Mengkaji
aliran-aliran ilmu kalam pada dasarnya merupakan upaya memahami kerangka
berpikir dan proses pengambilan keputusan para ulama aliran teologi dalam
menyelesaikan persoalan-persoalan kalam. Pada dasarnya, potensi yang dimiliki
setiap manusia –baik berupa potensi biologis maupun potensi psikologis- secara
natural adalah sangat distingtif. Oleh sebab itu, perbedaan kesimpulan antara
satu pemikiran dan pemikiran lainnya dalam mengkaji suatu objek tertentu
merupakan suatu hal yang bersifat natural pula.
Dalam
kaitan ini, Waliyullah Ad-Dahlawi pernah mengatakan bahwa para sahabat dan
tabi’in biasa berbeda pendapat dalam mengkaji suatu masalah tertentu. Beberapa
indikasi yang menjadi pemicu perbedaan pendapat di antara mereka adalah
terdapat beberapa sahabat yang mendengar ketentuan hukum yang diputuskan Nabi,
sementara yang lainnya tidak. Sahabat yang tidak mendengar keputusan itu lalu
berijtihad. Dari sini kemudian terjadi perbedaan pendapat dalam memutuskan
suatu ketentuan hukum.
Mengenai
sebab-sebab pemicu perbedaan pendapat, Ad-Dahlawi tampaknya lebih menekankan
aspek subjek pembuatan keputusan sebagai pemicu perbedaan pendapat. Penekanan
serupa pun pernah dikatakan Imam Munawwir. Ia mengatakan bahwa perbedaan
pendapat di dalam islam lebih dilatarbelakangi adanya beberapa hal yang
menyangkut kapasitas dan kredibilitas seseorang sebagai figur pembuat
keputusan. Lain lagi dengan apa yang dikatakan Umar Sulaiman Asy-Syaqar. Ia
lebih menekankan aspek objek keputusan sebagai pemicu terjadinya perbedaan
pendapat. Menurutnya, ada tiga persoalan yang menjadi objek perbedaan pendapat,
yaitu persoalan keyakinan (aqa’id), persoalan syariah, dan persoalan politik.
Bertolak
dari ketiga pandangan di atas, perbedaan pendapat di dalam masalah objek
teologi sebenarnya berkaitan erat dengan cara (metode) berpikir aliran-aliran
Ilmu Kalam dalam menguraikan objek pengkajian (persoalan-persoalan kalam).
Perbedaan metode berpikir secara garis besar dapat dikategorikan menjadi dua
macam, yaitu kerangka berpikir rasional dan metode berpikir tradisional. Metode
berpikir rasional memiliki prinsip-prinsip berikut ini:
1. Hanya
terikat pada dogma-dogma yang dengan jelas dan tegas disebut dalam Al-Qur’an
dan Hadis Nabi, yakni ayat yang qath’i (teks yang tidak diinterpretasikan lagi
kepada arti lain, selain arti harfiayah).
2. Memberikan
kebebasan kepada manusia dalam berbuat dan berkehendak serta memberikan daya
yang kuat kepada akal.
Adapun
metode berpikir tradisional memiliki prinsip-prinsip berikut ini:
1. Terikat
pada dogma-dogam dan ayat-ayat yang mengandung arti zhanni (teks yang boleh
mengandung arti lain selain dari arti harfinya).
2. Tidak
memberikan keberhasilan kepada manusia dalam berkehendak dan berbuat.
3. Memberikan
daya yang kecil kepada akal.
Aliran
teologi yang sering disebut-sebut memiliki cara berpikir teologi rasional
adalah Mu’tazilah. Oleh karena itu, Mu’tazilah dikenal sebagai aliran yang
bersifat rasional dan liberal. Adapun teologi yang sering disebut-sebut
memiliki metode berpikir tradisional adalah Asy’ariyah.
Di
samping pengategorian teologi rasional dan tradisional, dikenal pula
pengategorian akibat adanya perbedaan kerangka berpikir dalam menyelesaikan
persoalan-persoalan kalam:
1.
Aliran
Antrposentris
Aliran
antroposentris menganggap bahwa hakikat realitas transenden bersifat
intrakosmos dan impersonal. Ia berhubungan erat dengan masyarakat kosmos, baik
yang natural maupun yang supranatural dalam arti unsur-unsurnya. Manusia adalah
anak kosmos. Unsur supranatural dalam dirinya merupakan sumber kekuatannya.
Tugas manusia adalah melepaskan unsur natural yang jahat. Dengan demikian,
manusia harus mampu menghapus kepribadian kemanusiaannya untuk meraih
kemerdekaan dari lilitan naturalnya. Orang yang tergolong dalam kelompok ini
berpandangan negatif terhadap dunia karena menganggap keselamatan dirinya
terletak pada kemampuan untuk membuang semua hasrat dan keinginannya. Sementara
ketakwaannya lebih diorientasikan kepada praktek-praktek pertapaan dan
konsep-konsep magis. Tujuan hidupnya bermaksud menyusun kepribadiannya ke dalam
realita impersonalnya.
Anshari
menganggap manusia yang berpandangan antroposentris sebagai sufi adalah mereka
yang berpandangan mistis dan statis. Padahal manusia antroposentris sangat
dinamis karena menganggap hakikat realitas transenden yang bersifat intrakosmos
dan impersonal datang kepada manusia dalam bentuk daya sejak manusia lahir.
Daya itu berupa potensi yang menjadikannya mampu membedakan mana yang baik dan
mana yang jahat. Manusia yang memilih kebaikan akan memperoleh keuntungan
melimpah (surga), sedangkan manusia yang memilih kejahatan, ia akan memperoleh
kerugian melimpah pula (neraka). Dengan dayanya, manusia mempunyai kebebasan
mutlak tanpa campur tangan realitas transenden. Aliran teologi yang termasuk
dalam kategori ini adalah Qadariyah, Mu’tazilah,
dan Syi’ah.
2.
Teolog
Teosentris
Aliran
teosentris menganggap bahwa hakikat realitas transenden bersifat suprakosmos,
personal, dan ketuhanan. Tuhan adalah pencipta segala sesuatu yang ada di
kosmos ini. Ia –dengan segala kekuasaan-Nya- mampu berbuat apa saja secara
mutlak. Sewaktu-waktu ia dapat muncul pada masyarakat kosmos. Manusia adalah
ciptaan-Nya sehingga harus berkarya hanya untuk-Nya. Di dalam kondisinya yang
serba relatif, diri manusia adalah migrant abadi yang segera akan kembali
kepada Tuhan. Untuk itu, manusia harus mampu meningkatkan keselarasan dengan
realitas tertinggi dari transenden melalui ketakwaan. Dengan ketakwaannya,
manusia akan memperoleh kesempurnaan yang layak sesuai dengan naturalnya.
Dengan kesempurnaan itu pula, manusia akan menjadi sosok yang ideal, yang mampu
memancarkan atribut-atribut ketuhanan dalam cermin dirnya. Kondisi semacam
inilah yang pada saatnya nanti akan menyelamatkan nasibnya di masa yang akan
datang.
Manusia
teosentris adalah manusia yang statis karena sering terjebak dalam kepasrahan
mutlak kepada Tuhan. Sikap kepasrahan menjadikan ia tidak mempunyai pilihan.
Baginya, segala perbuatannya pada hakikatnya adalah aktivitas Tuhan. Ia tidak
mempunyai pilihan lain, kecuali apa yang telah ditetapkan Tuhan. Dengan cara
itu, Tuhan menjadi penguasa mutlak yang tidak dapat diganggu gugat. Tuhan dapat
saja memasukkan manusia jahat ke dalam keuntungan yang melimpah (surga). Begitu
pula, Dia dapat saja memasukkan manusia yang taat ke dalam situasi serba rugi
yang terus-menerus (neraka).
Aliran
teosentris menganggap daya yang menjadi potensi perbuatan baik atau jahat
manusia bisa datang sewaktu-waktu dari Tuhan. Oleh sebab itu, adakalanya
manusia mampu melaksanakan suatu perbuatan tatkala ada daya yang datang
kepadanya. Sebaliknya, ia tidak mampu melaksanakan suatu perbuatan apapun
tatkala tidak ada daya yang datang kepadanya. Dengan perantaraan daya, Tuhan
selalu campur tangan. Bahkan, manusia dapat dikatakan tidak mempunyai daya sama
sekali terhadap segala perbuatannya. Aliran teologi yang tergolong dalam
kategori ini adalah Jabbariyah.
3. Aliran Konvergensi atau Sintesis
Aliran
konvergensi menganggap hakikat realitas transenden bersifat supra sekaligus
intrakosmos, personal dan impersonal, lahut dan nashut, makhluk dan Tuhan,
sayang dan jahat, lenyap dan abadi, tampak dan abstrak, dan sifat lain yang
dikotomik. Ibn Arabi menanamkan sifat-sifat semacam ini dengan insijam al-azali
(preestabilished harmony). Aliran ini memandang bahwa manusia adalah tajjali
atau cermin asma dan sifat-Nya yang beragam. Oleh sebab itu, eksistensi kosmos
yang dikatakan sebagai penciptaan pada dasarnya adalah penyingkapan asma dan
sifat-sifat-Nya yang azali.
Aliran
konvergensi memandang bahwa pada dasarnya, segala sesuatu itu selalu berada
dalam ambigu (serba ganda), baik secara substansial maupun formal. Secara
substansial, sesuatu mempunyai nilai-nilai batini, huwiyah, dan eternal (qadim)
karena merupakan gamabaran Al-Haq. Dari sisi ini, sesuatu tidak dapat
dimusnahkan, kecuali atas kehendak-Nya yang mutlak. Secara formal, sesuatu
mempunyai nilai-nilai zahiri, inniyah, dan temporal (huduts) karena merupakan
cermin Al-Haq. Dari sisi lain, sesuatu dapat dimusnahkan kapan saja karena
sifat makhluk adalah profane dan relatif. Eksistensinya sebagai makhluk adalah
mengikuti sunatullah atau natural law (hukum alam) yang berlaku.
Aliran
ini berkeyakinan bahwa hakikat daya manusia merupakan proses kerja sama antara
daya yang transcendental (Tuhan) –dalam bentuk kebijaksanaan- dan daya temporal
(manusia) dalam bentuk teknis. Dampaknya, ketika daya manusia tidak
berpartisipasi dalam proses peristiwa yang terjadi pada dirinya, daya yang
transcendental yang memproses suatu peristiwa yang terjadi pada dirinya. Oleh
karena itu, ia tidak memperoleh pahala atau siksaan dari Tuhan. Sebaliknya,
ketika terjadi suatu peristiwa pada dirinya, sementara ia sendiri telah
berusaha melakukannya, maka pada dasarnya kerja sama harmonis antara daya
transcendental dan daya temporal. Konsekuensinya, manusia akan memperoleh
pahala atau siksaan dari Tuhan, sebanyak andil temporalnya dalam
mengaktualisasikan peristiwa tertentu.
Kebahagian,
bagi para penganut aliran konvergensi, terletak pada kemampuannya membuat
pendulum agar selalu berada tidak jauh ke kanan atau ke kiri, tetapi tetap di
tengah-tengah antara berbagai ekstrimitas. Dilihat dari sisi ini, Tuhan adalah
sekutu makhluk-Nya, sedangkan makhluk adalah sekutu Tuhannya. Ini karena, baik
manusia atau makhluk merupakan suatu bagian yang tak terpisahkan sebagaimana
keterpaduan antara dzat Tuhan dan asma serta sifat-sifat-Nya. Kesimpulannya,
kemerdekaan kehendak manusia yang profane selalu berdampingan dengan
determinisme transcendental Tuhan yang sacral dan menyatu dalam daya manusia.
Aliran teologi yang dapat dimasukkan ke dalam kategori ini adalah Asy’ariyah.
4. Aliran Nihilis
Aliran
nihilis menganggap bahwa hakikat realitas transendental hanyalah ilusi. Aliran
ini pun menolak Tuhan yang mutlak, tetapi menerima berbagai variasi Tuhan
kosmos. Manusia hanyalah bintik kecil dari aktivitas mekanisme dalam suatu
masyarakat yang serba kebetulan. Kekuatan terletak pada kecerdikan diri manusia
sendiri sehingga mampu melakukan yang terbaik dari tawaran yang terburuk. Idealnya,
manusia mempunyai kebahagiaan yang bersifat fisik, yang merupakan titik sentral
perjuangan seluruh manusia.
Sumber
: Buku Ilmu Kalam, Abdul Rozak dan Rosihon Anwar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar