Realisme
Pandangan dunia yang
realistik adalah pandangan alamiah atau natural, dan biasanya orang menerima
pandangan ini dengan begitu saja, kecuali dia memiliki beberapa pengetahuan
fisiologi dan psikologi, jika tidak dia akan mudah terjerumus ke dalam bentuk
yang terlalu naïf.
Pandangan naïf sebuah
nama yang diberikan untuk memegang dan memandang dengan hati-hati orang-orang
yang tidak berpikir, yang mungkin percaya, bahwa mata merupakan jendela di mana
melalui beberapa pandangan atas dunia yang sesungguhnya dan sebagaimana adanya;
atau, bahwa pikiran merupakan semacam tablet yang dikesankan melalui sebuah
salinan atau gambaran dunia tanpa indera persepsi. Ketika kita mempelajari
struktur otak dan organ panca indera dan jalan kecil gangguan urat syaraf
persepsi, kita mulai mengerti naifnya pandangan pertama ini dan mendorong untuk
terus menguji lebih kritis cara bagaimana pengetahuan muncul. Namun demikian
situasi ini membawa kepada beberapa bentuk realisme kritis yang dalam arti luas
adalah usaha untuk merekonstruksi realisme ilmiah yang didasarkan pada
fisiologi dan psikologi yang lebih akurat.
Usaha awal semacam ini
dibuat oleh John Locke. Pandangan disebut realisme representatif. Pendiriannya
bahwa dunia eksternal semata-mata terdiri atas partikel material dalam gerakan
dan ide kita tentang kualitas materi semata-mata menghadirkan kembali
kualitas-kualitas ini, kemudian peristiwa menghadirkan kembali kualitas primer
sebagai gerakan dan figur, sementara kualitas sekunder seperti warna dan suara
hanya ada dalam pikiran. Sumber objektif mereka adalah beberapa bentuk materi
yang bergerak. Realisme cenderung, terjebak, seperti yang kita lihat kepada
fenomenalisme dan idealisme subjektif. Herbert Spencer, mengajukan sebuah
bentuk realisme yang disebut dengan Realisme Transfigurasi atau Realisme yang
telah berubah bentuk (Transfigured
Realism). Dunia eksternal adalah dunia materi, dunia gerak dan kekuatan;
tetapi sebagaimana diterima oleh kita melalui persepsi, dunia eksternal
tertransfigurasi, seperti khayalan tentang sebuah kubus yang ditransfigurasi ke
dalam sebuah cermin.
Akhir-akhir ini sebuah
bentuk baru Realisme munculkan di Amerika dan di Inggris. Ia disebut dengan
Realisme Baru atau Neo-Realisme, digembar-gemborkan oleh sebuah aliran dengan
para penulis yang sangat bersemangat. Aliran ini menghadirkan kembali suatu
gerakan kembali kepada doktrin pemahaman umum tentang dunia objektif yang
sesungguhnya diketahui melalui persepsi. Pengetahuan tidak dimediasi oleh satu
keadaan mental, gagasan, atau sensasi. Objek-objek nyata secara langsung
dihadirkan dalam pengetahuan. Dalam tindakan mengetahui, objek pengetahuan
bukan sebuah gagasan, artinya sensasi tidak dipandang sebagai sebuah salinan
atau gambaran tentang objek luar, tetapi objek luar itu sendiri hadir kepada
kita sebagai realitas luar yang bebas dan sungguh-sungguh ada. Ketika saya
menyadari adanya sebuah objek, katakanlah pohon, ini adalah pohon yang kita
sadari sendiri, bukan sensasi (indera) penglihatan kita, pendengaran, atau
sentuhan. Realisme baru menolak subjektivisme dengan segala bentuknya. Realisme
menolak bahwa benda-benda diciptakan atau dimodifikasi oleh pikiran yang
mengetahui, dengan demikian menghadirkan kembali pembebasan filsafat dari
epistemologi, yang memang terlalu lama menindas atasnya. Dimulai dengan sebuah
protes anti subjektivisme, Realisme Baru dikembangkan ke dalam sebuah aliran
filsafat yang lebih hebat dan unik dan melawan baik subjektivisme. Realisme
Baru dikembangkan ke dalam sebuah aliran filsafat yang lebih hebat dan unik dan
melawan baik subjekivisme maupun Absolutisme. Aliran ini tidak percaya bahwa
dunia pada dasarnya merupakan keseluruhan atau kesatuan organis di mana
analisisnya bisa saja akan merusak kenyataannya (realitasnya), tetapi mendorong
penggunaan dengan sungguh-sungguh metode analitis yang diketahui sains-sains
khusus, dan percaya bahwa realitas atau kenyataan diterima menurut analisis
seperti itu. Karena Realisme baru bersifat intelektualistik, maka ia
meninggalkan semua filsafat mistis, juga menolak semua bentuk modern
anti-intelektualisme yang terpancar dalam intuisi atau pengalaman yang tak
terlukiskan. Intelektualisme menolak doktrin bahwa semua relasi bersifat
internal, dan intelektualisme bertahan demi eksternalitas relasi. Dengan
demikian, hakekat benda-benda tidak perlu ditentukan oleh relasi di mana relasi
tersebut berada; ini mungkin meliputi semua relasi atas benda-benda lain di
mana peristiwa dan kejadian, kemudian diketahui,
jika pikiran lama yang mengetahui muncul, maka akam menyisakan sesuatu yang
tidak bisa diubah oleh relasi kognitif.
Menurut Realisme Baru,
relasi tidak hanya eksternal tetapi juga objektif. Benda-benda tidak
direlasikan oleh pikiran yang memahaminya, tetapi sebuah relasi lain di mana
keberadaan mereka sungguh-sungguh ada, dan sifatnya hanya senyata dan
seobjektif benda-benda itu sendiri. Jika John lebih tinggi dari James, tidak
hanya John itu nyata dan James juga nyata, tetapi relasi tersebut yang
diungkapkan oleh kata-kata lebih tinggi dari, juga betul-betul nyata. Karena
itu pandangan dunia yang pluralistik diperlakukan lebih baik dibanding dengan
sistem dualistik dan monistik.
Realitas itu
bermacam-macam dan kaya dalam keberagamannya. Kita tidak bisa dengan jelas
menyimpulkan bahwa alam semesta itu satu kesatuan besar yang sistematik, juga
tidak, di sisi lain dapat kita katakana bahwa tidak ada sesuatu pun kecuali
pikiran dan materi; karena mungkin banyak benda-benda lain yang sungguh-sungguh
nyata—relasi ruang dan waktu, prinsip-prinsip logis, barangkali juga gagasan-gagasan
etis. Dengan demikian Realisme Platonik, di mana dunia semata-mata kenyataan
mental atau psikis yang diperluas oleh kenyataan kesatuan kehidupan.
Konsep-konsep ideal seperti keadilan dan keindahan, menurut beberapa penganut
aliran ini, menemukan tempatnya lagi sebagai kesatuan yang sungguh-sungguh ada.
Realisme baru dengan demikian inkonsisten dengan dualisme maupun materialisme
dan dengan bentuk ekstrim dari spiritualisme yang mengatakan bahwa tak ada
sesuatu pun yang ada kecuali pikiran.
Sekarang kekuatan
kecenderungan relaistik lebih nampak dengan munculnya aliran lain yang lebih
baru yang disebut dengan Realisme Kritis. Kita bisa memberi nama aliran ini
dengan Realisme Kritis Baru untuk membedakannya dari bentuk yang lebih tua yang
baru saja telah disebutkan. Wakil gerakan ini, telah menganalisis situasi
mengetahui dengan ketajaman terbesar dan menemukan kesulitan tidak hanya dengan
berbagai teori idealistic lama, tetapi juga dengan hasil-hasil Realisme Baru.
Persepsi tentang objek juga juga pertama-tama bukan seperti yang penganut
Realis Baru pikirkan. Kecuali dengan menyimpulkan bahwa kita tidak bisa
meneruskan melampaui data penginderaan. Jika kita dengan hati-hati
memperhatikan bahwa apa yang benar-benar nyata ada dalam persepsi, missal,
ketika kita melihat sebuah koin berada di atas meja, atau sebuah kendaraan roda
tiga menggelinding, kita akan menganggap bahwa sirkularitas koin atau
kendaraan, tidak langsung diterima, karena tidak banyak ulasan lain yang kita
cirikan kepada koin atau kendaraan sesungguhnya. Yakinlah, panasnya api tidak
langsung diterima, karena panas dapat dibedakan dengan jelas dari api. Ilusi
dan halusinasi semacam ini menawarkan kesulitan, yang tidak bisa dipecahkan
Realisme Naif.
Bagaimanapun juga
seorang Realis Kritis merupakan Realis sejati, karena dia menolak menekankan
posisi subjektifis dan Idealis Absolut. Dia menerima eksistensi objektif
benda-benda karena pandangannya masuk akal dan sesuai dengan akal sehat dan
kenyataan praktis. Bagaimanapun dia menerima ini lebih dengan kepercayaan
(faith) daripada dengan pengetahuan. Hal ini berbeda dengan aliran Realis Baru
yang menerima realitas atau kenyataan objek fisik karena pengetahuan
semata-mata, yaitu pengetahuan atas suatu relasi antara objek tertentu dengan pikiran
yang mengetahui.
Seorang Realis Kritis
amat teruji dengan pernyataan, yang barangkali terlalu lama, memberikan
kontroversi, yaitu hanya apa yang ada yang tersajikan dalam persepsi. Dia tidak
lebih lama berhubungan dengan subjektivis, untuk mengatakan benda-benda
tertentu seperti warna dan suara sebagai sensasi yang hanya milik pikiran, juga
sebelumnya dia tidak menginginkan memperluas Realis Baru dan menyebut mereka
sebagai kualitas sejati objek-objek. Dia tidak percaya bahwa objek luar
terutama dalam kenyataannya bisa dipahami. Objek luar adalah realitas kasar
yang tidak bisa tersajikan dalam pengalaman. Hanya data inderawi yang hadir
dalam pengalaman. Data inderawi beraneka ragam, kemudian menyatakan karakter
objek, tetapi banyak mengisi unsur-unsur lain; yaitu, mereka merefleksikan
hakekat pikiran dan menerima sesuatu yang sama baik dengan objek yang
diterimanya.
Objek luar kenyataannya
ada dan bebas dari pikiran yang memahami, tetapi ini sesuatu yang sangat
berbeda dari kata hasil persepsi (datum
of perception), yaitu beragam karakter yang dipahami (character-complex apprehended), yang tidak memiliki sifat objek
luar. Ini adalah objek luar sebagai objek yang nampak kepada pikiran yang
memahami. Bagaimanapun juga Realis Kritis memberikan pandangan data inderawi,
atau sensasi, sebagai sesuatu yang menengahi antara pikiran yang memahami
dengan benda-benda yang ada secara fisik. Maka kita mendengar kajian terbesar
tentang data (datum) atau karakter
yang beragam (character-complex)
sebagai esensi (essence). Pikiran
tidak bisa mengungakap objek itu sendiri; atau mengungkap esensi, ia hanya datum.
Dengan demikian
nampaklah bahwa dalam situasi mengetahui ada tiga macam kesatuan: Pertama,
pikiran yang memahami atau organisme sadar; kedua, objek luar, kenyataan paling
kasar, dan hanya memiliki kualitas primer; ketiga, data persepsi (datum of perception) yang terutama
menyajikan berbagai datum kepada panca indera, dinamai juga karakter kompleks
atau esensi. Yang terakhir bukan mental, juga bukan bagian atau salah satu
aspek objek luar; ini adalah perantara kesatuan logis (logical entity).
Sebagian kecil saja
persoalan pengetahuan, yakin menimbulkan banyak kesulitan, dan, ada semacam
Realisme akhir yang pasti lebih kritis dan mampu memecahkannya; tetapi
kesulitan-kesulitan kemungkinan besar justru akan dipecahkan oleh suatu
Realisme yang kurang kritis dan Realisme yang lebih naïf dari aliran ini; namun
demikian, penyelidikan ulang senantiasa dilakukan ulang oleh Realis Kritis
sebagai usaha terakhir untuk memberikan hasil final.
Santayana misalnya,
dalam bukunya Scepticism and Animal Faith
and The Realm of Essence, telah menulis dengan cara menarik lebih banyak
esensi; tetapi jelas, terus terang saja orang-orang menemukan kesulitan dalam
memahami apa sesungguhnya gagasan tersebut. Orang akan pusing bahwa Santayana
bermaksud mengatakan bahwa organisme yang berpikir menangkap begitu banyak
benda-benda yang ada secara fisik sebagai sesuatu yang penting, atau esensi.
Tetapi esensi memiliki aroma skolastik, dan orang bisa saja bertanya apakah
kita membutuhkannya. Jika objek fisik itu sejatinya ada, maka perlu memandang cara
objek itu nampak. Kenampakan mereka, sebagai kesatuan logis (logical entities), mengambang di antara
organisme dan objek. Ini akan nampak wajar bahwa mereka, objek yang
sungguh-sungguh ada, seterusnya akan bereaksi secara berbeda, di bawah keadaan
yang berbeda. Esensi pada Realis Kritis, mengingatkan seseorang akan suatu
kesatuan netral (neutral entities) dari Realis baru, yaitu benda-benda yang
barangkali tidak lama lagi dapat kita gapai.
Yakinlah bahwa panasnya
api diinderai dalam cara yang berbeda berdasarkan jarak, dekat atau jauh;
tetapi tidak ada esensi yang misterius, sebagai objek intuisi, karena kenyataan
objek luar, seperti panas dimodifikasi oleh jarak. Potongan daun berwarna
coklat mungkin terlihat seperti beruang. Tetapi organisme yang mengindera tidak
mengintuisi suatu esensi. Ia mengintuisi potongan daun yang berwarna cokelat,
dan memiliki mekanismenya sendiri, yaitu munculnya rasa takut akan masa lalu
dan minat subjektifnya, sehingga menyebabkan reaksinya terhadap daun akan
dianggap sebagai beruang.
Mungkin saja dalam
beberapa hal persoalan ini dapat dipecahkan. Tetapi kita harus ingat bahwa
persoalan ini hanya berada dalam tahap budaya bahwa organisme sensitif menjadi
tertarik dengan pertanyaan tentang realitas dalam pemahaman kognitif. Karena
sebagian terbesar yang dimiliki organisme hanya ketertarikan dalam reaksi yang
cocok dengan rangsangan yang diberikan. Maka organisme hanya bertanya, apakah
pengalaman ini mempengaruhi saya dan keselamatan saya? Keinginan binatang
memang berkembang menuju ke arah memiliki kemampuan minat ilmiah, dan pikiran
orang yang mengamati mulai menyelidiki tentang realitas objektif; hasrat
pengamat ingin mengetahui apakah dunia objektif sungguh-sungguh memang
demikian—yaitu apakah ia akan menjadi sebagai sesuatu yang diintuisi oleh
pengamat dengan tidak ada kepentingan subjektif sama sekali—dan dia memberontak
melawan makhluk yang mengatakan bahwa tidak ada pendekatan kepada realitas
kehidupan yang mungkin hanya menerima melalui “kepercayaan”, atau bahwa dia dengan
tanpa harapan dibatasi pengetahuannya terhadap fenomena atau terhadap “esensi”
atau terhadap sensasi yang dia miliki sendiri.
Pengamat tadi merasa
bahwa dia telah berhubungan langsung dengan benda-benda, atau setidaknya dengan
permukaan atau sisi tertentu benda-benda, dan bahwa persepsi inderawi
memunculkan sebagian apakah benda-benda tersebut memang demikian adanya, tidak
semata-mata seperti apa yang pengamat atau subjek maksudkan. Gerakan Realistik
pada zaman kita akan nampak kehilangan banyak animonya jika kita menemukan
bahwa dalam persepsi inderawi tidak ada pendekatan langsung setelah semuanya
terjadi atas keberadaan benda-benda luar. Terakhir nampak menyurutkan kembali
untuk menemukan Ding an sich Kantian
yang misterius, setidaknya menghindari semua usaha untuk memperolehnya. Jika
posisi logis Realis Kritis lebih baik dari Realis Baru, dia memperoleh
keuntungan atas pengorbanan terbesarnya dan menemukan dirinya sendiri menjadi
baik dengan cara kembali ke kamp idealis.
Filsafat
Nilai
Satu bidang filsafat
yang cukup menarik yaitu tentang nilai. Apa yang dimaksud dengan nilai?
Bagaimana nilai dibedakan dari fakta? Apakah nilai itu objektif berada dalam
wujud atau hakekatnya sendiri? Atau justru secara subjektif ada di dalam
pikiran manusia?
Ada tiga macam nilai
yang bisa dipelajari dalam filsafat yaitu nilai religious, nila moral dan nilai
estetis. Persiapan mempelajari nilai religious yaitu ditandai dengan keinginan
kita mempelajari Tuhan dan makna Tuhan dalam pengalaman manusia. Jika Tuhan itu
baik dan menciptakan dunia bagaimana manusia. Jika Tuhan itu baik dan
menciptakan dunia bagaimana kita akan menjelaskan kehadiran kejahatan dalam
dunia? Studi tentang nilai moral akan membuka satu pokok bahasan yang paling
menarik, khususnya pada saat-saat sekarang ini yaitu pada saat adanya begitu
banyak kebingungan tentang moral. Terakhir nilai estetis atau studi tentang
keindahan seperti yang ditunjukkan alam dan seni lukis. Tak kurang dan tak
lebih teori ini juga akan meminta perhatian kita.
Nilai-nilai
religius
Tuhan adalah jiwa
dunia, tempat kehadiran batin, memiliki daya cipta, kekuatan pengorganisasi dan
penyempurna, sumber moral, relijius dan cita-cita estetis kita.
Apa makna Tuhan bagi
kita? Barangkali, menghadirkan kekuatan batin, kekuatan daya cipta, lambang
kebajikan, kecantikan dan cinta. Dalam teori evolusi, kita mengandaikan adanya
beberapa agen penciptaan di setiap ruang dan waktu yang bergerak secara
evolusioner. Tidak hanya dalam organisasi asli atom pada molekul dan molekul
dalam sel hidup tetapi juga sel hidup dalam bentuk kehidupan tinggi dan
tertinggi-seterusnya sampai pada manusia. Evolusi adalah suatu proses
penciptaan termasuk beberapa pengorganisasian, pengintegrasian dan perantara
penyempurna. Dengan evolusi menandakan adanya penciptaan masa kini atau waktu
dari materi yang merupakan elemen-elemen sederhana dan ada penciptaan konstan
pada taraf organis. Kenyataan ini akan nampak ketika kita membicarakan elemen
benda-benda yang secara langsung mengkoordinasi energi dasar terhadap energi
dirinya sendiri. Dalam wacana ilmiah sekarang, konsep energi sangat
fundamental. Materi bisa direduksi ke dalam energi namun konsep energi itu
sendiri penuh dengan ketidakpastian. Kenyataan ini berguna bagi sains dalam
rangka mempertahankan apapun yang ada yang mengakibatkan perubahan pada cara
kerja dan hasilnya. Proses ini terdengar lebih kuantitatif daripada kualitatif
oleh sebab itu jika kita bertanya apa hakekat energi, fisika tidak bisa berkata
apa pun pada kita. Hipotesis misterius yang kita sebut dengan energi adalah
sesuatu yang psikis sifatnya, seperti konsep pikiran yang sekarang lagi ngetren
dikalangan para filsuf. Hipotesis ini memberikan pada kita pandangan idealistic
tentang dunia dengan mereduksi alam semesta fisik ke dalam “energi fikir” dan
energi fikir ini akan menjadi Tuhan. Pandangan ini nampaknya mengharmonisasikan
sains dan agama dan tentu saja telah ada dalam banyak sistem besar filsafat
kita.
Dari pandangan dunia
yang agung ini jalan apa yang kita tempuh sekarang? Tidakkah Tuhan bermakna
bagi kita dalam wacana aktual kemanusiaan. Tuhan kata James, berada dalam
“kehidupan religius manusia biasa dan suatu nama yang tidak seluruhnya
benda-benda, namun juga meliputi kecenderungan ideal benda-benda seperti
percaya akan adanya surge dan neraka serta seorang utusan yang memiliki
kekuatan luar biasa dan menyuruh kita mengikuti ajarannya kemudian memajukan
kehidupan kita jika semua ini bernilai. Di sini kita bisa lihat, betapa pentingnya
konsep energi bagi kita dan ada beberapa konsep besar berkenaan dengannya. Ada
sesuatu yang lebih mendasar di dalam semesta daripada energi itu sendiri atau
materi yaitu, petunjuk atau arah energi (the
direction of energy). Dalam psikologi pun kita belajar bahwa ada sesuatu
yang lebih fundamental dari sensasi, persepsi, dan pikiran, yaitu, desakan hati
(impulse),
kecenderungan-kecenderungan konasi (the
conative tendencies), rasa lapar (hunger) dan kecanduan akan sesuatu (craving). Pada biologi kita menerima
bahwa kehidupan yang lebih dalam itu sendiri adalah mempertahankan hidup.
Terakhir, dalam dunia secara keseluruhan ada satu desakan asli yang mendorong
munculnya struktur kehidupan dan pikiran—itulah kebajikan. Kebajikan adalah
nilai abadi. Tuhan bukan energi tapi aktifitas penciptaan (creative activity) bukan hanya creative activity tapi juga
kecenderungan ideal (ideal tendency).
Pikiran manusia juga di
susun oleh kekuatan tersebut di atas dan harus dipercaya selalu dalam keadaan
berkembang (progress). Berkembang tidak hanya ke arah yang lebih besar tetapi
juga ke arah yang lebih spesifik, (the Direction of Human Evolution) demikian
menurut Edwin Grant Conklin. Bagi William Patten situasi tersebut mengandaikan
adanya perantara penciptaan tertinggi, progressif, kreatif, proses konstruksi,
selalu berada pada kondisi saling operasi (cooperation) dan saling melayani
(mutual service). Ia lebih berada dalam akar pergerakan evolusioner daripada
mempertahankan hidup yang kejam (the ruthless struggle for existence).
Sementara itu ada kekuatan lain dalam berbuat, yaitu konstruktif, mementingkan orang lain
(aliruistic) dan senantiasa condong pada kebaikan (benevolent).
Kita sekarang telah
memutuskan bahwa di dunia ini ada beberapa perantara fundamental yakni kekuatan
perfecting, organizing dan integrating—kekuatan yang bekerja secara menyeluruh—untuk
kesatuan, untuk individualitas, selanjutnya saling mengoperasi dalam kebaikan.
Jauh di bawah kepercayaan kita ada fakta
yang mendasar yang menyebabkan Tuhan itu ada. Ia bekerja secara ideal
bagi dirinya sendiri dan berada di luar alur sejarah. Kekuatan tersebut sangat
besar dan sangat menarik ketika menggambarkan kita dalam beberapa tujuan yang
jauh bahkan tidak bisa diketahui namun mensyaratkan sepenuhnya kesetiaan kita.
Tuhan,
sumber berbagai hal ideal
Sudahkah kita percaya
akan dasar-dasar kenyataan bahwa Tuhan adalah sumber moral, religius dan
estetis kita yang ideal? Baiklah, hal-hal ideal ini eksis pada manusia dan
manusia adalah bagian dari dunia. Beberapa sumber hal-hal ideal ini pasti eksis
juga. Sejarah nampaknya mengandaikan adanya sebuah proses untuk merealisasikan
hal-hal ideal. Walaupun kondisi social, ekonomi dan politik saat ini mungkin
lebih baik dari yang pernah orang alami dulu, kondisi tersebut nampak tidak
sempurna bagi kita dan kita merasa tidak puas dengannya. Yang ideal selalu
berada di atas tindakan praktis. Kita mengeluh tentang ketidakadilan sosial
atau aturan sosial saat ini kemudian membuat usaha besar dan berhasil
memperbaikinya. Namun kalau kita tengok ke belakang, kita melihat bahwa tidak
ada zaman yang lebih terhormat disbanding dengan zaman kita sekarang ini. Pada
zaman perbudakan, kita membayangkan dan mendambakan kebebasan. Dalam zaman
perbudakan ekonomi kita membayangkan dan ingin meraih kebebasan ekonomi
tersebut. Dengan visi atas berbagai hal ideal ini dan selalu berjuang untuk
merealisasikannya, kita telah memperoleh emansipasi atas kaum perempuan kita
dari posisi absurd ketidaksetaraan. Kita mengatakan pada anak kita sebagai
sebuah kebenaran ketika membebaskan mereka dari kerja dan harus memberikan
hak-hak istimewa atas pendidikannya. Kita melakukan protes menentang autokrasi
dan menyetujui prinsip-prinsip demokrasi; dan kini, kita tengah berusaha sekuat
tenaga menghentikan perang dan merencanakan beberapa sistem kerjasama
internasional.
Akan tetapi dari mana
datangnya hal-hal atau cita-cita ideal ini? Apakah kita menciptakannya untuk
kita turuti? Jika memang demikian, evolusi kembali memiliki daya cipta dan
kreatifitas terhadap nilai-nilai; religius, moral dan estetis di mana kita
dapat menerima kenyataan bahwa tidak ada sesuatu yang lebih tinggi selain
evolusi. Jika sains mengijinkan sebuah penafsiran tentang proses dunia,
yakinlah agama tentu memuaskan, setidaknya bagi energi kreatif seperti,
bertemunya konsep-konsep kita terhadap yang Ilahiyah.
Tetapi apakah nilai, di
sisi lain, tidak diciptakan untuk kita taati, tetapi hanya sebagai tipe-tipe
keabadian, pola kebenaran, kenyataan dan esensi? Apakah ada sistem nilai ideal,
di mana di dalamnya memungkinkan hal-hal ideal itu “hidup”, (subsist)? Adakah
kini seruan perennial atas hal ideal dalam ajaran Platonik kuno? Kita mungkin
berpikir tentang nilai-nilai ideal sebagai sesuatu yang tidak hanya nyata,
tetapi sebagai agensi atau efisiensi kepemilikan, yakni suatu efisiensi yang
akan nampak jika dikonfirmasi oleh fakta bahwa manusia merupakan makhluk yang
teraktualisasi oleh yang ideal yang tidak akan pernah bisa diterima dalam
bentuk eksistensialnya yang paling kongkrit. Bagi siapa yang akan terburu-buru
berpendapat misalnya bahwa suatu masyarakat manusia belum pernah memperoleh
yang ideal atas sebuah organisasi, selanjutnya di mana keadilan yang sempurna
bisa dibuat untuk semuanya? Namun ada di antara manusia yang berpikir dan
menolak bahwa yang ideal ini patut diperjuangkan dan diusahakan dengan sekuat
tenaga, sebab untuk siapa nantinya? Dan kata siapa kalau efisiensi atas yang
ideal ini tidak akan pernah berjumpa dengan kekuatan yang memaksa?”
Bagaimanapun juga, akan
nampak bahwa konsepsi tentang Tuhan sebagai jiwa dunia, kekuatan spiritual
imanen, agensi sempurna dan penuh daya cipta, serta sumber nilai-nilai ideal
kita, mungkin akan memberi kita gagasan yang bermanfaat tentang Tuhan, dan akan
menjadi konsisten dengan sains maupun filsafat dan dengan arti kata “Tuhan”
dalam wacana orang pada umumnya.
Jika kita mempercayai
sesuatu, apa pun namanya, yang telah memberi makna terbesar bagi kehidupan manusia,
yaitu sesuatu yang lebih besar dari ambisi dan nafsu personal kita, dan sesuatu
yang dapat meng-ada-kan diri kita sendiri serta memberi kita sedikit makna
kehidupan dan nilai terdalam, dalam arti luas kita mungkin saja akan mengatakan
bahwa saya punya Tuhan.
Sumber : Buku
Filsafat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar