Jumat, 19 September 2014

Ilmu Kalam I Kerangka Berpikir Aliran-Aliran Ilmu Kalam


 

Mengkaji aliran-aliran ilmu kalam pada dasarnya merupakan upaya memahami kerangka berpikir dan proses pengambilan keputusan para ulama aliran teologi dalam menyelesaikan persoalan-persoalan kalam. Pada dasarnya, potensi yang dimiliki setiap manusia –baik berupa potensi biologis maupun potensi psikologis- secara natural adalah sangat distingtif. Oleh sebab itu, perbedaan kesimpulan antara satu pemikiran dan pemikiran lainnya dalam mengkaji suatu objek tertentu merupakan suatu hal yang bersifat natural pula.

Dalam kaitan ini, Waliyullah Ad-Dahlawi pernah mengatakan bahwa para sahabat dan tabi’in biasa berbeda pendapat dalam mengkaji suatu masalah tertentu. Beberapa indikasi yang menjadi pemicu perbedaan pendapat di antara mereka adalah terdapat beberapa sahabat yang mendengar ketentuan hukum yang diputuskan Nabi, sementara yang lainnya tidak. Sahabat yang tidak mendengar keputusan itu lalu berijtihad. Dari sini kemudian terjadi perbedaan pendapat dalam memutuskan suatu ketentuan hukum.

Mengenai sebab-sebab pemicu perbedaan pendapat, Ad-Dahlawi tampaknya lebih menekankan aspek subjek pembuatan keputusan sebagai pemicu perbedaan pendapat. Penekanan serupa pun pernah dikatakan Imam Munawwir. Ia mengatakan bahwa perbedaan pendapat di dalam islam lebih dilatarbelakangi adanya beberapa hal yang menyangkut kapasitas dan kredibilitas seseorang sebagai figur pembuat keputusan. Lain lagi dengan apa yang dikatakan Umar Sulaiman Asy-Syaqar. Ia lebih menekankan aspek objek keputusan sebagai pemicu terjadinya perbedaan pendapat. Menurutnya, ada tiga persoalan yang menjadi objek perbedaan pendapat, yaitu persoalan keyakinan (aqa’id), persoalan syariah, dan persoalan politik.

Bertolak dari ketiga pandangan di atas, perbedaan pendapat di dalam masalah objek teologi sebenarnya berkaitan erat dengan cara (metode) berpikir aliran-aliran Ilmu Kalam dalam menguraikan objek pengkajian (persoalan-persoalan kalam). Perbedaan metode berpikir secara garis besar dapat dikategorikan menjadi dua macam, yaitu kerangka berpikir rasional dan metode berpikir tradisional. Metode berpikir rasional memiliki prinsip-prinsip berikut ini:

1.      Hanya terikat pada dogma-dogma yang dengan jelas dan tegas disebut dalam Al-Qur’an dan Hadis Nabi, yakni ayat yang qath’i (teks yang tidak diinterpretasikan lagi kepada arti lain, selain arti harfiayah).

2.      Memberikan kebebasan kepada manusia dalam berbuat dan berkehendak serta memberikan daya yang kuat kepada akal.

Adapun metode berpikir tradisional memiliki prinsip-prinsip berikut ini:

1.      Terikat pada dogma-dogam dan ayat-ayat yang mengandung arti zhanni (teks yang boleh mengandung arti lain selain dari arti harfinya).

2.      Tidak memberikan keberhasilan kepada manusia dalam berkehendak dan berbuat.

3.      Memberikan daya yang kecil kepada akal.

Aliran teologi yang sering disebut-sebut memiliki cara berpikir teologi rasional adalah Mu’tazilah. Oleh karena itu, Mu’tazilah dikenal sebagai aliran yang bersifat rasional dan liberal. Adapun teologi yang sering disebut-sebut memiliki metode berpikir tradisional adalah Asy’ariyah.

Di samping pengategorian teologi rasional dan tradisional, dikenal pula pengategorian akibat adanya perbedaan kerangka berpikir dalam menyelesaikan persoalan-persoalan kalam:   

1.      Aliran Antrposentris

Aliran antroposentris menganggap bahwa hakikat realitas transenden bersifat intrakosmos dan impersonal. Ia berhubungan erat dengan masyarakat kosmos, baik yang natural maupun yang supranatural dalam arti unsur-unsurnya. Manusia adalah anak kosmos. Unsur supranatural dalam dirinya merupakan sumber kekuatannya. Tugas manusia adalah melepaskan unsur natural yang jahat. Dengan demikian, manusia harus mampu menghapus kepribadian kemanusiaannya untuk meraih kemerdekaan dari lilitan naturalnya. Orang yang tergolong dalam kelompok ini berpandangan negatif terhadap dunia karena menganggap keselamatan dirinya terletak pada kemampuan untuk membuang semua hasrat dan keinginannya. Sementara ketakwaannya lebih diorientasikan kepada praktek-praktek pertapaan dan konsep-konsep magis. Tujuan hidupnya bermaksud menyusun kepribadiannya ke dalam realita impersonalnya.

Anshari menganggap manusia yang berpandangan antroposentris sebagai sufi adalah mereka yang berpandangan mistis dan statis. Padahal manusia antroposentris sangat dinamis karena menganggap hakikat realitas transenden yang bersifat intrakosmos dan impersonal datang kepada manusia dalam bentuk daya sejak manusia lahir. Daya itu berupa potensi yang menjadikannya mampu membedakan mana yang baik dan mana yang jahat. Manusia yang memilih kebaikan akan memperoleh keuntungan melimpah (surga), sedangkan manusia yang memilih kejahatan, ia akan memperoleh kerugian melimpah pula (neraka). Dengan dayanya, manusia mempunyai kebebasan mutlak tanpa campur tangan realitas transenden. Aliran teologi yang termasuk dalam kategori ini adalah Qadariyah, Mu’tazilah, dan Syi’ah.

2.      Teolog Teosentris

Aliran teosentris menganggap bahwa hakikat realitas transenden bersifat suprakosmos, personal, dan ketuhanan. Tuhan adalah pencipta segala sesuatu yang ada di kosmos ini. Ia –dengan segala kekuasaan-Nya- mampu berbuat apa saja secara mutlak. Sewaktu-waktu ia dapat muncul pada masyarakat kosmos. Manusia adalah ciptaan-Nya sehingga harus berkarya hanya untuk-Nya. Di dalam kondisinya yang serba relatif, diri manusia adalah migrant abadi yang segera akan kembali kepada Tuhan. Untuk itu, manusia harus mampu meningkatkan keselarasan dengan realitas tertinggi dari transenden melalui ketakwaan. Dengan ketakwaannya, manusia akan memperoleh kesempurnaan yang layak sesuai dengan naturalnya. Dengan kesempurnaan itu pula, manusia akan menjadi sosok yang ideal, yang mampu memancarkan atribut-atribut ketuhanan dalam cermin dirnya. Kondisi semacam inilah yang pada saatnya nanti akan menyelamatkan nasibnya di masa yang akan datang.

Manusia teosentris adalah manusia yang statis karena sering terjebak dalam kepasrahan mutlak kepada Tuhan. Sikap kepasrahan menjadikan ia tidak mempunyai pilihan. Baginya, segala perbuatannya pada hakikatnya adalah aktivitas Tuhan. Ia tidak mempunyai pilihan lain, kecuali apa yang telah ditetapkan Tuhan. Dengan cara itu, Tuhan menjadi penguasa mutlak yang tidak dapat diganggu gugat. Tuhan dapat saja memasukkan manusia jahat ke dalam keuntungan yang melimpah (surga). Begitu pula, Dia dapat saja memasukkan manusia yang taat ke dalam situasi serba rugi yang terus-menerus (neraka).

Aliran teosentris menganggap daya yang menjadi potensi perbuatan baik atau jahat manusia bisa datang sewaktu-waktu dari Tuhan. Oleh sebab itu, adakalanya manusia mampu melaksanakan suatu perbuatan tatkala ada daya yang datang kepadanya. Sebaliknya, ia tidak mampu melaksanakan suatu perbuatan apapun tatkala tidak ada daya yang datang kepadanya. Dengan perantaraan daya, Tuhan selalu campur tangan. Bahkan, manusia dapat dikatakan tidak mempunyai daya sama sekali terhadap segala perbuatannya. Aliran teologi yang tergolong dalam kategori ini adalah Jabbariyah.

3.      Aliran Konvergensi atau Sintesis

Aliran konvergensi menganggap hakikat realitas transenden bersifat supra sekaligus intrakosmos, personal dan impersonal, lahut dan nashut, makhluk dan Tuhan, sayang dan jahat, lenyap dan abadi, tampak dan abstrak, dan sifat lain yang dikotomik. Ibn Arabi menanamkan sifat-sifat semacam ini dengan insijam al-azali (preestabilished harmony). Aliran ini memandang bahwa manusia adalah tajjali atau cermin asma dan sifat-Nya yang beragam. Oleh sebab itu, eksistensi kosmos yang dikatakan sebagai penciptaan pada dasarnya adalah penyingkapan asma dan sifat-sifat-Nya yang azali.

Aliran konvergensi memandang bahwa pada dasarnya, segala sesuatu itu selalu berada dalam ambigu (serba ganda), baik secara substansial maupun formal. Secara substansial, sesuatu mempunyai nilai-nilai batini, huwiyah, dan eternal (qadim) karena merupakan gamabaran Al-Haq. Dari sisi ini, sesuatu tidak dapat dimusnahkan, kecuali atas kehendak-Nya yang mutlak. Secara formal, sesuatu mempunyai nilai-nilai zahiri, inniyah, dan temporal (huduts) karena merupakan cermin Al-Haq. Dari sisi lain, sesuatu dapat dimusnahkan kapan saja karena sifat makhluk adalah profane dan relatif. Eksistensinya sebagai makhluk adalah mengikuti sunatullah atau natural law (hukum alam) yang berlaku.

Aliran ini berkeyakinan bahwa hakikat daya manusia merupakan proses kerja sama antara daya yang transcendental (Tuhan) –dalam bentuk kebijaksanaan- dan daya temporal (manusia) dalam bentuk teknis. Dampaknya, ketika daya manusia tidak berpartisipasi dalam proses peristiwa yang terjadi pada dirinya, daya yang transcendental yang memproses suatu peristiwa yang terjadi pada dirinya. Oleh karena itu, ia tidak memperoleh pahala atau siksaan dari Tuhan. Sebaliknya, ketika terjadi suatu peristiwa pada dirinya, sementara ia sendiri telah berusaha melakukannya, maka pada dasarnya kerja sama harmonis antara daya transcendental dan daya temporal. Konsekuensinya, manusia akan memperoleh pahala atau siksaan dari Tuhan, sebanyak andil temporalnya dalam mengaktualisasikan peristiwa tertentu.

Kebahagian, bagi para penganut aliran konvergensi, terletak pada kemampuannya membuat pendulum agar selalu berada tidak jauh ke kanan atau ke kiri, tetapi tetap di tengah-tengah antara berbagai ekstrimitas. Dilihat dari sisi ini, Tuhan adalah sekutu makhluk-Nya, sedangkan makhluk adalah sekutu Tuhannya. Ini karena, baik manusia atau makhluk merupakan suatu bagian yang tak terpisahkan sebagaimana keterpaduan antara dzat Tuhan dan asma serta sifat-sifat-Nya. Kesimpulannya, kemerdekaan kehendak manusia yang profane selalu berdampingan dengan determinisme transcendental Tuhan yang sacral dan menyatu dalam daya manusia. Aliran teologi yang dapat dimasukkan ke dalam kategori ini adalah Asy’ariyah.

4.      Aliran Nihilis

Aliran nihilis menganggap bahwa hakikat realitas transendental hanyalah ilusi. Aliran ini pun menolak Tuhan yang mutlak, tetapi menerima berbagai variasi Tuhan kosmos. Manusia hanyalah bintik kecil dari aktivitas mekanisme dalam suatu masyarakat yang serba kebetulan. Kekuatan terletak pada kecerdikan diri manusia sendiri sehingga mampu melakukan yang terbaik dari tawaran yang terburuk. Idealnya, manusia mempunyai kebahagiaan yang bersifat fisik, yang merupakan titik sentral perjuangan seluruh manusia.

 

Sumber : Buku Ilmu Kalam, Abdul Rozak dan Rosihon Anwar

Tidak ada komentar:

Kisah Mata Air Keabadian

Kisah ini diriwayatkan oleh Ats-Tsa’labi dari Imam Ali ra. Pada zaman dahulu hiduplah seorang hamba Allah SWT yang melebihkan kepada d...