Pembahasan mengenai
perkembangan ranah-ranah psiko-fisik pada bagian ini akan penyusun fokuskan
pada proses-proses perkembangan yang dipandang memiliki keterkaitan langsung
dengan kegiatan belajar siswa. Proses-proses perkembangan tersebut meliputi:
1. Perkembangan
motor (motor development), yakni
proses perkembangan yang progresif dan berhubungan dengan perolehan aneka ragam
keterampilan fisik anak (motor skills);
2. Perkembangan
kognitif (cognitive development),
yakni perkembangan fungsi intelektual atau proses perkembangan
kemampuan/kecerdasan otak anak; dan
3. Perkembangan
sosial dan moral (social and moral
development), yakni proses perkembangan mental yang berhubungan dengan
perubahan-perubahan cara anak berkomunikasi dengan orang lain, baik sebagai
individu maupun sebagai kelompok.
1. Perkembangan Motor (Fisik) Siswa
Dalam
psikologi, kata motor diartikan sebagai istilah yang menunjuk pada hal,
keadaan, dan kegiatan yang melibatkan otot-otot juga gerakan-gerakannya,
demikian pula kelenjar-kelenjar juga sekresinya (pengeluaran cairan/getah).
Secara singkat, motor dapat pula dipahami sebagai segala keadaan yang
meningkatkan atau menghasilkan stimulus/rangsangan terhadap kegiatan
organ-organ fisik.
Proses
perkembangan fisik anak berlangsung kurang lebih selama dua dekade (dua
dasawarsa) sejak ia lahir. Semburan perkembangan (spurt) terjadi pada masa anak
menginjak usia remaja antara 12 atau 13 tahun hingga 21 atau 22 tahun. Pada
saat perkembangan berlangsung, beberapa bagian jasmani, seperti kepala dan otak
yang pada waktu dalam rahim berkembang tidak seimbang (tidak secepat badan dan
kaki), mulai menunjukkan perkembangan yang cukup berarti hingga bagian-bagian
lainnya menjadi matang.
Bekal
apakah yang dibawa anak yang baru lahir sebagai dasar perkembangan kehidupannya
selama di dunia? Menurut Gleitman (1987) ada dua jawaban pokok untuk pertanyaan
ini, yaitu: 1) bekal kapasitas motor (jasmani); dan 2) bekal kapasitas
pancaindera (sensori).
Mula-mula
seorang anak yang baru lahir hanya memiliki sedikit sekali kendali terhadap
aktivitas alat-alat jasmaninya. Setelah berusia empat bulan, bayi itu sudah
mulai mampu duduk dengan bantuan sanggaan dan dapat pula meraih dan menggenggam
benda-benda mainannya yang sering hilang dari pandangannya. Kini ia telah
memiliki “grasp reflex” yakni gerakan
otomatis untuk menggenggam. Inilah reflex primitif (yang ada sejak dahulu kala)
yang diwariskan nenek moyangnya tanpa perlu dipelajari.
Respons
otomatis yang juga dimiliki seorang bayi sebagai bekal dan dasar
perkembangannya ialah “rooting reflex”
(reflex dukungan) yakni gerakan kepala dan mulut yang otomatis setiap kali
pipinya disentuh, kepalanya akan berbalik atau bergerak ke arah datangnya
rangsangan lalu mulutnya terbuka dan terus mencari hingga mencapai putting susu
atau putting dot botol susu yang telah disediakan untuknya. Dua macam reflex di
atas, grasp dan rooting reflex merupakan kapasitas jasmani yang sampai umur kurang
lebih lima bulan belum memerlukan kendali ranah kognitif karena sel-sel otaknya
sendiri belum cukup matang untuk berfungsi sebagai alat pengendali.
Bekal
psikologis kedua yang dibawa anak dari rahim ibunya ialah kapasitas sensori.
Kapasitas sensori seorang bayi lazimnya mulai berlaku bersama-sama dengan
berlakunya refleks-refleks motor tadi, bahkan terkadang dengan kualitas yang
lebih baik. Hal ini terbukti dengan adanya kemampuan pengaturan napas,
penyedotan, dan tanda-tanda respons terhadap stimulus lainnya.
Berkat
adanya bekal kapasitas sensori, bayi dapat mendengar dengan baik bahkan mampu
membedakan antara suara yang keras dan kasar dengan suara lembut ibunya atau
suara lembut ibunya atau suara lembut wanita-wanita lainnya. Hal ini dapat
dilihat dari kecenderungannya untuk lebih tertarik pada suara dan ajakan ibunya
daripada kepada suara dan jakan ayahnya atau laki-laki lain yang ada
disekitarnya. Di samping itu, bayi juga dapat melihat sampai batas jarak empat
kaki atau kira-kira satu seperempat meter, tetapi belum mampu memusatkan
pandangannya pada barang-barang yang ia lihat. Namun, kemampuan membedakan suasana
terang dan gelap, membedakan warna (walaupun belum mampu menyebut nama jenis
warna), dan mengikuti gerakan benda-benda, sudah mulai tampak.
Semua
kapasitas yang dibawa anak dari rahim ibunya baik kapasitas jasmani maupun
kapasitas rohani, seperti yang penyusun utarakan tadi, adalah modal dasar yang
tampak segera berfaidah bagi kelanjutan perkembangan anak tersebut. Di sisi
lain, proses pendidikan dan pengajaran (khususnya di sekolah) merupakan
pendukung yang sangat berarti bagi perkembangan motor atau fisik anak, terutama
dalam hal perolehan kecakapan-kecapan psikomotor atau ranah karsa anak
tersebut.
Ketika
seorang anak memasuki sekolah dasar atau ibtidaiyah pada umur enam atau tujuh
tahun sampai dua belas atau tiga belas tahun, perkembangan fisiknya mulai
tampak benar-benar seimbang dan proporsional. Artinya, organ-organ jasmani
tumbuh serasi dan tidak lebih panjang atau lebih besar dari yang semestinya. Misalnya, ukuran tangan
kanan tidak lebih panjang daripada tangan kiri atau ukuran leher tidak lebih
besar daripada ukuran kepala yang disangganya.
Gerakan-gerakan
organ tubuh anak juga menjadi lincah dan terarah seiring dengan munculnya
keberanian mentalnya. Contoh: jika dalam usia balita atau seusia TK tidak
berani naik sepeda atau memanjat pohon dan melompat pagar, pada usia sekolah ia
akan menunjukkan keberanian melakukan itu. Keberanian dan kemampuan ini, di
samping karena perkembangan kapasitas mental, juga disebabkan oleh adanya
keseimbangan dan keselarasan gerakan organ-organ tubuh anak. Namun, patut
dicatat bahwa perkembangan kemampuan fisik anak itu kurang berarti dan tak bisa
meluas menjadi keterampilan-keterampilan psikomotor yang berfaidah tanpa usaha
pendidikan dan pengajaran.
Gerakan-gerakan
motor siswa akan terus meningkat keanekaragaman, keseimbangan; dan kekuatannya
ketika ia menduduki bangku SLTP dan SLTA. Namun, peningkatan kualitas bawaan
siswa ini justru membawa konsekuensi sendiri, yakni perlunya pengadaan guru
yang lebih piawai dan terampil. Kepiawaian guru dalam hal ini bukan hanya yang
menyangkut cara melatih keterampilan para siswa, melainkan juga kepiawaian yang
berhubungan dengan penyampaian ilmu tentang alasan dan cara keterampilan
tersebut dilakukan.
Belajar
keterampilan fisik (motor learning)
dianggap telah terjadi dalam diri seseorang apabila ia telah memperoleh
kemampuan dan keterampilan yang melibatkan penggunaan lengan (seperti
menggambar) dan tungkai (seperti berlari) secara baik dan benar. Untuk belajar
memeroleh kemampuan keterampilan jasmani ini, ia tidak hanya cukup dengan
latihan dan praktik, tetapi juga memerlukan kegiatan perceptual learning (belajar berdasarkan pengamatan) atau kegiatan sensory-motor learning (belajar
keterampilan indrawi-jasmani).
Dalam
kenyataan sehari-hari, cukup banyak ketrampilan indriawi-jasmani yang rumit dan
karenanya memerlukan upaya manipulasi (penggunaan secara cermat), koordinasi,
dan organisasi rangkaian gerakan secara tepat, umpamanya keterampilan piano.
Dalam memainkan piano, seorang pianis bukan hanya melakukan sejumlah gerakan
terpisah begitu saja, melainkan juga menggunakan proses yang telah direncanakan
dan dikendalikan secara internal oleh fungsi ranah ciptanya, sehingga gerakan
itu menghasilkan suara merdu.
Demikian
pula keterampilan-keterampilan lainnya (yang bagi sebagian orang tidak serumit
bermain piano) seperti menulis, menggambar, dan mendemonstrasikan kecakapan
praktis seperti olahraga atau menari dan sebagainya, semuanya membutuhkan
proses ranah cipta. Sebab, kinerja jasmani (physical
performance) dalam aktivitas-aktivitas tersebut hanya akan bermutu baik
apabila pelaksanaannya disertai dengan ketrlibatan fungsi ranah cipta atau
akal. Hal ini mengingat pola-pola gerakan yang cakap dan terkoordinasi itu tak
dapat tercapai dengan baik semata-mata dengan mekanisme sederhana tetapi dengan
menggunakan proses mental yang sangat kompleks (Howe,1980).
Demikian
besarnya kebergantungan kinerja keterampilan jasmani tersebut pada keterlibatan
ranah cipta terbukti dengan sering munculnya kekeliruan siswa yang malas
berpikir dalam hal menulis, menggambar, dan memeragakan keterampilan fisik
tertentu. Dengan demikian, hampir dapat dipastikan bahwa apabila sebuah
aktivitas keterampilan jasmani seorang (siswa), seperti menyalin pelajaran,
dilakukan secara otomatis tanpa perhatian fungsi ranah cipta yang memadai,
walaupun ia sudah biasa karena sering melakukan kesalahan mungkin akan terjadi.
Sehubungan
dengan hal itu, motor skills
(kecakapan-kecakapan jasmani) perlu dipelajari melalui aktivitas pengajaran dan
latihan langsung, bisa juga melakukan pengajaran teori-teori pengajaran yang
bertalian dengan motor skills itu sendiri. Aktivitas latihan perlu dilaksanakan
dalam bentuk prkatik yang berulang-ulang oleh siswa, termasuk praktik
gerakan-gerakan yang salah dan tidak dibutuhkan, sehingga siswa memahami bagian
yang keliru dan dapat segera melakukan perbaikan. Akan tetapi, dalam praktik
itu hendaknya dilibatkan pengetahuan ranah akal siswa. Praktik tanpa melibatkan
ranah akal, umpanya insight (tilikan
akal) siswa yang memadai terhadap teknik dan patokan kinerja yang diperlukan,
tak dapat dipandang bernilai dan hanya ibarat orang yang sedang senam
beramai-ramai.
Selanjutnya,
kecuali dua macam bekal bawaan anak seperti yang telah penyusun kemukakan di
atas apa faktor-faktor lainnya yang mendorong perkembangan keterampilan fisik
anak selanjutnya? Ada empat macam faktor yang mendorong kelanjutan perkembangan
motor skills anak yang juga memungkinkan campur tangan orangtua dan guru dalam
mengarahkannya, yaitu: 1) pertumbuhan dan perkembangan sistem syaraf; 2)
pertumbuhan otot-otot; 3) perkembangan dan pertumbuhan fungsi kelenjar
endokrin; dan 4) perubahan struktur jasmani.
Pertama,
pertumbuhan dan perkembangan sistem syaraf (nervous
system). Sistem syaraf adalah organ halus dalam tubuh yang terdiri atas
struktur jaringan serabut syaraf yang sangat halus yang berpusat di central nervous system, yakin pusat
sistem jaringan syaraf yang ada di otak (Reber, 1988). Pertumbuhan syaraf dan
perkembangan kemampuannya membuat intelegensi
(kecerdasan) anak meningkat dan mendorong timbulnya pola-pola tingkah laku
baru. Semakin baik perkembangan kemampuan sistem syaraf seorang anak akan
semakin baik dan beraneka ragam pula pola-pola tingkah laku yang dimilikinya.
Namun uniknya, berbeda dengan organ tubuh lainnya, organ sistem syaraf apabila
rusak tak dapat diganti atau tumbuh lagi. Contoh: seorang anak yang luka berat
pada bagian kakinya hingga sebagian dagingnya terlepas dapat disembuhkan dan
bagian yang hilang itu tumbuh lagi karena obat dan gizi. Tetapi, kalau anak itu
terluka pada bagian kepalanya hingga salah satu struktur subsistem syaraf rusak
atau terputus misalnya, anak tersebut akan mengalami gangguan ingatan gangguan
bicara, gangguan pendengaran, gangguan pengecapan rasa, atau gangguan-gangguan
lainnya bergantung pada subsistem syaraf mana yang rusak. Gangguan ini pada
umumnya bersifat permanen, karena jaringan serabut syaraf yang rusak atau
hilang tadi amat sulit untuk tumbuh lagi meskipun lukanya sudah sembuh.
Kedua,
pertumbuhan otot-otot. Otot adalah jaringan sel-sel yang dapat berubah
memanjang dan juga sekaligus merupakan unit atau kesatuan sel yang memiliki
daya mengkerut (contractile unit). Di
antara fungsi-fungis jaringan pembuluh yang mendistribusikan sari makanan (Reber,
1988). Peningkatan tonus (tegangan otot) anak dapat menimbulkan perubahan dan
peningkatan aneka ragam kemampuan dan kekuatan jasmaninya. Perubahan ini tampak
sangat jelas pada anak yang sehat dari tahun ke tahun dengan semakin banyaknya
keterlibatan anak tersebut dalam permainan yang bermacam-macam atau dalam
membuat kerajinan tangan yang semakin meningkat kualitas dan kuantitasnya dari
masa ke masa. Perlu dicatat bahwa dalam perkembangan keterampilan terutama
dalam berkarya nyata seperti membuat mainan sendiri, melukis, dan seterusnya,
peningkatan dan perluasan (intensifikasi dan ekstensifikasi) pendayagunaan
otot-otot anak tadi bergantung pada kualitas pusat sistem syaraf dalam otaknya.
Ketiga,
perkembangan dan perubahan fungsi kelenjar-kelenjar endokrin (endocrine glands). Kelenjar adalah alat
tubuh yang menghasilkan cairan atau getah, sperti kelenjar keringat. Sedang
kelenjar endokrin secara umum merupkan kelenjar dalam tubuh yang memproduksi
hormone yang disalurkan ke seluruh bagian dalam tubuh melalui aliran darah.
Lawan endokrin adalah eksokrin (exocrine)
yang memiliki pembuluh tersendiri untuk menyalurkan hasil sekresinya (proses
pembuatan cairan atau getah) seperti kelenjar ludah (Gleitman, 1987).
Berubahnya fungsi kelenjar-kelenjar endokrin seperti adrenal (kelenjar endokrin yang meliputi bagian atas ginjal dan
memproduksi bermacam-macam hormon termasuk hormon seks), dan kelenjar pituitary
(kelenjar di bagian bawah otak yang memproduksi dan mengatur pelbagai hormon
termasuk hormon pengembang indung telur dan sperma), juga menimbulkan pola-pola
baru tingkah laku anak ketika menginjak remaja. Perubahan fungsi
kelenjar-kelenjar endokrin akan mengakibatkan berubahnya pola sikap dan tingkah
laku seorang remaja terhadap lawan jenisnya. Perubahan ini dapat berupa
seringnya melakukan kerja sama dalam belajar atau berolahraga, berubahnya gaya
dandanan/penampilan dan lain-lain perubahan pola perilaku yang bermaksud
menarik perhatian lawan jenis. Dalam hal ini, orangtua dan guru seyogianya
bersikap antisipatif terhadap kemungkinan terjadinya penyimpangan-penyimpangan
perilaku seksual yang tidak dikehendaki demi kelangsungan perkembangan para
siswa remaja yang menjadi tanggun jawabnya.
Keempat,
perubahan struktur jasmani. Semakin meningkat usia anak akan semakin meningkat
pula ukuran tinggi dan bobot serta proporsi (perbandingan bagian) tubuh pada
umumnya. Perubahan jasmani ini akan banyak berpengaruh terhadap perkembangan
kemampuan dan kecakapan motor skills anak. Kecepatan berlari, dan sebagainya
akan terus meningkat seiring dengan proses penyempurnaan struktur jasmani
siswa. Namun, kemungkinan perbedaan hasil belajar psikomotor seorang siswa
dengan siswa-siswa lainnya selalu ada, karena kapasitas ranah kognitif juga
banyak berperan dalam menentukan kualitas dan kuantitas prestasi ranah karsa.
Pengaruh perubahan fisik seorang siswa juga tampak pada sikap dan perilakunya
terhadap orang lain, karena perubahan fisik itu sendiri mengubah konsep diri (self-concept) siswa tersebut. Dalam hal
ini, dapat dikatakan bahwa perkembangan fisik siswa lebih memiliki signifikansi
daripada usia kronologisnya sendiri. Timbulnya kesadaran seorang siswa yang
berbadan terlalu besar dan tinggi atau terlalu kecil dan rendah jika
dibandingkan dengan teman-teman sekelasnya mungkin sekali akan memengaruhi pola
sikap dan perilakunya baik ketika berada di dalam kelas maupun di luar kelas.
Sikap dan perilaku yang berbeda ini bersumber dari positif atau negatifnya self-concept yang dia miliki. Apabila
siswa tersebut memiliki self-concept yang
negatif terhadap dirinya yang berkembang terlalu pesat atau terlalu lambat itu,
sehingg menimbulkan kecemasan (misalnya kalau-kalau ditinggalkan
teman-temannya, atau takut menjadi bahan gunjingan teman-teman sekelas), para
guru seyogianya memberikan perhatian khusus kepada siswa tersebut. Perhatian
khusus bukan memanjakan atau memberi perlindungan yang berlebihan, melainkan
memberi pengertian dan meyakinkannya bahwa soal tinggi dan pendek atau besar
dan kecil itu bukan masalah dalam mengejar cita-cita masa depan. Selanjutnya,
siswa yang ‘berkelainan’ tubuh tersebut diharapkan dapat lebih mudah
memperbaiki konsep dirinya sendiri apabila guru memberi contoh-contoh konkret
mengenai kesuksesan orang-orang yang terlalu pendek dan terlalu jangkung.
2.
Perkembangan
Kognitif Siswa
Istilah
“cognitive” berasal dari kata cognition yang padanannya knowing,
berarti mengetahui. Dalam arti yang luas, cognition
(kognisi) ialah perolehan, penataan, dan penggunaan pengetahuan (Neisser,
1976). Dalam perkembangan selanjutnya, istilah kognitif menjadi popular sebagai
salah satu domain atau wilayah/ranah psikologis manusia yang meliputi setiap
perilaku mental yang berhubungan dengan pemahaman, pertimbangan, pengolahan
informasi, pemecahan masalah, kesengajaan, dan keyakinan. Ranah kejiwaan yang
berpusat di otak ini juga berhubungan dengan konasi (kehendak) dan afeksi
(perasaan) yang bertalian dengan ranah rasa (Chaplin, 1972).
Sebagian
besar psikolog terutama kognitivitas (ahli psikologi kognitif) berkeyakinan
bahwa proses perkembangan kognitif manusia mulai berlangsung sejak ia baru
lahir. Bekal dan modal dasar perkembangan manusia, yakni kapasitas motor dan
kapasitas sensori seperti yang telah penyusun uraikan, di muka, ternyata
samapai batas tertentu, juga dipengaruhi oleh aktivitas ranah kognitif. Pada
poin 1 bagian ini telah penyusun utarakan, bahwa campur tangan sel-sel otak
terhadap perkembangan bayi baru dimulai setelah ia berusia 5 bulan saat
kemampuan sensorinya (seperti melihat dan mendengar) benar-benar mulai tampak.
Menurut
para ahli psikologi kognitif, pendayagunaan kapasitas ranah kognitif manusia
sudah mulai berjalan sejak manusia itu mulai mendaya gunakan kapasitas motor
dan sensorinya. Hanya cara dan intensitas pendayagunaan kapasitas ranah
kognitif tersebut tentu masih belum jelas benar. Argument yang dikemukakan para
ahli mengenai hal ini antara lain ialah bahwa kapasitas sensori dan jasmani
seorang bayi yang baru lahir tidak mungkin dapat diaktifkan tanpa aktivitas
pengendalian sel-sel otak bayi tersebtu. Sebagai bukti, jika seorang bayi lahir
dengan cacat atau berkelainan otak, kecil sekali kemungkinan bayi tersebut
dapat mengotomatisasikan refleks-refleks motor dan daya-daya sensorinya.
Otomatisasi refleks dan sensori, menurut para ahli, tidak pernah terlepas sama
sekali dari aktivitas ranah kognitif, sebab pusat refleks sendiri terdapat
dalam otak, sedangkan otak adalah pusat ranah kognitif manusia.
Persoalan
mengenai usia berapa hari, berapa minggu, atau berapa bulan aktivitas ranah
kognitif mulai memengaruhi perkembangan manusia, menurut hemat penyusun memang
sulit ditentukan. Namun, yang lebih mendekati kepastian dan dapat dipedomani
ialah hasil-hasil riset para ahli psikologi kognitif yang menyimpulkan bahwa
aktivitas ranah kognitif manusia itu pada prinsipnya sudah berlangsung sejak
masa bayi, yakni rentang kehidupan antara 0-2 tahun.
Hasil-hasil
riset kognitif yang dilakukan selama kurun waktu sekitar 30 tahun terakhir ini
menyimpulkan bahwa semua bayi manusia sudah berkemampuan menyimpan informasi-informasi
yang berasal dari penglihatan, pendengaran, dan informasi-informasi lain yang
diserap melalui indera-indera lainnya. Selain itu, bayi juga berkemampuan
merespons informasi-informasi tersebut secara sistematis.
Implikasi
pokok dari hasil-hasil riset kognitif di atas menurut Bower sebagaiman yang
dikutip Daehler & Bukatko (1985) ialah bahwa manusia: … begins life as an extremely competent social
organism, an extremely competent learning organism, an extremely perceiving
organism. Artinya bayi manusia memulai kehidupannya sebagai organisme
sosial (makhluk hidup bermasyarakat) yang betul-betul berkemampuan, sebagai
makhluk hidup yang betul-betul mampu belajar, dan sebagai makhluk hidup
betul-betul yang mampu memahami.
Selanjutnya,
seorang pakar terkemuka dalam disiplin psikologi kognitif dan psikologi anak,
Jean Piaget (sebut: Jin Piasye), yang hidup antara tahun 1896 sampai tahun
1980, mengklasifikasikan perkembangan kognitif anak menjadi empat tahapan.
1. Tahap
sensory-motor yakni perkembangan
ranah kognitif yang terjadi pada usia 0-2 tahun.
2. Tahap
pre-operational, yakni perkembangan
ranah kognitif yang terjadi pada usia 2-7 tahun.
3. Tahap
concrete-operational, yang terjadi
pada usia 7-11 tahun.
4. Tahap
formal-operational, yakni
perkembangan ranah kognitif yang terjadi pada usia 11-15 tahun (Daehler &
Bukatko, 1985; Best, 1989, Anderson, 1990)
Piaget
yang lahir di Swiss itu pada mulanya bukan seorang psikolog, melainkan seorang
ahli biologi yang sejak umur 20 tahun telah terkenal di seluruh daratan Eropa.
Dalam usia 21 tahun ia telah berhasil meraih gelar doktor dengan desertasi
hasil penelitian mengenai makhluk jenis kerang-kerangan. Selama aktif di bidang
biologi ia juga aktif belajar sendiri ilmu filsafat dan psikologi, lalu bekerja
dengan Theodore Simon di Prancis dalam laboratorium yang mengembangkan tes
inteligensi Alfred Binet yang masyhur itu. Kemudian, ia menjadi sangat terkenal
sebagai seorang kognitifitas jenius yang berhasil menulis lebih dari 30 judul
buku bermutu yang bertemakan perkembangan anak dan kognitif. Mulai tahun 1929
ia menjadi direktur Institut Jean Jacques Rousseau (sebut: Jin Jeiks Rusou) di
Jenewa. Rousseau (1712-1778) sendiri adalah seorang filosof dan pendidik moral,
penggagas aliran humanisme.
Namun,
walaupun kepiawaiannya dalam kajian psikologi tak terkalahkan oleh para pakar
lainnya, pengaruh pemikiran kognitif Piaget dalam dunia psikologi masyarakat
berbahasa Inggris seperti Amerika Serikat, Kanada, dan Australia, baru masuk
pada akhir tahun 1950-an. Keterlambatan itu, menurut Bruno (1987), terutama
disebabkan oleh terlalu kuatnya cengkeraman aliran psikologi behaviorisme
gagasan Watson (1878-1958) yang memandang manusia sebagai mesin dan robot itu.
Sekarang aliran psikologi behavioristik ini sudah kian mengecil pengaruhnya
dalam dunia psikologi dan pendidikan di negara-negara maju tersebut. Kebanyakan
penggunaannya hanya sekadar bahan kajian perbandingan.
Selanjutnya,
berikut ini akan penyusun uraikan tahapan-tahapan perkembangan kognitif versi
Piaget sebagaimana tersebut di atas berdasarkan sumber-sumber dari Daehler
& Bukatko (1985), Lazerson (1985), dan Anderson (1990). Namun, untuk
memperlancar uraian ini, terlebih dahulu akan penyusun sajikan istilah-istilah
khusus dan arti-artinya yang berhubungan dengan proses perkembangan kognitif
anak versi Piaget tersebut.
1. Sensory-motor
schema (skema sensori-motor) ialah sebuah atau serangkaian
perilaku terbuka yang tersusun secara sistematis untuk merespons lingkungan
(barang, orang, keadaan, kejadian).
2. Cognitive schema
(skema kognitif), ialah perilaku tertutup berupa tatanan langkah-langkah
kognitif (operations) yang berfungsi memahami hal tersirat atau menyimpulkan
lingkungan yang direspons.
3. Object
permanence (ketetapan benda) yakni anggapan bahwa sebuah benda
akan tetap ada walaupun sudah ditinggalkan atau tidak dilihat lagi.
4. Assimilation
(asimilasi), yakni penyesuaian aplikasi skema yang cocok dengan lingkungan yang
direspons.
5. Equilibrium
(ekuilibrium), yakni keseimbangan antara skema yang digunakan dengan lingkungan
yang direspons sebagai hasil ketetapan akomodasi.
Tahap
Sensori Motor
Selama
perkembangan dalam periode sensori motor yang berlangsung sejak anak lahir
sampai usia 2 tahun, inteligensi yang dimiliki anak tersebut masih berbentuk
primitif dalam arti masih didasarkan pada perilaku terbuka. Meskipun primitif
dan terkesan inteligensi dasar yang amat berarti karena ia menjadi fondasi
untuk tipe-tipe inteligensi tertentu yang akan dimiliki anak tersebut kelak.
Inteligensi
sensori-motor dipandang sebagai inteligensi praktis (practical intelligence) yang berfaidah bagi anak usia 0-2 tahun
untuk belajar berbuat terhadap lingkungannya sebelum ia mampu berpikir mengenai
hal yang sedang ia perbuat. Anak pada periode ini belajar cara mengikuti dunia
keberadaan secara praktis dan belajar menimbulkan efek tertentu tanpa memahami
hal yang sedang ia perbuat kecuali hanya mencari cara melakukan perbuatan
seperti di atas.
Ketika
seorang bayi berinteraksi dengan lingkungannya, ia akan mengasimilasikan skema
sensori-motor sedemikian rupa dengan mengerahkan kemampuan akomodasi yang ia
miliki hingga mencapai ekuilbrium yang memuaskan kebutuhannya. Proses asimilasi
dan akomodasi dalam mencapai ekulibrium seperti di atas selalu dilakukan bayi,
baik ketika ia hendak memenuhi dorongan lapar dan dahaganya maupun ketika
bermain dengan benda-benda mainan yang ada di sekitarnya.
Mampukah
seorang bayi mengenali object permanence?
Setelah Piaget melakukan serangkaian eksperimen dan observasi terhadap
subjek-subjek bayi, termasuk anak perempuannya sendiri yang berusia 7 bulan.
Jacquilene, ia menyimpulkan bahwa bayi di bawah usia 18 bulan pada umumnya
belum memiliki pengenalan object
permanence. Artinya, benda apapun yang tidak ia lihat, tidak ia sentuh,
atau tidak ia dengar selalu dianggap tidak ada meskipun sesungguhnya benda itu
ada di tempat lain.
Bagaimana
pula pengenalan bayi terhadap puting-puting susu ibunya yang setiap saat
diperlukan itu? Pada dasarnya, bayi sudah mengenal bahkan memahami objek-objek
di sekitarnya termasuk susu ibunya, meskipun hanya dengan skema-sensori. Dengan
skema sensori-motor ini bayi mengenali benda-benda sebagai
konfigurasi-konfigurasi (gambaran bentuk sesuatu) sensori yang stabil.
Konfigurasi itu oleh Piaget disebut “tableaux”
atau “tableu” (sebut: teblow) yakni
pemandangan tetap atau pertunjukkan bisu.
Setiap
bayi, sejak usia dua minggu sudah mampu menemukan puting-puting susu ibunya,
dan selanjutnya ia belajar mengenal sifat, keadaan, dan cara yang efektif untuk
mengisap sumber makanan dan minumannya itu. Kemampuan pengenalan lewat upaya
belajar tersebut tidak berarti ia mengerti bahwa susu ibunya itu merupakan
organ atau bagian dari tubuh ibunya. Hal apa yang di pahami ialah apabila benda
tableau itu didekatkan, maka ia akan mengasimilasikan dan mengakomodasikan
skema sensori motornya untuk mencapai ekuilibrium dalam arti dapat memuaskan
kebutuhannya.
Dalam
rentang usia antara 18 hingga 24 bulan, barulah kemampuan mengenal object
permanence anak terebut muncul secara bertahap dan sistematis. Sehingga,
benda-benda mainan dan orang-orang yang biasa berada di sekitanya (seperti ibu
dan pengasuhnya) akan ia cari dengan sungguh-sungguh bila ia memerlukannya.
Tahap
Pra-operasional (2-7 tahun)
Periode
perkembangan kognitif pra-operasional terjadi dalam diri anak ketika berumur 2
samapai 7 tahun. Perkembangan ini bermula pada saat anak telah memiliki
penguasaan sempurna mengenai object permanence. Artinya, anak tersebut sudah
memiliki kesadaran akan ‘tetap eksisnya’ suatu benda yang harus ada atau biasa
ada, walaupun benda tersebut sudah ia tinggalkan, atau sudah tak dilihat dan
tak didengar lagi. Jadi, eksistensi benda tersebut berbeda dengan periode
sensori-motor, tidak lagi bergantung pada pengamatannya belaka. Apakah yang
mendasari munculnya kemampuan abstrak ini?
Perolehan
kemampuan berupa kesadaran terhadap eksistensi object permanence (ketetpan adanya benda) adalah hasil dari
munculnya kapasitas kognitif baru yang disebut representation atau mental representation (gambaran mental).
Secara singkat, representasi adalah sesuatu yang mewakili atau menjadi symbol
atau wujud sesuatu yang lainnya. Representasi mental merupakan bagian penting
dari skema kognitif yang memungkinkan anak berpikir dan menyimpulkan eksistensi
sebuah benda atau kejadian tertentu walaupun benda atau kejadian itu berada di
luar pandangan, pendengaran, atau jangkauan tangannya.
Representasi
mental juga memungkinkan anak untuk mengembangkan deferred-imitation (peniru yang tertunda) yakni kapasitas meniru
perilaku orang lain yang sebelumnya pernah ia lihat untuk merespons lingkungan.
Perilaku-perilaku yang ditiru terutama perilaku-perilaku orang lain (khususnya
orangtua dan guru) yang pernah ia lihat ketika orang itu merespons barang,
orang, keadaan, dan kejadian yang dihadapi pada masa lampau.
Seiring
dengan munculnya kapasitas deferred-imitation,
muncul pula gejala insight-learning,
yakni gejala belajar berdasarkan tilikan akal. Dalam hal ini, anak mulai mampu
melihat situasi problematik, yakni memahami bahwa sebuah keadaan mengandung
masalah, lalu berpikir sesaat. Seusai berpikir, ia memeroleh reaksi ‘aha’,
yaitu pemahaman atau ilham spontan untuk memecahkan masalah versi anak-anak.
Dengan reaksi ‘aha’ kemudian masalah tadi ia pecahkan.
Dalam
periode perkembangan pra-operasional, di samping diperolehnya
kapasitas-kapasitas seperti tersebut di atas, yang juga sangat penting ialah
diperolehnya kemampuan berbahasa. Dalam periode ini anak mulai menggunakan
kata-kata yang benar dan mampu pula mengekspresikan kalimat-kalimat pendek
tetapi efektif.
Hal
lain yang perlu penyusun utarakan sehubungan dengan penggunaan skema kognitif
anak yang masih terbatas itu ialah bahwa pengamatan dan pemahaman anak terhadap
situasi lingkungan yang ia tanggapi sangat dipengaruhi oleh watak egocentrism (egosentrisme). Maksudnya
anak tersebut belum bisa memahami pandangan-pandangan orang lain yang berbeda
dengan pandangan sendiri. Gejala egosentrisme ini disebabkan oleh masih
terbiasanya conservation
(konservasi/pengekalan), yakni operasi kognitif yang berhubungan dengan
pemahaman anak terhadap aspek dan dimensi kuantitatif materi lingkungan yang ia
respons.
Mengenai
hal di atas dapat dicontohkan sebagai berikut. Apabila dua buah gelas yang
berkapasitas sama tetapi berbeda bentuk (yang satu pendek besar, sedangkan
lainnya kecil tinggi) dituangi air dengan jumlah yang sama, maka anak akan
sangat cenderung menebak isi gelas yang tinggi itu lebih banyak daripada isi
gelas yang pendek. Gejala ini menunjukkan bahwa anak tersebut hanya mampu
mengkonsentrasikan skema kognitifnya pada ketinggian bentuk air dalam gelas
yang tinggi tersebut tanpa memperhitungkan kuantitas atau volume yang sama
dalam gelas yang pendek tetapi besar itu. Inilah yang dimaksud dengan keterbatasan
konservasi sebagaimana tersebut di atas.
Sebagai
catatan akhir untuk uraian periode pra-operasional ini, patut penyusun tegaskan
bahwa kemampuan-kemampuan skema kognitif anak dalam rentang usia 2-7 tahun
memang masih sangat terbatas. Namun demikian, secara kualitatif, fenomena
perilaku-perilaku ranah cipta, seperti yang penyusun paparkan di atas, jelas
sudah sangat berbeda dengan kemampuan intelegensi sensori-motor yang dimiliki
anak ketika berusia 0-2 tahun.
Tahap
Konkret-operasional (7-11 tahun)
Berakhirnya
tahap perkembangan pra-operasional tidak berarti berakhirnya pula tahap
berpikir intuitif yakni berpikir dengan mengandalkan ilham seperti yang telah
penyusun contohkan pada bagian A di atas. Menururt Piaget, tidak sedikit
pemikiran orang dewasa yang juga menggunakan intuisi seperti pemikiran
pra-operasional anak-anak. Contohnya, saat orang dewasa sedang berangan-angan (daydreaming). Perbedaan memang ada yakni
orang dewasa dapat, mengubah maju dan mundur dari inteligensi intuitif
(kecerdasan ilham) ke inteligensi operasional kognitif (kecerdasan akli),
sedangkan anak-anak belum bisa melakukannya.
Dalam
periode konkret-operasional yang berlangsung hingga usia menjelang remaja, anak
memeroleh tambahan kemampuan yang disebut system
of operation (satuan langkah berpikir). Kemampuan satuan langkah berpikir
ini lebih berfaedah bagi anak untuk mengkoordinasikan pemikiran dan idenya
peristiwa tertentu ke dalam sistem pemikirannya sendiri.
Satuan
langkah berpikir anak terdiri atas aneka ragam operation (tatanan langkah) yang
masing-masing berfungsi sebagai skema kognitif khusus yang merupakan perbuatan
intern yang tertutup (interiorized action)
yang dapat dibolak-balik atau diukur dengan operasi-operasi lainnya. Satuan
langkah berpikir anak kelak akan menjadi dsar terbentuknya inteligensi
intuitif. Inteligensi, menurut Piaget, bukan sifat biasanya digambarkan dengan
skor IQ itu. Inteligensi adalah proses, tahapan atau langkah operasional
tertentu yang mendasari semua pemikiran dan pengetahuan manusia, di samping
merupakan proses pembentukan pemahaman.
Dalam
inteligensi operasional anak yang sedang berada pada tahap konkret-operasional
terdapat sistem operasi kognitif yang meliputi: 1) conservation; 2) addition of
classes; 3) multiplication of classes.
Penjelasan selanjutnya mengenai tiga macam operasi ini adalah sebagai berikut.
Conservation (konservasi/pengekalan)
adalah kemampuan anak dalam memahami aspek-aspek kumulatif materi, seperti
volume dan jumlah. Anak yang mampu mengenali sifat kuantitatif sebuah benda
akan tahu bahwa sifat kuantitatif benda tersebut tidak akan berubah secara
sembarangan. Jumlah cairan dalam sebuah bejana tidak akan berubah meskipun
dituangkan ke dalam bejana lainnya yang lebih besar ataupun lebih kecil. Begitu
juga jumlah benda-benda padat seperti kelereng dan sebagainya, tak akan berubah
hanya dengan mengubah-ubah tatanannya.
Addition of calsess
(penambahan golongan benda) yakni kemampuan anak dalam memahami cara
mengkombinasikan beberapa golongan benda yang dianggap berkelas lebih rendah,
seperti mawar, dan melati, dan menghubungkannya dengan golongan benda yang
berkelas lebih tinggi, seperti bunga. Di samping itu, kemampaun ini juga
meliputi kecakapan memilah-milah benda-benda yang tergabung dalam sebuah benda
yang berkelas tinggi menjadi benda-benda yang berkelas rendah, misalnya dari
bunga menjadi mawar, melati, dan seterusnya.
Multiplication of classes
(pelipatgandaan golongan benda) yakni kemampuan yang melibatkan pengetahuan
mengenai cara mempertahankan dimensi-dimensi benda (seperti warna bunga dan
tipe bunga) untuk membentuk gabungan golongan benda (seperti mawar merah, mawar
putih dan seterusnya). Selain itu, kemampaun ini juga meliputi kemampuan
memahami cara sebaliknya, yakni cara memisahkan gabungan golongan benda menjadi
dimensi-dimensi tersendiri, misalnya: warna bunga mawar terdiri atas merah,
putih, dan kuning.
Berdasarkan
hasil-hasil eksperimen dan observasinya, Piaget menyimpulkan bahwa pemahaman
terhadap apek kuantitatif materi, pemahaman terhadap penamabahan golongan
benda, dan pemahaman terhadap pelipatgandaan golongan benda merupakan ciri khas
perkembangan kognitif anak berusia 7-11 tahun. Perolehan pemahaman tersebut
diiringi dengan banyak berkurangnya egosentrisme anak. Artinya anak sudah mulai
memiliki kemampuan mengkoordinasikan pandangan-pandangan orang lain dengan
pandangannya sendiri, dan memiliki persepsi positif bahwa pandangannya hanyalah
salah satu sekian banyak pandangan orang. Jadi, pada dasarnya perkembangan kognitif
anak tersebut ditinjau dari sudut karakteristiknya sudah sama dengan kemampuan
kognitif orang dewasa.
Namun
demikian, masih ada keterbatasan-keterbatasan kapasitas anak dalam
mengkoordinasikan pemikirannya. Anak-anak dalam rentang usia 7-11 tahun baru
mampu berpikir sistematis mengenai benda-benda dan peristiwa-peristiwa yang
konkret. Inilah yang menjadi alasan perkembangan kognitif anak yang berusia
7-11 tahun tersebut dinamakan tahap konkret operasional.
Tahap
Formal-operasional (11 – 15 tahun)
Dalam
tahap perkembangan formal-operasional, anak yang sudah menjelang atau sudah
menginjak masa remaja, yakni usia 11-15 tahun akan dapat mengatasi masalah
keterbatasan pemikiran konkret-operasional seperti yang telah penyusun singgung
pada bagian “Perkembangan Psiko-fisik Siswa”. Tahap perkembangan kognitif
terakhir yang menghapus keterbatasan-keterbatasan tersebut sesungguhnya tidak
hanya berlaku bagi remaja hingga usia 15 tahun, tetapi juga bagi remaja dan
bahkan orang dewasa yang berusia labih tua. Sebab, upaya riset Piaget yang
mengambil subjek anak dan remaja hingga uisa 15 tahun itu dianggap sudah cukup
representative bagi usia-usia selanjutnya.
Dalam
perkembangan kognitif tahap akhir ini seorang remaja telah memiliki kemampuan
mengkoordinasikan baik secara serentak maupun berurutan dua ragam kemampuan
kognitif, yakni: 1) kapasitas menggunakan hipotesisi; 2) kapasitas menggunakan
prinsip-prinsip abstrak. Dengan kapasitas menggunakan hipotesis (anggapan
dasar), seorang remaja akan mampu berpikir hipotesis, yakni berpikir mengenai
suatu khususnya dalam hal pemecahan masalah dengan menggunakan anggapan dasar
yang relevan dengan lingkungan yang ia respons. Sementara itu, dengan kapasitas
menggunakan prinsip-prinsip abstrak, remaja tersebut akan mampu mempelajari
materi-materi pelajaran yang abstrak seperti ilmu agama, ilmu matematika dan
ilmu-ilmu abstrak lainnya dengan luas dan lebih mendalam.
Dua
macam kapasitas kognitif yang sangat berpengaruh terhadap kualitas skema
kognitif itu tentu telah dimiliki pula oleh orang-orang dewasa. Oleh karenanya,
seorang remaja pelajar yang telah berhasil menempuh proses perkembangan
formal-operasional secara kognitif dapat dianggap telah mulai dewasa.
Sebagai
bukti bahwa seorang remaja pelajar telah memiliki kedewasaan berpikir, dapat
dicontohkan ketika ia menggunakan pikiran hipotesisnya sewaktu mendengar
pernyataan seorang kawannya, seperti “kemarin seorang penggali peninggalan
purbakala menemukan kerangka manusia berkepala dua dan berkaki tiga yang telah
berusia 10.00 tahun”. Apa yang salah dalam pernyataan tersebut? Remaja pelajar
tadi, setelah berpikir sejenak, dengan serta merta berkomentar: “Omong kosong!”
Ungkapan “omong kosong” ini merupakan hasil berpikir hipotesis remaja pelajar
tersebut, karena mustahil ada manusia berkepala dua dan berkaki tiga betapapun
tuanya umur kerangka yang ditemukan penggali benda purbakal itu.
Selanjutnya,
seorang remaja pelajar yang telah berhasil menjalani tahap perkembangan
formal-operasional akan dapat memahami dan mengungkapkan prinsip-prinsp
abstrak. Prinsip-prinsip tersembunyi ini, pada gilirannya akan dapat mengubah
perhatian-perhatian sehari-hari secara dramatis dengan pola yang terkadang sama
sekali berbeda dari pola-pola perhatian sebelumnya. Dia mungkin menjadi asyik
dengan konsep-konsep abstrak tertentu; seperti etika ideal, keserasian,
keadilan, kemurnian, dan masa depan. Suatu saat remaja pelajar tersebut akan menuliskan
masa depannya dengan prinsip-prinsip abstrak, seperti “aku tahu bahwa aku
sedang memikirkan masa depanku sendiri, lalu aku mulai berpikir tentang alasan
aku memikirkan masa depanku”.
Sebagai
pelengkap uraian ini, perlu penyusun utarakan dua hal penting mengenai
inteligensi dalam hubungannya dengan proses perkembangan kognitif seperti yang
telah berulang-ulang penyusun singgung di muka. Pertama, seyogianya para guru
dan orang tua juga para calon guru mengetahui bahwa inteligensi (kecerdasan)
itu melibatkan interaksi aktif antara siswa dengan dunia di sekitarnya.
Ungkapan teoretis seperti ini secara implisit menampik pandangan orang-orang
yang menafikan fungsi dan pengaruh lingkungan (khususnya lingkungan
kependidikan) terhadap proses perkembangan inteligensi siswa. Oleh karenanya,
lingkungan siswa seperti rumah tinggal dan sekolah seyogianya ditata
sebaik-baiknya agar memberi efek positif terhadap perkembangan inteligensi
siswa tersebut. Kedua, tahapan-tahapan perkembangan kognitif anak yang telah
dikemukakan Piaget di atas merupakan jalan umum yang ditempuh oleh perkembangan
inteligensi anak tersebut. Oleh karenanya, deskripsi (uraian gambaran) mengenai
setiap tahapan perkembangan kognitif tersebut hanya menjadi petunjuk mengenai
kemampuan umum yang lazimnya dimiliki bayi, anak, dan remaja dalam periode
perkembangannya masing-masing.
Penting
bagi Anda khususnya para calon guru dan guru professional menghindari persepsi
yang naïf bahwa teori perkembangan di atas pasti berlaku sepenuhnya terhadap
diri para siswa. Kedua tahapan-tahapan perkembangan kognitif versi Piaget itu
pada asasnya, menurut hemat penyusun, hanya merupakan outline (garis besar) yang berhubungan dengan kapasitas-kapasitas
kognitif tertentu yang berkembang dalam diri siswa dari masa ke masa.
Namun
demikian, sekadar untuk tujuan-tujuan praktis memang kecakapan kognitif yang
dimiliki siswa sekurang-kurangnya dapat menjadi petunjuk bahwa siswa tersebut
sedang berada pada tahap perkembangan tertentu, seperti tahap
konkret-operasonal atau tahap formal-operasinal. Hal lain yang juga patut
penyusun kemukakan ialah bahwa teori perkembangan kognitif hasil temuan riset
sang jenius Piaget itu, betapapun lugas dan ilmiahnya, tetap tidak bebas
kritik.
3.
Perkemabangan
Sosial dan Moral Siswa
Pendidikan,
ditinjau dari sudut psikososial (kejiwaan kemasyarakatan), adalah upaya penumbuhkembangan
sumber daya manusia melalui proses hubungan interpersonal (hubungan
antarpribadi) yang berlangsung dalam lingkungan masyarakat yang terorganisasi,
dalam hal ini masyarakat pendidikan dan keluarga. Sedangkan dalam merespons
pelajaran di kelas misalnya, siswa bergantung pada persepsinya terhadap guru
pengajar dan teman-teman sekelasnya. Positif atau negatifnya persepsi siswa
terhadap guru dan teman-temannya itu sangat mempengaruhi kualitas hubungan
sosial para siswa dengan lingkungan sosial kelasnya dan bahkan mungkin dengan
lingkungan sekolahnya.
Selanjutnya
pendidikan baik yang berlangsung secara formal di sekolah maupun yang
berlangsung secara informal di lingkungan keluarga memiliki peranan penting
dalam mengembangkan psikososial siswa. Perkembangan psikososial siswa, atau
sebut perkembangan sosial siswa, adalah proses perkembangan kepribadian siswa
selaku seorang anggota masyarakat dalam berhubungan dengan orang lain.
Perkembangan ini berlangsung sejak masa bayi hingga akhir hayatnya. Perkembangan
sosial, menurut Bruno (1987), merupakan proses pembentukan social self (pribadi dalam masyarakat), yakni pribadi dalam
keluarga, budaya bangsa, dan seterusnya.
Seperti
dalam proses-proses perkembangan lainnya, proses perkembangan sosial dan moral siswa
juga selalu berkaitan dengan proses belajar. Konsekuensinya, kualitas hasil
perkembangan sosial siswa sangat bergantung pada kualitas proses belajar
(khususnya belajar sosial) siswa tersebut, baik di lingkungan sekolah dan
keluarga maupun di lingkungan yang lebih luas. Ini bermakna bahwa proses
belajar itu amat menentukan kemampuan siswa dalam bersikap dan berperilaku
sosial yang selaras dengan norma moral agama, moral tradisi, moral hukum, dan
norma moral lainnya yang berlaku dalam masyarakat siswa yang bersangkutan.
Dalam
dunia psikologi terdapat pendidikan terdapat aneka ragam mazhab (aliran
pemikiran) yang berhubungan dengan perkembangan sosial. Di antara ragam mazhab,
perkembangan sosial ini yang paling menonjol dan layak dijadikan rujukan ialah:
1) aliran teori cognitive psychology
dengan tokoh utama Jean Piaget dan Lawrence Kohlberg; 2) aliran teori social learning dengan tokoh utama
Albert Bandura dan R.H. Walters. Tokoh-tokoh psikologi tersebut telah banyak
melakukan penelitian dan pengkajian perkembangan sosial anak-anak usia sekolah
dasar dan menengah dengan penekanan khusus pada perkembangan moralitas mereka.
Maksudnya, setiap tahapan perkembangan sosial anak selalu dihubungkan dengan
perkembangan perilaku moral, yakni perilaku baik dan buruk menurut norma-norma
yang berlaku dalam masyarakat.
Perkembangan
Moral versi Piaget dan Kohlberg
Pendekatan
terhadap perkembangan sosial/moral anak dalam aliran psikologi kognitif lebih
banyak dilakukan Kohlberg daripada oleh Piaget sendiri selaku tokoh utama
psikologi ini. Namun, Kohlberg mendasarkan teori perkembangan sosial dan
moralnya pada prinsip-prinsip dasar hasil temuan Piaget, terutama yang
berkaitan dengan prinsip perkembangan moral.
Perkembangan
sosial hampir dapat dipastikan juga perkembangan moral, sebab perilaku moral
pada umumya merupakan unsur fundamental dalam bertingkah laku sosial. Seorang
siswa hanya akan mampu berperilaku sosial dalam situasi sosial tertetnu secara
memadai apabila menguasai pemikiran norma perilaku moral yang diperlukan untuk
situasi sosial tersebut.
Piaget
dan Kohlberg menekankan bahwa pemikiran moral seorang anak, terutama ditentukan
oleh kematangan kapasitas kognitifnya. Sedangkan di sisi lain, lingkungan
sosial merupakan pemasok materi mentah yang akan diolah oleh ranah kognitif
anak secara aktif. Dalam interaksi sosial dengan teman-teman sepermainan
sebagai contoh, terdapat dorongan sosial yang menantang anak tersebut untuk
mengubah orientasi moralnya.
Pada
tahap perkembangan kognitif yang memungkinkan sikap dan perilaku egosentrisme
seorang anak berkurang, lazimnya pertimbangan moral (moral reasoning) anak tersebtu menjadi lebih matang. Sebaliknya,
anak-anak yang masih diliputi sikap dan perilaku mementingkan diri sendiri itu
hanya akan mampu memahami kaidah sosial yang hanya menyadari kesalahan
sosialnya dan sekaligus berperilaku moral secara memadai, pengenalan mereka
terhadap wewenang orang dewasa dan penerimaan mereka terhadap aturannya perlu
ditanamkan.
Ada
dua macam studi yang dilakukan Piaget mengenai perkembangan moral anak dan
remaja, yakni:
1. Melakukan
observasi terhadap sejumlah anak yang bermain kelereng dan menanyai mereka
tentang aturan yang mereka ikuti;
2. Melakukan
tes dengan menggunakan beberapa kisah yang menceritakan perbuatan salah dan
benar yang dilakukan anak-anak, lalu meminta responden (yang terdiri atas anak
dan remaja) untuk menilai kisah-kisah tersebut berdasarkan pertimbangan moral
mereka sendiri.
Berdasarkan
data hasil studi di atas. Piaget menemukan dua tahap perkembangan moral anak
dan remaja yang antara tahap pertama dan kedua diselingi dengan masa transisi,
yakni pada usia 7-10 tahun.
Tahap-tahap
perkembangan moral versi Piaget selalu dikaitkan dengan tahap-tahap
perkembangan kognitif. Tahap perkembangan moral yang pertama, misalnya, bersamaan
rentang waktunya dengan tahap perkembangan kognitif pra-operasional. Tahap
perkembangan yang berlangsung antara usia 4-7 tahun itu merupakan tahap realisme
moral, artinya anak-anak menganggap moral sebagai suatu kenyataan yang ada
dalam kehidupan sosial.
Tahap
kedua, perkembangan moral yang bertepatan dengan tahap perkembangan kognitif
formal operasional itu menunjukkan bahwa manusia pada awal masa “yuwana” dan
“pascayuma”, yaitu masa remaja awal dan masa setelah remaja sudah memiliki
persepsi yang jauh lebih maju daripada sebelumnya. Para yuwana dan pascayuwana
memandang moral sebagai sebuah perpaduan yang terdiri atas otonomi moral
(sebagai hak pribadi), realisme moral (sebagai kesepakatan sosial), dan
resiprositas moral (sebagai aturan timbal balik). Adapun tahap-tahap
perkembangan kognitif tadi dapat Anda temukan dalam uraian di muka.
Selanjutnya,
pengikut Piaget, Lawrence Kohlberg menemukan tiga tingkat pertimbangan moral
yang dilalui manusia prayuwana, yuwana, dan pascayuwana. Setiap tingkat perkembangan
terdiri atas dua tahap perkembangan, sehingga secara keseluruhan perkembangan
moral manusia itu terjadi dalam enam tahap.
Alhasil,
menurut Kohlberg perkembangan sosial dan moral manusia itu terjadi dalam tiga
tingkatan besar yang meliputi:
1. tingkat
moralitas prakonvensional, yaitu
ketika manusia berada dalam fase prayuwana (usia 4-10 tahun) yang belum
menganggap moral sebagai kesepakatan tradisi sosial;
2. tingkat
moralitas konvensional, yaitu ketika
manusia menjelang dan memasuki fase perkembangan yuwan (usia 10-13 tahun) yang
sudah menganggap moral sebagai kesepakatan tradisi sosial;
3. tingkat
moralitas pascakonvensional, yaitu
ketika manusia telah memasuki fase perkembangan yuwana dan pascayuwana (usia 13
tahun ke atas) yang memandang moral lebih dari sekedar kesepakatan tradisi
sosial.
Perkembangan
Sosial dan Moral Menurut Teori Belajar Sosial
Teori
belajar sosial adalah sebuah teori belajar yang relatif masih baru dibandingkan
dengan teori-teori belajar lainnya. Salah seorang tokoh utama teori utama teori
ini adalah Albert Bandura, seorang psikolog pada Universitas Stamford Amerika
Serikat, yang oleh banyak ahli dianggap sebagai seorang behavioris masa kini
yang moderat. Tidak seperti rekan-rekannya sesama penganut aliran behaviorisme, Bandura memandang tingkah
laku manusia bukan semata-mata refleks otomatis atas stimulus (S-R bond),
melainkan juga akibat reaksi yang timbul akibat interaksi antara lingkungan
dengan skema kognitif manusia itu sendiri.
Prinsip
dasar belajar hasil temuan Bandura termasuk belajar sosial dan moral. Menurut
Barlow (1985), sebagian besar upaya belajar terjadi melalui peniruan (imitation) dan penyajian contoh perilaku
(modeling). Dalam hal ini, seorang
siswa belajar mengubah perilakunya sendiri melalui penyaksian cara orang atau
sekelompok orang mereaksi atau merespons sebuah stimulus tertentu. Siswa ini
juga dapat mempelajari respons-respons baru dengan cara pengamatan terhadap
perilaku contoh dari orang lain, misalnya guru atau orangtuanya.
Pendekatan
teori belajar sosial terhadap proses perkembangan sosial dan moral siswa
ditekankan pada perlunya conditioning (pembiasaan merespons) dan imitation
(peniruan). Penjelasan lebih lanjut mengenai prosedur-prosedur belajar sosial
dan moral tersebut adalah sebagai berikut.
Conditioning.
Menurut prinsip-prinsip kondisioning, prosedur belajar dalam mengembangkan
perilaku sosial dan moral pada dasarnya sama dengan prosedur belajar dalam
mengembangkan perilaku-perilaku lainnya, yakni dengan “reward” (ganjaran/memberi hadiah atau mengganjar) dan punishment (hukum/memberi hukuman).
Dasar pemikirannya ialah sekali seorang siswa mempelajari perbedaan antara
perilaku yang mengakibatkan hukuman, ia senantiasa berpikir dan memutuskan
perilaku sosial tertetnu yang perlu ia perbuat.
Sehubungan
dengan hal di atas, komentar-komentar yang disampaikan orangtua atau guru
ketika mengganjar/menghukum siswa merupakan faktor yang penting untuk proses
internalisasi atau penghayatan siswa tersebut terhadap moral standards
(patokan-patokan moral). Orangtua dan guru dalam hal ini sangat diharapkan
memberi penjelasan agar siswa tersebut benar-benar paham mengenai jenis
perilaku yang menghasilkan ganjaran dan jenis perilaku yang menghasilkan
ganjaran dan jenis perilaku yang menimbulkan sanksi.
Reaksi-reaksi
seorang siswa terhadap stimulus yang ia pelajari adalah hasil dari adanya
pembiasaan merespons sesuai dengan kebutuhan. Melalui proses pembiasaan
merespons (conditioning) ini, juga ia
menemukan pemahaman bahwa ia dapat menghindari hukuman dengan memohon maaf yang
sebaik-baiknya agar kelak terhidar dari sanksi.
Imitation.
Prosedur lain yang juga penting dan menjadi bagian yang integral dengan
prosedur-prosedur belajar menurut teori social learning, ialah proses imitasi
atau peniruan. Dalam hal ini, orangtua dan guru seyogianya memainkan peran
penting sebagai seorang model atau tokoh yang dijadikan contoh berperilaku
sosial dan moral bagi siswa.
Sebagai
contoh, mula-mula seorang siswa mengamati model gurunya sendiri yang sedang
melakukan sebuah perilaku sosial, umpamanya menerima seorang tamu. Lalu,
perbuatan menjawab salam, berjabat tangan, beramah tamah, dan seterusnya yang
dilakukan model itu diserap oleh memori siswa tersebut. Diharapkan, cepat atau
lambat siswa tersebut mampu meniru sebaik-baiknya perbuatan sosial yang
dicontohkan oleh modelnya itu.
Kualitas
kemampuan siswa dalam melakukan perilaku sosial hasil pengamatan terhadap model
tersebut, antara lain bergantung pada ketajaman persepsinya mengenai ganjaran
dan hukuman yang berkaitan dengan benar dan salahnya perilaku yang ia tiru dari
model tadi. Selain itu, tingkat kualitas imitasi tersebut juga bergantung pada
persepsi siswa terhadap “siapa” yang menjadi model. Maksudnya, semakin piawai
dan berwibawa seorang model, semakin tinggi pula kualitas imitasi perilaku
sosial dan moral siswa tersebut.
Sumber
: Buku Psikologi Pendidikan, Muhibbin Syah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar