pada manusia. Allah SWT membuatnya hidup, mengetahui, berkuasa, berkehendak, berbicara, mendengar, melihat dan memutuskan, dan ini adalah merupakan sifat-sifat rahbaniyah.

Murthada Mutahhari melukiskan gambaran al-Qur’an tentang manusia sebagai berikut :

Al-Qur’an menggambarkan manusia sebagai suatu makhluk pilihan Tuhan, sebagai khalifah-Nya di bumi, serta sebagai makhluk yang semi samawi dan semi duniawi yang dalam dirinya ditanamkan sifat mengakui Tuhan, bebas terpercaya, rasa tanggung jawab terhadap dirinya maupun alam semesta, serta dikarunia keunggulan untuk menguasai alam semesta, langit dan bumi. Manusia dipusakai ke arah kecenderungan kepada kebaikan dan kejahatan. Kemajuan mereka dimulai dengan kelemahan dan ketidakmampuan yang kemudian bergerak kearah kekuatan, tetapi itu tidak akan menghapuskan kegelisahan mereka, kecuali kalau mereka dekat dengan Tuhan dan mengingat-Nya. Kapasitas mereka tidak terbatas, baik dalam kemampuan belajar maupun dalam menerapkan ilmu. Mereka memiliki keluhuran dan martabat naluriah. Motivasi dan pendorong mereka dalam banyak hal, tidak bersifat keberadaan. Akhirnya mereka dapat secara leluasa memanfaatkan nikmat dan karunia yang dilimpahkan Allah kepada mereka namun pada saat yang sama, mereka menunaikan kewajiban mereka kepada Tuhan.

Tetapi dengan kedudukan yang demikian, manusia sering melupakan hakikat dirinya sebagai hamba Allah. Manusia sering bertindak sewenang-wenang, tidak mematuhi aturan yang mengikat dirinya, dan sering merasa congkak dan takabur terhadap Allah SWT.

Dalam rangka menyadarkan manusia akan kedudukan sebagai hamba Allah, dalam al-Qu’an terdapat pernyataan agar manusia mau berfikir tentang asal kejadiannya.

Berdasarkan pandangan para ahli di atas terlihat betapa sulitnya untuk mencari definisi yang representative dalam mengenal manusia, setidaknya disebabkan berbedanya sudut pandang dan kepentingan manusia, serta pemahaman religius yang dianut oleh manusia. Kacaunya pengetahuan mengenal hakekat manusia, akhirnya menyebabkan gagalnya usaha-usaha ilmiah, ideologi dan tatanan sosial untuk memberikan kebahagiaan kepada manusia di zaman modern ini. Semua itu disebabkan karena ketidaktahuan manusia mengenal dirinya, atau terlupakannya bahagian-bahagian tertentu dari seluruh totalitas manusia sebagai makhluk yang misterius yang tak mampu untuk menjelajahi seluruh dimensi dari manusia.

Dengan demikian, manusia sadar akan ketidakmampuan dan keterbatasannya dalam mengenai dirinya sendiri, dan fenomena alam lainnya. Pada saat itulah manusia sadar akan kekurangan dan ketidak berdayaannya dan menyerahkan diri pada kemahakuasaan Allah sebagai Zat yang menguasai alam semesta. Disini manusia memiliki suatu perasaan keagamaan yang patuh pada kekuatan supernatural, yang dalam bahasa agama Islam disebut Allah SWT. Dari sini pula akhirnya para agamawan mendefinisikan manusia sebagai makhluk beragama. Meskipun demikian, definisi itu belum bisa mewakili pengertian hakikat manusia secar utuh. Untuk itu harus pula dilihat pengertian manusia dari segi kata yang digunakan :

1.      Ditinjau dari segi kata (istilah) yang digunakan

Selanjutnya bagaimana hakekat manusia, untuk itu al-Qur’an memperkenalkan tiga kata (istilah) yang bisa digunakan untuk menunjuk pengertian manusia. Ketiga kata tersebut adalah : al-Basyar, al-Insan, dan al-Nas. Meskipun kenyataannya menunjukkan arti pada manusia, akan tetapi secara khusus memiliki pengertian yang berbeda :

a.       Al-Insan terbentuk dari akar kata nasiya yang berarti lupa. Kata al-Insan dinyatakan dalam al-Qur’an sebanyak 73 kali yang disebut dalam 43 surat. Penggunaan kata al-Insan pada umumnya digunakan menggambarkan pada keistimewaan manusia penyandang predikat khalifah di muka bumi, sekaligus dihubungkan dengan proses penciptaannya. Keistimewaan tersebut karena manusia merupakan makhluk psikis disamping makhluk fisik yang memiliki potensi dasar, yaitu fitrah akal dan kalbu. Potensi ini menempatkan manusia sebagai makhluk Allah yang mulia dan tertinggi disbanding makhluk-Nya yang lain. Nilai psikisnya sebagai al-Insan al-bayan yang dipadu wahyu Ilahiyah akan membantu manusia dalam membentuk dirinya sesuai dengan nilai-nilai insaniah yang terwujud dalam perpaduan iman dan amalnya. Dengan pengembangan nilai-nilai tersebut, akhirnya manusia mampu mengemban amanah Allah dimuka bumi.

Kata al-Insan juga menunjukkan pada proses kejadian manusia, baik proses penciptaan Adam maupun proses manusia Pasca Adam di alam rahim yang berlangsung secara utuh dan berproses.

Bila proses penciptaan manusia sebagai mana dimaksud di atas dianalisa lebih mendalam, maka penggunaan kata al-Insan pada ayat di atas mengandung dua dimensi. Pertama, dimensi tubuh (dengan berbagai unsurnya). Kedua dimensi spiritual (ditiupkan-Nya roh-Nya kepada manusia).

Dengan demikian kedua dimensi tersebut, memberikan suatu penegasan, bahwa kata al-Insan mengandung makna akan ke unikan manusia. Sebab, disamping memiliki kelebihan dan keistimewaan, ia juga memiliki sifat-sifat keterbatasan, seperti tergesa-gesa, kikir, suka membantah, resah dan gelisah dan lain sebagainya. Untuk itu, agar manusia hidup sesuai dengan nilai-nilai Ilahiyah, maka hendaklah manusia senantiasa tetap menggunakan akal dan seluruh potensi yang dimilikinya secara optimal, dengan tetap berpedoman kepada ajaran ilahi. Dengan tetap mengacu pada nila-nilai inilah manusia dapat mewujudkan dirinya sebagai makhluk Allah yang mulia. Jika tidak, manusia akan tergelincir dan terjerumus pada kehinaan, bahkan lebih hina dari binatang.

b.      Kata al-Basyar dinyatakan dalam al-Qur’an sebanyak 36 kali yang tersebar dalam 26 surat. Secara etimologi, al-Basyar merupakan bentuk jamak dan kata al-Basyarat yang berarti kulit kepala, wajah dan tubuh menjadi tempat tumbuhnya rambut. Pemaknaan manusia dengan al-Basyar memberikan pengertian bahwa manusia adalah makhluk biologis serta memiliki sifat-sifat yang ada di dalamnya, seperti makan, minum, perlu hiburan, seks dan lain sebagainya. Kata al-Basyar ditunjukkan kepada seluruh manusia tanpa terkecuali. Ini berarti Nabi dan Rasul pun memiliki dimensi al-Basyar seperti yang diungkapkan firman Allah SWT dalam al-Qur’an.

Katakanlah: “Sesungguhnya Aku (Muhammad) hanyalah seorang manusia seperti kamu ……..” (QS. 18 : 10)

Ayat tersebut mengisyaratkan kepada kita, bahwa Nabi pun memiliki sifat basyariah. Penggunaan kata al-basyar mempunyai makna bahwa manusia secara umum mempunyai persamaan dengan ciri pokok dari makhluk Allah lainnya secara umum seperti hewan dan tumbuh-tumbuhan umpamanya. Ciri pokok yang umum tersebut diantaranya adalah persamaan, dalam dunia ini memerlukan ruang dan waktu, serta tunduk terhadap sunnatullah. Secara biologis manusia memiliki ketergantungan yang sama dengan hewan dan tumbuh-tumbuhan terhadap alam, seperti makan, minum dan lain sebagainya. Dengan demikian penggunaan kata al-Basyar pada manusia hanya menunjukkan persamaan dengan makhluk Allah SWT lainnya aspek material atau dimensi alamiahnya saja.

Selanjunya al-Ghazali menyatakan, bahwa manusia merupakan ciptaan Allah SWT yang terdiri atas dan unsur jasmani dan rohani. Namun jika manusia ingin hidup sesuai dengan fitrahnya, sehingga akan membedakan dirinya dengan makhluk Allah lainnya, maka hendaklah ia mempergunakan unsur psikisnya secara dominan. Jika tidak, manusia akan kehilangan esensinya sebagai manusia.    

c.       Kata al-Nas. Kata ini dinyatakan dalam al-Qur’an sebanyak 240 kali yang terbesar dalam 53 surat. Kata al-Nas menunjukkan pada hakekat manusia sebagai makhluk sosial dan ditunjukkan kepada seluruh manusia secara umum tanpa melihat statusnya apakah beriman atau kafir. Penggunaan kata ini lebih bersifat umum dalam mendefinisikan hakikat manusia, disbanding dengan kata al-Insan.

Selain pengertian di atas, kata al-Nas juga dipakaikan dalam al-Qur’an untuk menunjukkan bahwa karakterisitk manusia senantiasa berada dalam keadaan labil. Meskipun telah dianugerahkan Allah SWT dengan berbagai potensi yang bisa digunakan untuk mengenal Tuhannya, namun hanya sebagian manusia yang mau mempergunakannya sesuai dengan ajaran Tuhannya. Sedangkan sebagian yang lain tidak menggunakan potensi tersebut bahkan ada yang mempergunakan untuk menentang ke Mahakuasaan Tuhan. Penunjukkan sifat ini dikatakan Allah SWT dengan menggunakan kata wa min al-Nas. Dengan berpijak pada pemaknaan tersebut, dapat dikategorikan manusia sebagai makhluk yang berdimensi ganda, yaitu sebagai makhluk yang mulia dan tercela.

Kata al-Nas juga dipergunakan al-Qur’an yaitu untuk penunjukan kepada makna lawan dari binatang buas. Ia diasumsikan sebagai makhluk yang senantiasa tunduk pada alam dimana ia berada. Kata al-Ins, selalu dipertentangkan dengan kata al Jin yang diartikan kepada makhluk yang senantiasa melakukan mafsadah di muka bumi.

Pendefinisian yang dinyatakan Allah SWT dalam al-Qur’an dengan menyebut manusia dengan istilah al-Basyar, Al-Insan dan al-Nas, memberikan gambaran akan keunikan serta kesempurnaan manusia sebagai makhluk ciptaan Allah SWT. Referensi ini memperlihatkan bahwa manusia merupakan satu kesatuan yang utuh, antara aspek material (fisik) im materil (psikis) yang dipandu oleh ruh Ilahiah. Antara aspek fisik dan aspek psikis saling berhubungan.

Dan seluruh uraian tersebut di atas kiranya dapat diperoleh gambaran yang jelas bahwa manusia adalah makhluk yang memiliki kelengkapan fisik dan psikis. Dengan kelengkapan fisik, ia dapat melaksanakan tugas-tugas yang memerlukan dukungan fisik dan dengan kelengkapan psikis ia dapat melaksanakan tugas-tugas yang memerlukan dukungan mental. Selanjutnya agar kedua unsur tersebut dapat berfungsi dengan baik dan produktif, maka perlu dibina dan diberikan pendidikan yang seimbang, harmonis dan integral.

Sumber : Buku Ilmu Pendidikan Islam, Ramayulis

Tidak ada komentar:

Kisah Mata Air Keabadian

Kisah ini diriwayatkan oleh Ats-Tsa’labi dari Imam Ali ra. Pada zaman dahulu hiduplah seorang hamba Allah SWT yang melebihkan kepada d...