Teori pembiasaan
perilaku respons (operant conditioning) ini merupakan teori belajar yang
berusia paling muda dan masih sangat berpengaruh di kalangan para ahli
psikologi belajar masa kini. Penciptanya bernama Burrhus Frederic Skinner (lahir
tahun 1904), seorang penganut behaviorisme yang dianggap kontraversial. Karya tulisnya
yang masyur berjudul About Behaviorism diterbitkan pada tahun 19774. Tema pokok
yang mewarnai karya-karyanya adalah bahwa tingkah laku itu terbentuk oleh
konsekuensi-konsekuensi yang ditimbulkan oleh tingkah laku itu sendiri (Bruno,
1987).
“Operant” adalah sejumlah perilaku atau respons yang membawa efek
yang sama terhadap lingkungan yang dekat (Reber,1988). Tidak seperti dalam
respondent conditioning (yang responsnya didatangkan oleh stimulus tertentu),
respons dalam operant conditioning terjadi tanpa didahului stimulus, melainkan
oleh efek yang ditimbulkan oleh reinforcer. Reinforcer sesungguhnya adalah
stimulus yang meningkatkan kemungkinan timbulnya sejumlah respons tertentu,
namun tidak sengaja diadakan sebagai pasangan stimulus lainnya seperti dalam
classical respondent conditioning.
Dalam salah satu
eksperimennya, Skinner menggunkan seekor tikus yang ditempatkan dalam sebuah
peti yang kemudian terkenal dengan nama “Skinner Box”. Peti sangkar ini terdiri
atas dua macam komponen pokok, yakni: manipulandum dan alat pemberi
reinforcement yang antara lain berupa wadah makanan. Manipulandum adalah
komponen yang dapat dimanipulasi dan gerakannya berhubungan dengan
reinforcement. Komponen ini terdiri atas tombol, batang jeruji, dan pengungkit
(Reber, 1988)
Dalam eksperiemen tadi
mula-mula tikus itu mengeksplorasi peti sangkar dengan cara lari ke sana
kemari, mencium benda-benda yang ada di sekitarnya, mencakar dinding, dan
sebagainya. Aksi-aksi seperti ini disebut “emitted
behavior” (tingkah laku yang terpancar), yakni tingkah laku yang terpancar
dari organisme tanpa mempedulikan stimulus tertentu. Kemudian pada gilirannya,
secara kebetulan salah satu emitted behavior tersebut (seperti cakaran kaki
depan atau sentuhan moncong) dapat menekan pengungkit. Tekanan pengungkit ini
mengakibatkan munculnya butir-butir makanan ke dalam wadahnya.
Butir-butir makanan
yang muncul itu merupakan reinforcer bagi penekanan pengungkit. Penekanan pengungkit
inilah disebut tingkah laku operant yang akan terus meningkat apabila diiringi
dengan reinforcement, yakni penguatan berupa butir-butir makanan yang muncul
pada wadah makanan.
Jelas sekali bahwa
eksperimen Skinner di atas mirip sekali dengan trial and error learning yang
ditemukan oleh Thorndike. Dalam hal ini, fenomena tingkah laku belajar menurut
Thorndike selalu melibatkan satisfaction/ kepuasaan, sedangkan menurut Skinner
fenomena tersebut melibatkan reinforcement/penguatan. Dengan demikian, baik
belajar dalam teori S-R Bond maupun dalam teori operant conditioning langsung
atau tidak, keduanya mengakui arti penting law of efect.
Selanjutnya, proses
belajar dalam teori operant condtioning juga tunduk kepada dua hukum operant
yang berbeda, yakni: law of operant conditioning dan law of operant extinction.
Menurut law of operant conditioning, jika timbulnya tingkah laku operant
diiringi dengan stimulus penguat, maka kekuatan tingkah laku tersebut akan
meningkat. Sebaliknya, menurut law of operant extinction, jika timbulnya
tingkah laku operant yang telah diperkuat melalui proses conditioning itu tidak
diiringi dengan stimulus penguat, maka kekuatan tingkah laku tersebut akan
menurun atau bahkan musnah (Hintzman, 1987). Hukum-hukum ini pada dasarnya sama
saja dengan hukum-hukum yang melekat dalam proses belajar menurut teori
pembiasaan yang klasik.
Teori-teori belajar
hasil eksperimen Thorndike, Skinner, dan Pavlov di atas secara prinsipal
bersifat behavioristik dalam arti lebih menekankan timbulnya perilaku jasmaniah
yang nyata dan dapat diukur. Teori-teori itu juga bersifat otomatis-mekanis
dalam menghubungkan stimulus dan respons, sehingga terkesan seperti kinerja
mesin atau robot. Jika kita renungkan dan bandingkan dengan teori juga temuan
riset psikologi kognitif, karakteristik belajar yang terdapat dalam teori-teori
behavioristik yang telanjur diyakini sebagian besar ahli pendidikan kita itu,
sesungguhnya mengandung banyak kelemahan.
Di antar
kelemahan-kelemahan teori-teori tersebut adalah sebagai berikut, yakni:
a. Proses
belajar itu dapat diamati secara langsung, padahal belajar adalah proses
kegiatan mental yang tidak dapat disaksikan dari luar kecuali sebagai
gejalanya;
b. Proses
belajar itu bersifat otomatis-mekanis, sehingga terkesan seperti gerakan mesin
dan robot, padahal setiap siswa memiliki self-direction (kemampuan mengarahkan
diri) dan self control (pengendalian diri) yang bersifat kognitif, dan
karenanya ia bisa menolak merespons jika ia tidak menghendaki, misalnya karena
lelah atau berlawanan dengan kata hati;
c. Proses
belajar manusia yang dianalogikan dengan perilaku hewan itu sangat sulit
diterima, mengingat mencoloknya perbedaan karakter fisik dan psikis antara
manusia dengan hewan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar