Sabtu, 27 September 2014

Akhlak Tasawuf I Induk Akhlak Islami


 

Dalam berbagai literatur tentang Ilmu Akhlak Islami, dijumpai uraian tentang akhlak yang secara garis besar dapat dibagi dua bagian, yaitu akhlak yang baik (al-akhlaq al-karimah), dan akhlak yang buruk (al-akhlaq al-mazmumah). Berbuat adil, jujur, sabar, pemaaf, dermawan dan amanah misalnya termasuk ke dalam akhlak yang baik. Sedangkan berbuat zalim, berdusta, pemarah, pendendam, kikir dan curang termasuk ke dalam akhlak yang buruk. Bagaimanakah terjadinya berbagai akhlak yang mulia dan tercela ini? Uraian berikut ini akan mencoba menjawabnya.

Secara teoretis macam-macam akhlak tersebut berinduk kepada tiga perbuatan yang utama, yaitu hikmah (bijaksana), syaja’ah (perwira atau kesatria), iffah (menjaga diri dari perbuatan dosa dan maksiat). Ketiga macam induk akhlak ini muncul dari sikap adil, yaitu sikap pertengahan atau seimbang dalam mempergunakan ketiga potensi rohaniah yang terdapat dalam diri manusia, yaitu ‘aql (pemikiran) yang terpusat di kepada, ghadab (amarah) yang terpusat di dada, dan nafsu syahwat (dorongan seksual) yang berpusat di perut. Akal yang digunakan secara adil akan menimbulkan hikmah, sedangkan amarah yang digunakan secara adil akan menimbulkan sikap perwira, dan nafsu syahwat yang digunakan secara adil akan menimbulkan iffah yaitu dapat memelihara diri dari perbuatan maksiat. Dengan demikian inti akhlak pada akhirnya bermuara pada sikap adil dalam mempergunakan potensi rohaniah yang dimiliki manusia. Demikian pentingnya bersikap adil ini di dalam al-Qur’an kita jumpai berbagai ayat yang menyuruh manusia agar mampu bersikap adil. Untuk itu perhatikanlah ayat-ayat dibawah ini:

Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. (QS. al-Maidah, 5:8).

Apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. (QS. al-Nisa, 4: 58).

Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu berlaku) adil dan berbuat kebajikan, memberik kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkuran dan permusuhan. (QS. al-Nahl, 16: 90).

Ayat-ayat tersebut secara keseluruhan bertemakan perintah berbuat adil yang dihubungkan dengan perbuatan-perbuatan yang baik, seperti bertakwa kepada Allah, menetapkan keputusan yang bijaksana, berbuat kebajikan, memberi makan kepada kaum kerabat, menjauhi perbuatan keji dan munkar serta perbuatan yang menimbulkan permusuhan. Dengan demikian ayat tersebut dapat dipahami bahwa keadilan erat kaitannya dengan timbulnya berbagai perbuatan terpuji lainnya.

Pemahaman tersebut pada akhirnya akan membawa kepada timbulnya teori pertengahan, yaitu bahwa sikap pertengahan sebagai pangkal timbulnya kebajikan. Pemahaman ini sejalan dengan isyarat yang terdapat dalam hadis Nabi yang berbunyi,

Sebaik-baiknya urusan (perbuatan) adalah yang pertengahan. (HR. Ahmad).

Sebaliknya akhlak yang buruk atau tercela pada dasarnya timbul disebabkan oleh penggunaan dari tiga potensi rohaniah yang tidak adil. Akal yang digunakan secara berlebihan akan menimbulkan sikap pintar atau penipu; dan akal yang digunakan terlalu lemah akan menimbulkan sikap dungu atau ediot. Dengan demikian akal yang digunakan secara berlebihan atau terlalu lemah merupakan pangkal timbulnya akhlak yang tercela.

Demikian pula amarah yang digunakan terlalu berlebihan akan menimbulkan sikap membabi buta atau hantam kromo, yaitu berani tanpa memperhitungkan kebaikan dan keburukannya. Sebaliknya jika amarah digunakan terlalu lemah akan menimbulkan sikap pengecut. Dengan demikian penggunaan amarah secara berlebihan atau berkurang sama-sama akan menimbulkan akhlak yang buruk. Berkenaan dengan ini di dalam al-Qur’an dijumpai ayat yang menunjukkan akhlak yang baik yang dihubungkan dengan sikap yang mampu menahan amarah, Allah berfirman.

(orang-orang yang bertaqwa yaitu) orang-orang yang menafkahkan  (hartanya) baik di waktu lapang maupun waktu sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan menafkahkan (kesalahan) orang lain. (QS. Ali ‘Imran, 3: 134).

Pada ayat tersebut kemampuan menahan amarah dijadikan salah-satu sifat yang bertakwa dan disebut bersamaan dengan akhlak yang terpuji lainnya, yaitu menafkahkan sebagian hartanya baik dalam keadaan lapang maupun keadaan sempit serta mau memaafkan kesalahan orang lain.

Penggunaan amarah secara pertengahan itu sejalan pula dengan hadis nabi yang berbuni:

Orang yang gagah perkasa itu bukanlah orang yang kuat tenaganya, tetapi yang gagah itu orang yang dapat menahan amarahnya jika marah. (HR. Ahmad).

Demikian pula nafsu syahwat yang digunakan secara berlebihan akan menimbulkan sikap melacur, dan jika nafsu syahwat tersebut digunakan secara lemah akan menimbulkan sikap tercela, yaitu tidak ada semangat untuk hidup. Nafsu syahwat yang digunakan secara pertengahanlah yang akan menimbulkan sikap iffah, orang yang dapat menahan syahwat dan farjinya dari berbuat lacur. Allah SWT. berfirman:

Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang yang khusyu’ dalam sembahyangnya, dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna, dan orang-orang yang menunaikan zakat, dan orang-orang yang menjaga kemaluannya. (QS. al-Mu’minun, 1-5).

Di dalam hadis juga dijumpai keterangan tentang orang yang akan mendapatkan perlindungan di hari kiamat, di antaranya adala seseorang yang diajak berbuat serong, namun ia menjaga dirinya. Teks hadisnya berbunyi:

Seseorang yang diajak berbuat serong oleh seorang wanita yang mempunyai kecantikan dan martabat, lalu ia mengatakan bahwa aku takut kepada Allah yang menguasai sekalian alam. (HR. Bukhari).

Dengan demikian dari sikap pertengahan dalam menggunakan akal, amarah dan nafsu syahwat menimbulkan sikap bijaksana, perwira dan dapat memelihara diri. Dan dari tiga sikap inilah menimbulkan akhlak yang mulia.

Dalam perkembangan selanjutnya teori pertengahan (adil) ini digunakan pula untuk menjelaskan berbagai sifat Tuhan yang terkesan saling berlawanan. Diketahui bahwa sifat-sifat Tuhan di samping ada yang menunjukkan kelembutan, juga ada yang menunjukkan kekerasan. Sifat rahman (Maha Pengasih) dan sifat rahim (Maha Penyayang) misalnya menunjukkan pada kelembutan Tuhan. Namun sifat jabbar (Maha Memaksa), kohlar (Maha Mengalahkan) misalnya menunjukkan pada kekerasan Tuhan. Sifat-sifat yang tampak saling kontradiktif ini dapat dipertemukan melalui sikap pertengahan. Dengan demikian secara structural sifat-sifat Tuhan yang lainnya berada dibawah koordinasi sifat adil. Sifat jabbar dan kohhar akan tetap positif apabila digunakan secara seimbang atau digunakan sesuai dengan kada dan tempatnya. Dengan demikian sifat adil atau seimbang menjadi coordinator dari sifat-sifat lainnya.

Dalam hubungan ini orang misalnya dapat menerapkan sifat kohhar dan jabbar pada anaknya, tetapi hal itu dilakukan dengan cukup perhitungan dan dalam semangat kasih sayang. Demikian pula halnya Tuhan terhadap manusia.

Penerafan sifat adil (pertengahan) Tuhan dalam hubungannya dengan akhlak lebih lanjut dapat dijumpai dalam ajaran Muktazilah. Aliran teologi ini sebagai dijelaskan Mahmud Shubhi lebih lanjut mengatakan:

Muktazillah telah memberikan petunjuk dengan jelas, bahwa seluruh perbuatan yang dilakukan Tuhan terhadap makhluk-Nya adalah dalam rangka keadilan-Nya. Demikian pula manusia berhubungan dengan Tuhan melalui pengembangan sikap adil yang dilakukannya. Manusia yang berbuat adil adalah manusia yang meniru sifat Tuhan dan selalu dengan kepada-Nya.

Teori pertengahan sebagai dikembangkan di atas memang tidak luput pula dari kritik. Para peneliti bidang akhlak dalam hubungan ini mengatakan bahwa teori tengah-tengah sebagaimana dikemukakan Aristoteles dan diikuti oleh Ibn Miskawaih dan para filosof akhlak lainnya tidak sepenuhnya dapat diterima. Menurut para pengeritik, bahwa keutamaan tidak selalu berada pada titik tengah. Keutamaan sebenarnya berda pada titik yang jauhnya tidak sama dari dua sisi keburukan. Para pengeritik lebih lanjut memberi contoh, bahwa sikap dermawan misalnya adalah lebih dekat kepada sikap boros dibandingkan pada sifat kikir. Demikian pula sifat berani lebih dekat kepada sifat membabi buta dibandingkan dengan sifat pengecut. Demikian seterusnya dengan sifat-sifat lainnya.

Para pengritik lebih lanjut mengatakan, banyak keutamaan yang tidak kelihatan bahwa ia berada di tengah-tengah antara dua keburukan, seperti jujur dan adil. Orang yang jujur misalnya tidak ada pertengahannya, karena tidak ada posisi pada sifat jujur dan adil. Tidak ada sifat setengah jujur dan setengah adil. Demikian juga dengan sifat benar, tidak ada setengah benar atau setengah salah. Lawan dari benar hanyalah dusta. Antara benar dan dusta tidak ada tengah-tengahnya. Demikian pula sifat adil tidak ada setengahnya atau setengah adil. Jika disebut adil, maka lawannya hanya dzalim.

Terlepas dari kritik tersebut yang jelas bahwa teori pertengahan tidak dapat menjelaskan seluruh contoh perbuatan akhlak yang baik atau yang buruk. Teori pertengahan hanya terbatas pada akhlak yang dasarnya adalah bersumber pada penggunaan potensi rohaniah: akal, amarah dan nafsu syahwat yang digunakan secara pertengahan.

Lalu bagaimanakah jika teori pertengahan yang merupakan sumber akhlak tersebut dihubungkan dengan al-Qur’an? Untuk menjawab ini perhatikanlah ayat-ayat dibawah ini.

Hasil penelitian yang dilakukan Muhammad Fu’ad Abd al-Baqi menginformasikan bahwa di dalam al-Qur’an kata adil disebut sebanyak 28 kali, di antaranya adalah ayat-ayat yang berikut ini:

Hai manusia, apakah yang telah memperdayakan kamu (berbuat durhaka) terhadap Tuhanmu Yang Maha Pemurah. Yang telah menciptakan kamu lalu menyempurnakan kejadianmu dan menjadikan (susunan tubuh) mu seimbang. (QS. al-Infithar, 82:6-7).

Dan jagalah dirimu dari (‘azab) hari (kiamat), yang pada hari itu seseorang tidak dapat membela orang lain, walau sedikitpun; dan (begitu pula) tidak diterima syafa’at dan tebusan daripadanya, dan tidaklah mereka akan ditolong. (QS. al-Baqarah, 2:48).

Hai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapak dan kawan kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaranya. Dan jika kamu memutarbalikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan. (QS. al-Nisa, 4: 135).

Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. (QS. al-Baqarah, 2: 282).

Jika yang beruntung itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau diri sendiri tidak mampu menginginkan, maka hendaklah walinya menginginkan dengan jujur. (QS. al-Baqarah, 2: 282).

Jika diperhatikan dengan cara seksama, tampak bahwa kata-kata adil dalam al-Qur’an digunakan untuk berbagai peristiwa dan aktivitas kehidupan, yaitu bahwa keadilan harus ditegakkan dalam rangka memutuskan perkara di pengadilan, dalam rangka mencatat perjanjian, dalam pengangkatan seorang petugas pencatan utang piutan dan sebagainya. Ini menunjukkan bahwa teori pertengahan sebagai sumber timbulnya akhlak yang mulia tidak bertentangan dengan ajaran al-Qur’an atau mendapat tempat di dalam al-Qur’an. Demikian pentingnya berbuat adil, maka masalah keadilan menjadi hal yang harus ditegakkan oleh seluruh manusia (Lihat QS. al-Nahl, 16:90). Jika adil tersebut dihubungkan dengan akhlak yang mulia, maka perintah adil tersebut berarti perintah berakhlak mulia. Cara al-Qur’an memang demikian ijaz (simple) tapi maknanya cukup dalam, yaitu disebut satu bagian saja, tetapi yang dimaksudkan adalah menyangkut seluruh aspek kehidupan. Inilah sebabnya barangkali mengapa para khatib Jum’at di akhir khutbahnya selalu mengajak para jamaah agar berlaku adil dan berbuat baik, sejalan dengan firman Allah SWT.

Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepada kamu agar kamu dapat mengambil pelajaran. (QS. al-Nahl, 16:90).

Ayat tersebut dengan jelas menyuruh kita berbuat adil yang disejajarkan dengan berbuat baik kepada kerabat, menyuruh berbuat baik dan menjauhi perbuatan buruk.

Namun demikian untuk menunjuk pada contoh-contoh dalam bentuk perbuatan dalam hubungnnya dengan teori pertengahan, al-Qur’an tidak selamanya menggunakan kata adil. Sikap pertengahan antara kikir dan boros misalnya, al-Qur’an menggunakan kata qawwama seperti terlihat pada yat yang berbunyi di bawah ini:

Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta) mereka tidak berlebih-lebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelajaran itu) di tengah-tengah antara yang demikian. (QS. al-Furqan, 25: 67).

Selanjutnya untuk sikap pertengahan (adil) dalam hal menimbang, al-Qur’an menggunakan kata al-Qish sebagaimana terliahat pada ayat yang berbunyi:

Dan sempurnakanlah takaran apabila kamu menukar, dan timbanglah dengan neraca yang adil (benar). (QS. al-Isra’, 17:35).

Dalam pada itu ketika menggambarkan pertengahan (adil) yang berhubungan dengan berinfak di jalan Allah, al-Qur’an menggambarkan perbuatan tersebut antara terlalu kikir dan terlalu longgar (tanpa kontrol). Hal ini terlihat dalam ayat yang berbunyi:

Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya, karena itu kamu menjadi tercela dan menyesal (QS. al-Isra, 17:29).

Dalam hal pengaturan volume suara yang pertengahan dalam berdoa, al-Qur’an, menempatkannya antara tadamu’, khifah dengan al-Jahr, sebagai terlihat pada ayat yang berbunyi,

Dan sebutlah (nama) Tuhanmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut dengan tidak mengeraskan suara. (QS. al-‘Araf, 7:205).

Selanjutnya di dalam hadis dijumpai kata haunamma yang digunakan untuk menggambarkan sikap pertengahan dalam mencintai atau membenci seseorang. Hal ini misalnya dapat dilihat pada hadis yang berbunyi:

Cintailah kekasihmu dengan sikap pertengahan, karena boleh jadi orang yang engkau cintai itu menjadi musuhmu di kemudian hari. Dan bencillah musuhmu dengan sikap pertengahan, karena boleh jadi orang yang engkau musuhi itu menjadi kekasihmu di kemudan hari. (HR. Turmudzi).

Dalam itu untuk menujukkan pada sikap pertengahan (adil) dalam memutuskan perkara, al-Qur’an menggunakan kata al-adl, sebagaimana terlihat pada ayat yang berbunyi:

Apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia, hendaknya ditetapkan dengan adil. (QS. al-Nisa, 4:58).

Selanjutnya terdapat pula kata awwanun yang digunakan al-Qur’an untuk menggambarkan keadaan pertengahan atau yang ideal terhadap binatang semacam sapi. Sebagaimana hal ini terlihat pada ayat yang berbunyi:

Bahwa sapi betina itu adalah sapi yang tidak tua dan tidak muda, pertengahan antara itu (QS. al-Baqarah, 2:68).

Selanjuntnya al-Qur’an juga menggunakan kata al-Kadzimin untuk menggambarkan sikap antara menyalurkan emosi dan menahannya. Hal ini sejalan dengan ayat yang berbunyi sebagai berikut:

(Yaitu) orang-orang yang menafkahkan hartanya baik di waktu lapang di waktu sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya. (QS. Ali Imran, 3:134).

Berdasarkan contoh tersebut di atas, dapat dikatakan bahwa dalam menggambarkan keadaan yang adil atau pertengahan, al-Qur’an jauh lebih lengkap, mendetail, dan komprehensif dibandingkan yang diberikan para filosof lainnya.      

  
Sumber : Buku Akhlak Tasawuf, Abuddin Nata

Tidak ada komentar:

Kisah Mata Air Keabadian

Kisah ini diriwayatkan oleh Ats-Tsa’labi dari Imam Ali ra. Pada zaman dahulu hiduplah seorang hamba Allah SWT yang melebihkan kepada d...