Keharusan
yang tak dapat ditawar-tawar bagi setiap pendidik yang kompeten dan
professional adalah melaksanakan profesinya sesuai dengan keadaan peserta
didik. Dalam hal ini, tanpa mengurangi peranan didaktik dan metodik psikologi
sebagai ilmu pengetahuan yang berupaya memahami keadaan dan perilaku manusia
termasuk para siswa yang satu sama lainnya berbeda itu, amat penting bagi para guru di semua jenjang
kependidikan. Jenjang kependidikan ini meliputi wajib belajar pendidikan dasar
9 tahun dan pendidikan menengah 3 tahun yang diselenggarakan dalam institusi
sekolah dan madrasah.
Para
ahli psikologi dan pendidikan pada umumnya berkeyakinan bahwa dua orang anak
(yang kembar sekalipun) tak pernah memiliki respons yang sama persis terhadap
situasi mengajar-belajar di sekolah. Keduanya sangat mungkin berbeda dalam hal
pembawaan, kematangan jasmani, intelegensi, dan keterampilan motor/jasmaniah.
Anak-anak itu, seperti juga anak-anak lainnya, relatif berbeda dalam
berkepribadian sebagaimana yang tampak dalam penampilan dan cara berpikir atau
memecahkan masalah mereka masing-masing.
Pendidikan,
selain merupakan prosedur seperti yang telah penyusun singgung, juga merupakan
lingkungan yang menjadi tempat terlibatnya individu yang sering berinteraksi.
Dalam interaksi antarindividu ini baik antara guru dengan para siswa maupun
antara siswa dengan siswa lainnya, terjadi proses dan peristiwa psikologis.
Peristiwa dan proses psikologis ini sangat perlu dan dijadikan landasan oleh
para guru dalam memperlakukan para siswa secara tepat.
Para
pendidik khususunya para guru sekolah, sangat diharapkan memiliki—kalau tidak
mengatasi—pengetahuan psikologi pendidikan yang memadai agar dapat mendidik
para siswa melalui proses mengajar-belajar yang berdaya guna dan berhasil guna.
Pengetahuan mengenai psikologi pendidikan bagi para guru berperan penting dalam
menyelenggarakan pendidikan di sekolah-sekolah. Hal ini disebabkan eratnya
hubungan antara psikologi khusus tersebut dengan pendidikan seerat metodik
dengan kegiatan pengajaran.
Pengetahuan
yang bersifat psikologis mengenai peserta didik dalam proses belajar-mengajar
sesungguhnya tidak hanya diperlukan oleh calon guru atau guru yang sedang
bertugas di lembaga-lembaga pendidikan formal. Para dosen di perguruan tinggi,
bahkan para orangtua dan mereka yang berkecimpung dalam dunia pendidikan
informal seperti kiai di pesantren, para pendeta dan pastur di gereja, dan para
instruktur di lembaga-lembaga pendidikan dan pelatihan kejuruan, pada
prinsipnya juga memerlukan pengetahuan psikologi pendidikan.
Di
samping pikologi pendidikan, dalam beberapa dasawarsa terakhir ini berkembang
pula pengetahuan sejenis tetapi lebih sempit yang disebut “didaksologi”.
Didaksologi agaknya merupakan subdisiplin psikologi pengajaran (instructional psychology). Psikologi pengajaran
sendiri sesungguhnya hanya bagian dari psikologi pendidikan.
Didaksologi
sebagai sebuah disiplin ilmu kependidikan yang masih muda belia dan belum
dikenal secara luas itu pada dasarnya lebih banyak menggali dan membahas
struktur dasar interaksi dalam proses mengajar-belajar yang sebelumnya tidak
disentuh oleh ilmu didaktif tradisional (Winkel, 1991). Didaksologi, seperti
psikologi pengajaran dikembangkan dan digunakan dalam tradisi pendidikan di
Eropa Barat. Sedangkan psikologi pendidikan dihubungkan dan digunakan tidak
hanya di Amerika Serikat tetapi juga di Eropa. Dan Amerika Serikat, psikologi
pendidikan kemudian melebarkan sayapnya ke Kanada, Australia, dan Selandia Baru
serta Benua Asia hingga ke Indonesia. Penyusun tidak tahu pasti apakah psikologi
pendidikan juga dikembangkan di Benua Afrika, tetapi di beberapa Negara Afrika
tertentu seperti Afrika Selatan dan Mesir (berdasarkan literature yang ada)
psikologi khusus itu dikembangkan orang pula.
Berbeda
dengan psikologi pendidikan, psikologi pengajaran lebih menekankan aspek-aspek
penyajian materi pelajaran dan komunikasi antara guru dengan para siswa dalam
proses instruksional dan proses mengajar-belajar. Di Australia kajian mengenai
komunikasi instruksional seperti ini biasanya terdapat dalam mata kuliah yang
disebut psychology and instruction
(psikologi dan pengajaran). Ruang lingkup kajian psychology and instruction lebih sempit daripada psikologi, tetapi
masih lebih luas daripada didaksologi.
Ada
beberapa hal penting yang perlu penyusun kemukakan mengenai kajian psikologi
pendidikan, antara lain:
1. psikologi
pendidikan adalah pengetahuan kependidikan yang didasarkan atas hasil-hasil
temuan riset, psikologis;
2. hasil-hasil
temuan riset psikologis tersebut kemudian dirumuskan sedemikian rupa hingga
menjadi konsep-konsep, teori-teori, dan metode-metode serta strategi-strategi
yang utuh;
3. konsep,
teori, metode, dan strategi tersebut kemudian disistematisasikan sedemikian
rupa hingga menjadi “repertoire of
resources”, yakni rangkaian sumber yang berisi pendekatan yang dapat
dipilih dan digunakan untuk praktik-paktik kependidikan khususnya dalam proses
mengajar-belajar.
Dengan
demikian, dapat dipastikan bahwa pendekatan psikologi pendidikan adalah
pendekatan ilmiah “scientific approach”.
Oleh karenanya di samping sebagai psikolgis praktis, psikologi pendidikan juga
bersifat teoretis.
Kembali
ke masalah mengajar-belajar dan hubungannya dengan psikologi pendidikan, unsur
utama dalam pelaksanaan sebuah sistem pendidikan di mana pun adalah proses
mengajar-belajar. Di tengah-tengah proses edukatif (bersifat kependidikan) ini
baik di tempat pendidikan formal maupun informal, terdapat seorang tokoh yang
disebut guru. Sumber pengetahuan yang dapat membantu atau menolong guru dalam
mengelola mengajar-belajar tersebut adalah psikologi praktis, psikologi
pendidikan.
Sudah
tentu, masih ada sumber-sumber pengetahuan lainnya yang juga berhubungan dengan
proses mengajar-belajar. Pemahaman dan kemampuan guru yang kompeten dan
professional dalam memanfaatkan teknik-teknik psikologi pendidikan merupakan
hal yang tak pantas ditawar-tawar.
Para
ahli psikologi melakukan riset tingkah laku manusia berdasarkan metodologi
ilmiah. Mereka menarik simpulan dan merumuskan teori-teori dan asumsi-asumsi
berdasarkan hasil temuan riset ilmiah itu. Namun, harus diakui antara satu
teori dengan teori lainnya sering muncul pertentangan-pertentangan dan
ketidakajegan (inconsistency).
Anda,
baik selaku calon guru maupun guru yang sedang bertugas, tidak perlu memandang
psikologi pendidikan sebagai satu-satunya gudang penyimpan jawaban-jawaban yang
benar dan pasti atas persoalan-persoalan kependidikan yang Anda hadapi. Namun,
sebaliknya, Anda tetap perlu tahu bahwa dalam psikologi pendidikan terdapat
serangkaian stok informasi mengenai teori-teori dan praktik belajar, mengajar,
dan mengajar belajar yang dapat Anda pilih. Dalam hal ini, pilihan Anda
seyogiyanya diselaraskan dengan kebutuhan kontekstual sesuai dengan tuntutan
ruang dan zaman. Dengan kata lain, pilihan psikologis Anda tersebut harus cocok
dengan keperluan ke-kini-an dan ke-disiplinan, baik ditinjau dari sudut
kepentingan para siswa maupun dari sudut jenis dan sifat materi yang akan Anda
sajikan kepada mereka.
Apa yang Perlu Dipetik
dari Psikologi Pendidikan?
Sebelum
sampai pada pembahasan mengenai “buah” yang dapat dipetik dari psikologi
pendidikan, terlebih dahulu perlu penyusun utarakan manfaat psikologi ini bagi
guru dan calon guru. Menurut Lindgren sebagaimana dikutip Surya (1982), manfaat
psikologi pendidikan ialah untuk membantu para guru dan para calon guru dalam
mengembangkan pemahaman yang lebih baik mengenai pendidikan dan prosesnya.
Sementara
itu, Chaplin (1972) menitikberatkan manfaat psikologis pendidikan untuk
memecahkan masalah-masalah yang terdapat dalam dunia pendidikan dengan cara
menggunakan metode-metode yang disusun secara rapi dan sistematis. Hal ini
tercermin dalam ungkapannya: . . . the
application formalized methods for solving these problems. Tak perlu
dibedakan apakah masalah-masalah psikologis yang timbul itu dari pihak guru,
siswa, atau situasi mengajar-belajar yang dihadapi guru dan siswa yang
bersangkutan.
Dari
dua macam pendapat di atas dapat kita simpulkan bahwa, secara umum psikologi
pendidikan merupakan alat bantu yang penting bagi para penyelenggara pendidikan
dalam mencapai tujuan pendidikan yang telah ditetapkan. Mengapa demikian?
Karena prinsip yang terkandung dalam psikologi pendidikan dapat dijadikan
landasan berpikir dan bertindak dalam mengelola proses mengajar-belajar.
Sedangkan proses tersebut, sebagaimana yang telah penyusun singgung sebelumnya,
adalah unsur utama dalam pelaksanaan setiap sistem pendidikan.
Setidak-tidaknya
ada 10 macam kegiatan pendidikan yang banyak memerlukan prinsip-prinsip
psikologis, yakni: 1) seleksi penerimaan siswa baru; 2) perencanaan pendidikan;
3) penyusunan kurikulum; 4) penelitian pendidikan; 5) administrasi kependidikan;
6) pemilihan materi pelajaran; 7) interaksi mengajar-belajar; 8) pelayanan
bimbingan dan penyuluhan; 9) metodologi mengajar; 10) pengukuran dan evaluasi.
Dalam menerapkan prinsip-prinsip psikologi tersebut, diperlukan adanya figur-figur
guru yang kompeten.
Selanjutnya
guru yang kompeten dalam perspektif psikologi pendidikan adalah guru yang mampu
melaksanakan profesi secara bertanggung jawab. Adapun guru yang bertanggung
jawab adalah guru yang mampu mengelola proses mengajar-belajar sebaik-baiknya sesuai
dengan prinsip-prinsip psikologis. Dalam buku ini, penyusun sajikan pelbagai
informasi teoretis dan praktis yang dapat dipandang sebagai buah-buah yang bisa
dipilih dan dipetik sesuai dengan pertimbangan kebutuhan sebagaimana terungkap
di muka.
Adapun
mengenai buah yang perlu Anda petik dari psikologi pendidikan itu, akan
penyusun paparkan lebih lanjut. Namun, tentu Anda dapat memperbanyak buah-buah
yang perlu Anda petik dari psikologi pendidikan sepanjang Anda menemukannya.
Pertama, Proses
Perkembangan Siswa
Di
kalangan para guru dan orang tua siswa terkadang timbul pertanyaan apakah
perbedaan usia antara seorang siswa dengan siswa lainnya membuat perbedaan
substansial (berifat inti) dalam hal merespons pengajaran. Pertanyaan ini perlu
dicari jawabannya melalui pemahaman tahapan-tahapan perkembangan siswa dan
ciri-ciri khas yang mengiringi tahapan perkembangan mereka tersebut.
Tahapan-tahapan
perkembangan yang lebih perlu dipahami sebagai bahan pertimbangan pokok dalam
penyelenggaraan proses mengajar-belajar adalah tahapan-tahapan yang berhubungan
dengan perkembangan ranah cipta para siswa dalam menjalani proses
mengajar-belajar dan pembelajaran materi tertentu, serta dalam mengikuti proses
mengajar-belajar yang dikelols guru kelas.
Kedua, Cara Belajar Siswa
Di
mana pun proses pendidikan berlangsung, alasan utama kehadiran guru adalah
untuk membantu siswa agar belajar sebaik-baiknya. Oleh karena itu, adalah hal
esensial (pokok, dasar) bagi para guru untuk memahami sepenuhnya cara dan
tahapan belajar yang terjadi pada diri para siswanya.
Pengetahuan
Anda yang pokok mengenai proses belajar tersebut meliputi:
1.
signifikansi
(arti penting) belajar;
2.
teori-teori
belajar;
3.
hubungan belajar
dengan memori dan pengetahuan; dan
4.
fase-fase yang
dilalui dalam peristiwa belajar.
Di
samping ini semua, yang penting pula Anda pahami ialah pendekatanbelajar,
kesulitan belajar, dan alternatif-alternatif (pilihan-pilihan) yang dapat
diambil untuk menolong siswa. Anda dalam mengatasi kesulitan-kesulitan
belajarnya.
Ketiga, Cara Menghubungkan
Mengajar dengan Belajar
Tugas
utama guru sebagai pendidik sebagaimana ditetapkan oleh Undang-Undang Sistem
Pendidikan Nasional kita adalah mengajar. Secara singkat mengajar adalah
kegiatan menyampaikan pengetahuan dan nilai-nilai moral yang terkandung dalam
pengetahuan tersebut kepada siswa. Agar kegiatan mengajar ini diterima oleh
para siswa, guru perlu berusaha membangkitkan gairah dan minat belajar mereka.
Kebangkitan gairah dan minat belajar para siswa akan mempermudah guru dalam
menghubungkan kegiatan mengajar dengan kegiatan belajar.
Oleh
karena itu, sebagai calon guru atau guru yang sedang bertugas, Anda sangat
diharapkan mengerti benar seluk-beluk mengajar baik dalam arti individual
(seperti remedial teaching/mengajar
perbaikan bagi siswa bermasalah) maupun dalam arti klasikal. Dalam hal ini,
Anda tentu dituntut pula untuk memahami model-model mengajar, metode-metode dan
strategi-strategi mengajar. Kemudian, metode-metode dan strategi ini Anda
terapkan secara cermat dalam proses mengajar-belajar yang Anda kelola.
Keempat, Pengambilan
Keputusan untuk Pengelolaan PMB
Dalam
mengelola sebuah proses mengajar-belajar (PMB), seorang guru dituntut untuk
menjadi figur sentral (tokoh inti) yang kuat dan berwibawa namun tetap
bersahabat. Sebelum mengelola sebuah proses mengajar belajar, Anda perlu
merencanakan terlebih dahulu satuan bahan atau materi dan tujuan-tujuan yang
hendak dicapai. Sesuai perencanaan materi dan tujuan penyajiannya, Anda perlu
menetapkan kiat yang tepat untuk menyampaikan materi tersebut kepada para siswa
dalam situasi mengajar-belajar yang efisien.
Untuk
memenuhi kebutuhan yang berkaitan dengan kegiatan di atas, Anda dituntut untuk
menempatkan diri sebagai pengambil atau pembuat keputusan (decision maker) yang penuh perhitungan utung-rugi ditinjau dari
sudut kajian psikologis. Jika tidak, pengelolaan tahap-tahap interaksi
mengajar-belajar akan tersendat-sendat dan boleh jadi akan gagal mencapai
tujuannya.
Agar
sebuah pengelolaan proses belajar-mengajar mencapai sukse, seorang guru
hendaknya memandang dirinya sendiri sebagai seorang professional yang efektif.
Lalu, pandangan positif ini diejawantahkan dalam bentuk upaya-upaya pengambilan
keputusan mengenai materi pelajaran yang sesuai dengan kebutuhan para siswa dan
penegasan tujuan-tujuan penyajian materi tersebut secara eksplisit, yakni
tersurat dan gambling. Keputusan lain yang harus diambil selanjutnya adalah
penetapan pendekatan, metode, dan strategi mengajar yang menurut tinjauan
psikologis sesuai dengan jenis dan sifat materi, tugas yang akan diberikan
kepada para siswa dan situasi mengajar-belajar yang diharapkan.
Namun
dalam hal pengambilan keputusan-keputusan diatas perlu penyusun utarakan
hambatan-hambatan yang umum dialami para guru. Faktor-faktor penghambat—atau
paling tidak pembatas gerak—pembuatan keputusan-keputusan instruksional yang
sering merintangi para guru pada umumnya meliputi:
1. kurangnya
kesadaran guru terhadap masalah-masalah belajar yang mungkin sedang dihadapi;
2. kesetiaan
terhadap gagasan lama yang sebenarnya sudah tak dapat diberlakukan lagi;
3. kurangnya
sumber-sumber informasi yang diperlukan; dan
4. ketidakcermatan
observasi terhadap situasi mengajar-belajar.
Selain
hal-hal di atas, hambatan mungkin pula dari perbedaan harapan guru dan siswa.
Beberapa orang siswa dalam sebuah kelas misalnya, mungkin memiliki cita-cita
memenuhi kebutuahn masa depannya yang sama sekali berbeda dengan rekan-rekannya
atau bahkan menyimpang dari karakteristik sekolah yang mereka ikuti. Perbedaan
seperti ini akan mengakibatkan munculnya perbedaan gaya belajar, sikap, dan
perilaku mereka selama membaur dalam proses mengajar-belajar. Selanjutnya,
tekanan dari luar dapat pula mempengaruhi kemulusan pengambilan keputusan oleh
guru. Tekanan lua ini bisa datang dari orang tua sisiwa, aturan adminstratif
sekolah, fasilitas yang tersedia, dan sebagainya.
Sumber
: Buku Psikologi Pendidikan, Muhibbin Syah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar