Dalam
berbagai literatur tentang Ilmu Akhlak Islami, dijumpai uraian tentang akhlak
yang secara garis besar dapat dibagi dua bagian, yaitu akhlak yang baik (al-akhlaq al-karimah), dan akhlak yang
buruk (al-akhlaq al-mazmumah).
Berbuat adil, jujur, sabar, pemaaf, dermawan dan amanah misalnya termasuk ke
dalam akhlak yang baik. Sedangkan berbuat zalim, berdusta, pemarah, pendendam,
kikir dan curang termasuk ke dalam akhlak yang buruk. Bagaimanakah terjadinya
berbagai akhlak yang mulia dan tercela ini? Uraian berikut ini akan mencoba
menjawabnya.
Secara
teoretis macam-macam akhlak tersebut berinduk kepada tiga perbuatan yang utama,
yaitu hikmah (bijaksana), syaja’ah (perwira atau kesatria), iffah (menjaga diri dari perbuatan dosa
dan maksiat). Ketiga macam induk akhlak ini muncul dari sikap adil, yaitu sikap
pertengahan atau seimbang dalam mempergunakan ketiga potensi rohaniah yang
terdapat dalam diri manusia, yaitu ‘aql
(pemikiran) yang terpusat di kepada, ghadab
(amarah) yang terpusat di dada, dan nafsu
syahwat (dorongan seksual) yang berpusat di perut. Akal yang digunakan
secara adil akan menimbulkan hikmah, sedangkan amarah yang digunakan secara
adil akan menimbulkan sikap perwira, dan nafsu
syahwat yang digunakan secara adil akan menimbulkan iffah yaitu dapat
memelihara diri dari perbuatan maksiat. Dengan demikian inti akhlak pada
akhirnya bermuara pada sikap adil dalam mempergunakan potensi rohaniah yang
dimiliki manusia. Demikian pentingnya bersikap adil ini di dalam al-Qur’an kita
jumpai berbagai ayat yang menyuruh manusia agar mampu bersikap adil. Untuk itu
perhatikanlah ayat-ayat dibawah ini:
Berlaku
adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa.
(QS. al-Maidah, 5:8).
Apabila
menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil.
(QS. al-Nisa, 4: 58).
Sesungguhnya
Allah menyuruh (kamu berlaku) adil dan berbuat kebajikan, memberik kepada kaum
kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkuran dan permusuhan. (QS.
al-Nahl, 16: 90).
Ayat-ayat
tersebut secara keseluruhan bertemakan perintah berbuat adil yang dihubungkan
dengan perbuatan-perbuatan yang baik, seperti bertakwa kepada Allah, menetapkan
keputusan yang bijaksana, berbuat kebajikan, memberi makan kepada kaum kerabat,
menjauhi perbuatan keji dan munkar serta perbuatan yang menimbulkan permusuhan.
Dengan demikian ayat tersebut dapat dipahami bahwa keadilan erat kaitannya
dengan timbulnya berbagai perbuatan terpuji lainnya.
Pemahaman
tersebut pada akhirnya akan membawa kepada timbulnya teori pertengahan, yaitu
bahwa sikap pertengahan sebagai pangkal timbulnya kebajikan. Pemahaman ini
sejalan dengan isyarat yang terdapat dalam hadis Nabi yang berbunyi,
Sebaik-baiknya urusan
(perbuatan) adalah yang pertengahan. (HR. Ahmad).
Sebaliknya
akhlak yang buruk atau tercela pada dasarnya timbul disebabkan oleh penggunaan
dari tiga potensi rohaniah yang tidak adil. Akal yang digunakan secara
berlebihan akan menimbulkan sikap pintar atau penipu; dan akal yang digunakan
terlalu lemah akan menimbulkan sikap dungu atau ediot. Dengan demikian akal
yang digunakan secara berlebihan atau terlalu lemah merupakan pangkal timbulnya
akhlak yang tercela.
Demikian
pula amarah yang digunakan terlalu berlebihan akan menimbulkan sikap membabi
buta atau hantam kromo, yaitu berani tanpa memperhitungkan kebaikan dan
keburukannya. Sebaliknya jika amarah digunakan terlalu lemah akan menimbulkan
sikap pengecut. Dengan demikian penggunaan amarah secara berlebihan atau
berkurang sama-sama akan menimbulkan akhlak yang buruk. Berkenaan dengan ini di
dalam al-Qur’an dijumpai ayat yang menunjukkan akhlak yang baik yang
dihubungkan dengan sikap yang mampu menahan amarah, Allah berfirman.
(orang-orang
yang bertaqwa yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya) baik di waktu lapang maupun waktu
sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan menafkahkan (kesalahan)
orang lain. (QS. Ali ‘Imran, 3: 134).
Pada
ayat tersebut kemampuan menahan amarah dijadikan salah-satu sifat yang bertakwa
dan disebut bersamaan dengan akhlak yang terpuji lainnya, yaitu menafkahkan
sebagian hartanya baik dalam keadaan lapang maupun keadaan sempit serta mau
memaafkan kesalahan orang lain.
Penggunaan
amarah secara pertengahan itu sejalan pula dengan hadis nabi yang berbuni:
Orang yang gagah
perkasa itu bukanlah orang yang kuat tenaganya, tetapi yang gagah itu orang
yang dapat menahan amarahnya jika marah. (HR. Ahmad).
Demikian
pula nafsu syahwat yang digunakan secara berlebihan akan menimbulkan sikap
melacur, dan jika nafsu syahwat tersebut digunakan secara lemah akan
menimbulkan sikap tercela, yaitu tidak ada semangat untuk hidup. Nafsu syahwat
yang digunakan secara pertengahanlah yang akan menimbulkan sikap iffah, orang
yang dapat menahan syahwat dan farjinya dari berbuat lacur. Allah SWT.
berfirman:
Sesungguhnya
beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang yang khusyu’ dalam
sembahyangnya, dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan
perkataan) yang tiada berguna, dan orang-orang yang menunaikan zakat, dan
orang-orang yang menjaga kemaluannya. (QS. al-Mu’minun,
1-5).
Di
dalam hadis juga dijumpai keterangan tentang orang yang akan mendapatkan
perlindungan di hari kiamat, di antaranya adala seseorang yang diajak berbuat
serong, namun ia menjaga dirinya. Teks hadisnya berbunyi:
Seseorang yang diajak
berbuat serong oleh seorang wanita yang mempunyai kecantikan dan martabat, lalu
ia mengatakan bahwa aku takut kepada Allah yang menguasai sekalian alam. (HR.
Bukhari).
Dengan
demikian dari sikap pertengahan dalam menggunakan akal, amarah dan nafsu
syahwat menimbulkan sikap bijaksana, perwira dan dapat memelihara diri. Dan
dari tiga sikap inilah menimbulkan akhlak yang mulia.
Dalam
perkembangan selanjutnya teori pertengahan (adil) ini digunakan pula untuk
menjelaskan berbagai sifat Tuhan yang terkesan saling berlawanan. Diketahui
bahwa sifat-sifat Tuhan di samping ada yang menunjukkan kelembutan, juga ada
yang menunjukkan kekerasan. Sifat rahman
(Maha Pengasih) dan sifat rahim (Maha
Penyayang) misalnya menunjukkan pada kelembutan Tuhan. Namun sifat jabbar (Maha Memaksa), kohlar (Maha Mengalahkan) misalnya
menunjukkan pada kekerasan Tuhan. Sifat-sifat yang tampak saling kontradiktif
ini dapat dipertemukan melalui sikap pertengahan. Dengan demikian secara
structural sifat-sifat Tuhan yang lainnya berada dibawah koordinasi sifat adil.
Sifat jabbar dan kohhar akan tetap positif apabila digunakan secara seimbang atau
digunakan sesuai dengan kada dan tempatnya. Dengan demikian sifat adil atau
seimbang menjadi coordinator dari sifat-sifat lainnya.
Dalam
hubungan ini orang misalnya dapat menerapkan sifat kohhar dan jabbar pada
anaknya, tetapi hal itu dilakukan dengan cukup perhitungan dan dalam semangat
kasih sayang. Demikian pula halnya Tuhan terhadap manusia.
Penerafan
sifat adil (pertengahan) Tuhan dalam hubungannya dengan akhlak lebih lanjut
dapat dijumpai dalam ajaran Muktazilah. Aliran teologi ini sebagai dijelaskan
Mahmud Shubhi lebih lanjut mengatakan:
Muktazillah
telah memberikan petunjuk dengan jelas, bahwa seluruh perbuatan yang dilakukan
Tuhan terhadap makhluk-Nya adalah dalam rangka keadilan-Nya. Demikian pula manusia
berhubungan dengan Tuhan melalui pengembangan sikap adil yang dilakukannya.
Manusia yang berbuat adil adalah manusia yang meniru sifat Tuhan dan selalu
dengan kepada-Nya.
Teori
pertengahan sebagai dikembangkan di atas memang tidak luput pula dari kritik.
Para peneliti bidang akhlak dalam hubungan ini mengatakan bahwa teori
tengah-tengah sebagaimana dikemukakan Aristoteles dan diikuti oleh Ibn
Miskawaih dan para filosof akhlak lainnya tidak sepenuhnya dapat diterima.
Menurut para pengeritik, bahwa keutamaan tidak selalu berada pada titik tengah.
Keutamaan sebenarnya berda pada titik yang jauhnya tidak sama dari dua sisi
keburukan. Para pengeritik lebih lanjut memberi contoh, bahwa sikap dermawan
misalnya adalah lebih dekat kepada sikap boros dibandingkan pada sifat kikir.
Demikian pula sifat berani lebih dekat kepada sifat membabi buta dibandingkan
dengan sifat pengecut. Demikian seterusnya dengan sifat-sifat lainnya.
Para
pengritik lebih lanjut mengatakan, banyak keutamaan yang tidak kelihatan bahwa
ia berada di tengah-tengah antara dua keburukan, seperti jujur dan adil. Orang
yang jujur misalnya tidak ada pertengahannya, karena tidak ada posisi pada
sifat jujur dan adil. Tidak ada sifat setengah jujur dan setengah adil.
Demikian juga dengan sifat benar, tidak ada setengah benar atau setengah salah.
Lawan dari benar hanyalah dusta. Antara benar dan dusta tidak ada
tengah-tengahnya. Demikian pula sifat adil tidak ada setengahnya atau setengah
adil. Jika disebut adil, maka lawannya hanya dzalim.
Terlepas
dari kritik tersebut yang jelas bahwa teori pertengahan tidak dapat menjelaskan
seluruh contoh perbuatan akhlak yang baik atau yang buruk. Teori pertengahan
hanya terbatas pada akhlak yang dasarnya adalah bersumber pada penggunaan
potensi rohaniah: akal, amarah dan nafsu syahwat yang digunakan secara
pertengahan.
Lalu
bagaimanakah jika teori pertengahan yang merupakan sumber akhlak tersebut
dihubungkan dengan al-Qur’an? Untuk menjawab ini perhatikanlah ayat-ayat
dibawah ini.
Hasil
penelitian yang dilakukan Muhammad Fu’ad Abd al-Baqi menginformasikan bahwa di
dalam al-Qur’an kata adil disebut sebanyak 28 kali, di antaranya adalah
ayat-ayat yang berikut ini:
Hai
manusia, apakah yang telah memperdayakan kamu (berbuat durhaka) terhadap
Tuhanmu Yang Maha Pemurah. Yang telah menciptakan kamu lalu menyempurnakan
kejadianmu dan menjadikan (susunan tubuh) mu seimbang.
(QS. al-Infithar, 82:6-7).
Dan
jagalah dirimu dari (‘azab) hari (kiamat), yang pada hari itu seseorang tidak
dapat membela orang lain, walau sedikitpun; dan (begitu pula) tidak diterima
syafa’at dan tebusan daripadanya, dan tidaklah mereka akan ditolong.
(QS. al-Baqarah, 2:48).
Hai
orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan,
menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapak dan
kawan kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu
kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti nafsu karena ingin menyimpang
dari kebenaranya. Dan jika kamu memutarbalikkan (kata-kata) atau enggan menjadi
saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu
kerjakan. (QS. al-Nisa, 4: 135).
Hai
orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk
waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang
penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar.
(QS. al-Baqarah, 2: 282).
Jika
yang beruntung itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau diri
sendiri tidak mampu menginginkan, maka hendaklah walinya menginginkan dengan
jujur. (QS. al-Baqarah, 2: 282).
Jika
diperhatikan dengan cara seksama, tampak bahwa kata-kata adil dalam al-Qur’an
digunakan untuk berbagai peristiwa dan aktivitas kehidupan, yaitu bahwa
keadilan harus ditegakkan dalam rangka memutuskan perkara di pengadilan, dalam
rangka mencatat perjanjian, dalam pengangkatan seorang petugas pencatan utang
piutan dan sebagainya. Ini menunjukkan bahwa teori pertengahan sebagai sumber
timbulnya akhlak yang mulia tidak bertentangan dengan ajaran al-Qur’an atau
mendapat tempat di dalam al-Qur’an. Demikian pentingnya berbuat adil, maka masalah
keadilan menjadi hal yang harus ditegakkan oleh seluruh manusia (Lihat QS.
al-Nahl, 16:90). Jika adil tersebut dihubungkan dengan akhlak yang mulia, maka
perintah adil tersebut berarti perintah berakhlak mulia. Cara al-Qur’an memang
demikian ijaz (simple) tapi maknanya cukup dalam, yaitu disebut satu bagian
saja, tetapi yang dimaksudkan adalah menyangkut seluruh aspek kehidupan. Inilah
sebabnya barangkali mengapa para khatib Jum’at di akhir khutbahnya selalu
mengajak para jamaah agar berlaku adil dan berbuat baik, sejalan dengan firman
Allah SWT.
Sesungguhnya
Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum
kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan.
Dia memberi pengajaran kepada kamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.
(QS. al-Nahl, 16:90).
Ayat
tersebut dengan jelas menyuruh kita berbuat adil yang disejajarkan dengan
berbuat baik kepada kerabat, menyuruh berbuat baik dan menjauhi perbuatan
buruk.
Namun
demikian untuk menunjuk pada contoh-contoh dalam bentuk perbuatan dalam
hubungnnya dengan teori pertengahan, al-Qur’an tidak selamanya menggunakan kata
adil. Sikap pertengahan antara kikir dan boros misalnya, al-Qur’an menggunakan
kata qawwama seperti terlihat pada yat yang berbunyi di bawah ini:
Dan
orang-orang yang apabila membelanjakan (harta) mereka tidak berlebih-lebihan,
dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelajaran itu) di tengah-tengah antara
yang demikian. (QS. al-Furqan, 25: 67).
Selanjutnya
untuk sikap pertengahan (adil) dalam hal menimbang, al-Qur’an menggunakan kata al-Qish sebagaimana terliahat pada ayat
yang berbunyi:
Dan
sempurnakanlah takaran apabila kamu menukar, dan timbanglah dengan neraca yang
adil (benar). (QS. al-Isra’, 17:35).
Dalam
pada itu ketika menggambarkan pertengahan (adil) yang berhubungan dengan
berinfak di jalan Allah, al-Qur’an menggambarkan perbuatan tersebut antara
terlalu kikir dan terlalu longgar (tanpa kontrol). Hal ini terlihat dalam ayat
yang berbunyi:
Dan
janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan janganlah kamu
terlalu mengulurkannya, karena itu kamu menjadi tercela dan menyesal
(QS. al-Isra, 17:29).
Dalam
hal pengaturan volume suara yang pertengahan dalam berdoa, al-Qur’an,
menempatkannya antara tadamu’, khifah dengan al-Jahr, sebagai terlihat pada
ayat yang berbunyi,
Dan
sebutlah (nama) Tuhanmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut
dengan tidak mengeraskan suara. (QS. al-‘Araf, 7:205).
Selanjutnya
di dalam hadis dijumpai kata haunamma yang digunakan untuk menggambarkan sikap
pertengahan dalam mencintai atau membenci seseorang. Hal ini misalnya dapat
dilihat pada hadis yang berbunyi:
Cintailah kekasihmu
dengan sikap pertengahan, karena boleh jadi orang yang engkau cintai itu
menjadi musuhmu di kemudian hari. Dan bencillah musuhmu dengan sikap
pertengahan, karena boleh jadi orang yang engkau musuhi itu menjadi kekasihmu
di kemudan hari. (HR. Turmudzi).
Dalam
itu untuk menujukkan pada sikap pertengahan (adil) dalam memutuskan perkara,
al-Qur’an menggunakan kata al-adl, sebagaimana terlihat pada ayat yang
berbunyi:
Apabila
kamu menetapkan hukum di antara manusia, hendaknya ditetapkan dengan adil.
(QS. al-Nisa, 4:58).
Selanjutnya
terdapat pula kata awwanun yang digunakan al-Qur’an untuk menggambarkan keadaan
pertengahan atau yang ideal terhadap binatang semacam sapi. Sebagaimana hal ini
terlihat pada ayat yang berbunyi:
Bahwa
sapi betina itu adalah sapi yang tidak tua dan tidak muda, pertengahan antara
itu (QS.
al-Baqarah, 2:68).
Selanjuntnya
al-Qur’an juga menggunakan kata al-Kadzimin
untuk menggambarkan sikap antara menyalurkan emosi dan menahannya. Hal ini
sejalan dengan ayat yang berbunyi sebagai berikut:
(Yaitu)
orang-orang yang menafkahkan hartanya baik di waktu lapang di waktu sempit, dan
orang-orang yang menahan amarahnya. (QS. Ali Imran,
3:134).
Berdasarkan
contoh tersebut di atas, dapat dikatakan bahwa dalam menggambarkan keadaan yang
adil atau pertengahan, al-Qur’an jauh lebih lengkap, mendetail, dan komprehensif
dibandingkan yang diberikan para filosof lainnya.
Sumber
: Buku Akhlak Tasawuf, Abuddin Nata
Tidak ada komentar:
Posting Komentar