Ragam
Arti Pendidikan dan Pengajaran
Akar
pendidikan adalah “didik” atau “mendidik” yang secara harfiah artinya
memelihara dan memberi latihan. Sedangkan “pendidikan”, seperti yang pernah
penyusun singgung sebelum ini adalah tahapan-tahapan kegiatan mengubah sikap
dan perilaku seseorang atau sekelompok orang melalui upaya pengajaran dan
pelatihan.
Dalam
bahasa Arab, pendidikan disebut “tarbiyah”
yang berarti proses persiapan dan pengasuhan manusia pada fase-fase awal
kehidupannya yakni pada tahap perkembangan masa bayi dan kanak-kanak (Jalal,
1988). Dalam sebuah Kamus Arab-Inggris
Modern disebutkan kata rabba, dan
rabbaba, dan tarabbabal walada memiliki arti yang sama yakni so foster atau to bring up (Elias &
Elias, 1982), artinya memelihara mengasuh anak.
Dalam
bahasa Inggris, pendidikan disebut education
yang kata kerjanya to educate.
Padanan kata ini adalah to civilize, to
develop, artinya memberi peradaban dan mengembangkan. Istilah education
memiliki dua arti, yakni dari sudut orang yang menyelenggarakan pendidikan dan
arti dari sudut orang yang dididik. Dari sudut pendidik, education berarti
perbuatan atau proses memberikan pengetahuan atau mengajarkan pengetahuan.
Sedangkan dari sudut peserta didik, education berarti proses atau perbuatan
memeroleh pengetahuan.
Sementara
itu, Poerbakawatja & Harahap (1981), Poerwanto (1985), dan Winkel (1991)
masing-masing mengartikan pendidikan dengan ungkapan yang maksudnya relatif
sama bahwa pendidikan adalah usaha yang disengaja dalam bentuk perbuatan,
bantuan, dan pimpinan orang dewasa kepada anak-anak agar mencapai kedewasaan.
Tekanan mereka dalam hal ini ialah bahwa pendidikan itu harus dilakukan oleh
orang dewasa, sedangkan yang dididik harus orang belum dewasa (anak-anak).
Adapun
mengenai istilah “pengajaran” menurut Kamus
Besar Bahasa Indonesia (1991) berasal dari kata “ajar”, artinya petunjuk
yang diberikan kepada orang supaya diketahui (diturut). Kata “mengajar” berarti
memberi pelajaran. Contoh: “Guru itu mengajar murid matematika.” Sedangkan kata
“mengajarkan” berarti memberikan pelajaran. Contoh: siapa yang mengajarkan
sejarah kepada murid-murid kelas IV?” Berdasarkan arti-arti ini, kemudian Kamus Besar Bahasa Indonesia itu
mengartikan pengajaran sebagai “proses perbuatan, cara mengajar atau
mengajarkan”.
Selanjutnya
dalam bahasa Arab, pengajaran disebut “taklim”
(terkadang ditulis “ta’lim”) yang
berasal dari kata ‘allama, dan padanannya “hazzaba” (terkadang ditulis “hadzdzaba”). Dalam Kamus Arab-Inggris
susunan Elias & Elias (1992), kata-kata tersebut berarti : to educate; to train; to teach; to instruct, yakni mendidik, melatih,
dan mengajar. Ungkapan kata “allama al-‘ilma” berarti to teach atau to instruct
(mengajar).
Ilmu
pengetahuan yang berhubungan dengan pengajaran disebut fannu al-taklim yang dalam bahasa Inggris diterjemahkan dengan kata
pedagogy dan pedagogics yang artinya ilmu mengajar. Pedagogi dan pedagogic adalah dua kata yang sama artinya yakni ilmu
pengetahuan, seni, prinsip, dan perbuatan mengajar (Tardif, 1987; Reber, 1988;
Mcleod, 1989). Sedangkan orang yang mengaplikasikan pedagogi atau pedagogic
tersebut dikenal dengan nama pedagog (pedagogue)
yang berarti guru atau pendidik. Alhasil, perbedaan arti pedagogi sebagai
pendidikan dengan pedagogik sebagai ilmu pendidikan yang selama ini kita
pahami, masih perlu dipertanyakan kesahihannya.
Selanjutnya,
istilah pengajaran dalam bahasa Inggris disebut instruction atau teaching.
Akar kata instruction adalah to instruct, artinya to direct to do something; to teach to do something; to furnish with information, yakni
memberi pengaruhnya agar melakukan sesuatu; mengajar agar melakukan sesuatu;
memberi informasi. Istilah instruction
(pengajaran) menurut Reber (1988) berarti: pendidikan atau proses perbuatan
mengajarkan pengetahuan.
Sementara
itu, Tardif (1987) memberi arti instruction secara lebih terperinci yaitu: A preplanned, goal directed educational
proses designed to facilitate learning. Artinya, pengajaran adalah sebuah
proses kependidikan yang sebelumnya direncanakan dan diarahkan untuk mencapai
tujuan serta dirancang untuk mempermudah belajar.
Hakekat
Hubungan Pendidikan dengan Pengajaran
Pendidikan,
menururt Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
Bab 1 Pasal 1, adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana
belajar dan proses pembelajaran agar secara aktif mengembangkan potensi
dirinya. Pengertian ini, secara implisit menafikan atau mengingkari/menampik
kehadiran orang dewasa sebagai satu-satunya orang yang berhak menjadi
penyelenggara pendidikan atau menjadi guru/pendidik sebagaimana yang
dikehendaki sebagian ahli yang terkesan masih berpikiran tradisional itu.
Konsep
“orang dewasa” sebagai pendidik dan pengajar dalam dunia pendidikan modern ini
memang semakin kabur, apalagi jika dikaitkan dengan pendidikan tinggi atau
pendidikan kedinasan. Para peserta didik dalam institusi-institusi kependidikan
tersebut dapat dikatakan terdiri atas orang-orang dewasa semua, bahkan sebagian
di antaranya ada yang sudah berusia setengah baya. Dalam keadaan demikian, tak
bolehkah orang masih muda (tetapi berkemampuan memadai) mendidik mereka yang
pada umumnya lebih tua? Jawabnya, tentu saja tak ada masalah. Sebab, yang lebih
dipentingkan dalam dunia pendidikan dan pengajaran bukan soal usia, melainakan
kemampuan psikologis yang memadai.
Selama
pendidik memiliki kemampuan psikologis kependidikan yang dapat
dipertanggungjawabkan, meskipun usianya masih muda atau mungkin jauh lebih muda
daripada yang dididik, dia tetap berhak untuk diakui sebagai pendidik. Pada
zaman sekaran ini, cukup banyak asisten dosen dan dosen yang brilian berusia
muda apalagi di perguruan tinggi terkemuka di negara-negara maju. Mereka itu,
walaupun relatif masih muda, bahkan konon ada yang belum genap 20 tahun,
penguasaannya atas materi dan metodologi sangat meyakinkan. Mereka bahkan mampu
berpenampilan lebih dewasa daripada para mahasiswa, yang relatif lebih tua.
Para
pendidik yang tugas utamanya mengajar, baik guru maupun dosen sebagaimana yang
diisayaratkan oleh undang-undang, tidak memerlukan syarat usia. Criteria yang
membatasi usia tertentu untuk menjadi tenaga pengajar atau pendidik dalam
psikologi pendidikan masa kini hampir tak pernah lagi disinggung-singgung.
Tetapi hal ini tentu tidak berarti anak-anak atau remaja yang nyata-nyata tidak
memenuhi syarat psikologis boleh menjadi pendidik atau guru.
Syarat
psikologis yang lengkap, utuh, dan menyeluruh bagi seorang calon guru untuk setiap
jenjang pendidikan meliputi kompetensi profesionalisme keguruan, yakni
kompetensi ranah cipta (kognitif); kompetensi ranah rasa (psikomotor). Asal
kompetensi profesionalisme keguruan ini terpenuhi, berapa pun usia guru tentu
layak untuk di angkat menjadi guru. Prinsip yang bersifat psikologis ini selain
luwes dan menghargai potensi anugerah Tuhan, juga tidak berlawanan dengan
prinsip konstitusional yang sama sekali tidak menetapkan usia tertentu untuk
diangkat menjadi pendidik.
Selanjutnya
pengertian pendidikan menurut UUSPN di atas juga menafikan keharusan adanya
anak-anak atau orang belum dewasa sebagai satu-satunya kelompok yang berhak
memeroleh pendidikan. Penafian ini jelas dapat dinilai tepat baik ditinjau dari
sudut psikologi pendidikan maupun dari sudut kenyataan lapangan. Dari sudut
kenyataan yang ada dan berkembang dalam tatanan dunia pendidikan modern
sekarang, peserta didik bisa saja terdiri atas pelbagai kelompok usia mulai
kanak-kanak sampai dewasa, bahkan kelompok yang mendekati lanjut usia.
Ambillah
contoh pendidikan kedinasan. Pendidikan kedinasan jelas bukan pendidikan
anak-anak, melainkan untuk para pegawai atau para calon pegawai instansi
pemerintahan dalam meningkatkan kemampuan pelaksanaan tugas kedinasan mereka.
Contoh lain misalnya pendidikan professional. Jalur pendidikan ini diarahkan
pada kesiapan penerapan keahlian atau profesi tertentu, yang kalau pesertanya
anak-anak tentu tak mungkin dapat mengikuti pendidikan tersebut.
Alhasil,
pendidikan pada hakikatnya seperti dinyatakan para ahli psikologi dan
pendidikan antara lain Chaplin (1971), Tardif (1987), dan Reber (1988), adalah
pengembangan potensi atau kemampuan manusia secara menyeluruh yang
pelaksanaannya dilakukan dengan cara mengajarkan pelbagai pengetahuan dan
kecakapan yang dibutuhkan oleh manusia itu sendiri. Hakikat pendidikan yang
dikemukakan para ahli di atas tenyata juga sama dengan persepsi para penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia (1991).
Dalam kamus ini, secara tegas dinyatakan bahwa pendidikan adalah tahapan pengubahan
sikap dan tingkah laku manusia baik sebagai individu maupun sebagai kelompok
melalui ikhtiar pengajaran dan pelatihan. Dalam perspektif psikologi, pelatihan
sebenarnya masih berada dalam ruang lingkup pengajaran. Artinya, pelatihan
adalah salah satu unsur pelaksanaan proses pengajaran terutama dalam pengajaran
keterampilan ranah karsa.
Selain
pengajaran dan pelatihan, dalam pendidikan juga diperlukan adanya bimbingan
sebagaimana tersebut pada beberapa pasal dalam UUSPN 2003. Bimbingan, seperti
juga pelatihan, adalah bagian penting dari pengajaran. Sebuah upaya pengajaran
tanpa bimbingan bukanlah pengajaran yang ideal karena akan berdampak
terabaikannya penanggulangan kesulitan belajar dan pelaksanaan remedial
teaching yang secara psikologis didaktis merupakan salah satu keharusan bagi
guru.
Berdasarkan
uraian di atas, dan juga uraian mengenai ragam arti pendidikan dan pengajaran,
sekarang jelas betapa eratnya hakikat hubungan antara pendidikan dengan
pengajaran. Namun, benarkah pendidikan lebih utama daripada pengajaran?
Dapatkah pendidikan berjalan tanpa pengajaran? Apakah penyelenggaraan
pengajaran tidak berarti juga penyelenggaraan pendidikan? Pertanya-pertanyaa
seperti inilah yang sering mengusik sebagian besar mahasiswa pembelajar
psikologi pendidikan khususnya yang penyusun kelola sendiri.
Selain
itu, ada pula beberapa macam persepsi sumbang yang muncul di kalangan mahasiswa
mengenai hakikat hubungan pendidikan dengan pengajaran, antara lain yang paling
menonjol bahwa pendidikan itu:
1. jauh
berbeda dengan pengajaran;
2. lebih
penting dengan daripada pengajaran;
3. karena
pengajaran hanya menanamkan pengetahuan ke dalam aspek kognitif (ranah cipta)
dan sedikit memberikan keterampilan psikomotor, sedang aspek afektif (ranah
rasa) tak pernah tersentuh.
Persepsi-persepsi
seperti di atas tentu tidak akan ada dalam diri mahasiswa kalau bukan karena
pengalaman belajar mereka dan/atas karena kesaksian mereka terhadap kenyataan
yang tampak di lapangan. Namun apa pun alasannya, mengubah persepsi yang kurang
selaras dengan prinsip-prinsip psikologi pendidikan itu ternyata tidak gampang.
Kesukaran yang penyusun hadapi acapkali semakin parah ketika mereka menyatakan
bahwa persepsi tersebut “pas benar” dengan penjelasan beberapa staf pengajar
mata kuliah lain yang di antaranya konon lebih senior daripada penyusun.
Adalah
persepsi yang keliru apabila pendidikan dianggap jauh berbeda dengan
pengajaran. Pengajaran boleh jadi tidak sama persis dengan pendidikan, tetapi
tidak berarti di antara keduanya terdapat jurang pemisah yang mengakibatkan
timbulnya perbedaan yang mencolok. Pendidikan boleh juga dipandang lebih utama
daripada pengajaran dalam arti sebagai konsep ideal (sebagai landasan hukum).
Namun, sulit dipercaya apabila ada sebuah sistem pendidikan dapat berjalan tanpa
pengajaran. Oleh karena itu, pengajaran dengan segala bentuk dan perwujudannya
seyogiyanya dipandang sebagai konsep operasional yang berposisi lebih kurang
setara—kalau bukan persis—dengan pendidikan sebagai konsep ideal. Alhasil,
menurut hemat penyusun, hakikat hubungan antara pendidikan dengan pengajaran
itu kira-kira ibarat dua sisi mata uang logam yang satu sama lain saling
memerlukan.
Selanjutnya,
istilah pendidikan memang mengandung arti yang luas, yakni meliputi semua upaya
menumbuhkembangkan seluruh kemampaun ranah psikologis individu manusia yang
terkadang dapat dilakukan dengan cara self-instruction
(mengajar diri sendiri). Cara melakasanakan pendidikan disebut mendidik. Jadi,
seorang guru sehari-harinya mengajar agama mislanya, ia dapat juga disebut
sebagai pendidik agama selain pengajar agama.
Di
pihak lain, jika orangtua berkehendak mendidik anaknya dalam bidang agama, maka
ia tak akan terlepas dari upaya pengajaran agama dengan cara dan kemampuannya
sendiri. Dalam hal ini, pengajaran agama orang tua itu tentu tidak harus
dilaksanakan dengan cara berceramah seperti guru kelas, tetapi dengan memberi
wejangan, teladan, dan bimbingan praktis sesuai dengan ajaran agama yang
diyakininya.
Sebagai
catatan penguat uraian mengenai peranan pengajaran, penyusun utarakan sebuah
asumsi bahwa dalam pelaksanaan sehari-hari, proses pengajaran itu (taklim) sudah lebih dahulu ada dan lebih
universal daripada pendidikan (tarbiyah).
Sebagai bukti, ketika Rasulullah SAW mengajarkan Tilawatul Quran kepada para sahabtnya, beliau tidak membatasi
sampai mereka pandai membaca kitab suci secara fasih tetapi lebih jauh lagi,
mereka diajari sampai pandai membaca Al-Qur’an dengan renungan pemahaman,
tanggung jawab, dan penanaman amanah (Jalan, 1988).
Berdasarkan
alasan-alasan di atas, nyatalah bahwa pengajaran memiliki signifikansi yang
vital dalam proses pendidikan. Bahkan karena demikian pentingnya arti pengajaran
(taklim) maka Al-Qur’an mengungkapkan istilah ini berkali-kali, antara lain:
1) Dalam
Al-Baqarah: 31,
Dan Allah telah ‘mengajarkan’
kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya.
2) Dalam
Al-Baqarah: 151,
Allah telah ‘mengajarkan’ kepada
kamu apa yang belum kamu ketahui.
Kemudian,
perhatikanlah Al-Baqarah: 282, Al-Kahfi: 65; dan Al-Rahman: 2 dan 4.
Sementara
itu, kata “tarbiyah” (pendidikan) dalam Al-Qur’an hanya terdapat dalam:
1) Surah
Bani Israil: 24
dan ucapkanlah ‘Ya Tuhan,
kasihanilah mereka berdua sebagaimana mereka telah “mendidik” aku (rabbayani)
waktu kecil
2) Surah
Asy Syu’ra : 18
Fir’aun menjawab: Bukankah kami
telah ‘mengasuhmu’(nurabbika) di antara (keluarga) kami, waktu kamu masih
kanak-kanak dan kamu tinggal bersama kami beberapa tahun dari umurmu
Kata
“waktu kecil” (shaghiran) dan kata “kanak-kanak” (walidan) di antara ayat-ayat
di atas, menunjukkan bahwa pendidikan itu terutama merupakan kewajiban
keluarga, khususnya ketika anak-anak dalam fase perkembangan awal yakni masa
bayi dan anak-anak.
Sumber
: Buku Psikologi Pendidikan, Muhibbin Syah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar