Minggu, 21 September 2014

Ilmu Kalam I Hubungan Ilmu Kalam, Filsafat, Dan Tasawuf


 

TITIK PERSAMAAN

Ilmu kalam, filsafat, dan tasawuf mempunyai kemiripan objek kajian. Objek kajian ilmu kalam adalah ketuhanan dan segala sesuatu yang berkaitan dengan-Nya. Objek kajian filafat adalah masalah ketuhanan di samping masalah alam, manusia, dan segala sesuatu yang ada. Sementara itu objek kajian tasawuf adalah Tuhan, yakni upaya-upaya pendekatan terhadap-Nya. Jadi, dilihat dari aspek objeknya, ketiga ilmu itu membahas masalah yang berkaitan dengan ketuhanan.

Argumentasi filsafat –sebagaimana ilmu kalam- dibangun di atas dasar logika. Oleh karena itu, hasil kajiannya bersifat spekulatif (dugaan yang tak dapat dibuktikan secara empiris, riset, dan eksperimental). Kerelatifan hasil karya logika itu menyebabkan beragamnya kebenaran yang dihasilkannya.

Baik ilmu kalam, filsafat, maupun tasawuf berurusan dengan hal yang sama, yaitu kebenaran. Ilmu kalam, dengan metodenya sendiri berusaha mencari kebenaran tentang Tuhan dan yang berkaitan dengan-dengan-Nya. Filsafat dengan wataknya sendiri pula, berusaha menghampiri kebenaran, baik tentang alam maupun manusia (yang belum atau tidak dapat dijangkau oleh ilmu pengetahuan karena berada di luar atau d atas jangkauannya), atau tentang Tuhan. Sementara itu, tasawuf –juga dengan metodenya yang tipikal- berusaha menghampiri kebenaran yang berkaitan dengan perjalanan spiritual menuju Tuhan.
TITIK PERBEDAAN

Perbedaan di antara ketiga ilmu tersebut terletak pada aspek metodologinya. Ilmu kalam, sebagai ilmu yang menggunakan logika –di samping argumentasi-argumentasi naqliah- berfungsi untuk memepertahankan keyakinan ajaran agama, yang sanagt tampak nilai-nili apologinya. Pada dasarnya ilmu ini menggunakan metode dialektika (jadaliah) dikenal juga dengan istilah dialog keagamaan. Sebagai sebuah dialog keagamaan, ilmu kalam berisi keyakinan-keyakinan kebenaran agama yang dipertahankan melalui argumen-argumen rasional. Sebagian ilmuwan bahkan mengatakan bahwa ilmu ini berisi keyakinan-keyakinan kebenaran, praktek dan pelaksanaan ajaran agama, serta pengalaman keagamaan yang dijelaskan dengan pendekatan rasional.

Sementara itu, filsafat adalah sebuah yang digunakan untuk memperoleh kebenaran rasional. Metode yang digunakannya pun adalah metode rasional. Filsafat menghampiri kebenaran dengan cara menuangkan (mengembarakan atau mengelanakan) akal budi secara radikal (mengakar) dan integral (menyeluruh) serta universal (mengalam); tidak merasa terikat oleh ikatan apapun, kecuali oleh ikatan tangannya sendiri yang bernama logika. Peranan filsafat sebagaimana dikatakan Socrates adalah berpegang teguh pada ilmu pengetahuan melalui usaha menjelaskan konsep-konsep (the gaining of conceptual clarity).

Berkenaan dengan keragaman kebenaran yang dihasilkan oleh kerja logka maka di dalam filsafat dikenal apa yang disebut kebenaran korespondensi. Dalam pandangan korespondensi, kebenaran adalah persesuaian antara pernyataan fakta dan data itu sendiri. Dengan bahasa yang sederhana, kebenaran adalah persesuaian antara apa yang ada di dalam rasio dengan kenyataan sebenarnya di alam nyata.

Di samping kebenaran korespondensi, di dalam filsafat juga dikenal kebenarn koherensi. Dalam pandangan koherensi, kebenaran adalah kesesuaian antara suatu pertimbangan baru dan suatu pertimbangan yang telah diakui kebenarannya secara umum dan permanen. Jadi, kebenaran dianggap tidak benar kalau tidak sesuai dengan kebenaran yang dianggap benar oleh ulama umum.

Di samping dua macam kebenaran di atas, di dalam filsafat dikenal juga kebenaran pragmatik. Dalam pandangan pragmatism, kebenaran adalah sesuatu yang bermanfaat (utility) dan mungkin dapat dikerjakan (workability) dengan dampak yang memuaskan. Jadi, sesuatu akan dianggap tidak benar kalau tidak tampak manfaatnya secara nyata dan sulit untuk dikerjakan.   

Adapun ilmu tasawuf adalah ilmu yang lebih menekankan rasa daripada rasio. Oleh sebab itu, filsafat dan tasawuf sangat distingtif. Sebagai sebuah ilmu yang prosesnya diperoleh dari rasa, ilmu tasawuf bersifat sangat subjektif, yakni sangat berkaitan dengan pengalaman seseorang. Itulah sebabnya, bahasa tasawuf sering tampak aneh bila dilihat dari aspek rasio. Hal ini karena pengalaman rasa sangat sulit dibahasakan. Pengalaman rasa lebih mudah dirasakan langsung oleh orang yang ingin memperoleh kebenarannya dan mudah digambarkan dengan bahasa lambang, sehingga sangat interpretable (dapat diinterpretasikan bermacam-macam). Sebagian pakar mengatakan bahwa metode ilmu tasawuf adalah intuisi, atau ilham, atau inspirasi yang datang dari Tuhan. Kebenaran yang dihasilkan ilmu tasawuf dikenal dengan istilah kebenaran hudhuri, yaitu suatu kebenaran yang objeknya datang dari dalam diri subjek sendiri. Itulah sebabnya dalam sains dikenal istilah objeknya swa-objek, atau objeknya tidak objek. Ilmu seperti ini dalam sains dikenal dengan ilmu yang diketahui bersama atau tactic knowledge, dan bukan ilmu proporsional.

Di dalam pertumbuhannya, ilmu kalam (teologi) berkembang menjadi teologi rasional dan teologi tradisional. Filsafat berkembang menjadi sains dan filsafat sendiri. Sains berkembang menjadi sains kealaman, sosial, dan humaniora; sedangkan filsafat berkembang lagi menjadi filsafat klasik, pertengahan, dan filsafat modern. Tasawuf selanjutnya berkembang menjadi tasawuf praktis dan tasawuf teoretis.

Dilihat dari aspek aksiologi (manfaatnya), teologi –di antaranya- berperan sebagai ilmu yang mengajak orang yang baru untuk mengenai rasio sebagai upaya mengenal Tuhan secara rasional. Adapun filsafat, lebih berperan sebagai ilmu yang mengajak kepada orang yang mempunyai rasio secara prima untuk mengenal Tuhan secara lebih bebas melalui pengamatan dan kajian alam dan ekosistemnya langsung. Dengan cara ini, orang yang telah mempunyai rasio sangat prima diharapkan dapat mengenal Tuhan secara meyakinkan melalui rasionya. Adapun tasawuf lebih berperan sebagai ilmu yang memberi kepuasan kepada orang yang telah melepaskan rasionya secara bebas karena tidak memperoleh apa yang ingin dicarinya.

Sebagian orang memandang bahwa ketiga ilmu itu memiliki jenjang tertentu. Jenjang pertama adalah ilmu kalam, kemudian fisafat dan yang terakhir adalah ilmu tasawuf. Oleh sebab itu, merupakan suatu kekliruan apabila dialektika kefilsafatan atau tasawuf teoretis diperkenalkan kepada masyarakat awam karena akan berdampak pada terjadinya rational jumping (lompatan pemikiran).

TITIK SINGGUNG ANTARA ILMU KALAM DAN ILMU TASAWUF

Ilmu kalam, sebagaimana telah disebutkan terdahulu, merupakan disiplin ilmu keislaman yang mengedepankan pembicaraan tentang persoalan-persoalan kalam Tuhan. Persoalan-persoalan kalam ini biasanya mengarah pada perbincangan yang mendalam dengan dasar-dasar argumentasi, baik rasional (aqliyah) maupun naqliyah. Argumentasi rasional yang dimaksudkan adalah landasan pemahaman yang cenderung menggunakan metode berpikir filosofis, sedangkan argumentasi naqliyah biasanya bertendensi pada argumentasi berupa dalil-dalil Quran dan Hadis. Ilmu kalam sering menempatkan dirinya pada kedua pendekatan ini (aqli dan naqli), suatu metode argumentasi yang dialektik. Jika pembicaraan ilmu kalam ini hanya berkisar pada keyakinan-keyakinan yang harus dipegang oleh umat Islam, tanpa argumentasi rasional, ilmu ini lebih spesifik mengambil bentuk sendiri dengan istilah ilmu tauhid atau ilmu aqa’id.

Pembicaraan materi yang tercakup dalam ilmu kalam terkesan tidak menyentuh dzauq (rasa rohaniah). Sebagai contoh, ilmu tauhid menerangkan bahwa Allah bersifat Sama’ (Mendengar), Bashar (Melihat), Kalam (Berbicara), Iradah (Berkemauan), Qudrah (Kuasa), Hayat (Hidup), dan sebagainya. Namun, ilmu kalam atau ilmu tauhid tidak menjelaskan bagaimanakah seorang hamba dapat merasakan langsung bahwa Allah mendengar dan melihatnya; Bagaimana pula perasaan hati seseorang ketika membaca (Al-Qur’an); Dan bagaimana seseorang merasa bahwa segala sesuatu yang tercipta merupakan pengaruh dari Qudrah (Kekuasaan) Allah?

Pertanyaan ini sulit terjawab apabila hanya melandaskan diri pada ilmu tauhid atau ilmu kalam. Biasanya, yang membicarakan tentang penghayatan sampai pada penanaman kejiawaan manusia adalah ilmu tasawuf. Disiplin inilah yang membahas bagaimana merasakan nilai-nili akidah dengan memperhatikan bahwa persoalan tadzawwuq (bagaimana merasakan) tidak saja termasuk dalam lingkup hal yang sunah atau dianjurkan, tetapi justru termasuk hal yang diwajibkan.

As-Sunnah memberikan perhatian yang begitu besar terhadap masalah tadzawwuq. Ini tampak pada Hadis Rasul yang dikutip dari Said Hawwa: “Yang merasakan iman adalah orang yang rida kepada Allah sebagai Tuhan, rida kepada Islam sebagai agama, dari rida kepada Muhammad sebagai Rasul”. Dalam hadis lain, Rasulullah pun pernah mengungkap, “Ada tiga perkara yang mengakibatkan seorang dapat merasakan lezatnya iman: Orang yang mencintai Allah dan Rasul-Nya lebih dari yang lain; Orang yang mencintai hamba karena Allah; dan orang yang takut kembali kepada kekufuran, seperti ketakutannya untuk dimasukkan ke dalam api neraka.”

Pada ilmu kalam ditemukan pembahasan iman dan definisinya, kekufuran dan manifestasinya, serta kemunafikan dan batasannya. Adapun pada ilmu tasawuf ditemukan pembahasan jalan atau metode praktis untuk merasakan keyakinan dan ketentraman, serta upaya menyelematkan diri dari kemunafikan. Tidaklah cukup bagi seseorang yang hanya mengetahui batasan-batasannya. Hal ini karena terkadang seseoang yang sudah tahu batasan-batasan kemunafikan pun tetap saja melaksanakannya. Allah berfirman:

“Orang-orang Arab Badui itu berkata, “Kami telah beriman.” Katakanlah, “Kamu belum beriman.” tetapi katakanlah, “Kami telah berislam” (tunduk)”. Karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu.” (Al-Hujurat : 14)

Ath-Thabrani, dalam kitab Al-Kabir, meriwayatkan Hadis sahih dari Ibnu Umar r.a. Ia berkata:

Artinya:

“Pada suatu hari saya bersama-sama dengan Nabi. Beliau didatangi oleh Hurmalah bin Zaid. Ia duduk di hadapan Nabi seraya berkata, ‘Wahai Rasulullah, iman itu di sini (sambil mengisyaratkan pada lisannya) dan kemunafikan itu di sini (seraya menunjuk dadanya). Kami tidak pernah mengingat Allah, kecuali sedikit. Rasulullah mendiamkannya, maka Hurmalah mengulangi ucapannya tadi, lalu Rasulullah SAW. memegang Hurmalah seraya berdoa: ‘Ya Allah jadikanlah untuknya lisan yang jujur dan hati yang bersyukur, kemudian jadikan dia mencintai orang yang cinta kepadaku, dan jadikanlah urusannya baik’. Kemudian Hurmalah berkata, ‘Wahai Rasulullah aku mempunyai banyak teman yang munafik, dan aku adalah pemimpin mereka, tidakkah aku akan memberi tahu nama-nama mereka kepadamu?’ Rasulullah SAW. menjawab, ‘Siapa yang datang kepada kami, kami akan mengampuninya sebagaimana kami mengampunimu, dan siapa yang berketetapan hati untuk melaksanakan agamanya, maka Allah lebih utama baginya, janganlah menembus tirai (hati) seseorang!”

Dalam kaitannya dengan ilmu kalam, ilmu tasawuf berfungsi sebagai pemberi wawasan spiritual dalam pemahaman kalam. Penghayatan yang mendalam lewat hati (dzauq dan widjan) terhadap ilmu tauhid atau ilmu kalam menjadikan ilmu ini lebih terhayati atau teraplikasikan dalam perilaku. Dengan demikian, ilmu tasawuf merupakan penyempurna ilmu tauhid jika dilihat bahwa ilmu tasawuf merupakan sisi terapan rohaniyah dari ilmu tauhid.

Ilmu kalam pun berfungsi sebagai pengendali ilmu tasawuf. Oleh karena itu, jika timbul suatu aliran yang bertentangan dengan akidah, atau lahir suatu kepercayaan baru yang bertentangan dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah, hal itu merupakan penyimpangan atau penyelewengan. Jika bertentangan atau tidak pernah diriwayatkan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, atau belum pernah diriwayatkan oleh ulama-ulama salaf, hal itu harus ditolak.

Selain itu, ilmu tasawuf mempunyai fungsi sebagai pemberi kesadaran rohaniah dalam perdebatan-perdebatan kalam. Sebagaimana disebutkan bahwa ilmu kalam dalam dunia Islam cenderung menjadi sebuah ilmu yang mengandung muatan rasional di samping muatan naqliyah. Jika tidak diimbangi oleh kesadaran rohaniah, ilmu kalam dapat bergerak ke arah yang lebih liberal dan bebas. Di sinilah ilmu tasawuf berfungsi memberi muatan rohaniah sehingga ilmu kalam tidak dikesani sebagai dialektika keislaman belaka, yang kering dari kesadaran penghayatan atau sentuhan secara qabliyah (hati).

Bagaimanapun amalan-amalan tasawuf mempunyai pengaruh yang besar dalam ketauhidan. Jika rasa sabar tidak ada, misalnya, muncullah kekufuran. Jika rasa syukur sedikit, lahirlah suatu bentuk kegelapan sebagai reaksi. Begitu juga ilmu tauhid dapat memberikan kontribusi kepada ilmu tasawuf. Sebagai contoh, jika cahaya tauhid telah lenyap, akan timbullah penyakit-penyakit kalbu, seperti ujub, congkak, riya, dengki, hasud, dan sombong. Andaikata manusia sadar bahwa Allah-lah yang memberi, niscaya rasa hasud dan dengki akan sirna. Kalau saja dia tahu kedudukan penghamabaan diri, niscaya tidak akan ada perbuatan kekuasaan. Kalau saja manusia sadar bahwa Allah-lah pencipta segala sesuatu, niscaya tidak akan ada sifat ujub dan riya. Dari sinilah dapat dilihat bahwa ilmu tauhid merupakan jenjang pertama dalam pendakian menuju Allah (pendakian para kaum sufi).

Untuk melihat lebih lanjut hubungan antara ilmu taswuf dan ilmu tauhid, alangkah baiknya menengok paparan Al-Ghazali. Dalam bukunya yang berjudul Asma al-Husna, Al-Ghazali telah menjelaskan dengan baik persoalan tauhid kepada Allah, terutama ketika menjelaskan nama-nama Allah, materi pokok ilmu tauhid. Menurutnya nama Tuhan Ar-Rahman dan Ar-Rahim, pada aplikasi rohaniahnya merupakan sebuah sifat yang harus diteladani. Jika sifat Ar-Rahman diaplikasikan, seseorang akan memandang orang yang durhaka dengan kelembutan bukan kekasaran; melihat orang dengan mata rahim, bukan dengan mata yang menghina, bahkan ia mencurahkan ke-rahim-annya kepada orang yang durhaka agar dapat diselamatkan. Jika melihat orang lain menderita atau sakit, orang yang rahim akan segera menolongnya. Nama lain Allah yang patut diteladani adalah Al-Qudus (Mahasuci). Seorang hamba akan suci kalau berhasil membebaskan pengetahuan dan kehendaknya dari khayalan dan segala persepsi yang dimiliki binatang.

Dengan ilmu tasawuf, semua persoalan yang berada dalam kajian ilmu tauhid terasa lebih bermakna, tidak kaku, tetapi lebih dinamis dan aplikatif.
 
Sumber : Buku Ilmu Kalam, Abdul Rozak dan Rosihon Anwar

Tidak ada komentar:

Kisah Mata Air Keabadian

Kisah ini diriwayatkan oleh Ats-Tsa’labi dari Imam Ali ra. Pada zaman dahulu hiduplah seorang hamba Allah SWT yang melebihkan kepada d...