NAMA
DAN PENGERTIAN ILMU KALAM
Ilmu kalam biasa disebut dengan
beberapa nama, antara lain: ilmu ushuluddin, ilmu tauhid, fiqh Al-Akbar, dan
teologi Islam. Disebut Ilmu Ushuluddin karena ilmu ini membahas pokok-pokok agama (ushuluddin); Disebut ilmu tauhid karena ilmu ini membahas
keesaan Allah SWT. Di dalamnya dikaji pula tentang asma’ (nama-nama) dan af’al (perbuatan-perbuatan) Allah yang wajib, mustahil, dan ja’iz, juga
sifat yang wajib, mustahil dan ja’iz,
bagi Rasul-Nya. Ilmu tauhid sendiri
sebenarnya membahas keesaan Allah SWT., dan hal-hal yang berkaitan dengan-Nya.
Secara objektif, ilmu kalam sama
dengan ilmu tauhid, tetapi
argumentasi ilmu kalam lebih dikonsentrasikan pada penguasaan logika. Oleh
sebab itu, sebagian teolog membedakan antara ilmu kalam dan ilmu tauhid.
Abu
Hanifah menyebut nama ilmu ini dengan fiqh al-akbar. Menurut persepsinya, hukum
Islam yang dikenal dengan istilah fiqh terbagi atas dua bagian. Pertama, fiqh
al-akbar, membahas keyakinan atau pokok agama atau ilmu tauhid. Kedua, fiqh
al-ashgar; membahas hal-hal yang berkaitan dengan masalah muamalah, bukan
pokok-pokok agama tetapi hanya cabang saja.
Teologi
Islam merupakan istilah lain dari ilmu kalam, yang diambil dari bahasa Inggris,
theology. Willian L.Reese mendefinisikannya dengan discourse or reason
concerning God (diskursus atau pemikiran tentang Tuhan). Dengan mengutip
kata-kata William Ockham, Reese lebih jauh mengatakan, “Theology to be a
discipline resting on revealed truth and independent of both philosophy and
science.” (Teologi merupakan disiplin ilmu yang berbicara tentang kebenaran
wahyu serta independensi filsafat dan ilmu pengetahuan). Sementara itu. Gove
menyatakan bahwa teologi adalah penjelasan tentang keimanan, perbuatan, dan
pengalaman agama secara rasional.
Masih
berkaitan dengan hakikat Ilmu Kalam, Musthafa Abdul Raziq berkomentar:
“Ilmu ini (Ilmu Kalam)
yang berkaitan dengan akidah imani ini sesungguhnya dibangun di atas
argumentasi-argumentasi rasional. Atau, ilmu yang berkaitan dengan akidah Islam
ini bertolak atas bantuan nalar.”
Sementara
itu, Al-Farabi mendefinisikan ilmu kalam sebagai berikut:
Ilmu kalam adalah
disiplin ilmu yang membahas Dzat dan sifat Allah beserta eksistensi semua yang
mungkin, mulai yang berkenaan dengan masalah dunia sampai masalah sesudah mati
yang berlandaskan doktrin Islam. Stressing akhirnya adalah memproduksi ilmu
ketuhanan secara filosofis.
Ibnu
Kaldun mendefinisikan ilmu kalam sebagai berikut:
“Ilmu kalam adalah
disiplin ilmu yang mengandung berbagai argumentasi tentang akidah imani yang
diperkuat dalil-dalil rasional.”
Apabila
memperhatikan definisi ilmu kalam di atas, yakni ilmu yang membahas berbagai
masalah ketuhanan dengan menggunakan argumentasi logika atau filsafat, secara
teoretis aliran Salaf tidak dapat dimasukkan ke dalam aliran ilmu kalam, karena
aliran ini –dalam masalah-msalah ketuhanan- tidak menggunakan argumentasi
filsafat atau logika. Aliran ini cukup dimasukkan ke dalam aliran ilmu tauhid
atau ilmu ushuluddin atau fiqh al-akbar.
SUMBER-SUMBER
ILMU KALAM
Sumber-sumber
ilmu kalam adalah berikut ini.
1.
Al-Qur’an
Sebagai
sumber ilmu kalam, Al-Qur’an banyak menyinggung hal yang berkaitan dengan
masalah ketuhanan, di antaranya adalah.
a. Q.S.
Al-Ikhlas (112): 3-4. Ayat ini menunjukkan bahwa Tuhan tidak beranak dan tidak
diperanakan, serta tidak ada sesuatu pun di dunia ini yang tampak sekutu
(sejajar) dengan-Nya.
b. Q.S.
Asy-Syura (42): 7. Ayat ini menunjukkan bahwa Tuhan tidak menyerupai apapun di
dunia ini. Ia Maha Mendengar dan Maha Mengetahui.
c. Q.S.
Al-Furqan (25): 59. Ayat ini menunjukkan bahwa Tuhan Yang Maha Penyayang
bertahta di atas “Arsy”. Ia Pencipta langit, bumi, dan semua yang ada di antara
keduanya.
d. Q.S.
Al-Fath (48): 10. Ayat ini menunjukkan Tuhan mempunyai “tangan” yang selalu
berada di atas tangan orang-orang yang melakukan sesuatu selama mereka
berpegang teguh dengan janji Allah.
e. Q.S.
Thaha (20): 39. Ayat ini menunjukkan bahwa Tuhan mempunyai “mata” yang selalu
digunakan untuk mengawasi seluruh gerak, termasuk gerakan hati makhluk-Nya.
f. Q.S.
Ar-Rahman (55): 27. Ayat ini menunjukkan bahwa Tuhan mempunyai “wajah” yang
tidak akan rusak selama-lamanya.
g. Q.S.
An-Nisa’ (4): 125. Ayat ini menunjukkan bahwa Tuhan menurunkan aturan berupa
agama. Seseorang akan dikatakan telah melaksanakan aturan agama apabila
melaksanakannya dengan ikhlas karena Allah.
h. Q.S.
Luqman (31): 22. Ayat ini menunjukkan bahwa orang yang telah menyerahkan
dirinya kepada Allah disebut sebagai orang muhsin.
i.
Q.S. Ali Imran
(3): 83. Ayat ini menunjukkan bahwa Tuhan adalah tempat kembali segala sesuatu,
baik secara terpaksa maupun secara sadar.
j.
Q.S. Ali Imran
(3): 84-85. Ayat ini menunjukkan bahwa Tuhanlah yang menurunkan petunjuk jalan
kepada para nabi.
k. Q.S.
Al-Anbiya (21): 92. Ayat ini menunjukkan bahwa manusia dalam berbagai suku,
ras, atau etnis, dan agama apapun adalah umat Tuhan yang satu. Oleh sebab itu,
semua umat, dalam kondisi dan situasi apapun, harus mengarahkan pengabdiannya
hanya kepada-Nya.
l.
Q.S. Al-Hajj
(22): 78. Ayat ini menunjukkan bahwa seseorang yang ingin melakukan suatu
kegiatan yang sungguh-sungguh akan dikatakan sebagai “jihad” kalau dilakukannya
hanya karena Allah SWT semata.
Ayat-ayat
di atas berkaitan dengan dzat, sifat, asma, perbuatan, tuntunan, dan hal-hal
lain yang berkaitan dengan eksistensi Tuhan. Hanya saja, penjelasan rincinya
tidak ditemukan. Oleh sebab itu, para ahli berbeda pendapat dalam
menginterpretasikan rinciannya. Pembicaraan tentang hal-hal yang berkaitan
dengan ketuhanan itu disistematisasikan yang pada gilirannya menjadi sebuah
ilmu yang dikenal dengan istilah ilmu kalam.
2.
Hadis
Hadis
Nabi SAW. pun banyak membicarakan masalah-masalah yang dibahas ilmu kalam. Di
antaranya adalah Hadis Nabi yang menjelaskan hakikat keimanan:
“Diriwayatkan dari Abu
Hurairah r.a. katanya, ‘Pada suatu hari, ketika Rasulullah SAW. berada bersama
kaum muslimin, datanglah seorang laki-laki kemudian bertanya kepada beliau,
“Wahai Rasulullah, ‘apakah yang dimaksudkan dengan iman? ‘Rasul menjawab,
‘Yaitu, kamu percaya kepada Allah, para malaikat, semua kitab yang diturunkan,
hari pertemuan dengan-Nya, para rasul, dan hari kebangkitan.’ Lelaki itu
bertanya lagi, ‘Wahai Rasulullah, apakah pula yang dimaksudkan dengan Islam?
Rasulullah menjawab. Islam adalah mengabdikan diri kepada Allah dan tidak
menyekutukan-Nya dengan perkara lain, mendirikan salat yang telah difardukan,
mengeluarkan zakat yang diwajibkan, dan berpuasa pada bulan Ramadhan. ‘Kemudian
lelaki itu bertanya lagi, ‘Wahai Rasulullah! Apakah ihsan itu? Rasulullah SAW.
menjawab, ‘Hendaklah engkau beribadah kepada Allah seolah-olah engkau
melihat-Nya. Sekiranya engkau tidak melihat-Nya, ketahuilah bahwa Dia
senantiasa memperhatikanmu. ‘Lelaki tersebut bertanya lagi, ‘Wahai Rasulullah,
bilakah hari kiamat akan terjadi? Rasulullah menjawab, ‘Aku tidak lebih tahu
darimu, tetapi aku akan ceritakan kepadamu mengenai tanda-tandanya. Apabila
seorang hamba melahirkan majikannya, itu adalah sebagian dari tandanya. Apabila
seorang miskin menjadi pemimpin masyarakat, itu juga sebagian dari tandanya.
Apabila masyarakat yang asalnya penggembala kambing mampu bersaing dalam
mendirikan bangunan-bangunan mereka, itu juga tanda akan terjadi kiamat. Hanya
ilmu perkara itu saja sebagian dari tanda-tanda yang kuketahui. Selain dari itu
Allah saja Yang Maha Mengetahuinya. ‘Kemudian Rasulullah SAW. membaca surat
Luqman ayat 34. ‘Sesungguhnya Allah lebih mengetahui bilakah akan terjadi hari
kiamat, di samping itu Dialah juga yang menurunkan hujan dan mengetahui apa
yang ada di dalam rahim ibu yang mengandung. Tiada seorang pun yang mengetahui
apakah yang diusahakannya pada keesokan hari, yaitu baik atau jahat, dan tiada
seorang pun yang mengetahui di manakah dia akan menemui ajalnya. Sesungguhnya
Allah Maha Mengetahui lagi amat meliputi pengetahuan-Nya. Kemudian lelaki
tersebut beranjak dari situ. Rasulullah SAW. terus bersabda kepada sahabatnya,
‘Panggil kembali orang itu.’ Lalu para sahabat pun mengejar ke arah lelaki
tersebut dan memanggilnya kembali, tetapi lelaki tersebut telah hilang.
Rasulullah SAW. pun bersabda, ‘Lelaki tadi adalah Jibril a.s. Kedatangannya
adalah untuk mengajar manusia tentang agama mereka.
Ada
pula beberapa Hadis yang kemudian dipahami sebagian ulama sebagai prediksi Nabi
mengenai kemunculan berbagai golongan dalam Ilmu Kalam, di antaranya adalah:
“Hadis
yang diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a. Ia mengatakan bahwa Rasulullah
bersabda, “Orang-orang Yahudi akan terpecah belah menjadi tujuh puluh dua
golongan: Dan umatku akan terpecah menjadi tujuh puluh golongan.”
“Hadis
yang diriwayatkan dari Abdullah bin Umar. Ia mengatakan bahwa Rasulullah
bersabda, “Akan menimpa umatku apa yang pernah menimpa Bani Israil. Bani Israil
telah terpecah-belah menjadi 73 golongan. Semuanya akan masuk neraka, kecuali
satu golongan saja. “Siapa mereka itu, wahai Rasulullah?” tanya para sahabat.
Rasulullah menjawab, ‘Mereka adalah yang mengikuti jejakku dan sahabat-sahabatku.’
Syaikh
Abdul Qadir mengomentari bahwa Hadis yang berkaitan dengan masalah faksi umat
ini, yang merupakan salah satu kajian ilmu kalam, mempunyai sanad sangat
banyak. Di antara sanad yang sampai kepada Nabi adalah yang berasal dari
beberapa sahabat, seperti Anas bin Malik, Abu Hurairah, Abu Ad-Darda, Jabir,
Abu Said Al-Khurdi, Abu Abi Kaab, Abdullah bin Amr bin Al-Ash, Abu Ummah,
Watsilah bin Al-Aqsa.
Ada
pula pada riwayat yang hanya sampai kepada sahabat. Di antaranya adalah Hadis
yang mengatakan bahwa umat Islam akan terpecah belah ke dalam beberapa
golongan. Di antara golongan-golongan itu, hanya satu saja yang benar,
sedangkan yang lainnya sesat.
Keberadaan
Hadis yang berkaitan dengan perpecahan umat seperti tersebut di atas, pada
dasarnya merupakan prediksi Nabi dengan melihat yang tersimpan dalam hati para
sahabatnya. Oleh sebab itu, sering dikatakan bahwa Hadis-hadis seperti itu
lebih dimaksudkan sebagai peringatan bagi para sahabat dan umat Nabi tentang
bahayanya perpecahan dan pentingnya persatuan.
3.
Pemikiran
Manusia
Pemikiran
manusia dalam hal ini, baik berupa pemikiran umat Islam sendiri atau pemikiran
yang berasal dari luar umat Islam.
Sebelum
filsafat Yunani masuk dan berkembang di dunia Islam, umat Islam sendiri telah
menggunakan pemikiran rasionalnya untuk menjelaskan hal-hal yang berkaitan
dengan ayat-ayat Al-Qur’an, terutama yang belum jelas maksudnya
(al-mutayabihat). Keharusan untuk menggunakan rasio ternyata mendapat pijakan
dari beberapa ayat Al-Quran, di antaranya:
“Maka apakah mereka
tidak memperhatikan Al-Quran ataukah hati mereka terkunci.” (Q.S. Muhammad
[47]: 24)
“Maka apakah mereka
tidak melihat akan langit yang ada di atas mereka, bagaimana Kami
meninggikannya dan menghiasinya dan langit itu tidak mempunyai retak-retak
sedikit pun? Dan Kami hamparkan bumi itu, dan Kami letakkan padanya
gunung-gunung yang kokoh dan Kami tumbuhkan padanya segala macam tanaman yang
indah dipandang mata.” (Q.S. Qaf (50): 6-7)
Ayat
serupa dapat ditemukan pada An-Nahl (16): 68-69; Al-Jasiyah (45): 12-13;
Al-Isra’ (17): 44; Al-An’am (6): 97-98; At-Taubah (9): 122; Ath-Thariq (86):
5-7; Al-Ghatsiyah (88): 7-20; Shad (38): 29; Muhammad (47) : 24; An-Nahl (16):
17; Az-Zumar (39) : 9; Adz-Dzariyat (51): 47-49, dan lain-lain.
Dari
ayat yang disebutkan di atas, terdapat kata-kata tafakkar, tafaquh, nazhar,
tadabbar, tadzakkar, fahima, aqala, ulu al-albab, ulu al-ilm, ulu al-abshar,
dan ulu an-nuha. Semua ayat tersebut berkaitan langsung dengan anjuran
motivasi, bahkan perintah kepada manusia untuk menggunakan rasio. Dengan demikian,
manusia dapat melaksanakan fungsi utamanya, yakni sebagai khalifah Allah SWT.
untuk mengatur dunia. Dengan demikian, jika ditemukan seorang muslim telah
melakukan suatu kajian objek tertentu dengan rasionya, hal itu secara teoretis
bukan karena adanya pengaruh dari pihak luar saja, tetapi karena adanya
perintah langsung Al-Qur’an sendiri.
Bentuk
kongkret penggunaan pemikiran Islam sebagai ilmu kalam adalah ijtihad yang
dilakukan para mutakallim dalam persoalan-persoalan tertentu yang tidak ada
penjelasannya dalam Al-Qur’an dan Hadis, misalnya persoalan manzillah bain
al-manzilatain (posisi tengah di antara dua posisi) di kalangan Mu’tazilah;
persoalan ma’shum dan bada di kalangan Syi’ah; dan persoalan kasab di kalangan
Asy’ariyah.
Adapun
sumber ilmu kalam berupa pemikiran yang berasal dari luar Islam dapat
diklasifikasikan dalam dua kategori. Pertama, pemikiran nonmuslim yang telah
menjadi peradaban lalu ditransfer dan diasimilasikan dengan pemikiran umat
Islam. Proses transfer dan asimilasi ini dapat dimaklumi karena sebelum Islam
masuk dan berkembang, dunia Arab (Timur Tengah) adalah suatu wilayah tempat
diturunkannya agama-agama samawi lainnya. Agama-agama itu beberapa kali
diturunkan Allah SWT. di dunia Arab antara lain disebabkan masyarakatnya dikenal
suka ingkar pada kebenaran dan suka hipokrit. Oleh sebab itu, secara kultural,
mereka adalah orang-orang yang suka menyelewengkan kebenaran Tuhan, sehingga
sangat pantas kalau setiap kali terjadi penyelewengan selalu terjadi degradasi
nilai-nilai kemanusiaan yang sangat memilukan.
Karena
kondisi inilah, Allah SWT menurunkan kembali agama Islam yang lurus untuk
mengikis penyelewengan terhadap agama-agama samawi dan dekadensi moral.
Agama-agama samawi yang telah diselewengkan itu adalah Mazdakiyah, Manawiyah,
Yahudi, dan Nasrani. Di antara para penganut agama itu, terdapat para teolog,
pemikir agama, dan tokoh lainnya yang sangat ahli di bidangnya. Setelah masuk
Islam, mereka membawa ide dan pemikiran yang selama ini mereka geluti ke dalam
Islam sehingga menimbulkan permasalahan baru di dalam Islam. Di antara
permasalahan itu ada yang berkaitan dengan ketuhanan. Padahal, pada masa
Rasulullah SAW., permasalahan itu tidak pernah muncul apalagi berkembang.
Abu
Hasan Ismail Al-Asy’ari mengatakan bahwa pada masa awal Islam terdapat dua
orang tokoh agama lan. Satu orang di antaranya beragama Nasrani yang bernama
Ma’bad bin Abdillah Al-Juhani Al-Bisri. Ia datang ke Madinah lalu menghasut
masyarakat Madinah dengan mengajarkan masalah qadar. Ia mempertanyakan apakah
takdir itu berasal dari Allah SWT. Padahal takdir merupakan konsekuensi logis
dari suatu karya manusia yang bebas dari pengaruh siapapun dan apapun. Para
ulama pada masa itu telah memperingatkan masyarakat muslim agar menjauhi Ma’bad
karena menganggapnya sebagai racun yang berbahaya bagi masyarakat. Ma’bad juga
dianggap sebagai orang yang sesat dan menyesatkan. Kemudian Ma’bad ditangkap,
dihukum mati, dan disalib oleh Khalifah Malik bin Marwan di Damaskus pada tahun
ke-8 H.
Seorang
tokoh lainnya bernama Abdullah bin Wahab bin Saba’ yang terkenal dengan
panggilan Ibn Sauda. Ia adalah seorang Yahudi yang masuk Islam, tetapi masih
membawa pemikiran keyahudiannya ke dalam Islam. Di antara pemikiran yang dibawa
dan disebarkan kepada masyarakat Islam adalah imamah. Ia mengajarkan bahwa Ali
bin Abi Thalib r.a. adalah seorang khalifah yang diperkuat oleh nash agama,
sedangkan semua khalifah sebelumnya tidak sah, bahkan menganggapnya telah
merebut hak orang lain. Ajaran lainnya berkaitan dengan anggapan bahwa
kehidupan Ali r.a. bersifat lestari. Oleh karena itu, Ali r.a. tidak meninggal
atau terbunuh dan ia akan datang lagi menjadi Ratu Adil pendamai dunia pada
akhir zaman nanti.
Pemikiran
Ibn Sauda ini merupakan transformasi pemikiran agama Yahudi. Pemikiran ini
kemudian berkembang menjadi suatu aliran terkenal dalam Islam, yaitu Syi’ah
Imamiyah.
Adapun
agama Mazdakiyah, seperti dikatakan Henry Corbin, merupakan bagian dari
Zoroaster. Agama ini dianut bangsa Iran kuno dan mengajarkan bahwa Tuhan
disebut Ohrmazd dan setan disebut Ahriman. Roh dan jasad manusia diciptakan
oleh Ohrmazh. Adapun, seluruh kejelekan, kegelapan, dan kematian merupakan
perbuatan Ahriman yang selalu berlawanan dengan Ohrmaz yang merupakan lambang
semua kebaikan dan cahaya. Thaif Abd Muin lebih jauh menjelaskan bahwa untuk
mengalahkan Ahriman, Ohrmaz terpaksa harus menciptakan alam semesta. Adapun
manusia sebagai penghuninya, berada pada garis depan dalam pertarungan antara
Ahriman dan Ohrmaz. Untuk menjaring Ahriman agar dapat dihancurkan, Ohrmaz menciptakan
sebuah senjata berupa dunia materi. Dengan senjata itu, Ohrmaz mampu memberikan
pukulan terakhirnya kepada Ahriman lalu membunuhnya.
Henry
Corbin selanjutnya mengatakan bahwa agama Mazdakiyah memberikan pengaruh kepada
Islam setelah ditransfer oleh seorang sufi yang bernama Shihabuddin Yahya
As-Suhrawardi. Ia dikenal dengan sebutan Shaikh Al-Isyraq atau Al-Maqtul atau
The Master of Oriental Theosophy: Dalam tulisannya Corbin mengatakan,
“His
(Suhrarwardi) life’s work aimed to restore the theosophical wisdom of ancient
Persia in Islam itself, and with the reshourches of the pure sriritual side of
Islam.”
“Seluruh
karya Suhrawardi dimaksudkan untuk mengembalikan kebijakan teosofis dari Persia
Timur ke dalam Islam dan dijadikan sebagai sumber spiritual murni di samping
Islam.”
Pemikiran
Suhrawardi ini belakangan dikembangkan lagi oleh Muhyiddin Ibn Arabi (1165-1240
M).
Kedua,
berupa pemikiran-pemikiran nonmuslim yang bersifat akademis, seperti filsafat
(terutama dari Yunani), sejarah, dan sains.
4.
Insting
Secara
instingtif, manusia selalu ingin bertuhan. Oleh sebab itu, kepercayaan adanya
Tuhan telah berkembang sejak adanya manusia pertama. Abbas Mahmoud Al-Akkad
mengatakan bahwa keberadaan mitos merupakan asal-usul agama di kalangan
orang-orang primitif. Tylor justru mengatakan bahwa animisme –anggapan adanya
kehidupan pada benda-benda mati- merupakan asal-usul kepercayaan adanya Tuhan.
Adapun Spencer mengatakan lain lagi. Ia mengatakan bahwa pemujaan terhadap
nenek moyang merupakan bentuk ibadah yang paling tua. Keduanya menganggap bahwa
animisme dan pemujaan terhadap nenek moyang sebagai asal-usul kepercayaan dan
ibadah tertua terhadap Tuhan yang Maha Esa, lebih dilatarbelakangi oleh adanya
pengalaman setiap manusia yang suka mengalami mimpi.
Di
dalam mimpi, seorang dapat bertemu, bercakap-cakap, bercengkrama, dan
sebagainya dengan orang lain, bahkan dengan orang yang telah mati sekalipun.
Ketika seorang yang mimpi itu bangun, dirinya tetap berada di tempat semula.
Kondisi ini telah membentuk intuisi bagi setiap orang yang telah bermimpi untuk
meyakini bahwa apa yang telah dilakukannnya dalam mimpi adalah perbuatan roh
lain, yang pada masanya roh itu akan segera kembali. Dari pemujaan terhadap roh
berkembang ke pemujaan terhadap matahari, lalu lebih berkembang lagi pada
pemujaan terhadap benda-benda langit atau alam lainnya.
Abbas
Mahmoud Al-Akkad, pada bagian lain, mengatakan bahwa sejak pemikiran pemujaan
terhadap benda-benda alam berkembang, di wilayah-wilayah tertentu pemujaan
terhadap benda-benda alam berkembang secara beraga,. Di Mesir, masyarakatnya
memuja Totemisme. Mereka menganggap suci terhadap burung elang, burung nasr,
ibn awa (semacam anjing hutan), buaya, dan lain-lainnya. Anggapan itu lalu
berkembang menjadi percaya adanya keabadian dan balasan bagi amal perbuatan
yang baik.
Dari
sini dapat disimpulkan bahwa kepercayaan adanya Tuhan, secara instingtif, telah
berkembang sejak keberadaan manusia pertama. Oleh sebab itu, sangat wajar kalau
William L. Resee mengatakan bahwa ilmu yang berhubungan dengan ketuhanan, yang
dikenal dengan istilah theologia, telah berkembang sejak lama. Ia bahkan
mengatakan bahwa teologi muncul dari sebuah mitos (thelogia was originally
viewed as concerned with myth). Selanjutnya, teologi itu berkembang menjadi
“theology natural” (teologi alam) dan “revealed theology” (teologi wahyu).
Dari
uraian di atas dapat disimpulkan bahwa secara historis, ilmu kalam bersumber
pada Al-Qur’an, hadis, pemikiran manusia, dan instink. Ilmu kalam adalah sebuah
ilmu yang mempunyai objek tersendiri tersistematisasikan, dan mempunyai
metodologi tersendiri. Dikatakan oleh Mushthafa Abd A-Raziq bahwa ilmu ini
bermula di tangan pemikir Mu’tazilah, Abu Hasyim, dan kawannya imam Al-Hasan
bin Muhammad bin Hanafiyah. Adapun orang yang pertama membentangkan pemikiran
kalam secara lebih baik dengan logikanya adalah Imam Al-Asy’ari, tokoh ahli
sunnah wa al-jamaah, melalui tulisan-tulisannya yang terkenal, yaitu Al-Maqalat,
dan Al-Ibanah An-Ushul Ad-Diyanah.
SEJARAH
KEMUNCULAN PERSOALAN-PERSOALAN KALAM
Menurut
Harun Nasution, kemunculan persoalan kalam dipicu oleh persoalan politik yang
menyangkut peristiwa ‘Utsman bin Affan yang berbuntut pada penolakan Mu’awiyah atas
kekhalifahan Ali bin Abi Thalib. Ketegangan antara Mu’awiyah dan Ali bin Abi
Thalib mengkristal menjadi Perang Siffin yang berakhir dengan keputusan tahkim
(arbitrase). Sikap Ali yang menerima tipu muslihat Amr bin Al-Ash, utusan dari
pihak Mu’awiyyah dalam tahkim, sungguhpun dalam keadaan terpaksa, tidak
disetujui oleh sebagian tentaranya. Mereka berpendapat bahwa persoalan yang
terjadi saat itu tidak dapat diputuskan melalui tahkim. Putusan hanya datang
dari Allah dengan kembali kepada hukum-hukum yang ada dalam Al-Qur’an. La hukma
illa lillah (tidak ada hukum selain dari hukum Allah) atau la hukma illa Allah
(tidak ada perantara selain Allah) menjadi semboyan mereka. Mereka memandang
Ali bin Abi Thalib telah berbuat salah sehingga mereka meninggalkan barisannya.
Dalam sejarah Islam, mereka terkenal dengan nama Khawarij, yaitu orang yang
keluar dan memisahkan diri atau secenders.
Di
luar pasukan yang membelot Ali, ada pula sebagian besar yang tetap mendukung
Ali. Mereka inilah yang kemudian memunculkan kelompok Syi’ah Menurut Watt,
Syi’ah muncul ketika berlangsung peperangan antara Ali dan Mu’awiyah yang
dikenal dengan Perang Siffin. Sebagai respon atas penerimaan Ali terhadap
arbitrase yang ditawarkan Mu’awiyah, pasukan Ali terpecah menjadi dua, satu kelompok
mendukung sikap ‘Ali-kelak disebut Syi’ah dan kelompok lain menolak sikap Ali
kelak disebut Khawarij.
Harun
lebih lanjut melihat bahwa persoalan kalam yang pertama kali muncul adalah
persoalan siapa yang kafir dan siapa yang bukan kafir. Dalam arti siapa yang
telah keluar dari Islam dan siapa yang masih tetap dalam Islam. Khawarij
sebagaimana telah disbutkan, memandang bahwa orang-orang yang terlihat dalam
peristiwa tahkim, yakni Ali Mu’awiyah, Amr bin Al-Ash, Abu Musa Al-Asy’ari,
adalah kafir berdasarkan firman Allah pada surat Al-Ma’idah ayat 44.
Persoalan
ini telah menimbulkan tiga aliran teologi dalam Islam, yaitu:
1. Aliran Khawarij,
menegaskan bahwa orang yang berdosa besar adalah kafir, dalam arti telah keluar
dari Islam, atau tegasnya murtad dan wajib dibunuh.
2. Aliran Murji’ah,
menegaskan bahwa orang yang berbuat dosa besar masih tetap mukmin dan bukan
kafir. Adapun soal dosa yang dilakukannya, hal itu terserah kepada Allah untuk
mengampuni atau menghukumnya.
3. Aliran
Mu’tazilah, yang tidak menerima kedua pendapat di atas. Bagi
mereka, orang yang berdosa besar bukan kafir, tetapi bukan pula mukmin. Mereka
mengambil posisi antara mukmin dan kafir, yang dalam bahasa Arabnya terkenal
dengan istilah al-manzilah manzilatain (posisi di antara dua posisi).
Dalam
Islam, timbul pula dua aliran teologi yang terkenal dengan nama Qadariyah dan
Jabariyah. Menurut Qadariyah, manusia mempunyai kemerdekaan dalam kehendak dan
perbuatannya. Adapun Jabariyah, berpendapat sebaliknya bahwa manusia tidak
mempunyai kemerdekaan dalam kehendak dan perbuatannya.
Aliran
Mu’tazilah yang bercorak rasional mendapat tantangan keras dari golongan
tradisional Islam, terutama golongan tradisional Islam, terutama golongan
Hanbali, yaitu pengikut-pengikut mazhab Ibn Hanbal. Mereka yang menantang ini
kemudian mengambil bentuk aliran teologi tradisional yang dipelopori Abu
Al-Hasan Al-Asy’ari (935 M). Di samping aliran Asy’ariyah, timbul pula suatu
aliran di Samarkand yang juga bermaksud menentang aliran Mu’tazilah. Aliran ini
didirikan oleh Abu Mansur Muhammad Al-Maturidi (w. 944 M). Aliran ini kemudian
terkenal dengan nama teologi Al-Maturidiyah.
Aliran-aliran
Khawarij, Murji’ah dan Mu’tazilah tak mempunyai wujud lagi, kecuali dalam
sejarah. Adapun yang masih ada sampai sekarang adalah aliran Asy’ariyah dan
Maturidiyah yang keduanya disebut Ahlussunnah
wal-jama’ah.
Sumber
: Buku Ilmu Kalam, Abdul Rozak dan Rosihon Anwar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar