PENGERTIAN
ILMU AKHLAK
Ada
dua pendekatan yang dapat digunakan untuk mendefinisikan akhlak, yaitu
pendekatan linguistik (kebahasaan),
dan pendekatan terminologik (peristilahan).
Dari
sudut kebahasaan, akhlak berasal dari bahasa Arab, yaitu isim mashdar (bentuk infinitf) dari kata akhlaqa, yukhliqu, ikhlaqan, sesuai dengan timbangan
(wazan) tsulasi majid af’ala, yuf’ilu if’alan yang berarti al-sajiyah (perangai), ath-thabi’ah (kelakuan, tabi’at, watak
dasar), al-‘adat (kebiasaan,
kelaziman), al-maru’ah (peradaban
yang baik), dan al-din (agama).
Namun
akar kata akhlak dari akhlaqa sebagaimana tersebut di atas
tampaknya kurang pas, sebab isim mashdar
dari kata akhlaqa bukan akhlaq tetapi ikhlaq. Berkenaan dengan ini maka timbul pendapat yang mengatakan
bahwa secara Linguistik kata akhlaq
merupakan isim jamid atau isim ghair mustaq, yaitu isim yang tidak
memiliki akar kata, melainkan kata tersebut memang sudah demikian adanya. Kata akhlaq adalah jamak dari kata khilqun atau khuluqun yang artinya sama dengan arti akhlaq sebagaimana telah
disebutkan di atas. Baik kata akhlaq atau khuluq kedua-duanya dijumpai
pemakaiannya baik dalam al-Qur’an, maupun al-Hadis, sebagai berikut:
Dan
sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung (QS.
al-Qalam, 68: 4).
(Agama
kami) ini tidak lain hanyalah adat kebiasaan yang dahulu
(QS. al-Syu’ara, 26: 137).
Orang mukmin yang
paling sempurna keimanannya adalah orang sempurna budi pekertinya. (HR. Turmudzi).
Bahwasanya aku diutus
(Allah) untuk menyempurnakan keluhuran budi pekerti. (HR. Ahmad).
Ayat
yang pertama disebut di atas menggunakan kata khuluq untuk arti budi pekerti, sedangkan ayat yang kedua
menggunakan kata akhlak untuk arti adat kebiasaan. Selanjutnya hadis yang
pertama menggunakan kata khuluq untuk
arti budi pekerti, dan hadis yang kedua menggunakan kata akhlak yang juga
digunakan untuk arti budi pekerti. Dengan demikian kata akhlaq atau khuluq secara
kebahasaan berarti budi pekerti, adat kebiasaan, perangai, muru’ah atau segala
sesuatu yang sudah menjadi tabi’at. Pengertian akhlak dari sudut kebahasaan ini
dapat membantu kita dalam menjelaskan pengertian akhlak dari segi istilah.
Untuk
menjelaskan pengertian akhlak dari segi istilah ini kita dapat merujuk kepada
berbagai pendapat para pakar di bidang ini. Ibn Miskawaih (w. 421 H/1030 M)
yang selanjutnya dikenal sebagai pakar bidang akhlak terkemuka dan terdahulu
misalnya secara singkat mengatakan, bahwa akhlak adalah:
Sifat yang tertanam dalam
jiwa yang mendorongnya untuk melakukan perbuatan tanpa memerlukan pemikiran dan
pertimbangn.
Sementara
itu Imam al-Ghazali (1059-1111 M.) yang selanjutnya dikenal sebagai Hujjatul Islam (Pembela Islam), karena
kepiawaiannya dalam membela Islam dari berbagai paham yang dianggap
menyesatkan, dengan agak lebih dari Ibn Miskawaih, mengatakan, akhlak adalah;
Sifat yang tertanam
dalam jiwa yang menimbulkan macam-macam perbuatan dengan gampang dan mudah,
tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan.
Sejalan
dengan pendapat tersebut di atas, dalam Mu’jam
al-Wasith, Ibrahim Anis mengatakan
bahwa akhlak adalah:
Sifat yang tertanam
dalam jiwa, yang dengannya lahirlah macam-macam perbuatan, baik atau buruk,
tanpa membutuhkan pemikiran dan pertimbangan.
Selanjutnya
di dalam Kitab Dairatul Ma’arif, secara singkat akhlak diartikan,
Sifat-sifat manusia
yang terdidik.
Keseluruhan
definisi akhlak tersebut di atas tampak tidak ada yang bertentangan, melainkan
memiliki kemiripan antara satu dan lainnya. Definisi-definisi akhlak tersebut
secara substansial tampak saling melengkapi, dan darinya kita dapat melihat
lima ciri yang terdapat dalam perbuatan akhlak, yaitu:
Pertama,
perbuatan akhlak adalah perbuatan yang telah tertanam kuat dalam jiwa
seseorang, sehingga telah menjadi kepribadiannya. Jika kita mengatakan bahwa si
A misalnya sebagai orang yang berakhlak dermawan, maka sikap dermawan tersebut
telah mendarah daging, kapan dan di manapun sikapnya itu dibawanya, sehingga
menjadi identitas yang membedakan dirinya dengan orang lain. Jika si A tersebut
kadang-kadang dermawan, dan kadang-kadang bakhil, maka si A tersebut belum
dapat dikatakan sebagai seorang yang dermawan. Demikian juga jika kepada si B
kita mengatakan bahwa ia termasuk orang yang taat beribadah, maka sikap taat
beribadah tersebut telah dilakukannya di manapun ia berada.
Kedua,
perbuatan akhlak adalah perbuatan yang dilakukan dengan mudah dan tanpa
pemikiran. Ini tidak berarti bahwa pada saat melakukan sesuatu perbuatan, yang
bersangkutan dalam keadaan tidak sadar, hilang ingatan, tidur atau gila. Pada
saat yang bersangkutan melakukan suatu perbuatan ia tetap sehat akal pikirannya
dan sadar. Oleh karena itu perbuatan yang dilakukan oleh seseorang dalam
keadaan tidur, hilang ingatan, mabuk, atau perbuatan reflek seperti berkedip,
tertawa dan sebagainya bukanlah perbuatan akhlak. Perbuatan akhlak adalah
perbuatan yang dilakukan oleh orang yang sehat akal pikirannya. Namun karena
perbuatan tersebut sudah mendarah daging, sebagaimana disebutkan pada sifat
yang pertama, maka pada saat akan mengerjakannya sudah tidak lagi memerlukan
pertimbangan atau pemikiran lagi. Hal yang demikian tak ubahnya dengan
seseorang yang sudah mendarah daging mengerjakan shalat lima waktu, maka pada
saat datang panggilan shalat ia sudah tidak merasa berat lagi mengerjakannya,
dan tanpa pikir-pikir lagi ia sudah dengan mudah dan ringan dapat
mengerjaknnya.
Ketiga,
bahwa perbuatan akhlak adalah perbuatan yang timbul dari dalam diri orang yang
mengerjakannya, tanpa ada paksaan atau tekanan dari luar. Perbuatan akhlak
adalah perbuatan yang dilakukan atas dasar kemauan, pilihan dan keputusan yang
bersangkutan. Oleh karena itu jika ada seseorang yang melakukan suatu
perbuatan, tetapi perbuatan tersebut dilakukan karena paksaan, tekanan atau ancaman
dari luar, maka perbuatan tersebut tidak termasuk ke dalam akhlak dari orang
yang melakukannya. Dalam hubungan ini Ahmad Amin mengatakan,
Bahwa
ilmu akhlak adalah ilmu yang membahas tentang perbuatan manusia yang dapat
dinilai baik atau buruk. Tetapi tidak semua amal yang baik atau buruk itu dapat
dikatakan perbuatan akhlak. Banyak perbuatan yang tidak dapat disebut perbuatan
akhlaki, dan tidak dapat dikatakan baik atau buruk. Perbuatan manusia yang
dilakukan tidak atas dasar kemaunnya atau pilihannya seperti bernafas,
berkedip, berbolak-baliknya hati, dan kaget ketika tiba-tiba terang setelah
sebelumnya gelap tidaklah disebut akhlak, karena perbuatan tersebut yang
dilakukan tanpa pilihan.
Keempat, bahwa
perbuatan akhlak adalah perbuatan yang dilakukan dengan sesungguhnya, bukan
main-main atau karena bersandiwara. Jika kita menyaksikan orang berbuat kejam,
sadis, jahat, dan seterusny, tapi perbuatan tersebut kita lihat dalam
pertunjukkan film, maka perbuatan tersebut tidak dapat disebut perbuatan akhlak,
karena perbuatan tersebut bukan perbuatan yang sebenarnya. Berkenaan dengan
ini, maka sebaiknya seseorang tidak cepat-cepat menilai orang lain sebagai
berakhlak baik atau berakhlak buruk, sebelum diketahui dengan sesungguhnya
bahwa perbuatan tersebut memang dilakukan dengan sebenarnya. Hal ini perlu
dicatat, karena manusia termasuk makhluk yang pandai bersandiwara, atau
berpura-pura. Untuk mengetahui perbuatan yang sesungguhnya dapat dilakukan
melalui cara yang kontinyu dan terus-menerus.
Kelima,
sejalan dengan ciri yang keempat, perbuatan akhlak (khususnya akhlak yang baik)
adalah perbuatan yang dilakukan karena ikhlas semata-mata karena Allah, bukan
karena ingin dipuji orang atau karena ingin mendapatkan sesuatu pujian. Seseorang
yang melakukan perbuatan bukan atas dasar karena Allah tidak dapat dikatakan
perbuatan akhlak.
Dalam
perkembangan selanjutnya akhlak tumbuh menjadi suatu ilmu yang berdiri sendiri,
yaitu ilmu yang memiliki ruang lingkup pokok bahasan, tujuan, rujukan, aliran
dan para tokoh yang mengembangkannya. Kesemua aspek yang terkandung dalam
akhlak ini kemudian membentuk satu kesatuan yang saling berhubungan dan
membentuk suatu ilmu. Dalam Da’iratul Ma’arif Ilmu Akhlak adalah:
Ilmu
tentang keutamaan-keutamaan dan cara mengikutinya hingga terisi dengannya dan
tentang keburukan dan cara menghindarinya hingga jiwa kosong daripadanya.
Di
dalam Mu’jam al-Wasith disebutkan
bahwa ilmu akhlak adalah:
Ilmu
yang obyek pembahasannya adalah tentang nilai-nilai yang berkaitan dengan
perbuatan manusia yang dapat disifatkan dengan baik atau buruk.
Selain
itu ada pula pendapat yang mengatakan bahwa ilmu akhlak adalah ilmu tentang
tata karma.
RUANG
LINGKUP PEMBAHASAN ILMU AKHLAK
Jika
definisi tenang Ilmu Akhlak tersebut kita perhatikan dengan seksama, akan
tampak bahwa ruang lingkup pembahasan Ilmu Akhlak adalah membahas tentang
perbuatan-perbuatan manusia, kemudian menetapkannya apakah perbuatan tersebut
tergolong perbuatan yang baik atau perbuatan yang buruk. Ilmu akhlak dapat pula
disebut sebagai ilmu yang berisi pembahasan dalam upaya mengenal tingkah laku
manusia, kemudian memberikan nilai atau hukum kepada perbuatan tersebut, yaitu
apakah perbuatan tersebut tergolong baik atau buruk.
Dengan
demikian obyek pembahasan Ilmu Akhlak berkatan dengan norma atau penilaian
terhadap suatu perbuatan yang dilakukan oleh seseorang. Jika kita katakana baik
atau buruk, maka ukuran yang harus digunakan adalah ukuran normative.
Selanjutnya jika kita katakan sesuatu itu benar atau salah, maka yang demikian
itu termasuk masalah hitungan atau akal pikiran.
Sebagai
suatu ilmu yang berdiri sendiri antara lain ditandai oleh adanya berbagai ahli
yang membidangi dirinya untuk mengkaji akhlak. Dalam bahasa Arab misalnya kita
dapat membaca buku Khuluq al-Muslim
(Akhlak Orang Muslim), yang ditulis Muhammad al-Ghazali, Kitab al-Akhlaq (Ilmu
Akhlak) yang ditulis oleh Ahmad Amin. Dan sebelum itu kita dapat pula menjumpai
buku berjudul Tahzib al-Akhlaq
(Pendidikan Akhlak) yang ditulis oleh Ibn Miskawaih, Ihya’ Ulum al-Din (menghidupkan Ilmi-ilmu Agama) yang ditulis oleh
Imam al-Ghazali. Dan kini kita juga membaca buku Falsafah Akhlak yang ditulis Murthada Mutahhari, Ilmu Tasawuf yang
ditulis oleh Mustafa Zahri, dan lain-lain.
Dengan
mengemukakan beberapa literature tentang akhlak tersebu menunjukkan bahwa
keberadaan Ilmu Akhlak sebagai sebuah disiplin ilmu agama sudah sejajar dengan
ilmu-ilmu keIslaman lainnya, seperti tafsir, tauhid, fiqh, sejarah Islam, dan
lain-lain.
Pokok-pokok
masalah yang dibahas dalam ilmu akhlak pada intinya adalah perbuatan manusia.
Perbutan tersebut selanjutnya ditentukan kriterianya apakah baik atau buruk.
Dalam hubungan ini Ahmad Amin mengatakan sebagai berikut:
Bahwa
Obyek ilmu akhlak adalah membahas perbutan manusia yang selanjutnya perbuatan
tersebut ditentukan baik atau buruk.
Pendapat
di atas menunjukkan dengan jelas bahwa obyek pembahasan ilmu akhlak adalah
perbuatan manusia untuk selanjutnya diberikan penilaian apakah baik atau buruk.
Pengertian
ilmu akhlak selanjutnya dikemukakan oleh Muhammad al-Ghazali. Menurutnya bahwa
kawasan pembahsan Ilmu Akhlak adalah seluruh aspek kehidupan manusia, baik
sebagai individu (perseorangan) maupun kelompok. Jika kita bandingkan
pengertian Ilmu Akhlak yang pertama tampak bahwa pada pengertian Ilmu Akhlak
yang kedua ini tidak hanya terbatas pada tingkah laku individual, melainkan
juga tingkah laku yang bersifat sosial. Dengan demikian terdapat akhlak yang berisfat
perorangan dan akhlak yang bersifat kolektif. Namun definisi yang kedua ini
kekurangannya tidak menyertakan penilaian terhadap perbuatan tersebut.
Sedangkan definisi Ilmu Akhlak yang pertama walaupun tidak menyebutkan akhlak
yang bersifat sosial, namun memberikan penilaian terhadap perbutan tersebut.
Dalam
masayarakat Barat kata akhlak sering diidentikkan dengan etika, walaupun
pengidentikkan ini tidak sepenuhnya tepat sebagaimana akan dijelaskan dibawah
nanti. Mereka yang mengidentikkan akhlak dengan etika mengatakan bahwa etika
adalah penyelidikan tentang tingkah laku dan sifat manusia.
Namun
perlu ditegaskan kembali di sini bahwa yang dijadikan obyek kajian Ilmu akhlak
di sini adalah perbuatan yang memiliki ciri-ciri sebagaimana disebutkan di
atas, yaitu perbuatan yang dilakukan atas kehendak dan kemauan, sebenarnya,
mendarah daging dan telah dilakukan secara kontinyu atau terus-menerus sehingga
mentradisi dalam kehidupannya. Perbuatan atau tingkah laku yang tidak memiliki
ciri-ciri tersebut tidak dapat disebut sebagai perbuatan yang dijadikan garapan
Ilmu Akhlak.
Banyak
contoh perbuatan yang termasuk perbuatan akhlak dan banyak pula contoh
perbuatan yang tidak termasuk perbuatan akhlak. Seseorang yang membangun
masjid, gedung sekolah, rumah sakit, jalan raya dan pos keamanan adalah
termasuk perbuatan akhlak yang baik, karena untuk membangun hal tersebut jelas
memerlukan perencanaan, waktu, biaya, pelaksanaan dan lain sebagainya, dan
perbuatan semacam ini tidak akan terwujud jika tidak didasarkan pada kemauan
dan kehendak yang kuat dan disengaja. Oleh karena itu perbuatan tersebut
termasuk perbuatan akhlaki. Tetapi jika seseorang memicingkan mata dengan
tiba-tiba pada waktu benda berpindah dari gelap ke terang, atau menarik tangan
pada waktu tersengat api atau binatang buas, bernafas, hati yang berubah-ubah,
orang yang menjadi ibu-bapak kita, tempat tinggal kita, kebangsaan kita, warna
kulit kita, dan karena semua itu di luar perencanaan, kehendak atau pilihan
kita. Kita tidak menentukan orang yang menjadi ibu-bapak kita misalnya,
karenanya ia bukan pilhan kita, tetapi sesuatu yang sudah begitu adanya, tanpa
kita rencanakan lebih dahulu. Hal yang demikian tidak termasuk perbuatan
akhlaki, atau tidak termasuk obyek pembahasan Ilmu Akhlak.
Selanjutnya
tidak pula termasuk ke dalam perbuatan akhlaki, yaitu perbuatan yang alami.
Dalam hubungan ini Murthada Muthahhari mengatakan bahwa perbuatan alami tidak
menjadikan pelakunya layak dipuji. Misalnya manakala seseorang dirundung lapar,
dia akan makan, dan di saat kehausan, dia akan segera mencari air untuk
mengobati kehausannya itu. Atau bilamana dirinya dihina orang, dia akan
berupaya membela diri dan memelihara hak-haknya, dan sebagainya. Jenis semua
perbuatan di atas dinamakan perbuatan alami, dan tidak termasuk perbuatan
akhlaki.
Dengan
demikian perbuatan yang bersifat alami, dan perbuatan yang dilakukan tidak
karena sengaja, atau khilaf tidak termasuk perbuatan akhlaki, karena dilakukan
tidak atas dasar pilihan. Hal ini sejalan dengan sabda Rasulullah SAW. yang
berbunyi:
Bahwasanya Allah
memaafkanku dan umatmu yang berbuat salah, lupa dan dipaksa. (HR. Ibn Majah
dari Abi Zar).
Hukum dibebaskan atas
tiga golongan, yaitu atas orang yang gila hingga ia sembuh gilanya, orang yang
tidur hingga ia bangun dari tidurnya dan anak kecil sehingga ia menjadi dewasa.
(HR. Ahmad, Abu Daud dan Hakim dan Umar).
Hadis-hadis
tersebut di atas memberi petunjuk adanya sejumlah perbuatan yang dilakukan
tidak disertai kesadaran atau kemauan diri sendiri, yaitu perbuatan yang
dilakukan oleh orang gila, orang tertidur, anak yang masih kecil, orang yang
lupa dan orang yang dipaksa. Perbuatan yang dilakukan oleh orang-orang yang
dalam keadaan demikian tidak dapat disebut perbuatan akhlak, karena semua
perbuatan tersebut tidak dilakukan dengan sengaja.
Selanjutnya
ada pula perbuatan yang menyerupai kedua jenis perbuatan yang disebutkan di
atas. Perbuatannya yang demikian itu selanjutnya dikenal dengan istilah al-a’mal al-mutasyabih
(perbuatan-perbuatan yang menyerupai) kedua jenis perbuatan tersebut di atas.
Orang yang membakar sebuah rumah karena didasari oleh mimpi misalnya adalah
termasuk perbuatan yang menyerupai kedua jenis perbuatan di atas. Apakah orang
yang seperti itu patut dijatuhi hukuman karena perbuatannya. Untuk menjawab
masalah ini para ahli Ilmu Akhlak terbagi kepada dua bagian. Pertama ada yang
menghendaki perbuatan yang dapat diusahakan agar tidak terjadi, tetapi tetap
terjadi juga.
Perbuatan
yang tergolong ke dalam perbuatan akhlak adalah perbuatan jenis pertama dengan
contoh seperti tersebut di atas, yaitu orang yang membakar rumah dalam keadaan
bermimpi. Ia tahu bahwa ia sering bermimpi dan bisa berbuat sesuatu di waktu
tidur, maka seharusnya agar jangan terjadi sesuatu yang tidak diingini, supaya
hal-hal yang bisa mendatangkan bahaya hendaknya dijauhi. Sedangkan perbuatan
yang kedua tidak termasuk dalam ruang lingkup Ilmu Akhlak, karena perbuatan
tersebut terjadi di luar kemampuan dirinya.
Dengan
memperhatikan keterangan tersebut di atas kita dapat memahami bahwa yang
dimaksud dengan Ilmu Akhlak adalah ilmu yang mengkaji suatu perbuaan yang
dilakukan oleh manusia yang dalam keadaan sadar, kemauan sendiri, tidak
terpaksa dan sungguh-sungguh atau sebenarnya, bukan perbuatan yang pura-pura.
Perbuatan-perbuatan yang demikian selanjutnya diberi nilai baik atau buruk.
MANFAAT
MEMPELAJARI ILMU AKHLAK
Berkenaan
dengan manfaat mempelajari Ilmu Akhlak ini, Ahmad Amin mengatakan sebagai
berikut:
Tujuan
mempelajari Ilmu Akhlak dan permasalahannya menyebabkan kita dapat menetapkan
sebagian perbuatan lainnya sebagai yang baik dan sebagian perbuatannya lainnya
sebagai yang buruk. Bersikap adil termasuk baik, sedangkan berbuat zalim
termasuk perbuatan buruk, membayar utang kepada pemiliknya termasuk perbuatan
baik, sedangkan mengingkari utang termasuk perbuatan buruk.
Selanjutnya
Mustafa Zahri mengatakan bahwa tujuan perbaikan akhlak itu, ialah untuk
membersihkan kalbu dari kotoran-kotoran hawa nafsu dan amarah sehingga hati
menjadi suci bersih, bagaikan cermin yang dapat menerima Nur cahaya Tuhan.
Keterangan
tersebut memberi petunjuk bahwa Ilmu Akhlak berfungsi memberikan panduan kepada
manusia agar mampu menilai dan menentukan suatu perbuatan untuk selanjutnya
menetapkan bahwa perbuatan tersebut termasuk perbuatan yang baik atau yang
buruk.
Selanjutnya
karena Ilmu Akhlak menentukan kriteria perbuatan yang baik dan yang buruk,
serta perbuatan apa saja yang termasuk perbuatan yang baik dan yang buruk itu,
maka seseorang yang mempelajari ilmu ini akan memiliki pengetahuan tentang
kriteria perbuatan yang baik dan buruk itu, dan selanjutnya ia akan banyak
mengetahui perbuatan yang baik dan perbuatan yang buruk.
Dengan
mengetahui yang baik ia akan terdorong untuk melakukannya dan mendapatkan
manfaat dan keuntungan darinya, sedangkan dengan mengetahui yang buruk ia akan
terdorong untuk meninggalkannya dan ia akan terhidar dari bahaya yang
menyesatkan.
Selain
itu Ilmu Akhlak juga akan berguna secara efektif dalam upaya membersihkan diri
manusia dari perbuatan dosa dan maksiat. Diketahui bahwa manusia memiliki
jasmani dan rohani dibersihkan secara batiniah melalui akhlak.
Jika
tujuan Ilmu Akhlak tersebut dapat tercapai, maka manusia akan memiliki
kebersihan batin yang pada gilirannya melahirkan perbuatan yang terpuji. Dari
perbuatan yang terpuji ini akan lahirlah keadaa masyarakat yang damai,
harmonis, rukun, sejahtera lahir dan batin, yang memungkinkan ia dapat
beraktivitas guna mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan kebahagiaan hidup di
akhirat.
Ilmu
Akhlak atau akhlak yang mulia juga berguna dalam mengatakan dan mewarnai
berbagai aktivitas kehidupan manusia di segala bidang. Seseorang yang memiliki
ilmu pengetahuan dan teknologi yang maju yang disertai dengan akhlak yang
mulia, niscaya ilmu pengetahuan dan teknologi modern, memiliki pangkat, harta,
kekuasaan dan sebagainya namun tidak disertai dengan akhlak yang mulia, maka
semuanya itu akan disalahgunakan yang akibatnya kan menimbulkan bencana di muka
bumi.
Demikian
juga dengan mengetahui akhlak yang buruk serta bahaya-bahaya yang akan
ditimbulkan darinya, menyebabkan orang enggan untuk melakukannya dan berusaha
menjauhinya. Orang yang demikian pada akhirnya akan terhindar dari berbagai
perbuatan yang dapat membahayakan dirinya.
Dengan
demikian secara ringkas dapat dikatakan bahwa Ilmu Akhlak bertujuan untuk
memberikan pedoman atau penerangan bagi manusia dalam mengetahui perbuatan yang
baik atau yang buruk. Terhadap perbuatan yang baik ia berusaha melakukannya,
dan terhadap perbuatan yang buruk ia berusaha untuk menghindarinya.
Sumber
: Buku Akhlak Tasawuf, Abuddin Nata
Tidak ada komentar:
Posting Komentar