Sabtu, 06 September 2014

Filsafat I Realisme I Filsafat Nilai I Nilai-nilai religius


Realisme

Pandangan dunia yang realistik adalah pandangan alamiah atau natural, dan biasanya orang menerima pandangan ini dengan begitu saja, kecuali dia memiliki beberapa pengetahuan fisiologi dan psikologi, jika tidak dia akan mudah terjerumus ke dalam bentuk yang terlalu naïf.

Pandangan naïf sebuah nama yang diberikan untuk memegang dan memandang dengan hati-hati orang-orang yang tidak berpikir, yang mungkin percaya, bahwa mata merupakan jendela di mana melalui beberapa pandangan atas dunia yang sesungguhnya dan sebagaimana adanya; atau, bahwa pikiran merupakan semacam tablet yang dikesankan melalui sebuah salinan atau gambaran dunia tanpa indera persepsi. Ketika kita mempelajari struktur otak dan organ panca indera dan jalan kecil gangguan urat syaraf persepsi, kita mulai mengerti naifnya pandangan pertama ini dan mendorong untuk terus menguji lebih kritis cara bagaimana pengetahuan muncul. Namun demikian situasi ini membawa kepada beberapa bentuk realisme kritis yang dalam arti luas adalah usaha untuk merekonstruksi realisme ilmiah yang didasarkan pada fisiologi dan psikologi yang lebih akurat.

Usaha awal semacam ini dibuat oleh John Locke. Pandangan disebut realisme representatif. Pendiriannya bahwa dunia eksternal semata-mata terdiri atas partikel material dalam gerakan dan ide kita tentang kualitas materi semata-mata menghadirkan kembali kualitas-kualitas ini, kemudian peristiwa menghadirkan kembali kualitas primer sebagai gerakan dan figur, sementara kualitas sekunder seperti warna dan suara hanya ada dalam pikiran. Sumber objektif mereka adalah beberapa bentuk materi yang bergerak. Realisme cenderung, terjebak, seperti yang kita lihat kepada fenomenalisme dan idealisme subjektif. Herbert Spencer, mengajukan sebuah bentuk realisme yang disebut dengan Realisme Transfigurasi atau Realisme yang telah berubah bentuk (Transfigured Realism). Dunia eksternal adalah dunia materi, dunia gerak dan kekuatan; tetapi sebagaimana diterima oleh kita melalui persepsi, dunia eksternal tertransfigurasi, seperti khayalan tentang sebuah kubus yang ditransfigurasi ke dalam sebuah cermin.

Akhir-akhir ini sebuah bentuk baru Realisme munculkan di Amerika dan di Inggris. Ia disebut dengan Realisme Baru atau Neo-Realisme, digembar-gemborkan oleh sebuah aliran dengan para penulis yang sangat bersemangat. Aliran ini menghadirkan kembali suatu gerakan kembali kepada doktrin pemahaman umum tentang dunia objektif yang sesungguhnya diketahui melalui persepsi. Pengetahuan tidak dimediasi oleh satu keadaan mental, gagasan, atau sensasi. Objek-objek nyata secara langsung dihadirkan dalam pengetahuan. Dalam tindakan mengetahui, objek pengetahuan bukan sebuah gagasan, artinya sensasi tidak dipandang sebagai sebuah salinan atau gambaran tentang objek luar, tetapi objek luar itu sendiri hadir kepada kita sebagai realitas luar yang bebas dan sungguh-sungguh ada. Ketika saya menyadari adanya sebuah objek, katakanlah pohon, ini adalah pohon yang kita sadari sendiri, bukan sensasi (indera) penglihatan kita, pendengaran, atau sentuhan. Realisme baru menolak subjektivisme dengan segala bentuknya. Realisme menolak bahwa benda-benda diciptakan atau dimodifikasi oleh pikiran yang mengetahui, dengan demikian menghadirkan kembali pembebasan filsafat dari epistemologi, yang memang terlalu lama menindas atasnya. Dimulai dengan sebuah protes anti subjektivisme, Realisme Baru dikembangkan ke dalam sebuah aliran filsafat yang lebih hebat dan unik dan melawan baik subjektivisme. Realisme Baru dikembangkan ke dalam sebuah aliran filsafat yang lebih hebat dan unik dan melawan baik subjekivisme maupun Absolutisme. Aliran ini tidak percaya bahwa dunia pada dasarnya merupakan keseluruhan atau kesatuan organis di mana analisisnya bisa saja akan merusak kenyataannya (realitasnya), tetapi mendorong penggunaan dengan sungguh-sungguh metode analitis yang diketahui sains-sains khusus, dan percaya bahwa realitas atau kenyataan diterima menurut analisis seperti itu. Karena Realisme baru bersifat intelektualistik, maka ia meninggalkan semua filsafat mistis, juga menolak semua bentuk modern anti-intelektualisme yang terpancar dalam intuisi atau pengalaman yang tak terlukiskan. Intelektualisme menolak doktrin bahwa semua relasi bersifat internal, dan intelektualisme bertahan demi eksternalitas relasi. Dengan demikian, hakekat benda-benda tidak perlu ditentukan oleh relasi di mana relasi tersebut berada; ini mungkin meliputi semua relasi atas benda-benda lain di mana peristiwa dan kejadian, kemudian diketahui, jika pikiran lama yang mengetahui muncul, maka akam menyisakan sesuatu yang tidak bisa diubah oleh relasi kognitif.    

Menurut Realisme Baru, relasi tidak hanya eksternal tetapi juga objektif. Benda-benda tidak direlasikan oleh pikiran yang memahaminya, tetapi sebuah relasi lain di mana keberadaan mereka sungguh-sungguh ada, dan sifatnya hanya senyata dan seobjektif benda-benda itu sendiri. Jika John lebih tinggi dari James, tidak hanya John itu nyata dan James juga nyata, tetapi relasi tersebut yang diungkapkan oleh kata-kata lebih tinggi dari, juga betul-betul nyata. Karena itu pandangan dunia yang pluralistik diperlakukan lebih baik dibanding dengan sistem dualistik dan monistik.

Realitas itu bermacam-macam dan kaya dalam keberagamannya. Kita tidak bisa dengan jelas menyimpulkan bahwa alam semesta itu satu kesatuan besar yang sistematik, juga tidak, di sisi lain dapat kita katakana bahwa tidak ada sesuatu pun kecuali pikiran dan materi; karena mungkin banyak benda-benda lain yang sungguh-sungguh nyata—relasi ruang dan waktu, prinsip-prinsip logis, barangkali juga gagasan-gagasan etis. Dengan demikian Realisme Platonik, di mana dunia semata-mata kenyataan mental atau psikis yang diperluas oleh kenyataan kesatuan kehidupan. Konsep-konsep ideal seperti keadilan dan keindahan, menurut beberapa penganut aliran ini, menemukan tempatnya lagi sebagai kesatuan yang sungguh-sungguh ada. Realisme baru dengan demikian inkonsisten dengan dualisme maupun materialisme dan dengan bentuk ekstrim dari spiritualisme yang mengatakan bahwa tak ada sesuatu pun yang ada kecuali pikiran.

Sekarang kekuatan kecenderungan relaistik lebih nampak dengan munculnya aliran lain yang lebih baru yang disebut dengan Realisme Kritis. Kita bisa memberi nama aliran ini dengan Realisme Kritis Baru untuk membedakannya dari bentuk yang lebih tua yang baru saja telah disebutkan. Wakil gerakan ini, telah menganalisis situasi mengetahui dengan ketajaman terbesar dan menemukan kesulitan tidak hanya dengan berbagai teori idealistic lama, tetapi juga dengan hasil-hasil Realisme Baru. Persepsi tentang objek juga juga pertama-tama bukan seperti yang penganut Realis Baru pikirkan. Kecuali dengan menyimpulkan bahwa kita tidak bisa meneruskan melampaui data penginderaan. Jika kita dengan hati-hati memperhatikan bahwa apa yang benar-benar nyata ada dalam persepsi, missal, ketika kita melihat sebuah koin berada di atas meja, atau sebuah kendaraan roda tiga menggelinding, kita akan menganggap bahwa sirkularitas koin atau kendaraan, tidak langsung diterima, karena tidak banyak ulasan lain yang kita cirikan kepada koin atau kendaraan sesungguhnya. Yakinlah, panasnya api tidak langsung diterima, karena panas dapat dibedakan dengan jelas dari api. Ilusi dan halusinasi semacam ini menawarkan kesulitan, yang tidak bisa dipecahkan Realisme Naif.

Bagaimanapun juga seorang Realis Kritis merupakan Realis sejati, karena dia menolak menekankan posisi subjektifis dan Idealis Absolut. Dia menerima eksistensi objektif benda-benda karena pandangannya masuk akal dan sesuai dengan akal sehat dan kenyataan praktis. Bagaimanapun dia menerima ini lebih dengan kepercayaan (faith) daripada dengan pengetahuan. Hal ini berbeda dengan aliran Realis Baru yang menerima realitas atau kenyataan objek fisik karena pengetahuan semata-mata, yaitu pengetahuan atas suatu relasi antara objek tertentu dengan pikiran yang mengetahui.

Seorang Realis Kritis amat teruji dengan pernyataan, yang barangkali terlalu lama, memberikan kontroversi, yaitu hanya apa yang ada yang tersajikan dalam persepsi. Dia tidak lebih lama berhubungan dengan subjektivis, untuk mengatakan benda-benda tertentu seperti warna dan suara sebagai sensasi yang hanya milik pikiran, juga sebelumnya dia tidak menginginkan memperluas Realis Baru dan menyebut mereka sebagai kualitas sejati objek-objek. Dia tidak percaya bahwa objek luar terutama dalam kenyataannya bisa dipahami. Objek luar adalah realitas kasar yang tidak bisa tersajikan dalam pengalaman. Hanya data inderawi yang hadir dalam pengalaman. Data inderawi beraneka ragam, kemudian menyatakan karakter objek, tetapi banyak mengisi unsur-unsur lain; yaitu, mereka merefleksikan hakekat pikiran dan menerima sesuatu yang sama baik dengan objek yang diterimanya.

Objek luar kenyataannya ada dan bebas dari pikiran yang memahami, tetapi ini sesuatu yang sangat berbeda dari kata hasil persepsi (datum of perception), yaitu beragam karakter yang dipahami (character-complex apprehended), yang tidak memiliki sifat objek luar. Ini adalah objek luar sebagai objek yang nampak kepada pikiran yang memahami. Bagaimanapun juga Realis Kritis memberikan pandangan data inderawi, atau sensasi, sebagai sesuatu yang menengahi antara pikiran yang memahami dengan benda-benda yang ada secara fisik. Maka kita mendengar kajian terbesar tentang data (datum) atau karakter yang beragam (character-complex) sebagai esensi (essence). Pikiran tidak bisa mengungakap objek itu sendiri; atau mengungkap esensi, ia hanya datum.

Dengan demikian nampaklah bahwa dalam situasi mengetahui ada tiga macam kesatuan: Pertama, pikiran yang memahami atau organisme sadar; kedua, objek luar, kenyataan paling kasar, dan hanya memiliki kualitas primer; ketiga, data persepsi (datum of perception) yang terutama menyajikan berbagai datum kepada panca indera, dinamai juga karakter kompleks atau esensi. Yang terakhir bukan mental, juga bukan bagian atau salah satu aspek objek luar; ini adalah perantara kesatuan logis (logical entity).

Sebagian kecil saja persoalan pengetahuan, yakin menimbulkan banyak kesulitan, dan, ada semacam Realisme akhir yang pasti lebih kritis dan mampu memecahkannya; tetapi kesulitan-kesulitan kemungkinan besar justru akan dipecahkan oleh suatu Realisme yang kurang kritis dan Realisme yang lebih naïf dari aliran ini; namun demikian, penyelidikan ulang senantiasa dilakukan ulang oleh Realis Kritis sebagai usaha terakhir untuk memberikan hasil final.

Santayana misalnya, dalam bukunya Scepticism and Animal Faith and The Realm of Essence, telah menulis dengan cara menarik lebih banyak esensi; tetapi jelas, terus terang saja orang-orang menemukan kesulitan dalam memahami apa sesungguhnya gagasan tersebut. Orang akan pusing bahwa Santayana bermaksud mengatakan bahwa organisme yang berpikir menangkap begitu banyak benda-benda yang ada secara fisik sebagai sesuatu yang penting, atau esensi. Tetapi esensi memiliki aroma skolastik, dan orang bisa saja bertanya apakah kita membutuhkannya. Jika objek fisik itu sejatinya ada, maka perlu memandang cara objek itu nampak. Kenampakan mereka, sebagai kesatuan logis (logical entities), mengambang di antara organisme dan objek. Ini akan nampak wajar bahwa mereka, objek yang sungguh-sungguh ada, seterusnya akan bereaksi secara berbeda, di bawah keadaan yang berbeda. Esensi pada Realis Kritis, mengingatkan seseorang akan suatu kesatuan netral (neutral entities) dari Realis baru, yaitu benda-benda yang barangkali tidak lama lagi dapat kita gapai.

Yakinlah bahwa panasnya api diinderai dalam cara yang berbeda berdasarkan jarak, dekat atau jauh; tetapi tidak ada esensi yang misterius, sebagai objek intuisi, karena kenyataan objek luar, seperti panas dimodifikasi oleh jarak. Potongan daun berwarna coklat mungkin terlihat seperti beruang. Tetapi organisme yang mengindera tidak mengintuisi suatu esensi. Ia mengintuisi potongan daun yang berwarna cokelat, dan memiliki mekanismenya sendiri, yaitu munculnya rasa takut akan masa lalu dan minat subjektifnya, sehingga menyebabkan reaksinya terhadap daun akan dianggap sebagai beruang.

Mungkin saja dalam beberapa hal persoalan ini dapat dipecahkan. Tetapi kita harus ingat bahwa persoalan ini hanya berada dalam tahap budaya bahwa organisme sensitif menjadi tertarik dengan pertanyaan tentang realitas dalam pemahaman kognitif. Karena sebagian terbesar yang dimiliki organisme hanya ketertarikan dalam reaksi yang cocok dengan rangsangan yang diberikan. Maka organisme hanya bertanya, apakah pengalaman ini mempengaruhi saya dan keselamatan saya? Keinginan binatang memang berkembang menuju ke arah memiliki kemampuan minat ilmiah, dan pikiran orang yang mengamati mulai menyelidiki tentang realitas objektif; hasrat pengamat ingin mengetahui apakah dunia objektif sungguh-sungguh memang demikian—yaitu apakah ia akan menjadi sebagai sesuatu yang diintuisi oleh pengamat dengan tidak ada kepentingan subjektif sama sekali—dan dia memberontak melawan makhluk yang mengatakan bahwa tidak ada pendekatan kepada realitas kehidupan yang mungkin hanya menerima melalui “kepercayaan”, atau bahwa dia dengan tanpa harapan dibatasi pengetahuannya terhadap fenomena atau terhadap “esensi” atau terhadap sensasi yang dia miliki sendiri.

Pengamat tadi merasa bahwa dia telah berhubungan langsung dengan benda-benda, atau setidaknya dengan permukaan atau sisi tertentu benda-benda, dan bahwa persepsi inderawi memunculkan sebagian apakah benda-benda tersebut memang demikian adanya, tidak semata-mata seperti apa yang pengamat atau subjek maksudkan. Gerakan Realistik pada zaman kita akan nampak kehilangan banyak animonya jika kita menemukan bahwa dalam persepsi inderawi tidak ada pendekatan langsung setelah semuanya terjadi atas keberadaan benda-benda luar. Terakhir nampak menyurutkan kembali untuk menemukan Ding an sich Kantian yang misterius, setidaknya menghindari semua usaha untuk memperolehnya. Jika posisi logis Realis Kritis lebih baik dari Realis Baru, dia memperoleh keuntungan atas pengorbanan terbesarnya dan menemukan dirinya sendiri menjadi baik dengan cara kembali ke kamp idealis.

Filsafat Nilai

Satu bidang filsafat yang cukup menarik yaitu tentang nilai. Apa yang dimaksud dengan nilai? Bagaimana nilai dibedakan dari fakta? Apakah nilai itu objektif berada dalam wujud atau hakekatnya sendiri? Atau justru secara subjektif ada di dalam pikiran manusia?

Ada tiga macam nilai yang bisa dipelajari dalam filsafat yaitu nilai religious, nila moral dan nilai estetis. Persiapan mempelajari nilai religious yaitu ditandai dengan keinginan kita mempelajari Tuhan dan makna Tuhan dalam pengalaman manusia. Jika Tuhan itu baik dan menciptakan dunia bagaimana manusia. Jika Tuhan itu baik dan menciptakan dunia bagaimana kita akan menjelaskan kehadiran kejahatan dalam dunia? Studi tentang nilai moral akan membuka satu pokok bahasan yang paling menarik, khususnya pada saat-saat sekarang ini yaitu pada saat adanya begitu banyak kebingungan tentang moral. Terakhir nilai estetis atau studi tentang keindahan seperti yang ditunjukkan alam dan seni lukis. Tak kurang dan tak lebih teori ini juga akan meminta perhatian kita.

Nilai-nilai religius

Tuhan adalah jiwa dunia, tempat kehadiran batin, memiliki daya cipta, kekuatan pengorganisasi dan penyempurna, sumber moral, relijius dan cita-cita estetis kita.

Apa makna Tuhan bagi kita? Barangkali, menghadirkan kekuatan batin, kekuatan daya cipta, lambang kebajikan, kecantikan dan cinta. Dalam teori evolusi, kita mengandaikan adanya beberapa agen penciptaan di setiap ruang dan waktu yang bergerak secara evolusioner. Tidak hanya dalam organisasi asli atom pada molekul dan molekul dalam sel hidup tetapi juga sel hidup dalam bentuk kehidupan tinggi dan tertinggi-seterusnya sampai pada manusia. Evolusi adalah suatu proses penciptaan termasuk beberapa pengorganisasian, pengintegrasian dan perantara penyempurna. Dengan evolusi menandakan adanya penciptaan masa kini atau waktu dari materi yang merupakan elemen-elemen sederhana dan ada penciptaan konstan pada taraf organis. Kenyataan ini akan nampak ketika kita membicarakan elemen benda-benda yang secara langsung mengkoordinasi energi dasar terhadap energi dirinya sendiri. Dalam wacana ilmiah sekarang, konsep energi sangat fundamental. Materi bisa direduksi ke dalam energi namun konsep energi itu sendiri penuh dengan ketidakpastian. Kenyataan ini berguna bagi sains dalam rangka mempertahankan apapun yang ada yang mengakibatkan perubahan pada cara kerja dan hasilnya. Proses ini terdengar lebih kuantitatif daripada kualitatif oleh sebab itu jika kita bertanya apa hakekat energi, fisika tidak bisa berkata apa pun pada kita. Hipotesis misterius yang kita sebut dengan energi adalah sesuatu yang psikis sifatnya, seperti konsep pikiran yang sekarang lagi ngetren dikalangan para filsuf. Hipotesis ini memberikan pada kita pandangan idealistic tentang dunia dengan mereduksi alam semesta fisik ke dalam “energi fikir” dan energi fikir ini akan menjadi Tuhan. Pandangan ini nampaknya mengharmonisasikan sains dan agama dan tentu saja telah ada dalam banyak sistem besar filsafat kita.

Dari pandangan dunia yang agung ini jalan apa yang kita tempuh sekarang? Tidakkah Tuhan bermakna bagi kita dalam wacana aktual kemanusiaan. Tuhan kata James, berada dalam “kehidupan religius manusia biasa dan suatu nama yang tidak seluruhnya benda-benda, namun juga meliputi kecenderungan ideal benda-benda seperti percaya akan adanya surge dan neraka serta seorang utusan yang memiliki kekuatan luar biasa dan menyuruh kita mengikuti ajarannya kemudian memajukan kehidupan kita jika semua ini bernilai. Di sini kita bisa lihat, betapa pentingnya konsep energi bagi kita dan ada beberapa konsep besar berkenaan dengannya. Ada sesuatu yang lebih mendasar di dalam semesta daripada energi itu sendiri atau materi yaitu, petunjuk atau arah energi (the direction of energy). Dalam psikologi pun kita belajar bahwa ada sesuatu yang lebih fundamental dari sensasi, persepsi, dan pikiran, yaitu, desakan hati (impulse), kecenderungan-kecenderungan konasi (the conative tendencies), rasa lapar (hunger) dan kecanduan akan sesuatu (craving). Pada biologi kita menerima bahwa kehidupan yang lebih dalam itu sendiri adalah mempertahankan hidup. Terakhir, dalam dunia secara keseluruhan ada satu desakan asli yang mendorong munculnya struktur kehidupan dan pikiran—itulah kebajikan. Kebajikan adalah nilai abadi. Tuhan bukan energi tapi aktifitas penciptaan (creative activity) bukan hanya creative activity tapi juga kecenderungan ideal (ideal tendency).

Pikiran manusia juga di susun oleh kekuatan tersebut di atas dan harus dipercaya selalu dalam keadaan berkembang (progress). Berkembang tidak hanya ke arah yang lebih besar tetapi juga ke arah yang lebih spesifik, (the Direction of Human Evolution) demikian menurut Edwin Grant Conklin. Bagi William Patten situasi tersebut mengandaikan adanya perantara penciptaan tertinggi, progressif, kreatif, proses konstruksi, selalu berada pada kondisi saling operasi (cooperation) dan saling melayani (mutual service). Ia lebih berada dalam akar pergerakan evolusioner daripada mempertahankan hidup yang kejam (the ruthless struggle for existence). Sementara itu ada kekuatan lain dalam berbuat, yaitu  konstruktif, mementingkan orang lain (aliruistic) dan senantiasa condong pada kebaikan (benevolent).

Kita sekarang telah memutuskan bahwa di dunia ini ada beberapa perantara fundamental yakni kekuatan perfecting, organizing dan integrating—kekuatan yang bekerja secara menyeluruh—untuk kesatuan, untuk individualitas, selanjutnya saling mengoperasi dalam kebaikan. Jauh di bawah kepercayaan kita ada fakta  yang mendasar yang menyebabkan Tuhan itu ada. Ia bekerja secara ideal bagi dirinya sendiri dan berada di luar alur sejarah. Kekuatan tersebut sangat besar dan sangat menarik ketika menggambarkan kita dalam beberapa tujuan yang jauh bahkan tidak bisa diketahui namun mensyaratkan sepenuhnya kesetiaan kita.

Tuhan, sumber berbagai hal ideal

Sudahkah kita percaya akan dasar-dasar kenyataan bahwa Tuhan adalah sumber moral, religius dan estetis kita yang ideal? Baiklah, hal-hal ideal ini eksis pada manusia dan manusia adalah bagian dari dunia. Beberapa sumber hal-hal ideal ini pasti eksis juga. Sejarah nampaknya mengandaikan adanya sebuah proses untuk merealisasikan hal-hal ideal. Walaupun kondisi social, ekonomi dan politik saat ini mungkin lebih baik dari yang pernah orang alami dulu, kondisi tersebut nampak tidak sempurna bagi kita dan kita merasa tidak puas dengannya. Yang ideal selalu berada di atas tindakan praktis. Kita mengeluh tentang ketidakadilan sosial atau aturan sosial saat ini kemudian membuat usaha besar dan berhasil memperbaikinya. Namun kalau kita tengok ke belakang, kita melihat bahwa tidak ada zaman yang lebih terhormat disbanding dengan zaman kita sekarang ini. Pada zaman perbudakan, kita membayangkan dan mendambakan kebebasan. Dalam zaman perbudakan ekonomi kita membayangkan dan ingin meraih kebebasan ekonomi tersebut. Dengan visi atas berbagai hal ideal ini dan selalu berjuang untuk merealisasikannya, kita telah memperoleh emansipasi atas kaum perempuan kita dari posisi absurd ketidaksetaraan. Kita mengatakan pada anak kita sebagai sebuah kebenaran ketika membebaskan mereka dari kerja dan harus memberikan hak-hak istimewa atas pendidikannya. Kita melakukan protes menentang autokrasi dan menyetujui prinsip-prinsip demokrasi; dan kini, kita tengah berusaha sekuat tenaga menghentikan perang dan merencanakan beberapa sistem kerjasama internasional.

Akan tetapi dari mana datangnya hal-hal atau cita-cita ideal ini? Apakah kita menciptakannya untuk kita turuti? Jika memang demikian, evolusi kembali memiliki daya cipta dan kreatifitas terhadap nilai-nilai; religius, moral dan estetis di mana kita dapat menerima kenyataan bahwa tidak ada sesuatu yang lebih tinggi selain evolusi. Jika sains mengijinkan sebuah penafsiran tentang proses dunia, yakinlah agama tentu memuaskan, setidaknya bagi energi kreatif seperti, bertemunya konsep-konsep kita terhadap yang Ilahiyah.

Tetapi apakah nilai, di sisi lain, tidak diciptakan untuk kita taati, tetapi hanya sebagai tipe-tipe keabadian, pola kebenaran, kenyataan dan esensi? Apakah ada sistem nilai ideal, di mana di dalamnya memungkinkan hal-hal ideal itu “hidup”, (subsist)? Adakah kini seruan perennial atas hal ideal dalam ajaran Platonik kuno? Kita mungkin berpikir tentang nilai-nilai ideal sebagai sesuatu yang tidak hanya nyata, tetapi sebagai agensi atau efisiensi kepemilikan, yakni suatu efisiensi yang akan nampak jika dikonfirmasi oleh fakta bahwa manusia merupakan makhluk yang teraktualisasi oleh yang ideal yang tidak akan pernah bisa diterima dalam bentuk eksistensialnya yang paling kongkrit. Bagi siapa yang akan terburu-buru berpendapat misalnya bahwa suatu masyarakat manusia belum pernah memperoleh yang ideal atas sebuah organisasi, selanjutnya di mana keadilan yang sempurna bisa dibuat untuk semuanya? Namun ada di antara manusia yang berpikir dan menolak bahwa yang ideal ini patut diperjuangkan dan diusahakan dengan sekuat tenaga, sebab untuk siapa nantinya? Dan kata siapa kalau efisiensi atas yang ideal ini tidak akan pernah berjumpa dengan kekuatan yang memaksa?”

Bagaimanapun juga, akan nampak bahwa konsepsi tentang Tuhan sebagai jiwa dunia, kekuatan spiritual imanen, agensi sempurna dan penuh daya cipta, serta sumber nilai-nilai ideal kita, mungkin akan memberi kita gagasan yang bermanfaat tentang Tuhan, dan akan menjadi konsisten dengan sains maupun filsafat dan dengan arti kata “Tuhan” dalam wacana orang pada umumnya.

Jika kita mempercayai sesuatu, apa pun namanya, yang telah memberi makna terbesar bagi kehidupan manusia, yaitu sesuatu yang lebih besar dari ambisi dan nafsu personal kita, dan sesuatu yang dapat meng-ada-kan diri kita sendiri serta memberi kita sedikit makna kehidupan dan nilai terdalam, dalam arti luas kita mungkin saja akan mengatakan bahwa saya punya Tuhan.
Sumber : Buku Filsafat

Tidak ada komentar:

Kisah Mata Air Keabadian

Kisah ini diriwayatkan oleh Ats-Tsa’labi dari Imam Ali ra. Pada zaman dahulu hiduplah seorang hamba Allah SWT yang melebihkan kepada d...