Sabtu, 27 September 2014

Akhlak Tasawuf I Pengertian, Ruang Lingkup dan Manfaat Mempelajari Ilmu Akhlak


 

PENGERTIAN ILMU AKHLAK

Ada dua pendekatan yang dapat digunakan untuk mendefinisikan akhlak, yaitu pendekatan linguistik (kebahasaan), dan pendekatan terminologik (peristilahan).

Dari sudut kebahasaan, akhlak berasal dari bahasa Arab, yaitu isim mashdar (bentuk infinitf) dari kata akhlaqa, yukhliqu, ikhlaqan, sesuai dengan timbangan (wazan) tsulasi majid af’ala, yuf’ilu if’alan yang berarti al-sajiyah (perangai), ath-thabi’ah (kelakuan, tabi’at, watak dasar), al-‘adat (kebiasaan, kelaziman), al-maru’ah (peradaban yang baik), dan al-din (agama).

Namun akar kata akhlak dari akhlaqa sebagaimana tersebut di atas tampaknya kurang pas, sebab isim mashdar dari kata akhlaqa bukan akhlaq tetapi ikhlaq. Berkenaan dengan ini maka timbul pendapat yang mengatakan bahwa secara Linguistik kata akhlaq merupakan isim jamid atau isim ghair mustaq, yaitu isim yang tidak memiliki akar kata, melainkan kata tersebut memang sudah demikian adanya. Kata akhlaq adalah jamak dari kata khilqun atau khuluqun yang artinya sama dengan arti akhlaq sebagaimana telah disebutkan di atas. Baik kata akhlaq atau khuluq kedua-duanya dijumpai pemakaiannya baik dalam al-Qur’an, maupun al-Hadis, sebagai berikut:

Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung (QS. al-Qalam, 68: 4).

(Agama kami) ini tidak lain hanyalah adat kebiasaan yang dahulu (QS. al-Syu’ara, 26: 137).

Orang mukmin yang paling sempurna keimanannya adalah orang sempurna budi pekertinya. (HR. Turmudzi).

Bahwasanya aku diutus (Allah) untuk menyempurnakan keluhuran budi pekerti. (HR. Ahmad).

Ayat yang pertama disebut di atas menggunakan kata khuluq untuk arti budi pekerti, sedangkan ayat yang kedua menggunakan kata akhlak untuk arti adat kebiasaan. Selanjutnya hadis yang pertama menggunakan kata khuluq untuk arti budi pekerti, dan hadis yang kedua menggunakan kata akhlak yang juga digunakan untuk arti budi pekerti. Dengan demikian kata akhlaq atau khuluq secara kebahasaan berarti budi pekerti, adat kebiasaan, perangai, muru’ah atau segala sesuatu yang sudah menjadi tabi’at. Pengertian akhlak dari sudut kebahasaan ini dapat membantu kita dalam menjelaskan pengertian akhlak dari segi istilah.

Untuk menjelaskan pengertian akhlak dari segi istilah ini kita dapat merujuk kepada berbagai pendapat para pakar di bidang ini. Ibn Miskawaih (w. 421 H/1030 M) yang selanjutnya dikenal sebagai pakar bidang akhlak terkemuka dan terdahulu misalnya secara singkat mengatakan, bahwa akhlak adalah:

Sifat yang tertanam dalam jiwa yang mendorongnya untuk melakukan perbuatan tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangn.

Sementara itu Imam al-Ghazali (1059-1111 M.) yang selanjutnya dikenal sebagai Hujjatul Islam (Pembela Islam), karena kepiawaiannya dalam membela Islam dari berbagai paham yang dianggap menyesatkan, dengan agak lebih dari Ibn Miskawaih, mengatakan, akhlak adalah;

Sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan macam-macam perbuatan dengan gampang dan mudah, tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan.

Sejalan dengan pendapat tersebut di atas, dalam Mu’jam al-Wasith, Ibrahim Anis mengatakan bahwa akhlak adalah:

Sifat yang tertanam dalam jiwa, yang dengannya lahirlah macam-macam perbuatan, baik atau buruk, tanpa membutuhkan pemikiran dan pertimbangan.

Selanjutnya di dalam Kitab Dairatul Ma’arif, secara singkat akhlak diartikan,

Sifat-sifat manusia yang terdidik.

Keseluruhan definisi akhlak tersebut di atas tampak tidak ada yang bertentangan, melainkan memiliki kemiripan antara satu dan lainnya. Definisi-definisi akhlak tersebut secara substansial tampak saling melengkapi, dan darinya kita dapat melihat lima ciri yang terdapat dalam perbuatan akhlak, yaitu:

Pertama, perbuatan akhlak adalah perbuatan yang telah tertanam kuat dalam jiwa seseorang, sehingga telah menjadi kepribadiannya. Jika kita mengatakan bahwa si A misalnya sebagai orang yang berakhlak dermawan, maka sikap dermawan tersebut telah mendarah daging, kapan dan di manapun sikapnya itu dibawanya, sehingga menjadi identitas yang membedakan dirinya dengan orang lain. Jika si A tersebut kadang-kadang dermawan, dan kadang-kadang bakhil, maka si A tersebut belum dapat dikatakan sebagai seorang yang dermawan. Demikian juga jika kepada si B kita mengatakan bahwa ia termasuk orang yang taat beribadah, maka sikap taat beribadah tersebut telah dilakukannya di manapun ia berada.

Kedua, perbuatan akhlak adalah perbuatan yang dilakukan dengan mudah dan tanpa pemikiran. Ini tidak berarti bahwa pada saat melakukan sesuatu perbuatan, yang bersangkutan dalam keadaan tidak sadar, hilang ingatan, tidur atau gila. Pada saat yang bersangkutan melakukan suatu perbuatan ia tetap sehat akal pikirannya dan sadar. Oleh karena itu perbuatan yang dilakukan oleh seseorang dalam keadaan tidur, hilang ingatan, mabuk, atau perbuatan reflek seperti berkedip, tertawa dan sebagainya bukanlah perbuatan akhlak. Perbuatan akhlak adalah perbuatan yang dilakukan oleh orang yang sehat akal pikirannya. Namun karena perbuatan tersebut sudah mendarah daging, sebagaimana disebutkan pada sifat yang pertama, maka pada saat akan mengerjakannya sudah tidak lagi memerlukan pertimbangan atau pemikiran lagi. Hal yang demikian tak ubahnya dengan seseorang yang sudah mendarah daging mengerjakan shalat lima waktu, maka pada saat datang panggilan shalat ia sudah tidak merasa berat lagi mengerjakannya, dan tanpa pikir-pikir lagi ia sudah dengan mudah dan ringan dapat mengerjaknnya.

Ketiga, bahwa perbuatan akhlak adalah perbuatan yang timbul dari dalam diri orang yang mengerjakannya, tanpa ada paksaan atau tekanan dari luar. Perbuatan akhlak adalah perbuatan yang dilakukan atas dasar kemauan, pilihan dan keputusan yang bersangkutan. Oleh karena itu jika ada seseorang yang melakukan suatu perbuatan, tetapi perbuatan tersebut dilakukan karena paksaan, tekanan atau ancaman dari luar, maka perbuatan tersebut tidak termasuk ke dalam akhlak dari orang yang melakukannya. Dalam hubungan ini Ahmad Amin mengatakan,

Bahwa ilmu akhlak adalah ilmu yang membahas tentang perbuatan manusia yang dapat dinilai baik atau buruk. Tetapi tidak semua amal yang baik atau buruk itu dapat dikatakan perbuatan akhlak. Banyak perbuatan yang tidak dapat disebut perbuatan akhlaki, dan tidak dapat dikatakan baik atau buruk. Perbuatan manusia yang dilakukan tidak atas dasar kemaunnya atau pilihannya seperti bernafas, berkedip, berbolak-baliknya hati, dan kaget ketika tiba-tiba terang setelah sebelumnya gelap tidaklah disebut akhlak, karena perbuatan tersebut yang dilakukan tanpa pilihan.

Keempat, bahwa perbuatan akhlak adalah perbuatan yang dilakukan dengan sesungguhnya, bukan main-main atau karena bersandiwara. Jika kita menyaksikan orang berbuat kejam, sadis, jahat, dan seterusny, tapi perbuatan tersebut kita lihat dalam pertunjukkan film, maka perbuatan tersebut tidak dapat disebut perbuatan akhlak, karena perbuatan tersebut bukan perbuatan yang sebenarnya. Berkenaan dengan ini, maka sebaiknya seseorang tidak cepat-cepat menilai orang lain sebagai berakhlak baik atau berakhlak buruk, sebelum diketahui dengan sesungguhnya bahwa perbuatan tersebut memang dilakukan dengan sebenarnya. Hal ini perlu dicatat, karena manusia termasuk makhluk yang pandai bersandiwara, atau berpura-pura. Untuk mengetahui perbuatan yang sesungguhnya dapat dilakukan melalui cara yang kontinyu dan terus-menerus.

Kelima, sejalan dengan ciri yang keempat, perbuatan akhlak (khususnya akhlak yang baik) adalah perbuatan yang dilakukan karena ikhlas semata-mata karena Allah, bukan karena ingin dipuji orang atau karena ingin mendapatkan sesuatu pujian. Seseorang yang melakukan perbuatan bukan atas dasar karena Allah tidak dapat dikatakan perbuatan akhlak.

Dalam perkembangan selanjutnya akhlak tumbuh menjadi suatu ilmu yang berdiri sendiri, yaitu ilmu yang memiliki ruang lingkup pokok bahasan, tujuan, rujukan, aliran dan para tokoh yang mengembangkannya. Kesemua aspek yang terkandung dalam akhlak ini kemudian membentuk satu kesatuan yang saling berhubungan dan membentuk suatu ilmu. Dalam Da’iratul Ma’arif Ilmu Akhlak adalah:

Ilmu tentang keutamaan-keutamaan dan cara mengikutinya hingga terisi dengannya dan tentang keburukan dan cara menghindarinya hingga jiwa kosong daripadanya.

Di dalam Mu’jam al-Wasith disebutkan bahwa ilmu akhlak adalah:

Ilmu yang obyek pembahasannya adalah tentang nilai-nilai yang berkaitan dengan perbuatan manusia yang dapat disifatkan dengan baik atau buruk.

Selain itu ada pula pendapat yang mengatakan bahwa ilmu akhlak adalah ilmu tentang tata karma.     

RUANG LINGKUP PEMBAHASAN ILMU AKHLAK

Jika definisi tenang Ilmu Akhlak tersebut kita perhatikan dengan seksama, akan tampak bahwa ruang lingkup pembahasan Ilmu Akhlak adalah membahas tentang perbuatan-perbuatan manusia, kemudian menetapkannya apakah perbuatan tersebut tergolong perbuatan yang baik atau perbuatan yang buruk. Ilmu akhlak dapat pula disebut sebagai ilmu yang berisi pembahasan dalam upaya mengenal tingkah laku manusia, kemudian memberikan nilai atau hukum kepada perbuatan tersebut, yaitu apakah perbuatan tersebut tergolong baik atau buruk.

Dengan demikian obyek pembahasan Ilmu Akhlak berkatan dengan norma atau penilaian terhadap suatu perbuatan yang dilakukan oleh seseorang. Jika kita katakana baik atau buruk, maka ukuran yang harus digunakan adalah ukuran normative. Selanjutnya jika kita katakan sesuatu itu benar atau salah, maka yang demikian itu termasuk masalah hitungan atau akal pikiran.

Sebagai suatu ilmu yang berdiri sendiri antara lain ditandai oleh adanya berbagai ahli yang membidangi dirinya untuk mengkaji akhlak. Dalam bahasa Arab misalnya kita dapat membaca buku Khuluq al-Muslim (Akhlak Orang Muslim), yang ditulis Muhammad al-Ghazali, Kitab al-Akhlaq (Ilmu Akhlak) yang ditulis oleh Ahmad Amin. Dan sebelum itu kita dapat pula menjumpai buku berjudul Tahzib al-Akhlaq (Pendidikan Akhlak) yang ditulis oleh Ibn Miskawaih, Ihya’ Ulum al-Din (menghidupkan Ilmi-ilmu Agama) yang ditulis oleh Imam al-Ghazali. Dan kini kita juga membaca buku Falsafah Akhlak yang ditulis Murthada Mutahhari, Ilmu Tasawuf yang ditulis oleh Mustafa Zahri, dan lain-lain.

Dengan mengemukakan beberapa literature tentang akhlak tersebu menunjukkan bahwa keberadaan Ilmu Akhlak sebagai sebuah disiplin ilmu agama sudah sejajar dengan ilmu-ilmu keIslaman lainnya, seperti tafsir, tauhid, fiqh, sejarah Islam, dan lain-lain.

Pokok-pokok masalah yang dibahas dalam ilmu akhlak pada intinya adalah perbuatan manusia. Perbutan tersebut selanjutnya ditentukan kriterianya apakah baik atau buruk. Dalam hubungan ini Ahmad Amin mengatakan sebagai berikut:

Bahwa Obyek ilmu akhlak adalah membahas perbutan manusia yang selanjutnya perbuatan tersebut ditentukan baik atau buruk.

Pendapat di atas menunjukkan dengan jelas bahwa obyek pembahasan ilmu akhlak adalah perbuatan manusia untuk selanjutnya diberikan penilaian apakah baik atau buruk.

Pengertian ilmu akhlak selanjutnya dikemukakan oleh Muhammad al-Ghazali. Menurutnya bahwa kawasan pembahsan Ilmu Akhlak adalah seluruh aspek kehidupan manusia, baik sebagai individu (perseorangan) maupun kelompok. Jika kita bandingkan pengertian Ilmu Akhlak yang pertama tampak bahwa pada pengertian Ilmu Akhlak yang kedua ini tidak hanya terbatas pada tingkah laku individual, melainkan juga tingkah laku yang bersifat sosial. Dengan demikian terdapat akhlak yang berisfat perorangan dan akhlak yang bersifat kolektif. Namun definisi yang kedua ini kekurangannya tidak menyertakan penilaian terhadap perbuatan tersebut. Sedangkan definisi Ilmu Akhlak yang pertama walaupun tidak menyebutkan akhlak yang bersifat sosial, namun memberikan penilaian terhadap perbutan tersebut.

Dalam masayarakat Barat kata akhlak sering diidentikkan dengan etika, walaupun pengidentikkan ini tidak sepenuhnya tepat sebagaimana akan dijelaskan dibawah nanti. Mereka yang mengidentikkan akhlak dengan etika mengatakan bahwa etika adalah penyelidikan tentang tingkah laku dan sifat manusia.

Namun perlu ditegaskan kembali di sini bahwa yang dijadikan obyek kajian Ilmu akhlak di sini adalah perbuatan yang memiliki ciri-ciri sebagaimana disebutkan di atas, yaitu perbuatan yang dilakukan atas kehendak dan kemauan, sebenarnya, mendarah daging dan telah dilakukan secara kontinyu atau terus-menerus sehingga mentradisi dalam kehidupannya. Perbuatan atau tingkah laku yang tidak memiliki ciri-ciri tersebut tidak dapat disebut sebagai perbuatan yang dijadikan garapan Ilmu Akhlak.

Banyak contoh perbuatan yang termasuk perbuatan akhlak dan banyak pula contoh perbuatan yang tidak termasuk perbuatan akhlak. Seseorang yang membangun masjid, gedung sekolah, rumah sakit, jalan raya dan pos keamanan adalah termasuk perbuatan akhlak yang baik, karena untuk membangun hal tersebut jelas memerlukan perencanaan, waktu, biaya, pelaksanaan dan lain sebagainya, dan perbuatan semacam ini tidak akan terwujud jika tidak didasarkan pada kemauan dan kehendak yang kuat dan disengaja. Oleh karena itu perbuatan tersebut termasuk perbuatan akhlaki. Tetapi jika seseorang memicingkan mata dengan tiba-tiba pada waktu benda berpindah dari gelap ke terang, atau menarik tangan pada waktu tersengat api atau binatang buas, bernafas, hati yang berubah-ubah, orang yang menjadi ibu-bapak kita, tempat tinggal kita, kebangsaan kita, warna kulit kita, dan karena semua itu di luar perencanaan, kehendak atau pilihan kita. Kita tidak menentukan orang yang menjadi ibu-bapak kita misalnya, karenanya ia bukan pilhan kita, tetapi sesuatu yang sudah begitu adanya, tanpa kita rencanakan lebih dahulu. Hal yang demikian tidak termasuk perbuatan akhlaki, atau tidak termasuk obyek pembahasan Ilmu Akhlak.

Selanjutnya tidak pula termasuk ke dalam perbuatan akhlaki, yaitu perbuatan yang alami. Dalam hubungan ini Murthada Muthahhari mengatakan bahwa perbuatan alami tidak menjadikan pelakunya layak dipuji. Misalnya manakala seseorang dirundung lapar, dia akan makan, dan di saat kehausan, dia akan segera mencari air untuk mengobati kehausannya itu. Atau bilamana dirinya dihina orang, dia akan berupaya membela diri dan memelihara hak-haknya, dan sebagainya. Jenis semua perbuatan di atas dinamakan perbuatan alami, dan tidak termasuk perbuatan akhlaki.

Dengan demikian perbuatan yang bersifat alami, dan perbuatan yang dilakukan tidak karena sengaja, atau khilaf tidak termasuk perbuatan akhlaki, karena dilakukan tidak atas dasar pilihan. Hal ini sejalan dengan sabda Rasulullah SAW. yang berbunyi:

Bahwasanya Allah memaafkanku dan umatmu yang berbuat salah, lupa dan dipaksa. (HR. Ibn Majah dari Abi Zar).

Hukum dibebaskan atas tiga golongan, yaitu atas orang yang gila hingga ia sembuh gilanya, orang yang tidur hingga ia bangun dari tidurnya dan anak kecil sehingga ia menjadi dewasa. (HR. Ahmad, Abu Daud dan Hakim dan Umar).

Hadis-hadis tersebut di atas memberi petunjuk adanya sejumlah perbuatan yang dilakukan tidak disertai kesadaran atau kemauan diri sendiri, yaitu perbuatan yang dilakukan oleh orang gila, orang tertidur, anak yang masih kecil, orang yang lupa dan orang yang dipaksa. Perbuatan yang dilakukan oleh orang-orang yang dalam keadaan demikian tidak dapat disebut perbuatan akhlak, karena semua perbuatan tersebut tidak dilakukan dengan sengaja.

Selanjutnya ada pula perbuatan yang menyerupai kedua jenis perbuatan yang disebutkan di atas. Perbuatannya yang demikian itu selanjutnya dikenal dengan istilah al-a’mal al-mutasyabih (perbuatan-perbuatan yang menyerupai) kedua jenis perbuatan tersebut di atas. Orang yang membakar sebuah rumah karena didasari oleh mimpi misalnya adalah termasuk perbuatan yang menyerupai kedua jenis perbuatan di atas. Apakah orang yang seperti itu patut dijatuhi hukuman karena perbuatannya. Untuk menjawab masalah ini para ahli Ilmu Akhlak terbagi kepada dua bagian. Pertama ada yang menghendaki perbuatan yang dapat diusahakan agar tidak terjadi, tetapi tetap terjadi juga.

Perbuatan yang tergolong ke dalam perbuatan akhlak adalah perbuatan jenis pertama dengan contoh seperti tersebut di atas, yaitu orang yang membakar rumah dalam keadaan bermimpi. Ia tahu bahwa ia sering bermimpi dan bisa berbuat sesuatu di waktu tidur, maka seharusnya agar jangan terjadi sesuatu yang tidak diingini, supaya hal-hal yang bisa mendatangkan bahaya hendaknya dijauhi. Sedangkan perbuatan yang kedua tidak termasuk dalam ruang lingkup Ilmu Akhlak, karena perbuatan tersebut terjadi di luar kemampuan dirinya.

Dengan memperhatikan keterangan tersebut di atas kita dapat memahami bahwa yang dimaksud dengan Ilmu Akhlak adalah ilmu yang mengkaji suatu perbuaan yang dilakukan oleh manusia yang dalam keadaan sadar, kemauan sendiri, tidak terpaksa dan sungguh-sungguh atau sebenarnya, bukan perbuatan yang pura-pura. Perbuatan-perbuatan yang demikian selanjutnya diberi nilai baik atau buruk.

MANFAAT MEMPELAJARI ILMU AKHLAK

Berkenaan dengan manfaat mempelajari Ilmu Akhlak ini, Ahmad Amin mengatakan sebagai berikut:

Tujuan mempelajari Ilmu Akhlak dan permasalahannya menyebabkan kita dapat menetapkan sebagian perbuatan lainnya sebagai yang baik dan sebagian perbuatannya lainnya sebagai yang buruk. Bersikap adil termasuk baik, sedangkan berbuat zalim termasuk perbuatan buruk, membayar utang kepada pemiliknya termasuk perbuatan baik, sedangkan mengingkari utang termasuk perbuatan buruk.

Selanjutnya Mustafa Zahri mengatakan bahwa tujuan perbaikan akhlak itu, ialah untuk membersihkan kalbu dari kotoran-kotoran hawa nafsu dan amarah sehingga hati menjadi suci bersih, bagaikan cermin yang dapat menerima Nur cahaya Tuhan.

Keterangan tersebut memberi petunjuk bahwa Ilmu Akhlak berfungsi memberikan panduan kepada manusia agar mampu menilai dan menentukan suatu perbuatan untuk selanjutnya menetapkan bahwa perbuatan tersebut termasuk perbuatan yang baik atau yang buruk.

Selanjutnya karena Ilmu Akhlak menentukan kriteria perbuatan yang baik dan yang buruk, serta perbuatan apa saja yang termasuk perbuatan yang baik dan yang buruk itu, maka seseorang yang mempelajari ilmu ini akan memiliki pengetahuan tentang kriteria perbuatan yang baik dan buruk itu, dan selanjutnya ia akan banyak mengetahui perbuatan yang baik dan perbuatan yang buruk.

Dengan mengetahui yang baik ia akan terdorong untuk melakukannya dan mendapatkan manfaat dan keuntungan darinya, sedangkan dengan mengetahui yang buruk ia akan terdorong untuk meninggalkannya dan ia akan terhidar dari bahaya yang menyesatkan.

Selain itu Ilmu Akhlak juga akan berguna secara efektif dalam upaya membersihkan diri manusia dari perbuatan dosa dan maksiat. Diketahui bahwa manusia memiliki jasmani dan rohani dibersihkan secara batiniah melalui akhlak.

Jika tujuan Ilmu Akhlak tersebut dapat tercapai, maka manusia akan memiliki kebersihan batin yang pada gilirannya melahirkan perbuatan yang terpuji. Dari perbuatan yang terpuji ini akan lahirlah keadaa masyarakat yang damai, harmonis, rukun, sejahtera lahir dan batin, yang memungkinkan ia dapat beraktivitas guna mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan kebahagiaan hidup di akhirat.

Ilmu Akhlak atau akhlak yang mulia juga berguna dalam mengatakan dan mewarnai berbagai aktivitas kehidupan manusia di segala bidang. Seseorang yang memiliki ilmu pengetahuan dan teknologi yang maju yang disertai dengan akhlak yang mulia, niscaya ilmu pengetahuan dan teknologi modern, memiliki pangkat, harta, kekuasaan dan sebagainya namun tidak disertai dengan akhlak yang mulia, maka semuanya itu akan disalahgunakan yang akibatnya kan menimbulkan bencana di muka bumi.

Demikian juga dengan mengetahui akhlak yang buruk serta bahaya-bahaya yang akan ditimbulkan darinya, menyebabkan orang enggan untuk melakukannya dan berusaha menjauhinya. Orang yang demikian pada akhirnya akan terhindar dari berbagai perbuatan yang dapat membahayakan dirinya.

Dengan demikian secara ringkas dapat dikatakan bahwa Ilmu Akhlak bertujuan untuk memberikan pedoman atau penerangan bagi manusia dalam mengetahui perbuatan yang baik atau yang buruk. Terhadap perbuatan yang baik ia berusaha melakukannya, dan terhadap perbuatan yang buruk ia berusaha untuk menghindarinya.

Sumber : Buku Akhlak Tasawuf, Abuddin Nata

Tidak ada komentar:

Kisah Mata Air Keabadian

Kisah ini diriwayatkan oleh Ats-Tsa’labi dari Imam Ali ra. Pada zaman dahulu hiduplah seorang hamba Allah SWT yang melebihkan kepada d...